SlideShare a Scribd company logo
1 of 5
KARENA DIA
Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dia mendrible bola oranye itu
menuju ring. Tak lama setelah itu, dia menghampiriku meminta sebotol
air mineral yang kubawa memang untukknya. Dia memang tidak
memintaku untuk menemaninya saat itu. Hanya saja aku ingin.
Handuk kecil yang dia selipkan di celana belakangnya, itu dariku. Aku
bukan bermaksud menguntitnya, tapi dia membiarkanku ikut dengannya.
Setidaknya itu yang ku tangkap dari sikapnya selama ini. Aku merasa
dihargai bila bersamanya. Tapi aku tidak bisa menyukainya.
“Lo ga ikut kuliahnya bu Hanifah?” tanyanya padaku usai bermain basket.
“Lo sendiri?” aku balik bertanya. Dia menggeleng.
“Gue ga suka bahasa inggris dia yang ngajar,” jawabnya kemudian.
“Kalau gitu gue juga enggak,” Aku merenges saja meliriknya. Dia
mengangkat alisnya bertanya.
“Beliau kan emang cuma ninggalin tugas tadi,” kataku melanjutkan.
“Ah, percuma dong gue bolos, eh, handuk lo masih gue bawa,” dia
menyeka keringatnya.
“Pake aja lagi, bau gitu gue juga ogah,”
“Enak aja, wangi tau,” dia melemparkan handuk kecil itu ke kepalaku.
“Ih, rese banget sih, jorok tau,” aku balik melemparkannya, dia hanya
tertawa.
“Eh, kantin yuk,”
“Emmm, mau gak ya…” aku sok mikir. Dan seperti biasa, dia mencubit
pipiku sampai aku mengaduh.
“Sok nolak lagi,” katanya.
“Iya-iya, gue mau,”
Lima bulan yang lalu, dia yang ku temui saat aku harus kehilangan
Ayahku untuk selamanya. Dia yang menguatkanku. Dia yang ada saat
aku tahu pacarku berselingkuh dengan teman SMPku dulu. Dia yang
membantuku beres-beres rumah baru, saat aku dan ibu harus pindah
rumah, dan kebetulan dia tetangga baruku, atau sebaliknya. Dia yang
mau mendengarkanku, dan dia yang bisa membuatku mendengarkan. Dia
yang selalu membuatku tersenyum. Tapi, tetap aku tidak bisa
menyukainya.
“Sabtu ini lo ada kencan ya?” tanyanya saat dia bertandang ke rumahku
suatu sore.
“Bisa dibilang gitu sih. Fano ngajak gue jalan. Gimana kalo lo juga ikut?”
“Gila aja. Masa gue disuruh ikut orang pacaran,” tolaknya.
“Gue kan belum jadian sama Fano, pacaran apaan,”
“Belom. Tapi akan,”
“Siapa yang tau bakalan gimana. Emang kenapa sih?”
“Enggak, gue kira lo free. Gue mau ngajak lo jenguk Nenek. Lagi agak ga
enak badan katanya,” aku mengangguk mendengar penjelasannya.
“Nenek lo yang rumahnya deket kebun teh itu?” tanyaku memastikan. Dia
mengangguk.
Aku juga tidak akan pernah melupakan itu. Dia pernah mengajakku ke
sana untuk sekedar berkunjung saat itu. Tempatnya indah, dekat kebun
teh, dan ada sebuah danau yang airnya jernih dan tenang. Bagaimana
aku bisa lupa kalau dulu, pertama kali itu, aku malah membuatnya
tercebur ke danau itu karena kejahilanku. Dan itu bukan hal baik karena
aku tidak tahu dia tidak bisa berenang dan phobia terhadap kolam air.
Tapi, untung aku dengan segera menolongnya saat itu. Dia memang tidak
marah karena kejadian itu, tapi Nenek yang marah. Dan dengan segala
cara aku berusaha meminta maaf dan meluluhkan hati Nenek. Dan bubur
tim ayam buatanku ternyata cukup ampuh.
“Sorry ya,” kataku tidak bisa menemaninya pergi.
“Santai aja kali, gue sendiri juga ga papa. Ntar gue agak sorean aja ke
sananya,”
Dan aku tetap tak bisa menyukainya.
Bagaimana aku bisa nyaman kencan bersama Fano. Aku tidak
menyukainya.
Pukul 3 sore dia sampai di rumah Nenek, dan,
“Narita, kok lo di sini?” dia terkejut melihatku sedang asyik mengobrol
dengan Nenek yang menyantap bubur buatanku. Aku hanya merenges.
“Kok lo ga bilang mau ke sini? Kan bisa barengan aja tadi,” katanya
sambil berjalan di depanku menyusuri jalan setapak di antara tanaman
teh yang siap panen itu.
“Kalo bilang namanya bukan surprise,” jawabku.
“Fano gimana?”
“Dia gue suruh pulang habis nganter gue ke sini tadi,”
Dia menghentikan langkahnya dan menengok ke arahku sambil
mengernyitkan dahi.
“Dasar, jelek..” dia lantas mencubit pipiku.
“Biarin aja. Emang dari awal gue ga niat. Eh, ini kan jalan ke danau,”
kataku.
“Emang kenapa?” dia melanjutkan langkahnya. Aku mengekor.
“Lo yakin mau ke sana? Lo kan…”
“Takut air? Mau sampe kapan juga gue bakal terus takut kalo gak gue
lawan. Itung-itung terapi lah. Lagian gue belum sempet nunjukkin tempat
maen favorit gue pas kecil ke elo,” jelasnya.
“Tapi kenapa lo dulu ga bilang ke gue kalo lo ada trauma sama kolam air,
danau atau semacamnya? Kalo kayak gitu kan lo malah tambah parah
takutnya,”
“Lo sendiri yang bilang suka tempat itu. Lo suka tempat itu karena wangi,
banyak bunga di sana,”
“Iya sih. Tapi kita kan gak perlu ke sana kalau gak bisa,”
“Gue gak bilang gak bisa,” sahutnya. Aku hanya diam. Aku saja yang
bodoh tidak bisa memahaminya. Dia yang terlalu banyak mengalah
padaku dan karenaku.
Dia membawaku ke sebuah pohon rindang betangkai besar tak jauh dari
danau, sekitar 10 meter. Terdapat ayunan dengan tali besar mengikat
dudukan papan kayunya, menghadap persis ke arah danau yang agak
berkabut saat itu.
Hanya nampak beberapa orang menebar jala ikan.
“Gue belum pernah lihat ini ya?” kataku seraya duduk di ayunan dan dia
mengayunku pelan dari belakang.
“Terakhir gue ke sini ya pas gue umur 7 tahun. Itu waktu…”
“Waktu elo tenggelam di danau itu kan,” lanjutku. Dia hanya mengehela
napas.
“Lo mau nemenin gue ke sana gak?” tanyanya menunjuk dermaga kecil di
tepi danau. Itu pun tempatku saat membuatnya tercebur terakhir kali.
“Ih, ogah ah. Ngapain coba, ntar ada apa-apa lagi, gue yang dimusuhin
Nenek lo,”
“Kan ada elo. Ga bakalan kenapa-kenapa kan. Bentaran aja,” pintanya.
Dengan keraguanku yang luluh aku menurutinya. Aku berjalan di
depannya perlahan menggandengnya. Tangannya mulai berkeringat saat
menginjakkan kaki di papan kayu pertama.
“Lo gak perlu maksain diri,” kataku berhenti sejenak.
“Enggak kok,” dia menelan ludah gugup. Aku kembali melangkahkan kaki
pelan. Belum sampai di ujung dermaga, tiba-tiba dia berjongkok. Aku
tahu dia terlalu memaksakan diri. Ku suruh dia memejamkan mata dan
terus berjalan mengikutiku.
Kami lalu duduk di ujung dermaga sebelum akhirnya dia memberanikan
diri membuka matanya. Dengan penuh keraguan. Sekarang dia duduk
begitu dekat dengan air yang pernah membuatnya begitu ketakutan. Air
itu jernih. Dasar danau samar terlihat dengan beberapa ikan nampak
menggerakkan siripnya untuk berenang.
“Enggak seburuk yang lo kira kan?” aku tersenyum. Dia menghela napas
mencoba menenangkan diri.
Aku menjulurkan kaki ke bawah dan mengayunkannya hingga menyentuh
permukaan air yang dingin itu. Dia nampaknya ingin melakukannya juga,
tapi tidak. Belum sejauh itu keberaniannya. Paling tidak, saat ini dia bisa
sedikit tenang menghadapinya.
“Danau ini emang wangi ya,” katanya.
“Makasih ya, Ta. Berkat lo,” lanjutnya.
“Berkat kemauan lo yang kuat,” kataku. Dia kemudian menyandarkan
kepalanya di pundakku.
“Gue pengen sama-sama lo terus, Al,” kataku. Dia hanya diam dan
memejamkan matanya. Kuanggap itu berarti iya.
“Gue bakal terus ada buat lo, jadi temen terbaik lo,” katanya kemudian.
Namun sekali lagi aku tidak bisa menyukainya begitu saja. Karena dia
Alfia. Sahabatku.
Fin.

More Related Content

What's hot

Terjalnya jalan hidupku
Terjalnya  jalan hidupkuTerjalnya  jalan hidupku
Terjalnya jalan hidupkuHeni Handayani
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Trip to prambanan berbuah manis
Trip to prambanan berbuah manisTrip to prambanan berbuah manis
Trip to prambanan berbuah manisPP. Inayatullah
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 

What's hot (20)

WAKTU ITU (FREE SAMPLE)
WAKTU ITU (FREE SAMPLE)WAKTU ITU (FREE SAMPLE)
WAKTU ITU (FREE SAMPLE)
 
Terjalnya jalan hidupku
Terjalnya  jalan hidupkuTerjalnya  jalan hidupku
Terjalnya jalan hidupku
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Trip to prambanan berbuah manis
Trip to prambanan berbuah manisTrip to prambanan berbuah manis
Trip to prambanan berbuah manis
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 

Viewers also liked

Final oral presentation
Final oral presentationFinal oral presentation
Final oral presentationwilmerr80
 
April 2015 assignment 2
April 2015 assignment 2April 2015 assignment 2
April 2015 assignment 2joshualimlbn
 
Стимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТ
Стимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТСтимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТ
Стимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТA I
 
NMJ diploma
NMJ diplomaNMJ diploma
NMJ diplomaNina M
 
საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~
საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~
საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~Koba Ksovreli
 
Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22
Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22
Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22Sri Chilukuri
 
Final_Technical_Report_V2_2014-05-19
Final_Technical_Report_V2_2014-05-19Final_Technical_Report_V2_2014-05-19
Final_Technical_Report_V2_2014-05-19Dave Kert
 

Viewers also liked (13)

AFP DC workshop year end fundraising, august 11, 2015
AFP DC workshop   year end fundraising, august 11, 2015AFP DC workshop   year end fundraising, august 11, 2015
AFP DC workshop year end fundraising, august 11, 2015
 
Ppt
PptPpt
Ppt
 
Final oral presentation
Final oral presentationFinal oral presentation
Final oral presentation
 
1. intro
1. intro1. intro
1. intro
 
A05720104
A05720104A05720104
A05720104
 
Biblioteka liderem w gminie. Marzenia czy rzeczywistość? / Leszek Palus, Mari...
Biblioteka liderem w gminie. Marzenia czy rzeczywistość? / Leszek Palus, Mari...Biblioteka liderem w gminie. Marzenia czy rzeczywistość? / Leszek Palus, Mari...
Biblioteka liderem w gminie. Marzenia czy rzeczywistość? / Leszek Palus, Mari...
 
April 2015 assignment 2
April 2015 assignment 2April 2015 assignment 2
April 2015 assignment 2
 
Стимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТ
Стимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТСтимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТ
Стимулювання філологічної творчості учнів засобами ІКТ
 
Bibliohackerzy – hackerspace w każdej bibliotece / Agnieszka Koszowska
Bibliohackerzy – hackerspace w każdej bibliotece / Agnieszka KoszowskaBibliohackerzy – hackerspace w każdej bibliotece / Agnieszka Koszowska
Bibliohackerzy – hackerspace w każdej bibliotece / Agnieszka Koszowska
 
NMJ diploma
NMJ diplomaNMJ diploma
NMJ diploma
 
საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~
საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~
საღმრთო ისტორია ~წიგნი 18~
 
Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22
Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22
Gigaom-Intralinks Webcast on %22Harnessing the tyranny of autonomy%22
 
Final_Technical_Report_V2_2014-05-19
Final_Technical_Report_V2_2014-05-19Final_Technical_Report_V2_2014-05-19
Final_Technical_Report_V2_2014-05-19
 

Similar to KARENA DIA, SAHABAT TERBAIK

Similar to KARENA DIA, SAHABAT TERBAIK (20)

Pantun
PantunPantun
Pantun
 
Cerita versi ku
Cerita versi kuCerita versi ku
Cerita versi ku
 
Cerpen -our tale
Cerpen -our taleCerpen -our tale
Cerpen -our tale
 
Mungkinkah itu mungkin
Mungkinkah itu mungkinMungkinkah itu mungkin
Mungkinkah itu mungkin
 
Ceritaku
CeritakuCeritaku
Ceritaku
 
Ccccc
CccccCcccc
Ccccc
 
Ff
FfFf
Ff
 
The story of ours
The story of oursThe story of ours
The story of ours
 
Untukmu_aku_ada
  Untukmu_aku_ada  Untukmu_aku_ada
Untukmu_aku_ada
 
The Unforgetable
The UnforgetableThe Unforgetable
The Unforgetable
 
Mutiara Air Mata.docx
Mutiara Air Mata.docxMutiara Air Mata.docx
Mutiara Air Mata.docx
 
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
 
Hujan di bulan desember
Hujan di bulan desemberHujan di bulan desember
Hujan di bulan desember
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
Sahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lainSahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lain
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
Angin dari gunung
Angin dari gunungAngin dari gunung
Angin dari gunung
 
Kado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaKado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bunda
 
Aku hanya guru lesmu
Aku hanya guru lesmuAku hanya guru lesmu
Aku hanya guru lesmu
 
Cinta Asya
Cinta AsyaCinta Asya
Cinta Asya
 

KARENA DIA, SAHABAT TERBAIK

  • 1. KARENA DIA Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dia mendrible bola oranye itu menuju ring. Tak lama setelah itu, dia menghampiriku meminta sebotol air mineral yang kubawa memang untukknya. Dia memang tidak memintaku untuk menemaninya saat itu. Hanya saja aku ingin. Handuk kecil yang dia selipkan di celana belakangnya, itu dariku. Aku bukan bermaksud menguntitnya, tapi dia membiarkanku ikut dengannya. Setidaknya itu yang ku tangkap dari sikapnya selama ini. Aku merasa dihargai bila bersamanya. Tapi aku tidak bisa menyukainya. “Lo ga ikut kuliahnya bu Hanifah?” tanyanya padaku usai bermain basket. “Lo sendiri?” aku balik bertanya. Dia menggeleng. “Gue ga suka bahasa inggris dia yang ngajar,” jawabnya kemudian. “Kalau gitu gue juga enggak,” Aku merenges saja meliriknya. Dia mengangkat alisnya bertanya. “Beliau kan emang cuma ninggalin tugas tadi,” kataku melanjutkan. “Ah, percuma dong gue bolos, eh, handuk lo masih gue bawa,” dia menyeka keringatnya. “Pake aja lagi, bau gitu gue juga ogah,” “Enak aja, wangi tau,” dia melemparkan handuk kecil itu ke kepalaku. “Ih, rese banget sih, jorok tau,” aku balik melemparkannya, dia hanya tertawa. “Eh, kantin yuk,” “Emmm, mau gak ya…” aku sok mikir. Dan seperti biasa, dia mencubit pipiku sampai aku mengaduh. “Sok nolak lagi,” katanya. “Iya-iya, gue mau,” Lima bulan yang lalu, dia yang ku temui saat aku harus kehilangan Ayahku untuk selamanya. Dia yang menguatkanku. Dia yang ada saat aku tahu pacarku berselingkuh dengan teman SMPku dulu. Dia yang
  • 2. membantuku beres-beres rumah baru, saat aku dan ibu harus pindah rumah, dan kebetulan dia tetangga baruku, atau sebaliknya. Dia yang mau mendengarkanku, dan dia yang bisa membuatku mendengarkan. Dia yang selalu membuatku tersenyum. Tapi, tetap aku tidak bisa menyukainya. “Sabtu ini lo ada kencan ya?” tanyanya saat dia bertandang ke rumahku suatu sore. “Bisa dibilang gitu sih. Fano ngajak gue jalan. Gimana kalo lo juga ikut?” “Gila aja. Masa gue disuruh ikut orang pacaran,” tolaknya. “Gue kan belum jadian sama Fano, pacaran apaan,” “Belom. Tapi akan,” “Siapa yang tau bakalan gimana. Emang kenapa sih?” “Enggak, gue kira lo free. Gue mau ngajak lo jenguk Nenek. Lagi agak ga enak badan katanya,” aku mengangguk mendengar penjelasannya. “Nenek lo yang rumahnya deket kebun teh itu?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk. Aku juga tidak akan pernah melupakan itu. Dia pernah mengajakku ke sana untuk sekedar berkunjung saat itu. Tempatnya indah, dekat kebun teh, dan ada sebuah danau yang airnya jernih dan tenang. Bagaimana aku bisa lupa kalau dulu, pertama kali itu, aku malah membuatnya tercebur ke danau itu karena kejahilanku. Dan itu bukan hal baik karena aku tidak tahu dia tidak bisa berenang dan phobia terhadap kolam air. Tapi, untung aku dengan segera menolongnya saat itu. Dia memang tidak marah karena kejadian itu, tapi Nenek yang marah. Dan dengan segala cara aku berusaha meminta maaf dan meluluhkan hati Nenek. Dan bubur tim ayam buatanku ternyata cukup ampuh. “Sorry ya,” kataku tidak bisa menemaninya pergi. “Santai aja kali, gue sendiri juga ga papa. Ntar gue agak sorean aja ke sananya,” Dan aku tetap tak bisa menyukainya.
  • 3. Bagaimana aku bisa nyaman kencan bersama Fano. Aku tidak menyukainya. Pukul 3 sore dia sampai di rumah Nenek, dan, “Narita, kok lo di sini?” dia terkejut melihatku sedang asyik mengobrol dengan Nenek yang menyantap bubur buatanku. Aku hanya merenges. “Kok lo ga bilang mau ke sini? Kan bisa barengan aja tadi,” katanya sambil berjalan di depanku menyusuri jalan setapak di antara tanaman teh yang siap panen itu. “Kalo bilang namanya bukan surprise,” jawabku. “Fano gimana?” “Dia gue suruh pulang habis nganter gue ke sini tadi,” Dia menghentikan langkahnya dan menengok ke arahku sambil mengernyitkan dahi. “Dasar, jelek..” dia lantas mencubit pipiku. “Biarin aja. Emang dari awal gue ga niat. Eh, ini kan jalan ke danau,” kataku. “Emang kenapa?” dia melanjutkan langkahnya. Aku mengekor. “Lo yakin mau ke sana? Lo kan…” “Takut air? Mau sampe kapan juga gue bakal terus takut kalo gak gue lawan. Itung-itung terapi lah. Lagian gue belum sempet nunjukkin tempat maen favorit gue pas kecil ke elo,” jelasnya. “Tapi kenapa lo dulu ga bilang ke gue kalo lo ada trauma sama kolam air, danau atau semacamnya? Kalo kayak gitu kan lo malah tambah parah takutnya,” “Lo sendiri yang bilang suka tempat itu. Lo suka tempat itu karena wangi, banyak bunga di sana,” “Iya sih. Tapi kita kan gak perlu ke sana kalau gak bisa,” “Gue gak bilang gak bisa,” sahutnya. Aku hanya diam. Aku saja yang bodoh tidak bisa memahaminya. Dia yang terlalu banyak mengalah padaku dan karenaku.
  • 4. Dia membawaku ke sebuah pohon rindang betangkai besar tak jauh dari danau, sekitar 10 meter. Terdapat ayunan dengan tali besar mengikat dudukan papan kayunya, menghadap persis ke arah danau yang agak berkabut saat itu. Hanya nampak beberapa orang menebar jala ikan. “Gue belum pernah lihat ini ya?” kataku seraya duduk di ayunan dan dia mengayunku pelan dari belakang. “Terakhir gue ke sini ya pas gue umur 7 tahun. Itu waktu…” “Waktu elo tenggelam di danau itu kan,” lanjutku. Dia hanya mengehela napas. “Lo mau nemenin gue ke sana gak?” tanyanya menunjuk dermaga kecil di tepi danau. Itu pun tempatku saat membuatnya tercebur terakhir kali. “Ih, ogah ah. Ngapain coba, ntar ada apa-apa lagi, gue yang dimusuhin Nenek lo,” “Kan ada elo. Ga bakalan kenapa-kenapa kan. Bentaran aja,” pintanya. Dengan keraguanku yang luluh aku menurutinya. Aku berjalan di depannya perlahan menggandengnya. Tangannya mulai berkeringat saat menginjakkan kaki di papan kayu pertama. “Lo gak perlu maksain diri,” kataku berhenti sejenak. “Enggak kok,” dia menelan ludah gugup. Aku kembali melangkahkan kaki pelan. Belum sampai di ujung dermaga, tiba-tiba dia berjongkok. Aku tahu dia terlalu memaksakan diri. Ku suruh dia memejamkan mata dan terus berjalan mengikutiku. Kami lalu duduk di ujung dermaga sebelum akhirnya dia memberanikan diri membuka matanya. Dengan penuh keraguan. Sekarang dia duduk begitu dekat dengan air yang pernah membuatnya begitu ketakutan. Air itu jernih. Dasar danau samar terlihat dengan beberapa ikan nampak menggerakkan siripnya untuk berenang. “Enggak seburuk yang lo kira kan?” aku tersenyum. Dia menghela napas mencoba menenangkan diri.
  • 5. Aku menjulurkan kaki ke bawah dan mengayunkannya hingga menyentuh permukaan air yang dingin itu. Dia nampaknya ingin melakukannya juga, tapi tidak. Belum sejauh itu keberaniannya. Paling tidak, saat ini dia bisa sedikit tenang menghadapinya. “Danau ini emang wangi ya,” katanya. “Makasih ya, Ta. Berkat lo,” lanjutnya. “Berkat kemauan lo yang kuat,” kataku. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di pundakku. “Gue pengen sama-sama lo terus, Al,” kataku. Dia hanya diam dan memejamkan matanya. Kuanggap itu berarti iya. “Gue bakal terus ada buat lo, jadi temen terbaik lo,” katanya kemudian. Namun sekali lagi aku tidak bisa menyukainya begitu saja. Karena dia Alfia. Sahabatku. Fin.