SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
1
Paradigma Pengelolaan Hutan dan Etika Lingkungan
Oleh : Widyananto Basuki Aryono
Abstrak
Pengelolaan hutan telah mengalami berbagai permasalahan berkenaan
dengan kerusakan ekologi, krisis penyediaan sumberdaya alam, keprihatinan sosial
dan bencana alam. Ini erat hubungannya dengan perilaku moral dan etika terhadap
lingkungan sumberdaya alam. Konsep pengelolaan hutan saat ini masih
mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan dalam sisi ekonomi dan
sosial walaupun nilai ekologi dalam konsepnya dimasukkan ke dalam tujuannya,
namun secara faktanya akan susah untuk dilakukan sehingga terjadi anomali. Ini
ditambahkan dengan belum dibukanya ruang cara pandang dimensi nilai dan etika
secara menyeluruh dalam pengelolaan hutan juga menjadi sebuah anomali.
Tulisan ini menggali informasi mengenai perkembangan paradigma
pengelolaan hutan dan etika lingkungan yang erat hubungannya dengan cara
pandang dimensi pengetahuan. Dimensi mekanistis-reduksionistik menciptakan
ruang industri dan pemanfaatan sebesar-besarnya sumberdaya alam untuk
pembangunan berkelanjutan. Dimensi sosial ekonomi kemasyarakatan menciptakan
ruang kolaborasi, kemitraan, pemberdayaan masyarakat dan aktor dalam aksi
bersama. Kedepan, dimensi nilai dan etika secara menyeluruh akan banyak digali
sepertihalnya layanan ekosistem, bentuk pengelolaan holistik, pola hidup, gaya
hidup dan etika profesional.
Menciptakan ruang dalam dimensi nilai dan etika memberi pengharapan
dalam melengkapi aspek yang tidak dapat ditinggalkan dalam paradigma
pengelolaan hutan lestari kedepannya.
Kata kunci : nilai, etika, paradigma, pengelolaan hutan
I. Pendahuluan
Sejarah pengelolaan hutan telah mengalami perjalanan panjang dari era
ekstraksi kayu (timber extraction) (periode 1200-1800), kemudian masuk pada era
kelestarian (1800-sampai sekarang yang terbagi dalam berbagai era) dengan
munculnya era kelestarian hasil (sustained yeld), era manfaat ganda hutan (multiple
use of the forest), dan era pengelolaan hutan lestari (sustainable forest
management) (Simon, 2004; Suhendang, 2013). Pada era pergantian konsep
tersebut tidak akan terlepas dengan anomali dan sejarah peradaban manusia.
Kompeksitas masalah yang dihadapi pengelolaan berakibat pada situasi yang mana
keputusan yang diambil berada dalam keadaan ketidakpastian yang besar (Mitchell
et al, 2010). Dengan demikian, meletakkan konsep dasar pengelolaan yang sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi akan mendorong suatu keadaan yang normal.
Era pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management(SFM))
memiliki cara pandang yang sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali karena
fungsi hutan sebagai ekosistem dalam prinsip kelestarian hasil, namun juga jasa
ekologis. Namun lebih fokus lagi dibandingkan pandangan konsep kelestarian
pendahuluannya mengenai optimasi dari fungsi-fungsi ekonomi, ekologis dan sosial.
2
Namun pengelolaan hutan lestari ini memiliki sifat yang partial dan terpisah antara
pengelolaan satu dengan yang lain atau dengan bentuk pengelolaan yang lain dan
permasalahan mengenai kesenjangan akses SDA terhadap lapisan masyarakat. Ini
yang menimbulkan masalah yang tidak terduga misalnya tidak terkoneksinya
komunitas (baik vegetasi maupun manusia) dalam bentang yang lebih luas,
permasalahan hilangnya hara dalam sistem tersebut, permasalahan air dan
bencana alam yang ditanggung oleh berbagai lapis masyarakat, dan hilangnya
biodiversitas jenis-jenis alami yang mendiami dalam memberi layanan ekologi.
Kemudian konsep SFM masih mengedepankan konsep pembangunan
berkelanjutan dalam sisi ekonomi dan sosial walaupun nilai ekologi dalam
konsepnya dimasukkan ke dalam tujuannya, namun secara faktanya akan susah
untuk dilakukan sehingga terjadi anomali. Belum dibukanya ruang cara pandang
dimensi nilai dan etika secara menyeluruh dalam pengelolaan hutan juga menjadi
sebuah anomali.
II. Anomali Pengelolaan Hutan
Pengelolaan dengan prinsip optimalisasi produksi sumberdaya alam yang
reaktif atau kelestarian hasil dalam unit managemen menimbulkan banyak anomali.
Seiring dengan waktu, pengelolaan tersebut dilakukan pada unit-unit lahan dengan
luasan yang semakin kecil, disebabkan peningkatan jumlah populasi penduduk atau
jumlah usaha yang dilakukan. Tujuan pengelolaanpun berkembang bukan hanya
keperluan produksi kayu tetapi meluas untuk keperluan lain. Dengan demikian,
usaha masyarakat maupun perusahaan skala besar dalam upaya pemenuhan
kebutuhan dengan melakukan intensifikasi pada setiap lahannya dan atau
ektensifikasi ke kawasan tertentu sehingga menimbulkan permasalahan
biodiversitas vegetasi, fragmentasi dan permasalahan lingkungan lainnya. Ini akan
semakin sulit di kontrol bila tidak diletakkan dalam perencanaan terpadu dan
terintegrasi dalam skala spasial yang lebih besar.
Kurang imbangnya kapasitas lahan yang tersedia dengan jumlah pengguna
lahan dapat menimbulkan peningkatan fragmentasi. Peningkatan laju fragmentasi
yang kurang terkontrol dapat menyebabkan keberadaan vegetasi alami semakin
menurun. Dengan demikian, prosentase keberadaan vegetasi memiliki sifat yang
sensitif terhadap perilaku berbagai pengguna lahan. Kasus bencana banjir dan
tanah longsor merupakan contoh permasalahan lingkungan yang menimbulkan
resiko besar yang ditanggung oleh masyarakat. Masalah tersebut dalam beberapa
tahun terakhir adalah bukti nyata dari diabaikannya faktor ekologi dan
mempertanyakan mengenai pembangunan berkelanjutan ataukan keberlanjutan
ekologi (Keraf, 2010).
Menurut Mitchell et al, (2010) Istilah keberlanjutan pertama kali dikenalkan
pada tahun 1987 oleh World Commission on Environment and Development
(Brundtland Commission) melalui bukunya “Our Common Future”. Selanjutnya pada
tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jeneiro, Brasil, paradigma pembangunan
berkelanjutan diterima sebagai agenda politik pembangunan untuk semua negara di
dunia (Keraf, 2010). Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk mencukupi kebutuhan. Selanjutnya pembangunan berkelanjutan
mempunyai dua konsep kunci yaitu kebutuhan dan keterbatasan. Dengan demikian,
sesungguhnya konsep ini berangkat dari pandangan antroposentrik, yang
menjadikan manusia menjadi tema sentralnya. Pandangan optimasi didasarkan atas
3
gagasan untuk mencapai penggunaan yang terbaik dari sumberdaya atau
lingkungan.
Hampir 20 tahun paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai
sebuah agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup mulai
menyadari bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah
kegagalan dari sisi para pejuang lingkungan hidup (Keraf, 2010). Adapun
pendekatan nilai ekologi memiliki cakupan yang sangat kompleks, dapat juga luas
dan lengkap, dan memungkinkan dapat membuat pengelola tidak puas karena
jawaban-jawaban yang diberikan akan muncul tidak seketika atau dalam tempo
yang pendek namun muncul dalam tempo yang panjang besar (Mitchell et al, 2010).
Pandangan ini akan lebih condong ke dalam ekosentrisme (Keraf, 2010).
Keberlanjutan nilai ekologi ini akan tercapai bila benar-benar merubah pandangan
global mendasar dari pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat yang
konsumtif, serta melindungi kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan
dalam menjaga keberlangsungan hidup di bumi.
Meletakkan fondamental dasar dalam pola pikir dalam keberlangsungan hidup
sangatlah krusial. Kerusakan-kerusakan mengenai ekologi akan membutuhkan
waktu yang lama dalam merestorasi lingkungan dan beban bencana yang
ditimbulkan dari kerusakan ekologi memiliki nilai dan resiko besar. Terlebih
ditambah dengan isu mengenai krisis pangan, energi yang digantikan dengan
bioenergi dan hasil alam yang menambah daftar permasalahan dalam lingkup
pengelolaan sumberdaya alam. Isu global tentang krisis ketersediaan pangan dan
hasil hutan sebagai bahan industri terutama kayu perkakas, rotan, kayu yang
berguna untuk bahan bakar, karet dan non-kayu lainnya serta isu global tentang
peran dan fungsi ekologi yang semakin minimum seperti terganggunya siklus air
(hidrologi), carbon sequestration merupakan problematika pengelolaan lahan
dewasa ini (ITTO, 2005).
Kerusakan hutan, fragmentasi, deforestasi, erosi, degradasi lahan (kesuburan
rendah), banjir, dan banyak lagi persoalan yang tidak menjamin keberlangsungan
hidup yang menyebabkan anomali konsep kelestarian tersebut. Fragmentasi dan
deforestasi memiliki peluang mendatangkan efek area, tepi dan isolasi pada
komunitas vegetasi tertentu (Kapos et al, 2005). Implikasi ukuran patch tinggi
terdapat jumlah jenis tinggi dibandingkan dengan ukuran patch rendah (Lavers dan
Haines-young, 1993). Fragmentasi pada suatu area tertentu menyebabkan
terbentuknya jumlah area (pacth) yang lebih banyak dari semula, dan efek area
tersebut akan membentuk unit-unit asosiasi vegetasi yang semakin kecil. Hal ini
berpengaruh terhadap potensial asosiasi vegetasi cenderung semakin rendah. Efek
tepi memberi pengaruh terhadap semakin lemahnya ikatan asosiasi vegetasi
(Kimmins, 1997). Bagian dalam patch memiliki karakteristik asosiasi yang kuat
dibandingkan bagian tepi (McGarigal dan Marks 1994). Menurut Kimmins (1997),
kawasan urban, atau patch yang terbentuk dari pertanian permanen serta bentuk-
bentuk fragmentasi yang serupa menunjukkan secara relatif efek tepi (ecological
edges), dimana menghalangi penyebaran tumbuhan dan pergerakan satwa dan
microbia dalam imigrasi dari disekitar metapopulasi dan dapat merugikan bagi
kepunahan populasi lokal. Bentuk patch juga dapat memberi karakteristik sifat
terhadap efek tepi mengenai kelimpahan dan komposisi jenis pada patch terhadap
patch lain (Forman dan Godran, 1986). Menurut Pearson (1994), konektifitas
memiliki pengaruh kuat terhadap proses ekologi, seperti halnya pergerakan dan
sebaran organisme contoh pergerakan satwa, aliran dan sebaran gen (gene flow),
serta gangguan penyebarannya.
Perkembangan pengelolaan lahan juga berpengaruh terhadap kondisi struktur
vegetasi lanskap. Perubahan struktur vegetasi yang relatif cepat akan terjadi pada
kawasan lanskap yang memiliki tingkat pengguna yang semakin tinggi. Hal ini
4
menjadikan salah satu kendala pengelolaan dalam mengontrol keseluruhan perilaku
perubahan dalam struktur vegetasi lanskap. Kesulitan mengontrol perubahan
tersebut, seperti halnya peluang terjadinya pola pemanfaatan lahan pada dataran
tinggi (upland) didominasi tanaman pertanian sedangkan pada dataran rendah
didominasi fuel trees atau sistem pengelolaan hutan. Sistem kelola pada posisi
tersebut berkembang secara dinamis sesuai dengan peluang-peluang perubahan
kritis sampai klimaks. Dengan demikian tidak ada tatanan skala bentang dalam
konsep pengelolaan hutan lestari (SFM) di sebabkan skala pengelolaannya dalam
tingkatan spasial stand sampai dengan ekosistem.
Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan juga semakin
terpinggirkan. Isu mengenai keprihatinan global untuk mendesentralisasikan dan
demokratisasi akan memerlukan keterlibatan yang lebih efektif orang sekarang yang
terpinggirkan dan mengatasi masalah-masalah global (perubahan iklim, kemiskinan,
deforestasi dan degradasi hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati) akan
pragmatis memerlukan keterlibatan yang kuat, ini yang dirasa mendekatkan
legitimasi tata kelola hutan (Colfer, 2011). Selama ini keterlibatan masyarakat
semakin dipinggirkan yang menimbulkan masalah lingkungan.
III. Timbulnya Paradigma Baru
Permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan konsep kelestarian
kontemporer, mendorong banyak peneliti mengembangkan konsep landskap
(bentang alam) yang didasarkan dari teori dispersal (range geographic), teori
spasial (patch theory) dan teori gradien (gradient theory) dalam membentuk
berbagai niche pada letak dan posisi spasial. Ini yang dijelaskan oleh Bestelmeyer
et al, (2003) dalam menjelaskan perbedaan niche dalam keruangan dan
biodiversitas (lihat gambar 1). Sebenarnya konsep landskap ini bukan barang baru
diperkenalkan oleh ahli terdahulu, namun konsep landskap pada era dulu
diperkenalkan untuk mempelajari keindahan bentang ekologi dan atau mempelajari
bentang ekologi mengenai hitungan-hitungan yang sifatnya abstrak yang susah
untuk diterangkan secara fakta dalam sebuah wahana.
Gambar 1. Diagram hubungan berbagai teori yang menjelaskan hubungan
biodiversitas dan distribusi (Bestelmeyer et al, 2003)
Namun sebenarnya sejarah konsep baru landskap dan kelestarian nilai
ekologi ini diperkenalkan kembali beberapa ahli (Lavers dan Haines-young, 1993;
Keberadaan
Habitat
Distribusi
Landskap
Jarak
Geografi
Pencapaian
Niche
Gradient Theory
Teori
Makroekologi
Seleksi habitat,
Teori Kompetisi
Teori Spasial (patch) Teori dispersal dan
varian Biogeografi
Berdasarkan
Teori Dispersal
Berdasarkan
Teori Niche
Pertambahan skala spasial
5
McGarigal dan Marks,1994; Amaranthus, 1997; Baskent dan Yolasigmaz, 1997;
Turner et al, 2001; Bastian dan Steinhardt, 2002; Marell et al, 2003; Seppert, 2003;
Bestelmeyer et al, 2003; Diaz dan Apostol, 2005). Pemahaman pengelolaan nilai
ekologi terdapat lingkup batasan spasial (ruang) yang terdiri dari level ruang stand,
ekosistem, lanskap dan biosfer (Marell et al, 2003; Seppert, 2003; Diaz dan Apostol,
2005) yang memiliki karakteristik setiap komponen level ruang memiliki integritas
koneksi dan saling berpengaruh dalam stabilisasi sistem lingkungan. Menurut Marell
et al (2003) level ruang tersebut memiliki fungsional terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Pemahaman level ruang spatial dalam nilai fungsional (Marell et
al, 2003)
Menurut ITTO (2005), strategi restorasi lanskap untuk meminimalisasi
permasalahan fragmentasi dan degradasi, diletakkan pada kawasan hutan sekunder
dan lahan agroforestri. Perkembangan permasalahan mengenai kelola lahan yang
semakin kompleks, mendorong untuk dapat menyediakan analisis dan konsep
managemen seluruh lanskap dalam obyek multi-sumberdaya (McGarigal dan Marks,
1994).
Menurut Baskent dan Yolasigmaz (1997), dalam konsep managemen lanskap
diperlukan prinsip-prinsip diversitas biologi, kesehatan dan fungsi ekosistem,
managemen integritas, keterlibatan pemangku kepentingan, minimalisasi resiko,
ekoefisiensi, dan pendugaan (assesment) lingkungan yang tinggi. Keputusan
managemen yang didasarkan lanskap memiliki pertimbangan bahwa cakupan
managemen jenis spesies dalam luas jarak (range) yang relatif besar, namun relatif
kecil terhadap jarak geografi (range geographic) (Bestelmeyer dkk, 2003). Menurut
Forman dan Godron (1986) terdapat 3 fokus dalam mempelajari ekologi landskap,
yaitu “struktur”, yang terdapat hubungan interaksi spasial diantara elemen khususnya
ekosistem; “fungsi”, didalam hubungan tersebut terdapat aliran energi, material, dan
spesies di dalam komponen ekosistem; “perubahan”, terdapat perubahan karakter
mengenai struktur dan fungsi di dalam mozaik ekologi di setiap waktunya.
Kondisi dan tuntutan komunitas ekologi (ekosistem) pada berbagai tempat
memiliki potensi yang beranekaragam dan pola interaksi yang spesifik. Setiap lanskap
akan memiliki dan atau tersusun berbagai karakteristik kelola dan perilaku komunitas
ekologi (tidak terkecuali manusia). Konsep diversifikasi kelola meletakkan
pertimbangan dasar pencapaian kelestarian ekosistem berkelanjutan, dapat tercapai
Stand Ecosystem Landscape Biosphere
Functional
value
Trees
Soils
Yield
Stand dynamics
Flora and fauna
habitats
Biogeochemical
cycling
Ecosystem
functioning
Spartial patterns
Landscapestructure
Interactions between
landscapeelement
Game behaviour
Hydrology
Nutrient cycling
Vegetation dynamics
Landscape
ecology
Land in the
biosphere
Global cycles
Biodiversity
6
bila berbasis komunitas yang spesifik (Bastian dan Steinhardt, 2002). Diversifikasi
kelola lahan pada suatu kawasan memberi peluang pilihan sistem atau regime untuk
digunakan atas dasar pertimbangan kesesuaian terhadap kondisi setempat (adaptif).
Berbagai diversifikasi sistem kelola dapat diwadahi melalui satu kesatuan unit dengan
batas (boundary) yaitu lanskap.
Perubahan cara pandangan mengenai ekosistem sebagai layanan lingkungan
dan tidak menjadi obyek dalam eksplorasi juga banyak diperkenalkan para peneliti.
Pasar dan pemerintah memiliki pengaruh mereka sendiri dalam skala dan ruang
lingkup, keduanya akan gagal untuk memberikan jasa ekosistem yang memadai dalam
lebih luas dan ditambah sistem alamiah - sosial masa depan, kemudian perlu
menemukan regulator ketiga yang bekerja untuk mengelola dan melindungi nilai-nilai
alam dan sosial yang luas lewat penyediaan layanan ekosistem berkelanjutan (Wang
et al, 2013).
Gambar 3. Kerangka hubungan antara ekosistem alam dengan sistem sosial dan
ekonomi (Wang et al, 2013).
Cara pandang mengenai kelembagaan juga telah bergeser setelah istilah
keberlanjutan pembangunan pertama kali diperkenalkan. Terpinggirkannya nilai
ekologi dalam pola pikir menjadi permasalahan yang timbul. Padahal nilai ekologi
memiliki cakupan yang sangat kompleks, dapat juga luas dan lengkap, dan
memungkinkan dapat membuat pengelola tidak puas karena jawaban-jawaban yang
diberikan akan muncul tidak seketika atau dalam tempo yang pendek namun muncul
dalam tempo yang panjang besar (Mitchell et al, 2010). Ini yang menjawab mengenai
masalah bencana-bencana alam selalu timbul namun tidak diketahui penyebab secara
kasap mata secara kontras disebabkan perubahan yang diberikan dalam tempo yang
panjang.
Dalam kasus politik pembangunan global dari tahun 1980 sampai dengan
sekarang ini, menunjukkan bahwa ide-ide baru dan makna tentang berkelanjutan,
keanekaragaman hayati dan tata kelola hutan telah mulai dilembagakan dari waktu ke
waktu, diwujudkan dengan dalam bentuk kemitraan, program sertifikasi dalam
instrumen voluntary, dan pemberdayaan para aktor (Buizer dan Arts, 2009). Bentuk
kemitraan pengelolaan hutan menciptakan konteks kelembagaan untuk tata kelola
hutan yang baik dan pengelolaan hutan lestari dengan merangsang keterlibatan
masyarakat lokal (Mirjam et al, 2008). Pentingnya kemitraan sebagai lembaga, justru
terletak dalam menjadi konsep wadah yang merupakan hasil langsung dari desain
7
voluntary, tidak terbatas dan berorientasi pada implementasi (Mert, 2009). Para pihak
akan mampu menciptakan aksi bersama dengan mengabungkan aset, pengetahuan,
ketrampilan dan kekuasaan politik berbagai tingkatan (Mirjam et al, 2008).
Walaupun pengembangan kelembagaan publik berlanjut, ruang politik yang baru
untuk dunia tata kelola hutan telah muncul dengan keterlibatan para aktor privat dalam
otoritas pengambilan keputusan, yang sebelumnya hak preogratif negara berdaulat
(Ingrid et al, 2007). Wacana pembangunan berkelanjutan sebelumnya membuka pintu
koalisi menggabungkan kepentingan ekonomi dengan tujuan ekologis, dimana dalam
segi aturan menimbulkan periode terutama voluntary dan regulasi dan perjanjian privat
muncul menjadi ada yang mampu menerapkan tujuan yang terintegrasi serta
dikombinasikan dari intervensi pemerintah (Buizer dan Arts, 2009). Keterlibatan aktor
privat membentuk regulasi untuk urusan publik. Regulasi privat dalam urusan publik
telah mengambil empat bentuk kelembagaan (Ingrid et al, 2007) :
1. Inisiatif bisnis
2. Inisiatif masyarakat sipil
3. Kemitraan lintas sektoral swasta (aliansi strategis antara masyarakat sipil dan
bisnis).
4. Kemitraan lintas sektoral publik-swasta (aliansi strategis antara pemerintah dan
usaha dan atau sipil masyarakat).
Dengan munculnya ruang politik baru, tata kelola hutan global berubah dengan
cepat. Dari stuktur yang tunggal (sentrik) dengan negara mengatur keseluruhan hutan
menjadi struktur tampak lebih kompleks dan beragam dengan keterlibatannya
masyarakat sipil dan bisnis dalam proses pengaturannya. Sistem pengaturan privat ini
berbeda dengan pengaturan publik dalam hal skala (segi waktu, ruang dan ukuran),
tujuan spesifik dan berarti, diskursus dan arsitektur (Ingrid et al, 2007).
Kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan muncul pada the world summit on
sustainable development yang diselenggarakan di Johannesburg tahun 2002 yang
merupakan mekanisme baru tata kelola lingkungan dengan titik persimpangan tiga
wacana penting dalam politik global yaitu demokrasi partisipatif, tata kelola privat, dan
pembangunan berkelanjutan (Mert, 2009). Ini menjadi perdebatan bersama dengan
pergeseran wacana pembangunan berkelanjutan diatas. Selanjutnya Mert (2009)
berpendapat tidak akan mungkin kemitraan akan menghilang dari tata kelola
lingkungan global yang disebabkan semua orang memanfaatkan orang lainnya,
apabila ada alternatif non kemitraan dimana artinya tidak menjual akan lebih baik
(Mert, 2009).
Dari runutan sejarah panjang pengelolaan hutan tidak akan lepas dari
permasalahan mengenai etika pengelolaan dan etika profesi. Belajar dengan kearifan
religi dan etika masyarakat kuno dalam menghormati hak-hak hidup baik
vegetasi/tumbuhan yang terefleksikan dengan budaya masyarakat dan gaya hidup
serta menyakini dengan kuat terhadap keberlangsungan hidup dengan menggunakan
sumberdaya alam dengan arif merupakan pembelajaran yang berharga terhadap
pengelolaan modern (Senanayake dalam Halminton, 1994). Dengan demikian ilmu
pengetahuan mengenai pengelolaan SDA tidak hanya berhubungan mengenai benar
salah saja, namun juga melihat problematika dirasa memiliki kekuatan kebaikan dan
keindahan dalam implementasinya.
Masalah kerusakan hutan, fragmentasi, deforestasi, erosi, degradasi lahan
(kesuburan rendah), banjir, dan banyak lagi persoalan yang tidak menjamin
keberlangsungan hidup menjadi masalah etika didalam penghormatan hak-hak
mahkluk lain dan kehilangan keseimbangan fungsional makhluk lain tersebut.
Tanggungjawab itulah yang sebenarnya dirasa semakin sempit dalam sikap dan
8
tindakan pengelolaan SDA. Ini memerlukan pengembangan sumberdaya manusia
yang memiliki etika lingkungan hidup di dalam pengelolaan SDA.
Masalah yang kedua yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan
pengelolaan ekologi lestari adalah moral. Tindakan moral merupakan kriteria mengenai
kualitas baik-buruknya hidup seseorang dalam memandang sesuatu hal di luar dirinya
sendiri. Jika dikatakan seseorang memenuhi tindakan moral yang baik, ia perlu
mendasarkan pada tindakan-tindakan pada prinsip-prinsip moral yang ada pada
budaya kognitif arif dan religi. Para profesi harus memiliki kesadaran yang kuat
mengenai permasalahan yang terjadi tidak lepas dari permasalahan pemenuhan
hasrat moral yang berlebihan dan keserakahan ekonomi. Gerakan yang menuntut dan
didasarkan pada perubahan paradigma secara mendasar dan revolusiner, yaitu
perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup (Keraf, 2010).
Sebuah revolusi dalam perilaku manusia sangat diperlukan jika manajemen jasa
ekologi adalah untuk mencapai keberlanjutan. Hal ini memerlukan pendekatan holistik
dan integratif, karena tidak hanya tradisional, sempit, ekonomi, solusi politik dan ilmiah
saja tidak cukup mengatasi pemanfaatan berkelanjutan dari ekologi alamiah. Layanan
ekosistem adalah fokus utama, dan tujuannya adalah untuk mendapatkan
keberlanjutan ekologis, sosial keadilan, dan efisien secara ekonomi, kultural nilai-nilai
dan norma-norma sosial mengerahkan pengaruh kuat pada dan dapat mendominasi
kebijakan sosio-ekonomi. Upaya lebih harus ditujukan untuk mendorong duniawi,
perubahan budaya yang memungkinkan perintah sosial yang lebih baik yang
mendukung integrasi harmonis manusia dengan lingkungannya. Mengarahkan
pengembangan budaya membutuhkan lengkap pemahaman tentang evolusi budaya
yang berbeda masyarakat (Wang et al, 2013).
Didalam lingkup nasional, pembentukan SDM yang memiliki etika dan moral
sebenarnya sudah didorong dengan pendekatan pada religi dan norma-norma budaya
leluhur. Namun nampaknya dorongan tersebut tidak begitu kuat dalam memberi
pemahaman mengenai nilai dan etika terhadap lingkungan dan sumberdaya alam.
Sebelumnya, telah dilakukan kesepakatan bersama perwakilan rimbawan (profesi
Kehutanan) dalam mendeklarasikan gerakan revolusi dalam keinginan merubah cara
pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup dalam norma etika profesi rimbawan. Pada
tanggal 29 Oktober 1966 di Kaliurang mendeklarasikan gerakan moral dan etika dalam
kehutanan dengan Landasan Idiil Penuaian Tugas Rimbawan Dalam Bidang Hutan
dan Kehutanan, sebagai berikut;
1. Hutan adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang berupa sumber kekayaan
alam yang serbaguna sebagai manifestasi dari sifat maha murah serta maha kasih
dan Tuhan yang Maha Kuasa sendiri.
2. Hutan dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, sesuai dengan
tempat, waktu, iklim, keadaan sekelilingnya dan faktor-faktor lainnya. Apapun
bentuk yang dimilikinya dan menjadikan wujud sementara bagi hutan itu, pada
hakekatnya selalu merupakan pengejawantahan sementara dari lima unsur pokok
yang mengakibatkan adanya apa yang dinamakan hutan itu, ialah : bumi, air, alam
hayati, udara dan sinar matahari. Tanpa salah satu unsur-unsur itu secara mutlak
mengakibatkan tidak adanya hutan.
3. Dengan demikian, maka memanfaatkan hutan, pada hakekatnya adalah memanfat
adanya lima untur tersebut, ialah mengarahkan panca-daya ini kepada suatu
bentuk tertentu pada tempat dan waktu yang diperlukan untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia lahir dan bathin sebesar-besar mungkin tanpa mengabaikan
kelestarian guna dan manfaatnya.
9
4. Bentuk yang dihasilkan oleh pengarahan panca-daya secara sadar ini dapat
berwujud hutan lindung alami di gunung, yang mutlak perlu untuk ketertiban tata
air, dan atau hutan produksi dalam segala bentuknya antara lain hutan industri dan
lain sebagainya. Kesemuanya ini merupakan sumber kesejahteraan secara lestari
bagi manusia kini dan manusia kemudian hari sebagai pengejawantahan dari sifat
Maha Murah dan maha kasih dan Tuhan seru sekalian alam.
5. Berapa besar manfaat hutan sebagai anugerah tersebut tidaklah dibatasi oleh
keadaan hutan itu sendiri, melainkan semata-mata oleh kemampuan manusia,
sampai dimana ia sanggup memanfaatkan anugerah Tuhan tersebut untuk
kepentingan dirinya, bagi penyelenggaraan kesejahteraan, baik materiil maupun
spiritual.
6. Rimbawan menunaikan tugas mengurus hutan dan kehutanan wajib menanggapi
tugas tersebut sebagai menerima amanat dari ummat manusia untuk
memanfaatkan pemberian Tuhan yang berupa hutan ini sebesar-besar mungkin
secara lestari sebagai tanda terima kasih dan bakti manusia terhadap Tuhan Yang
Maha Murah dan Maha Kasih.
7. Kenyataan-kenyataan dan pengakuan adanya kenyataan-kenyataan tersebut
diatas adalah merupakan landasan abadi bagi penunaian darma bakti Rimbawan,
dimana dan pada waktu atau zaman apa Rimbawan itu berada. Rimbawan yang
ber-Pancasila yang telah mengikrarkan dirinya menjalankan segala tugas untuk
kepentingan Nusa dan Bangsanya dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Dan pada tanggal 4 November 1999 di Cangkuang Sukabumi telah dikeluarkan
Deklarasi Cangkuang. Deklarasi tersebut telah ditandatangai oleh 81 orang yang
kompeten dalam bidangnya masing-masing. Seorang Rimbawan dalam menunaikan
tugas mengurus hutan dan kehutanan wajib menyikapinya sebagai amanah untuk
memanfaatkan hutan secara optimal dan lestari. Menyadari bahwa kondisi hutan telah
menurun baik kualitas dan kuantitasnya, menuntut tanggung jawab, upaya dan kerja
keras Rimbawan untuk memulihkannya. Deklarasi Cangkuang telah melahirkan kode
etik rimbawan Indonesia. Rimbawan adalah seseorang yang mempunyai pendidikan
kehutanan dan atau berpengalaman di bidang kehutanan dan terikat oleh norma-
norma sebagai berikut:
1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menguasai, meningkatkan, mengembangkan dan mengamalkan ilmu dan
teknologi berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan
hutan dan kehutanan
3. Menghargai dan melindungi nilai kemajemukkan sumber daya hutan dan sosial
budaya setempat.
4. Menjadi pelopor dalam setiap upaya pendidikan dan penyelamatan lingkungan
dimanapun dan kapanpun Rimbawan berada.
5. Bersikap objektif dalam melaksanakan segenap aspek kelestarian fungsi ekonomi,
ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan
berdarma bakti
6. Berperilaku jujur, bersahaja, terbuka, komunikatif, bertanggung-gugat, demokrasi,
adil, ikhlas dan mampu berkerja sama dengan semua pihak sebagai upaya dalam
mengembangkan profesinya.
10
7. Bersikap tegar, teguh dan konsisten dalam melaksanakan segenap bidang gerak
yang diembannya, serta memilki kepekaan, proaktif, tanggap, dinamis dan adaptif
terhadap perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhinya baik di tingkat
lokal, nasional, regional dan global.
8. Mendahulukan tugas Rimbawan dan kepentingan umum (public interest) saat ini
dan generasi yang akan datang di atas kepentingan-kepentingan lain.
9. Menempatkan hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan martabat dan
integrasi bangsa di tengah bangsa-bangsa lain sepanjang zamamn.
10. Menjunjung tinggi dan memelihara jiwa KORSA Rimbawan.
Namun nampaknya kode etik ini tidak dibarengi badan dan aturan main yang jelas
yang memberi sanksi tegas para profesional yang melanggar kode etik tersebut. Kode
etik ini akan melindungi anggotanya dalam melakukan perbuatan sesuai dengan etika
dan moral, kemudian mengeluarkan anggotanya yang terlibat dalam pelanggaran etika
tersebut (Irland, 2007). Nampaknya kode etik yang sudah tercipta masih menjadi
masih menjadi slogan dan hutan masih merana.
IV. Diskusi Cara Pandang dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Menyimak perkembangan ilmu pengetahuan yang syarat dipengaruhi cara
pandang manusia berkenaan dengan alam sekitar. Runutan cara pandang dan
perkembangan ilmu pengetahuan dapat dilihat pada Gambar 4. Cara pandang
mengenai dimensi alam, budaya dan religi masyarakat kuno memandang sumberdaya
alam sebagai tempat untuk hidup yang dinyakini sebagai bentuk budaya dan religi
dalam menjalin keseimbangan alam.
Isu mengenai perlunya pemanfaatan sebesar-besarnya untuk pembangunan
berkelanjutan membawa pengaruh besar terhadap akses sumberdaya alam dan
kemiskinan. Cara pandang mekanistis-reduksionistis merupakan realitas sumberdaya
alam dipandang sebagai mekanis (mesin) bisa dianalisis dan diprediksikan secara
terpisah serta memandah hanya satu atau beberapa aspek saja tanpa keterkaitan satu
dengan yang lain yang lebih komprehensif dan holistik (Keraf, 2010). Hal ini yang
memisahkan antara obyek dengan subyek, memisahkan fakta dan makna, nilai.
Kemudian memandang mengenai dimensi sosial dan dimensi nilai dan etika. Kedepan
cara pandang yang mengedepankan nilai dan etika banyak dikaji untuk riset seperti
layanan ekosistem (basis ekologi), bentuk pengelolaan konservasi, bentuk pengelolaan
holistik, pengelolaan adaptif, kompensasi dan insentif, skema REDD, pola hidup, gaya
hidup dan tema-tema lainnya.
11
Gambar 4. Cara Pandang dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
V. Penutup
Era pengelolaan hutan telah menempung perjalanan panjang. Adapun
perkembangan terakhir adalah era pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest
Management(SFM)) sebagai tujuan utamanya optimalisasi dari fungsi-fungsi
ekonomi, ekologis dan sosial dengan ruang lingkup masih partial dan tidak
terintegrasi dengan pengelolaan satu dengan yang lain dan atau bentuk
pengelolaan yang lain. Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan
hutan juga semakin terpinggirkan. Selama ini keterlibatan masyarakat semakin
dipinggirkan yang menimbulkan masalah lingkungan.
Didalam perkembangannya, terdapat anomali mengenai permasalahan
kerusakan hutan, fragmentasi, deforestasi, erosi, degradasi lahan (kesuburan
rendah), banjir, keprihatinan sosial dan banyak lagi persoalan yang tidak menjamin
keberlangsungan hidup dan resiko yang tinggi. Banyak peneliti memperkenalkan
konsep pengelolaan landskap berbasis kelestarian nilai ekologi dalam menutupi
kelemahan tersebut. Harapannya unit satu kesatuan kelola itu diperluas secara
spasial dalam unit landskap dalam kelola holistik dan integratif dengan merubah
cara padangannya ke arah kelestarian ekologi. Keterlibatan aktif masyarakat dan
aktor dalam mengatasi masalah tersebut sangat dibutuhkan secara kuat yang
dirasa dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan. Namun permasalahannya
tidak hanya itu saja, namun juga menyangkut dimensi nilai dan etika beserta moral
pengelola sumberdaya alam tersebut. Kode etik sudah terbangun, nampaknya ini
12
hanyalah slogan namun belum menjadi fundamental etika dan moral bagi pelaku
kerusakan. Pendekatan religi dan budaya leluhur nampaknya perlu dilakukan guna
merubah cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup yang didekatkan pada
saling menghormati hak-hak hidup makhluk hidup lainnya dan arif dalam
menggunakan sumberdaya alam.
Daftar Pustaka :
Amaranthus, M.P. 1997. Forest Sustainability: an Approach to Definition and
Assessment at the Landscape Level. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-416.
USDA Forest Service. Washington.
Baskent, E.Z. dan Yolasigmaz H.A. 1997. Exploring the Concept of Forest Landscape
Management Paradigm. Turk J Agric For 24 (2000) 443-451 TUBITAK.
Turkey.
Bestelmeyer, B.T., J.R. Miller, dan J.A. Wiens. 2003. Applying Species Diversity
Theory to Land Management. Ecological Applications, 13(6), the
Ecological Society of America.
Buizer, M., dan Arts, B. 2009. Forests, discources, institutions a discursive-institutional
analysis of global forest governance. Journal Forest Policy and
Economics 11, 340-347.
Colfer, C.J.P. 2011. Marginalized forest peoples’ perceptions of the legitimacy of
governance: an exploration. Journal World Development vol. 39, No.12,
2147-2164.
Diaz, N. dan Apostol, D. 2005. Forest Landscape Analysis and Design: A Process for
Developing and Implementing Land Management Objectives for
Landscape Patterns. USDA Forest Service. Washington.
Forman, R.T.T. dan M. Godron. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons, Inc.,
New York.
Ingrid, J., Hamakers, V., dan Glasebergen, P. 2007. Partnerships in forest governance.
Journal Global Environmental Change 17 : 408-419
Irland, L.C. 2007. Professional Ethics for Natural Resource and Environmental
Managers: A Primer. Yale School of Forestry & Environmental Studies.
ITTO. 2005. Restoring Forest Landscapes: An Introduction to the Art and Science of
Forest Landscape Restoration. Technical Series No. 23. International
Tropical Timber Organization.
Kapos, V., A. Newton, G. Smith dan K. Wilson. 2005. Spartial Analysis as a Decision
Supported for Forest Landscape Restoration. UNEP-WCWC.
Keraf, S. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Kompas Media Nusantara. Jakarta.
Kimmins J.P. 1997. Forest Ecology: A Foundation for Sustainable Management.
Prentice Hall, N.J., USA.
Lavers, C.P. dan R. Haines Young. 1993. Equilibrium landscapes and their aftermath:
spatial heterogeneity and the role of new technology. dalam Landscape
ecology and geographicinformation systems, edited by R. Haines-Young,
D.R. Green, and S. Cousins. London: Taylor and Francis.
Marell, A., O. Laroussinnie, N. Krauchi, G. Matteucci, F. Anderson dan E. Leitgeb.
2003. Scientific Issues Related to Sustainable Forest Management in an
13
Ecosystem and Landscape Perspective. Technical Report 1. COST Action
E25. ECOFOR. Paris.
McGarigal, K., dan Marks, B.J.. 1994. Fragstats: Spartial Pattern Analysis Program for
Quantifying Landscape Structure(Vesion 2.0) (Corvallis: Forest Science
Department, Oregon State University).
Mert, A. 2009. Partnerships for sustainable devolepment as discursive practice: Shifts
in discourses of enviroment and democracy. Journal Policy and
economics 11, 326-339.
Mirjam, A.F., Ros-Tonen, van Andel, T., Morsello C., Atsuki, K., Rosenda, S., dan
Scholz, I. 2008. Forest-related partnerships in Brazillian Amozonia: There
is More to sutainable forest management than reduced impact logging.
Journal Forest Ecology and Management 256, 1482-1497.
Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.H. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dam
Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Orsi, F., Geneletti, D., dan Newton, A.C. 2010. Towards a common set of criteria and
indicator to identify forest restoration priorities: An expert panel-based
approach. Ecological indicators 11 (2011) 337-347.
Pearson, P. 1994. Energy, Externalities and Environmental Quality: Will Development
Cure the Ills it Creates?', Energy Studies Review, Vol: 6 (3) :199-216
Portman, M.E. 2013. Ecosystem services in practice: Challenges to real world
implementation of ecosystem services across multiple landscapes - A
critical review. Applied Geography 45: 185-192.
Senanayake, R. The religious dan ethical Tradition of Ancient and Contemporary
Australia: Its Role in The Setting of Modern Goals dalam Hamilton, L.S
dan Takeuchi, H.F.(ed). 1993. Ethics, Religion and Biodiversity. The
White Horse Press. Cambridge.
Seppert, R. 2003. Computer Based Environmental Management. Wiley VCH Verlag
GmbH and Co. KgaA. Weinheim.
Simon, H. 2004. Membangun kembali hutan Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Suhendang, E. 2013. Pengantar Ilmu Kehutanan. IPB Press. Bogor.
Wang, S., Fu, Bojie., Wei, Yongping., dan Lyle, C. 2013. Ecosystem Services
Management: an Integrated Approach. Environmental Sustainability 5:11-
15.

More Related Content

What's hot

Pembangunan dan-lingkungan
Pembangunan dan-lingkunganPembangunan dan-lingkungan
Pembangunan dan-lingkungan
ar_
 
Uas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjitoUas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjito
juniato
 
Azas-azas pengetahuan lingkungan
Azas-azas pengetahuan lingkunganAzas-azas pengetahuan lingkungan
Azas-azas pengetahuan lingkungan
hendricksonsagala
 
Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...
Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...
Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...
SLIDE.R | Slide Designer | WhatsApp/Telegram +6282113301838
 
Konsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutanKonsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan
Budy Jafar
 

What's hot (20)

BUMI KITA, RUMAH KITA SENDIRI Apapentingnyasihkonservasi?
BUMI KITA, RUMAH KITA SENDIRI Apapentingnyasihkonservasi?BUMI KITA, RUMAH KITA SENDIRI Apapentingnyasihkonservasi?
BUMI KITA, RUMAH KITA SENDIRI Apapentingnyasihkonservasi?
 
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...
 
Pembangunan dan-lingkungan
Pembangunan dan-lingkunganPembangunan dan-lingkungan
Pembangunan dan-lingkungan
 
Azas
AzasAzas
Azas
 
Konsep Jasa Layanan Lingkungan
Konsep Jasa Layanan LingkunganKonsep Jasa Layanan Lingkungan
Konsep Jasa Layanan Lingkungan
 
Uas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjitoUas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjito
 
Bacaan i ikhtisar bacaan
Bacaan i ikhtisar bacaanBacaan i ikhtisar bacaan
Bacaan i ikhtisar bacaan
 
Arga
ArgaArga
Arga
 
Hk.lingkungan
Hk.lingkunganHk.lingkungan
Hk.lingkungan
 
Ekologi dan perannya dalam kehidupan
Ekologi dan perannya dalam kehidupanEkologi dan perannya dalam kehidupan
Ekologi dan perannya dalam kehidupan
 
Perilaku Kompetitif dan Aksi Ambil Untung Di Balik Kemandekan Tata Kelola Ba...
Perilaku Kompetitif dan Aksi Ambil Untung  Di Balik Kemandekan Tata Kelola Ba...Perilaku Kompetitif dan Aksi Ambil Untung  Di Balik Kemandekan Tata Kelola Ba...
Perilaku Kompetitif dan Aksi Ambil Untung Di Balik Kemandekan Tata Kelola Ba...
 
Azas-azas pengetahuan lingkungan
Azas-azas pengetahuan lingkunganAzas-azas pengetahuan lingkungan
Azas-azas pengetahuan lingkungan
 
Inisiasi pemahaman adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada generasi muda d...
Inisiasi pemahaman adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada generasi muda d...Inisiasi pemahaman adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada generasi muda d...
Inisiasi pemahaman adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada generasi muda d...
 
Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...
Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...
Status Keberlanjutan & Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Memp...
 
Sejarah ekologi
Sejarah ekologiSejarah ekologi
Sejarah ekologi
 
Konsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutanKonsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan
 
Plh
PlhPlh
Plh
 
Silvika tanah
Silvika tanahSilvika tanah
Silvika tanah
 
1 asas pengetahuan lingkungan
1 asas pengetahuan lingkungan1 asas pengetahuan lingkungan
1 asas pengetahuan lingkungan
 
Kriteria governance dan resilience dalam pembangunan berkelanjutan
Kriteria governance dan resilience dalam pembangunan berkelanjutanKriteria governance dan resilience dalam pembangunan berkelanjutan
Kriteria governance dan resilience dalam pembangunan berkelanjutan
 

Similar to Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2

9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx
9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx
9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx
MathildaTerus
 
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor dasPeran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
rizky hadi
 
Dampak Lingkungan Akibat Manusia
Dampak Lingkungan Akibat ManusiaDampak Lingkungan Akibat Manusia
Dampak Lingkungan Akibat Manusia
triewuland
 

Similar to Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2 (20)

Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan eKunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
 
1. Pengelolaan Lingkungan Hidup.pptx
1. Pengelolaan Lingkungan Hidup.pptx1. Pengelolaan Lingkungan Hidup.pptx
1. Pengelolaan Lingkungan Hidup.pptx
 
Prespektif Ekologi dalam Pengembangan Masyarakat Islam
Prespektif Ekologi dalam Pengembangan Masyarakat IslamPrespektif Ekologi dalam Pengembangan Masyarakat Islam
Prespektif Ekologi dalam Pengembangan Masyarakat Islam
 
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
 
2) KONSEP DASAR ILMU LINGKUNGAN.pdf
2) KONSEP DASAR ILMU LINGKUNGAN.pdf2) KONSEP DASAR ILMU LINGKUNGAN.pdf
2) KONSEP DASAR ILMU LINGKUNGAN.pdf
 
9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx
9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx
9_Konsep_fundamental_Geologi_Lingkungan.pptx
 
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahanStudi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
 
Kerusakan pelestarian lingkungan
Kerusakan pelestarian lingkunganKerusakan pelestarian lingkungan
Kerusakan pelestarian lingkungan
 
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
 
Makalah lingkungan hidup 2
Makalah lingkungan hidup 2Makalah lingkungan hidup 2
Makalah lingkungan hidup 2
 
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor dasPeran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
 
Hbl,An Nisa Rizki,Hapzi Ali,Artikel Studi Kasus Hukum Bisnis&Lingkungan,Unive...
Hbl,An Nisa Rizki,Hapzi Ali,Artikel Studi Kasus Hukum Bisnis&Lingkungan,Unive...Hbl,An Nisa Rizki,Hapzi Ali,Artikel Studi Kasus Hukum Bisnis&Lingkungan,Unive...
Hbl,An Nisa Rizki,Hapzi Ali,Artikel Studi Kasus Hukum Bisnis&Lingkungan,Unive...
 
KEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptxKEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptx
 
Isi menjaga , melestarikan setetes sumber mata air,
Isi menjaga , melestarikan setetes sumber mata air,Isi menjaga , melestarikan setetes sumber mata air,
Isi menjaga , melestarikan setetes sumber mata air,
 
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAHTINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
 
MENUNTASKAN MASALAH KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA
MENUNTASKAN MASALAH KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIAMENUNTASKAN MASALAH KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA
MENUNTASKAN MASALAH KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA
 
Kerusakan hutan
Kerusakan hutanKerusakan hutan
Kerusakan hutan
 
Tugas kelompok 4
Tugas kelompok 4Tugas kelompok 4
Tugas kelompok 4
 
Pembahasan Tugas 3.5
Pembahasan Tugas 3.5Pembahasan Tugas 3.5
Pembahasan Tugas 3.5
 
Dampak Lingkungan Akibat Manusia
Dampak Lingkungan Akibat ManusiaDampak Lingkungan Akibat Manusia
Dampak Lingkungan Akibat Manusia
 

Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2

  • 1. 1 Paradigma Pengelolaan Hutan dan Etika Lingkungan Oleh : Widyananto Basuki Aryono Abstrak Pengelolaan hutan telah mengalami berbagai permasalahan berkenaan dengan kerusakan ekologi, krisis penyediaan sumberdaya alam, keprihatinan sosial dan bencana alam. Ini erat hubungannya dengan perilaku moral dan etika terhadap lingkungan sumberdaya alam. Konsep pengelolaan hutan saat ini masih mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan dalam sisi ekonomi dan sosial walaupun nilai ekologi dalam konsepnya dimasukkan ke dalam tujuannya, namun secara faktanya akan susah untuk dilakukan sehingga terjadi anomali. Ini ditambahkan dengan belum dibukanya ruang cara pandang dimensi nilai dan etika secara menyeluruh dalam pengelolaan hutan juga menjadi sebuah anomali. Tulisan ini menggali informasi mengenai perkembangan paradigma pengelolaan hutan dan etika lingkungan yang erat hubungannya dengan cara pandang dimensi pengetahuan. Dimensi mekanistis-reduksionistik menciptakan ruang industri dan pemanfaatan sebesar-besarnya sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan. Dimensi sosial ekonomi kemasyarakatan menciptakan ruang kolaborasi, kemitraan, pemberdayaan masyarakat dan aktor dalam aksi bersama. Kedepan, dimensi nilai dan etika secara menyeluruh akan banyak digali sepertihalnya layanan ekosistem, bentuk pengelolaan holistik, pola hidup, gaya hidup dan etika profesional. Menciptakan ruang dalam dimensi nilai dan etika memberi pengharapan dalam melengkapi aspek yang tidak dapat ditinggalkan dalam paradigma pengelolaan hutan lestari kedepannya. Kata kunci : nilai, etika, paradigma, pengelolaan hutan I. Pendahuluan Sejarah pengelolaan hutan telah mengalami perjalanan panjang dari era ekstraksi kayu (timber extraction) (periode 1200-1800), kemudian masuk pada era kelestarian (1800-sampai sekarang yang terbagi dalam berbagai era) dengan munculnya era kelestarian hasil (sustained yeld), era manfaat ganda hutan (multiple use of the forest), dan era pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) (Simon, 2004; Suhendang, 2013). Pada era pergantian konsep tersebut tidak akan terlepas dengan anomali dan sejarah peradaban manusia. Kompeksitas masalah yang dihadapi pengelolaan berakibat pada situasi yang mana keputusan yang diambil berada dalam keadaan ketidakpastian yang besar (Mitchell et al, 2010). Dengan demikian, meletakkan konsep dasar pengelolaan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi akan mendorong suatu keadaan yang normal. Era pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management(SFM)) memiliki cara pandang yang sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali karena fungsi hutan sebagai ekosistem dalam prinsip kelestarian hasil, namun juga jasa ekologis. Namun lebih fokus lagi dibandingkan pandangan konsep kelestarian pendahuluannya mengenai optimasi dari fungsi-fungsi ekonomi, ekologis dan sosial.
  • 2. 2 Namun pengelolaan hutan lestari ini memiliki sifat yang partial dan terpisah antara pengelolaan satu dengan yang lain atau dengan bentuk pengelolaan yang lain dan permasalahan mengenai kesenjangan akses SDA terhadap lapisan masyarakat. Ini yang menimbulkan masalah yang tidak terduga misalnya tidak terkoneksinya komunitas (baik vegetasi maupun manusia) dalam bentang yang lebih luas, permasalahan hilangnya hara dalam sistem tersebut, permasalahan air dan bencana alam yang ditanggung oleh berbagai lapis masyarakat, dan hilangnya biodiversitas jenis-jenis alami yang mendiami dalam memberi layanan ekologi. Kemudian konsep SFM masih mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan dalam sisi ekonomi dan sosial walaupun nilai ekologi dalam konsepnya dimasukkan ke dalam tujuannya, namun secara faktanya akan susah untuk dilakukan sehingga terjadi anomali. Belum dibukanya ruang cara pandang dimensi nilai dan etika secara menyeluruh dalam pengelolaan hutan juga menjadi sebuah anomali. II. Anomali Pengelolaan Hutan Pengelolaan dengan prinsip optimalisasi produksi sumberdaya alam yang reaktif atau kelestarian hasil dalam unit managemen menimbulkan banyak anomali. Seiring dengan waktu, pengelolaan tersebut dilakukan pada unit-unit lahan dengan luasan yang semakin kecil, disebabkan peningkatan jumlah populasi penduduk atau jumlah usaha yang dilakukan. Tujuan pengelolaanpun berkembang bukan hanya keperluan produksi kayu tetapi meluas untuk keperluan lain. Dengan demikian, usaha masyarakat maupun perusahaan skala besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan dengan melakukan intensifikasi pada setiap lahannya dan atau ektensifikasi ke kawasan tertentu sehingga menimbulkan permasalahan biodiversitas vegetasi, fragmentasi dan permasalahan lingkungan lainnya. Ini akan semakin sulit di kontrol bila tidak diletakkan dalam perencanaan terpadu dan terintegrasi dalam skala spasial yang lebih besar. Kurang imbangnya kapasitas lahan yang tersedia dengan jumlah pengguna lahan dapat menimbulkan peningkatan fragmentasi. Peningkatan laju fragmentasi yang kurang terkontrol dapat menyebabkan keberadaan vegetasi alami semakin menurun. Dengan demikian, prosentase keberadaan vegetasi memiliki sifat yang sensitif terhadap perilaku berbagai pengguna lahan. Kasus bencana banjir dan tanah longsor merupakan contoh permasalahan lingkungan yang menimbulkan resiko besar yang ditanggung oleh masyarakat. Masalah tersebut dalam beberapa tahun terakhir adalah bukti nyata dari diabaikannya faktor ekologi dan mempertanyakan mengenai pembangunan berkelanjutan ataukan keberlanjutan ekologi (Keraf, 2010). Menurut Mitchell et al, (2010) Istilah keberlanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun 1987 oleh World Commission on Environment and Development (Brundtland Commission) melalui bukunya “Our Common Future”. Selanjutnya pada tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jeneiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia (Keraf, 2010). Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan. Selanjutnya pembangunan berkelanjutan mempunyai dua konsep kunci yaitu kebutuhan dan keterbatasan. Dengan demikian, sesungguhnya konsep ini berangkat dari pandangan antroposentrik, yang menjadikan manusia menjadi tema sentralnya. Pandangan optimasi didasarkan atas
  • 3. 3 gagasan untuk mencapai penggunaan yang terbaik dari sumberdaya atau lingkungan. Hampir 20 tahun paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup mulai menyadari bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kegagalan dari sisi para pejuang lingkungan hidup (Keraf, 2010). Adapun pendekatan nilai ekologi memiliki cakupan yang sangat kompleks, dapat juga luas dan lengkap, dan memungkinkan dapat membuat pengelola tidak puas karena jawaban-jawaban yang diberikan akan muncul tidak seketika atau dalam tempo yang pendek namun muncul dalam tempo yang panjang besar (Mitchell et al, 2010). Pandangan ini akan lebih condong ke dalam ekosentrisme (Keraf, 2010). Keberlanjutan nilai ekologi ini akan tercapai bila benar-benar merubah pandangan global mendasar dari pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat yang konsumtif, serta melindungi kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan dalam menjaga keberlangsungan hidup di bumi. Meletakkan fondamental dasar dalam pola pikir dalam keberlangsungan hidup sangatlah krusial. Kerusakan-kerusakan mengenai ekologi akan membutuhkan waktu yang lama dalam merestorasi lingkungan dan beban bencana yang ditimbulkan dari kerusakan ekologi memiliki nilai dan resiko besar. Terlebih ditambah dengan isu mengenai krisis pangan, energi yang digantikan dengan bioenergi dan hasil alam yang menambah daftar permasalahan dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam. Isu global tentang krisis ketersediaan pangan dan hasil hutan sebagai bahan industri terutama kayu perkakas, rotan, kayu yang berguna untuk bahan bakar, karet dan non-kayu lainnya serta isu global tentang peran dan fungsi ekologi yang semakin minimum seperti terganggunya siklus air (hidrologi), carbon sequestration merupakan problematika pengelolaan lahan dewasa ini (ITTO, 2005). Kerusakan hutan, fragmentasi, deforestasi, erosi, degradasi lahan (kesuburan rendah), banjir, dan banyak lagi persoalan yang tidak menjamin keberlangsungan hidup yang menyebabkan anomali konsep kelestarian tersebut. Fragmentasi dan deforestasi memiliki peluang mendatangkan efek area, tepi dan isolasi pada komunitas vegetasi tertentu (Kapos et al, 2005). Implikasi ukuran patch tinggi terdapat jumlah jenis tinggi dibandingkan dengan ukuran patch rendah (Lavers dan Haines-young, 1993). Fragmentasi pada suatu area tertentu menyebabkan terbentuknya jumlah area (pacth) yang lebih banyak dari semula, dan efek area tersebut akan membentuk unit-unit asosiasi vegetasi yang semakin kecil. Hal ini berpengaruh terhadap potensial asosiasi vegetasi cenderung semakin rendah. Efek tepi memberi pengaruh terhadap semakin lemahnya ikatan asosiasi vegetasi (Kimmins, 1997). Bagian dalam patch memiliki karakteristik asosiasi yang kuat dibandingkan bagian tepi (McGarigal dan Marks 1994). Menurut Kimmins (1997), kawasan urban, atau patch yang terbentuk dari pertanian permanen serta bentuk- bentuk fragmentasi yang serupa menunjukkan secara relatif efek tepi (ecological edges), dimana menghalangi penyebaran tumbuhan dan pergerakan satwa dan microbia dalam imigrasi dari disekitar metapopulasi dan dapat merugikan bagi kepunahan populasi lokal. Bentuk patch juga dapat memberi karakteristik sifat terhadap efek tepi mengenai kelimpahan dan komposisi jenis pada patch terhadap patch lain (Forman dan Godran, 1986). Menurut Pearson (1994), konektifitas memiliki pengaruh kuat terhadap proses ekologi, seperti halnya pergerakan dan sebaran organisme contoh pergerakan satwa, aliran dan sebaran gen (gene flow), serta gangguan penyebarannya. Perkembangan pengelolaan lahan juga berpengaruh terhadap kondisi struktur vegetasi lanskap. Perubahan struktur vegetasi yang relatif cepat akan terjadi pada kawasan lanskap yang memiliki tingkat pengguna yang semakin tinggi. Hal ini
  • 4. 4 menjadikan salah satu kendala pengelolaan dalam mengontrol keseluruhan perilaku perubahan dalam struktur vegetasi lanskap. Kesulitan mengontrol perubahan tersebut, seperti halnya peluang terjadinya pola pemanfaatan lahan pada dataran tinggi (upland) didominasi tanaman pertanian sedangkan pada dataran rendah didominasi fuel trees atau sistem pengelolaan hutan. Sistem kelola pada posisi tersebut berkembang secara dinamis sesuai dengan peluang-peluang perubahan kritis sampai klimaks. Dengan demikian tidak ada tatanan skala bentang dalam konsep pengelolaan hutan lestari (SFM) di sebabkan skala pengelolaannya dalam tingkatan spasial stand sampai dengan ekosistem. Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan juga semakin terpinggirkan. Isu mengenai keprihatinan global untuk mendesentralisasikan dan demokratisasi akan memerlukan keterlibatan yang lebih efektif orang sekarang yang terpinggirkan dan mengatasi masalah-masalah global (perubahan iklim, kemiskinan, deforestasi dan degradasi hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati) akan pragmatis memerlukan keterlibatan yang kuat, ini yang dirasa mendekatkan legitimasi tata kelola hutan (Colfer, 2011). Selama ini keterlibatan masyarakat semakin dipinggirkan yang menimbulkan masalah lingkungan. III. Timbulnya Paradigma Baru Permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan konsep kelestarian kontemporer, mendorong banyak peneliti mengembangkan konsep landskap (bentang alam) yang didasarkan dari teori dispersal (range geographic), teori spasial (patch theory) dan teori gradien (gradient theory) dalam membentuk berbagai niche pada letak dan posisi spasial. Ini yang dijelaskan oleh Bestelmeyer et al, (2003) dalam menjelaskan perbedaan niche dalam keruangan dan biodiversitas (lihat gambar 1). Sebenarnya konsep landskap ini bukan barang baru diperkenalkan oleh ahli terdahulu, namun konsep landskap pada era dulu diperkenalkan untuk mempelajari keindahan bentang ekologi dan atau mempelajari bentang ekologi mengenai hitungan-hitungan yang sifatnya abstrak yang susah untuk diterangkan secara fakta dalam sebuah wahana. Gambar 1. Diagram hubungan berbagai teori yang menjelaskan hubungan biodiversitas dan distribusi (Bestelmeyer et al, 2003) Namun sebenarnya sejarah konsep baru landskap dan kelestarian nilai ekologi ini diperkenalkan kembali beberapa ahli (Lavers dan Haines-young, 1993; Keberadaan Habitat Distribusi Landskap Jarak Geografi Pencapaian Niche Gradient Theory Teori Makroekologi Seleksi habitat, Teori Kompetisi Teori Spasial (patch) Teori dispersal dan varian Biogeografi Berdasarkan Teori Dispersal Berdasarkan Teori Niche Pertambahan skala spasial
  • 5. 5 McGarigal dan Marks,1994; Amaranthus, 1997; Baskent dan Yolasigmaz, 1997; Turner et al, 2001; Bastian dan Steinhardt, 2002; Marell et al, 2003; Seppert, 2003; Bestelmeyer et al, 2003; Diaz dan Apostol, 2005). Pemahaman pengelolaan nilai ekologi terdapat lingkup batasan spasial (ruang) yang terdiri dari level ruang stand, ekosistem, lanskap dan biosfer (Marell et al, 2003; Seppert, 2003; Diaz dan Apostol, 2005) yang memiliki karakteristik setiap komponen level ruang memiliki integritas koneksi dan saling berpengaruh dalam stabilisasi sistem lingkungan. Menurut Marell et al (2003) level ruang tersebut memiliki fungsional terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Pemahaman level ruang spatial dalam nilai fungsional (Marell et al, 2003) Menurut ITTO (2005), strategi restorasi lanskap untuk meminimalisasi permasalahan fragmentasi dan degradasi, diletakkan pada kawasan hutan sekunder dan lahan agroforestri. Perkembangan permasalahan mengenai kelola lahan yang semakin kompleks, mendorong untuk dapat menyediakan analisis dan konsep managemen seluruh lanskap dalam obyek multi-sumberdaya (McGarigal dan Marks, 1994). Menurut Baskent dan Yolasigmaz (1997), dalam konsep managemen lanskap diperlukan prinsip-prinsip diversitas biologi, kesehatan dan fungsi ekosistem, managemen integritas, keterlibatan pemangku kepentingan, minimalisasi resiko, ekoefisiensi, dan pendugaan (assesment) lingkungan yang tinggi. Keputusan managemen yang didasarkan lanskap memiliki pertimbangan bahwa cakupan managemen jenis spesies dalam luas jarak (range) yang relatif besar, namun relatif kecil terhadap jarak geografi (range geographic) (Bestelmeyer dkk, 2003). Menurut Forman dan Godron (1986) terdapat 3 fokus dalam mempelajari ekologi landskap, yaitu “struktur”, yang terdapat hubungan interaksi spasial diantara elemen khususnya ekosistem; “fungsi”, didalam hubungan tersebut terdapat aliran energi, material, dan spesies di dalam komponen ekosistem; “perubahan”, terdapat perubahan karakter mengenai struktur dan fungsi di dalam mozaik ekologi di setiap waktunya. Kondisi dan tuntutan komunitas ekologi (ekosistem) pada berbagai tempat memiliki potensi yang beranekaragam dan pola interaksi yang spesifik. Setiap lanskap akan memiliki dan atau tersusun berbagai karakteristik kelola dan perilaku komunitas ekologi (tidak terkecuali manusia). Konsep diversifikasi kelola meletakkan pertimbangan dasar pencapaian kelestarian ekosistem berkelanjutan, dapat tercapai Stand Ecosystem Landscape Biosphere Functional value Trees Soils Yield Stand dynamics Flora and fauna habitats Biogeochemical cycling Ecosystem functioning Spartial patterns Landscapestructure Interactions between landscapeelement Game behaviour Hydrology Nutrient cycling Vegetation dynamics Landscape ecology Land in the biosphere Global cycles Biodiversity
  • 6. 6 bila berbasis komunitas yang spesifik (Bastian dan Steinhardt, 2002). Diversifikasi kelola lahan pada suatu kawasan memberi peluang pilihan sistem atau regime untuk digunakan atas dasar pertimbangan kesesuaian terhadap kondisi setempat (adaptif). Berbagai diversifikasi sistem kelola dapat diwadahi melalui satu kesatuan unit dengan batas (boundary) yaitu lanskap. Perubahan cara pandangan mengenai ekosistem sebagai layanan lingkungan dan tidak menjadi obyek dalam eksplorasi juga banyak diperkenalkan para peneliti. Pasar dan pemerintah memiliki pengaruh mereka sendiri dalam skala dan ruang lingkup, keduanya akan gagal untuk memberikan jasa ekosistem yang memadai dalam lebih luas dan ditambah sistem alamiah - sosial masa depan, kemudian perlu menemukan regulator ketiga yang bekerja untuk mengelola dan melindungi nilai-nilai alam dan sosial yang luas lewat penyediaan layanan ekosistem berkelanjutan (Wang et al, 2013). Gambar 3. Kerangka hubungan antara ekosistem alam dengan sistem sosial dan ekonomi (Wang et al, 2013). Cara pandang mengenai kelembagaan juga telah bergeser setelah istilah keberlanjutan pembangunan pertama kali diperkenalkan. Terpinggirkannya nilai ekologi dalam pola pikir menjadi permasalahan yang timbul. Padahal nilai ekologi memiliki cakupan yang sangat kompleks, dapat juga luas dan lengkap, dan memungkinkan dapat membuat pengelola tidak puas karena jawaban-jawaban yang diberikan akan muncul tidak seketika atau dalam tempo yang pendek namun muncul dalam tempo yang panjang besar (Mitchell et al, 2010). Ini yang menjawab mengenai masalah bencana-bencana alam selalu timbul namun tidak diketahui penyebab secara kasap mata secara kontras disebabkan perubahan yang diberikan dalam tempo yang panjang. Dalam kasus politik pembangunan global dari tahun 1980 sampai dengan sekarang ini, menunjukkan bahwa ide-ide baru dan makna tentang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan tata kelola hutan telah mulai dilembagakan dari waktu ke waktu, diwujudkan dengan dalam bentuk kemitraan, program sertifikasi dalam instrumen voluntary, dan pemberdayaan para aktor (Buizer dan Arts, 2009). Bentuk kemitraan pengelolaan hutan menciptakan konteks kelembagaan untuk tata kelola hutan yang baik dan pengelolaan hutan lestari dengan merangsang keterlibatan masyarakat lokal (Mirjam et al, 2008). Pentingnya kemitraan sebagai lembaga, justru terletak dalam menjadi konsep wadah yang merupakan hasil langsung dari desain
  • 7. 7 voluntary, tidak terbatas dan berorientasi pada implementasi (Mert, 2009). Para pihak akan mampu menciptakan aksi bersama dengan mengabungkan aset, pengetahuan, ketrampilan dan kekuasaan politik berbagai tingkatan (Mirjam et al, 2008). Walaupun pengembangan kelembagaan publik berlanjut, ruang politik yang baru untuk dunia tata kelola hutan telah muncul dengan keterlibatan para aktor privat dalam otoritas pengambilan keputusan, yang sebelumnya hak preogratif negara berdaulat (Ingrid et al, 2007). Wacana pembangunan berkelanjutan sebelumnya membuka pintu koalisi menggabungkan kepentingan ekonomi dengan tujuan ekologis, dimana dalam segi aturan menimbulkan periode terutama voluntary dan regulasi dan perjanjian privat muncul menjadi ada yang mampu menerapkan tujuan yang terintegrasi serta dikombinasikan dari intervensi pemerintah (Buizer dan Arts, 2009). Keterlibatan aktor privat membentuk regulasi untuk urusan publik. Regulasi privat dalam urusan publik telah mengambil empat bentuk kelembagaan (Ingrid et al, 2007) : 1. Inisiatif bisnis 2. Inisiatif masyarakat sipil 3. Kemitraan lintas sektoral swasta (aliansi strategis antara masyarakat sipil dan bisnis). 4. Kemitraan lintas sektoral publik-swasta (aliansi strategis antara pemerintah dan usaha dan atau sipil masyarakat). Dengan munculnya ruang politik baru, tata kelola hutan global berubah dengan cepat. Dari stuktur yang tunggal (sentrik) dengan negara mengatur keseluruhan hutan menjadi struktur tampak lebih kompleks dan beragam dengan keterlibatannya masyarakat sipil dan bisnis dalam proses pengaturannya. Sistem pengaturan privat ini berbeda dengan pengaturan publik dalam hal skala (segi waktu, ruang dan ukuran), tujuan spesifik dan berarti, diskursus dan arsitektur (Ingrid et al, 2007). Kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan muncul pada the world summit on sustainable development yang diselenggarakan di Johannesburg tahun 2002 yang merupakan mekanisme baru tata kelola lingkungan dengan titik persimpangan tiga wacana penting dalam politik global yaitu demokrasi partisipatif, tata kelola privat, dan pembangunan berkelanjutan (Mert, 2009). Ini menjadi perdebatan bersama dengan pergeseran wacana pembangunan berkelanjutan diatas. Selanjutnya Mert (2009) berpendapat tidak akan mungkin kemitraan akan menghilang dari tata kelola lingkungan global yang disebabkan semua orang memanfaatkan orang lainnya, apabila ada alternatif non kemitraan dimana artinya tidak menjual akan lebih baik (Mert, 2009). Dari runutan sejarah panjang pengelolaan hutan tidak akan lepas dari permasalahan mengenai etika pengelolaan dan etika profesi. Belajar dengan kearifan religi dan etika masyarakat kuno dalam menghormati hak-hak hidup baik vegetasi/tumbuhan yang terefleksikan dengan budaya masyarakat dan gaya hidup serta menyakini dengan kuat terhadap keberlangsungan hidup dengan menggunakan sumberdaya alam dengan arif merupakan pembelajaran yang berharga terhadap pengelolaan modern (Senanayake dalam Halminton, 1994). Dengan demikian ilmu pengetahuan mengenai pengelolaan SDA tidak hanya berhubungan mengenai benar salah saja, namun juga melihat problematika dirasa memiliki kekuatan kebaikan dan keindahan dalam implementasinya. Masalah kerusakan hutan, fragmentasi, deforestasi, erosi, degradasi lahan (kesuburan rendah), banjir, dan banyak lagi persoalan yang tidak menjamin keberlangsungan hidup menjadi masalah etika didalam penghormatan hak-hak mahkluk lain dan kehilangan keseimbangan fungsional makhluk lain tersebut. Tanggungjawab itulah yang sebenarnya dirasa semakin sempit dalam sikap dan
  • 8. 8 tindakan pengelolaan SDA. Ini memerlukan pengembangan sumberdaya manusia yang memiliki etika lingkungan hidup di dalam pengelolaan SDA. Masalah yang kedua yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan pengelolaan ekologi lestari adalah moral. Tindakan moral merupakan kriteria mengenai kualitas baik-buruknya hidup seseorang dalam memandang sesuatu hal di luar dirinya sendiri. Jika dikatakan seseorang memenuhi tindakan moral yang baik, ia perlu mendasarkan pada tindakan-tindakan pada prinsip-prinsip moral yang ada pada budaya kognitif arif dan religi. Para profesi harus memiliki kesadaran yang kuat mengenai permasalahan yang terjadi tidak lepas dari permasalahan pemenuhan hasrat moral yang berlebihan dan keserakahan ekonomi. Gerakan yang menuntut dan didasarkan pada perubahan paradigma secara mendasar dan revolusiner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup (Keraf, 2010). Sebuah revolusi dalam perilaku manusia sangat diperlukan jika manajemen jasa ekologi adalah untuk mencapai keberlanjutan. Hal ini memerlukan pendekatan holistik dan integratif, karena tidak hanya tradisional, sempit, ekonomi, solusi politik dan ilmiah saja tidak cukup mengatasi pemanfaatan berkelanjutan dari ekologi alamiah. Layanan ekosistem adalah fokus utama, dan tujuannya adalah untuk mendapatkan keberlanjutan ekologis, sosial keadilan, dan efisien secara ekonomi, kultural nilai-nilai dan norma-norma sosial mengerahkan pengaruh kuat pada dan dapat mendominasi kebijakan sosio-ekonomi. Upaya lebih harus ditujukan untuk mendorong duniawi, perubahan budaya yang memungkinkan perintah sosial yang lebih baik yang mendukung integrasi harmonis manusia dengan lingkungannya. Mengarahkan pengembangan budaya membutuhkan lengkap pemahaman tentang evolusi budaya yang berbeda masyarakat (Wang et al, 2013). Didalam lingkup nasional, pembentukan SDM yang memiliki etika dan moral sebenarnya sudah didorong dengan pendekatan pada religi dan norma-norma budaya leluhur. Namun nampaknya dorongan tersebut tidak begitu kuat dalam memberi pemahaman mengenai nilai dan etika terhadap lingkungan dan sumberdaya alam. Sebelumnya, telah dilakukan kesepakatan bersama perwakilan rimbawan (profesi Kehutanan) dalam mendeklarasikan gerakan revolusi dalam keinginan merubah cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup dalam norma etika profesi rimbawan. Pada tanggal 29 Oktober 1966 di Kaliurang mendeklarasikan gerakan moral dan etika dalam kehutanan dengan Landasan Idiil Penuaian Tugas Rimbawan Dalam Bidang Hutan dan Kehutanan, sebagai berikut; 1. Hutan adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang berupa sumber kekayaan alam yang serbaguna sebagai manifestasi dari sifat maha murah serta maha kasih dan Tuhan yang Maha Kuasa sendiri. 2. Hutan dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tempat, waktu, iklim, keadaan sekelilingnya dan faktor-faktor lainnya. Apapun bentuk yang dimilikinya dan menjadikan wujud sementara bagi hutan itu, pada hakekatnya selalu merupakan pengejawantahan sementara dari lima unsur pokok yang mengakibatkan adanya apa yang dinamakan hutan itu, ialah : bumi, air, alam hayati, udara dan sinar matahari. Tanpa salah satu unsur-unsur itu secara mutlak mengakibatkan tidak adanya hutan. 3. Dengan demikian, maka memanfaatkan hutan, pada hakekatnya adalah memanfat adanya lima untur tersebut, ialah mengarahkan panca-daya ini kepada suatu bentuk tertentu pada tempat dan waktu yang diperlukan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia lahir dan bathin sebesar-besar mungkin tanpa mengabaikan kelestarian guna dan manfaatnya.
  • 9. 9 4. Bentuk yang dihasilkan oleh pengarahan panca-daya secara sadar ini dapat berwujud hutan lindung alami di gunung, yang mutlak perlu untuk ketertiban tata air, dan atau hutan produksi dalam segala bentuknya antara lain hutan industri dan lain sebagainya. Kesemuanya ini merupakan sumber kesejahteraan secara lestari bagi manusia kini dan manusia kemudian hari sebagai pengejawantahan dari sifat Maha Murah dan maha kasih dan Tuhan seru sekalian alam. 5. Berapa besar manfaat hutan sebagai anugerah tersebut tidaklah dibatasi oleh keadaan hutan itu sendiri, melainkan semata-mata oleh kemampuan manusia, sampai dimana ia sanggup memanfaatkan anugerah Tuhan tersebut untuk kepentingan dirinya, bagi penyelenggaraan kesejahteraan, baik materiil maupun spiritual. 6. Rimbawan menunaikan tugas mengurus hutan dan kehutanan wajib menanggapi tugas tersebut sebagai menerima amanat dari ummat manusia untuk memanfaatkan pemberian Tuhan yang berupa hutan ini sebesar-besar mungkin secara lestari sebagai tanda terima kasih dan bakti manusia terhadap Tuhan Yang Maha Murah dan Maha Kasih. 7. Kenyataan-kenyataan dan pengakuan adanya kenyataan-kenyataan tersebut diatas adalah merupakan landasan abadi bagi penunaian darma bakti Rimbawan, dimana dan pada waktu atau zaman apa Rimbawan itu berada. Rimbawan yang ber-Pancasila yang telah mengikrarkan dirinya menjalankan segala tugas untuk kepentingan Nusa dan Bangsanya dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan pada tanggal 4 November 1999 di Cangkuang Sukabumi telah dikeluarkan Deklarasi Cangkuang. Deklarasi tersebut telah ditandatangai oleh 81 orang yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Seorang Rimbawan dalam menunaikan tugas mengurus hutan dan kehutanan wajib menyikapinya sebagai amanah untuk memanfaatkan hutan secara optimal dan lestari. Menyadari bahwa kondisi hutan telah menurun baik kualitas dan kuantitasnya, menuntut tanggung jawab, upaya dan kerja keras Rimbawan untuk memulihkannya. Deklarasi Cangkuang telah melahirkan kode etik rimbawan Indonesia. Rimbawan adalah seseorang yang mempunyai pendidikan kehutanan dan atau berpengalaman di bidang kehutanan dan terikat oleh norma- norma sebagai berikut: 1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menguasai, meningkatkan, mengembangkan dan mengamalkan ilmu dan teknologi berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan 3. Menghargai dan melindungi nilai kemajemukkan sumber daya hutan dan sosial budaya setempat. 4. Menjadi pelopor dalam setiap upaya pendidikan dan penyelamatan lingkungan dimanapun dan kapanpun Rimbawan berada. 5. Bersikap objektif dalam melaksanakan segenap aspek kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan berdarma bakti 6. Berperilaku jujur, bersahaja, terbuka, komunikatif, bertanggung-gugat, demokrasi, adil, ikhlas dan mampu berkerja sama dengan semua pihak sebagai upaya dalam mengembangkan profesinya.
  • 10. 10 7. Bersikap tegar, teguh dan konsisten dalam melaksanakan segenap bidang gerak yang diembannya, serta memilki kepekaan, proaktif, tanggap, dinamis dan adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhinya baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global. 8. Mendahulukan tugas Rimbawan dan kepentingan umum (public interest) saat ini dan generasi yang akan datang di atas kepentingan-kepentingan lain. 9. Menempatkan hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan martabat dan integrasi bangsa di tengah bangsa-bangsa lain sepanjang zamamn. 10. Menjunjung tinggi dan memelihara jiwa KORSA Rimbawan. Namun nampaknya kode etik ini tidak dibarengi badan dan aturan main yang jelas yang memberi sanksi tegas para profesional yang melanggar kode etik tersebut. Kode etik ini akan melindungi anggotanya dalam melakukan perbuatan sesuai dengan etika dan moral, kemudian mengeluarkan anggotanya yang terlibat dalam pelanggaran etika tersebut (Irland, 2007). Nampaknya kode etik yang sudah tercipta masih menjadi masih menjadi slogan dan hutan masih merana. IV. Diskusi Cara Pandang dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menyimak perkembangan ilmu pengetahuan yang syarat dipengaruhi cara pandang manusia berkenaan dengan alam sekitar. Runutan cara pandang dan perkembangan ilmu pengetahuan dapat dilihat pada Gambar 4. Cara pandang mengenai dimensi alam, budaya dan religi masyarakat kuno memandang sumberdaya alam sebagai tempat untuk hidup yang dinyakini sebagai bentuk budaya dan religi dalam menjalin keseimbangan alam. Isu mengenai perlunya pemanfaatan sebesar-besarnya untuk pembangunan berkelanjutan membawa pengaruh besar terhadap akses sumberdaya alam dan kemiskinan. Cara pandang mekanistis-reduksionistis merupakan realitas sumberdaya alam dipandang sebagai mekanis (mesin) bisa dianalisis dan diprediksikan secara terpisah serta memandah hanya satu atau beberapa aspek saja tanpa keterkaitan satu dengan yang lain yang lebih komprehensif dan holistik (Keraf, 2010). Hal ini yang memisahkan antara obyek dengan subyek, memisahkan fakta dan makna, nilai. Kemudian memandang mengenai dimensi sosial dan dimensi nilai dan etika. Kedepan cara pandang yang mengedepankan nilai dan etika banyak dikaji untuk riset seperti layanan ekosistem (basis ekologi), bentuk pengelolaan konservasi, bentuk pengelolaan holistik, pengelolaan adaptif, kompensasi dan insentif, skema REDD, pola hidup, gaya hidup dan tema-tema lainnya.
  • 11. 11 Gambar 4. Cara Pandang dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan V. Penutup Era pengelolaan hutan telah menempung perjalanan panjang. Adapun perkembangan terakhir adalah era pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management(SFM)) sebagai tujuan utamanya optimalisasi dari fungsi-fungsi ekonomi, ekologis dan sosial dengan ruang lingkup masih partial dan tidak terintegrasi dengan pengelolaan satu dengan yang lain dan atau bentuk pengelolaan yang lain. Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan juga semakin terpinggirkan. Selama ini keterlibatan masyarakat semakin dipinggirkan yang menimbulkan masalah lingkungan. Didalam perkembangannya, terdapat anomali mengenai permasalahan kerusakan hutan, fragmentasi, deforestasi, erosi, degradasi lahan (kesuburan rendah), banjir, keprihatinan sosial dan banyak lagi persoalan yang tidak menjamin keberlangsungan hidup dan resiko yang tinggi. Banyak peneliti memperkenalkan konsep pengelolaan landskap berbasis kelestarian nilai ekologi dalam menutupi kelemahan tersebut. Harapannya unit satu kesatuan kelola itu diperluas secara spasial dalam unit landskap dalam kelola holistik dan integratif dengan merubah cara padangannya ke arah kelestarian ekologi. Keterlibatan aktif masyarakat dan aktor dalam mengatasi masalah tersebut sangat dibutuhkan secara kuat yang dirasa dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan. Namun permasalahannya tidak hanya itu saja, namun juga menyangkut dimensi nilai dan etika beserta moral pengelola sumberdaya alam tersebut. Kode etik sudah terbangun, nampaknya ini
  • 12. 12 hanyalah slogan namun belum menjadi fundamental etika dan moral bagi pelaku kerusakan. Pendekatan religi dan budaya leluhur nampaknya perlu dilakukan guna merubah cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup yang didekatkan pada saling menghormati hak-hak hidup makhluk hidup lainnya dan arif dalam menggunakan sumberdaya alam. Daftar Pustaka : Amaranthus, M.P. 1997. Forest Sustainability: an Approach to Definition and Assessment at the Landscape Level. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-416. USDA Forest Service. Washington. Baskent, E.Z. dan Yolasigmaz H.A. 1997. Exploring the Concept of Forest Landscape Management Paradigm. Turk J Agric For 24 (2000) 443-451 TUBITAK. Turkey. Bestelmeyer, B.T., J.R. Miller, dan J.A. Wiens. 2003. Applying Species Diversity Theory to Land Management. Ecological Applications, 13(6), the Ecological Society of America. Buizer, M., dan Arts, B. 2009. Forests, discources, institutions a discursive-institutional analysis of global forest governance. Journal Forest Policy and Economics 11, 340-347. Colfer, C.J.P. 2011. Marginalized forest peoples’ perceptions of the legitimacy of governance: an exploration. Journal World Development vol. 39, No.12, 2147-2164. Diaz, N. dan Apostol, D. 2005. Forest Landscape Analysis and Design: A Process for Developing and Implementing Land Management Objectives for Landscape Patterns. USDA Forest Service. Washington. Forman, R.T.T. dan M. Godron. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons, Inc., New York. Ingrid, J., Hamakers, V., dan Glasebergen, P. 2007. Partnerships in forest governance. Journal Global Environmental Change 17 : 408-419 Irland, L.C. 2007. Professional Ethics for Natural Resource and Environmental Managers: A Primer. Yale School of Forestry & Environmental Studies. ITTO. 2005. Restoring Forest Landscapes: An Introduction to the Art and Science of Forest Landscape Restoration. Technical Series No. 23. International Tropical Timber Organization. Kapos, V., A. Newton, G. Smith dan K. Wilson. 2005. Spartial Analysis as a Decision Supported for Forest Landscape Restoration. UNEP-WCWC. Keraf, S. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Kimmins J.P. 1997. Forest Ecology: A Foundation for Sustainable Management. Prentice Hall, N.J., USA. Lavers, C.P. dan R. Haines Young. 1993. Equilibrium landscapes and their aftermath: spatial heterogeneity and the role of new technology. dalam Landscape ecology and geographicinformation systems, edited by R. Haines-Young, D.R. Green, and S. Cousins. London: Taylor and Francis. Marell, A., O. Laroussinnie, N. Krauchi, G. Matteucci, F. Anderson dan E. Leitgeb. 2003. Scientific Issues Related to Sustainable Forest Management in an
  • 13. 13 Ecosystem and Landscape Perspective. Technical Report 1. COST Action E25. ECOFOR. Paris. McGarigal, K., dan Marks, B.J.. 1994. Fragstats: Spartial Pattern Analysis Program for Quantifying Landscape Structure(Vesion 2.0) (Corvallis: Forest Science Department, Oregon State University). Mert, A. 2009. Partnerships for sustainable devolepment as discursive practice: Shifts in discourses of enviroment and democracy. Journal Policy and economics 11, 326-339. Mirjam, A.F., Ros-Tonen, van Andel, T., Morsello C., Atsuki, K., Rosenda, S., dan Scholz, I. 2008. Forest-related partnerships in Brazillian Amozonia: There is More to sutainable forest management than reduced impact logging. Journal Forest Ecology and Management 256, 1482-1497. Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.H. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dam Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Orsi, F., Geneletti, D., dan Newton, A.C. 2010. Towards a common set of criteria and indicator to identify forest restoration priorities: An expert panel-based approach. Ecological indicators 11 (2011) 337-347. Pearson, P. 1994. Energy, Externalities and Environmental Quality: Will Development Cure the Ills it Creates?', Energy Studies Review, Vol: 6 (3) :199-216 Portman, M.E. 2013. Ecosystem services in practice: Challenges to real world implementation of ecosystem services across multiple landscapes - A critical review. Applied Geography 45: 185-192. Senanayake, R. The religious dan ethical Tradition of Ancient and Contemporary Australia: Its Role in The Setting of Modern Goals dalam Hamilton, L.S dan Takeuchi, H.F.(ed). 1993. Ethics, Religion and Biodiversity. The White Horse Press. Cambridge. Seppert, R. 2003. Computer Based Environmental Management. Wiley VCH Verlag GmbH and Co. KgaA. Weinheim. Simon, H. 2004. Membangun kembali hutan Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Suhendang, E. 2013. Pengantar Ilmu Kehutanan. IPB Press. Bogor. Wang, S., Fu, Bojie., Wei, Yongping., dan Lyle, C. 2013. Ecosystem Services Management: an Integrated Approach. Environmental Sustainability 5:11- 15.