Teks tersebut membahas hasil uji TIMSS 2011 yang menunjukkan prestasi siswa Indonesia dalam matematika dan IPA sangat rendah. Ada beberapa masalah utama yang disebutkan, yaitu: 1) pengajaran matematika dan IPA yang terlalu menekankan hafalan tanpa pemahaman; 2) ujian nasional yang hanya mengukur pengetahuan rendah; 3) kurangnya budaya ilmiah di sekolah. Teks ini menyarankan beberapa strategi untuk memperbaiki situasi
2. Untuk soal ini, siswa kita performanya tinggi, mereka di atas rata-rata dunia. Bahkan siswa-siswa kita di
atas teman sebayanya di Amerika Serikat. Sebagai tambahan, Australia, Norwegia, dan Selandia Baru
bahkan di bawah rata-rata.
Namun demikian, pada soal sains lain yang juga dari domain Mengetahui, yakni soal berikut ini (TIMSS
2011 Science: 130) hasilnya sangat buruk.
Pada soal ini, siswa-siswa kita langsung merosot di urutan ke lima dari bawah, jauh di bawah rata-rata
dunia. Jadi, walaupun sama-sama tataran kognitif Mengetahui, pada dua soal itu ada perbedaan yang
sangat besar.
Pada soal pertama di atas, siswa sekedar menyampaikan ulang tentang informasi yang diserap. Namun,
pada soal ke-dua di atas, siswa juga dituntut untuk mengolah informasi. Kecuali itu, pada soal terakhir
ini, siswa dituntut untuk membuat keputusan, karena kemungkinan soal yang disajikan di atas tidak
sama persis dengan yang biasa ditemui di kelas. Tetapi pada soal pertama, penyajian soal kemungkinan
besar sama, rutin seperti itu.
Dari sisi kognitif, walau dua soal itu di tataran Mengetahui, namun sebenarnya dua soal itu di tataran
yang berbeda. Yang pertama di tataran Mengingat, sedang yang ke-dua di tataran Merangkum. Ini
berarti bahwa siswa kita di tataran kognitif paling rendah, yakni Mengetahui, pun belum sepenuhnya
menguasai. Ini dikuatkan juga oleh hasil keseluruhan siswa kita yang justru paling rendah di tataran
Mengetahui (TIMSS 2011 Science: 152), yakni Mengetahui : Menerapkan : Bernalar = 378 : 384 : 388.
Dari dua soal di atas, dapat ditafsirkan bahwa siswa kita cakap di tataran Mengingat, tapi lemah di
tataran Merangkum.
Untuk tataran Mengetahui di Matematika, hasilnya tidak se-ekstrem seperti sains. Untuk soal dari
domain kognitif Mengetahui yang tatarannya Mengikuti Prosedur, walau di bawah rata-rata, 57% siswa
kita menjawab benar (TIMSS 2011 Math: 122)
3. Hasil lebih baik lagi dalam soal Aljabar (TIMSS 2011 Math: 123) berikut
Siswa kita di soal ini walau masih di bawah rata-rata, tetapi tidak dalam kuartil terbawah. Siswa kita
malah lebih baik dari dua negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand. Bahkan siswa kita lebih
baik daripada Selandia Baru untuk soal ini.
Untuk soal yang sifatnya Menerapkan dan Bernalar, siswa kita pencapaiannya rendah di Matematika
maupun Sains. Khususnya, satu soal yang siswa kita performanya terburuk di antara semua negara
peserta adalah soal di domain kognitif Menerapkan berikut (TIMSS 2011 Science: 137)
4. Pada soal yang menanyakan pada saat kapan seorang penerjun payung itu terkena gaya gravitasi,
tampaknya siwa kita masih salah mengerti.
Pseudo-mathematics dan Pseudo-science
Hasil pencapaian siswa kita di TIMSS 2011 Matematika dan Sains tentunya bukan sesuatu yang
mengejutkan. Pertama hasil ini konsisten dengan hasil TIMSS dan PISA (Programme for International
Student Assessment) di periode-periode sebelumnya. Kedua, hasil ini konsisten dengan pernyataan para
matematikawan dan saintis tentang keadaan pendidikan MIPA di Indonesia.
Hasil di atas sejalan dengan dugaan penulis melalui pengamatan kegiatan pembelajaran yang terjadi
secara aktual. Pengajaran matematika dan IPA yang menekankan pada penyerapan informasi dan
penghafalan rumus serta mengabaikan pemahaman merupakan sumber penyebabnya. Sebenarnya,
pelajaran di Indonesia umumnya belum membelajarkan Matematika dan Sains. Siswa masih diposisikan
sebagai spons penyerap fakta, tanpa perlu mengolahnya. Matematika dan sains hanya sekedar kata
benda, bukan sebuah kata kerja yang memiliki nuansa petualangan. Pelajaran “matematika” yang
mengabaikan langkah utama seperti meragukan, mempertanyakan, dan membuktikan itu diistilahkan
sebagai Matematika Semu atau Pseudo-mathematics. Secara sejajar, pelajaran sains yang mengabaikan
proses bersains, disebut Pseudo-science. Kerap, pada taraf parah, pseudo-science lebih menerapkan
pencocokan daripada pengujian dan argumentasi.
Paul Lockhart menunjuk pseudo-mathematics, dalam artikel A Mathematician’s Lament 5, bukan saja
diterapkan dalam praktik pengajaran matematika, tetapi sudah membangun sebuah budaya yang buruk.
Budaya buruk yang subur di kalangan siswa, dan juga guru matematika itu menomorsatukan manipulasi
lambang yang tampak akurat, walaupun nirnalar. Budaya buruk ini juga telah menciptakan nilai sendiri,
yakni penghargaan pada hasil serta mengabaikan argumentasinya. Secara persisnya, Lockhart
mengatakan:
“… the perpetuation of this `pseudo-mathematics,’ this emphasis on the accurate yet
mindless manipulation of symbols, creates its own culture and its own set of values.”
Karena Ujian Nasional (UN) sifatnya mengukur domain kognitif yang teramat rendah, yakni Mengingat
dan Mengikuti Prosedur, ini sangat cocok dengan budaya buruk tersebut. Bahkan, nilai “yang penting
dapat memilih jawab yang tepat, walaupun tak memahami pernalarannya” sangat diuntungkan atau
disuburkan dengan UN yang mutunya teramat jelek itu. UN ini menguatkan keyakinan keliru siswa,
bahwa “belajar sama dengan menghafal.”
Nilai-nilai buruk di atas ditambah dengan penerapan UN yang mengukur kognitif teramat rendah dan
bersifat high-stakes merusak budaya belajar dan bernalar siswa. Tentunya sangat berlebihan jika
menuntut tumbuhnya budaya ilmiah. Secara umum, kondisi pendidikan MIPA serta kebijakan
pendidikannya sekarang sangat tak menguntungkan perkembangan budaya ilmiah. Kebiasaan serta
sikap ilmiah mencakup mempertanyakan, meragukan, menyelidiki, membuktikan, menghargai hak
5
Diunduh di www.maa.org/devlin/lockhartslament.pdf , hal. 6
5. pendapat orang lain, memahami bahwa kemungkinan ada kebenaran di pendapat orang lain, dsb benar-
benar tak dapat tumbuh di persekolahan kita.
Secara khusus, Pembuktian yang merupakan unsur utama dalam matematika telah diabaikan. Penelitian
yang dilakukan mahasiswa penulis terhadap proses pembuktian ini, ditemukan bahwa guru dan siswa
sudah mengabaikannya. Bahkan buku teks matematika yang resmi pun tak menyertakan pembuktian
lagi. “Mengapa perlu mengajar atau belajar pembuktian, jika UN tak pernah menanyakannya?”
demikianlah argumentasi guru dan siswa.
Pembudayaan ilmiah
Jika pengajaran Matematika dan Sains Semu diteruskan, bukan saja akan menggagalkan perkembangan
sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika, tetapi akan berdampak langsung pada kehidupan
sosial di masyarakat 6. Oleh karenanya, harus dirancang secara seksama strategi guna menyebarkan dan
menyuburkan pembudayaan ilmiah.
Yang pertama harus dibenahi adalah program pendidikan penyiapan guru matematika dan IPA.
Programnya harus menekankan pada pemahaman konsep matematika dan sains, serta membuat calon
guru mengalami kegiatan bermatematika dan bersains secara sungguh-sungguh. Secara khusus, harus
ditekankan penguasaan domain kognitif Menerapkan dan Bernalar. Calon guru perlu mengalami
langsung kegiatan bertanya, bernalar, berkomunikasi kompleks, berdebat, sekaligus melakukan kegiatan
berpikir tingkat rendah. Kurikulum pendidikan calon guru MIPA harus secara eksplisit mengutamakan
proses berbudaya ilmiah itu. Ini syarat mutlak untuk menjadi guru matematika dan sains. Kemudian,
program pendidikan guru perlu dikembangkan guna meningkatkan gairah membelajarkan MIPA. Ini
terkait pula dengan pemberdayaan guru serta penyadaran atas perannya dalam pembangunan bangsa.
Juga yang tak kalah penting dalam program penyiapan guru MIPA itu adalah peningkatan kecakapan
pemanfaatan teknologi dalam membelajarkan matematika dan sains. Dengan semakin tersedianya
teknologi informasi yang handal dan terjangkau, pembelajaran MIPA dengan falsafah klasik seperti
konstruktivisme semakin relevan. Mewujudkan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran MIPA
dengan bantuan teknologi semakin mudah.
Untuk guru yang sudah bertugas, perlu dibuatkan program pelatihan yang terstruktur guna
mengembangkan dua unsur seperti di atas, yakni: Penguasaan konsep MIPA dan peningkatan gairah
membelajarkan. Termasuk di sini adalah kecakapan guru dalam menciptakan budaya ilmiah yang
mengundang setiap siswa mengembangkan serta merawat budaya ilmiah tersebut.
Namun, perlu dipahami pula, karena keadaan Republik Indonesia yang sangat luas dan banyak daerah
tempat guru bertugas sangat sulit dijangkau, perlu sebuah strategi cerdas guna program pelatihan bagi
guru itu mencapainya. Salah satu strategi yang sangat terjangkau saat sekarang adalah pemanfaatan
teknologi informasi bagi penyebaran pelatihan-pelatihan tersebut secara elektronik. Program
pendidikan atau pelatihan nirdinding ini saat sekarang satu-satunya cara yang masuk akal untuk
6
Iwan Pranoto, Menegur kembali pentingnya pembangunan budaya ilmiah, Pertemuan AIPI, Jakarta, 7 November
2012.
6. membina para guru di pelosok. Dengan membuat program pelatihan yang menarik serta tepat pada
kebutuhan para guru, program pelatihan nirdinding melalui Internet ini akan efektif. Juga perlu
dibangun sebuah forum tempat guru dapat berbagi praktik terbaiknya (best practices) ke guru-guru
lainnya.
Saat sekarang guru tersandra dengan berbagai hal. Pertama, para guru terpasung pada sistem
kepegawaian yang sifatnya birokratis dan normanya adalah kepatuhan. Padahal guru yang mampu
membelajarkan bernalar haruslah guru yang merdeka dalam berpikir. Norma kepatuhan tersebut akan
membuat guru tak merdeka dan dampaknya siswa pun tak akan mampu merdeka dalam bernalar.
Kemudian, guru juga tersandra dengan sistem penilaian kinerja yang berdasar tradisi jalan pintas.
Misalnya, guru diukur performanya berdasarkan nilai UN siswanya. Ini akan merusak budaya
kepemimpinan melayani (service leadership) dari guru secara total, sungguh-sungguh. Untuk itu, harus
ada kemauan penentu kebijakan bukan untuk membuat aturan baru, tetapi justru meninjau aturan yang
ada serta menghapuskannya jika dipandang tak sesuai dengan penumbuhan budaya ilmiah.
Standar Isi yang ada sekarang perlu dievaluasi ulang. Khususnya, penggunaan kata kerja dalam dokumen
Standar Isi perlu ditinjau ulang. Kata-kata kerja yang digunakan haruslah yang operasional serta
mewujudkan tataran kognitif menerapkan dan bernalar, agar guru dapat menerjemahkannya menjadi
kegiatan pembelajaran di kelas yang secara langsung mengembangkan budaya ilmiah.
Sedang untuk AIPI, dapat menunjukkan kepeloporannya dalam menyadarkan masyarakat serta politisi
atas mendesaknya pengembangan budaya ilmiah. Melalui Internet, AIPI dapat berperan lebih banyak
lagi dalam advokasi masyarakat guna penguatan budaya ilmiah. Juga menghadapi suburnya
ketakpedulian kolektif seperti sekarang bagi pengembangan sains, AIPI perlu menunjukkan
kepeloporannya, seperti melakukan studi-studi terhadap kebijakan pendidikan sains.