SlideShare a Scribd company logo
1 of 82
Penanggungjawab : Abetnego Tarigan
Dewan Redaksi : Khalisah Khalid, Nurhidayati,
Ahmad SH, Pius Ginting, Dedi Ratih, M Islah,
Zenzi Suhadi, Tumpak Hutabarat
Redaktur Pelaksana : Irhash Ahmady
Editor : Khalisah Khalid, Irhash Ahmady
Design dan Layout: perfarmerLab.Studio
Penerbit : Walhi Eknas
Distributor : Suhardi, Harno
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
JL. Tegalparang Utara 14,
Mampang-Jakarta Selatan 12790
T/F: +6221 79193363/7941673
E: informasi[at]walhi.or.id
W: http://www.walhi.or.id
Kata Pengantar
Prolog
Sistem Masyarakat Setengah Jajahan dan Setengah
Feodal: Akar Sejati Monopoli Tanah dan Sumber Kekayaan
Alam Indonesia
Hary Prabowo
BUMN Sebagai Instrumen Ekonomi Kerakyatan
Dani Setiawan
BUMN Sektor Perkebunan sebagai “Bancakan” partai politik
dan elit politik di eksekutif dan legislative
Uchok Sky Khadafi
Reforma Agraria di Perkebunan, Bilakah?
(Kajian Konflik Agraria dan Gagasan Pembaruan Agraria di
Sektor Perkebunan)
Usep Setiawan
Eksistensi PTPN XIV Takalar Atas Praktik Perampasan Tanah
Masyarakat Polongbangkeng
Zulkarnain Yusuf
Praktik Perampasan Tanah Rakyat oleh PTPN VII Unit Cinta
Manis
Anwar Sadat
Daftar Isi
...................................................... 65
...................................................... II
...................................................... 1
...................................................... 19
...................................................... 31
...................................................... 40
...................................................... 51
...................................................... I
JURNAL TANAH AIR / DESEMBER 2012 - JANUARI 2013
I
Sejatinya, kekayaan alam dikelola untuk kesejahteraan, kemakmuran dan keselamatan
rakyat. Tentulah bukan saja untuk generasi yang ada hari ini, melainkan untuk juga generasi yang
akan datang. Berpegan itulah WALHI meyakini bahwa tata kelola kekayaan alam harus
berbasiskan pada prinsip keadilan baik secara ekonomi, sosial, budaya dan berkeadilan secara
ekologis. Tanpa itu, yang terjadi adalah ketimpangan, kemiskinan, pelanggaran hak asasi
manusia dan bencana ekologis. Demikian juga halnya dalam tata kelola perkebunan khususnya
perkebunan berbasis komoditas seperti teh, tebu, atau sawit yang sampai saat ini masih
dimonopoli penguasaannya oleh segelintir orang atau kelompok.
Tanah Air edisi perdana di masa kepengurusan WALHI 2012-2016 ini hadir ke hadapan
ibu/bapak, anggota WALHI, mitra dan sahabat WALHI. Kali ini Tanah Air mengangat judul “politik
gula dan konflik yang tak berujung; relasi ekonomi politik dan perampasan tanah oleh BUMN
Perkebunan”, sebagai sebuah kritik dan solusi yang ditawarkan dalam melihat konflik agraria di
perkebunan milik badan usaha milik negara (BUMN).
Tanah Air sendiri merupakan jurnal yang diproduksi oleh WALHI, bukan sebagai media
outreach semata. Jurnal Tanah Air ini diharapkan menjadi “media” transformasi dan kelola
pengetahuan dari orang perorang, menjadi pengetahuan bersama. Yang utama, tentu
diharapkan, Tanah Air ini menjadi alat advokasi atau pembelaan terhadap isu lingkungan dan
sumber daya alam, yang berlandaskan pada gagasan pemikiran baik secara teori maupun
praksis. Termasuk didalamnya memainstream nilai keadilan gender dan hak asasi manusia
dalam gerakan mewujudkan keadilan ekologis.
Sebagai organisasi publik, bagi WALHI pengetahuan memang tidak bisa diletakkan di
atas menara gading. Dialektikanya tumbuh dan berkembang bersama dengan kerja-kerja
praksis beradvokasi di lapangan dan berhadapan dengan realitas atas krisis yang dialami oleh
rakyat. Dia harus diletakkan didalam cita-cita bersama rakyat yang sampai hari ini masih hidup di
tengah krisis, dengan situasi negara yang seringkali abai dan korporasi yang kian rakus
merampas wilayah kelola rakyat.
Setelah sekian lama tak hadir menjumpai Bapak/Ibu dan Sahabat WALHI sekalian, Jurnal
Tanah Air edisi perdana ini diharapkan dapat mengobati kerinduan dan dahaga banyak pihak
terhadap pengetahuan yang dibangun dengan landasan teori dan dialektika yang tumbuh
bersama rakyat. Karenanya, dukungan dan kontribusi pemikiran para pembaca yang budiman,
menjadi asupan yang teramat penting bagi pengembangan dan keberlanjutan media
pengetahuan ini ke depannya.
Akhirnya, selamat membaca. Menyelami pikiran, gagasan, dan perjuangan yang
ditorehkan dalam setiap kalimatnya.
Kata Pengantar
Salam Adil dan Lestari,
Abetnego Tarigan
Direktur Eksekutif Nasional WALHI
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
II
Prolog
Politik Gula dan Konflik yang Tak Berujung
Relasi Ekonomi Politik dan Perampasan Tanah BUMN Perkebunan
oleh: Khalisah Khalid
J i k a m e l i h a t d a r i s e j a r a h n y a ,
pembangunan perekonomian Indonesia
memang tidak bisa dilepaskan dari semangat
nasionalisme yang ditumbuhkan untuk menjadi
sebuah bangsa yang mandiri, setelah sekian
waktu lamanya dibawah jajahan imperialisme
baik secara ekonomi maupun politik.
Perkebunan menjadi salah satu sektor strategis
yang menjadi objek dari nasionalisasi
pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang
berbentuk badan usaha milik negara (BUMN),
dimana PTPN menjadi salah satu BUMN strategis
yang menguasai dan mengelola perkebunan
dalam berbagai komoditas, sebutlah gula
salah satunya.
Sebagai sebuah unit ekonomi yang
dijalankan oleh sebuah badan usaha milik
negara, sudah menjadi keharusan pedoman
pokok dari pelaksanaan operasionalnya
mengacu pada amanat Konstitusi pada pasal
3 3 d i m a n a n e g a r a m e n g u a s a i a s e t
penghidupan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat
melalui cabang-cabang produksi strategis
untuk kepentingan nasional.
Ironinya, belum lagi cita-cita
kemandirian negara melalui unit ekonomi yang
dikelola BUMN perkebunan salah satunya,
dalam prakteknya jauh dari pelaksanaan
amanah konstitusi tersebut. Rasanya hampir
tidak beda, unit usaha yang dikuasai dan
dikelola oleh perusahaan negara dengan
pengelolaan yang dilakukan oleh swasta baik
asing maupun nasional. Bahkan, watak yang
dikritik dari kolonialisasi ekonomi di sektor
perkebunan, diduplikasi oleh BUMN.
Kebijakan perkebunan negara di
jaman Orde baru menambah beban konflik
dan persoalan agraria dan sumberdaya alam
di Indonesia. Tanah rakyat yang diambil paksa
di jaman kolonial, berlanjut pada pengambilan
paksa yang dilakukan oleh negara yang
mengambil alih eks perkebunan yang
ditinggalkan oleh kolonial Belanda. Tanah
rakyat diambil secara paksa atas nama
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Monopoli atas tanah dan sumber daya alam,
berujung pada perampasan tanah-tanah
rakyat, hilangnya sumber penghidupan rakyat
dan terdegradasinya lingkungan hingga
menghilangkan potensi varietas lain.
Perubahan skema pengelolaan
perkebunan negara dari Orde Lama yang lebih
berorientasi pada pelayan terhadap rakyat
dan membangun keberdayaan masyarakat
sekitar perkebunan, diubah menjadi
perkebunan yang berorientasi pasar dan lebih
mementingkan keuntungan besar bagi PTPN
yang ada. Akibatnya persaingan antar PTPN
tidak dapat dielakkan. Konsekuensi logis dari
hal tersebut tentu adalah hilangnya ruang
hidup dan penghidupan akibat perluasan dan
perampasan tanah oleh negara. Kekerasan
dan konflik yang terus meningkat dari tahun ke
tahun menjadi sebuah cerita yang menghiasi
perjuangan rakyat untuk mempertahankan
sumber penghidupannya.
Kritik terhadap BUMN di sektor
perkebunan tidak hanya berhenti pada soal
bagaimana monopoli mereka atas tanah dan
sumber daya alam. Tata kelola BUMN
perkebunan juga dinilai buruk. Ditengah upaya
meningkatkan persaingan terhadap
perkebunan swasta. Perkebunan Negara justru
menghadapi berbagai persoalan internal
kelembagaan, salah satunya regulasi BUMN
jauh lebih banyak daripada swasta. Ditambah
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
dengan persoalan korupsi kolusi dan
nepotisme, akhirnya badan usaha negara ini
menjadi sapi perahan dan ladang emas bagi
elit politik, partai politik, penguasa dan lain-lain.
Jurnal Tanah Air edisi kali ini mengupas
Perkebunan Gula yang dikelola oleh PTPN
dalam sebuah relasi ekonomi politik. Sedikit
banyak, pilihan tema ini memang dipengaruhi
oleh maraknya konflik agraria dan sumber
daya alam yang diadvokasi oleh WALHI dan
menjadi perhatian publik luas, antara lain yang
terjadi pada dua kebun tebu/gula milik PTPN .
WALHI mencatat lebih dari 10 kasus
konflik lahan yang berhubungan dengan PTPN.
Nyawa yang hilang, kekerasan, kriminalisasi
dialami oleh rakyat yang memperjuangkan
hak atas tanahnya di berbagai tempat, antara
lain Ogan Ilir dan Takalar. Perkebunan gula
negara tidak pernah dirasakan manisnya bagi
rakyat yang ada di sekitarnya. Secara subjektif,
pilihan tema dalam Tanah Air ini juga dilandasi
atas meningkatnya eskalasi pelanggaran hak
asasi manusia dengan pengerahan pasukan
keamanan (kepolisian) yang ditujukan untuk
mengamankan bisnisnya. Kami melihat ada
koneksi yang begitu kuat dan relasi yang saling
terikat antara kepentingan ekonomi dan
politik, sehingga praktek buruk industri gula
yang dikelola oleh badan usaha negara terus
berlangsung dan hampir tidak tersentuh secara
hukum.
J u r n a l T a n a h A i r m e n c o b a
mengangkat edisi terkait dengan praktek
buruk BUMN perkebunan gula, dalam relasinya
dengan ekonomi politik sebagai sebuah
kesatuan yang satu sama lain saling
mendukung. Analisis yang dituangkan oleh
para penulis terkait dengan politik pergulaan
dan bagaimana relasi ekonomi politiknya
menjadi jalan untuk mengembangkan
diskursus wacana kedalam kerja-kerja praksis
advokasi di lapangan bersama dengan
masyarakat untuk memperjuangkan keadilan
ekologis dan reforma agraria.
Selain membahas fakta-fakta atas
praktek buruk BUMN perkebunan gula yang
dituliskan oleh Direktur WALHI Sulawesi Selatan
dan WALHI Sumatera Selatan dari kerja
advokasi yang dilakukan selama ini, apa yang
terjadi dalam berbagai kasus di perkebunan
gula ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang
d i s e b u t s e b a g a i s e b u a h m o n o p o l i
penguasaan negara atas tanah dan sumber
kehidupan rakyat sebagaimana yang
dituliskan oleh Harry Prabowo.
Yang menjadi penting untuk secara
fundamental dilihat adalah bagaimana
penataan ulang sektor perkebunan ini jika
dihubungkan dengan skema lain dalam
pengelolaan sabang produksi ekonomi negara
di bawah BUMN yang memang sudah berjalan.
Karena itulah penting untuk melihat kembali
mandat dan tujuan dibentuknya BUMN. Dani
Setiawan dalam tulisannya sesungguhnya ingin
mendudukkan BUMN sebagai sebuah
instrumen ekonomi kerakyatan dan ditujukan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
sebagaimana mandat konstitusi. Pemaparan
Tulisan ini menjadi penting di tengah kebijakan
melakukan upaya privatisasi BUMN salah
satunya di sektor perkebunan. BUMN
merupakan alat negara untuk menjalankan
demokrasi ekonomi di Indonesia sesuai dengan
amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 33.
M e n a t a u l a n g p e n g e l o l a a n
perkebunan gula dan komoditas lain tentulah
tidak segampang membalikkan telapak
tangan. Hambatan terbesarnya ada pada
political will pengurus negara ini, apakah mau
merubah cara pandangnya dalam melihat
k e k a y a a a n a l a m d a n b a g a i m a n a
memandang unit usaha ekonomi yang
dijalankan oleh badan usaha negara tersebut.
Mungkin klise terdengarnya, namun political will
ini menjadi penting untuk diangkat mengingat
ada persoalan lain yang tidak kalah dalam
pertarungan yang kritis yakni kepentingan
politik kekuasaan. Sistem politik yang
transaksional dinilai oleh banyak kalangan
sebagai pemicu pelanggengan model kelola
badan usaha negara yang carut marut seperti
ini. Ucok Sky Khadafi dalam tulisannya
mencoba mengungkap bagaimana pola-
pola atau modus-modus operasional BUMN
perkebunan yang membuka peluang menjadi
bancakan politik oleh para elit politik dan partai
politik pendukungnya. Sehingga berproduksi
dengan cara-cara yang kotor dan melanggar
HAM menjadi sebuah keniscayaan.
Konflik agraria kini telah menjadi
perhatian publik, setidaknya sejak kasus
penembakan dan kriminalisasi terhadap
warga terjadi di Ogan Ilir, reforma agraria
kembali bergulir dan terus diperbincangkan
dalam diskursus baik di tingkatan elit, kelompok
III
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
masyarakat sipil dan sedikit banyak mulai
menggeliat menjadi “bakaran” api yang
memantik perjuangan di berbagai daerah.
Harapannya, tentulah persoalan agraria tidak
bisa hanya didekati pada penanganan kasus
perkasus atau konflik perkonflik. Penyelesaian
konflik agraria harus dilihat sebagai sebuah
jalan menuju perwujudan reforma agraria.
Usep Setiawan mecoba melihat dan
menawarkan konsep dan gagasan reforma
a g r a r i a d i s e k t o r p e r k e b u n a n y a n g
pengelolaanya diserahkan kepada petani
sebagai sebuah jawaban atas terus
meningkatnya konflik agraria di perkebunan
negara. Ini sejalan dengan semangat awal
nasionalisasi untuk membangun kemandirian
bangsa. Penataan ulang sektor perkebunan
dengan memberikan hak pengelolaan
perkebunan kepada rakyat dinilai sebagai
sebuah jalan atas penyelesaian konflik agraria
yang terjadi di perkebunan.
Berbagai pandangan yang ditulis
dalam jurnal Tanah Air ini tidak dilihat sebagai
bagian yang satu sama lain saling terpisahkan.
Karena pada akhirnya kita berharap, bahwa
carut marutnya pengelolaan kekayaan alam
di Indonesia sudah waktunya berubah dan
berpihak kepada rakyat, konflik agraria di
kebun-kebun negara seperti PTPN harus segera
diakhiri dan diselesaikan dengan memenuhi
rasa keadilan bagi rakyat dan pada akhirnya
kita berharap reforma agraria, demokrasi
ekonomi dan keadilan ekologis benar-benar
dapat diwujudkan.
IV
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
1
Sistem Masyarakat Setengah Jajahan dan Setengah Feodal:
Akar Sejati Monopoli Tanah dan Sumber Kekayaan Alam Indonesia
1
Oleh : Hary Prabowo
Abstrak
A r t i k e l i n i a k a n m e n g u r a i s e j a r a h
perkembangan masyarakat dan pola
perampasan tanah sumber daya alam di
Indonesia serta bagaimana solusi atas
persoalan monopoli sumber agraria di
Indonesia. Perhatian utama tulisan ini akan
difokuskan menjelaskan mengapa imperialism
menyeret juga berbagai negara di dunia
termasuk Indonesia. Serta berbagai solusi palsu
yang ditawarkan oleh negara-negara
Imperialis pimpinan Amerika Serikat. Tulisan ini
juga menjelaskan mengapa Indonesia menjadi
negara semi kolonial semi feudal sejak jaman
kolonial Belanda hingga hari ini. Tulisan ini juga
menjelaskan perkebunan menjadi alat untuk
memonopoli tanah dan menjadi solusi atas krisis
energi fosil. SBY- Boediono mengumbar isu
reforma agrarian untuk kepentingan kapitalis
monopoli dan tuan tanah agar terus
memperluas perampasan tanah di Indonesia.
Dalam kesimpulan, penulis menyebutkan
bahwa reforma agrarian sejati menjadi solusi
yang penting untuk merubah system
masyarakat di Indonesia
Abstract
This article will break down the history of the
development of society and patterns of land-
grabbing of natural resources in Indonesia and
how the solution to the problem of monopoly
agrarian resources in Indonesia. The main
concern of this article will focus on explaining
why the imperialism crisis drag all countries
across the world, including Indonesia. and other
false solutions offered by the imperialist nations
led by the United States. This paper also explains
why Indonesia is the semi-feudal semi-colonial
country since the Dutch colonial era to the
present day. This article also describes a means
to monopolize the farm land and a solution to
the energy crisis of the fossil. SBY-Boediono spit
agrarian reform issues for the benefit of the
monopoly capitalists and landlords to continue
to expand the land grabbing in Indonesia. In
conclusion, the author mentions that the
genuine agrarian reform became an important
solution to change the system in Indonesia
I. Pendahuluan
Perkembangan sistem ekonomi
kapitalis yang eksesif dan merusak saat ini telah
memasuki era imperialisme sebagai tahap
2
tertinggi dan terakhir. Situasi umum di era
imperialisme ditandai dengan krisis demi krisis
yang terus terjadi secara periodik, baik yang
bersifat turun dan naik (boom and bush) di
negeri-negeri utara ( baca; imperialis) maupun
krisis yang semakin akut di negeri-negeri
berkembang ( jajahan, setengah jajahan dan
setengah feudal). Kedua karakter krisis tersebut
terjadi dalam periode sekarang dan terus
menyeret dunia dalam jurang resesi ekonomi
yang semakin dalam dan tidak ada jalan
keluar. Hanya memberikan solusi-solusi palsu
untuk menyelesaikan krisis yang ada. Sistem
kapitalisme telah melewasi masa kejayaannya
dan menuju masa kehancurannya.
Di era resesi ekonomi global dewasa
ini, masyarakat sedang menghadapi berbagai
skema kebijakan politik, ekonomi, kebudayaan
dan militer dari negara-negara imperialis dunia
di bawah pimpinan AS. Seluruh skema tersebut
hendaklah dimaknai sebagai serangkaian
kebijakan dan tindakan negeri-negeri
imperialis mengatasi krisis keuangan dan resesi
ekonomi yang mereka alami. Kebijakan dana
talangan (bail-out) bagi perusahaan besar
milik kapitalis monopoli maupun program
penghematan anggaran (austherity program)
yang merampas anggaran publik menjadi
kebijakan domestik di negeri-negeri imperialis.	
Sementara kebijakan luar negeri
memiliki karakter khusus yang mencerminkan
kepentingan kekuatan kapitalis monopoli yang
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
mengkontrol kebijakan negeri-negeri imperialis
tersebut. Kebijakan negeri-negeri imperialis
semakin menunjukkan watak mereka yang
aslinya yakni fasis dan bar-bar. Di bawah
pimpinan AS, mereka lancarkan perang agresi
terhadap negeri-negeri berdaulat yang
melawan atau mengancam kepentingan dan
dominasi imperialisme AS. Mencaplok dan
menguasai sumber-sumber daya alam dan
energi vital untuk pemenuhan kebutuhan
industri imperialis. Disaat yang sama mereka
semakin mengintensifkan eksploitasi dan
penindasan untuk mengeruk super-profit
sebesar-besarnya di negeri-negeri di bawah
pemerintahan boneka imperialis yang kaya
sumberdaya seperti Indonesia.
Instrumen utama yang dilakukan oleh
imperialis adalah dengan menjalankan
kebijakan politik neo-kolonial dan kebijakan
ekonomi neo-liberal; mempromosikan
demokrasi palsu ala AS melalui demokrasi
elektoral untuk melahirkan pemerintah boneka
d a n m e n j a l a n n e o - l i b e r a l d e n g a n
melancarkan de-nasionalisasi, deregulasi,
privatisasi dan liberalisasi perdagangan.
Dominasi politik melalui pemerintah boneka
merupakan skema utama untuk memastikan
seluruh kepentingan ekonomi imperialis bisa
berjalan berdasarkan undang-undang yang
berlaku di negeri tersebut yang telah
disesuaikan dengan kepentingan mereka.
E k s p o r k a p i t a l m e l a l u i s k e m a
penanaman investasi asing (foreign direct
investment) merupakan instrumen penting
bagi kapitalis monopoli di negeri-negeri
imperialis. Hal ini dilakukan agar kapital yang
mereka rampas dari penghisapan bisa terus
terakumulasi. Eksport kapital merupakan
sarana penghisapan yang vital guna
mengakumulasi profit di tengah krisis ekonomi
jangka panjang yang dihadapi.
Sejak tahun 2008 setelah resesi
ekonomi melanda AS, Eropa hingga Jepang,
AS telah menetapkan kebijakan strategis Asia-
Pasifik. Wilayah ini dinilai paling strategis secara
geo-politik dunia dan menjadi kawasan
prioritas bagi penyelesaian taktis krisis ekonomi
3
AS . Wilayah Asia Pasifik merupakan rumah bagi
populasi terbesar dunia yang akan menjadi
buruh murah siap pakai. Tempat sumber daya
alam dan bahan mentah paling kaya dan
paling murah di dunia. Wilayah ini juga
sekaligus pasar bagi barang komoditas industry
kapitalis monopoli. Indonesia sebagai bagian
dari wilayah Asia Pasifik merupakan salah satu
sasaran prioritas untuk melayani kepentingan
mereka di kawasan.
Konsentrasi AS sebagai pimpinan telah
menjalankan kebijakan tersebut dengan
menggerakkan seluruh mesin kekuatannya ke
Asia Pasifik: ekonomi (eksport kapital dan
mengamankan jalur perdagangan), politik
(memperkuat kedudukan pemerintah
boneka), kebudayaan (penjajahan ideologi
liberal) dan militer (menambah jumlah pasukan
militer dan armada perang-nya di USPACOM –
United States Pacific Command dan bantuan
militer kepada pemerintah-pemerintah
bonekanya).
Rakyat dan kekayaan alam Indonesia
merupakan sasaran empuk bagi seluruh skema
kepentingan AS untuk mengatasi krisis saat ini.
Jika menilik sejarah, hal yang dilakukan tidak
jauh berbeda dilakukan ketika Indonesia
dijadikan korban dalam penyelesaian krisis
sistem feodal di negeri Belanda. Dan
melahirkan kolonialisasi di Nusantara selama
ratusan tahun. Kolonialisasi ini mendapatkan
perlawanan luas dari rakyat Indonesia.
Demikian pada akhirnya pasca PPD II
kolonialisasi Belanda runtuh ditandai dengan
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
H a n y a b e r s e l a n g b e b e r a p a t a h u n
kemenangan penuh rakyat Indonesia
dirampas kembali oleh Imperialis AS. AS terus
menjalankan politik neo-kolonialisme atau
penjajahan melalui pemerintah boneka yang
m e r e k a s o k o n g a g a r b i s a m e l a y a n i
4
kepentingan tuan imperialis-nya .Terhitung
sejak Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB)
1948, status Indonesia sebagai negeri setengah
j a j a h a n d a n s e t e n g a h f e o d a l t e r u s
berlangsung hingga sekarang dan tidak ada
perubahan fundamental.
“Perampokan sumber kekayaan alam -
dalam bahasa resmi pemerintah SBY
dimaknai sebagai usaha meningkatkan
penanaman investasi asing untuk
menjaga pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kesejahteraan dan
m e n g u r a n g i p e n g a n g g u r a n -
merupakan program ekonomi kunci bagi
pemerintah boneka imperialis di seluruh
negeri.”
Perampokan sumber kekayaan alam -
dalam bahasa resmi pemerintah SBY dimaknai
2
"!"""!!""!!"!
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
sebagai usaha meningkatkan penanaman
investasi asing untuk menjaga pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan
mengurangi pengangguran - merupakan
program ekonomi kunci bagi pemerintah
boneka imperialis di seluruh negeri. Pemerintah
boneka ini hanya melayani kepentingan
k a p i t a l m o n o p o l i a s i n g s e k a l i g u s
menguntungkan kelompok borjuis komprador
dan tuan tanah di dalam negeri. Kondisi ini
telah memposisikan Indonesia sebagai negeri
bergantung, dan tidak memiliki kedaulatan
politik, kemandirian ekonomi dan kebudayaan
nasional.
Dewasa ini, kebijakan politik ekonomi
SBY-Boediono yang pro modal asing semakin
b e s a r m e m b a n j i r i b e r b a g a i s e k t o r
penghidupan rakyat baik di perkotaan
maupun pedesaan. Atas nama investasi dan
pembukaan lapangan kerja negara
melegitimasi perampasan tanah dan sumber
kekayaan alam untuk kepentingan Imperialis
baik yang dilakukan secara langsung maupun
dilakukan oleh kaki tangannya di dalam negeri
seperti borjuis komprador dan tuan tanah
(termasuk negara sebagai tuan tanah).
Pemandangan ini jamak kita temukan
khususnya di pedesaan; perampasan tanah
untuk kepentingan perluasan perkebunan
skala besar, pertambangan asing skala besar,
lahan pertanian skala besar (food estates),
taman nasional dan proyek infrastruktur bagi
pengembangan fasilitas industri imperialis
( p e r l u a s a n k a w a s a n i n d u s t r i , K E K ,
pembangunan jalan tol, pelabuhan,
jembatan, dsb).
	 Pendek kata, seluruh skema imperialis
pimpinan AS untuk mengatasi krisis tengah
berlangsung dan kian menghancurkan
Indonesia dengan berbagai cara: skema multi-
lateral (G-20, APEC, WTO), maupun bilateral
(comprehensive partnership AS-Indonesia,
Jerman-Indonesia, Jepang Indonesia, dsb). Di
sisi lain, telah berdiri barisan pelaksana yang
terdiri atas koorporasi besar asing (MNC dan
TNC) dan perbankan besar asing (City Bank,
Bank of America, Deutsche Bank, BPN Paribas,
Credis Suisse, UBS AG, Sumitomo Mitsui Banking,
JP Morgan, IFC, dsb) telah bersekutu dengan
Bank Dunia, ADB, IMF, dikawal oleh USPACOM,
dan dilayani oleh para pelayan domestik
dalam negeri yang tunduk setia pada
majikannya: pemerintah boneka, borjuis
komrador, dan tuan tanah.
II. Ada Apa Dibalik Perampasan Tanah dan
Kekayaan Sumberdaya Alam.
“Demagogi (manipulasi kenyataan)
yang selama ini digembar-gemborkan
oleh negeri-negeri imperialis adalah
adanya ancaman krisis energi dan krisis
pangan dunia serta jalan keluar yang
mereka tawarkan. “
Demagogi (manipulasi kenyataan)
yang selama ini digembar-gemborkan oleh
negeri-negeri imperialis adalah adanya
ancaman krisis energi dan krisis pangan dunia
serta jalan keluar yang mereka tawarkan.
Krisis energi merupakan problem yang
bersumber dari kerakusan imperialis yang
melakukan monopoli atas sumber-sumber
energi vital seperti minyak bumi dan gas. Krisis
energi bukan disebabkan oleh keringnya
ladang minyak-gas dunia, namun karena
monopoli oleh imperialis. Kenaikan harga
minyak dunia juga bukan disebabkan oleh
tingginya permintaan dan langkanya barang,
tapi disebabkan monopoli serta diperkeruh
oleh politik bar-bar melalui agresi militer
imperialis AS yang melancarkan perang dan
efek perlawanan dari berbagai negeri
produsen minyak dunia yang diserang.
Mereka secara manipulatif dan
sepihak membuat kebijakan untuk mengatasi
kelangkaan energi maka penting untuk
membuat sumber energi alternatif berbasiskan
nabati (biofuel). Penggunaan energi
berbahan bakar nabati ini telah menjadi
kebijakan energi dari sejumlah negeri imperialis
utama seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang. Di AS
sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi
berbahan bakar nabati (agrofuel) telah mulai
diperkenalkan sejak tahun 1973, saat negeri-
negeri Arab menghentikan pasokan
minyaknya ke AS.
Kebijakan untuk menggunakan energi
berbahan bakar nabati dewasa ini diikuti
secara serentak oleh berbagai negeri jajahan,
setengah jajahan dan negeri bergantung
lainnya. Kebijakan penggunaan energi nabati
tersebut menjadi prasyarat baru bagi bantuan
pembangunan (utang, hibah, dan proyek)
dari lembaga-lembaga kreditor multilateral
seperti WB (World Bank) dan ADB (Asian
Development Bank). Data menunjukkan
bahwa Amerika Serikat adalah konsumen
3
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
energi nabati terbesar, terutama bioetanol,
dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang
diolah dari komoditas pangan tebu.
Sementara Uni Eropa adalah konsumen
terbesar biodiesel (bio-solar) terbesar dengan
pasokan bahan baku komoditas pertanian
kelapa sawit dari Indonesia.
“Data menunjukkan bahwa Amerika
Serikat adalah konsumen energi nabati
terbesar, terutama bioetanol, dengan
pasokan bioetanol dari Brazil yang
diolah dari komoditas pangan tebu.
Sementara Uni Eropa adalah konsumen
terbesar biodiesel (bio-solar) terbesar
d e n g a n p a s o k a n b a h a n b a k u
komoditas pertanian kelapa sawit dari
Indonesia.”
Dengan teknologi yang mereka punya
semakin rakus mengincar tujuh komoditas
pertanian pangan yang dapat diubah menjadi
bahan baku energi nabati. Tujuh komoditas
tersebut adalah tebu, kedelai, jagung,
gandum, tanaman jarak, kelapa sawit, dan
singkong. Inilah yang dimaksudkan dengan
bahan baku energi nabati atau bioenergi
generasi pertama melalui pertanian skala luas
atau perkebunan (agrofuel), yang rakus
merampas tanah dan meluas dalam 10 tahun
terakhir.
Pada saat yang sama kebijakan untuk
mengatasi krisis pangan dan meningkatkan
ketahanan pangan dunia, Negara ini memiliki
skema yang melibatkan industri pertanian yang
sangat besar. Mereka adalah perusahaan-
perusahaan besar yang bergerak di bidang
komoditas pertanian dan melakukan monopoli
agroindustri, seperti Monsanto, Cargill, DuPont,
Dow Agrisciences, Syngenta, ADM, dsb.
Perusahaan-perusahaan MNC ini telah
mengubah secara drastis lahan-lahan yang
tadinya produktif ditanam oleh komoditas
pangan local, menjadi lahan yang lebih
memiliki nilai jual yang lebih tinggi, seperti
jagung, kedelai. Bahan pagan ini kemudian
bukan untuk dikonsumsi melainkan untuk diolah
menjadi bahan baku energi alternatif. Seluruh
skema ini telah berjalan dan sedang diperluas
puluhan juta hektar termasuk di Indonesia.
III. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Akar
Semi-Feodalisme Yang Paling Dalam
Perubahan penting sejarah Hindia
Belanda terjadi pada abad 19 yang
melibatkan organisator kekuasaaan kolonial di
tangan The gangs of three: Deandels, Raffles
5
dan van Den Bosch . Ketiga orang ini telah
memancang perubahan signifikan struktur
ekonomi-politik Jawa di bawah kekuasaan
pemerintah kolonial. Di periode Deandels, ia
melakukan pembangunan infrastruktur Jalan
Pos sepanjang 1000 km dari Anyer ke
Panarukan, khususnya untuk melapangkan
jalur distribusi hasil komiditi yang dirampas.
Raffless, memperkenalkan Teori Domein
(semua tanah adalah milik raja atau
pemerintah kolonial) dan sistem sewa tanah
(landrente) di mana petani diwajibkan
membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah
garapannya. Teori Raffles ini mempengaruhi
6
politik agraria selama abad ke-19 . Dan
terpenting adalah Van Den Bosch dengan
mengintegrasikan seluruh kerajaan taklukan di
bawah kekuasaan feodal pemerintah Belanda
dan menjalankan sistem tanam paksa yang
mewajibkan petani menanam tanaman
komoditas yang paling laku di pasar dunia dan
paling menguntungkan pemerintah Belanda.
Usai Perang Jawa (Diponegoro) 1825-
1830, sebagai penanda berakhirnya
k e k u a s a a n f e o d a l l o k a l , k e k u a s a a n
kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi
sekaligus menandai fase konsolidasi kekuasaan
sebagai periode puncak feodalisme di bawah
sistem politik kolonialisme. Terkecuali di
beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali,
Lombok dan Tapanuli, peperangan baru
benar-benar berakhir pada awal abad 20.
Secara ekonomi politik dan militer kekuasaan
kolonial telah terkonsentrasi di Batavia. Akan
tetapi para petinggi pemerintah kolonial sadar
betul bahwa pengaruh penguasa-penguasa
pribumi (tuan tanah) sangat kuat. Hal ini bisa
dilihat dari pertentangan dan perang yang
harus mereka hadapi dengan ongkos yang
sangat mahal. Maka itu mereka tidak punya
pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah
lokal dalam struktur kekuasaan namun berada
di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.
Hal inilah yang kemudian dipahami
dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh
Van den Bosch dalam memulai Sistem Tanam
7
Paksa (Cultuurstelsel) . Pelaksanaan Sistem
Tanam Paksa itu merupakan fondasi dari sistem
perkebunan yang diletakkan dan dijalankan
oleh Gubernur Jenderal Van den Bosh selama
8
40 tahun (1830-1870) yaitu, menggabungkan
usaha membangun perkebunan dan
pertanian tanaman komoditi yang sangat
4
"!"""!!""!!"!
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
menguntungkan serta pabrik pengolahannya.
Sistem Tanam Paksa (STP) dibangun dan
dicangkokkan di atas sistem ekonomi feodal
p e d e s a a n y a n g m a s i h t e r b e l a k a n g
sebagaimana gambaran Raffles dalam The
History of Java. Jawa adalah “negeri tanpa
perdagangan atau pembuatan barang
(manufactures)” dan juga tempat tidak lebih
dari 1/16 penduduk bekerja dalam industri di
9
luar pertanian .
Proposal ekonomi dan keuangan Van
den Bosch mengenai sistem tanam paksa
(cultuurstelsel) adalah kebijakan untuk
mengatasi kebangkrutan keuangan Kolonial
Belanda akibat Perang Besar di Jawa. Proposal
tersebut lahir dari pelajaran atas kebijakan
Kerajaan Belanda di era Daendels dan Raffles.
Hal terpenting proposal Van den Bosch adalah
mengenai sikap resmi Kerajaan Belanda
terhadap kedudukan kerajaan-kerajaan dan
praktek penghisapan feodal yang mereka
lakukan atas rakyat di wilayahnya, di luar
rencana ekonominya yang sangat menindas
dan menghisap. Bahwa Kerajaan Belanda
tetap menghormati dan melindungi hak-hak
istimewa yang dimiliki oleh raja dan
bangsawan feodal, asalkan mereka bersedia
tunduk dalam kekuasaan penuh pemerintah
Jajahan Hindia Belanda sebagai tuan tanah
nomor satu dan paling berkuasa. Mereka tetap
sebagai pihak “berkuasa” atas rakyat secara
langsung, dan menjadi bagian utuh dari
pemerintah negara jajahan bentukan
Belanda. Fase penyatuan seluruh kerajaan di
Hindia Belanda di bawah kekuasaan politik
pemerintah kolonial Hindia Belanda ini
dimaknai sebagai puncak dari sejarah
feodalisme di Indonesia.
Gubernur Jenderal Van Den Bosch
telah melakukan dua hal penting sekaligus,
yaitu membangun organ kekuasaan negara
jajahan di tingkat lokal sebagai bagian utuh
dari negara jajahan yang terpusat di Batavia
dan mengefektifkan penghisapan feodal agar
memperoleh super-profit dari tanah Hindia
Belanda di daerah yang telah ditundukkan
sepenuhnya. Kedua, melakukan ekspansi
besar-besaran ke seluruh bagian Hindia
Belanda yang berada di luar pulau Jawa dan
membangun sistem kekuasaan yang sama
dengan tujuan ekonomi jajahan yang sama.
“Gubernur Jenderal Van Den
Bosch telah melakukan dua hal penting
sekaligus, yaitu membangun organ
kekuasaan negara jajahan di tingkat
lokal sebagai bagian utuh dari negara
jajahan yang terpusat di Batavia dan
mengefektifkan penghisapan feodal
agar memperoleh super-profit dari
tanah Hindia Belanda di daerah yang
telah ditundukkan sepenuhnya. Kedua,
melakukan ekspansi besar-besaran ke
seluruh bagian Hindia Belanda yang
berada di luar pulau Jawa dan
membangun sistem kekuasaan yang
sama dengan tujuan ekonomi jajahan
yang sama.”
Sebelum memulai sistem tanam paksa,
Van den Bosch membangun sistem politik yang
dapat memobilisasi tanah, sewa tanah, pajak
dan tenaga kerja dengan efektif. Untuk itu dia
mengajukan dibangun dua sistem birokrasi
negara. Di tingkat lokal di Jawa dan berikutnya
sistem yang sama diberlakukan di seluruh
Hindia Belanda. Van den Bosch membangun
birokrasi Belanda (Bienenlandshe Bestuur) yang
dijabat oleh orang-orang Belanda dengan
berbagai variasi yaitu Keresidenan (dipimpin
oleh seorang Residen), Asisten Residen dan
Controleur yang berhubungan langsung
dengan birokrasi bumi putra. Sementara itu
birokrasi bumi putra (inlandsche bestuur) terdiri
dari pemerintahan Regentshap (Afdeling).
Regentschap dipimpin oleh seorang regent
atau bupati yang bertugas untuk memimpin
beberapa district (onder-afdeling). District
dipimpin oleh seorang wedana yang bertugas
untuk memimpin beberapa unit pemerintahan
orderdistrict yang dipimpin oleh asisten
wedana. Unit terendah dari birokrasi bumi putra
adalah desa yang dipimpin oleh kepala desa.
Birokrasi bumi putra ini dalam pekerjaan sehari-
harinya diawasi oleh controleur. Birokrasi bumi
putra yang diisi oleh para sultan dan
bangsawan yang menyerah inilah yang
menjadi ujung tombak Van den Bosch dalam
menjalankan sistem tanam paksa. Mereka
dapat menerapkan penghisapan feodal
apapun atas rakyatnya, yang terpenting
dapat menjalankan kewajibannya pada
keresidenan dan gubernur jenderal Hindia
Belanda.
Era sistem tanam paksa adalah
periode kelam bagi rakyat di Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa merupakan sistem
pertanian yang mengandalkan monopoli
tanah luas yang dimiliki dan dijalankan secara
langsung oleh pemerintah jajahan Hindia
B e l a n d a d e n g a n m e m p r a k t e k k a n
5
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
penghisapan feodal atas kaum tani hamba
yang luas di Jawa dan diperluas di luar Jawa.
Proposal awal Van den Bosch adalah
m e n g u b a h s i s t e m s e w a t a n a h y a n g
diberlakukan di zaman Raffles dari 2/5 dari hasil
panen menjadi 1/5 dari tanahnya harus
ditanami dengan tanaman yang dikehendaki
oleh pemerintah dan hasilnya diserahkan
10
kepada pemerintah untuk dieksport . Sistem
Van den Bosch sejatinya adalah kaum tani
harus menanam tanaman komoditas
(cashcrops) dengan sistem monokultur seperti
tebu, kopi, teh, tembakau dan indigo yang laku
keras dan berharga tinggi di pasar Eropa di atas
tanah mereka sendiri yang dikonsolidasikan
menjadi perkebunan besar. Petani bekerja
secara langsung dan hasilnya dijual kepada
pemerintah dengan harga yang telah
ditentukan.
V a n d e n B o s h m e n g i n g i n k a n
beberapa keuntungan sekaligus yaitu:
pertama, petani dapat membayar sewa tanah
kepada pemerintah dengan uang tunai yang
diperoleh dari penjualan tanamannya dengan
ketentuan sekurang-kurangnya 20% dari
seluruh hasil panen. Kedua, pemerintah
jajahan memperoleh keuntungan sangat
besar dari proses penentuan harga komoditas
dengan cara feodal, menentukan pembelian
dengan harga murah dari kaum tani untuk
memastikan mereka dapat membayar sewa
tanah, dan menjual dengan sangat mahal
komoditas tersebut di pasar Eropa. Ketiga,
seluruh proses pengolahan, penanaman dan
pemeliharaan hingga panen menjadi
tanggung jawab kaum tani sepenuhnya.
Dengan demikian biaya produksi dan tenaga
kerja dapat ditekan hingga tingkatan yang
sangat rendah. Keempat, seluruh pengawasan
atas penyerahan tanah tenaga kerja produksi
hingga hasil komoditas berada di bawah
pengawasan para pemerintah bumi putra. Hal
ini akan mengurangi kebencian rakyat
utamanya kaum tani terhadap pemerintah
jajahan, utamanya birokrasi Belanda dalam
negara jajahan.
Laporan Knight yang menyoroti
bagaimana STP dipaksakan, pada tahun 1848
b u p a t i d a n w e d a n a d i B a t a n g d a n
pekalongan telah dipecat ketika mereka tidak
mau diajak kerjasama yang dibutuhkan untuk
mensukseskan STP. Tindakan tegas tersebut
sebagai pelajaran terhadap bupati lainnya
yang tahun-tahun kemudian dilaporkan
bertindak sangat kooperatif dan menunjukkan
loyalitasnya kepada STP sebagai proyek besar
11
kolonial .
Residen, Wedana, asisten Wedana
dan demang adalah ujung tombak pihak
perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan
pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka
juga yang melakukan perampasan tanah-
tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman
tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai
birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal
dengan menggunakan uang dan insentif yang
jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri
di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran,
Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun
d e n g a n t a m b a h a n p e r s e n 2 5 . 0 0 0
gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000
dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di
Belanda hanya 15.000 gulden/tahun.
Sementara keuntungan yang diperoleh oleh
STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah
Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun
1870, merupakan seperlima hingga sepertiga
pendapatan negara Belanda. Inilah sumber
keuangan pokok yang digunakan untuk
m e l u n a s i u t a n g K e r a j a a n B e l a n d a ,
menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik
tenun di Belanda, pembangunan perkereta
apian negara dan pembuatan bangunan
pertahanan serta pembangunan pelabuhan
Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya.
Perampasan super profit ini telah terjadi secara
aktraktif sebagai buah segar bagi mereka.
Demikianlah sistem ini berlaku efektif di
Jawa dan menjadi model pembangunan
pertanian feodal di seluruh Hindia Belanda
hingga dihentikan pada tahun 1870 akibat
penderitaan berat kaum tani di Jawa dan
badai kritik di Parlemen Belanda dari kaum
liberal yang juga mengincar keuntungan besar
serupa.
Sistem tanam paksa adalah sistem
p e r k e b u n a n t e r b e l a k a n g y a n g
mempraktekkan secara lengkap berbagai
bentuk penghisapan feodal yang lahir dari
kekuasaan atas tanah monopoli di mana
pemerintah jajahan Hindia Belanda bertindak
sebagai tuan tanah utama dengan bantuan
para tuan tanah lokal. Dalam lapangan
ekonomi tanam paksa mempertahankan
sistem produksi feodal yang telah eksis selama
ratusan tahun di Indonesia, sekurang-
kurangnya sejak abad ke 15 di mana
kesultanan-kesultanan Islam menjadi negara
feodal yang berdominasi atas rakyat. Dengan
6
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
menggunakan secara efektif sistem kuno ini,
pemerintah jajahan mengeruk keuntungan
yang besar dalam produksi yang sebelumnya
tidak didapatkan di era VOC yaitu dalam
bentuk sewa tanah, tenaga kerja murah dan
tidak dibayar. Pendapatan yang tidak kalah
besar dari perdagangan monopoli serta impor
atas berbagai barang kebutuhan hidup rakyat
yang secara pelan namun pasti mulai
mendominasi pasar dalam negeri. Secara
sistematis sistem tanam paksa telah
menghancurkan sistem produksi skala kecil
untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten)
oleh kaum tani dengan mengintensifkan
tanaman komoditas yang terhubung dengan
pasar dan uang sebagai alat tukar yang masif.
Persentase pembayaran sewa tanah, jumlah
hari kerja wajib dan luasan tanah yang harus
diserahkan pada pemerintah jajahan
berubah-ubah sesuai kepentingan dan
kehendak pemerintah kolonial.
Sekalipun masih terbatas, di Hindia
B e l a n d a t e l a h b e r k e m b a n g p a b r i k
pengolahan (processing industry) sekurang-
kurangnya lima pabrik gula seperti pabrik gula
Balong Bendo berdiri pada tahun 1838 di
Sidoarjo, pabrik gula Soember Kareng Cultuur
Mij di Probolinggo tahun 1838, Pabrik Barongan,
Padokan, dan Bantul pada tahun 1860 dan
1870 di Jogjakarta. Juga ada beberapa agen
penjualan pemasok mesin dan beberapa
bengkel perbaikan. Misalnya di Batavia telah
berdiri Maclaine Watson&Co, sebuah
perusahaan dagang tertua yang bergerak di
bidang permesinan dan peralatan pabrik
pada 1825; Taylor & Lawson yang bergerak di
bidang jasa perdagangan dan pemasangan
konstruksi baja, pabrik teh dan gula berdiri
pada Tahun 1857; NV.Machine Fabriek
D a p o e a n y a n g b e r g e r a k d i b i d a n g
perdagangan menyediakan mesin-mesin
pabrik gula, di Surabaya pada tahun 1856.
Juga ada bengkel reparasi mesin pabrik gula
yang lebih lengkap N.V Machine en Werking
Handel Mij “de Vlight,” di Semarang.
Penemuan mesin uap juga membawa
kelimpahan produksi baru dalam produksi gula.
Kelahiran dari berbagai pabrik tersebut
menandai kelahiran klas baru yang maju di
tengah masyarakat setengah jajahan dan
setengah feodal yaitu klas buruh. Klas ini
berasal dari kaum tani yang terampas
t a n a h n y a d i p e d e s a a n a k i b a t
ketidakmampuannya membayar sewa tanah
yang ditetapkan oleh pemerintah. Karena
usianya yang masih sangat muda, klas buruh ini
tidak bisa berbuat banyak menghadapi
tindasan kapitalis dalam pabrik dan seiring
d e n g a n p e r t a m b a h a n j u m l a h n y a d i
penghujung abad 19. Mereka tahap demi
tahap menajamkan perjuangan klas di Hindia
Belanda.
Periode 1870an hingga 1890an
merupakan era terpenting transisi besar-
besaran kekuatan kapitalis persaingan bebas
di Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis
menjadi kekuatan kapitalisme monopoli dunia.
Perkembangan ini terus berlangsung hingga
sistem kapitalisme persaingan bebas
mengalami kebangkrutan total ketika krisis
tahun 1900-1903 dan kapitalisme monopoli
berkuasa atas seluruh sistem kemasyarakatan
yang berlaku di dunia. Terbentuknya
kekuasaan kapital finans atas kapital industri
yang menciptakan apa yang disebut oligarki
finans ditandai oleh terkonsentrasinya finans
disegelintir bank-bank besar di dunia yang
bersekongkol dengan Industri besar monopoli,
mengambil-alih dan memaksa bank-bank
lebih kecil atau perusahaan lebih kecil menjadi
cabangnya di berbagai negeri. Proses ini terus
berlangsung sejak masa transisi yang
disebutkan di atas. Hanya beberapa negeri di
dunia yang berhasil menempatkan dirinya
menjadi kekuatan imperialis utama seperti
disebutkan di atas yaitu Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Belanda dan negeri Skandinavia
menyusul belakangan Jerman, Italia dan
Jepang menjadi satu-satunya wakil Asia.
Negara-negara dan kekuatan itulah yang
membagi dunia antar mereka sendiri secara
ekonomi dan politik dengan kekuatan militer.
“Perkembangan sistem kapitalisme
persaingan bebas di Eropa Barat yang
memasuki massa transisi menjadi
kapitalisme monopoli atau imperialisme
memiliki pengaruh besar atas sistem
ekonomi feodal yang berlaku di Hindia
Belanda”
Perkembangan sistem kapitalisme
persaingan bebas di Eropa Barat yang
memasuki massa transisi menjadi kapitalisme
monopoli atau imperialisme memiliki pengaruh
besar atas sistem ekonomi feodal yang berlaku
di Hindia Belanda. Kapital finans mulai
membentuk oligarki finans (finance oligarchy)
melalui bank-bank dan institusi keuangan besar
monopoli bersama-sama dengan kapital
industri memaksa negeri jajahan dan setengah
jajahan manapun membuka dirinya menjadi
7
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
pasar eksport kapital dan pasar barang jadi.
Kerajaan Belanda yang sebelumnya sangat
protektif terhadap tanah jajahannya mulai
menyadari perkembangan baru ini agar tetap
mempertahankan kekuasaannya di Hindia
Belanda. Desakan kaum liberal yang mulai
muncul akibat ekonomi kapitalis di negeri
Belanda semakin kuat dalam pengambilan
kebijakan politik di Belanda mendesak
Kerajaan Belanda melepaskan monopoli
feodalnya, memberlakukan pasar bebas dan
sekaligus memperkuat kontrolnya atas Hindia
Belanda. Kaum liberal mendesak agar
memperluas pembangunan ekonomi di
Belanda, tidak hanya meningkatkan eksport
hasil perkebunan di Hindia Belanda. Mereka
berjanji bila ekonomi Belanda berkembang
maka secara langsung akan mengangkat
kehidupan penduduk lokal di negeri jajahan.
Namun Depresi yang terjadi pada periode itu
memblejeti dan menjelaskan semua ini hanya
12
ilusi .
Secara ekonomi tentu saja apa yang
berlangsung di dunia secara umum, yaitu
transisi menuju kapitalisme monopoli dari tahun
1870-1890 tidak serta mengubah sistem
produksi feodal di Indonesia. Upaya negeri
Belanda mengejar ketertinggalannya atas
negeri kapitalis lainnya melahirkan berbagai
kebijakan baru di Hindia Belanda untuk
mengefektifkan sistem feodalisme agar tetap
menjadi sumber bahan mentah dengan
membangun perkebunan yang lebih luas,
minyak bumi serta mineral untuk mendukung
kemajuan listrik, otomotif, serta elektronika.
Sementara negeri-negeri kapitalis lainnya
seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan
Jerman berhasil memperoleh kapital berlebih
sangat besar karena kartel dan trust yang
berhasil dibentuk dan penghisapan dari tanah-
tanah jajahan. Hingga pada periode 1900-
1903, seluruh dunia berada dalam kekuasaan
satu sistem yaitu sistem kapitalisme monopoli
atau imperialisme. Sejak saat itu, sistem
kemasyarakatan yang berlaku di Indonesia
tidak lagi sistem jajahan dan feodal melainkan
sistem jajahan dan setengah feodal.
“Sejak saat itu, sistem kemasyarakatan
yang berlaku di Indonesia tidak lagi
sistem jajahan dan feodal melainkan
sistem jajahan dan setengah feodal. “
Transisi dari kompetisi bebas menuju
monopoli ditandai dengan perkembangan
ekonomi kapitalis menuju imperialis. Karakter
imperialisme berhubungan dengan monopoli
dan perkembangan dasar-dasar monopoli itu
sendiri. Dengan demikian, imperialisme sering
dikenal dengan kapitalis monopoli. Kelahiran
kapitalisme monopoli melalui tiga tahap
13
dasar .
8
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
9
TAHAP KETIGA
Akhir abad ke-19
hingga awal
abad ke-20
K a p i t a l i s m e
b e r u b a h
m e n j a d i
imperialisme
Akumulasi dan konsentrasi kapital berkembang pesat.
Kapital semakin terkonsentrasi di tangan perusahaan
besar. Perusahaan monopoli semakin meningkat dan
mengontrol berbagai sektor manufaktur utama dan
membangun dasar bagi seluruh kehidupan ekonomi.
Pada awal abad ke-20, perusahaan monopoli di AS
mengontrol 70% industri metalurgi, 66 % industri baja,
81% industri kimia, 85% produksi aluminium, 80%
tembakau, dan industri gula, dan 95% produksi
batubara dan minyak. Sejak saat itu, kompetisi bebas
kapitalisme berkembang menjadi kapitalisme,
kapitalisme berubah menjadi imperialisme.
Lima karakter dasar Imperialisme:
(1) Konsentrasi kapital dan produksi telah berkembang
luas dan kehidupan ekonomi didominasi oleh
perusahaan monopoli, (2) Kapital bank dan kapital
industri telah bergabung, melahirkan oligarki finans, (3)
Eksport kapital telah berkembang, yang membedakan
dari eksport komoditas, (4) Kapitalis monopoli
internasional telah terbentuk yang membagi dunia di
antara mereka, (5) Pembagian ekonomi dunia oleh
kekuatan imperialis tak terhindarkan yang diikuti
dengan pembagian dan pembagian ulang atas
teritori dunia dalam koloni-koloni.
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
Perkembangan ini seiring dengan
persaingan yang dilakukan oleh kekuatan
imperialis di Indonesia melalui ekspor
kapitalnya, yang tidak mengubah secara
mendasar fondasi sistem ekonomi melainkan
hanya menambah massifnya tipe tuan tanah
yang baru, yaitu klas borjuasi besar komprador
yang merangkap menjadi tuan tanah besar
perseorangan. Mereka membangun usaha-
usaha perkebunan feodal dan juga
membangun pabrik pengolahan yang masih
terbelakang. Mereka tidak membangun
industri otomotif atau elektronik yang maju di
Hindia Belanda seperti halnya industri yang
berkembang di negeri imperialis sendiri.
Menjadi jelas sudah, kapitalisme monopoli atau
imperialis untuk era-era selanjutnya menjadi
penghalang utama Indonesia untuk menjadi
negeri Industri yang kuat, tetap menjadikannya
sebagai pelayan industri imperialis semata
dengan hanya menjadi penyedia buruh
murah, bahan mentah, pasar barang jadi milik
imperialis.
P a d a a b a d 2 0 B e l a n d a t e l a h
berkembang menjadi salah satu kekuatan
imperialis di dunia sebagai hasil dari
penghisapan dan penindasan rakyat Hindia
Belanda. Dominasi imperialisme Belanda
semakin berkembang subur, menjadikan sistem
produksi feodal sebagai basis sosial dari
kekuasaannya. Secara berturut-turut Kerajaan
Belanda mengeluarkan regulasi mengenai
perbankan, agraria dan berikutnya regulasi
u n t u k m e m b u k a i n v e s t a s i s e k t o r
pertambangan serta mengatur tentang tarif
bea-ekspor dan impor yang baru. Sejak saat itu,
meskipun Pemerintah Jajahan Hindia Belanda
tetap menjadi tuan tanah paling berkuasa,
dan para raja dan bangsawan lokal menjadi
tuan tanah ke-2. Tanah koloni, dalam era semi-
f e o d a l , t i d a k s e m a t a - m a t a u n t u k
menghasilkan barang-barang konsumsi yang
menguntungkan seperti kopi, gula, teh dan
tembakau. Lebih penting lagi adalah suplai
bahan mentah yang ditawarkan untuk industri
di Barat. Akibatnya, dalam periode ini minat
investor diarahkan ke luar jawa, tempat
kekayaan mineral Indonesia, minyak timah,
bauksit, dan batubara ditemukan dalam
jumlah besar. Pembukaan investasi ini diawali
dengan pasifikasi yang diselesaikan oleh van
14
Heutsz, Gubernur Jenderal periode 1904-1909 .
“Perubahan-perubahan penting dalam
lapangan ekonomi mulai terlihat
terutama sejak keluarnya Agrarische Wet
1870. Sebuah undang-undang yang
nampak melindungi kepemilikan
perseorang kaum tani atas tanah, akan
tetapi dalam kenyataannya hanyalah
kedok bagi pemerintah jajahan untuk
memberikan Hak Erfact kepada
pengusaha perkebunan besar dengan
masa konsesi 75 tahun.”
Perubahan-perubahan penting dalam
lapangan ekonomi mulai terlihat terutama
sejak keluarnya Agrarische Wet 1870. Sebuah
undang-undang yang nampak melindungi
kepemilikan perseorang kaum tani atas tanah,
akan tetapi dalam kenyataannya hanyalah
kedok bagi pemerintah jajahan untuk
memberikan Hak Erfact kepada pengusaha
perkebunan besar dengan masa konsesi 75
tahun. Bahkan para pengusaha perkebunan
tersebut dapat menyewa tanah milik kaum tani
untuk masa waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan. Untuk memastikan hak negara
memberikan sewa kepada pengusaha
perkebunan pada tanggal 20 Juli 1870
diundangkan Agrarische Besluit dalam Stb.
1870 No.118. Besluit ini sekaligus menjadi aturan
pelaksanaan dari Agrarische Wet, yang
sebelumnya diundangkan dalam Stb. Tahun
1870 No.55 tanggal 9 April 1870. Pasal 1 Besluit
ini memuat pernyataan domeinverklaring.:
“..Semua tanah yang tidak terbukti
bahwa atas tanah itu ada hak milik
mutlak (eigendom), adalah domen
n e g a r a ( t a n a h m i l i k m u t l a k n y a
15
negara) .”
Aturan tersebut telah dijadikan dasar
yang sangat fleksibel bagi pengusaha
perkebunan untuk memperluas perkebunanya
dengan mengambil tanah-tanah milik rakyat,
y a n g m u s t a h i l d a p a t m e n u n j u k k a n
kepemilikannya, pada saat itu karena politik
administrasi tanah negara jajahan sengaja
menciptakan situasi semacam ini. Hal ini
mengingatkan kita pada seluruh peraturan
pertanahan di Indonesia saat ini yang juga
menerapkan prinsip penguasaan negara atas
tanah dan hak negara untuk mengambil tanah
yang dibutuhkan untuk berbagai kepentingan.
Kekuasaan keuangan dunia (oligarki
finans) yang mulai berkembang di Eropa Barat
dan Amerika Serikat mulai memiliki pengaruh di
Hindia Belanda. Hal ini ditandai dengan
10
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
berkembangnya bank dan lembaga
pembiayaan lainnya untuk mendukung
perkebunan besar dan perdagangan feodal
monopoli. De Javache Bank didirikan oleh King
Willem I dengan Hak Oktroy berlaku sebagai
pencetak uang di Hindia Belanda dan memiliki
cabang di seluruh Hindia Belanda. Pada tahun
1870 Nederlansche Handel Maaschapij (NHM)
yang sebelumnya hanya perusahaan ekspedisi
yang menghubungkan Batavia dengan
Belanda mengembangkan dirinya menjadi
bank untuk membiayai perusahaan finans
yang mendukung pembiayaan perkebunan
besar. Bank ini membuka cabang di seluruh
dunia dan menjadi salah-satu bank monopoli
terbesar dunia, ABN AMRO setelah merger
dengan de Twentsche Bank. Ada juga Post
Spaartbank dan Javasche Bank yang juga
memiliki cabang sangat luas di Hindia Belanda.
Javasche Bank merupakan cikal bakal Bank
Indonesia (Bank Sentral).
Sejak pemberlakuan peraturan ini
segera bermunculan berbagai perkebunan
besar di seluruh daerah yang telah ditaklukan
oleh Belanda dan telah berdiri keresidenan. Di
Jawa perkebunan sekaligus pabrik gula
bermunculan seperti cendawan di musim
hujan terutama di Jawa Tengah, Jogyakarta
dan Jawa Timur. Sedikitnya ada sekitar 20
perkebunan tebu dan pabrik gula sebelum
a b a d 2 0 . M e s i n - m e s i n u n t u k p a b r i k
penggilingan tebu (pengolahan) mulai
didatangkan, demikian pula dengan bengkel-
bengkel perbaikan mesin mulai ramai dibuka.
Sekalipun tanam paksa telah dihapus secara
resmi pada tahun 1870, akan tetapi praktek
yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan
swasta tidak berbeda dengan praktek
perkebunan milik pemerintah jajahan sendiri.
Lagi pula mereka memperoleh perlindungan
penuh kontrak atas tanah dengan para sultan,
dibantu penuh oleh para pangreh praja serta
mendapat perlindungan politik luar biasa dari
kekuatan militer dan polisi Pemerintah Hindia
Belanda.
Pertanian kecil perseorangan milik
kaum tani yang berproduksi untuk kepentingan
sendiri mengalami kemerosotan besar. Barang-
barang jadi diimpor dan mendominasi pasar
dalam negeri, utamanya tekstil dan alat-alat
kebutuhan rumah tangga dan sehari-hari yang
sebelumnya dilayani oleh usaha kerajinan kecil
tradisional. Seluruh unsur-unsur di atas
menyediakan syarat-syarat kematian bagi
perkembangan tenaga produktif di Hindia
Belanda dan menggaris takdirnya sebagai
negeri penyedia bahan mentah pertanian dan
tambang, menjadi pasar bagi barang-barang
jadi, dan lebih fundamental adalah menjadi
pasar bagi kapital finans milik imperialis dunia
dalam bentuk investasi dan utang. Harapan
untuk pembentukan kapital di Hindia Belanda
lenyap, klas-klas borjuasi harus menyediakan
dirinya menjadi agen investasi dan utang dari
imperialis agar dapat berkembang menjadi
borjuasi besar di Hindia Belanda.
“Seluruh perkebunan tebu dan pabrik
gula yang dibangun diarahkan untuk
memenuhi pasar internasional, hanya
3% dari keseluruhan produksi gula
diperuntukkan bagi Hindia Belanda.
Demikian pula dengan komoditas
perkebunan lainnya seperti kapas,
tembakau, nila dan indigo.”
Seluruh perkebunan tebu dan pabrik
gula yang dibangun diarahkan untuk
memenuhi pasar internasional, hanya 3% dari
keseluruhan produksi gula diperuntukkan bagi
Hindia Belanda. Demikian pula dengan
komoditas perkebunan lainnya seperti kapas,
tembakau, nila dan indigo.
Perkembangan kapitalisme monopoli
yang pesat mendorong imperialis Belanda
memperkuat kedudukannya di pulau-pulau
besar lainnya. Dengan kekuatan militer besar
dan dukungan finansial yang sangat besar,
i m p e r i a l i s B e l a n d a m e m p e r c e p a t
penaklukannya secara penuh atas Aceh
melalui perang Aceh yang sangat kejam,
penaklukan Bali melalui Perang Puputan,
penaklukan di Kalimantan melalui Perang
Banjar, Penaklukan Lombok dan Sumbawa
serta keseluruhan Nusa Tenggara. Untuk
selanjutnya daerah-daerah tersebut dibuka
konsesi besar-besaran eksploitasi sumber daya
alam utamanya perkebunan besar berbagai
komoditas dan pertambangan minyak bumi,
batu bara dan gas serta berbagai bahan
mineral lainnya sesuai dengan kebutuhan
negeri imperialis.
Perkebunan tembakau yang sangat
luas dibangun di sepanjang pantai timur
Sumatera. Hanya dalam tempo beberapa
tahun saja produksinya mencapai empat kali
lipat produksi perkebunan tembakau di Jawa.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan atas
minyak dan ban kendaraan bermotor, di Hindia
B e l a n d a , p e n a n a m a n k a r e t d a n
11
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
pertambangan minyak digencarkan
sedemikian rupa. Pemerintah jajahan
memberikan konsesi luas bagi karet di
Sumatera dan Jawa dan serta melakukan
penambangan minyak di Langkat. Di akhir
abad 19 perkebunan karet besar mulai berdiri
seperti Anglo Sumatra Rubber Company Lt,
Java Rubber Onderneming Mij, British Sumatra
Rubber Estate, Sabang Rubber Onderneming
Mij, Verenigde Java Onderneming Mij, dan
Bandar Sumatra Rubber Mij.
“Di akhir abad 19 perkebunan karet
besar mulai berdiri seperti Anglo
Sumatra Rubber Company Lt, Java
Rubber Onderneming Mij, British
Sumatra Rubber Estate, Sabang Rubber
Onderneming Mij, Verenigde Java
Onderneming Mij, dan Bandar Sumatra
Rubber Mij.”
Seluruh fundasi sistem ekonomi semi-
feodal ini praktis tidak berubah secara
mendasar dalam periode yang panjang.
Memasuki periode revolusi nasional 1945,
secara ekonomi dan politik juga tidak ada
pemutusan yang signifikan atas sistem ini baik
melalui perundingan damai maupun kebijakan
“nasionalisasi palsu” dalam periode
pemerintah Sukarno karena program
nasionalisasi hanya menyasar perusahaan
asing yang kalah selama Perang Dunia ke-2.
Pada masa berikutnya, nasionalisasi seluruh
perusahaan asing hanya jatuh ke tangan
kekuatan militer kanan dan negara, berikutnya
kembali lagi ke tangan imperialis dalam
periode Suharto.
Pada tahun 1967, Suharto mulai
menjalankan rencana-rencana ekonominya.
Dimulai dengan pencabutan atas seluruh
regulasi negara yang menghambat jalannya
ekspor kapital milik imperialis ke Indonesia, dan
menggantikannya dengan regulasi baru yang
sangat pro-imperialis dan anti-rakyat. Yaitu
antara lain Undang-Undang Penanaman
Modal Asing (UU PMA No.1 tahun 1967),
Undang-Undang Penanaman Modal Dalam
Negeri (UU PMDN No. 6 th 1968), Undang-
Undang Pertambangan No.11 th 1967,
Undang-Undang Kehutanan No.5 th 1967,
Undang-Undang Transmigrasi No.3 th 1972.
Seluruh kebijakan dan regulasi yang melindungi
kaum tani dan klas buruh dan hak-hak ekonomi
rakyat Indonesia secara umum dicabut atau
dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang
yang memiliki kaitan langsung dengan
landreform semuanya dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku. Sementara Undang-Undang
Pokok Agraria no.5 th 1960 yang memiliki aspek
membela perkebunan besar dan dapat
dipergunakan sebagai kedok oleh Suharto
sengaja dibiarkan hidup sebagai tanpa aturan
dan perangkat pelaksana.
Pada masa Suharto bangsa dan
m a s y a r a k a t I n d o n e s i a m e n g a l a m i
kemunduran ekonomi yang luar biasa. Cita-
cita untuk membebaskan dirinya dari
cengkeraman imperialis harus berhadapan
dengan kebijakan ekonomi Suharto dan Orde
Barunya yang didukung penuh Imperialisme
AS. Tidak berselang lama setelah regulasi itu
ditetapkan dengan pengaturan Bank Dunia
dan IMF, perusahaan monopoli pertambangan
raksasa berdatangan dan mengikat kontrak
jangka panjang dengan Suharto. Yaitu
Freeport Mc Moran, Chevron, Caltex, Unocal,
Exxonmobile, Stanvac berdatangan dan
menguras kekayaan minyak bumi, gas dan
batu bara di Indonesia sejak tahun 1967.
Beberapa imperialis lain yang menjadi sekutu
AS setelah perang dunia ke-2 juga tidak
ketinggalan. Imperialis Jepang bertugas
membangun infrastruktur seperti jalan raya,
jembatan, pelabuhan laut, listrik dan
membangun berbagai industri rakitan otomotif
di Indonesia sejak tahun 1970-an awal.
“Cita-cita untuk membebaskan dirinya
dari cengkeraman imperialis harus
berhadapan dengan kebijakan
ekonomi Suharto dan Orde Barunya
yang didukung penuh Imperialisme AS”
Untuk mendominasi kebijakan
ekonomi Indonesia, Imperialis AS tidak hanya
menggunakan IMF dan Bank Dunia, tetapi AS
mengambil inisiatif membentuk persekutuan
kapital bagi Indonesia dengan imperialis
lainnya yaitu Inter-Governmental Group of
Indonesia (IGGI) bersama dengan Kerajaan
Belanda pada tahun Februari 1967. Pada tahun
1969 Indonesia secara resmi menjadi anggota
Bank Dunia, IMF, Asian Development Bank.
Dengan sokongan kapital pertama dalam
bentuk utang $325 juta US, imperialisme AS
mengontrol Indonesia secara ekonomi agar
tidak dapat membangun Industri nasionalnya
sendiri. Dengan kata lain ia harus setia menjadi
penghasil bahan mentah pertanian maupun
pertambangan untuk ekspor, sementara
kebutuhan dalam negeri diatur sedemikian
rupa dari impor dan beberapa barang
12
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
kebutuhan yang dapat dirakit lebih murah di
Indonesia dapat didirikan khususnya
manufaktur dengan teknologi rendahan yang
selalu dikontrol perkembangannya. Dengan
dominasi tersebut, imperialis AS memastikan
negeri ini tidak dapat menggunakan kekayaan
alam dan penduduknya yang sangat besar
untuk menjadi negeri industri yang besar di
dunia.
Skema imperialis AS mempertahan
negeri ini sebagai negeri setengah jajahan dan
setengah feodal mendapatkan sukses besar.
Indonesia selama pemerintahan Suharto
hanya bergantung hidup dari pemberian izin
Hak Penguasahaan Hutan (HPH) di hutan luas
Sumatera dan Kalimantan sejak tahun 1967
untuk kepentingan ekspor; melanjutkan sistem
ekonomi penjajah ia membangun perkebunan
besar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
S u l a w e s i s e j a k a w a l t a h u n 1 9 7 0 - a n ;
pertambangan minyak bumi dan gas; dan
dengan bantuan imperialis membangun
beberapa industri rakitan otomotif, elektronik
dan tekstil di dalam negeri. Hingga saat ini
Indonesia tidak dapat membuat mesin paling
sederhana sekali pun karena bahan mineral
untuk produksi baja dan teknologi permesinan
dikontrol oleh imperialisme AS.
“Hingga saat ini Indonesia tidak dapat
membuat mesin paling sederhana
sekali pun karena bahan mineral untuk
p r o d u k s i b a j a d a n t e k n o l o g i
permesinan dikontrol oleh imperialisme
AS.”
IV. Program Reforma Agraria palsu di Bawah
Pemerintah SBY
Pasca pemerintahan fasis Suharto, kebijakan
senada seirama terus berlangsung hingga
periode pemerintah SBY sekarang ini. Lahirnya
UU Penanaman modal no. 25/2007, UU
Minerba No. 4/2009, Undang-Undang (UU)
Perkebunan No.18 tahun 2004, UU No.41 tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dan Peraturan
Pemerintah (PP) No.18 tahun 2010 tentang
Budidaya Tanaman. Perampasan tanah di
dalam sektor kehutanan juga dibentengi
dengan landasan hukum UU No.41 tahun 1999.
Perampasan tanah untuk menunjang proyek
infrastruktur menggunakan UU Pengadaan
Lahan 2011.
Seluruh instrumen hukum tersebut
menyediakan landasan yang kokoh bagi
imperialisme secara sah dan resmi untuk
mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat
I n d o n e s i a . P e r a n a n n e g a r a m e l a l u i
pemerintah Republik Indonesia sangat terang
melayani kepentingan imperialisme secara
ekonomi, politik, kebudayaan hingga militer.
Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah
mendefinisikan seluruh aset dan investasi
imperialis sebagai obyek vital yang dilindungi
oleh hukum dan dijaga polisi-militer secara
langsung.
Pemerintahan SBY jelas pemerintah
anti landreform sejak berkuasa pada tahun
2004. Ia telah mengeluarkan kebijakan
landreform palsu untuk memperkuat dominasi
imperialisme atas penghisapan feodal yang
berlangsung di Indonesia melalui klas borjuasi
besar komprador, tuan tanah dan kapitalis
b i r o k r a t . P r o g r a m l a n d r e f o r m p a l s u
pemerintahan SBY yang utama adalah
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)
dan Revitalisasi Pertanian, Kehutanan dan
Perikanan. Seluruh program ini mengacu pada
program Bank Dunia di Indonesia termasuk
Land Administration Project (LAP) yang telah
dijalankan sejak pemerintahan Megawati
Sukarno Putri. Sebuah program sangat biadab
berkedok program sertifikasi murah namun
m e n y i m p a n t u j u a n j a h a t u n t u k
mempermudah perampasan tanah milik kaum
tani, menjadikan tanah sebagai komoditas
serta jaminan utang pada perbankan (kapital
finans).
P r o d u k s i p e r t a n i a n y a n g
bersandarkan pada monopoli tanah luas yang
menjalankan berbagai bentuk dan variasi
penghisapan feodal tetap menjadi andalan
utama negara dan gantungan hidup bagi
mayoritas rakyat. Sekitar 40 juta tenaga kerja
terserap pada usaha pertanian ini, yang
dalam keadaan sekarang, telah terbagi
dalam dua kategori besar yaitu perkebunan
besar monopoli milik tuan tanah dan pertanian
berskala kecil yang dimiliki oleh rakyat,
utamanya untuk tanaman pangan. Kedua
cabang produksi pertanian tersebut berada
dalam dominasi imperialisme dan menjadi
sumber keuntungan yang luar biasa baik
melalui operasi oligarki finansialnya dan sistem
perdagangan monopoli yang mereka
lakukan.
13
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
“Selama SBY memerintah, ekspansi
perkebunan sawit, perkebunan kayu
untuk bubur kertas (pulp) dan tebu
megalami peningkatan berlipat-lipat.”
Melalui program land reform palsu
tersebut, pemerintahan SBY terus memperluas
penguasaan tanah mengandalkan regulasi
negara yang berpihak pada tuan tanah besar
dan penanaman kapital milik imperialis dan
tindasan militer, polisi dan milisi bayaran.
Selama SBY memerintah, ekspansi perkebunan
sawit, perkebunan kayu untuk bubur kertas
(pulp) dan tebu megalami peningkatan
berlipat-lipat. Hutan tropis primer yang sangat
kaya vegetasi tumbuhan dan hewan, hutan
gambut dan rawa di samping menjalankan
secara kontinyu perampasan tanah milik kaum
tani dengan berbagai metode seperti
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan KKPA. Pada
masa pemerintahan fasis Suharto perkebunan
sawit seluas 5 juta hektar dan telah
berkembang menjadi 15 juta hektar saat ini.
Demikian pula dengan perkebunan kayu
meningkat tajam seiring dengan dijadikannya
bubur kertas sebagai komoditas ekspor
prioritas negara. Bila di zaman Suharto
perkebunan-perkebunan tersebut hanya
massif di Jawa dan Sumatera, maka sejak
zaman pemerintahan SBY, sebagaian besar
lahan eks HPH di Kalimantan, Sulawesi dan
Papua menjadi tempat ekspansi primadona.
P e r l u a s a n k e p e m i l i k a n t a n a h
monopoli oleh tuan tanah disokong oleh
kapital finans imperialis berbanding terbalik
dengan penguasaan rakyat atas tanah yang
terus menyempit. Di Jawa, kepemilikan kaum
tani atas tanah rata-rata 0,35 hektar, turun
secara kontinyu dari 0,5-1 hektar di era
sebelumnya. Demikian pula dengan kaum tani
di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sekalipun
mereka berdiam di pulau yang sangat besar
dan jarang penduduk, kepemilikan kaum tani
atas tanah terus mengalami kemerosotan dari
sebelumnya rata-rata 2 hektar mejadi rata-
rata 1 hektar. Tanah-tanah petani plasma
yang terintegrasi dalam tanah monopoli milik
tuan tanah hampir dipastikan bukan milik kaum
tani lagi. Dengan berbagai manipulasi
terselubung maupun represif, tanah-tanah-
tanah tersebut telah berpindah tangan karena
kelicikan tuan tanah dan bank pendukung
dana perkebunan. Pemerintahan SBY terus
berusaha memperkecil kepemilikan kaum tani
atas tanah dengan berbagai regulasi
p e n g a d a a n t a n a h u n t u k p r o y e k
pembangunan khususnya infrastruktur.
Liberalisasi perdagangan komoditas
pertanian di bawah pemerintahan SBY tetap
menjadi prioritas utama. Dimulai dengan
pencabutan subsidi terhadap harga sarana
pertanian seperti pupuk dan bibit, subsidi atas
harga komoditas kaum tani juga dihapus dan
dikorup oleh para kapitalis birokrat yang
berurusan langsung dengan komoditas
pangan maupun non pangan seperti BULOG
dan unit pelaksana teknis pertanian dalam
birokrasi negara. Gula, beras, kedelai, jagung
dan berbagai tanaman pangan lainnya sama
sekali tanpa subsidi negara dan dalam waktu
bersamaan produk impor masuk dengan bea
masuk 0%. Sementara itu produk pertanian
miliki imperialis Amerika Serikat, Uni Eropa dan
Jepang adalah produk bersubsidi besar,
dibiayai seluruh proses eksportasinya ke
Indonesia, serta diproteksi dari barang yang
sama dari luar dengan bea masuk mencapai
50%.
“Peta Pertambangan Indonesia yang
dibuat di era pemerintahan Megawati
Sukarno Putri dimanfaatkan oleh
pemerintahan SBY untuk menarik
sebesarnya kapital imperialis di sektor
pertambangan.”
D i b a w a h p e m e r i n t a h a n S B Y ,
Indonesia menjadi surga bagi penanaman
kapital finans milik imperialis. Uang-uangnya
ditanam selain dalam perkebunan seperti
dijelaskan di atas, juga dalam pertambangan
besar, dalam bank-bank dan berbagai institusi
keuangan non bank, dan utang berbunga
tinggi. Pemerintahan SBY adalah pemerintah
anti industri nasional. Bangsa dan rakyat
Indonesia kehilangan syarat-syarat untuk
menjadi negara industri maju karena seluruh
bahan mentah pertanian dan tambang,
energi, dan tenaga kerja Indonesia diabdikan
untuk kepentingan imperialis. Selain pertanian,
dominasi terbesar dari imperialisme
berlangsung dalam sektor pertambangan.
Pertambangan minyak, gas, batubara, aneka
logam menjadi andalah pemerintah SBY untuk
mengatasi defisit anggarannya. Di bawah
pemerintahan SBY penguasaan imperialis
terhadap pertambangan mencapai 85,4%
dari seluruh konsesi minyak dan gas. Peta
Pertambangan Indonesia yang dibuat di era
pemerintahan Megawati Sukarno Putri
14
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
dimanfaatkan oleh pemerintahan SBY untuk
menarik sebesarnya kapital imperialis di sektor
pertambangan. Dengan kedok menutupi
d e fi s i t a n g g a r a n b e l a n j a n e g a r a ,
pemerintahan SBY berusaha meningkatan
produksi minyak dan gas serta sumber energi
alamiah yang penting seperti batubara.
Perusahaan tambang besar milik imperialis AS
dan imperialis asing lainnya seperti
ExxonMobile oil, Chevron, British Petrolium,
Santa fe, Santos, menguras minyak bumi, gas
alam dan batubara. PT Freeport McMoran,
Inco, Newmont, Unocal menguras berbagai
biji besi, emas, nikel, bauksit dan berbagai
bahan mineral industri lainnya.
V. Jalan Keluar Tunggal: Landreform Sejati
Akar masalah monopoli tanah dan
seluruh kekayaan agraria bersumber pada tiga
masalah pokok rakyat Indonesia, yakni:
imperialisme, feodalisme dan kapitalisme
birokrat. Imperialisme secara langsung telah
menciptakan klas-klas reaksi di dalam negeri
yakni borjuasi komprador dan tuan tanah yang
mengontrol negara Republik Indonesia.
Imperialisme juga melahirkan pemerintah
boneka sebagai mesin politik yakni jajaran
kapitalis birokrat sipil dan militer yang melayani
kepentingan imperialis. Perjuangan rakyat
Indonesia yang mendambakan Indonesia
baru yang bebas, demokratis, kuat dan
sejahtera harus terlebih dahulu mengalahkan
tiga musuh pokok rakyat tersebut. Tanpa
menghancurkan batu gunung beban tersebut
maka mustahil melahirkan Indonesia baru.
“Landreform sejati adalah jawaban
tunggal bagi sistem masyarakat
setengah jajahan dan setengah feodal
k a r e n a m e m u t u s b a s i s s o s i a l
p e n g h i s a p a n i m p e r i a l i s m e d i
Indonesia.”
Perjuangan untuk menghentikan
monopoli tanah dan seluruh sumber kekayaan
alam kemudian mengembalikan pada
pemiliknya yakni rakyat Indonesia merupakan
perjuangan yang mutlak dilakukan.
Landreform sejati adalah jawaban tunggal
bagi sistem masyarakat setengah jajahan dan
setengah feodal karena memutus basis sosial
penghisapan imperialisme di Indonesia. Tujuan
utamanya Landreform sejati adalah
meniadakan pengisapan feodal dan semi
feodal atas kaum tani yang luas di pedesaan.
Karena itu kaum tani menjadi kekuatan pokok
dari perjuangan atas pelaksanaan landreform
sejati. Program minimum landreform sejati
meliputi penurunan sewa tanah secara
bertahap, menghapuskan segala bentuk
peribaan, menaikkan upah buruh tani –
termasuk buruh tani yang bekerja pada tanah
perkebunan yang dikelola secara kapitalis,
menurunkan harga input dan output
pertanian, serta menaikkan harga dan
melindungi produk pertanian rakyat Indonesia.
Sedangkan program maksimum landreform
sejati adalah pelaksanaan penghapusan
pengisapan feodal dan semi feodal dengan
melakukan distribusi tanah bagi buruh tani dan
petani miskin, pengelolaan pertanian (input
dan output) secara mandiri, modernisasi
pertanian yang dilayani oleh industri nasional,
dan pada tahap berikutnya adalah
kolektifikasi pertanian.
Penghapusan pengisapan feodal dan
semi feodal serta kembalinya seluruh
kekayaan alam ke tangan rakyat menjadi
syarat pokok bagi program industrialisasi
nasional di Indonesia. Tanpa landreform sejati
mustahil terbangun industri nasional yang kuat,
mustahil juga membangun demokrasi sejati.
Untuk menjamin hari depan yang gilang
g e m i l a n g m a k a m u t l a k m e n u n t u t
kepemimpinan klas buruh dalam pelaksanaan
landreform sejati. Karena itu, masalah
landreform sejati bukan hanya aspirasi kaum
tani semata namun juga klas buruh, semi
proletar, borjuis kecil, borjuasi nasional – seluruh
rakyat Indonesia yang anti feodal dan anti
imperialis.
15
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
Catatan Kaki
1. Penulis adalah Researcher Program Agraria
pada The Institute for National and Democracy
Studies (INDIES). Korespondensi bisa dilakukan
melalui alamat email: holaprab@yahoo.com
2. Watak khusus imperialisme: (1) Imperialisme
adalah kapitalisme monopoli, (2) Imperialisme
adalah kapitalisme yang membusuk dan
parasit, (3) Imperialisme adalah kapitalisme
yang sekarat. Lihat V. I. Lenin dalam buku
Imperialism, The Highest Stage of Capitalism,
Progress Publisher, Moscow, 1975.
3. Lihat pidato Leon Panetta, Sekretaris
Pertahanan AS di Hotel Shangri-la, Singapura, 2
Juni 2012. Isi pidato bisa diunduh di:
http://www.defense.gov/speeches/speech.as
px?speechid=1681
4. Samir Amin, Beyond US Hegemony? Assesing
the Prospects for a Multipolar World, Strategic
Information Research Development (SIRD),
Malaysia, 2006. hal 4.
5. H.W. Deandels, Gubernur Jenderal 1808-
1811; Thomas S. Raffles, Gubernur Jenderal
1811-1816; van den Bosch, Gubernur Jenderal
1830-1870, Jenderal Komisioner 1823-1833.
6. Gunawan Wiradi, dalam pengantar Prinsip-
prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan
dan Kemakmuran Rakyat, Lapera Pustaka
Utama, 2001, hal. 7.
7. Penulis perlu memberikan sedikit keterangan,
bahwa sebelum pemberlakuan cultuurstelsel
oleh van den Bosch 1830, masa sebelumnya
telah dikenal Sistem Kuota yang Ditentukan
(contingenten) dan Sistem Penyerahan paksa
(gedwongene leveringen) yang diberlakukan
selama periode VOC sekitar awal abad 17
s a m p a i a k h i r a b a d 1 8 .
8. Supeno, Sejarah Ringkat Gerakan Rakyat
Indonesia untuk Kebebasan, 1982, hal 7.
9. Raffles, Sir Thomas Stamford, The History of
Java, London, 1817, hal. 138 & 107.
10. Gunawan Wiradi, ibid.
11. Knight, G.R, Capitalism and Colonial
Production, Hamza Alavi (editor), Croom Helm,
London & Canberra, 1982, hal 23.
12. Adrian Vickers, A History of Modern
Indonesia, Cambridge University Press, hal 16.
13. Lenin, V.I, Imperialism, The Highest Stage of
Capitalism, Progress Publisher, Moscow, 1975
14. Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia
dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial, Penerbit
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999, hal 71.
15. Dikutip dari Gunawan Wiradi, ibid.
16
SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
Daftar Pustaka
Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia,
Cambridge University Press, New York, 2005.
Boeke, J.H, Economics and economic Policy of
Dual Societies as Exemplified by Indonesia,
Haarlem, 1953.
Geertz, C, Agricultural Evolution. The Process of
Ecological Change in Indonesia, University of
California Press, 1963.
Gunawan Wiradi, dalam kata pengantar
Prinsip-prinsip Reforma Agraria Jalan
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat,
Lapera Pustaka Utama, 2001.
Knight, G.R, Capitalism and Colonial
Production, Hamza Alavi (editor), Croom Helm,
London & Canberra, 1982.
Jean Gelman Taylor, Indonesia, Peoples and
Histories, Yale University Press, 2003.
M. Tauchid, Masalah Agraria, I, Penerbit
Tjakrawala, 1952
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-
2008, Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta,
Jakarta, 2008.
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika
Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Insist-KPA-
Pustaka Pelajar, 1999.
Supeno, Sejarah Singkat Gerakan Rakyat
Indonesia untuk Kebebasan, 1982, tidak
dipublikasikan.
Samir Amin, Beyond US Hegemony? Assesing
the Prospects for a Multipolar World, Strategic
Information Research Development (SIRD),
Malaysia, 2006.
Sediono M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi
(Penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah,
Pola Penguasaan Pertanian di Jawa dari Masa
ke Masa, Yayasan Obor Indonesia dan PT.
Gramedia Jakarta, 1984.
Thomas Stanford Raffless, The History of Java, vol
I edisi kedua, London, John Murray, Albemarle
Street. Gilbert and Rivingtone, Printers, 1817.
V. I. Lenin, Imperialism, The Highest Stage of
Capitalism, Progress Publisher, Moscow, 1975.
Wertheim, Wim F. Dunia Ketiga Dari dan Ke
mana? Negara Protektif versus Pasar Agresif,
Het Spinhuis, 1997, diterjemahkan oleh Ira
Iramanto.
Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam
Transisi, Studi Perubahan Sosial, Penerbit Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1999
17
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
BUMN Sebagai Instrumen Ekonomi Kerakyatan
1
Oleh : Dani Setiawan
Abstraksi
Artikel ini akan memeriksa tentang peran dan
kedudukan BUMN dalam perekonomian di
Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945
pasal 33. Perhatian utama tulisan ini akan
difokuskan menjelaskan tujuan utama
pengelolaan BUMN sebagai instrumen
ekonomi kerakyatan dan ditujukan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan
tetapi, keberadaan BUMN dianggap memiliki
tata kelola yang buruk serta cenderung
menjadi alat kekuasaan dan terancam oleh
kebijakan privatisasi.
Tulisan ini juga menjelaskan bagaimana posisi
BUMN sektor perkebunan di Indonesia dalam
perekonomian nasional. Perkembangan
lanskap perekonomian global serta tantangan
internal yang dihadapinya, menuntut
perusahaan perkebunan ini meningkatkan
peranannya dalam perekonomian dan
menjalankan tugas sebagai instrumen negara
dalam praktek ekonomi kerakyatan di sektor
perkebunan. Pembentukan Holding Company
dengan menggabungkan 15 perusahaan
perkebunan negara merupakan tantangan
sendiri bangaimana peran perusahaan ini ke
depan dalam menjawab dinamika internal
dan eksternal dalam lingkup sosial, ekonomi
dan keamanan manusiawi. Dalam kesimpulan,
penulis menyebutkan bahwa pendelegasian
wewenang pengelolaan kepada BUMN
perkebunan belum disertai dengan mandat
yang tegas dalam melaksanakan amanat
konstitusi.
Kata Kunci: BUMN, UUD 1945 pasal 33, Ekonomi
Kerakyatan, Perkebunan
Abstracs
This article will examine the role and position of
SOEs in the Indonesian economy, as mandated
by the UUD 1945, Article 33. The main concern of
this paper will focus on explaining the main
purpose of management of SOEs as an
instrument of the economic democracy and
aimed for the maximum prosperity of the
people. However, the existence of SOEs
considered to have poor governance and
tends to be an instrument of power and
threatened by privatization policies.
This paper also describes how the position of
state-owned plantation sector in the national
economy. Developments in global economic
landscape as well as internal challenges it
faces, demanding the company to increas its
role in the economy and as an instrument of the
state in carrying out the practice of economic
democracy in the plantation sector.
Establishment of Holding Company by
combining 15 state plantation firms own
challenges and how the role of this company in
answering internal and external dynamics in the
social, economic and human security. In
conclusion, the authors stated that the
delegation of authority to the management of
state-owned plantations have not been
accompanied by a clear mandate to
implement the constitutional purposes.
Keywords: SOEs, UUD 1945 article 33, Economic
Democracy, Plantation
Latar Belakang
Dalam Undang Undang Dasar 1945
Republik Indonesia pasal 33, terdapat cita-cita
yang tertanam untuk mendorong kedaulatan
rakyat dalam perekonomian nasional. Dimana
hal tersebut merupakan dasar perekonomian
yang semakin jauh dari sifat individualisme dan
semakin dekat kepada kolektivisme. Secara
historis, gagasan ini didorong sebagai cara
untuk merombak struktur ekonomi kolonial
yang diwariskan hingga masa kemerdekaan.
Sebagaimana dikemukakan Soekarno, meski
kemerdekaan Indonesia dianggap sesuatu
19
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
yang menjanjikan, akan tetapi belum pasti
m e n e n t u k a n p e r b a i k a n h i d u p d a n
kesejahteraan rakyat bilamana sistem
1
kapitalisme dan imperialisme masih bertahan .
Dari sudut ini, penyelidikan mengenai
peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai
dilakukan. Salah satu aktor dalam ekonomi
Indonesia yang dibentuk segera setelah
kemerdekaan Indonesia dan tetap bertahan
hingga saat ini. BUMN berperan sebagai alat
negara untuk melakukan penguasaan dan
pengelolaan terhadap kekayaan negara dan
memiliki fungsi dalam penyediaan kebutuhan
rakyat. Sehingga pada akhirnya negara dapat
memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk
mendistribusikan hasil dari pemanfaatan
kekayaan nasional bagi kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia.
“BUMN berperan sebagai alat negara
untuk melakukan penguasaan dan
pengelolaan terhadap kekayaan
negara dan memiliki fungsi dalam
penyediaan kebutuhan rakyat.”
Meski demikian, perkembangan BUMN
tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan.
BUMN menghadapi sejumlah persoalan yang
bersifat internal maupun eksternal. Di antara
yang sering dikemukakan adalah rendahnya
tata kelola di dalam tubuh BUMN sehingga
menimbulkan kerugian bagi negara. Situasi ini
secara struktural banyak disebabkan oleh
desain kelembagaan BUMN yang cenderung
menjadi alat kekuasaan dan dimanfaatkan
untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Selebihnya, banyak persoalan BUMN juga
disebabkan birokrasi pemerintah yang
menghambat budaya kerja BUMN yang efektif
dan efisien. Perusahaan negara ini juga masih
harus menghadapi berbagai persoalan sosial
dan ekologi misalnya persoalan pencemaran
lingkungan dan konflik lahan.
“Privatisasi seolah menjadi satu-satunya
obat mujarab bagi pelaksanaan
reformasi pengelolaan BUMN”
Akan tetapi, eksistensi BUMN juga
mendapat ancaman dengan masih kuatnya
keinginan sejumlah pihak untuk memaksakan
privatisasi BUMN. Sebagaimana dapat dilihat
dengan masih tetap dicantumkannya pos
privatisasi dalam struktur penerimaan
pembiayaan dalam APBN. Privatisasi seolah
menjadi satu-satunya “obat mujarab” bagi
pelaksanaan reformasi pengelolaan BUMN.
Bahkan pelaksanaan privatisasi secara masif
sebagai persyaratan utang IMF, ADB, dan Bank
Dunia, telah berhasil menciutkan jumlah BUMN
dan memperbesar porsi modal asing dalam
penguasaan sektor ekonomi di Indonesia.
Salah satu BUMN yang sering menjadi
sasaran kritik adalah perusahaan-perusahaan
yang bergerak di sektor perkebunan.
Perusahaan negara yang merupakan hasil dari
kebijakan nasionalisasi perusahaan asing pada
masa orde lama ini, menjadi salah satu sumber
inefisiensi dalam tubuh BUMN. Bahkan
keberadaannya telah menimbulkan persoalan
sosial di tengah masyarakat. Pada bulan Maret
2012, Pemerintah menggabungkan 14 PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali
Nusantara Indonesia (RNI) dengan membentuk
holding company. Diperkirakan total aset yang
dimerger mencapai Rp50 triliun dengan potensi
meraup laba bersih sekitar Rp5,3 triliun pada
2
tahun 2012 . Strategi ini diharapkan mampu
menjawab masalah produktivitas dan
kemampuan leverage yang rendah serta
tuntutan untuk memberi kontribusi optimal bagi
3
negara . Di sisi lain, BUMN perkebunan juga
tengah menghadapi persoalan pelik seperti
banyaknya sengketa lahan dengan rakyat
yang terjadi di hampir seluruh wilayah
operasinya.
Mencermati perkembangan BUMN
dewasa ini serta berbagai persoalan yang
tengah dihadapinya, pertanyaan penting
yang relevan untuk diajukan adalah apakah
s e s u n g g u h n y a m i s i d a n t u j u a n
penyelenggaraan BUMN dalam konstitusi?
Serta bagaimana posisi dan peran BUMN sektor
Perkebunan dalam Perekonomian nasional?
Tulisan ini bermaksud untuk menjawab dua
masalah di atas sekaligus mencoba untuk
mengeksplorasi perdebatan yang muncul di
seputar masalah tersebut. Untuk itu, tulisan ini
akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama akan membahas secara singkat
perkembangan BUMN selama ini serta peran
dan kedudukan BUMN dalam sistem ekonomi di
Indonesia. Bagian kedua dalam tulisan ini akan
mengulas tentang tata kelola BUMN
perkebunan dan posisinya dalam konstitusi.
Bagian ketiga akan ditutup dengan
kesimpulan.
II. Sejarah BUMN
Keberadaan BUMN dalam perekonomian
I n d o n e s i a t e l a h d i m u l a i s e j a k a w a l
20
kemerdekaan dengan dibentuknya sejumlah
perusahaan. Diantaranya yaitu Bank Negara
Indonesia 1946, Bank Industri Negara (BIN),
Perusahaan Dagang Pusat (Central Trading
Company), Perusahaan Pelayaran Nasional
(PELNI), Garuda Indonesia Airways (GIA), dan
Djawatan Angkutan Mobil Republik Indonesia
4
(DAMRI) . Jumlah perusahaan BUMN
mengalami peningkatan sangat pesat ketika
terjadi pengambilalihan perusahaan-
perusahaan Belanda pada tahun 1957-1958.
Tindakan ini dilakukan terhadap perkebunan
Belanda, Bank, dan beberapa perusahaan
Belanda lainnya sebagai reaksi dari
memuncaknya sengketa Irian Barat. Sebuah
catatan bahkan menyebutkan, lebih dari 400
perusahaan perkebunan/pertanian telah
5
diambilalih dalam kebijakan nasionalisasi ini .
H a l i n i k e m u d i a n d i i k u t i d e n g a n
pengambilalihan perusahaan-perusahaan
milik Inggris, Amerika dan negara-negara Barat
lainnya pada periode 1963-1965.
“Pengambilalihan ini merupakan
pukulan keras bagi modal asing di
Indonesia dan berhasil mengubah
susunan ekonomi secara fundamental.”
Pengambilalihan ini merupakan
pukulan keras bagi modal asing di Indonesia
dan berhasil mengubah susunan ekonomi
secara fundamental. Hal itu meliputi
perubahan kepemilikan 90% hasil perkebunan,
60% perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan
tambang, juga sejumlah bank serta berbagai
6
macam industri jasa . Tindakan perubahan
kepemilikan oleh negara ini juga ditenggarai
akibat kaum kapitalis pribumi terbukti masih
terlalu lemah untuk mengelola perusahaan-
perusahaan warisan kolonial ini. Sebagaimana
diketahui karena pada mulanya pemerintah
sendiri ragu untuk mengambilalih perusahaan-
perusahaan ini setelah dimulai dengan aksi
pengambilalihan spontan yang dilakukan oleh
serikat buruh. Hingga sampai dikeluarkannya
dekrit presiden tahun 1959 sebagai permulaan
masa ekonomi dan demokrasi terpimpin,
perusahaan-perusahaan negara ini mulai
menjadi alat kebijaksanaan negara.
Pada tahun 1980-an, Indonesia
7
memiliki lebih dari 200 perusahaan BUMN .
Termasuk perusahaan-perusahaan besar yang
mendominasi sektor ekonomi strategis, seperti
Pertamina, Garuda Indonesia, perbankan, dan
perusahaan telekomunikasi. Pada tahun 1991,
total produksi yang dihasilkan BUMN mencapai
15 persen dari total PDB dengan kepemilikan
aset sebesar Rp200 triliun. Pada tahun 2011,
jumlah BUMN mengalami penurunan hingga
hanya sekitar 141 perusahaan dan kepemilikan
negara minoritas di 15 perusahaan. Total aset
yang dimiliki BUMN hingga tahun 2011
berjumlah Rp2.926 triliun dan berkontribusi
kepada negara dalam bentuk pembayaran
deviden dan pajak diproyeksikan sebesar
8
Rp143,7 triliun . Meningkat dari tahun
sebelumnya, dimana sumbangan BUMN
dalam APBN berjumlah Rp129,8 triliun, yang
9
terdiri dari pembayaran pajak dan deviden .
Namun, dari total aset BUMN tersebut,
belum seluruhnya dimanfaatkan secara
optimal guna menghasilkan pendapatan bagi
perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari rasio
return on asset (ROA) BUMN yang masih relatif
kecil, yaitu sebesar 4,18% dari total aset BUMN
yang mencapai Rp2.962 trilliun. Laba BUMN
pada akhir tahun 2011 hanya mencapai
Rp123.935 triliun, dengan return on equity (ROE)
10
sebesar 17,28% Dari 141 BUMN yang ada,
sebagian besar merupakan perusahaan
dengan kinerja dan skala usaha yang relatif
kecil. Berdasarkan data Kementerian BUMN
tahun 2008, sebanyak 25 BUMN (25 BUMN
besar) mempresentasikan 97,16% dari total
aset, 91,73% dari total ekuitas, 86,69% dari total
penjualan dan 98,11% dari total laba bersih
seluruh BUMN.
Tabel 1
Perkembangan Kinerja BUMN
Sumber: Kementerian BUMN, 2011.
Catatan: Dividen untuk APBN TA 2011 (TB 2010)
belum termasuk Dividend saham PT Krakatau
Steel Tbk sebesar Rp 956 M yang berasal dari
kapitalisasi laba Januari s.d September tahun
2011 dalam rangka pelaksanaan IPO Dividen
untuk APBNP TA 2012 berasal dari laba tahun
buku 2011 yang saat ini masih dalam proses
RUPS.
21
Deskripsi/Tahun
Total Aktiva (Rp Milyar)
Total Ekuitas (Rp Milyar)
Total Pendapatan (Rp Milyar)
Total Laba Bersih (Rp Milyar)
ROA
ROE
CAPEX (Rp Milyar)
OPEX (Rp Milyar)
Dividen (Rp Milyar)*
2011 RKAP 2012
2,962,699
717,424
1,338,667
123,935
4.18%
17,28%
142,327
1,226,551
28,171
3,422,422
853,280
1,495,689
145,564
4.25%
17,06%
217,383
1,216,456
30,776
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
III. Peran dan Kedudukan BUMN
Kenyataan mengenai keberadaan
BUMN sebagai salah satu pelaku ekonomi di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
kehadiran pasal 33 dalam UUD 1945.
Sebagaimana dikemukakan dalam bagian
penjelasan pasal tersebut, “Dalam Pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang
seorang. Sebab itu, perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah koperasi.”
“Tidak banyak penelitian akademik di
Indonesia dewasa ini yang memulai
penyelidikan mengenai posisi dan
p e r a n B U M N d e n g a n m e l i h a t
penjelasan pasal 33 sebagai tujuan
utama dari penyelenggaraan ekonomi
nasional”
Tidak banyak penelitian akademik di
Indonesia deawasa ini yang memulai
penyelidikan mengenai posisi dan peran BUMN
dengan melihat penjelasan pasal 33 sebagai
tujuan utama dari penyelenggaraan ekonomi
nasional. Melalui penjelasan pasal 33 itu dapat
diketahui bahwa ayat 1, 2, dan 3 pasal 33 UUD
1945 merupakan dasar dari demokrasi ekonomi
atau Sistem Ekonomi Kerakyatan yang hendak
diselenggarakan di Indonesia. Singkatnya,
ketiga ayat dalam pasal 33 UUD 1945 yang asli
merupakan instrumen transformasi ekonomi
d a l a m m enj a l a nk a n s i s tem ek onom i
kerakyatan di Indonesia. Secara historis, hal
tersebut mengandung pengertian bahwa
segala bentuk sistem ekonomi kapitalisme yang
berwatak individualisme yang diwariskan pada
masa penjajahan, hendak diubah dengan
sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan
kekeluargaan (kolektivisme). Hatta (1977),
menyebut asas kekeluargaan itu adalah
11
Koperasi . Meskipun tidak semua bangun
perusahaan harus berbentuk koperasi. Di
samping koperasi juga terdapat perusahaan
negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Tetapi
kedua bangun perusahaan ini harus tetap
m e n g i k u t i a s a s k e k e l u a r g a a n d a n
kebersamaan atau harus berjiwa koperasi dan
12
bersemangat koperasi .
“ H a t t a ( 1 9 7 7 ) , m e n y e b u t a s a s
kekeluargaan itu adalah Koperasi.”
Terdapat beragam definisi mengenai sistem
e k o n o m i k e r a k y a t a n , s a l a h s a t u n y a
dikemukakan oleh Baswir (2009)
“Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah
sebuah sistem perekonomian yang sangat
menekankan pentingnya partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses
penyelenggaraan perekonomian.
Sehubungan dengan itu, dalam Sistem
Ekonomi Kerakyatan, setiap anggota
m a s y a r a k a t t i d a k d a p a t h a n y a
d i p e r l a k u k a n s e b a g a i o b j e k
p e r e k o n o m i a n . I a a d a l a h s u b j e k
perekonomian, yaitu yang memiliki hak
untuk berpartisipasi secara langsung
d a l a m p r o s e s p e n y e l e n g g a r a a n
perekonomian, serta dalam mengawasi
berlangsungnya proses perekonomian
13
tersebut.”
Didasarkan pada definisi ini, maka
sebuah politik perekonomian yang ditujukan
bagi peningkatan peran serta rakyat dalam
seluruh kegiatan ekonomi secara tidak
langsung memberi legitimasi bagi campur
tangan negara. Dengan demikian dapat
d i p a h a m i b a h w a k e d u d u k a n B U M N
merupakan instrumen campur tangan negara
dalam menguasai cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara serta bumi, air, dan
segala yang terkandung di dalamnya
sebagaimana disebutkan dalam ayat 2 dan 3
UUD 1945. Yang dimaksud dengan dikuasai
oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 itu lebih
ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh
negara (bukan pemerintah) untuk melakukan
pengendalian. Artinya, dengan dikuasainya
cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak tersebut oleh negara, berarti
negara memiliki hak untuk mengendalikan
kegiatannya. “Penyelenggaraannya secara
langsung dapat diserahkan kepada badan-
badan pelaksana—BUMN atau perusahaan
swasta, yang bertanggungjawab kepada
pemerintah, yang kerjanya dikendalikan oleh
14
negara.”
Pada 21 Desember 2004, dalam amar
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai
pengujian UU Migas Nomor 22/2001, MK
memberikan tafsir atas makna dikuasai oleh
negara dengan menyatakan:
22
“...pengertian “dikuasai oleh negara”
haruslah diartikan mencakup makna
penguasaan oleh negara dalam luas yang
bersumber dan diturunkan dari konsepsi
kedaulatan rakyat Indonesia atas segala
sumber kekayaan “bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya,” termasuk pula di dalamnya
pengertian kepemilikan publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan dimaksud. Rakyat secara
kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid)
d a n t i n d a k a n p e n g u r u s a n
( b e s t u u r s d a a d ) , p e n g a t u r a n
( r e g e l e n d a a d ) , p e n g e l o l a a n
(beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat...”
Kemudian pada amar putusan
tanggal 13 November 2012 mengenai
pengujian kembali UU Migas, MK kembali
menegaskan kewenangan negara c.q
p e m e r i n t a h , m e l a l u i l e m b a g a y a n g
dibentuknya (BUMN) untuk menjalankan
amanat pasal 33 UUD 1945. Sebagai mana
d i s e b u t k a n , “ . . . F u n g s i p e n g e l o l a a n
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme
pemilikan saham (share-holding) dan/atau
sebagai instrumen kelembagaan, yang
melaluinya negara, c.q. Pemerintah,
mendayagunakan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dalam pengertian ini, menjadi jelas bahwa
penguasaan negara terhadap “cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara”
dan “menguasai hajat hidup orang banyak”
tersebut tetap harus memiliki misi yang jelas,
yaitu ditujukan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sebab negara sangat
mungkin melakukan penguasaan terhadap
sumber daya alam secara penuh tetapi tidak
memberikan manfaat sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat
menunjukkan kedaulatan pada sumber daya
alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta
mendapatkan sebesar-besar kemakmuran
atas sumber daya alam tersebut.
“Salah satu kelemahan mendasar dari
penyelenggaraan BUMN saat ini adalah
tiadanya penjelasan yang memadai
mengenai definisi “cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara”
dan “yang menguasai hajat hidup
orang banyak” dalam berbagai
p e r a t u r a n d a n d o k u m e n r e s m i
pemerintah.”
Salah satu kelemahan mendasar dari
penyelenggaraan BUMN saat ini adalah
tiadanya penjelasan yang memadai
mengenai definisi “cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara” dan “yang
menguasai hajat hidup orang banyak” dalam
berbagai peraturan dan dokumen resmi
pemerintah. Bahkan sebaliknya, sebagaimana
dilihat dalam UU Keuangan Negara dan UU
BUMN justeru dengan sengaja mengatur
secara khusus mengenai privatisasi BUMN. Satu-
satunya penjelasan yang bisa ditemui adalah
p e n g e r t i a n p e m e r i n t a h m e n g e n a i
“menyangkut hajat hidup orang banyak,”
dimana hal tersebut tetap harus dipertahankan
kepemilikan mayoritas negara pada BUMN
tersebut. Sedangkan terhadap BUMN yang
bidang usahanya atau produk/jasa yang
dihasilkan tidak termasuk dalam kategori
“menyangkut hajat hidup orang banyak”,
maka kepemilikan Negara pada BUMN
tersebut dapat dipertimbangkan untuk tidak
mayoritas atau bahkan dilepas (divestasi),
tertutama untuk sektor-sektor atau BUMN yang
dirasakan Negara tidak perlu lagi ikut serta
dalam sektor usaha tersebut.
A d a p u n k r i t e r i a B U M N y a n g
“menyangkut hajat hidup orang banyak”
mencakup beberapa hal, yaitu: Amanat
Pendirian oleh Peraturan Perundangan untuk
tetap dimiliki oleh Negara; Mengemban Public
Service Obligation (PSO); Terkait erat dengan
Keamanan Negara; Melakukan Konservasi
Alam/Budaya; Berbasis Sumber Daya Alam
yang menurut Undang-undang harus dimiliki
mayoritas oleh Negara; dan penting bagi
15
stabilitas ekonomi/Keuangan Negara . Kriteria
tersebut tetap mengandung kelemahan.
Bukan saja posisinya yang tidak dijelaskan
dalam peraturan perundang-undangan
manapun, sebaliknya pemerintah justeru
menetapkan dalam UU Penanaman Modal No.
25 tahun 2007 bahwa pada prinsipnya
pemerintah membuka hampir semua sektor
bagi kepemilikan modal asing di dalam negeri.
Menurut MK, terdapat empat hal yang
bisa dikuasai oleh negara, yaitu: 1) cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara
dan sekaligus menguasai hajat hidup orang
banyak; 2) cabang-cabang produksi yang
23
JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung
Politik Gula dan Konflik Tak Berujung

More Related Content

Similar to Politik Gula dan Konflik Tak Berujung

Khilafah satu satunya harapan
Khilafah  satu satunya harapanKhilafah  satu satunya harapan
Khilafah satu satunya harapanRizky Faisal
 
Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia
Kuasa Taipan Kelapa Sawit di IndonesiaKuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia
Kuasa Taipan Kelapa Sawit di IndonesiaAntonius Marhenanto
 
Indonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan Neoimperialisme
Indonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan NeoimperialismeIndonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan Neoimperialisme
Indonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan NeoimperialismeAnas Wibowo
 
Pem budayaan jiwakooperatif-02
Pem budayaan jiwakooperatif-02Pem budayaan jiwakooperatif-02
Pem budayaan jiwakooperatif-02Forest Preneur
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016ekho109
 
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...
Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...septianm
 
Negara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorNegara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorRosim Nyerupa
 
Pengertian masyarakat madani ( civic society )~PKN
Pengertian masyarakat madani ( civic society )~PKNPengertian masyarakat madani ( civic society )~PKN
Pengertian masyarakat madani ( civic society )~PKNKhofifahh Indrianii
 
Sejarah Korupsi di Indonesia
Sejarah Korupsi di IndonesiaSejarah Korupsi di Indonesia
Sejarah Korupsi di IndonesiaLestari Moerdijat
 
Kekerasan Komunal dan Strategi Penanganannya
Kekerasan Komunal dan Strategi PenanganannyaKekerasan Komunal dan Strategi Penanganannya
Kekerasan Komunal dan Strategi PenanganannyaLestari Moerdijat
 
Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49
Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49
Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49Abdul Rachim
 
Pendidikan Pancasila
Pendidikan  PancasilaPendidikan  Pancasila
Pendidikan PancasilaSiti Chotimah
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Biotani & Bahari Indonesia
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Biotani & Bahari Indonesia
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Biotani & Bahari Indonesia
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Biotani & Bahari Indonesia
 
SISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptx
SISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptxSISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptx
SISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptxJhoneyyo
 

Similar to Politik Gula dan Konflik Tak Berujung (20)

Khilafah satu satunya harapan
Khilafah  satu satunya harapanKhilafah  satu satunya harapan
Khilafah satu satunya harapan
 
Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia
Kuasa Taipan Kelapa Sawit di IndonesiaKuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia
Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia
 
Indonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan Neoimperialisme
Indonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan NeoimperialismeIndonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan Neoimperialisme
Indonesia dan Dunia Islam Dalam Neoliberalisme Dan Neoimperialisme
 
Pem budayaan jiwakooperatif-02
Pem budayaan jiwakooperatif-02Pem budayaan jiwakooperatif-02
Pem budayaan jiwakooperatif-02
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
 
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...
Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...
 
Negara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorNegara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptor
 
Pengertian masyarakat madani ( civic society )~PKN
Pengertian masyarakat madani ( civic society )~PKNPengertian masyarakat madani ( civic society )~PKN
Pengertian masyarakat madani ( civic society )~PKN
 
Sejarah Korupsi di Indonesia
Sejarah Korupsi di IndonesiaSejarah Korupsi di Indonesia
Sejarah Korupsi di Indonesia
 
Kekerasan Komunal dan Strategi Penanganannya
Kekerasan Komunal dan Strategi PenanganannyaKekerasan Komunal dan Strategi Penanganannya
Kekerasan Komunal dan Strategi Penanganannya
 
Fae29 2d
Fae29 2dFae29 2d
Fae29 2d
 
Bacaan i ikhtisar bacaan
Bacaan i ikhtisar bacaanBacaan i ikhtisar bacaan
Bacaan i ikhtisar bacaan
 
Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49
Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49
Tugas Sosio X 1 Kel 6 sman 49
 
Pendidikan Pancasila
Pendidikan  PancasilaPendidikan  Pancasila
Pendidikan Pancasila
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
 
Selasar edisi 15
Selasar edisi 15Selasar edisi 15
Selasar edisi 15
 
SISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptx
SISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptxSISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptx
SISTEM-SISTEM PEREKONOMIAN YANG ADA DI DUNIA.pptx
 

More from Yossy Suparyo

Modul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang Tani
Modul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang TaniModul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang Tani
Modul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang TaniYossy Suparyo
 
Televisi Komunitas dan Keberaksaraan Media Masyarakat
Televisi Komunitas dan Keberaksaraan Media MasyarakatTelevisi Komunitas dan Keberaksaraan Media Masyarakat
Televisi Komunitas dan Keberaksaraan Media MasyarakatYossy Suparyo
 
INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...
INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...
INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...Yossy Suparyo
 
Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019
Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019
Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019Yossy Suparyo
 
Strategi komunikasi massa
Strategi komunikasi massaStrategi komunikasi massa
Strategi komunikasi massaYossy Suparyo
 
Manfaat Sistem Informasi Desa
Manfaat Sistem Informasi DesaManfaat Sistem Informasi Desa
Manfaat Sistem Informasi DesaYossy Suparyo
 
Modul untuk Perancang Pelatihan
Modul untuk Perancang PelatihanModul untuk Perancang Pelatihan
Modul untuk Perancang PelatihanYossy Suparyo
 
Strategi Mengelola Website Desa
Strategi Mengelola Website DesaStrategi Mengelola Website Desa
Strategi Mengelola Website DesaYossy Suparyo
 
Penjelasan Undang-Undang Desa
Penjelasan Undang-Undang DesaPenjelasan Undang-Undang Desa
Penjelasan Undang-Undang DesaYossy Suparyo
 
Dokumen Undang-Undang Desa
Dokumen Undang-Undang DesaDokumen Undang-Undang Desa
Dokumen Undang-Undang DesaYossy Suparyo
 
Lokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa Melung
Lokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa MelungLokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa Melung
Lokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa MelungYossy Suparyo
 
Presentasi Gerakan Desa Membangun
Presentasi Gerakan Desa MembangunPresentasi Gerakan Desa Membangun
Presentasi Gerakan Desa MembangunYossy Suparyo
 
Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...
Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...
Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...Yossy Suparyo
 
Inpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata Kelola
Inpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata KelolaInpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata Kelola
Inpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata KelolaYossy Suparyo
 
Dampak waduk bagi keanekaragaman hayati
Dampak waduk bagi keanekaragaman hayatiDampak waduk bagi keanekaragaman hayati
Dampak waduk bagi keanekaragaman hayatiYossy Suparyo
 
Peta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di Indonesia
Peta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di IndonesiaPeta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di Indonesia
Peta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di IndonesiaYossy Suparyo
 
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatanAnalisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatanYossy Suparyo
 

More from Yossy Suparyo (20)

Modul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang Tani
Modul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang TaniModul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang Tani
Modul Inkubasi Bisnis Pertanian Gerbang Tani
 
Televisi Komunitas dan Keberaksaraan Media Masyarakat
Televisi Komunitas dan Keberaksaraan Media MasyarakatTelevisi Komunitas dan Keberaksaraan Media Masyarakat
Televisi Komunitas dan Keberaksaraan Media Masyarakat
 
INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...
INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...
INV 01-0001 Pemuda Nangawera-Wora Menginisiasi Garap Lahan Tidur 21 Ha untuk ...
 
To have or to be
To have or to beTo have or to be
To have or to be
 
Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019
Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019
Kurikulum Bimbingan Teknis Program Inkubasi Bisnis 2019
 
SK Pokja Desa
SK Pokja DesaSK Pokja Desa
SK Pokja Desa
 
Strategi komunikasi massa
Strategi komunikasi massaStrategi komunikasi massa
Strategi komunikasi massa
 
Manfaat Sistem Informasi Desa
Manfaat Sistem Informasi DesaManfaat Sistem Informasi Desa
Manfaat Sistem Informasi Desa
 
Modul untuk Perancang Pelatihan
Modul untuk Perancang PelatihanModul untuk Perancang Pelatihan
Modul untuk Perancang Pelatihan
 
Strategi Mengelola Website Desa
Strategi Mengelola Website DesaStrategi Mengelola Website Desa
Strategi Mengelola Website Desa
 
Penjelasan Undang-Undang Desa
Penjelasan Undang-Undang DesaPenjelasan Undang-Undang Desa
Penjelasan Undang-Undang Desa
 
Dokumen Undang-Undang Desa
Dokumen Undang-Undang DesaDokumen Undang-Undang Desa
Dokumen Undang-Undang Desa
 
Lokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa Melung
Lokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa MelungLokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa Melung
Lokakarya Mengenal Desa Sendiri di Desa Melung
 
Presentasi Gerakan Desa Membangun
Presentasi Gerakan Desa MembangunPresentasi Gerakan Desa Membangun
Presentasi Gerakan Desa Membangun
 
APBD Cilacap 2013
APBD Cilacap 2013APBD Cilacap 2013
APBD Cilacap 2013
 
Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...
Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...
Governing the Forests: An Institutional Analysis of REDD+ and Community Fores...
 
Inpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata Kelola
Inpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata KelolaInpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata Kelola
Inpres 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Izin Hutan dan Penyempurnaan Tata Kelola
 
Dampak waduk bagi keanekaragaman hayati
Dampak waduk bagi keanekaragaman hayatiDampak waduk bagi keanekaragaman hayati
Dampak waduk bagi keanekaragaman hayati
 
Peta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di Indonesia
Peta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di IndonesiaPeta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di Indonesia
Peta Jalan Reformasi Tenurial Hutan di Indonesia
 
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatanAnalisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
 

Recently uploaded

Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.aechacha366
 
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdfWahyudinST
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxrofikpriyanto2
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmeunikekambe10
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxrahmaamaw03
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 

Recently uploaded (20)

Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
 
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 

Politik Gula dan Konflik Tak Berujung

  • 1.
  • 2.
  • 3. Penanggungjawab : Abetnego Tarigan Dewan Redaksi : Khalisah Khalid, Nurhidayati, Ahmad SH, Pius Ginting, Dedi Ratih, M Islah, Zenzi Suhadi, Tumpak Hutabarat Redaktur Pelaksana : Irhash Ahmady Editor : Khalisah Khalid, Irhash Ahmady Design dan Layout: perfarmerLab.Studio Penerbit : Walhi Eknas Distributor : Suhardi, Harno Wahana Lingkungan Hidup Indonesia JL. Tegalparang Utara 14, Mampang-Jakarta Selatan 12790 T/F: +6221 79193363/7941673 E: informasi[at]walhi.or.id W: http://www.walhi.or.id
  • 4. Kata Pengantar Prolog Sistem Masyarakat Setengah Jajahan dan Setengah Feodal: Akar Sejati Monopoli Tanah dan Sumber Kekayaan Alam Indonesia Hary Prabowo BUMN Sebagai Instrumen Ekonomi Kerakyatan Dani Setiawan BUMN Sektor Perkebunan sebagai “Bancakan” partai politik dan elit politik di eksekutif dan legislative Uchok Sky Khadafi Reforma Agraria di Perkebunan, Bilakah? (Kajian Konflik Agraria dan Gagasan Pembaruan Agraria di Sektor Perkebunan) Usep Setiawan Eksistensi PTPN XIV Takalar Atas Praktik Perampasan Tanah Masyarakat Polongbangkeng Zulkarnain Yusuf Praktik Perampasan Tanah Rakyat oleh PTPN VII Unit Cinta Manis Anwar Sadat Daftar Isi ...................................................... 65 ...................................................... II ...................................................... 1 ...................................................... 19 ...................................................... 31 ...................................................... 40 ...................................................... 51 ...................................................... I
  • 5. JURNAL TANAH AIR / DESEMBER 2012 - JANUARI 2013
  • 6. I Sejatinya, kekayaan alam dikelola untuk kesejahteraan, kemakmuran dan keselamatan rakyat. Tentulah bukan saja untuk generasi yang ada hari ini, melainkan untuk juga generasi yang akan datang. Berpegan itulah WALHI meyakini bahwa tata kelola kekayaan alam harus berbasiskan pada prinsip keadilan baik secara ekonomi, sosial, budaya dan berkeadilan secara ekologis. Tanpa itu, yang terjadi adalah ketimpangan, kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia dan bencana ekologis. Demikian juga halnya dalam tata kelola perkebunan khususnya perkebunan berbasis komoditas seperti teh, tebu, atau sawit yang sampai saat ini masih dimonopoli penguasaannya oleh segelintir orang atau kelompok. Tanah Air edisi perdana di masa kepengurusan WALHI 2012-2016 ini hadir ke hadapan ibu/bapak, anggota WALHI, mitra dan sahabat WALHI. Kali ini Tanah Air mengangat judul “politik gula dan konflik yang tak berujung; relasi ekonomi politik dan perampasan tanah oleh BUMN Perkebunan”, sebagai sebuah kritik dan solusi yang ditawarkan dalam melihat konflik agraria di perkebunan milik badan usaha milik negara (BUMN). Tanah Air sendiri merupakan jurnal yang diproduksi oleh WALHI, bukan sebagai media outreach semata. Jurnal Tanah Air ini diharapkan menjadi “media” transformasi dan kelola pengetahuan dari orang perorang, menjadi pengetahuan bersama. Yang utama, tentu diharapkan, Tanah Air ini menjadi alat advokasi atau pembelaan terhadap isu lingkungan dan sumber daya alam, yang berlandaskan pada gagasan pemikiran baik secara teori maupun praksis. Termasuk didalamnya memainstream nilai keadilan gender dan hak asasi manusia dalam gerakan mewujudkan keadilan ekologis. Sebagai organisasi publik, bagi WALHI pengetahuan memang tidak bisa diletakkan di atas menara gading. Dialektikanya tumbuh dan berkembang bersama dengan kerja-kerja praksis beradvokasi di lapangan dan berhadapan dengan realitas atas krisis yang dialami oleh rakyat. Dia harus diletakkan didalam cita-cita bersama rakyat yang sampai hari ini masih hidup di tengah krisis, dengan situasi negara yang seringkali abai dan korporasi yang kian rakus merampas wilayah kelola rakyat. Setelah sekian lama tak hadir menjumpai Bapak/Ibu dan Sahabat WALHI sekalian, Jurnal Tanah Air edisi perdana ini diharapkan dapat mengobati kerinduan dan dahaga banyak pihak terhadap pengetahuan yang dibangun dengan landasan teori dan dialektika yang tumbuh bersama rakyat. Karenanya, dukungan dan kontribusi pemikiran para pembaca yang budiman, menjadi asupan yang teramat penting bagi pengembangan dan keberlanjutan media pengetahuan ini ke depannya. Akhirnya, selamat membaca. Menyelami pikiran, gagasan, dan perjuangan yang ditorehkan dalam setiap kalimatnya. Kata Pengantar Salam Adil dan Lestari, Abetnego Tarigan Direktur Eksekutif Nasional WALHI JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 7. II Prolog Politik Gula dan Konflik yang Tak Berujung Relasi Ekonomi Politik dan Perampasan Tanah BUMN Perkebunan oleh: Khalisah Khalid J i k a m e l i h a t d a r i s e j a r a h n y a , pembangunan perekonomian Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari semangat nasionalisme yang ditumbuhkan untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri, setelah sekian waktu lamanya dibawah jajahan imperialisme baik secara ekonomi maupun politik. Perkebunan menjadi salah satu sektor strategis yang menjadi objek dari nasionalisasi pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang berbentuk badan usaha milik negara (BUMN), dimana PTPN menjadi salah satu BUMN strategis yang menguasai dan mengelola perkebunan dalam berbagai komoditas, sebutlah gula salah satunya. Sebagai sebuah unit ekonomi yang dijalankan oleh sebuah badan usaha milik negara, sudah menjadi keharusan pedoman pokok dari pelaksanaan operasionalnya mengacu pada amanat Konstitusi pada pasal 3 3 d i m a n a n e g a r a m e n g u a s a i a s e t penghidupan untuk kesejahteraan dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat melalui cabang-cabang produksi strategis untuk kepentingan nasional. Ironinya, belum lagi cita-cita kemandirian negara melalui unit ekonomi yang dikelola BUMN perkebunan salah satunya, dalam prakteknya jauh dari pelaksanaan amanah konstitusi tersebut. Rasanya hampir tidak beda, unit usaha yang dikuasai dan dikelola oleh perusahaan negara dengan pengelolaan yang dilakukan oleh swasta baik asing maupun nasional. Bahkan, watak yang dikritik dari kolonialisasi ekonomi di sektor perkebunan, diduplikasi oleh BUMN. Kebijakan perkebunan negara di jaman Orde baru menambah beban konflik dan persoalan agraria dan sumberdaya alam di Indonesia. Tanah rakyat yang diambil paksa di jaman kolonial, berlanjut pada pengambilan paksa yang dilakukan oleh negara yang mengambil alih eks perkebunan yang ditinggalkan oleh kolonial Belanda. Tanah rakyat diambil secara paksa atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Monopoli atas tanah dan sumber daya alam, berujung pada perampasan tanah-tanah rakyat, hilangnya sumber penghidupan rakyat dan terdegradasinya lingkungan hingga menghilangkan potensi varietas lain. Perubahan skema pengelolaan perkebunan negara dari Orde Lama yang lebih berorientasi pada pelayan terhadap rakyat dan membangun keberdayaan masyarakat sekitar perkebunan, diubah menjadi perkebunan yang berorientasi pasar dan lebih mementingkan keuntungan besar bagi PTPN yang ada. Akibatnya persaingan antar PTPN tidak dapat dielakkan. Konsekuensi logis dari hal tersebut tentu adalah hilangnya ruang hidup dan penghidupan akibat perluasan dan perampasan tanah oleh negara. Kekerasan dan konflik yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi sebuah cerita yang menghiasi perjuangan rakyat untuk mempertahankan sumber penghidupannya. Kritik terhadap BUMN di sektor perkebunan tidak hanya berhenti pada soal bagaimana monopoli mereka atas tanah dan sumber daya alam. Tata kelola BUMN perkebunan juga dinilai buruk. Ditengah upaya meningkatkan persaingan terhadap perkebunan swasta. Perkebunan Negara justru menghadapi berbagai persoalan internal kelembagaan, salah satunya regulasi BUMN jauh lebih banyak daripada swasta. Ditambah JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 8. dengan persoalan korupsi kolusi dan nepotisme, akhirnya badan usaha negara ini menjadi sapi perahan dan ladang emas bagi elit politik, partai politik, penguasa dan lain-lain. Jurnal Tanah Air edisi kali ini mengupas Perkebunan Gula yang dikelola oleh PTPN dalam sebuah relasi ekonomi politik. Sedikit banyak, pilihan tema ini memang dipengaruhi oleh maraknya konflik agraria dan sumber daya alam yang diadvokasi oleh WALHI dan menjadi perhatian publik luas, antara lain yang terjadi pada dua kebun tebu/gula milik PTPN . WALHI mencatat lebih dari 10 kasus konflik lahan yang berhubungan dengan PTPN. Nyawa yang hilang, kekerasan, kriminalisasi dialami oleh rakyat yang memperjuangkan hak atas tanahnya di berbagai tempat, antara lain Ogan Ilir dan Takalar. Perkebunan gula negara tidak pernah dirasakan manisnya bagi rakyat yang ada di sekitarnya. Secara subjektif, pilihan tema dalam Tanah Air ini juga dilandasi atas meningkatnya eskalasi pelanggaran hak asasi manusia dengan pengerahan pasukan keamanan (kepolisian) yang ditujukan untuk mengamankan bisnisnya. Kami melihat ada koneksi yang begitu kuat dan relasi yang saling terikat antara kepentingan ekonomi dan politik, sehingga praktek buruk industri gula yang dikelola oleh badan usaha negara terus berlangsung dan hampir tidak tersentuh secara hukum. J u r n a l T a n a h A i r m e n c o b a mengangkat edisi terkait dengan praktek buruk BUMN perkebunan gula, dalam relasinya dengan ekonomi politik sebagai sebuah kesatuan yang satu sama lain saling mendukung. Analisis yang dituangkan oleh para penulis terkait dengan politik pergulaan dan bagaimana relasi ekonomi politiknya menjadi jalan untuk mengembangkan diskursus wacana kedalam kerja-kerja praksis advokasi di lapangan bersama dengan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan ekologis dan reforma agraria. Selain membahas fakta-fakta atas praktek buruk BUMN perkebunan gula yang dituliskan oleh Direktur WALHI Sulawesi Selatan dan WALHI Sumatera Selatan dari kerja advokasi yang dilakukan selama ini, apa yang terjadi dalam berbagai kasus di perkebunan gula ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang d i s e b u t s e b a g a i s e b u a h m o n o p o l i penguasaan negara atas tanah dan sumber kehidupan rakyat sebagaimana yang dituliskan oleh Harry Prabowo. Yang menjadi penting untuk secara fundamental dilihat adalah bagaimana penataan ulang sektor perkebunan ini jika dihubungkan dengan skema lain dalam pengelolaan sabang produksi ekonomi negara di bawah BUMN yang memang sudah berjalan. Karena itulah penting untuk melihat kembali mandat dan tujuan dibentuknya BUMN. Dani Setiawan dalam tulisannya sesungguhnya ingin mendudukkan BUMN sebagai sebuah instrumen ekonomi kerakyatan dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana mandat konstitusi. Pemaparan Tulisan ini menjadi penting di tengah kebijakan melakukan upaya privatisasi BUMN salah satunya di sektor perkebunan. BUMN merupakan alat negara untuk menjalankan demokrasi ekonomi di Indonesia sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 33. M e n a t a u l a n g p e n g e l o l a a n perkebunan gula dan komoditas lain tentulah tidak segampang membalikkan telapak tangan. Hambatan terbesarnya ada pada political will pengurus negara ini, apakah mau merubah cara pandangnya dalam melihat k e k a y a a a n a l a m d a n b a g a i m a n a memandang unit usaha ekonomi yang dijalankan oleh badan usaha negara tersebut. Mungkin klise terdengarnya, namun political will ini menjadi penting untuk diangkat mengingat ada persoalan lain yang tidak kalah dalam pertarungan yang kritis yakni kepentingan politik kekuasaan. Sistem politik yang transaksional dinilai oleh banyak kalangan sebagai pemicu pelanggengan model kelola badan usaha negara yang carut marut seperti ini. Ucok Sky Khadafi dalam tulisannya mencoba mengungkap bagaimana pola- pola atau modus-modus operasional BUMN perkebunan yang membuka peluang menjadi bancakan politik oleh para elit politik dan partai politik pendukungnya. Sehingga berproduksi dengan cara-cara yang kotor dan melanggar HAM menjadi sebuah keniscayaan. Konflik agraria kini telah menjadi perhatian publik, setidaknya sejak kasus penembakan dan kriminalisasi terhadap warga terjadi di Ogan Ilir, reforma agraria kembali bergulir dan terus diperbincangkan dalam diskursus baik di tingkatan elit, kelompok III JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 9. masyarakat sipil dan sedikit banyak mulai menggeliat menjadi “bakaran” api yang memantik perjuangan di berbagai daerah. Harapannya, tentulah persoalan agraria tidak bisa hanya didekati pada penanganan kasus perkasus atau konflik perkonflik. Penyelesaian konflik agraria harus dilihat sebagai sebuah jalan menuju perwujudan reforma agraria. Usep Setiawan mecoba melihat dan menawarkan konsep dan gagasan reforma a g r a r i a d i s e k t o r p e r k e b u n a n y a n g pengelolaanya diserahkan kepada petani sebagai sebuah jawaban atas terus meningkatnya konflik agraria di perkebunan negara. Ini sejalan dengan semangat awal nasionalisasi untuk membangun kemandirian bangsa. Penataan ulang sektor perkebunan dengan memberikan hak pengelolaan perkebunan kepada rakyat dinilai sebagai sebuah jalan atas penyelesaian konflik agraria yang terjadi di perkebunan. Berbagai pandangan yang ditulis dalam jurnal Tanah Air ini tidak dilihat sebagai bagian yang satu sama lain saling terpisahkan. Karena pada akhirnya kita berharap, bahwa carut marutnya pengelolaan kekayaan alam di Indonesia sudah waktunya berubah dan berpihak kepada rakyat, konflik agraria di kebun-kebun negara seperti PTPN harus segera diakhiri dan diselesaikan dengan memenuhi rasa keadilan bagi rakyat dan pada akhirnya kita berharap reforma agraria, demokrasi ekonomi dan keadilan ekologis benar-benar dapat diwujudkan. IV JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 10.
  • 11.
  • 12. 1 Sistem Masyarakat Setengah Jajahan dan Setengah Feodal: Akar Sejati Monopoli Tanah dan Sumber Kekayaan Alam Indonesia 1 Oleh : Hary Prabowo Abstrak A r t i k e l i n i a k a n m e n g u r a i s e j a r a h perkembangan masyarakat dan pola perampasan tanah sumber daya alam di Indonesia serta bagaimana solusi atas persoalan monopoli sumber agraria di Indonesia. Perhatian utama tulisan ini akan difokuskan menjelaskan mengapa imperialism menyeret juga berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Serta berbagai solusi palsu yang ditawarkan oleh negara-negara Imperialis pimpinan Amerika Serikat. Tulisan ini juga menjelaskan mengapa Indonesia menjadi negara semi kolonial semi feudal sejak jaman kolonial Belanda hingga hari ini. Tulisan ini juga menjelaskan perkebunan menjadi alat untuk memonopoli tanah dan menjadi solusi atas krisis energi fosil. SBY- Boediono mengumbar isu reforma agrarian untuk kepentingan kapitalis monopoli dan tuan tanah agar terus memperluas perampasan tanah di Indonesia. Dalam kesimpulan, penulis menyebutkan bahwa reforma agrarian sejati menjadi solusi yang penting untuk merubah system masyarakat di Indonesia Abstract This article will break down the history of the development of society and patterns of land- grabbing of natural resources in Indonesia and how the solution to the problem of monopoly agrarian resources in Indonesia. The main concern of this article will focus on explaining why the imperialism crisis drag all countries across the world, including Indonesia. and other false solutions offered by the imperialist nations led by the United States. This paper also explains why Indonesia is the semi-feudal semi-colonial country since the Dutch colonial era to the present day. This article also describes a means to monopolize the farm land and a solution to the energy crisis of the fossil. SBY-Boediono spit agrarian reform issues for the benefit of the monopoly capitalists and landlords to continue to expand the land grabbing in Indonesia. In conclusion, the author mentions that the genuine agrarian reform became an important solution to change the system in Indonesia I. Pendahuluan Perkembangan sistem ekonomi kapitalis yang eksesif dan merusak saat ini telah memasuki era imperialisme sebagai tahap 2 tertinggi dan terakhir. Situasi umum di era imperialisme ditandai dengan krisis demi krisis yang terus terjadi secara periodik, baik yang bersifat turun dan naik (boom and bush) di negeri-negeri utara ( baca; imperialis) maupun krisis yang semakin akut di negeri-negeri berkembang ( jajahan, setengah jajahan dan setengah feudal). Kedua karakter krisis tersebut terjadi dalam periode sekarang dan terus menyeret dunia dalam jurang resesi ekonomi yang semakin dalam dan tidak ada jalan keluar. Hanya memberikan solusi-solusi palsu untuk menyelesaikan krisis yang ada. Sistem kapitalisme telah melewasi masa kejayaannya dan menuju masa kehancurannya. Di era resesi ekonomi global dewasa ini, masyarakat sedang menghadapi berbagai skema kebijakan politik, ekonomi, kebudayaan dan militer dari negara-negara imperialis dunia di bawah pimpinan AS. Seluruh skema tersebut hendaklah dimaknai sebagai serangkaian kebijakan dan tindakan negeri-negeri imperialis mengatasi krisis keuangan dan resesi ekonomi yang mereka alami. Kebijakan dana talangan (bail-out) bagi perusahaan besar milik kapitalis monopoli maupun program penghematan anggaran (austherity program) yang merampas anggaran publik menjadi kebijakan domestik di negeri-negeri imperialis. Sementara kebijakan luar negeri memiliki karakter khusus yang mencerminkan kepentingan kekuatan kapitalis monopoli yang JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 13. mengkontrol kebijakan negeri-negeri imperialis tersebut. Kebijakan negeri-negeri imperialis semakin menunjukkan watak mereka yang aslinya yakni fasis dan bar-bar. Di bawah pimpinan AS, mereka lancarkan perang agresi terhadap negeri-negeri berdaulat yang melawan atau mengancam kepentingan dan dominasi imperialisme AS. Mencaplok dan menguasai sumber-sumber daya alam dan energi vital untuk pemenuhan kebutuhan industri imperialis. Disaat yang sama mereka semakin mengintensifkan eksploitasi dan penindasan untuk mengeruk super-profit sebesar-besarnya di negeri-negeri di bawah pemerintahan boneka imperialis yang kaya sumberdaya seperti Indonesia. Instrumen utama yang dilakukan oleh imperialis adalah dengan menjalankan kebijakan politik neo-kolonial dan kebijakan ekonomi neo-liberal; mempromosikan demokrasi palsu ala AS melalui demokrasi elektoral untuk melahirkan pemerintah boneka d a n m e n j a l a n n e o - l i b e r a l d e n g a n melancarkan de-nasionalisasi, deregulasi, privatisasi dan liberalisasi perdagangan. Dominasi politik melalui pemerintah boneka merupakan skema utama untuk memastikan seluruh kepentingan ekonomi imperialis bisa berjalan berdasarkan undang-undang yang berlaku di negeri tersebut yang telah disesuaikan dengan kepentingan mereka. E k s p o r k a p i t a l m e l a l u i s k e m a penanaman investasi asing (foreign direct investment) merupakan instrumen penting bagi kapitalis monopoli di negeri-negeri imperialis. Hal ini dilakukan agar kapital yang mereka rampas dari penghisapan bisa terus terakumulasi. Eksport kapital merupakan sarana penghisapan yang vital guna mengakumulasi profit di tengah krisis ekonomi jangka panjang yang dihadapi. Sejak tahun 2008 setelah resesi ekonomi melanda AS, Eropa hingga Jepang, AS telah menetapkan kebijakan strategis Asia- Pasifik. Wilayah ini dinilai paling strategis secara geo-politik dunia dan menjadi kawasan prioritas bagi penyelesaian taktis krisis ekonomi 3 AS . Wilayah Asia Pasifik merupakan rumah bagi populasi terbesar dunia yang akan menjadi buruh murah siap pakai. Tempat sumber daya alam dan bahan mentah paling kaya dan paling murah di dunia. Wilayah ini juga sekaligus pasar bagi barang komoditas industry kapitalis monopoli. Indonesia sebagai bagian dari wilayah Asia Pasifik merupakan salah satu sasaran prioritas untuk melayani kepentingan mereka di kawasan. Konsentrasi AS sebagai pimpinan telah menjalankan kebijakan tersebut dengan menggerakkan seluruh mesin kekuatannya ke Asia Pasifik: ekonomi (eksport kapital dan mengamankan jalur perdagangan), politik (memperkuat kedudukan pemerintah boneka), kebudayaan (penjajahan ideologi liberal) dan militer (menambah jumlah pasukan militer dan armada perang-nya di USPACOM – United States Pacific Command dan bantuan militer kepada pemerintah-pemerintah bonekanya). Rakyat dan kekayaan alam Indonesia merupakan sasaran empuk bagi seluruh skema kepentingan AS untuk mengatasi krisis saat ini. Jika menilik sejarah, hal yang dilakukan tidak jauh berbeda dilakukan ketika Indonesia dijadikan korban dalam penyelesaian krisis sistem feodal di negeri Belanda. Dan melahirkan kolonialisasi di Nusantara selama ratusan tahun. Kolonialisasi ini mendapatkan perlawanan luas dari rakyat Indonesia. Demikian pada akhirnya pasca PPD II kolonialisasi Belanda runtuh ditandai dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. H a n y a b e r s e l a n g b e b e r a p a t a h u n kemenangan penuh rakyat Indonesia dirampas kembali oleh Imperialis AS. AS terus menjalankan politik neo-kolonialisme atau penjajahan melalui pemerintah boneka yang m e r e k a s o k o n g a g a r b i s a m e l a y a n i 4 kepentingan tuan imperialis-nya .Terhitung sejak Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1948, status Indonesia sebagai negeri setengah j a j a h a n d a n s e t e n g a h f e o d a l t e r u s berlangsung hingga sekarang dan tidak ada perubahan fundamental. “Perampokan sumber kekayaan alam - dalam bahasa resmi pemerintah SBY dimaknai sebagai usaha meningkatkan penanaman investasi asing untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan m e n g u r a n g i p e n g a n g g u r a n - merupakan program ekonomi kunci bagi pemerintah boneka imperialis di seluruh negeri.” Perampokan sumber kekayaan alam - dalam bahasa resmi pemerintah SBY dimaknai 2 "!"""!!""!!"! SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 14. sebagai usaha meningkatkan penanaman investasi asing untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi pengangguran - merupakan program ekonomi kunci bagi pemerintah boneka imperialis di seluruh negeri. Pemerintah boneka ini hanya melayani kepentingan k a p i t a l m o n o p o l i a s i n g s e k a l i g u s menguntungkan kelompok borjuis komprador dan tuan tanah di dalam negeri. Kondisi ini telah memposisikan Indonesia sebagai negeri bergantung, dan tidak memiliki kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kebudayaan nasional. Dewasa ini, kebijakan politik ekonomi SBY-Boediono yang pro modal asing semakin b e s a r m e m b a n j i r i b e r b a g a i s e k t o r penghidupan rakyat baik di perkotaan maupun pedesaan. Atas nama investasi dan pembukaan lapangan kerja negara melegitimasi perampasan tanah dan sumber kekayaan alam untuk kepentingan Imperialis baik yang dilakukan secara langsung maupun dilakukan oleh kaki tangannya di dalam negeri seperti borjuis komprador dan tuan tanah (termasuk negara sebagai tuan tanah). Pemandangan ini jamak kita temukan khususnya di pedesaan; perampasan tanah untuk kepentingan perluasan perkebunan skala besar, pertambangan asing skala besar, lahan pertanian skala besar (food estates), taman nasional dan proyek infrastruktur bagi pengembangan fasilitas industri imperialis ( p e r l u a s a n k a w a s a n i n d u s t r i , K E K , pembangunan jalan tol, pelabuhan, jembatan, dsb). Pendek kata, seluruh skema imperialis pimpinan AS untuk mengatasi krisis tengah berlangsung dan kian menghancurkan Indonesia dengan berbagai cara: skema multi- lateral (G-20, APEC, WTO), maupun bilateral (comprehensive partnership AS-Indonesia, Jerman-Indonesia, Jepang Indonesia, dsb). Di sisi lain, telah berdiri barisan pelaksana yang terdiri atas koorporasi besar asing (MNC dan TNC) dan perbankan besar asing (City Bank, Bank of America, Deutsche Bank, BPN Paribas, Credis Suisse, UBS AG, Sumitomo Mitsui Banking, JP Morgan, IFC, dsb) telah bersekutu dengan Bank Dunia, ADB, IMF, dikawal oleh USPACOM, dan dilayani oleh para pelayan domestik dalam negeri yang tunduk setia pada majikannya: pemerintah boneka, borjuis komrador, dan tuan tanah. II. Ada Apa Dibalik Perampasan Tanah dan Kekayaan Sumberdaya Alam. “Demagogi (manipulasi kenyataan) yang selama ini digembar-gemborkan oleh negeri-negeri imperialis adalah adanya ancaman krisis energi dan krisis pangan dunia serta jalan keluar yang mereka tawarkan. “ Demagogi (manipulasi kenyataan) yang selama ini digembar-gemborkan oleh negeri-negeri imperialis adalah adanya ancaman krisis energi dan krisis pangan dunia serta jalan keluar yang mereka tawarkan. Krisis energi merupakan problem yang bersumber dari kerakusan imperialis yang melakukan monopoli atas sumber-sumber energi vital seperti minyak bumi dan gas. Krisis energi bukan disebabkan oleh keringnya ladang minyak-gas dunia, namun karena monopoli oleh imperialis. Kenaikan harga minyak dunia juga bukan disebabkan oleh tingginya permintaan dan langkanya barang, tapi disebabkan monopoli serta diperkeruh oleh politik bar-bar melalui agresi militer imperialis AS yang melancarkan perang dan efek perlawanan dari berbagai negeri produsen minyak dunia yang diserang. Mereka secara manipulatif dan sepihak membuat kebijakan untuk mengatasi kelangkaan energi maka penting untuk membuat sumber energi alternatif berbasiskan nabati (biofuel). Penggunaan energi berbahan bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri imperialis utama seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang. Di AS sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) telah mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, saat negeri- negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS. Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar nabati dewasa ini diikuti secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah jajahan dan negeri bergantung lainnya. Kebijakan penggunaan energi nabati tersebut menjadi prasyarat baru bagi bantuan pembangunan (utang, hibah, dan proyek) dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti WB (World Bank) dan ADB (Asian Development Bank). Data menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen 3 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 15. energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio-solar) terbesar dengan pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia. “Data menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio-solar) terbesar d e n g a n p a s o k a n b a h a n b a k u komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia.” Dengan teknologi yang mereka punya semakin rakus mengincar tujuh komoditas pertanian pangan yang dapat diubah menjadi bahan baku energi nabati. Tujuh komoditas tersebut adalah tebu, kedelai, jagung, gandum, tanaman jarak, kelapa sawit, dan singkong. Inilah yang dimaksudkan dengan bahan baku energi nabati atau bioenergi generasi pertama melalui pertanian skala luas atau perkebunan (agrofuel), yang rakus merampas tanah dan meluas dalam 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kebijakan untuk mengatasi krisis pangan dan meningkatkan ketahanan pangan dunia, Negara ini memiliki skema yang melibatkan industri pertanian yang sangat besar. Mereka adalah perusahaan- perusahaan besar yang bergerak di bidang komoditas pertanian dan melakukan monopoli agroindustri, seperti Monsanto, Cargill, DuPont, Dow Agrisciences, Syngenta, ADM, dsb. Perusahaan-perusahaan MNC ini telah mengubah secara drastis lahan-lahan yang tadinya produktif ditanam oleh komoditas pangan local, menjadi lahan yang lebih memiliki nilai jual yang lebih tinggi, seperti jagung, kedelai. Bahan pagan ini kemudian bukan untuk dikonsumsi melainkan untuk diolah menjadi bahan baku energi alternatif. Seluruh skema ini telah berjalan dan sedang diperluas puluhan juta hektar termasuk di Indonesia. III. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Akar Semi-Feodalisme Yang Paling Dalam Perubahan penting sejarah Hindia Belanda terjadi pada abad 19 yang melibatkan organisator kekuasaaan kolonial di tangan The gangs of three: Deandels, Raffles 5 dan van Den Bosch . Ketiga orang ini telah memancang perubahan signifikan struktur ekonomi-politik Jawa di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Di periode Deandels, ia melakukan pembangunan infrastruktur Jalan Pos sepanjang 1000 km dari Anyer ke Panarukan, khususnya untuk melapangkan jalur distribusi hasil komiditi yang dirampas. Raffless, memperkenalkan Teori Domein (semua tanah adalah milik raja atau pemerintah kolonial) dan sistem sewa tanah (landrente) di mana petani diwajibkan membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapannya. Teori Raffles ini mempengaruhi 6 politik agraria selama abad ke-19 . Dan terpenting adalah Van Den Bosch dengan mengintegrasikan seluruh kerajaan taklukan di bawah kekuasaan feodal pemerintah Belanda dan menjalankan sistem tanam paksa yang mewajibkan petani menanam tanaman komoditas yang paling laku di pasar dunia dan paling menguntungkan pemerintah Belanda. Usai Perang Jawa (Diponegoro) 1825- 1830, sebagai penanda berakhirnya k e k u a s a a n f e o d a l l o k a l , k e k u a s a a n kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi sekaligus menandai fase konsolidasi kekuasaan sebagai periode puncak feodalisme di bawah sistem politik kolonialisme. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli, peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi politik dan militer kekuasaan kolonial telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi pemerintah kolonial sadar betul bahwa pengaruh penguasa-penguasa pribumi (tuan tanah) sangat kuat. Hal ini bisa dilihat dari pertentangan dan perang yang harus mereka hadapi dengan ongkos yang sangat mahal. Maka itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur kekuasaan namun berada di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan. Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van den Bosch dalam memulai Sistem Tanam 7 Paksa (Cultuurstelsel) . Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa itu merupakan fondasi dari sistem perkebunan yang diletakkan dan dijalankan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosh selama 8 40 tahun (1830-1870) yaitu, menggabungkan usaha membangun perkebunan dan pertanian tanaman komoditi yang sangat 4 "!"""!!""!!"! SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 16. menguntungkan serta pabrik pengolahannya. Sistem Tanam Paksa (STP) dibangun dan dicangkokkan di atas sistem ekonomi feodal p e d e s a a n y a n g m a s i h t e r b e l a k a n g sebagaimana gambaran Raffles dalam The History of Java. Jawa adalah “negeri tanpa perdagangan atau pembuatan barang (manufactures)” dan juga tempat tidak lebih dari 1/16 penduduk bekerja dalam industri di 9 luar pertanian . Proposal ekonomi dan keuangan Van den Bosch mengenai sistem tanam paksa (cultuurstelsel) adalah kebijakan untuk mengatasi kebangkrutan keuangan Kolonial Belanda akibat Perang Besar di Jawa. Proposal tersebut lahir dari pelajaran atas kebijakan Kerajaan Belanda di era Daendels dan Raffles. Hal terpenting proposal Van den Bosch adalah mengenai sikap resmi Kerajaan Belanda terhadap kedudukan kerajaan-kerajaan dan praktek penghisapan feodal yang mereka lakukan atas rakyat di wilayahnya, di luar rencana ekonominya yang sangat menindas dan menghisap. Bahwa Kerajaan Belanda tetap menghormati dan melindungi hak-hak istimewa yang dimiliki oleh raja dan bangsawan feodal, asalkan mereka bersedia tunduk dalam kekuasaan penuh pemerintah Jajahan Hindia Belanda sebagai tuan tanah nomor satu dan paling berkuasa. Mereka tetap sebagai pihak “berkuasa” atas rakyat secara langsung, dan menjadi bagian utuh dari pemerintah negara jajahan bentukan Belanda. Fase penyatuan seluruh kerajaan di Hindia Belanda di bawah kekuasaan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda ini dimaknai sebagai puncak dari sejarah feodalisme di Indonesia. Gubernur Jenderal Van Den Bosch telah melakukan dua hal penting sekaligus, yaitu membangun organ kekuasaan negara jajahan di tingkat lokal sebagai bagian utuh dari negara jajahan yang terpusat di Batavia dan mengefektifkan penghisapan feodal agar memperoleh super-profit dari tanah Hindia Belanda di daerah yang telah ditundukkan sepenuhnya. Kedua, melakukan ekspansi besar-besaran ke seluruh bagian Hindia Belanda yang berada di luar pulau Jawa dan membangun sistem kekuasaan yang sama dengan tujuan ekonomi jajahan yang sama. “Gubernur Jenderal Van Den Bosch telah melakukan dua hal penting sekaligus, yaitu membangun organ kekuasaan negara jajahan di tingkat lokal sebagai bagian utuh dari negara jajahan yang terpusat di Batavia dan mengefektifkan penghisapan feodal agar memperoleh super-profit dari tanah Hindia Belanda di daerah yang telah ditundukkan sepenuhnya. Kedua, melakukan ekspansi besar-besaran ke seluruh bagian Hindia Belanda yang berada di luar pulau Jawa dan membangun sistem kekuasaan yang sama dengan tujuan ekonomi jajahan yang sama.” Sebelum memulai sistem tanam paksa, Van den Bosch membangun sistem politik yang dapat memobilisasi tanah, sewa tanah, pajak dan tenaga kerja dengan efektif. Untuk itu dia mengajukan dibangun dua sistem birokrasi negara. Di tingkat lokal di Jawa dan berikutnya sistem yang sama diberlakukan di seluruh Hindia Belanda. Van den Bosch membangun birokrasi Belanda (Bienenlandshe Bestuur) yang dijabat oleh orang-orang Belanda dengan berbagai variasi yaitu Keresidenan (dipimpin oleh seorang Residen), Asisten Residen dan Controleur yang berhubungan langsung dengan birokrasi bumi putra. Sementara itu birokrasi bumi putra (inlandsche bestuur) terdiri dari pemerintahan Regentshap (Afdeling). Regentschap dipimpin oleh seorang regent atau bupati yang bertugas untuk memimpin beberapa district (onder-afdeling). District dipimpin oleh seorang wedana yang bertugas untuk memimpin beberapa unit pemerintahan orderdistrict yang dipimpin oleh asisten wedana. Unit terendah dari birokrasi bumi putra adalah desa yang dipimpin oleh kepala desa. Birokrasi bumi putra ini dalam pekerjaan sehari- harinya diawasi oleh controleur. Birokrasi bumi putra yang diisi oleh para sultan dan bangsawan yang menyerah inilah yang menjadi ujung tombak Van den Bosch dalam menjalankan sistem tanam paksa. Mereka dapat menerapkan penghisapan feodal apapun atas rakyatnya, yang terpenting dapat menjalankan kewajibannya pada keresidenan dan gubernur jenderal Hindia Belanda. Era sistem tanam paksa adalah periode kelam bagi rakyat di Hindia Belanda. Sistem tanam paksa merupakan sistem pertanian yang mengandalkan monopoli tanah luas yang dimiliki dan dijalankan secara langsung oleh pemerintah jajahan Hindia B e l a n d a d e n g a n m e m p r a k t e k k a n 5 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 17. penghisapan feodal atas kaum tani hamba yang luas di Jawa dan diperluas di luar Jawa. Proposal awal Van den Bosch adalah m e n g u b a h s i s t e m s e w a t a n a h y a n g diberlakukan di zaman Raffles dari 2/5 dari hasil panen menjadi 1/5 dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman yang dikehendaki oleh pemerintah dan hasilnya diserahkan 10 kepada pemerintah untuk dieksport . Sistem Van den Bosch sejatinya adalah kaum tani harus menanam tanaman komoditas (cashcrops) dengan sistem monokultur seperti tebu, kopi, teh, tembakau dan indigo yang laku keras dan berharga tinggi di pasar Eropa di atas tanah mereka sendiri yang dikonsolidasikan menjadi perkebunan besar. Petani bekerja secara langsung dan hasilnya dijual kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan. V a n d e n B o s h m e n g i n g i n k a n beberapa keuntungan sekaligus yaitu: pertama, petani dapat membayar sewa tanah kepada pemerintah dengan uang tunai yang diperoleh dari penjualan tanamannya dengan ketentuan sekurang-kurangnya 20% dari seluruh hasil panen. Kedua, pemerintah jajahan memperoleh keuntungan sangat besar dari proses penentuan harga komoditas dengan cara feodal, menentukan pembelian dengan harga murah dari kaum tani untuk memastikan mereka dapat membayar sewa tanah, dan menjual dengan sangat mahal komoditas tersebut di pasar Eropa. Ketiga, seluruh proses pengolahan, penanaman dan pemeliharaan hingga panen menjadi tanggung jawab kaum tani sepenuhnya. Dengan demikian biaya produksi dan tenaga kerja dapat ditekan hingga tingkatan yang sangat rendah. Keempat, seluruh pengawasan atas penyerahan tanah tenaga kerja produksi hingga hasil komoditas berada di bawah pengawasan para pemerintah bumi putra. Hal ini akan mengurangi kebencian rakyat utamanya kaum tani terhadap pemerintah jajahan, utamanya birokrasi Belanda dalam negara jajahan. Laporan Knight yang menyoroti bagaimana STP dipaksakan, pada tahun 1848 b u p a t i d a n w e d a n a d i B a t a n g d a n pekalongan telah dipecat ketika mereka tidak mau diajak kerjasama yang dibutuhkan untuk mensukseskan STP. Tindakan tegas tersebut sebagai pelajaran terhadap bupati lainnya yang tahun-tahun kemudian dilaporkan bertindak sangat kooperatif dan menunjukkan loyalitasnya kepada STP sebagai proyek besar 11 kolonial . Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah- tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun d e n g a n t a m b a h a n p e r s e n 2 5 . 0 0 0 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga pendapatan negara Belanda. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk m e l u n a s i u t a n g K e r a j a a n B e l a n d a , menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkereta apian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya. Perampasan super profit ini telah terjadi secara aktraktif sebagai buah segar bagi mereka. Demikianlah sistem ini berlaku efektif di Jawa dan menjadi model pembangunan pertanian feodal di seluruh Hindia Belanda hingga dihentikan pada tahun 1870 akibat penderitaan berat kaum tani di Jawa dan badai kritik di Parlemen Belanda dari kaum liberal yang juga mengincar keuntungan besar serupa. Sistem tanam paksa adalah sistem p e r k e b u n a n t e r b e l a k a n g y a n g mempraktekkan secara lengkap berbagai bentuk penghisapan feodal yang lahir dari kekuasaan atas tanah monopoli di mana pemerintah jajahan Hindia Belanda bertindak sebagai tuan tanah utama dengan bantuan para tuan tanah lokal. Dalam lapangan ekonomi tanam paksa mempertahankan sistem produksi feodal yang telah eksis selama ratusan tahun di Indonesia, sekurang- kurangnya sejak abad ke 15 di mana kesultanan-kesultanan Islam menjadi negara feodal yang berdominasi atas rakyat. Dengan 6 SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 18. menggunakan secara efektif sistem kuno ini, pemerintah jajahan mengeruk keuntungan yang besar dalam produksi yang sebelumnya tidak didapatkan di era VOC yaitu dalam bentuk sewa tanah, tenaga kerja murah dan tidak dibayar. Pendapatan yang tidak kalah besar dari perdagangan monopoli serta impor atas berbagai barang kebutuhan hidup rakyat yang secara pelan namun pasti mulai mendominasi pasar dalam negeri. Secara sistematis sistem tanam paksa telah menghancurkan sistem produksi skala kecil untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten) oleh kaum tani dengan mengintensifkan tanaman komoditas yang terhubung dengan pasar dan uang sebagai alat tukar yang masif. Persentase pembayaran sewa tanah, jumlah hari kerja wajib dan luasan tanah yang harus diserahkan pada pemerintah jajahan berubah-ubah sesuai kepentingan dan kehendak pemerintah kolonial. Sekalipun masih terbatas, di Hindia B e l a n d a t e l a h b e r k e m b a n g p a b r i k pengolahan (processing industry) sekurang- kurangnya lima pabrik gula seperti pabrik gula Balong Bendo berdiri pada tahun 1838 di Sidoarjo, pabrik gula Soember Kareng Cultuur Mij di Probolinggo tahun 1838, Pabrik Barongan, Padokan, dan Bantul pada tahun 1860 dan 1870 di Jogjakarta. Juga ada beberapa agen penjualan pemasok mesin dan beberapa bengkel perbaikan. Misalnya di Batavia telah berdiri Maclaine Watson&Co, sebuah perusahaan dagang tertua yang bergerak di bidang permesinan dan peralatan pabrik pada 1825; Taylor & Lawson yang bergerak di bidang jasa perdagangan dan pemasangan konstruksi baja, pabrik teh dan gula berdiri pada Tahun 1857; NV.Machine Fabriek D a p o e a n y a n g b e r g e r a k d i b i d a n g perdagangan menyediakan mesin-mesin pabrik gula, di Surabaya pada tahun 1856. Juga ada bengkel reparasi mesin pabrik gula yang lebih lengkap N.V Machine en Werking Handel Mij “de Vlight,” di Semarang. Penemuan mesin uap juga membawa kelimpahan produksi baru dalam produksi gula. Kelahiran dari berbagai pabrik tersebut menandai kelahiran klas baru yang maju di tengah masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal yaitu klas buruh. Klas ini berasal dari kaum tani yang terampas t a n a h n y a d i p e d e s a a n a k i b a t ketidakmampuannya membayar sewa tanah yang ditetapkan oleh pemerintah. Karena usianya yang masih sangat muda, klas buruh ini tidak bisa berbuat banyak menghadapi tindasan kapitalis dalam pabrik dan seiring d e n g a n p e r t a m b a h a n j u m l a h n y a d i penghujung abad 19. Mereka tahap demi tahap menajamkan perjuangan klas di Hindia Belanda. Periode 1870an hingga 1890an merupakan era terpenting transisi besar- besaran kekuatan kapitalis persaingan bebas di Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis menjadi kekuatan kapitalisme monopoli dunia. Perkembangan ini terus berlangsung hingga sistem kapitalisme persaingan bebas mengalami kebangkrutan total ketika krisis tahun 1900-1903 dan kapitalisme monopoli berkuasa atas seluruh sistem kemasyarakatan yang berlaku di dunia. Terbentuknya kekuasaan kapital finans atas kapital industri yang menciptakan apa yang disebut oligarki finans ditandai oleh terkonsentrasinya finans disegelintir bank-bank besar di dunia yang bersekongkol dengan Industri besar monopoli, mengambil-alih dan memaksa bank-bank lebih kecil atau perusahaan lebih kecil menjadi cabangnya di berbagai negeri. Proses ini terus berlangsung sejak masa transisi yang disebutkan di atas. Hanya beberapa negeri di dunia yang berhasil menempatkan dirinya menjadi kekuatan imperialis utama seperti disebutkan di atas yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda dan negeri Skandinavia menyusul belakangan Jerman, Italia dan Jepang menjadi satu-satunya wakil Asia. Negara-negara dan kekuatan itulah yang membagi dunia antar mereka sendiri secara ekonomi dan politik dengan kekuatan militer. “Perkembangan sistem kapitalisme persaingan bebas di Eropa Barat yang memasuki massa transisi menjadi kapitalisme monopoli atau imperialisme memiliki pengaruh besar atas sistem ekonomi feodal yang berlaku di Hindia Belanda” Perkembangan sistem kapitalisme persaingan bebas di Eropa Barat yang memasuki massa transisi menjadi kapitalisme monopoli atau imperialisme memiliki pengaruh besar atas sistem ekonomi feodal yang berlaku di Hindia Belanda. Kapital finans mulai membentuk oligarki finans (finance oligarchy) melalui bank-bank dan institusi keuangan besar monopoli bersama-sama dengan kapital industri memaksa negeri jajahan dan setengah jajahan manapun membuka dirinya menjadi 7 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 19. pasar eksport kapital dan pasar barang jadi. Kerajaan Belanda yang sebelumnya sangat protektif terhadap tanah jajahannya mulai menyadari perkembangan baru ini agar tetap mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda. Desakan kaum liberal yang mulai muncul akibat ekonomi kapitalis di negeri Belanda semakin kuat dalam pengambilan kebijakan politik di Belanda mendesak Kerajaan Belanda melepaskan monopoli feodalnya, memberlakukan pasar bebas dan sekaligus memperkuat kontrolnya atas Hindia Belanda. Kaum liberal mendesak agar memperluas pembangunan ekonomi di Belanda, tidak hanya meningkatkan eksport hasil perkebunan di Hindia Belanda. Mereka berjanji bila ekonomi Belanda berkembang maka secara langsung akan mengangkat kehidupan penduduk lokal di negeri jajahan. Namun Depresi yang terjadi pada periode itu memblejeti dan menjelaskan semua ini hanya 12 ilusi . Secara ekonomi tentu saja apa yang berlangsung di dunia secara umum, yaitu transisi menuju kapitalisme monopoli dari tahun 1870-1890 tidak serta mengubah sistem produksi feodal di Indonesia. Upaya negeri Belanda mengejar ketertinggalannya atas negeri kapitalis lainnya melahirkan berbagai kebijakan baru di Hindia Belanda untuk mengefektifkan sistem feodalisme agar tetap menjadi sumber bahan mentah dengan membangun perkebunan yang lebih luas, minyak bumi serta mineral untuk mendukung kemajuan listrik, otomotif, serta elektronika. Sementara negeri-negeri kapitalis lainnya seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan Jerman berhasil memperoleh kapital berlebih sangat besar karena kartel dan trust yang berhasil dibentuk dan penghisapan dari tanah- tanah jajahan. Hingga pada periode 1900- 1903, seluruh dunia berada dalam kekuasaan satu sistem yaitu sistem kapitalisme monopoli atau imperialisme. Sejak saat itu, sistem kemasyarakatan yang berlaku di Indonesia tidak lagi sistem jajahan dan feodal melainkan sistem jajahan dan setengah feodal. “Sejak saat itu, sistem kemasyarakatan yang berlaku di Indonesia tidak lagi sistem jajahan dan feodal melainkan sistem jajahan dan setengah feodal. “ Transisi dari kompetisi bebas menuju monopoli ditandai dengan perkembangan ekonomi kapitalis menuju imperialis. Karakter imperialisme berhubungan dengan monopoli dan perkembangan dasar-dasar monopoli itu sendiri. Dengan demikian, imperialisme sering dikenal dengan kapitalis monopoli. Kelahiran kapitalisme monopoli melalui tiga tahap 13 dasar . 8 SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 20. 9 TAHAP KETIGA Akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 K a p i t a l i s m e b e r u b a h m e n j a d i imperialisme Akumulasi dan konsentrasi kapital berkembang pesat. Kapital semakin terkonsentrasi di tangan perusahaan besar. Perusahaan monopoli semakin meningkat dan mengontrol berbagai sektor manufaktur utama dan membangun dasar bagi seluruh kehidupan ekonomi. Pada awal abad ke-20, perusahaan monopoli di AS mengontrol 70% industri metalurgi, 66 % industri baja, 81% industri kimia, 85% produksi aluminium, 80% tembakau, dan industri gula, dan 95% produksi batubara dan minyak. Sejak saat itu, kompetisi bebas kapitalisme berkembang menjadi kapitalisme, kapitalisme berubah menjadi imperialisme. Lima karakter dasar Imperialisme: (1) Konsentrasi kapital dan produksi telah berkembang luas dan kehidupan ekonomi didominasi oleh perusahaan monopoli, (2) Kapital bank dan kapital industri telah bergabung, melahirkan oligarki finans, (3) Eksport kapital telah berkembang, yang membedakan dari eksport komoditas, (4) Kapitalis monopoli internasional telah terbentuk yang membagi dunia di antara mereka, (5) Pembagian ekonomi dunia oleh kekuatan imperialis tak terhindarkan yang diikuti dengan pembagian dan pembagian ulang atas teritori dunia dalam koloni-koloni. JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 21. Perkembangan ini seiring dengan persaingan yang dilakukan oleh kekuatan imperialis di Indonesia melalui ekspor kapitalnya, yang tidak mengubah secara mendasar fondasi sistem ekonomi melainkan hanya menambah massifnya tipe tuan tanah yang baru, yaitu klas borjuasi besar komprador yang merangkap menjadi tuan tanah besar perseorangan. Mereka membangun usaha- usaha perkebunan feodal dan juga membangun pabrik pengolahan yang masih terbelakang. Mereka tidak membangun industri otomotif atau elektronik yang maju di Hindia Belanda seperti halnya industri yang berkembang di negeri imperialis sendiri. Menjadi jelas sudah, kapitalisme monopoli atau imperialis untuk era-era selanjutnya menjadi penghalang utama Indonesia untuk menjadi negeri Industri yang kuat, tetap menjadikannya sebagai pelayan industri imperialis semata dengan hanya menjadi penyedia buruh murah, bahan mentah, pasar barang jadi milik imperialis. P a d a a b a d 2 0 B e l a n d a t e l a h berkembang menjadi salah satu kekuatan imperialis di dunia sebagai hasil dari penghisapan dan penindasan rakyat Hindia Belanda. Dominasi imperialisme Belanda semakin berkembang subur, menjadikan sistem produksi feodal sebagai basis sosial dari kekuasaannya. Secara berturut-turut Kerajaan Belanda mengeluarkan regulasi mengenai perbankan, agraria dan berikutnya regulasi u n t u k m e m b u k a i n v e s t a s i s e k t o r pertambangan serta mengatur tentang tarif bea-ekspor dan impor yang baru. Sejak saat itu, meskipun Pemerintah Jajahan Hindia Belanda tetap menjadi tuan tanah paling berkuasa, dan para raja dan bangsawan lokal menjadi tuan tanah ke-2. Tanah koloni, dalam era semi- f e o d a l , t i d a k s e m a t a - m a t a u n t u k menghasilkan barang-barang konsumsi yang menguntungkan seperti kopi, gula, teh dan tembakau. Lebih penting lagi adalah suplai bahan mentah yang ditawarkan untuk industri di Barat. Akibatnya, dalam periode ini minat investor diarahkan ke luar jawa, tempat kekayaan mineral Indonesia, minyak timah, bauksit, dan batubara ditemukan dalam jumlah besar. Pembukaan investasi ini diawali dengan pasifikasi yang diselesaikan oleh van 14 Heutsz, Gubernur Jenderal periode 1904-1909 . “Perubahan-perubahan penting dalam lapangan ekonomi mulai terlihat terutama sejak keluarnya Agrarische Wet 1870. Sebuah undang-undang yang nampak melindungi kepemilikan perseorang kaum tani atas tanah, akan tetapi dalam kenyataannya hanyalah kedok bagi pemerintah jajahan untuk memberikan Hak Erfact kepada pengusaha perkebunan besar dengan masa konsesi 75 tahun.” Perubahan-perubahan penting dalam lapangan ekonomi mulai terlihat terutama sejak keluarnya Agrarische Wet 1870. Sebuah undang-undang yang nampak melindungi kepemilikan perseorang kaum tani atas tanah, akan tetapi dalam kenyataannya hanyalah kedok bagi pemerintah jajahan untuk memberikan Hak Erfact kepada pengusaha perkebunan besar dengan masa konsesi 75 tahun. Bahkan para pengusaha perkebunan tersebut dapat menyewa tanah milik kaum tani untuk masa waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Untuk memastikan hak negara memberikan sewa kepada pengusaha perkebunan pada tanggal 20 Juli 1870 diundangkan Agrarische Besluit dalam Stb. 1870 No.118. Besluit ini sekaligus menjadi aturan pelaksanaan dari Agrarische Wet, yang sebelumnya diundangkan dalam Stb. Tahun 1870 No.55 tanggal 9 April 1870. Pasal 1 Besluit ini memuat pernyataan domeinverklaring.: “..Semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom), adalah domen n e g a r a ( t a n a h m i l i k m u t l a k n y a 15 negara) .” Aturan tersebut telah dijadikan dasar yang sangat fleksibel bagi pengusaha perkebunan untuk memperluas perkebunanya dengan mengambil tanah-tanah milik rakyat, y a n g m u s t a h i l d a p a t m e n u n j u k k a n kepemilikannya, pada saat itu karena politik administrasi tanah negara jajahan sengaja menciptakan situasi semacam ini. Hal ini mengingatkan kita pada seluruh peraturan pertanahan di Indonesia saat ini yang juga menerapkan prinsip penguasaan negara atas tanah dan hak negara untuk mengambil tanah yang dibutuhkan untuk berbagai kepentingan. Kekuasaan keuangan dunia (oligarki finans) yang mulai berkembang di Eropa Barat dan Amerika Serikat mulai memiliki pengaruh di Hindia Belanda. Hal ini ditandai dengan 10 SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 22. berkembangnya bank dan lembaga pembiayaan lainnya untuk mendukung perkebunan besar dan perdagangan feodal monopoli. De Javache Bank didirikan oleh King Willem I dengan Hak Oktroy berlaku sebagai pencetak uang di Hindia Belanda dan memiliki cabang di seluruh Hindia Belanda. Pada tahun 1870 Nederlansche Handel Maaschapij (NHM) yang sebelumnya hanya perusahaan ekspedisi yang menghubungkan Batavia dengan Belanda mengembangkan dirinya menjadi bank untuk membiayai perusahaan finans yang mendukung pembiayaan perkebunan besar. Bank ini membuka cabang di seluruh dunia dan menjadi salah-satu bank monopoli terbesar dunia, ABN AMRO setelah merger dengan de Twentsche Bank. Ada juga Post Spaartbank dan Javasche Bank yang juga memiliki cabang sangat luas di Hindia Belanda. Javasche Bank merupakan cikal bakal Bank Indonesia (Bank Sentral). Sejak pemberlakuan peraturan ini segera bermunculan berbagai perkebunan besar di seluruh daerah yang telah ditaklukan oleh Belanda dan telah berdiri keresidenan. Di Jawa perkebunan sekaligus pabrik gula bermunculan seperti cendawan di musim hujan terutama di Jawa Tengah, Jogyakarta dan Jawa Timur. Sedikitnya ada sekitar 20 perkebunan tebu dan pabrik gula sebelum a b a d 2 0 . M e s i n - m e s i n u n t u k p a b r i k penggilingan tebu (pengolahan) mulai didatangkan, demikian pula dengan bengkel- bengkel perbaikan mesin mulai ramai dibuka. Sekalipun tanam paksa telah dihapus secara resmi pada tahun 1870, akan tetapi praktek yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan swasta tidak berbeda dengan praktek perkebunan milik pemerintah jajahan sendiri. Lagi pula mereka memperoleh perlindungan penuh kontrak atas tanah dengan para sultan, dibantu penuh oleh para pangreh praja serta mendapat perlindungan politik luar biasa dari kekuatan militer dan polisi Pemerintah Hindia Belanda. Pertanian kecil perseorangan milik kaum tani yang berproduksi untuk kepentingan sendiri mengalami kemerosotan besar. Barang- barang jadi diimpor dan mendominasi pasar dalam negeri, utamanya tekstil dan alat-alat kebutuhan rumah tangga dan sehari-hari yang sebelumnya dilayani oleh usaha kerajinan kecil tradisional. Seluruh unsur-unsur di atas menyediakan syarat-syarat kematian bagi perkembangan tenaga produktif di Hindia Belanda dan menggaris takdirnya sebagai negeri penyedia bahan mentah pertanian dan tambang, menjadi pasar bagi barang-barang jadi, dan lebih fundamental adalah menjadi pasar bagi kapital finans milik imperialis dunia dalam bentuk investasi dan utang. Harapan untuk pembentukan kapital di Hindia Belanda lenyap, klas-klas borjuasi harus menyediakan dirinya menjadi agen investasi dan utang dari imperialis agar dapat berkembang menjadi borjuasi besar di Hindia Belanda. “Seluruh perkebunan tebu dan pabrik gula yang dibangun diarahkan untuk memenuhi pasar internasional, hanya 3% dari keseluruhan produksi gula diperuntukkan bagi Hindia Belanda. Demikian pula dengan komoditas perkebunan lainnya seperti kapas, tembakau, nila dan indigo.” Seluruh perkebunan tebu dan pabrik gula yang dibangun diarahkan untuk memenuhi pasar internasional, hanya 3% dari keseluruhan produksi gula diperuntukkan bagi Hindia Belanda. Demikian pula dengan komoditas perkebunan lainnya seperti kapas, tembakau, nila dan indigo. Perkembangan kapitalisme monopoli yang pesat mendorong imperialis Belanda memperkuat kedudukannya di pulau-pulau besar lainnya. Dengan kekuatan militer besar dan dukungan finansial yang sangat besar, i m p e r i a l i s B e l a n d a m e m p e r c e p a t penaklukannya secara penuh atas Aceh melalui perang Aceh yang sangat kejam, penaklukan Bali melalui Perang Puputan, penaklukan di Kalimantan melalui Perang Banjar, Penaklukan Lombok dan Sumbawa serta keseluruhan Nusa Tenggara. Untuk selanjutnya daerah-daerah tersebut dibuka konsesi besar-besaran eksploitasi sumber daya alam utamanya perkebunan besar berbagai komoditas dan pertambangan minyak bumi, batu bara dan gas serta berbagai bahan mineral lainnya sesuai dengan kebutuhan negeri imperialis. Perkebunan tembakau yang sangat luas dibangun di sepanjang pantai timur Sumatera. Hanya dalam tempo beberapa tahun saja produksinya mencapai empat kali lipat produksi perkebunan tembakau di Jawa. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan atas minyak dan ban kendaraan bermotor, di Hindia B e l a n d a , p e n a n a m a n k a r e t d a n 11 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 23. pertambangan minyak digencarkan sedemikian rupa. Pemerintah jajahan memberikan konsesi luas bagi karet di Sumatera dan Jawa dan serta melakukan penambangan minyak di Langkat. Di akhir abad 19 perkebunan karet besar mulai berdiri seperti Anglo Sumatra Rubber Company Lt, Java Rubber Onderneming Mij, British Sumatra Rubber Estate, Sabang Rubber Onderneming Mij, Verenigde Java Onderneming Mij, dan Bandar Sumatra Rubber Mij. “Di akhir abad 19 perkebunan karet besar mulai berdiri seperti Anglo Sumatra Rubber Company Lt, Java Rubber Onderneming Mij, British Sumatra Rubber Estate, Sabang Rubber Onderneming Mij, Verenigde Java Onderneming Mij, dan Bandar Sumatra Rubber Mij.” Seluruh fundasi sistem ekonomi semi- feodal ini praktis tidak berubah secara mendasar dalam periode yang panjang. Memasuki periode revolusi nasional 1945, secara ekonomi dan politik juga tidak ada pemutusan yang signifikan atas sistem ini baik melalui perundingan damai maupun kebijakan “nasionalisasi palsu” dalam periode pemerintah Sukarno karena program nasionalisasi hanya menyasar perusahaan asing yang kalah selama Perang Dunia ke-2. Pada masa berikutnya, nasionalisasi seluruh perusahaan asing hanya jatuh ke tangan kekuatan militer kanan dan negara, berikutnya kembali lagi ke tangan imperialis dalam periode Suharto. Pada tahun 1967, Suharto mulai menjalankan rencana-rencana ekonominya. Dimulai dengan pencabutan atas seluruh regulasi negara yang menghambat jalannya ekspor kapital milik imperialis ke Indonesia, dan menggantikannya dengan regulasi baru yang sangat pro-imperialis dan anti-rakyat. Yaitu antara lain Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA No.1 tahun 1967), Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN No. 6 th 1968), Undang- Undang Pertambangan No.11 th 1967, Undang-Undang Kehutanan No.5 th 1967, Undang-Undang Transmigrasi No.3 th 1972. Seluruh kebijakan dan regulasi yang melindungi kaum tani dan klas buruh dan hak-hak ekonomi rakyat Indonesia secara umum dicabut atau dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang yang memiliki kaitan langsung dengan landreform semuanya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sementara Undang-Undang Pokok Agraria no.5 th 1960 yang memiliki aspek membela perkebunan besar dan dapat dipergunakan sebagai kedok oleh Suharto sengaja dibiarkan hidup sebagai tanpa aturan dan perangkat pelaksana. Pada masa Suharto bangsa dan m a s y a r a k a t I n d o n e s i a m e n g a l a m i kemunduran ekonomi yang luar biasa. Cita- cita untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman imperialis harus berhadapan dengan kebijakan ekonomi Suharto dan Orde Barunya yang didukung penuh Imperialisme AS. Tidak berselang lama setelah regulasi itu ditetapkan dengan pengaturan Bank Dunia dan IMF, perusahaan monopoli pertambangan raksasa berdatangan dan mengikat kontrak jangka panjang dengan Suharto. Yaitu Freeport Mc Moran, Chevron, Caltex, Unocal, Exxonmobile, Stanvac berdatangan dan menguras kekayaan minyak bumi, gas dan batu bara di Indonesia sejak tahun 1967. Beberapa imperialis lain yang menjadi sekutu AS setelah perang dunia ke-2 juga tidak ketinggalan. Imperialis Jepang bertugas membangun infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan laut, listrik dan membangun berbagai industri rakitan otomotif di Indonesia sejak tahun 1970-an awal. “Cita-cita untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman imperialis harus berhadapan dengan kebijakan ekonomi Suharto dan Orde Barunya yang didukung penuh Imperialisme AS” Untuk mendominasi kebijakan ekonomi Indonesia, Imperialis AS tidak hanya menggunakan IMF dan Bank Dunia, tetapi AS mengambil inisiatif membentuk persekutuan kapital bagi Indonesia dengan imperialis lainnya yaitu Inter-Governmental Group of Indonesia (IGGI) bersama dengan Kerajaan Belanda pada tahun Februari 1967. Pada tahun 1969 Indonesia secara resmi menjadi anggota Bank Dunia, IMF, Asian Development Bank. Dengan sokongan kapital pertama dalam bentuk utang $325 juta US, imperialisme AS mengontrol Indonesia secara ekonomi agar tidak dapat membangun Industri nasionalnya sendiri. Dengan kata lain ia harus setia menjadi penghasil bahan mentah pertanian maupun pertambangan untuk ekspor, sementara kebutuhan dalam negeri diatur sedemikian rupa dari impor dan beberapa barang 12 SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 24. kebutuhan yang dapat dirakit lebih murah di Indonesia dapat didirikan khususnya manufaktur dengan teknologi rendahan yang selalu dikontrol perkembangannya. Dengan dominasi tersebut, imperialis AS memastikan negeri ini tidak dapat menggunakan kekayaan alam dan penduduknya yang sangat besar untuk menjadi negeri industri yang besar di dunia. Skema imperialis AS mempertahan negeri ini sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal mendapatkan sukses besar. Indonesia selama pemerintahan Suharto hanya bergantung hidup dari pemberian izin Hak Penguasahaan Hutan (HPH) di hutan luas Sumatera dan Kalimantan sejak tahun 1967 untuk kepentingan ekspor; melanjutkan sistem ekonomi penjajah ia membangun perkebunan besar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan S u l a w e s i s e j a k a w a l t a h u n 1 9 7 0 - a n ; pertambangan minyak bumi dan gas; dan dengan bantuan imperialis membangun beberapa industri rakitan otomotif, elektronik dan tekstil di dalam negeri. Hingga saat ini Indonesia tidak dapat membuat mesin paling sederhana sekali pun karena bahan mineral untuk produksi baja dan teknologi permesinan dikontrol oleh imperialisme AS. “Hingga saat ini Indonesia tidak dapat membuat mesin paling sederhana sekali pun karena bahan mineral untuk p r o d u k s i b a j a d a n t e k n o l o g i permesinan dikontrol oleh imperialisme AS.” IV. Program Reforma Agraria palsu di Bawah Pemerintah SBY Pasca pemerintahan fasis Suharto, kebijakan senada seirama terus berlangsung hingga periode pemerintah SBY sekarang ini. Lahirnya UU Penanaman modal no. 25/2007, UU Minerba No. 4/2009, Undang-Undang (UU) Perkebunan No.18 tahun 2004, UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah (PP) No.18 tahun 2010 tentang Budidaya Tanaman. Perampasan tanah di dalam sektor kehutanan juga dibentengi dengan landasan hukum UU No.41 tahun 1999. Perampasan tanah untuk menunjang proyek infrastruktur menggunakan UU Pengadaan Lahan 2011. Seluruh instrumen hukum tersebut menyediakan landasan yang kokoh bagi imperialisme secara sah dan resmi untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat I n d o n e s i a . P e r a n a n n e g a r a m e l a l u i pemerintah Republik Indonesia sangat terang melayani kepentingan imperialisme secara ekonomi, politik, kebudayaan hingga militer. Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah mendefinisikan seluruh aset dan investasi imperialis sebagai obyek vital yang dilindungi oleh hukum dan dijaga polisi-militer secara langsung. Pemerintahan SBY jelas pemerintah anti landreform sejak berkuasa pada tahun 2004. Ia telah mengeluarkan kebijakan landreform palsu untuk memperkuat dominasi imperialisme atas penghisapan feodal yang berlangsung di Indonesia melalui klas borjuasi besar komprador, tuan tanah dan kapitalis b i r o k r a t . P r o g r a m l a n d r e f o r m p a l s u pemerintahan SBY yang utama adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dan Revitalisasi Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Seluruh program ini mengacu pada program Bank Dunia di Indonesia termasuk Land Administration Project (LAP) yang telah dijalankan sejak pemerintahan Megawati Sukarno Putri. Sebuah program sangat biadab berkedok program sertifikasi murah namun m e n y i m p a n t u j u a n j a h a t u n t u k mempermudah perampasan tanah milik kaum tani, menjadikan tanah sebagai komoditas serta jaminan utang pada perbankan (kapital finans). P r o d u k s i p e r t a n i a n y a n g bersandarkan pada monopoli tanah luas yang menjalankan berbagai bentuk dan variasi penghisapan feodal tetap menjadi andalan utama negara dan gantungan hidup bagi mayoritas rakyat. Sekitar 40 juta tenaga kerja terserap pada usaha pertanian ini, yang dalam keadaan sekarang, telah terbagi dalam dua kategori besar yaitu perkebunan besar monopoli milik tuan tanah dan pertanian berskala kecil yang dimiliki oleh rakyat, utamanya untuk tanaman pangan. Kedua cabang produksi pertanian tersebut berada dalam dominasi imperialisme dan menjadi sumber keuntungan yang luar biasa baik melalui operasi oligarki finansialnya dan sistem perdagangan monopoli yang mereka lakukan. 13 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 25. “Selama SBY memerintah, ekspansi perkebunan sawit, perkebunan kayu untuk bubur kertas (pulp) dan tebu megalami peningkatan berlipat-lipat.” Melalui program land reform palsu tersebut, pemerintahan SBY terus memperluas penguasaan tanah mengandalkan regulasi negara yang berpihak pada tuan tanah besar dan penanaman kapital milik imperialis dan tindasan militer, polisi dan milisi bayaran. Selama SBY memerintah, ekspansi perkebunan sawit, perkebunan kayu untuk bubur kertas (pulp) dan tebu megalami peningkatan berlipat-lipat. Hutan tropis primer yang sangat kaya vegetasi tumbuhan dan hewan, hutan gambut dan rawa di samping menjalankan secara kontinyu perampasan tanah milik kaum tani dengan berbagai metode seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan KKPA. Pada masa pemerintahan fasis Suharto perkebunan sawit seluas 5 juta hektar dan telah berkembang menjadi 15 juta hektar saat ini. Demikian pula dengan perkebunan kayu meningkat tajam seiring dengan dijadikannya bubur kertas sebagai komoditas ekspor prioritas negara. Bila di zaman Suharto perkebunan-perkebunan tersebut hanya massif di Jawa dan Sumatera, maka sejak zaman pemerintahan SBY, sebagaian besar lahan eks HPH di Kalimantan, Sulawesi dan Papua menjadi tempat ekspansi primadona. P e r l u a s a n k e p e m i l i k a n t a n a h monopoli oleh tuan tanah disokong oleh kapital finans imperialis berbanding terbalik dengan penguasaan rakyat atas tanah yang terus menyempit. Di Jawa, kepemilikan kaum tani atas tanah rata-rata 0,35 hektar, turun secara kontinyu dari 0,5-1 hektar di era sebelumnya. Demikian pula dengan kaum tani di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sekalipun mereka berdiam di pulau yang sangat besar dan jarang penduduk, kepemilikan kaum tani atas tanah terus mengalami kemerosotan dari sebelumnya rata-rata 2 hektar mejadi rata- rata 1 hektar. Tanah-tanah petani plasma yang terintegrasi dalam tanah monopoli milik tuan tanah hampir dipastikan bukan milik kaum tani lagi. Dengan berbagai manipulasi terselubung maupun represif, tanah-tanah- tanah tersebut telah berpindah tangan karena kelicikan tuan tanah dan bank pendukung dana perkebunan. Pemerintahan SBY terus berusaha memperkecil kepemilikan kaum tani atas tanah dengan berbagai regulasi p e n g a d a a n t a n a h u n t u k p r o y e k pembangunan khususnya infrastruktur. Liberalisasi perdagangan komoditas pertanian di bawah pemerintahan SBY tetap menjadi prioritas utama. Dimulai dengan pencabutan subsidi terhadap harga sarana pertanian seperti pupuk dan bibit, subsidi atas harga komoditas kaum tani juga dihapus dan dikorup oleh para kapitalis birokrat yang berurusan langsung dengan komoditas pangan maupun non pangan seperti BULOG dan unit pelaksana teknis pertanian dalam birokrasi negara. Gula, beras, kedelai, jagung dan berbagai tanaman pangan lainnya sama sekali tanpa subsidi negara dan dalam waktu bersamaan produk impor masuk dengan bea masuk 0%. Sementara itu produk pertanian miliki imperialis Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang adalah produk bersubsidi besar, dibiayai seluruh proses eksportasinya ke Indonesia, serta diproteksi dari barang yang sama dari luar dengan bea masuk mencapai 50%. “Peta Pertambangan Indonesia yang dibuat di era pemerintahan Megawati Sukarno Putri dimanfaatkan oleh pemerintahan SBY untuk menarik sebesarnya kapital imperialis di sektor pertambangan.” D i b a w a h p e m e r i n t a h a n S B Y , Indonesia menjadi surga bagi penanaman kapital finans milik imperialis. Uang-uangnya ditanam selain dalam perkebunan seperti dijelaskan di atas, juga dalam pertambangan besar, dalam bank-bank dan berbagai institusi keuangan non bank, dan utang berbunga tinggi. Pemerintahan SBY adalah pemerintah anti industri nasional. Bangsa dan rakyat Indonesia kehilangan syarat-syarat untuk menjadi negara industri maju karena seluruh bahan mentah pertanian dan tambang, energi, dan tenaga kerja Indonesia diabdikan untuk kepentingan imperialis. Selain pertanian, dominasi terbesar dari imperialisme berlangsung dalam sektor pertambangan. Pertambangan minyak, gas, batubara, aneka logam menjadi andalah pemerintah SBY untuk mengatasi defisit anggarannya. Di bawah pemerintahan SBY penguasaan imperialis terhadap pertambangan mencapai 85,4% dari seluruh konsesi minyak dan gas. Peta Pertambangan Indonesia yang dibuat di era pemerintahan Megawati Sukarno Putri 14 SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 26. dimanfaatkan oleh pemerintahan SBY untuk menarik sebesarnya kapital imperialis di sektor pertambangan. Dengan kedok menutupi d e fi s i t a n g g a r a n b e l a n j a n e g a r a , pemerintahan SBY berusaha meningkatan produksi minyak dan gas serta sumber energi alamiah yang penting seperti batubara. Perusahaan tambang besar milik imperialis AS dan imperialis asing lainnya seperti ExxonMobile oil, Chevron, British Petrolium, Santa fe, Santos, menguras minyak bumi, gas alam dan batubara. PT Freeport McMoran, Inco, Newmont, Unocal menguras berbagai biji besi, emas, nikel, bauksit dan berbagai bahan mineral industri lainnya. V. Jalan Keluar Tunggal: Landreform Sejati Akar masalah monopoli tanah dan seluruh kekayaan agraria bersumber pada tiga masalah pokok rakyat Indonesia, yakni: imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat. Imperialisme secara langsung telah menciptakan klas-klas reaksi di dalam negeri yakni borjuasi komprador dan tuan tanah yang mengontrol negara Republik Indonesia. Imperialisme juga melahirkan pemerintah boneka sebagai mesin politik yakni jajaran kapitalis birokrat sipil dan militer yang melayani kepentingan imperialis. Perjuangan rakyat Indonesia yang mendambakan Indonesia baru yang bebas, demokratis, kuat dan sejahtera harus terlebih dahulu mengalahkan tiga musuh pokok rakyat tersebut. Tanpa menghancurkan batu gunung beban tersebut maka mustahil melahirkan Indonesia baru. “Landreform sejati adalah jawaban tunggal bagi sistem masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal k a r e n a m e m u t u s b a s i s s o s i a l p e n g h i s a p a n i m p e r i a l i s m e d i Indonesia.” Perjuangan untuk menghentikan monopoli tanah dan seluruh sumber kekayaan alam kemudian mengembalikan pada pemiliknya yakni rakyat Indonesia merupakan perjuangan yang mutlak dilakukan. Landreform sejati adalah jawaban tunggal bagi sistem masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal karena memutus basis sosial penghisapan imperialisme di Indonesia. Tujuan utamanya Landreform sejati adalah meniadakan pengisapan feodal dan semi feodal atas kaum tani yang luas di pedesaan. Karena itu kaum tani menjadi kekuatan pokok dari perjuangan atas pelaksanaan landreform sejati. Program minimum landreform sejati meliputi penurunan sewa tanah secara bertahap, menghapuskan segala bentuk peribaan, menaikkan upah buruh tani – termasuk buruh tani yang bekerja pada tanah perkebunan yang dikelola secara kapitalis, menurunkan harga input dan output pertanian, serta menaikkan harga dan melindungi produk pertanian rakyat Indonesia. Sedangkan program maksimum landreform sejati adalah pelaksanaan penghapusan pengisapan feodal dan semi feodal dengan melakukan distribusi tanah bagi buruh tani dan petani miskin, pengelolaan pertanian (input dan output) secara mandiri, modernisasi pertanian yang dilayani oleh industri nasional, dan pada tahap berikutnya adalah kolektifikasi pertanian. Penghapusan pengisapan feodal dan semi feodal serta kembalinya seluruh kekayaan alam ke tangan rakyat menjadi syarat pokok bagi program industrialisasi nasional di Indonesia. Tanpa landreform sejati mustahil terbangun industri nasional yang kuat, mustahil juga membangun demokrasi sejati. Untuk menjamin hari depan yang gilang g e m i l a n g m a k a m u t l a k m e n u n t u t kepemimpinan klas buruh dalam pelaksanaan landreform sejati. Karena itu, masalah landreform sejati bukan hanya aspirasi kaum tani semata namun juga klas buruh, semi proletar, borjuis kecil, borjuasi nasional – seluruh rakyat Indonesia yang anti feodal dan anti imperialis. 15 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 27. Catatan Kaki 1. Penulis adalah Researcher Program Agraria pada The Institute for National and Democracy Studies (INDIES). Korespondensi bisa dilakukan melalui alamat email: holaprab@yahoo.com 2. Watak khusus imperialisme: (1) Imperialisme adalah kapitalisme monopoli, (2) Imperialisme adalah kapitalisme yang membusuk dan parasit, (3) Imperialisme adalah kapitalisme yang sekarat. Lihat V. I. Lenin dalam buku Imperialism, The Highest Stage of Capitalism, Progress Publisher, Moscow, 1975. 3. Lihat pidato Leon Panetta, Sekretaris Pertahanan AS di Hotel Shangri-la, Singapura, 2 Juni 2012. Isi pidato bisa diunduh di: http://www.defense.gov/speeches/speech.as px?speechid=1681 4. Samir Amin, Beyond US Hegemony? Assesing the Prospects for a Multipolar World, Strategic Information Research Development (SIRD), Malaysia, 2006. hal 4. 5. H.W. Deandels, Gubernur Jenderal 1808- 1811; Thomas S. Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816; van den Bosch, Gubernur Jenderal 1830-1870, Jenderal Komisioner 1823-1833. 6. Gunawan Wiradi, dalam pengantar Prinsip- prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Lapera Pustaka Utama, 2001, hal. 7. 7. Penulis perlu memberikan sedikit keterangan, bahwa sebelum pemberlakuan cultuurstelsel oleh van den Bosch 1830, masa sebelumnya telah dikenal Sistem Kuota yang Ditentukan (contingenten) dan Sistem Penyerahan paksa (gedwongene leveringen) yang diberlakukan selama periode VOC sekitar awal abad 17 s a m p a i a k h i r a b a d 1 8 . 8. Supeno, Sejarah Ringkat Gerakan Rakyat Indonesia untuk Kebebasan, 1982, hal 7. 9. Raffles, Sir Thomas Stamford, The History of Java, London, 1817, hal. 138 & 107. 10. Gunawan Wiradi, ibid. 11. Knight, G.R, Capitalism and Colonial Production, Hamza Alavi (editor), Croom Helm, London & Canberra, 1982, hal 23. 12. Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, Cambridge University Press, hal 16. 13. Lenin, V.I, Imperialism, The Highest Stage of Capitalism, Progress Publisher, Moscow, 1975 14. Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999, hal 71. 15. Dikutip dari Gunawan Wiradi, ibid. 16 SistemMasyarakatSetengahJajahandanSetengahFeodal:AkarSejatiMonopoliTanahdanSumberKekayaanAlam
  • 28. Daftar Pustaka Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, Cambridge University Press, New York, 2005. Boeke, J.H, Economics and economic Policy of Dual Societies as Exemplified by Indonesia, Haarlem, 1953. Geertz, C, Agricultural Evolution. The Process of Ecological Change in Indonesia, University of California Press, 1963. Gunawan Wiradi, dalam kata pengantar Prinsip-prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Lapera Pustaka Utama, 2001. Knight, G.R, Capitalism and Colonial Production, Hamza Alavi (editor), Croom Helm, London & Canberra, 1982. Jean Gelman Taylor, Indonesia, Peoples and Histories, Yale University Press, 2003. M. Tauchid, Masalah Agraria, I, Penerbit Tjakrawala, 1952 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200- 2008, Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008. Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Insist-KPA- Pustaka Pelajar, 1999. Supeno, Sejarah Singkat Gerakan Rakyat Indonesia untuk Kebebasan, 1982, tidak dipublikasikan. Samir Amin, Beyond US Hegemony? Assesing the Prospects for a Multipolar World, Strategic Information Research Development (SIRD), Malaysia, 2006. Sediono M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi (Penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia Jakarta, 1984. Thomas Stanford Raffless, The History of Java, vol I edisi kedua, London, John Murray, Albemarle Street. Gilbert and Rivingtone, Printers, 1817. V. I. Lenin, Imperialism, The Highest Stage of Capitalism, Progress Publisher, Moscow, 1975. Wertheim, Wim F. Dunia Ketiga Dari dan Ke mana? Negara Protektif versus Pasar Agresif, Het Spinhuis, 1997, diterjemahkan oleh Ira Iramanto. Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999 17 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 29.
  • 30. BUMN Sebagai Instrumen Ekonomi Kerakyatan 1 Oleh : Dani Setiawan Abstraksi Artikel ini akan memeriksa tentang peran dan kedudukan BUMN dalam perekonomian di Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 33. Perhatian utama tulisan ini akan difokuskan menjelaskan tujuan utama pengelolaan BUMN sebagai instrumen ekonomi kerakyatan dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan tetapi, keberadaan BUMN dianggap memiliki tata kelola yang buruk serta cenderung menjadi alat kekuasaan dan terancam oleh kebijakan privatisasi. Tulisan ini juga menjelaskan bagaimana posisi BUMN sektor perkebunan di Indonesia dalam perekonomian nasional. Perkembangan lanskap perekonomian global serta tantangan internal yang dihadapinya, menuntut perusahaan perkebunan ini meningkatkan peranannya dalam perekonomian dan menjalankan tugas sebagai instrumen negara dalam praktek ekonomi kerakyatan di sektor perkebunan. Pembentukan Holding Company dengan menggabungkan 15 perusahaan perkebunan negara merupakan tantangan sendiri bangaimana peran perusahaan ini ke depan dalam menjawab dinamika internal dan eksternal dalam lingkup sosial, ekonomi dan keamanan manusiawi. Dalam kesimpulan, penulis menyebutkan bahwa pendelegasian wewenang pengelolaan kepada BUMN perkebunan belum disertai dengan mandat yang tegas dalam melaksanakan amanat konstitusi. Kata Kunci: BUMN, UUD 1945 pasal 33, Ekonomi Kerakyatan, Perkebunan Abstracs This article will examine the role and position of SOEs in the Indonesian economy, as mandated by the UUD 1945, Article 33. The main concern of this paper will focus on explaining the main purpose of management of SOEs as an instrument of the economic democracy and aimed for the maximum prosperity of the people. However, the existence of SOEs considered to have poor governance and tends to be an instrument of power and threatened by privatization policies. This paper also describes how the position of state-owned plantation sector in the national economy. Developments in global economic landscape as well as internal challenges it faces, demanding the company to increas its role in the economy and as an instrument of the state in carrying out the practice of economic democracy in the plantation sector. Establishment of Holding Company by combining 15 state plantation firms own challenges and how the role of this company in answering internal and external dynamics in the social, economic and human security. In conclusion, the authors stated that the delegation of authority to the management of state-owned plantations have not been accompanied by a clear mandate to implement the constitutional purposes. Keywords: SOEs, UUD 1945 article 33, Economic Democracy, Plantation Latar Belakang Dalam Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia pasal 33, terdapat cita-cita yang tertanam untuk mendorong kedaulatan rakyat dalam perekonomian nasional. Dimana hal tersebut merupakan dasar perekonomian yang semakin jauh dari sifat individualisme dan semakin dekat kepada kolektivisme. Secara historis, gagasan ini didorong sebagai cara untuk merombak struktur ekonomi kolonial yang diwariskan hingga masa kemerdekaan. Sebagaimana dikemukakan Soekarno, meski kemerdekaan Indonesia dianggap sesuatu 19 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 31. yang menjanjikan, akan tetapi belum pasti m e n e n t u k a n p e r b a i k a n h i d u p d a n kesejahteraan rakyat bilamana sistem 1 kapitalisme dan imperialisme masih bertahan . Dari sudut ini, penyelidikan mengenai peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai dilakukan. Salah satu aktor dalam ekonomi Indonesia yang dibentuk segera setelah kemerdekaan Indonesia dan tetap bertahan hingga saat ini. BUMN berperan sebagai alat negara untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan terhadap kekayaan negara dan memiliki fungsi dalam penyediaan kebutuhan rakyat. Sehingga pada akhirnya negara dapat memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk mendistribusikan hasil dari pemanfaatan kekayaan nasional bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. “BUMN berperan sebagai alat negara untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan terhadap kekayaan negara dan memiliki fungsi dalam penyediaan kebutuhan rakyat.” Meski demikian, perkembangan BUMN tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. BUMN menghadapi sejumlah persoalan yang bersifat internal maupun eksternal. Di antara yang sering dikemukakan adalah rendahnya tata kelola di dalam tubuh BUMN sehingga menimbulkan kerugian bagi negara. Situasi ini secara struktural banyak disebabkan oleh desain kelembagaan BUMN yang cenderung menjadi alat kekuasaan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Selebihnya, banyak persoalan BUMN juga disebabkan birokrasi pemerintah yang menghambat budaya kerja BUMN yang efektif dan efisien. Perusahaan negara ini juga masih harus menghadapi berbagai persoalan sosial dan ekologi misalnya persoalan pencemaran lingkungan dan konflik lahan. “Privatisasi seolah menjadi satu-satunya obat mujarab bagi pelaksanaan reformasi pengelolaan BUMN” Akan tetapi, eksistensi BUMN juga mendapat ancaman dengan masih kuatnya keinginan sejumlah pihak untuk memaksakan privatisasi BUMN. Sebagaimana dapat dilihat dengan masih tetap dicantumkannya pos privatisasi dalam struktur penerimaan pembiayaan dalam APBN. Privatisasi seolah menjadi satu-satunya “obat mujarab” bagi pelaksanaan reformasi pengelolaan BUMN. Bahkan pelaksanaan privatisasi secara masif sebagai persyaratan utang IMF, ADB, dan Bank Dunia, telah berhasil menciutkan jumlah BUMN dan memperbesar porsi modal asing dalam penguasaan sektor ekonomi di Indonesia. Salah satu BUMN yang sering menjadi sasaran kritik adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan. Perusahaan negara yang merupakan hasil dari kebijakan nasionalisasi perusahaan asing pada masa orde lama ini, menjadi salah satu sumber inefisiensi dalam tubuh BUMN. Bahkan keberadaannya telah menimbulkan persoalan sosial di tengah masyarakat. Pada bulan Maret 2012, Pemerintah menggabungkan 14 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dengan membentuk holding company. Diperkirakan total aset yang dimerger mencapai Rp50 triliun dengan potensi meraup laba bersih sekitar Rp5,3 triliun pada 2 tahun 2012 . Strategi ini diharapkan mampu menjawab masalah produktivitas dan kemampuan leverage yang rendah serta tuntutan untuk memberi kontribusi optimal bagi 3 negara . Di sisi lain, BUMN perkebunan juga tengah menghadapi persoalan pelik seperti banyaknya sengketa lahan dengan rakyat yang terjadi di hampir seluruh wilayah operasinya. Mencermati perkembangan BUMN dewasa ini serta berbagai persoalan yang tengah dihadapinya, pertanyaan penting yang relevan untuk diajukan adalah apakah s e s u n g g u h n y a m i s i d a n t u j u a n penyelenggaraan BUMN dalam konstitusi? Serta bagaimana posisi dan peran BUMN sektor Perkebunan dalam Perekonomian nasional? Tulisan ini bermaksud untuk menjawab dua masalah di atas sekaligus mencoba untuk mengeksplorasi perdebatan yang muncul di seputar masalah tersebut. Untuk itu, tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan membahas secara singkat perkembangan BUMN selama ini serta peran dan kedudukan BUMN dalam sistem ekonomi di Indonesia. Bagian kedua dalam tulisan ini akan mengulas tentang tata kelola BUMN perkebunan dan posisinya dalam konstitusi. Bagian ketiga akan ditutup dengan kesimpulan. II. Sejarah BUMN Keberadaan BUMN dalam perekonomian I n d o n e s i a t e l a h d i m u l a i s e j a k a w a l 20
  • 32. kemerdekaan dengan dibentuknya sejumlah perusahaan. Diantaranya yaitu Bank Negara Indonesia 1946, Bank Industri Negara (BIN), Perusahaan Dagang Pusat (Central Trading Company), Perusahaan Pelayaran Nasional (PELNI), Garuda Indonesia Airways (GIA), dan Djawatan Angkutan Mobil Republik Indonesia 4 (DAMRI) . Jumlah perusahaan BUMN mengalami peningkatan sangat pesat ketika terjadi pengambilalihan perusahaan- perusahaan Belanda pada tahun 1957-1958. Tindakan ini dilakukan terhadap perkebunan Belanda, Bank, dan beberapa perusahaan Belanda lainnya sebagai reaksi dari memuncaknya sengketa Irian Barat. Sebuah catatan bahkan menyebutkan, lebih dari 400 perusahaan perkebunan/pertanian telah 5 diambilalih dalam kebijakan nasionalisasi ini . H a l i n i k e m u d i a n d i i k u t i d e n g a n pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Inggris, Amerika dan negara-negara Barat lainnya pada periode 1963-1965. “Pengambilalihan ini merupakan pukulan keras bagi modal asing di Indonesia dan berhasil mengubah susunan ekonomi secara fundamental.” Pengambilalihan ini merupakan pukulan keras bagi modal asing di Indonesia dan berhasil mengubah susunan ekonomi secara fundamental. Hal itu meliputi perubahan kepemilikan 90% hasil perkebunan, 60% perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan tambang, juga sejumlah bank serta berbagai 6 macam industri jasa . Tindakan perubahan kepemilikan oleh negara ini juga ditenggarai akibat kaum kapitalis pribumi terbukti masih terlalu lemah untuk mengelola perusahaan- perusahaan warisan kolonial ini. Sebagaimana diketahui karena pada mulanya pemerintah sendiri ragu untuk mengambilalih perusahaan- perusahaan ini setelah dimulai dengan aksi pengambilalihan spontan yang dilakukan oleh serikat buruh. Hingga sampai dikeluarkannya dekrit presiden tahun 1959 sebagai permulaan masa ekonomi dan demokrasi terpimpin, perusahaan-perusahaan negara ini mulai menjadi alat kebijaksanaan negara. Pada tahun 1980-an, Indonesia 7 memiliki lebih dari 200 perusahaan BUMN . Termasuk perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi sektor ekonomi strategis, seperti Pertamina, Garuda Indonesia, perbankan, dan perusahaan telekomunikasi. Pada tahun 1991, total produksi yang dihasilkan BUMN mencapai 15 persen dari total PDB dengan kepemilikan aset sebesar Rp200 triliun. Pada tahun 2011, jumlah BUMN mengalami penurunan hingga hanya sekitar 141 perusahaan dan kepemilikan negara minoritas di 15 perusahaan. Total aset yang dimiliki BUMN hingga tahun 2011 berjumlah Rp2.926 triliun dan berkontribusi kepada negara dalam bentuk pembayaran deviden dan pajak diproyeksikan sebesar 8 Rp143,7 triliun . Meningkat dari tahun sebelumnya, dimana sumbangan BUMN dalam APBN berjumlah Rp129,8 triliun, yang 9 terdiri dari pembayaran pajak dan deviden . Namun, dari total aset BUMN tersebut, belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal guna menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari rasio return on asset (ROA) BUMN yang masih relatif kecil, yaitu sebesar 4,18% dari total aset BUMN yang mencapai Rp2.962 trilliun. Laba BUMN pada akhir tahun 2011 hanya mencapai Rp123.935 triliun, dengan return on equity (ROE) 10 sebesar 17,28% Dari 141 BUMN yang ada, sebagian besar merupakan perusahaan dengan kinerja dan skala usaha yang relatif kecil. Berdasarkan data Kementerian BUMN tahun 2008, sebanyak 25 BUMN (25 BUMN besar) mempresentasikan 97,16% dari total aset, 91,73% dari total ekuitas, 86,69% dari total penjualan dan 98,11% dari total laba bersih seluruh BUMN. Tabel 1 Perkembangan Kinerja BUMN Sumber: Kementerian BUMN, 2011. Catatan: Dividen untuk APBN TA 2011 (TB 2010) belum termasuk Dividend saham PT Krakatau Steel Tbk sebesar Rp 956 M yang berasal dari kapitalisasi laba Januari s.d September tahun 2011 dalam rangka pelaksanaan IPO Dividen untuk APBNP TA 2012 berasal dari laba tahun buku 2011 yang saat ini masih dalam proses RUPS. 21 Deskripsi/Tahun Total Aktiva (Rp Milyar) Total Ekuitas (Rp Milyar) Total Pendapatan (Rp Milyar) Total Laba Bersih (Rp Milyar) ROA ROE CAPEX (Rp Milyar) OPEX (Rp Milyar) Dividen (Rp Milyar)* 2011 RKAP 2012 2,962,699 717,424 1,338,667 123,935 4.18% 17,28% 142,327 1,226,551 28,171 3,422,422 853,280 1,495,689 145,564 4.25% 17,06% 217,383 1,216,456 30,776 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013
  • 33. III. Peran dan Kedudukan BUMN Kenyataan mengenai keberadaan BUMN sebagai salah satu pelaku ekonomi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran pasal 33 dalam UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam bagian penjelasan pasal tersebut, “Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.” “Tidak banyak penelitian akademik di Indonesia dewasa ini yang memulai penyelidikan mengenai posisi dan p e r a n B U M N d e n g a n m e l i h a t penjelasan pasal 33 sebagai tujuan utama dari penyelenggaraan ekonomi nasional” Tidak banyak penelitian akademik di Indonesia deawasa ini yang memulai penyelidikan mengenai posisi dan peran BUMN dengan melihat penjelasan pasal 33 sebagai tujuan utama dari penyelenggaraan ekonomi nasional. Melalui penjelasan pasal 33 itu dapat diketahui bahwa ayat 1, 2, dan 3 pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar dari demokrasi ekonomi atau Sistem Ekonomi Kerakyatan yang hendak diselenggarakan di Indonesia. Singkatnya, ketiga ayat dalam pasal 33 UUD 1945 yang asli merupakan instrumen transformasi ekonomi d a l a m m enj a l a nk a n s i s tem ek onom i kerakyatan di Indonesia. Secara historis, hal tersebut mengandung pengertian bahwa segala bentuk sistem ekonomi kapitalisme yang berwatak individualisme yang diwariskan pada masa penjajahan, hendak diubah dengan sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan (kolektivisme). Hatta (1977), menyebut asas kekeluargaan itu adalah 11 Koperasi . Meskipun tidak semua bangun perusahaan harus berbentuk koperasi. Di samping koperasi juga terdapat perusahaan negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Tetapi kedua bangun perusahaan ini harus tetap m e n g i k u t i a s a s k e k e l u a r g a a n d a n kebersamaan atau harus berjiwa koperasi dan 12 bersemangat koperasi . “ H a t t a ( 1 9 7 7 ) , m e n y e b u t a s a s kekeluargaan itu adalah Koperasi.” Terdapat beragam definisi mengenai sistem e k o n o m i k e r a k y a t a n , s a l a h s a t u n y a dikemukakan oleh Baswir (2009) “Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang sangat menekankan pentingnya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses penyelenggaraan perekonomian. Sehubungan dengan itu, dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, setiap anggota m a s y a r a k a t t i d a k d a p a t h a n y a d i p e r l a k u k a n s e b a g a i o b j e k p e r e k o n o m i a n . I a a d a l a h s u b j e k perekonomian, yaitu yang memiliki hak untuk berpartisipasi secara langsung d a l a m p r o s e s p e n y e l e n g g a r a a n perekonomian, serta dalam mengawasi berlangsungnya proses perekonomian 13 tersebut.” Didasarkan pada definisi ini, maka sebuah politik perekonomian yang ditujukan bagi peningkatan peran serta rakyat dalam seluruh kegiatan ekonomi secara tidak langsung memberi legitimasi bagi campur tangan negara. Dengan demikian dapat d i p a h a m i b a h w a k e d u d u k a n B U M N merupakan instrumen campur tangan negara dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta bumi, air, dan segala yang terkandung di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam ayat 2 dan 3 UUD 1945. Yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 itu lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara (bukan pemerintah) untuk melakukan pengendalian. Artinya, dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut oleh negara, berarti negara memiliki hak untuk mengendalikan kegiatannya. “Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan- badan pelaksana—BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggungjawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikendalikan oleh 14 negara.” Pada 21 Desember 2004, dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian UU Migas Nomor 22/2001, MK memberikan tafsir atas makna dikuasai oleh negara dengan menyatakan: 22
  • 34. “...pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,” termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) d a n t i n d a k a n p e n g u r u s a n ( b e s t u u r s d a a d ) , p e n g a t u r a n ( r e g e l e n d a a d ) , p e n g e l o l a a n (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat...” Kemudian pada amar putusan tanggal 13 November 2012 mengenai pengujian kembali UU Migas, MK kembali menegaskan kewenangan negara c.q p e m e r i n t a h , m e l a l u i l e m b a g a y a n g dibentuknya (BUMN) untuk menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945. Sebagai mana d i s e b u t k a n , “ . . . F u n g s i p e n g e l o l a a n (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam pengertian ini, menjadi jelas bahwa penguasaan negara terhadap “cabang- cabang produksi yang penting bagi negara” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” tersebut tetap harus memiliki misi yang jelas, yaitu ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebab negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas sumber daya alam tersebut. “Salah satu kelemahan mendasar dari penyelenggaraan BUMN saat ini adalah tiadanya penjelasan yang memadai mengenai definisi “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” dan “yang menguasai hajat hidup orang banyak” dalam berbagai p e r a t u r a n d a n d o k u m e n r e s m i pemerintah.” Salah satu kelemahan mendasar dari penyelenggaraan BUMN saat ini adalah tiadanya penjelasan yang memadai mengenai definisi “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” dan “yang menguasai hajat hidup orang banyak” dalam berbagai peraturan dan dokumen resmi pemerintah. Bahkan sebaliknya, sebagaimana dilihat dalam UU Keuangan Negara dan UU BUMN justeru dengan sengaja mengatur secara khusus mengenai privatisasi BUMN. Satu- satunya penjelasan yang bisa ditemui adalah p e n g e r t i a n p e m e r i n t a h m e n g e n a i “menyangkut hajat hidup orang banyak,” dimana hal tersebut tetap harus dipertahankan kepemilikan mayoritas negara pada BUMN tersebut. Sedangkan terhadap BUMN yang bidang usahanya atau produk/jasa yang dihasilkan tidak termasuk dalam kategori “menyangkut hajat hidup orang banyak”, maka kepemilikan Negara pada BUMN tersebut dapat dipertimbangkan untuk tidak mayoritas atau bahkan dilepas (divestasi), tertutama untuk sektor-sektor atau BUMN yang dirasakan Negara tidak perlu lagi ikut serta dalam sektor usaha tersebut. A d a p u n k r i t e r i a B U M N y a n g “menyangkut hajat hidup orang banyak” mencakup beberapa hal, yaitu: Amanat Pendirian oleh Peraturan Perundangan untuk tetap dimiliki oleh Negara; Mengemban Public Service Obligation (PSO); Terkait erat dengan Keamanan Negara; Melakukan Konservasi Alam/Budaya; Berbasis Sumber Daya Alam yang menurut Undang-undang harus dimiliki mayoritas oleh Negara; dan penting bagi 15 stabilitas ekonomi/Keuangan Negara . Kriteria tersebut tetap mengandung kelemahan. Bukan saja posisinya yang tidak dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan manapun, sebaliknya pemerintah justeru menetapkan dalam UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 bahwa pada prinsipnya pemerintah membuka hampir semua sektor bagi kepemilikan modal asing di dalam negeri. Menurut MK, terdapat empat hal yang bisa dikuasai oleh negara, yaitu: 1) cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan sekaligus menguasai hajat hidup orang banyak; 2) cabang-cabang produksi yang 23 JURNALTANAHAIR/DESEMBER2012-JANUARI2013