1. Isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma'ruf seperti shalat, puasa, dan mengenakan pakaian muslimah. Taat kepada suami akan membawa isteri masuk surga.
2. Isteri harus bersyukur dan tidak banyak menuntut kepada suaminya. Isteri yang tidak bersyukur dan selalu menuntut akan masuk neraka.
3. Isteri diperintahkan untuk tinggal di rumah dan meng
1. Ketaatan Isteri Kepada Suaminya
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Disadur dari http://www.assunnah-qatar.com/
Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya,
karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar
daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Dan Allah Ta‟ala berfirman:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” [An-
Nisaa' : 34]
Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan oleh
isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.
Masing-masing dari suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas
isterinya. Allah Ta‟ala berfirman:
“Artinya : Dan mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas. Tetapi
para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Baqarah : 228]
[1]. Ketaatan Isteri Kepada Suaminya
Setelah wali atau orang tua sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada suami menjadi
hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya shallallaahu „alaihi wa
sallam.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam:
“Artinya : Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang
wanita sujud kepada suaminya.” [1]
Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami
mendapatkan hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata: “Seandainya aku boleh...,” menunjukkan
bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.
Sang isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma‟ruf (mengandung kebaikan dalam agama). Misalnya
ketika diajak untuk jima‟ (bersetubuh) , diperintahkan untuk shalat, berpuasa, shadaqah, mengenakan busana
muslimah (jilbab yang syar‟i), menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan syari‟at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan Surga bagi dirinya, seperti sabda Rasulullah
shallallaahu „alaihi wa sallam:
“Artinya : Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga
kemaluannya (menjaga kehormatannya) , dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana
saja yang dikehendakinya.” [2]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga,
“Artinya : Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan
banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan
tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, „Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha.‟” [3]
Dikisahkan pada zaman Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam, ada seorang wanita yang datang dan mengadukan
perlakuan suaminya kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam. Dari Hushain bin Mihshan, bahwasanya
saudara perempuan dari bapaknya (yaitu bibinya) pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam
karena ada suatu keperluan. Setelah ia menyelesaikan keperluannya, Nabi shallallaahu „alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, “Apakah engkau telah bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu
kepada suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (haknya) kecuali yang aku tidak mampu
mengerjakannya.”
Maka, Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam menjawab:
2. “Artinya : Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan
Nerakamu.” [4]
Hadits ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam untuk memperhatikan hak suami yang
harus dipenuhi isterinya karena suami adalah Surga dan Neraka bagi isteri. Apabila isteri taat kepada suami, maka ia
akan masuk Surga, tetapi jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka dapat menyebabkan isteri
terjatuh ke dalam jurang Neraka. Nasalullaahas salaamah wal „aafiyah.
Bahkan, dalam masalah berhubungan suami isteri pun, jika sang isteri menolak ajakan suaminya, maka ia akan
dilaknat oleh Malaikat, sebagaimana Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk jima‟/bersetubuh) dan si isteri menolaknya
[sehingga (membuat) suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat hingga (waktu) Shubuh.” [5]
Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan: “sehingga ia kembali”. Dan dalam riwayat lain (Ahmad dan Muslim)
disebutkan: “sehingga suaminya ridha kepadanya”.
Yang dimaksud “hingga kembali” yaitu hingga ia bertaubat dari perbuatan itu. [6]
Nabi shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah
sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung
unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak.” [7]
Dalam ajaran Islam, seorang isteri dilarang berpuasa sunnat kecuali dengan izin suaminya, apabila suami berada di
rumahnya (tidak safar). Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu „alaihi wa sallam,
“Artinya ; Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya.
Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan
harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.” [8]
Dalam hadits ini ada tiga faedah:
[1]. Dilarang puasa sunnat kecuali dengan izin suami.
[2]. Tidak boleh mengizinkan orang lain masuk kecuali dengan izin suami.
[3]. Apabila seorang isteri infaq/shadaqah hendaknya dengan izin suami.
Dalam hadits ini seorang isteri dilarang puasa sunnat tanpa izin dari suami. Larangan ini adalah larangan haram,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullaah.
Imam an-Nawawi berkata, “Hal ini karena suami mempunyai hak untuk “bersenang-senang” dengan isterinya setiap
hari. Hak suami ini sekaligus merupakan kewajiban seorang isteri untuk melayani suaminya setiap saat. Kewajiban
tersebut tidak boleh diabaikan dengan alasan melaksanakan amalan sunnah atau amalan wajib yang dapat ditunda
pelaksanaannya.” [9]
Jika isteri berkewajiban mematuhi suaminya dalam melampiaskan syahwatnya, maka lebih wajib lagi baginya untuk
mentaati suaminya dalam urusan yang lebih penting dari itu, yaitu yang berkaitan dengan pendidikan anak dan
kebaikan keluarganya, serta hak-hak dan kewajiban lainnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak suami lebih utama
dari amalan sunnah, karena hak suami merupakan kewajiban bagi isteri. Melaksanakan kewajiban harus didahulukan
daripada melaksanakan amalan sunnah.” [10]
Agama Islam hanya membatasi ketaatan dalam hal-hal ma‟ruf yang sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah
sebagaimana yang dipahami oleh generasi terbaik, yaitu Salafush Shalih. Sedangkan perintah-perintah suami yang
bertentangan dengan hal tersebut, tidak ada kewajiban bagi sang isteri untuk memenuhinya, bahkan dia
berkewajiban untuk memberikan nasihat kepada suaminya dengan lemah lembut dan kasih sayang.
3. [2]. Isteri Harus Banyak Bersyukur Dan Tidak Banyak Menuntut
Bersyukur adalah ciri dari hamba-hamba Allah yang mulia. Dan orang-orang yang bersyukur sangat sedikit,
sebagaimana Allah Ta‟ala berfirman:
“Artinya : ... Sedikit dari hamba-Ku yang bersyukur.” [ Saba ‟ :13]
Setiap mukmin dan mukminah diperintahkan untuk bersyukur karena dengan bersyukur, Allah akan menambahkan
rizki yang telah Dia berikan kepadanya. Allah berfirman:
“Artinya ; Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu memaklumkan, „Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan
menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat.‟”
[Ibrahim : 7]
Seorang isteri diperintahkan untuk bersyukur kepada suaminya yang telah memberikan nafkah lahir dan batin
kepadanya. Karena dengan syukurnya isteri kepada suaminya dan tidak banyak menuntut, maka rumah tangga akan
bahagia. Isteri yang tidak bersyukur kepada suaminya dan banyak menuntut merupakan pertanda isteri tidak baik
dan tidak merasa cukup dengan rizki yang Allah karuniakan kepadanya.
Perintah syukur ini sangat ditekankan dalam Islam, bahkan Nabi shallallaahu „alaihi wa sallam mengancam dengan
masuk Neraka bagi para wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan pada hari Kiamat Allah Ta‟ala pun tidak
akan melihat seorang wanita yang banyak menuntut kepada suaminya dan tidak bersyukur kepadanya.
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Diperlihatkan Neraka kepadaku dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita, mereka
kufur.” Para Shahabat bertanya: “Apakah disebabkan kufurnya mereka kepada Allah?” Rasul menjawab: “(Tidak),
mereka kufur kepada suaminya dan mereka kufur kepada kebaikan. Seandainya seorang suami dari kalian berbuat
kebaikan kepada isterinya selama setahun, kemudian isterinya melihat sesuatu yang jelek pada diri suaminya, maka
dia mengatakan, „Aku tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu sekalipun.‟” [11]
Padahal suaminya sudah banyak berbuat baik kepada isterinya selama setahun penuh. Karena sekali (saja) suami
tidak berbuat baik kepada si isteri, maka dilupakan seluruh kebaikannya selama satu tahun. Itulah yang disebut
kufur.
Sebagai contoh, misalnya seorang suami secara rutin telah memberikan nafkah berupa harta kepada isterinya.
Namun, suatu waktu Allah „Azza wa Jalla mentakdirkan dirinya bangkrut sehingga tidak dapat memberikan nafkah
dalam jumlah yang seperti biasanya kepada isterinya, kemudian si isteri mengatakan, “Memang, engkau tidak pernah
memberikan nafkah.” Atau contoh yang lainnya, yaitu isteri yang terlalu banyak menuntut, meski sang suami sudah
berusaha dengan sekuat tenaga dari pagi hingga sore untuk mencari nafkah.
Ancaman Allah „Azza wa Jalla kepada orang-orang yang semacam ini sangatlah keras, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam:
“Artinya : Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan dia selalu
menuntut (tidak pernah merasa cukup).” [12]
Dalam hadits lain, Nabi shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Artinya : Sesungguhnya orang yang selalu melakukan kefasikan adalah penghuni Neraka.” Dikatakan, “Wahai
Rasulullah, siapakah yang selalu berbuat fasik itu?” Beliau menjawab, “ Para wanita.” Seorang Shahabat bertanya,
“Bukankah mereka itu ibu-ibu kita, saudari-saudari kita, dan isteri-isteri kita?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi
apabila mereka diberi sesuatu, mereka tidak bersyukur. Apabila mereka ditimpa ujian (musibah), mereka tidak
bersabar.” [13]
[3]. Isteri Diperintahkan Untuk Tinggal Di Rumah Dan Mengurus Rumah Tangga Dengan Baik
Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik. Isteri
harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut syari‟at Islam yang
mulia. Allah „Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya,
mengurus anak-anaknya. Menurut ajaran Islam yang mulia, isteri tidak dituntut atau tidak berkewajiban ikut keluar
rumah mencari nafkah, akan tetapi ia justru diperintahkan tinggal di rumah guna menunaikan kewajiban-kewajiban
yang telah dibebankan kepadanya.
4. Allah „Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-
orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya.” [Al-Ahzaab : 33]
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Wanita adalah aurat. Apabila ia keluar, syaitan akan menghiasinya dari pandangan laki-laki.” [14]
Isu emansipasi yang digembar-gemborkan telah menjadikan sebagian besar kaum wanita terpengaruh untuk keluar
rumah dan melalaikan kewajiban yang paling utama sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga. Bahkan, mereka
berani berdalih dengan tidak cukupnya penghasilan yang diperoleh suaminya, meskipun dia telah memiliki rumah
atau kendaraan atau harta lainnya yang banyak. Hal ini menjadi sebab timbulnya malapetaka di dalam rumah
tangga.
Tidak jarang justru keluarganya menjadi berantakan karena anaknya terlibat kasus narkoba, atau kenakalan, atau
hubungan suami isteri menjadi tidak harmonis karena isteri lebih sibuk dengan urusan kantornya, bisnis, dagang, dan
sebab-sebab lain yang sangat banyak disebabkan lalainya sang isteri.
Dalam Islam, yang wajib memberikan nafkah adalah suami. Dan suami diperintahkan untuk keluar rumah mencari
nafkah. Wanita tidak diperbolehkan keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata, “Tidak boleh baginya untuk keluar dari rumahnya kecuali
mendapat izin dari suami. Seandainya ia keluar tanpa izin dari suaminya, maka ia telah berlaku durhaka dan
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan wanita tersebut berhak mendapatkan hukuman.” [15]
Allah Ta‟ala memberikan rizki kepada seluruh makhluk-Nya. Isteri dan anak dikaruniai rizki oleh Allah dengan
perantaraan suami dan orang tua. Karena itu, seorang isteri harus bersyukur dengan nafkah yang diberikan suami.
Sekecil apa pun wajib disyukuri dan harus merasa cukup (qana‟ah) dengan apa yang telah diberikan.
Sedangkan bagi orang yang tidak bersyukur, maka Allah „Azza wa Jalla justru akan membuat dirinya seakan-akan
serba kekurangan dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dia dapatkan.
Allah „Azza wa Jalla akan mencukupkan rizki seseorang, manakala ia bersyukur dengan apa yang ia peroleh dan ia
usahakan. Dia akan merasa puas (qana‟ah) dengan apa yang dikaruniakan kepadanya.
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan jaga dirinya dan barangsiapa yang
merasa cukup, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada dirinya.” [16]
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam memuji orang-orang yang qana‟ah (merasa puas) dengan apa yang Allah
Ta‟ala karuniakan, beliau bersabda:
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, rizkinya cukup, dan Allah memberikan kepuasan terhadap apa yang
telah dikaruniakannya.” [17]
Bahaya Dan Dampak Negatif Akibat Wanita Bekerja Di Luar Rumah:
1). Bahaya bagi wanita itu, yaitu akan hilangnya sifat dan karakteristik kewanitaannya, menjadi asing dengan tugas
rumah tangga dan kurangnya perhatian terhadap anaknya.
2). Bahaya bagi diri suami, yaitu suami akan kehilangan curahan kelembutan, keramahan, dan kegembiraan. Justru
yang didapat adalah keributan dan keluhan-keluhan seputar kerja, persaingan karir antar teman, baik laki-laki
maupun wanita. Bahkan, tidak jarang suami kehilangan kepemimpinannya lantaran gaji isteri lebih besar. Wallaahul
Musta‟aan.
3). Bahaya (dampak) bagi anak, yaitu hilangnya kelembutan, kasih sayang dan kedekatan dari seorang ibu. Semua
itu tidak dapat digantikan oleh seorang pembantu atau pun seorang guru. Justru yang didapati anak adalah seorang
ibu yang pulang dalam keadaan letih dan tidak sempat lagi memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
5. 4). Bahaya (dampak negatif) bagi kaum laki-laki secara umum, yaitu apabila semua wanita keluar dari rumahnya
untuk bekerja, maka secara otomatis mereka telah menghilangkan kesempatan bekerja bagi laki-laki yang telah siap
untuk bekerja.
5). Bahaya (dampak negatif) bagi pekerjaan tersebut, yaitu bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa wanita
lebih banyak memiliki halangan dan sering absen karena banyaknya sisi-sisi alami (fitrah)nya yang berpengaruh
terhadap efisiensi kerja, seperti haidh, melahirkan, nifas, dan lainnya.
6). Bahaya (dampak negatif) bagi perkembangan moral, yaitu hilangnya kemuliaan akhlak, kebaikan moral serta
hilangnya rasa malu dari seorang wanita. Juga hilangnya kemuliaan akhlak dan semangat kerja dari kaum suami.
Anak-anak pun menjadi jauh dari pendidikan yang benar semenjak kecil.
7). Bahaya (dampak negatif) bagi masyarakat, yaitu bahwa fenomena ini telah mengeluarkan manusia dari fitrahnya
dan telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan hidup dan
timbulnya kekacauan serta keributan. [18]
[4]. Isteri Harus Berhias Dan Mempercantik Diri Untuk Suami, Selalu Tersenyum Dan Tidak Bermuka Masam Di
Hadapan Suaminya, Juga Jangan Sampai Ia Memperlihatkan Keadaan Yang Tidak Disukai Oleh Suaminya.
Seorang isteri tidak boleh meremehkan kebersihan dirinya, sebab kebersihan merupakan bagian dari iman. Dia
harus selalu mengikuti sunnah, seperti membersihkan dirinya, mandi, memakai minyak wangi dan merawat dirinya
agar ia selalu berpenampilan bersih dan harum di hadapan suaminya, hal ini menyebabkan terus berseminya cinta
kasih di antara keduanya dan kehidupan ini akan terasa nikmat.
Berhias untuk suami adalah dianjurkan selagi dalam batas-batas yang tidak dilarang oleh syari‟at, seperti mencukur
alis, menyambung rambut, mentato tubuhnya dan lainnya.
Seorang isteri ideal selalu nampak ceria, lemah lembut dan menyenangkan suami. Jika suami pulang ke rumah
setelah seharian bekerja, maka ia mendapatkan sesuatu yang dapat menenangkan dan menghibur hatinya. Jika
suami mendapati isteri yang bersolek dan ceria menyambut kedatangannya, maka ia telah mendapatkan ketenangan
yang hakiki dari isterinya.
Allah Ta‟ala berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)- Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir.” [Ar-Ruum : 21]
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Artinya : Sebaik-baik isteri adalah yang menyenangkan jika engkau melihatnya, taat jika engkau menyuruhnya, serta
menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.” [19]
[5]. Seorang Isteri Tidak Boleh Mengungkit-ungkit Apa Yang Pernah Ia Berikan Dari Hartanya Kepada Suaminya
Maupun Keluarganya.
Karena menyebut-nyebut pemberian dapat membatalkan pahala. Allah Ta‟ala berfirman:
“Artinya ; Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan penerima).” [Al-Baqarah : 264]
[6]. Seorang Isteri Tidak Boleh Menyakiti Suami, Baik Dengan Ucapan Maupun Perbuatan.
Seorang isteri tidak boleh memanggil suami dengan kejelekan atau mencaci-makinya karena yang demikian itu dapat
menyakiti hati suami.
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda,
6. “Artinya : Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia, melainkan isterinya dari para bidadari Surga akan
berkata, „Janganlah engkau menyakitinya. Celakalah dirimu! Karena ia hanya sejenak berkumpul denganmu yang
kemudian meninggalkan- mu untuk kembali kepada kami.” [20]
[7]. Isteri Harus Dapat Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Dan Kerabat Suami.
Karena seorang isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suaminya jika ia memperlakukan orang tua dan
kerabatnya dengan kejelekan. Setiap isteri harus memperhatikan kedua orang tua suami dan berbuat baik kepada
mereka.
[8]. Isteri Harus Pandai Menjaga Rahasia Suami Dan Rahasia Rumah Tangga. Jangan Sekali-kali Ia
Menyebarluaskannya.
Isteri yang shalihah tidak boleh mengabarkan/ menceritakan suaminya kepada orang lain, tidak membocorkan
rahasianya dan tidak membuka apa yang disembunyikan dan tidak membuka aib suaminya. Dan di antara rahasia
yang paling dalam adalah perkara ranjang suami-isteri. Sungguh, Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam telah
melarang hal itu.
[9]. Isteri Harus Bersungguh-Sungguh Dalam Menjaga Keberlangsungan Rumah Tangga Bersama Suami-nya.
Janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari‟atkan.
Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Artinya ; Siapa pun isteri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar, maka ia tidak akan mencium
aroma Surga.” [21]
Juga sabda beliau shallallaahu „alaihi wa sallam,
“ Para isteri yang meminta cerai adalah orang-orang munafik.” [22]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159), Ibnu Hibban (no. 1291 - al-Mawaarid) dan al-
Baihaqi (VII/291), dari Abu Hurairah radhiyallaahu „anhu. Hadits ini diriwayatkan juga dari beberapa Shahabat. Lihat
Irwaa-ul Ghaliil (no. 1998).
[2] Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1296 al-Mawaarid) dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu „anhu. Lihat Shahiih Mawaariduzh Zham‟aan (no. 1081).
[3] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu‟jamul Kabir (XIX/140, no. 307) dan Mu‟jamul Ausath
(VI/301, no. 5644), juga an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 257). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam
Silsilah ash-Shahiihah (no. 287).
[4] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/233, no. 17293), an-Nasa-i dalam „Isyratin Nisaa' (no. 77-
83), Ahmad (IV/341), al-Hakim (II/189), al-Baihaqi (VII/291), dari bibinya Husain bin Mihshan radhiyallaahu „anhuma.
Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[5] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3237, 5193, 5194), Muslim (no. 1436), Ahmad (II/255, 348, 386,
439, 468, 480, 519, 538), Abu Dawud (no. 2141) an-Nasa-i dalam „Isyratun Nisaa' (no. 84), ad-Darimi (II/149-150)
dan al-Baihaqi (VII/292), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu „anhu.
[6] Fat-hul Baari (IX/294-295) .
[7] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1853), Ahmad (IV/381), Ibnu Hibban (no. 1290- al-Mawaarid)
dari „Abdullah bin Abi Aufa radhiyallaahu „anhu. Lihat Aadabuz Zifaaf (hal. 284).
7. [8] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5195), Muslim (no. 1026) dan Abu Dawud (no. 2458) dari
Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu „anhu, dan lafazh ini milik Muslim.
[9] Syarah Shahiih Muslim (VII/115).
[10] Fat-hul Baari (IX/296).
[11] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 29, 1052, 5197) dan Muslim (no. 907 (17)), Abu „Awanah
(II/379-380) , Malik (I/166-167, no. 2), an-Nasa-i (III/146, 147, 148) dan al-Baihaqi (VII/294), dari Shahabat Ibnu
„Abbas radhiyallaahu „anhuma.
[12] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam Isyratin Nisaa' (no. 249), al-Baihaqi (VII/294), al-Hakim (II/190)
dan ia berkata, “Hadits ini sanadnya shahih, namun al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Dan disepakati
oleh adz-Dzahabi, dari Shahabat „Abdullah bin „Amr radhiyallaahu „anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 289).
[13] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/428, IV/604) dari Shahabat „Abdurrahman bin Syabl radhiyallaahu
„anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 3058)
[14] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1173), dari Shahabat „Abdullah bin Mas‟ud radhiyallaahu „anhu.
Lihat Shahiihul Jaami‟ (no. 6690).
[15] Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXXII/281).
[16] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1427) dan Muslim (no. 1034). Lihat Fat-hul Baari (III/294), dari
Shahabat Hakim bin Hizam radhiyallaahu „anhu
[17] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1054), dari Shahabat „Abdullah bin „Amr bin al-„Ash radhiyallaahu
„anhuma.
[18] Shahiih Washaaya Rasuul lin Nisaa' (hal. 469-470).
[19] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari „Abdullah bin Salam. Lihat Shahiihul Jaami‟ (no. 3299).
[20] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1174), dari Shahabat Mu‟adz bin Jabal radhiyallaahu „anhu
[21] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2226) dan at-Tirmidzi (no. 1187, 2055) dari Shahabat Tsauban
radhiyallaahu „anhu. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035).
[22] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1186) dari Shahabat Tsauban radhiyallaahu „anhu. Lihat
Silsilah ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahiihul Jaami‟ (no. 6681). Point 4-9 dinukil dari kitab al-Wajiiz fii Fiqhis
Sunnah wal Kitaabil „Aziiz (hal. 305-309) secara ringkas.