Dokumen tersebut membahas tentang sholat sunnah mutlaq dan hajat, yang merupakan sholat sunnah yang dapat dilakukan kapan saja tanpa alasan khusus, serta hadis yang menjelaskan bahwa orang yang memiliki hajat dianjurkan untuk berwudhu, sholat dua rakaat, memuji Allah, bershalawat kepada Nabi, dan memohon hajatnya kepada Allah.
2. SHOLAT SUNNAH MUTLAQ
doddy al jambary 0816 884 844 jambary@me.com
slideshare.net/aljambary www.cordova.co.id
3. PENJELASAN
Sholat sunnah muthlaq yaitu sholat sunnah yang dapat
dilakukan seorang muslim pada malam dan siang hari
dengan tanpa sebab misalnya seorang yang menunggu
iqamat sholat setelah ia sholat rawatib sebelumnya,
kemudian ia lanjutkan beberapa rakaat lagi hingga iqamat
dikumandangkan, nah beberapa rakaat tambahan inilah
yang dinamakan sholat sunnah mutlaq.
4. WAKTU SHOLAT MUTLAQ
Sholat sunnat mutlaq ini boleh dilakukan pada waktu kapan saja baik
malam atau siang, kecuali pada lima waktu terlarang untuk sholat, yaitu:
1. Ketika matahari mulai terbit hingga dia agak tinggi.
2. Ketika matahari tepat berada di tengah langit hingga dia tergelincir.
3. Ketika matahari mulai tenggelam hingga dia tenggelam sempurna.
4. Setelah shalat subuh hingga matahari meninggi.
5. Setelah shalat ashar hingga matahari terbenam.
5. WAKTU SHOLAT MUTLAQ
Sholat sunnah mutlaq dapat dilakukan dua rakaat dua
rakaat seperti dalam hadits "sholat malam dan siang
(dilakukan) dua rakaat dua rakaat" (HR. Tirmidzi, Abu
Dawud, Nasa'I dan Ibnu Majah, disahihkan Albani).
6. PERBANYAK …
Rasul bersabda kepada Abu Dzar: "Sholat adalah sebaik-baik
perkara, lakukan dengan banyak atau sedikit" (HR. Ibnu Majah dan
Thabrani, dihasankan oleh Albani). Dari Tsauban, Rasulullah berkata:
"Perbanyaklah sujud (sholat), sesungguhnya tidaklah engkau sujud
satu kali kepada Allah, kecuali Allah akan angkat untukmu satu
derajat". (HR.Muslim)
8. Hadits pertama:
ْنَعْدبَعَْاّللْنبيبَأىَفوَأَْلاَقَْلاَقُْلوُس َرَْاّللىَلَصُْ َاّللْهيَلَعَْمَلَس َوْنَمَْتناَكُْهَلىَلإَْاّللْةَجاَحْوَأىَلإْدَحَأْنمينَبَْمَدآْأَض َوَتَيلَفَْفْنسحُيلَْءوُضُوال
َْمُثْلَصُيلْنيَتَعك َرَْمُثْنثُيلىَلَعَْاّللْلَصُيل َوىَلَعْيبَنالىَلَصُْ َاّللَْعْهيَلَْمَلَس َوَْمُثْلُقَيلَْلَْهَلإَْلإُْ َاّللُْميلَحالُْميرَكالَْحبُسَْانَْاّللْب َرْشرَعالْيمظَعال
ُْدمَحالَّْللْب َرَْينمَلاَعالَْكُلَأسَأْاتَبوجُمَْكتَمح َرَْمائَزَع َوَْكت َرفغَمَْةَميَنغال َوْنمْلُكْربَْةَم ََلَسال َوْنمْلُكْمثإَْلْعَدَتيلاًبنَذَْلإَْغُْهَترَفَْل َواًّمَهَْلإ
ُْهَتجَرَفَْل َوًْةَجاَحَْيهَْكَلاًضرَْلإاَهَتيَضَقاَيَْمَحرَأَْينماحَالر
َْلاَقوُبَأىَسيعاَذَهْيثدَحْيبَرغيف َوْهَادنسإْالَقَمُْدائَفُْنبْدبَعْنَمحَالرُْفَعَضُيْفيْيثدَحالْدائَف َوَْوُهوُبَأْاءَقر َوال
Artinya: “Abdullah bin Abu Awfa radhiyallahu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai hajat kepada Allah atau kepada salah seorang dari anak
manusia, maka hendaknya ia berwudhu dan memperbagus wudhu kemudian ia shalat dua rakaat
kemudian hendaklah ia memuji Allah dan hendaknya ia bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam kemudian ia mengucapkan:
َْلَْهَلإَْلإُْ َاّللُْميلَحالُْميرَكالَْانَحبُسَْاّللْب َرْشرَعالْيمظَعالُْدمَحالَّْللْب َرَْينمَلاَعالَْكُلَأسَأْاتَبوجُمَْكتَمح َرَْمائَزَع َوَْكت َرفغَمْال َوَْةَميَنغْنمْلُكْرب
َْةَم ََلَسال َوْنمْلُكْمثإَْلْعَدَتيلاًبنَذَْلإُْهَترَفَغَْل َواًّمَهَْلإُْهَتجَرَفَْل َوَْجاَحًْةَْيهَْكَلاًضرَْلإاَهَتيَضَقاَيَْمَحرَأَْينماحَالر
9. DHOIF JIDDAN (FAID BIN ABDURAHMAN)
Abu Isa berkata: “Hadits ini gharib dan di dalam sanadnya terdapat perbincangan, Faid bin Abdurrahman dilemahkan di
dalam hadits dan Faid ia adalah Abu Al Warqa’. HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, Al Hakim.
Derajat Hadits: Lemah Sekali, karena sumber sanadnya ada pada Faid bin Abdur rahman dan ia adalah seorang perawi
yang dituduh berdusta dalam meriwayatkan hadits. Abu Hatim Ar Razi berkata:
" وأحاديثهعنابنأبيأوفىبواطيللتكادترىلها؛ًَلأصكأنههبشُيلحديثابنأبيأوفى،ولوأنًَْلرجحلفأنعامةحديثهْبذَكلميحنث ".
“Dan hadits-haditsnya meriwayatkan dari Ibnu Abi Awfa adalah hadits-hadits yang batil, kamu tidak akan mendapatkan
asal (riwayatnya), seakan-akan ia tidak menyerupai hadits Ibnu Abi Awfa, jikalau seseorang bersumpah bahwa seluruh
periwayatannya adalah dusta, maka ia tidak berdusta.” Lihat Kitab Al Jarh we At Ta’dil, 7/84. Al Hakim berkata:
" روىعنابنأبيأوفىأحاديثموضوعة ".
“Ia (Faid) telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Awfa hadits-hadits Palsu.” Lihat Kitab Tahdzib At Tahdzib, 8/256 dan Mizan Al
I’tidal, 3/339.
10. HADITS YANG LEMAH SEKALI
Disebutkan di dalam Majallah Al Buhuts Al Islamiyyah:
قالأحمد : متروكالحديث . وقالابنمعين : ضعيفليسبثقة،وليسبشيء . وقالأبوحاتم : ذاهبالحديث ... وأحاديثهعنابنأبيأوفىبواطيللتكاد
ترىلهاأصَل؛كأنهليشبهحديثابنأبيأوفى،ولوأنرجَلحلفأنعامةحديثهكذبلميحنث . وقالالبخاري : منكرالحديث . وقالالنسائي : ليس
.بثقة ومرةقال : متروكالحديث،وقالالحاكم : روىعنابنأبيأوفىأحاديثموضوعة . وقالابنحبان : ليجوزالحتجاجبه . وقالالذهبي : .تركوه
وقالابنحجر : متروكاتهموه .
Ahmad berkata: “Ia (Faid) seorang yang matrukul hadits”, Ibnu Ma’in berkata: “Ia lemah dan tidak tsiqah,
tidak ada apa-apanya.” Abu Hatim: Dzahibul Hadits (haditsnya lenyap), Al Bukhari berkata: “Ia adalah
mungkarul hadits (riwayatnya lemah dan menyelisihi yang kuat), An Nasai: “Tidak tsiqah”, terkadang beliau
berkata: “Matrukul hadits”, dan Al Hakim berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu Abi Awfa hadits-hadits yang
palsu”, dan Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya”. Adz Dzahabi berkata: “Mereka (para
perawi hadits) meninggalkan (periwayatan)nya. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ia (seorang perwai yang)
matruk dan mereka (para ahli hadits) menuduhnya memalsukan hadits.” Lihat Majalah Al Buhuts Al
Islamiyyah, (84/99 Asy Syamela).
11. Hadits Kedua:
ْنَعْنابْودُعسَمْنَعْيبَّنالىَّلَصُْ َّاّللْهيَلَعَْمَّلَسَو،َْلاَق : " اَتَناثَْةَرشَعْةَعكَرَّْنيهلَصُتْنمْليَلْوَأْارَهَن،ُْدَّهَشَتَت َوَْنيَبُْلكْنيَتَعكَر،َْذإَفاُْتدَّهَشَتيفْرآخكت ََلَص،ْنثَأَفىَلَعَّْاّللَّْزَعَّْلَجَو،ْلَص َوَْعىَل
ْيبَّنالىَّلَصُْ َّاّللْهيَلَعَْمَّلَسَو،ْأَراق َوَْتنَأ َوْداجَسَْةَحاتَفْابَتكالَْعبَسْاتَّرَم،َْةَيآ َوْيسُركالَْعبَسْاتَّرَم،ُْقَوْل : َْلَْهَلإَّْإلُْ َّاّللُْهَدحَوَْلَْيكرَشُْهَل،ُْهَلُْكلُمالُْهَل َوُْدمَحال،َْوُهَوىَلَعُْكْلْءيَشْيردَق،َْرشَع
ْاتَّرَم،َّْمُثْلُق : َّْمُهَّلاليإنكُلَأسَأْداقَعَمبْزعالْنمكشرَع،ىَهَتنُم َوْةَمحَّرالْنمكابَتك،كماس َوْمَظعَاْل،كاتَمَلك َوْةَّماَّتال،ُْثَّْمْلَسكَتَجاَح،َّْمُثْعَفاركَسأَر،َّْمُثْملَساينمَيْالَمشَو،َْلَواَهوُملَعُتَْءاَهَفُّسال،
ْمُهَّنإَفَْونُعدَياَهب،ُْابَجَتسُيَف "
Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua
belas rekaat kamu mengerjakannya siang dan malam hari dan duduk bersyahadat setiap dua rakaat, maka jika kamu duduk
bertasyahhud dalam akhir shalatmu, pujilah Azza wa Jalla dan bershalawatlah atas nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
bacalah ketika kamu sujud surat Al Fatihah sebanyak tujuh kali, ayat kursi sebanyak tujuh kali dan ucapkanlah:
َْلَْهَلإَّْلإُْ َّاّللَْلَْيكرَشُْهَلُْهَلُْكلُمالُْهَل َوُْدمَحالَْوُه َوىَلَعُْلكْءىَشْيردَق
Sebanyak sepuluh kali, kemudian ucapkanlah:
اللهمإنيأسألكبمعاقدالعزمنعرشكومنتهىالرحمةمنكتابكواسمكاْلعظموجدكاْلعلىوكلماتكالتامة
Kemudian mintalah kebutuhannmu lalu angkatlah kepalamu kemudian uacapakan salam ke kanan dan ke kiri dan tidaklah kamu
ajarkan kepada orang-orang bodoh, karena sesungguhnya mereka berdoa dengannya maka akan dikabulkan.”
Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Al Jauzi di dalam kitab Al Maudhu’at, (2/142 Asy Syamela) , Al Baihaqi di dalam kitab Ad Da’awat Al
Kabir, 2/157 –“392”, dari jalan ‘Umar bin Harun Al Balkhi ia meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia meriwayatkan dari Daud bin Abu
Ashim, ia meriwayatkan dari Abdulah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
12. DALIL YANG KUAT
Hukum mengerjakan shalat hajat adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut,
ْنَعَْانَمثُعْنبْفَينُحَْيض َرُْللاُْهنَعَْنَأًَْلُج َرَْريرَضْرَصَبالَىتَأَْيبَنالىَلَصُْللاْهيَلَعَْمَلَس َوَْلاَقَف : ُْعدُاَْللاْنَأْينيافَعُي،َْلاَق : ْنإَْتئشُْتوَعَدْنإ َوَْتئشَْترَبَصَْوُهَفْرَيخَْكَل . َْلاَق: ُْهُعادَف،َْلاَق : ُْه َرَمَأَفْنَأَْأَض ََوتَي
َْنسحُيَفُْهَئوُضُوُْهوُعدَي َواَذَهبْاءَعُّدال : َْمُهلَلَاْينإَْكُلَأسَأُْهَج ََوتَأ َوَْكيَلإَْكيَبنبْيَبنْةَمحَالر،ْينإُْهَج ََوتَأَْكبىَلإْيب َرْيفَْحْيتَجاْهذَهىَضَقتلْيلَْمُهَللَاُْهعَفَشَفْيف . َْلاَق: َْلَعَفَفُْلُجَالرَْأ َرَبَف .
Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,
“Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau menginginkan demikian, saya
akan doakan, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu
dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada Rabbku agar terpenuhi
hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.” Dia berkata, “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi) lantas dia menjadi sembuh.”
Takhrij hadits:
Shahih. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya, 4:138, Tirmidzi:3578, Ibnu Majah:1384, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya:1219, Ath-
Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3:2, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak:1221.
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini
disetujui oleh Adz-Dzahabi. Syekh Al-Albani juga menilai bahwa hadits ini shahih, dalam buku beliau At-Tawassul, hlm. 75–76.
13. SHALAT HAJAT 2 ROKAAT
1. Disyariatkannya shalat hajat.
Imam Ibnu Majah membuat bab hadits ini dengan perkataannya, “Bab penjelasan tentang
shalat hajat.” Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hlm. 157, dan Imam Al-
Haitsami dalam Majma’ Zawaid, 2:565. Ini juga merupakan pendapat Syekh Salim Al-Hilali
dan Syekh Masyhur Hasan Salman ketika (beliau berdua) ditanya oleh Al-Akh Abu Ubaidah.
2. Shalat hajat sebanyak dua rakaat.
Tidak boleh melakukan shalat hajat untuk kepentingan yang tidak syar’i, seperti: untuk
belajar tenaga dalam, ilmu hitam, dan sejenisnya.
Dikutip dari: Majalah Al-Furqon, Edisi 11, Tahun II, 1424 H.
15. DALIL SHALAT TAUBAT
Abu Bakr Ash Shiddiq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اَمْنمْدبَعُْبنذُياًبنَذُْنسحُيَفَْورُهُّطالَْمُثُْموُقَيىلَصُيَفْنيَتَعك َرَْمُثَْتسَيُْرفغَْ َاّللَْلإَْرَفَغُْ َاّللُْهَل ». َْمُثَْأ َرَقْهذَهَْةَياآل ( َْينذَلا َواَذإواُلَعَفًْةَشاحَفْوَأ
واُمَلَظْمُهَسُفنَأواُرَكَذَْ َاّلل ) ىَلإْرآخْةَياآل
“Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk
melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan
mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[QS 3:135]”
(HR. Tirmidzi no. 406, Abu Daud no. 1521, Ibnu Majah no. 1395. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)[4]. Meskipun sebagian ulama mendhoifkan hadits ini, namun kandungan
ayat (Ali Imron ayat 135) sudah mendukung disyariatkannya shalat taubat.
16. WAKTUNYA ?
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
َْكلَذَك َوُْة ََلَصْةَبوَتالاَذإَفََْبنذَأُْةَبوَتالَفْةَباج َوىَلَعْروَفالَْوُه َوُْوبدنَمىَلإْنَأَْيلَصُيَْعكَرْنيَتَْمُثَْوبُتَياَمَكيفْيثدَحيبَأْركَبْيقدالص
“Demikian pula shalat taubat (termasuk shalat yang memiliki sebab dan harus segera dilakukan, sehingga boleh
dilakukan meskipun waktu terlarang untuk shalat[6]). Jika seseorang berbuat dosa, maka taubatnya itu wajib, yaitu
wajib segera dilakukan. Dan disunnahkan baginya untuk melaksanakan shalat taubat sebanyak dua raka’at. Lalu ia
bertaubat sebagaimana keterangan dalam hadits Abu Bakr Ash Shiddiq.”[7]
Setelah seseorang mengetahui shalat taubat, ia pun harus memenuhi syarat-syarat taubat. Apa saja syarat-
syaratnya? Secara ringkas dikatakan oleh para ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Katsir,
“Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan
datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/
mengembalikannya.”[8]
17. 1. Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.
2. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana
dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin
mengeringkan daun yang basah.”[9] ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan
menyesal.[10]
3. Tidak terus menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera
tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan
dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
4. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa akan datang karena jika seseorang masih bertekad
untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian
ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.[11]
5. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari
arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.[12]
KAIFIYAH SHALAT TAUBAT
19. Khotimah
Do your best, Be the best,
Allah will take care of the rest
Doddy Al Jambary 0816 884 844
jambary67@gmail.com
slideshare.net/Aljambary
jambary.com
َْكَناَحبُسَْمُهَلالَْكدمَحب َو
ُْدَهشَأْنَأَْلَْهلإَْلإَْتنَأ
َْكُرفغَتسَأَْأ َوُْبوُتَْكيَلإ
Sholat sunnah mutlaq ini dianjurkan berdasarkan hadits keutamaan sholat sunnah secara umumnya.
Sujud di sini yaitu sujud dalam sholat, yang berarti memperbanyak sholat sunnah, karena dengan memperbanyak sholat secara otomatis akan dapat memperbanyak sujud.
Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Maudhu’at (hadits-hadits palsu), dan As Sakhawi mengomentari Ibnul Jauzi:
"وقد توسَّعَ ابنُ الجوزي فذكر هذا الحديث في الموضوعات وفي ذلك نظر... وفي الجملة هو حديثٌ ضعيفٌ جداً".
“Ibnul Jauzi terlalu luas, menyebutkan hadits ini di dalam kitab Al Maudhu’at dan di dalam hal ini terdapat koreksian…dan pada umumnya ia adalah hadits yang lemah sekali.” Lihat kitab Al Qaul Al Badi’, hal. 431.
Hukum mengerjakan shalat hajat adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut,
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اُدْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيْنِيْ، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوْئَهُ وَيَدْعُوْهُ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اَلَّلهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتَقْضَى لِيْ اَللَّهُمَّ فَشَفَعْهُ فِيْ. قَالَ: فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ.
Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau menginginkan demikian, saya akan doakan, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada Rabbku agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.” Dia berkata, “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi) lantas dia menjadi sembuh.”
Takhrij hadits:
Shahih. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya, 4:138, Tirmidzi:3578, Ibnu Majah:1384, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya:1219, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3:2, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak:1221.
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Syekh Al-Albani juga menilai bahwa hadits ini shahih, dalam buku beliau At-Tawassul, hlm. 75–76.
Fikih Hadits:
1. Disyariatkannya shalat hajat.
Imam Ibnu Majah membuat bab hadits ini dengan perkataannya, “Bab penjelasan tentang shalat hajat.” Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hlm. 157, dan Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid, 2:565. Ini juga merupakan pendapat Syekh Salim Al-Hilali dan Syekh Masyhur Hasan Salman ketika (beliau berdua) ditanya oleh Al-Akh Abu Ubaidah.
2. Shalat hajat sebanyak dua rakaat.
Tidak boleh melakukan shalat hajat untuk kepentingan yang tidak syar’i, seperti: untuk belajar tenaga dalam, ilmu hitam, dan sejenisnya.
Dikutip dari: Majalah Al-Furqon, Edisi 11, Tahun II, 1424 H.
Fikih Hadits:
1. Disyariatkannya shalat hajat.
Imam Ibnu Majah membuat bab hadits ini dengan perkataannya, “Bab penjelasan tentang shalat hajat.” Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hlm. 157, dan Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid, 2:565. Ini juga merupakan pendapat Syekh Salim Al-Hilali dan Syekh Masyhur Hasan Salman ketika (beliau berdua) ditanya oleh Al-Akh Abu Ubaidah.
2. Shalat hajat sebanyak dua rakaat.
Tidak boleh melakukan shalat hajat untuk kepentingan yang tidak syar’i, seperti: untuk belajar tenaga dalam, ilmu hitam, dan sejenisnya.
Dikutip dari: Majalah Al-Furqon, Edisi 11, Tahun II, 1424 H.
Taubat, Tahajud - Qiyamul Lail, Witir, dll.
[3] QS. Ali Imron: 135.
[4] Hadits ini didho’ifkan oleh sebagian ulama. Namun sebagian ulama menshahihkannya.
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/ 431
[6] Ini maksud perkataan Ibnu Taimiyah dalam penjelasan sebelumnya.
[7] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 23/215, Darul Wafa’
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14/61, Muassasah Qurthubah.
[9] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 203, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.
[10] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 206.
[11] Idem.
[12] Kami sarikan syarat taubat ini dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Sholihin.