2. Latar Belakang
Media massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari
hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi
yang netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan
melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada.
Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang
ada, yang menguntungkan mereka, namun sejatinya justru
merugikan banyak pihak lainnya.
Dalam arti ini, media massa menjadi aktor sekaligus alat untuk
melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu
peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi
sudut pandang lainnya.
3. Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi
berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup
mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental menjadi
sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi
identitas sosial suatu kelompok.
Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari
persepsi yang dilumuri hegemoni dan ideologi.
4. Hegemoni berkaitan dengan kemampuan pengetahuan dalam
rangka melakukan pendudukan secara halus, di mana pihak
yang ditundukkan menerima hal itu seolah-olah sebagai suatu
yang wajar. Terdapat banyak fenomena hegemoni dalam
keseharian sebagai akibat proses komunikasi, hegemoni
sangat berkaitan dengan aspek ideologi dan kesadaran
hegemoni menandakan tampilnya suatu ideologi dominan
tertentu yang mampu mempengaruhi kesadaran orang
banyak. Media di antaranya melakukan peran dalam proses
membangun hegemoni ini. Ideologi, kesadaran dan hegemon
membentuk pola hubungan median dengan massa.
5. Menurut James Lull (1998:2) “manipulasi yang dilakukan tanpa
henti terhadap informasi dan citra publik mengkonstruksikan
suatu ideologi dominan yang kuat yang membantu menopang
kepentingan material dan kultural para penciptanya. Para
pembuat ideologi yang dominan menjadi suatu ‘elite informasi’.
Kekuasaan dan dominasi mereka bergerak dari kemampuan
mereka untuk mengartikulasikan kepada masyarakat sistem ide
yang lebih mereka sukai. Ideologi mempunyai kekuatan apabila
dapat dilambangkan dan dikomunikasikan. Dalam hal ini ideologi
kapitalisme ditransmisikan dengan cara ”tatabahasa produksi”
(grammar of production) yang melaluinya media
menguniversalkan suatu gaya hidup.
6. Hegemoni Antonio
Gramsci
Menurut teori Gramsci mengenai Hegemoni, media massa adalah
alat yang digunakan elit yang berkuasa untuk melestarikan,
kekuasaan, kekayaan dan status mereka (dengan
mempopulerkan) falsafah, kebudayaan dan moralitas mereka
sendiri. Para pemilik dan pengelola industri media dapat
memproduksi dan mereproduksi isi, dan nada dari ide-ide yang
menguntungkan mereka dengan jauh lebih mudah ketimbang
kelompok sosial lain (Ibrahim , 1997). Hegemoni sebenarnya sama
dengan dominasi yang berarti penaklukan. Bedanya, dominasi
merupakan penaklukan secara keras dengan menggunakan
kekuatan koersi (memaksa) seperti pengadilan, kepolisian, dan
militer. Sementara hegemoni adalah penaklukan secara halus yang
menghasilkan keputusan kelas (yang sebenarnya ditindas) lewat
kekuatan ideologis seperti pendidikan dan media massa.
7. Hegemoni merupakan terminology penting yang digunakan
Gramsci (1971), yang diartikan sebagai cara yang kuat atau
kehadiran di mana-mana (omnipresence) sesuatu secara
penuh. Lebih jauh teori ini menekankan bahwa dalam
lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan
penerimaan publik. Karena pengalaman sosial kelompok
subordinat (bisa kelas,gender, ras, umur dan sebagainya)
berbeda dengan ideologi dan kebenarannya tersebut agar
diterima tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci dalam
hegemoni adalah nalar awam (common sense). Jika idea atau
gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai
common sense (jadi tidak didasarkan pada kelas sosial),
kemudian ideologi itu diterima, maka hegemoni telah terjadi.
8. Hegemoni bekerja melalui konsensus daripada upaya
penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Salah satu
kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara
berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dinggap
benar, sementara wacana lain dianggap salah. Ada satu nilai
atau consensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika
ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar.
Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat
bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu
disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga
menjadi konsensus bersama.
9. Menurut Gramsci, dalam hegemoni, media massa adalah
alat yang digunakan elit berkuasa untuk melestarikan
kekuasaan, kekayaan dan status mereka dengan
mempopulerkan falsafah, kebudayaan dan moralitas mereka
sendiri. Ideologi yang di-mediamassa-kan dibenarkan dan
diperkuat oleh sebuah sistem keagenan yang saling terkait
dan efektif dalam mendistribusikan informasi dan praktek-
praktek sosial yang sudah dianggap semestinya, yang
merembesi segala aspek realitas sosial dan budaya. Menurut
seorang ahli sosial kebangsaan Inggris, Philip Elliot (dalam
Lull, 1998:34), dampak media massa yang paling dahsyat
adalah cara mereka memengaruhi audiens secara pelan dan
halus (subtly) untuk mempersepsi peran sosial dan aktivitas
pribadi yang rutin.
10. Proses hegemoni sebenarnya merupakan proses
“pembelajaran”. Gramsci sendiri mengatakan “Every
relationship of hegemony is essentially an educational
relationship”. Agen-agen yang terlibat dalam hubungan
edukatif ini adalah institusi-institusi yang turut membentuk
masyarakat sipil, atau institusi-institusi social ideologis yang
ikut mengkonstruksi basis cultural kekuasaan, seperti hukum,
pendidikan, agama. Media massa, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, imstitusi-institusi seperti ini tidaklah netral, tetapi
justru mendukung dan memperkuat hegemoni yang ada,
termasuk di dalamnya dunia pendidikan.
11. Membangun Opini Cerdas
Pertama, kita perlu melakukan kritik ideologi terus menerus
terhadap berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita
perlu yakin, bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran
palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan yang ada.
Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus terhadap
berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.
Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan
disini. Informasi adalah salah satu kebutuhan utama manusia
sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan
media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut
lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan
satu pihak yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan
persepsi di telinga pendengar atau pembacanya.
12. Di sisi lain, kita juga perlu mencari berita dari sumber-sumber
lain yang independen. Kantor media besar biasanya dimiliki
oleh pengusaha bisnis tertentu yang ingin mempertahankan
kepentingan mereka. Kita masih ingat perang opini antara
Metro TV dan TV One, ketika pemilihan presiden 2014 yang
lalu. Pola yang sama juga dapat dilihat di kantor-kantor media
internasional. Dalam beberapa hal, blog-blog dari penulis
independen bisa memberikan informasi yang lebih bermutu
kepada kita.
Sebagai warga dari masyarakat demokratis, kita perlu
mempunyai opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh
begitu saja pada persepsi dan opini yang disetir oleh media
massa yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri
dari prasangka yang bercokol di otak kita, karena serbuan
berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah
kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti
Indonesia.
13. Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat
semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar
disini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara
sempit sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di
dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang
cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang memiliki persepsi
dan opini yang cerdas. Tidak ada jalan lain.