Revisi Makalah SPI (Lembaga Pendidikan Islam Al-Ribath)
1. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (RIBATH)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Suyadi, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Ali Murfi 11470082
Jurusan Kependidikan Islam
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Semester Genap Tahun Ajaran 2012/2013
Revisi
2. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai
keberhasilan proses pendidikan, karena lembaga berfungsi sebagai mediator
dalam mengatur jalannya proses pendidikan. Dewasa ini tampaknya tidak bisa
disebut pendidikan apabila tidak ada lembaganya.
Lembaga pendidikan dewasa ini juga sangat mutlak keberadaannya bagi
kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan dikaitkan dengan
konsep Islam. Lembaga pendidikan Islam merupakan suatu wadah bagi
pendidikan Islam untuk bisa melaksanakan tugasnya demi tercapai cita-cita umat
Islam.
Keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah merupakan lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang mutlak diperlukan dalam sebuah kota atau
Negara. Keberadaanya diharapkan sebagai wadah pembangun generasi-generasi
yang dapat menciptakan sebuah peradaban yang unggul dalam semua aspek
kehidupan. Akan tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa ada sebuah
lembaga pendidikan Islam pada zaman dahulu masa kejayaan pendidikan Islam,
yang dibangun untuk menghasilkan sosok guru spiritual yang kelak menjadi
pembawa perubahan dan bisa kita rasakan manfaaatnya sekarang ini. Lembaga
pendidikan Islam itu bernama Ribath, yaitu lembaga pendidikan yang secara
khusus dibangun untuk mendidik para calon sufi atau guru spiritual.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas masalah-
masalah yang berkaitan dengan Ribath melalui pendekatan institusional.
Sebagai pijakan dalam pembahasan pada Bab-Bab berikutnya. Pentingnya
pembahasan mengenai lembaga pendidikan Islam (al Ribath) ini adalah sebagai
dasar telaahan dalam menjalani proses pendidikan dewasa ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah dalam latar belakang, maka penulis dalam hal
ini akan merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan.
1. Apa pengertian lembaga pendidikan Islam?
2. Apa, mengapa dan bagaimana lembaga pendidikan Islam (Ribath)?
3. 2
BAB II
PEMBAHASAN
a). Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang
memberi bentuk pada yang lain, badan organisasi yang bertujuan mengadakan
suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu (1) pengertian secara
fisik, materil, konkret. (2) pengertian secara non-fisik, non materil, dan abstrak.1
Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut institute (dalam pengertian fisik),
yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga dalam
pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu system norma
untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut dengan
bangunan, dan lembaga dalam pengertian non-fisik disebut dengan pranata.2
Secara terminolgi, Amien Daiem dalam (Ramayulis, Imu Pendidikan Islam,
2011) mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara
wajar mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan dengan orang atau badan
yang secara wajar mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan. Rumusan
definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap
tanggung jawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam relaisasinya
merupkan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan suatu keterpaksaan.
Definisi lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang
tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan yang terarah
dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hokum
untuk tercapainya kebutuhan-kebutuhan social dasar.3
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan Islam adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses
pendidikan Islam yang berupa sarana-prasarana, norma-norma, peraturan-
peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet.ke-9, Hlm. 277
2
Ibid
3
Ibid. Hlm. 278
4. 3
b). Lembaga Pendidikan Islam (Ribath)
Secara harfiah, al-ribath artinya ikatan. Namun berbeda dengan kata al-
„aqad yang juga artunya ikatan. Al-ribath adalah ikatan yang mudah dibuka,
seperti ikatan rambut seorang wanita.
Mahmud Yunus, mengatakan bahwa arti ribath pada asalnya kamp, tempat
tentara yang dibangun di perbatasan negeri untuk mempertahankan negara dari
serangan musuh. Tetapi kemudian arti ribath, bukan lagi tempat tentara berjuang
untuk mempertahankan negara, melainkan tempat orang-orang yang berjuang
melawan hawa nafsunya, yaitu orang-orang sufi.4
Abudin Nata, mengemukakan bahwa ribath adalah tempat kegiatan sufi
yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri
untuk semata-mata beribadah. Juga memberikan perhatian terhadap keilmuan
yang dipimpin oleh syeikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehanya.5
Ribath banyak sekali ditemukan pada amasa Bani Umayah dan Abasiyah.
Ribath yang terbesar adalah di sebelah utara negeri Syam (Syria) dan utara
Afriqiah (Tunisia). Mereka tinggal di ribath beribadat siang dan malam. Selain
beribadat dan membaca dzikir mereka juga belajar agama pada Syekh (kepala
ribath). Pada setiap ribath ada Syekh, guru-guru dan qari Al-Qur‟an. Diantara
ribath yang terkenal mengadakan halaqah untuk mengajarkan membaca, menulis,
agama dan tasawuf adalah ribath Al-Athar yang didirikan oleh Shahib Tajuddin
Muhammad bin Shahib Fakhruddin Muhammad.
Tentunya untuk membahas lebih mendalam mengenai al ribath, dibutuhkan
pemahaman mengenai sufi itu sendiri karena sebenarnya al ribath merupakan
tempat kegiatan sufi untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan
mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah. Dengan kata lain sufi
merupakan obyek dari al ribath
4
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), cet. Ke-6,
Hlm. 95-96
5
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2010), cet. Ke-2, Hlm. 39
5. 4
1. Sufi
Sufi terbagai menjadi dua jenis yaitu sufi klasik dan sufi modern (neo-sufisme);
a). Neo-sufisme (Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawjyah)
Fazlur Rahman : sufisme bari itu mempunyai ciri utama berupa tekanan
kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muroqabah/konsentrasi
keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu
disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan
keimanan kepaada aqidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa.
Gejala yang dapat disebut sebagai neo-sufisme ini cenderung untuk
menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif
kepada dunia. Jadi, neo-sufisme menekankan perlunya pelibatan diri dalam
masyarakat secara labih kuat daripada sufisme klasik.
Neo-sufisme sering juga disebut dengan spiritualisme social. Dalam al-
ruhaniyat al-ijtima‟iyah (al-markaz al-Islami, Swiss, Dr. Sa‟id Ramdhan)
mengemukakan bahwa pertanda jalan spiritualisme sosial itu antara lain :
1. Membaca dan merenungkan makna kitab suci Al-Qur‟an
2. Membaca dann mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad
3. Memelihara hubungan dengan orang2 shaleh seperti ulama dan tokoh
Islam.
4. Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela
5. dll
Ajaran pokok spiritualisme sosial adalah nilai keseimbangan. sesuai dengan
prinsip yg difirmankan Allah Swt “dan langitpun ditinggikan oleh-Nya, serta
diletakkan oleh-Nya (prinsip) keseimbangan. Agar janganlah kamu (manusia)
melanggar (prinsip) keseimbangan itu”. (QS ar Rahman 7-8)
b). Sufisme Klasik (Spiritualisme isolatif)
Adalah yang mengungkung pelakunya (sufi) dari masyarakat. sehingga
ia tdk berhubungan dengan mereka dan mereka tidak berhubungan dengan dia,
tidak pula dia memberi pelajaran kepada mereka dan dia tidak belajar dari
mereka. Abahkan ada yang lebih ekstrim lagi mengatakan bahwa sufi klasik
6. 5
merupakan Spiritualisme orang-orang lemah, egois, tidak tahan mengahadapi
bahaya dan kejahatan, kemudian lari ke „Uzlah (pengucilan diri).
2. Materi dan Metode dalam al-Ribath
Seorang guru sufi (Syekh) membimbing seorang seorang murid bedzikir,
berfikir, estotorisme/penghayatan; merasakan pengalaman keagamaan dan
berbuat di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani).
Materi :
1. Berbagai materi / pelajaran tentang kesufian (tasawuf, falsafah, kalam,
fiqh)
2. Riyadlah/latihan dalam merintis jalan kepada Allah SWT
3. Dzikir, Tafakur, estotorisme/penghayatan
Metode :
1. Dzikir
2. Riyadlah/ latihan
3. Hafalan
4. Sima‟an
Bagaimana kaum sufi mengjarkan teknik/metode berdzikir ? Lafal “Allah”
adalah yang paling banyak disebut, kemudian Asmaul Husna khusunya al-
Ghafur, al-wadud, al-Latif. Tetapi dalam pandangan kaum neo-sufin tidak
menganjurkan dengan “nama tunggal”. Tegas Ibn Taimiyah; La ilah-a illa l-
lah, karena mengandung pernyataan yg lengkap; Seseorang akan terjamin
keimananya. Karena kalimat serupa itu adalah aktif yg akan menimbulkan
makna dan sikap positif , baik.
3. Tujuan al-Ribath
al-Ribath dalam teori maupun prakteknya mempunyai beberapatujuan, di
antaranya adalah
1. Tempat pengajaran dan praktik tekait dengan materi2 ke-sufian
2. Sebagai wahana perintis jalan untuk dengan Tuhan
3. Sebagai tempat pembelajaran bagi sufi/calon-calon sufi
4. Jabatan Pendidik dalam al-Ribath
Di dalam al-ribath terdapat berbagai aturan yang berkaitan dengan urutan
jabatan dalam pendidik, muai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi,
yakni mulai dari al-mufid (fasilitator), al-mu‟id (asisten), al-mursyid (lektor/
7. 6
guru), sampai kepada al-syaikh (mahaguru/ guru besar). Untuk tingkatan pada
murid, mulai dari tingkat dasar (al-mubtadi), tingkat menengah (al-
mutawasith), sampai tingkat akhir („aliyah).
Berbagai aturan yang terdapat dalam al-ribath sebagaimana tersebut, banyak
yang digunakan oleh lembaga pendidikan sekarang dengan sedikit modifikasi
dan penyesuaian. Istilah, murid, mursyid, ibtidaiyah, mustawasithah, aliyah dan
ijazah. Diambil dari istilah yang terdapat al-ribath.
5. Sifat dan Karakter Al-Ribath
a) Al-ribath bersifat dinamis, dinamakan dinamis karena al-ribath tidak terpaku
pada satu bentuk saja, melainkan juga memberi perhatian pada kegiatan
keilmuan.6
b) Al-ribath bersifat terbuka, yakni pada umumnya ribath di bangun hanya
untuk dihuni oleh sufi laki-laki, tetapi ada juga ribath yang di bangun untuk
sufi perempuan, dimana mereka bertempat tinggal, beribadah dan
mengajarkan pelajaran agama.
c) Al-ribath berbasis masyarakat, artinya sering dihuni oleh sejumlah orang-
orang miskin.
6. Perbedaan isi materi al Ribath dengan lembaga pendidikan Islam lainya
Perbedaan isi materi ini diambil dari hasil diskusi di dalam kelas dan penjelasan
dari dosen pengampu.
Nama
Lembaga
Materi
Hanaqah 1. Membaca al-Qur’an
2. Fiqh (4 madzhab)
3. Al-Hadits
Riwaq 1. Ilmu tasawuf (zuhud); Al-Qur’an, dzikir, hadits, tafsir, aqidah
Ribat 1. Pelatihan spiritual; Dzikir (Asma Allah “La illah-a illa l lah, asmaul
husna dsb)
2. Esotorisme/ penghayatan tentang hakikat kehidupan (teologi)
3. Sosial, politik dan budaya
4. Bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) ??
Riyadlah/latihan ; hafalan
Dzikir
Zawiyah 1. Syari’at kelimuan
6
Ibid
9. 8
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan untuk menjawab rumusan masalah dapat ditarik
kesimpulan, bahwa :
lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses
pendidikan Islam yang berupa sarana-prasarana, norma-norma, peraturan-peraturan
tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
Arti ribath pada asalnya kamp, tempat tentara yang dibangun di perbatasan negeri untuk
mempertahankan negara dari serangan musuh. Tetapi kemudian arti ribath, bukan lagi
tempat tentara berjuang untuk mempertahankan negara, melainkan tempat orang-orang
yang berjuang melawan hawa nafsunya, yaitu orang-orang sufi. Kaum sufi itu sendiri
adalah mereka-mereka yang ditarik oleh pesona Sang Maha Pengasih, telah tersingkap
pula dari hijab manusia dan wujud; dan telah terangkat juga dari pandangan
individualism kemanusiaan. Al-ribath bersifat dinamis, terbuka dan bebasis masyarakat
yang terbingkai dalam penekanan materi berupa Pelatihan spiritual; Dzikir (Asma Allah
“La illah-a illa l lah”, asmaul husna dsb), Esotorisme/ penghayatan tentang hakikat
kehidupan (teologi), sosial politik budaya, serta untuk mencapai maqam (peringkat
rohani) adalah dengan riyadlah/latihan ; hafalan, dzikir.
Berbagai aturan yang terdapat dalam al-ribath sebagaimana tersebut, banyak yang
digunakan oleh lembaga pendidikan sekarang dengan sedikit modifikasi dan
penyesuaian. Istilah, murid, mursyid, ibtidaiyah, mustawasithah, aliyah dan ijazah.
Diambil dari istilah yang terdapat al-ribath.
10. 9
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. ke-9. Jakarta: Kalam Mulia
Yunus, Mahmud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. ke-6. Jakarta: PT. Hidakarya
Agung
Nata, Abudin. 2010. Sejarah Pendidikan Islam: pada Periode Klasik dan Pertengahan.
Cet. ke-2. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Abd ar-Rahman, Maulana. 2003. Pancaran Ilahi Kaum Sufi. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Sufi