Revolusi Hijau berhasil meningkatkan produksi pangan, terutama beras, di beberapa negara berkembang seperti Indonesia pada tahun 1950-1980an melalui penggunaan varietas unggul dan teknologi pertanian modern. Namun, revolusi hijau juga menimbulkan masalah lingkungan dan kesenjangan sosial.
1. Revolusi Hijau
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan
fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-
an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah
tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara
yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh,
Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman
Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang
sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller
Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina
(1960)[1].Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas
(bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan,
khususnya swasembada beras[2]. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah
komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas
berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca
Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan
kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada
beras.
Revolusi hijau di Indonesia
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia
dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah
umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah
negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima
tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah
menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi
Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan
petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum
Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah
timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan
pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.[3]
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting[4]: penyediaan air melalui sistem
irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat
serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam
berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil
tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk
padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian
lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para
pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam
penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik
lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara
berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.
2. Dampak positif revolusi hijau
Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat.
Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada dan bisa mengekspor
beras ke India.
Permasalahan dan dampak negatif
1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber
karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan
peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
4. Penggunaan peptisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten
Agronomi adalah ilmu bercocok tanam. Cabang penting ilmu-ilmu pertanian ini merupakan
salah satu ilmu terapan yang berbasis biologi/botani yang mempelajari pengaruh dan
manipulasi berbagai komponen biotik (hidup) dan abiotik (tidak hidup) terhadap suatu
individu atau sekumpulan individu tanaman untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia.
Cakupan aspek biotik meliputi individu itu sendiri, individu lain yang sejenis, atau individu
lain yang berbeda jenis. Cakupan aspek abiotik meliputi semua komponen tidak hidup yang
memengaruhi kehidupan individu yang dipelajari, seperti tanah, cuaca dan iklim, topografi,
dan kebijakan ekonomi-politik.
Orang sering menyamakan agronomi dengan ilmu pertanian (dalam arti sempit: hanya untuk
tanaman).