Kebijakan nasional pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat telah diadopsi oleh beberapa proyek seperti WSLIC 2, ProAir, SANIMAS dan CWSH. Proyek-proyek ini mengutamakan peran aktif masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan proyek sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakan nasional. Namun demikian, masih dibutuhkan proses yang lebih lama untuk mengi
1. Implementasi
Kebijakan Nasional
Pembangunan Air Minum
dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Masyarakat
Implementasi
Kebijakan Nasional
Pembangunan Air Minum
dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Masyarakat
Memberdayakan Tanpa Memaksakan
Edisi II/Oktober 2003
2. 3
Daftar Isi
Dari Redaksi 4
Laporan Utama 5
CWSH 7
ProAir 9
SANIMAS 11
WSLIC 2 13
Wawasan 15
Memberdayakan Tanpa Memaksakan
Mencuci Tangan 18
Cermin 21
MCK Jempiring bukan MCK Moerdiono
Pembelajaran
Lokal 25
Internasional 27
Ragam 29
Pilihan Teknologi
Info Buku 31
Info Situs 32
Agenda 33
Percik, Media Informasi Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan. Diterbitkan oleh Kelompok
Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan.
Penasihat/Pelindung:
Direktur Jenderal Tata Perkotaan
dan Tata Perdesaan, DEPKIMPRASWIL
Penanggung Jawab:
Direktur Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS
Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES
Direktur Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Timur,
DEPKIMPRASWIL
Direktur Bina Sumber Daya Alam dan Teknologi
Tepat Guna, DEPDAGRI
Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup,
DEPDAGRI
Dewan Redaksi:
Oswar Mungkasa, Sucipto, Johan Susmono,
Supriyanto Budi Susilo
Redaktur Pelaksana:
Hartoyo, Rheida Pambudhy, Maraita Listyasari,
Rewang Budiyana, Handi Legowo
Sekretaris Redaksi:
Essy Aisiyah
Sirkulasi:
Helda Nusi, Mahruddin, Prapto
Alamat Redaksi:
Jl. Cianjur No. 4, Menteng, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3142046
e-mail: redaksipercik@yahoo.com,
oswar@bappenas.go.id
Redaksi Percik menerima kiriman artikel/tulisan dari luar. Panjang
artikel/tulisantidakdibatasi.Isiharusberkaitandenganairminumdan
penyehatanlingkungandanbelumpernahdipublikasikansebelumnya.
Artikel/tulisan harus disertai identitas yang jelas. Redaksi berhak
mengeditnya. Artikel/tulisan bisa dikirimkan melalui surat atau email
kealamatdiatas.
Kebijakan Nasional
Pembangunan Air MInum dan
Penyehatan Lingkungan dan
Implementasinya
Memberdayakan Tanpa Memaksakan
3. 4
Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Berangkat dari semangat inilah kami
menghadirkan edisi kedua Percik. Beberapa perbaikan telah diusahakan pada edisi ini yang
merupakan tanggapan terhadap saran dan kritik yang kami terima dari berbagai pihak. Pertama. Halaman
diperbanyak yang memungkinkan makin banyaknya informasi yang dapat ditampilkan. Kedua. Tambahan rubrik
seperti Suara Anda, Pembelajaran, dan Opsi Teknologi. Tentunya perbaikan akan kami lakukan secara
berkesinambungan.
Melanjutkan fokus Percik pada edisi perdana maka pada edisi kedua ini kami mengetengahkan proyek-proyek
air minum dan penyehatan lingkungan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam kebijakan
nasional air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat. Beberapa proyek yang kami tampilkan adalah
Water Supply for Low Income Communities 2 (WSLIC 2), Rural and Water Supply in Nusa Tenggara Timur (ProAir),
Sanitasi oleh Masyarakat (SANIMAS), dan Community Water Supply and Health (CWSH). Kami mengharapkan sajian
ini dapat memberikan gambaran lebih lengkap terhadap implementasi kebijakan nasional tersebut.
Berbeda dengan edisi sebelumnya, kali ini Percik menampilkan rubrik Wawasan sebagai pengganti rubrik
Opini. Dengan nama baru ini, kami berharap lebih banyak tulisan yang bisa dimuat ini rubrik tersebut. Pada edisi ini,
Wawasan memuat tulisan mengenai MPA (Methodology for ParticipatoryAssesment), sebuah metode pemberdayaan
masyarakat yang digunakan dalam pembangunan sarana air bersih dan penyehatan lingkungan.
Tak kalah menariknya, Wawasan juga mengangkat tema mengenai Mencuci Tangan (Handwashing). Mungkin
bagi kita masalah tersebut terlalu sepele, tapi berdasarkan penelitian Mencuci Tangan terbukti memberikan pengaruh
yang nyata terhadap pencegahan berbagai jenis penyakit yang ditularkan melalui tangan.
Di rubrik Cermin, kami mengetengahkan upaya masyarakat di Gang Jempiring, Bali, membangun MCK. Beberapa
tahun sebelumnya mereka sempat memiliki MCK yang dibangunkan pemerintah. Bangunan itu tak terawat dan
akhirnya rusak. MCK yang baru tersebut dibangun berdasarkan kesadaran masyarakat setempat untuk hidup lebih
baik dan sehat.
Kami berusaha menjadikan media informasi ini tersebar secara meluas. Internet menjadi salah satu media yang
akan kami pergunakan. Untuk itu, mulai edisi ini kami juga akan menggunakan e-mail untuk mengirimkan Percik.
Media informasi ini juga akan ditayangkan lengkap pada situs internet Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
(…………………………….) yang baru saja diluncurkan.
Terlepas dari semua usaha yang kami lakukan untuk menghadirkan yang terbaik, maka semuanya terpulang
kembali kepada anda semua. Masukan, kritik, saran dan bahkan kiriman naskah menjadi suatu keniscayaan bagi
kelangsungan media informasi kita ini. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih atas kontribusi anda semua. Salam.
Dari
Redaksi
4. Kebijakan nasional pembangunan air minum dan
penyehatan lingkungan yang bertujuan
meningkatkan pembangunan, penyediaan,
pemeliharaan prasarana dan sarana air minum dan
penyehatan lingkungan serta meningkatkan kehandalan
dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air
minum dan penyehatan lingkungan tersebut lahir melalui
proses yang panjang. Proses penyusunan kebijakan
nasional tersebut berlangsung dalam kurun waktu lima
tahun, dan dipuncaki dengan penandatangan
kesepakatan eselon I yang berasal dari Bappenas,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan,
Departemen Kesehatan, dan Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah. Direncanakan Kebijakan
nasional tersebut akan diformalkan melalui Keputusan
Menteri Negara Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas.
Prinsip-prinsip dasar kebijakan terdiri atas delapan
butir yakni air merupakan benda sosial dan benda
ekonomi; pilihan yang diinformasikan sebagai dasar
dalam pendekatan tanggap kebutuhan; pembangunan
berwawasan lingkungan; pendidikan perilaku hidup
bersih dan sehat; keberpihakan pada masyarakat
miskin; peran perempuan dalam pengambilan
keputusan; akuntabilitas proses perencanaan; peran
pemerintah sebagai fasilitator; peran aktif masyarakat;
pelayanan optimal dan tepat sasaran; dan penerapan
prinsip pemulihan biaya.
Sebagai sebuah kebijakan, butir-butir itu tidak lahir
hanya dari hasil diskusi dan perdebatan di ruangan.
Namun kebijakan ini telah melalui perjalanan panjang
‘pengujian’ di lapangan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Proses seperti ini bisa berkat adanya
sinergi antara para penyusun kebijakan dan
implementasi di lapangan melalui proyek-proyek air
minum dan penyehatan lingkungan. Hasilnya, walaupun
kesepakatan baru saja ditandatangani tetapi sebenarnya
prinsip dasarnya telah jauh hari sebelumnya diadopsi
oleh proyek pembangunan air minum dan penyehatan
lingkungan seperti Water Supply for Low Income
Community 2 (WSLIC 2), Rural and Water Supply in
NusaTenggaraTimur(ProAir),SanimasiolehMasyarakat
(SANIMAS), dan beberapa proyek lainnya. Proyek yang
terbaru yang mengadopsi prinsip dasar kebijakan
nasional adalah Community Water Supply and Health
(CWSH) masih dalam tahap persiapan.
Menjadi menarik untuk menyimak apa dan
bagaimana proyek tersebut, termasuk juga komentar
dari masing-masing pengelola proyek. Tentunya proyek
yang satu dengan yang lain mempunyai beragam
pengalaman dalam menjalankan prinsip yang tercantum
dalam kebijakan nasional tersebut.
Soegeng Santoso, pimpinan proyek ProAir,
mengatakankebijakannasionaltersebutsangatlahtepat.
‘’Apa yang kita lakukan sama persis dengan WASPOLA
(WASPOLA merupakan nama proyek yang membidani
lahirnya kebijakan nasional AMPL. Red), jadi kita tinggal
mendiseminasikan saja kebijakan tersebut,” katanya di
Jakarta.
Menurut Soegeng, kunci keberhasilan sebuah
proyek air bersih dan penyehatan lingkungan ada pada
masyarakat bukan pemerintah. Karena itu,
masyarakatlah yang harus memiliki peran dalam
memutuskan sebuah proyek yang ada di
lingkungannya. ‘’Tak bisa lagi pemerintah semua, harus
demand driven, bukan supply driven,” katanya.
Hal senada dikemukakan penanggung jawab
proyek CWSH, Hartoyo. Menurutnya, pelaku perubahan
adalah masyarakat. ‘’Kalau masyarakat mampu
mengelola sumber daya yang dimiliki dengan
sendirinya, berarti mereka telah sukses,” katanya. Ia
mengatakan peran pemerintah hanya sebagai fasilitator
dan motivator. Masyarakat yang merencanakan dan
menjalankan hingga terwujud sebuah hasil yang
diharapkan. Proses seperti ini akan menjamin
keberlangsungan hasil proyek.
Kebijakan Nasional Pembangunan
Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan dan Implementasinya
Laporan
Utama
5
5. Mengapa harus masyarakat? Kata Hartoyo, mereka
memiliki banyak permasalahan.Tentu, masyarakat pula
yang paham akan persoalannya dan tahu prioritas mana
yang harus didahulukan. ‘’Bantuan pemerintah sekali-
kali memang diperlukan, tapi bukan hal utama. Bantuan
pemerintah hanya sebagai stimulan,” kata Hartoyo.
AlfredLambertus,RuralWaterSupplyandSanitation
Specialist, yang menangani proyek Sanimas
menegaskan pendekatan tanggap kebutuhan sangat
penting dalam sebuah proyek jika menginginkan
proyek bisa terpelihara secara berkesinambungan.
Kebijakan yang dirumuskan melalui WASPOLA,
menurutnya, sejauh ini bisa teruji di lapangan kendati
memang butuh waktu yang lebih panjang. ‘’Dari sini
pelaksanaan proyek terlihat pula betapa pemerintah
daerah perlu tanggap terhadap kebutuhan
masyarakatnya,” paparnya.
Menurutnya, selama ini pengambil kebijakan salah
menduga kemampuan masyarakat. Mereka dianggap
tak memiliki kemampuan dan inisiatif. ‘’Padahal
kemauan masyarakat untuk diberi kepercayaan itu besar
sekali. Bahkan terhadap masyarakat miskin sekalipun.
Asalkan demi kebutuhan mereka, mereka mau
memberikan kontribusi,” jelas Alfred.
Namun demikian, menurut pimpinan proyek WSLIC
2, Zainal I Nampira, masyarakat harus disiapkan. Selain
membangun sarana fisik, masyarakat harus pula mampu
mengelola uang dan mempertanggungjawabkan
keuangannya dengan standar akuntansi yang bisa
diaudit. ‘’Ini proses pemberdayaan,” tandasnya.
Hanyasaja,kataZainal,pemberianwewenangyang
besar kepada masyarakat pun perlu disikapi secara
arif. Pengalaman di lapangan menunjukkan, terkadang
masyarakat terlalu percaya diri sehingga pendapat
mereka mengalahkan argumentasi keilmuan konsultan
yang mendampinginya. ‘’Tapi nggak papa, ini kan
proses,” katanya.
Terlepas dari sinkronisasi antara kebijakan nasional
air minum dan penyehatan lingkungan dan proyek-
proyek di lapangan, masih ada ganjalan yang harus
dihadapi ke depan. Pola pikir proyek tampaknya masih
belum terkikis habis dari benak para pengambil
keputusan. ‘’Kita misalnya dihadapkan pada dua
pilihan: mencapai target atau menjaga proses,” kata
Zainal.
Ia mencontohkan penyerapan awal proyek WSLIC
2 yang didanai Bank Dunia, pemerintah Australia, dan
masyarakat, ini sangat rendah. Tahun ke-2 dan ke-3
proyek baru bisa berjalan. Ini tidak lepas dari
keterbatasan sumber daya manusia yang mengerti dan
memahami metode yang diterapkan sehingga prioritas
proyek diarahkan untuk penyiapan sumber daya
manusia. Selain itu, proyek WSLIC 2 yang memberikan
uang langsung ke rekening masyarakat terkendala
peraturan yang ada.
Belum lagi baru-baru ini keluar Keppres No 42 yang
mengharuskan audit setiap tahun anggaran. ‘’Bisa jadi
dengan keluarnya keppres tersebut pola pikir proyek
akan muncul kembali. Proyek-proyek akan mengejar
target karena pimpro juga dinilai dari target,” jelasnya.
Ia mengusulkan agar proyek pemberdayaan
masyarakat bersifat multiyear.
Pemberdayaan masyarakat melibatkan multisektor.
Masing-masing harus memiliki akselerasi yang sama.
Dari pengalaman di lapangan, akselerasi masyarakat
ternyata lebih cepat dibandingkan yang lain. Sektor-
sektor harus mampu mengimbangi sehingga terwujud
sinergi.
Proyek-proyek di atas dalam proses membuktikan
apakah kebijakan nasional air minum dan penyehatan
lingkungan berbasis masyarakat merupakan kebijakan
yang tepat dalam pembangunan air minum dan
penyehatan lingkungan. Memang terlihat ada kendala
dan perlu proses implementasi lebih lama. Bagaimana
dan seperti apa proyek-proyek tersebut, laporan utama
kali ini akan mengungkap satu per satu proyek itu secara
garis besar.
6
Desa proyek: Salah satu desa yang mendapat proyek
implementasi WASPOLA.
6. Berdasarkan Memorandum of Understanding (MOU)
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Asian
Development Bank (ADB) telah diperoleh kesepakatan
bahwa ADB akan memberikan dukungan terhadap
upaya-upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk
mengurangi berbagai permasalahan dan keterbatasan
yang berkaitan dengan pelayanan penyediaan sarana
air minum dan peningkatan pelayanan kesehatan, baik
di wilayah pedesaan maupun di perkotaan.
Berkaitan dengan hal tersebut pada Country
Program Mission ADB (CPM) tahun 2002, telah
dipastikanbahwa“CommunityWaterServicesandHealth
Project” (CWSHP) masuk pada Country Strategy and
Program (CSP) 2003-2005 untuk Indonesia. Selain itu
ADB telah memasukkan proyek CWSH sebagai
pinjaman yang akan berlaku efektif tahun 2004 kepada
Pemerintah Indonesia.
Pada saat ini, proyek CWSH sedang dalam taraf
persiapan. Salah satu kegiatan utama yang harus
dilakukan dalam tahap persiapan proyek CWSH adalah
Project Preparation Technical Assistance (PPTA).
Secara umum, tujuan PPTA ini adalah membantu
pemerintah Indonesia untuk mengidentifikasi dan
mempersiapkan proposal proyek yang diharapkan
dapat diimplementasikan mulai tahun anggaran 2004.
Sedangkan keluaran dari kegiatan PPTA ini akan
dipergunakan oleh ADB dan Pemerintah Indonesia
untuk memproses dan memformulasikan investasi yang
diperlukan dalam meningkatkan pelayanan penyediaan
air minum dan pelayanan kesehatan.
Tim PPTAmulai efektif bekerja tanggal 16 Juni 2003
dan akan berakhir pada bulan Maret 2004 (10 bulan).
Tim ini akan menyusun SPAR (Sub Project Appraisal
Report) kabupaten yang berasal dari propinsi-propinsi
terpilih.
Tujuan dan Output
Tujuan Umum:
Meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesehatan
masyarakat perdesaan dan pinggir perkotaan yang
berpenghasilan rendah melalui perbaikan higinitas dan
perilaku sehat keluarga yang berkaitan dengan air,
didukung oleh perbaikan akses terhadap air minum dan
sanitasi.
Tujuan Khusus:
Pemerintah daerah mampu meningkatkan
pelayanan air minum dan pelayanan kesehatan melalui
pelembagaan sistem yang tanggap terhadap kebutuhan
dan berbasis keluarga serta program-program yang
memfokuskan pada masyarakat berpenghasilan
rendah, dan dalam kemitraan dengan masyarakat sipil
dan sektor swasta.
Output
Adapun output yang diharapkan dari proyek ini adalah:
a. Pemerintah daerah diberdayakan dan dapat
memfasilitasi perencanaan dan pelaksanaan proyek
berbasis masyarakat (termasuk manajemen proyek),
dan mampu memberikan pelayanan kesehatan
berbasis keluarga khususnya terhadap penyakit
menular berbasis air.
b. Masyarakat dan keluarga diberdayakan sehingga
mampu merencanakan, mengadvokasi, mengelola
dan memelihara program ABPL, serta meningkatkan
perilaku dan higinitas kesehatan.
c. Pembangunan sarana dan prasarana air minum dan
sanitasi yang memadai, mudah terjangkau dan
berkelanjutan bagi masyarakat, di samping
pembangunan fasilitas kesehatan lainnya yang
berkaitan dengan pengawasan penyakit berbasis
air.
d. Sistem pelaksanaan dan pengkoordinasian proyek
yang efisien, meliputi kegiatan monitoring dan
evaluasi dari hasil-hasil proyek.
Lokasi Proyek
Tim Teknis Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
(AMPL) Pusat yang beranggotakan sektor-sektor terkait
7
Community Water Services and
Health (CWSH)
7. (Bappenas, Depkes, Depdagri, Depkimpraswil,
Depkeu) telah mengembangkan kriteria untuk memilih
calon propinsi untuk berpartisipasi dalam proyek
berdasarkan angka Human Development Index (HDI),
Gender-relatedDevelopmentIndex(GDI),HumanPoverty
Index (HPI), cakupan air minum dan sanitasi, angka
diare, dan keberadaan beberapa proyek air minum dan
sanitasi serta mempertimbangkan kesempatan untuk
perolehan keterkaitan dengan proyek-proyek ADB
lainnya, seperti FHN, DHS dan RWSS.
Proses Persiapan
Pada tanggal 23 Juni 2003 telah dilakukan
peluncuran proyek. Dalam pertemuan ini telah dipilih
12 propinsi yaitu Kalimantan Barat, Papua, Lampung,
SulawesiTengah, Jambi, Banten, Gorontalo, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Bengkulu, Riau, dan
Sulawesi Tenggara.
Pada Lokakarya National Proyek CWSH tanggal 2
Juli 2003 telah diundang 12 propinsi tersebut di atas
yang terdiri atas unsur Bappeda dan Dinas Kesehatan.
Sampai dengan akhir acara, ternyata wakil dari Propinsi
Papua tidak ada yang hadir.
Tanggal 22 Juli 2003 telah dilakukan rapat koordinasi
Tim Teknis AMPL di Bappenas bersama Tim PPTA
CWSH. Dalam rapat diputuskan akan dilakukan
8
lokakarya lingkup propinsi di Propinsi Kalimantan
Tengah, Kalimantan Barat, dan Jambi.
Tim Teknis telah berupaya melakukan pembicaraan
intensif dengan Propinsi Papua yang menempati ranking
ke-2 agar dapat berpartisipasi dalam proyek CWSH.
Hal ini dilakukan hingga minggu kedua bulan Agustus
2003.Tim Teknis akhirnya memutuskan untuk mengganti
Propinsi Papua dengan Propinsi Bengkulu sebagai
propinsi keempat yang akan berpartisipasi dalam
proyek ini.
Lokakarya Tingkat Propinsi telah diselenggarakan
di Palangkaraya, Jambi, Pontianak, dan Bengkulu. Dari
lokakarya ini telah ditetapkan kabupaten terpilih
sebanyak tiga kabupaten untuk masing-masing propinsi
terpilih. Untuk Propinsi Kalimantan Tengah telah dipilih
Kabupaten Kapuas, Kotawaringin Timur, dan Barito
Selatan. Untuk Propinsi Kalimantan Barat telah
ditetapkan Kabupaten Ketapang, Sintang, dan Landak.
Untuk Propinsi Jambi telah dipilih Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Bungo, dan Batang Hari. Sedangkan
untuk Propinsi Bengkulu telah ditetapkan Kabupaten
Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, dan Rejang Lebong.
Lokakarya tingkat propinsi ini kemudian ditindaklanjuti
dengan lokakarya kabupaten dalam rangka proses awal
penyusunan proposal proyek (SPAR).
Pada acara Tripartite Meeting tanggal 2 September
2003 telah disepakati untuk menambah jumlah
keseluruhan kabupaten yang akan berpartisipasi dalam
proyek ini menjadi 19 kabupaten yang berasal dari
empat propinsi terpilih.
Penutup
Proyek CWSH ini merupakan proyek pertama di
tahun 2003 yang dalam penyusunan usulan proyeknya
mengikuti prosedur dan ketentuan baru yaitu Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 35/KMK.07/2003 tentang
Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan
Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri
Pemerintah kepada Daerah. Sesuai dengan ketentuan
KMK 35, ada kewajiban bagi Pemerintah Daerah
Propinsi dan Kabupaten untuk menanggung beban
bersama dengan Pemerintah Pusat dalam
pengembalian pinjaman, sehingga kemungkinan lokasi
propinsi yang telah ditetapkan tersebut di atas dapat
berubah sejalan dengan kesediaan Pemerintah Daerah
untuk menanggung beban bersama.
Persiapan: Workshop Nasional Proyek Community Water
Services and Health (CWSH) berlangsung 2 Juli 2003 di
Bekasi
8. Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal
sebagai daerah yang angka curah hujannya
rendah, oleh karena itu wilayah ini dikenal pula sebagai
daerah yang sulit air. Selain kondisi daerah yang
sedemikian itu, pengetahuan penduduk tentang
higinitas yang masih kurang, serta sebagian penduduk
yang masih tinggal di tempat yang belum memenuhi
standar lingkungan yang sehat, menyebabkan
penduduk Nusa Tenggara Timur berada dalam kondisi
rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui air.
Memperhatikan keadaan di atas, Pemerintah RI dan
Pemerintah Jerman pada tahun 1998 sepakat untuk
bekerja sama dalam pembangunan di bidang air minum
dan sanitasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Menindaklanjuti kerja sama di atas, pada tahun
2001 dilakukan pertemuan antarsektor terkait di tingkat
pusat dan daerah dengan German Bank for
Reconstruction (KfW) Jerman. Dalam pertemuan
tersebut disepakati bahwa German Ministery for
Economic Cooperation (BMZ), KfW dan Deutsche
Gesselschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
mengkoordinasikan program bantuan teknis dan
bantuan keuangan. Kabupaten yang menerima bantuan
program adalah Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten
Sumba Barat, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Pada tanggal 12 Desember 2001 diterbitkan Grant
Agreement “Rural Water Supply and Sanitation”. KfW
Jerman memberikan hibah untuk Propinsi Nusa
Tenggara Timur sebesar 15,6 juta DM untuk biaya
investasi (pembangunan konstruksi, pengadaan barang
dan jasa) serta untuk biaya konsultan. Sedangkan untuk
dana pendampingnya, masing-masing kabupaten akan
menyediakan dana investasi di dalam Daftar Isian
Proyek Daerah (DIPDA) sebesar 10 persen dari nilai
hibah yang diberikan oleh KfW Jerman dan dana non
investasi yang besarnya sesuai kebutuhan dan
kemampuan masing-masing kabupaten. Selanjutnya
kegiatan ini diberi nama khusus yaitu ProAir, untuk
membedakannya dengan proyek air minum dan
sanitasi perdesaan lainnya.
Tujuan
a. Tujuan Umum
Memberikan konstribusi untuk menurunkan risiko
kesehatan bagi masyarakat perdesaan akibat pe-
nyakit yang ditularkan melalui air yang digunakan
melalui peningkatan pelayanan prasarana dan sa-
rana air minum dan sanitasi di masyarakat perde-
saan di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
b. Tujuan Khusus
Masyarakat perdesaan mampu mengelola sendiri
prasarana dan sarana air bersih dan sanitasinya
secara berkesinambungan dan diharapkan peme-
rintah setempat dapat mengadopsi pendekatan
ini.
Lokasi
ProAir berlokasi pada daerah perdesaan di
Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Barat, dan
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa
Tenggara Timur.
Pelaksanaan Program
Berbeda dengan cara pendekatan yang dilakukan
pada masa lalu yang mendasarkan pada standar
normatif dari pemerintah (Supply Driven), maka pada
pelaksanaan program ProAir menggunakan pendekatan
berdasarkan kebutuhan masyarakat (Demand Driven).
Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam
pelaksanaan program ProAir, yaitu tahap sosialisasi dan
diseminasi, tahap permohonan dan penilaian, tahap
Program Air Bersih
dan Sanitasi Perdesaan
Propinsi Nusa Tenggara Timur
(ProAir)
9
9. perencanaan, tahap rancang bangun dan pembuatan
kontrak, tahap konstruksi dan tahap pascakonstruksi.
Pelaksanaan ProAir dilakukan secara bertahap
dimulai dengan pelaksanaan kegiatan di Kabupaten
Sumba Timur. Pelaksanaan di Kabupaten Sumba Timur
telah sampai pada tahap III. Tahap I, sosialisasi dan
diseminasi, telah dilaksanakan melalui kampanye yang
dilakukan oleh Tim Koordinasi ProAir Kabupaten (TKK)
yang menghasilkan banyak permohonan yang diajukan
oleh masyarakat. Selanjutnya dalam tahap II, semua
permohonan tersebut diterima oleh ProAir dan dinilai
kelayakannya oleh Tim Pelaksana dan Unit Pelaksana
Proyek (Project Implementation Unit-PIU). Tahap III
berupa perencanaan pelaksanaan yang akan
melibatkan kelompok masyarakat dalam rencana
pelaksanaan yang sesungguhnya melalui proses
partisipatif di bidang higinitas dan sanitasi dengan
menggunakan metoda MPA-PHAST yang akan
difasilitasi oleh tenaga motivator.
Kendala
Ada beberapa kendala yang ditemui selama
pelaksanaan program, baik yang bersifat fisik maupun
non fisik yaitu :
A Kendala Fisik
- Kondisi geografis, dan lokasi permukiman yang
terpencar menyulitkan dalam menentukan pilihan
10
teknologi yang paling sesuai dengan kondisi
masyarakat
B Kendala Non Fisik
- Kurangnya pemahaman dari pelaksana di daerah
terhadap pendekatan demand driven berakibat pada
relatif lambatnya tanggapan masyarakat terhadap
program ini.
- Mekanisme penyaluran dana (Fund Chanelling)
masih belum dipahami secara baik, sehingga masih
ditemui banyak kendala baik dalam proses
pengajuan dana maupun pencairannya.
Rencana ke depan
Agar kendala–kendala tersebut dapat dilewati
dengan baik, maka ke depan direncanakan:
a. Melakukan pembinaan secara rutin, termasuk
melakukan sosialisasi kembali program ProAir
dengan cara advokasi kepada pemerintah daerah
dan DPRD Kabupaten
b. Mencari pilihan teknologi baru di bidang air minum
dan sanitasi yang sesuai untuk diterapkan di NTT.
Pemetaan: Pemetaan penduduk menjadi faktor penting
dalam menentukan keberhasilan suatu proyek.
10. Apakah SANIMAS?
SANIMAS atau Sanitasi oleh Masyarakat merupakan
sebuah inisiatif yang dirancang untuk mempromosikan
Sanitasi Berbasis Masyarakat (SBM) sebagai pilihan bagi
masyarakat miskin perkotaan.
Latar Belakang
Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk di kawasan
miskin perkotaan mengakibatkan kerugian ekonomi serta
menurunkan kualitas hidup, terutama di kalangan wanita
dan anak-anak. Situasi sanitasi yang parah menyebabkan
berulangnya epidemi infeksi perut sehingga keberjangkitan
penyakit thypus di Indonesia tercatat tertinggi di Asia Timur.
Akibatnya kerugian ekonomi yang diderita diperkirakan
sebesar 47 triliun rupiah per tahun (4,4% PDB 1997) atau
setara dengan Rp 120.000 per rumah tangga per bulan.
Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk di kawasan miskin
perkotaan tentu berkaitan dengan sistem pembuangan
limbah tinja yang ada saat ini. Sarana yang umum
digunakan di perkotaan bisa dikategorikan dalam:
! Sistim sanitasi terpusat (sewerage system) yang
dibangun di beberapa kota besar dengan cakupan
pelayanan yang sangat tidak berarti
! Pembuangan limbah tinja setempat (on site) yang pada
umumnya terdiri atas jamban dengan atau tanpa tangki
septic. Jenis inilah yang populer digunakan saat ini
! Pembuangan limbah langsung ke badan sungai atau
lapangan.
Tujuan SANIMAS
Dengan terbatasnya opsi pembuangan limbah yang ada
saat ini, SANIMAS bertujuan untuk mengenalkan pilihan
lain, yaitu Sistem Pembuangan Limbah Berbasis
Masyarakat. Upaya ini diharapkan bisa menjadi pilihan
pemerintah setempat dalam strategi pembangunan
sanitasinya.
Pendekatan yang Tanggap Pada Kebutuhan (TPK)
Saat ini SANIMAS sedang diujicobakan di tujuh kota,
yaitu Blitar, Pasuruan, Kediri, Mojokerto, Sidoarjo, dan
Pamekasan di Jawa Timur dan Denpasar di Bali. Lokasi
terpilih melalui proses yang cukup panjang. Pertama,
dilakukan pengenalan SANIMAS kepada 21 kota di Jawa
Timur (15) dan Bali (6) yang berkepadatan penduduk di
atas 700 orang per ha. Juga disampaikan bahwa selanjutnya
sebuah seminar akan diselenggarakan dengan tujuan
mendiskusikan SANIMAS secara lebih rinci. Kota yang
berminat dipersilakan berpartisipasi dengan syarat
partisipan terdiri atas seluruh sektor terkait dan bersedia
menyediakan biaya perjalanan. Ternyata seluruh kota
mengirimkan wakil masing-masing dan secara aktif
berpartisipasi dalam seminar. Pada akhir pertemuan
disampaikan bahwa kegiatan ini juga bertujuan untuk
melakukan seleksi kota karena SANIMAS hanya mampu
memfasilitasi maksimum delapan kota. Syarat yang
disepakati bersama untuk ikut serta:
! Bersedia menyediakan anggaran pendamping
! Menentukan sektor penanggung jawab kegiatan
! Memilih dan menempatkan dua fasilitator pendamping
setempat
Peminat dipersilakan mengirimkan surat ajuan dengan
mencantumkan syarat yang telah disepakati. Ternyata 12
kota menanggapi tawaran tersebut dengan mengirimkan
surat minat. Ke-12 kota adalah Bangli, Gianyar, dan
Denpasar di Bali, Pamekasan, Mojokerto, Sidoarjo,
Pasuruan, Probolinggo, Blitar, Kediri, Batu, dan Malang di
Jawa Timur. Dalam proses seleksi lanjutan kota
Probolinggo, Malang, Batu dan Gianyar tidak mencapai
skore yang telah ditetapkan. Selanjutnya Nota
Kesepahaman (MoU) dengan kedelapan kota tersisa
SANIMAS 11
S A N I M A S
Sebuah Inisiatif Pengelolaan Sanitasi
Berbasis Masyarakat
Oleh: A Lambertus, WSP-EAP
Presentase Pembuangan
Akhir Limbah Tinja Perkotaan
di Indonesia
Jenis Sarana Persen
Tangki Septik 63.07
Kolam/sawah 3.28
Sungai/danau 16.70
Lobang Tanah 14.44
Pantai/Lapangan 1.28
Lainnya 1.23
BPS2002
11. ditanda tangani. Namun, Bangli akhirnya mengundurkan
diri karena DPRD setempat tidak setuju untuk menyediakan
anggaran pendamping.
Dalam proses seleksi masyarakat, pendekatan Tanggap
Pada Kebutuhan juga diberlakukan. Selama proses tersebut
diselenggarakan sepuluh kelompok masyarakat
berkompetisi untuk mendapatkan fasilitasi SANIMAS.
Melalui proses kompetisi pada akhirnya delapan kelompok
masyarakat terpilih untuk mendapatkan fasilitasi SANIMAS.
Selain pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan ada
dua prinsip penting lain yang diterapkan SANIMAS. Pilihan
teknologi sarana ditentukan oleh masyarakat sendiri.
Fasilitator sekadar menyampaikan ragam pilihan teknologi
yang ada dan untung rugi dalam penggunaannya. Prinsip
lain, masyarakat bertanggung jawab dalam pembangunan
fisik sarana dan pengelo-
laan dana yang bersum-
ber dari swadaya, peme-
rintah, SANIMAS dan LSM
(BORDA) untuk beberapa
kasus.
Tahapan SANIMAS
Ada tiga komponen dalam tahapan pelaksanaan
SANIMAS.
Pertama: Pengembangan Kapasitas Penerapan SBM.
Tujuannya, mendefinisikan aturan-aturan proyek,
pengembangan ragam teknologi SBM, dan pembuatan
perangkat implementasi untuk diuji dan didemonstrasikan.
Keluaran yang dihasilkan dari komponen pertama terdiri
atas:
! Kompilasi, analisa dan sintesa pelajaran yang dipetik
dari dalam dan luar Indonesia
! Aturan dan persyaratan kelayakan untuk berpartisipasi
dalam SANIMAS
! Ragam pilihan teknologi SBM
! Modul pelatihan untuk lembaga fasilitasi dan pemerin-
tah setempat
Komponen Kedua: Promosi dan Demonstrasi SBM.
Tujuannya adalah pengembangan keahlian, pengetahuan
dan kesadaran SBM sebagai pilihan sanitasi yang layak
diterapkan di lingkungan miskin perkotaan.
Salah satu keluaran dari komponen ini adalah
terwujudnya sebuah sistem Sanitasi Berbasis Masyarakat
yang merupakan pilihan dan kesepakatan seluruh warga
pengguna. Seluruh, perlu digaris bawahi karena satu
keluarga yang tidak setuju bisa saja membatalkan
pembangunan SBM, walau seluruh proses yang telah dilalui
merupakan kesepakatan warga.
Ada dua pilihan menyangkut pelayanan SBM yang
umum dipilih oleh warga pengguna. Pada hakekatnya
warga memilih sarana sanitasi yang dapat memberi rasa
nyaman dan prestisius. Untuk itu warga berharap dapat
memilih SBM dengan sambungan rumah, namun kondisi
lingkungan setempat ternyata berpengaruh pada pilihan
tersebut.
Lokasi dengan kondisi:
! Kontur tanah yang relatif rata
! Dilanda banjir rutin
! Tanah terbatas, bahkan untuk pembangunan jamban
sekalipun
! Susunan rumah padat/digunakan sebagai rumah se-
wa
Warga tidak mempunyai pilihan selain memilih MC/
MCK sebagai sarananya. Dari tujuh kelompok masyarakat
yang difasilitasi SANIMAS, empat kelompok beruntung dapat
membangun sarana dengan sambungan rumah
sedangkan sisanya terpaksa membangun MC/MCK.
Untuk pembangunannya ada empat sumber
pendanaan: masyarakat (tunai dan bahan), pemerintah
setempat, SANIMAS, dan untuk beberapa kasus
kekurangan biaya disediakan oleh BORDA. Secara fisik
sarana diperkirakan akan selesai pada bulan November
2003.
Komponen Ketiga: Manajemen Pelaksanaan
SANIMAS. Dana pelaksanaan SANIMAS yang berupa
hibah disediakan oleh Pemerintah Australia melalui AusAID.
Penanggung jawab harian kegiatan dikendalikan oleh
sebuah LSM, yaitu Bremen Overseas Research and
Development Asociation atau biasa disebut BORDA yang
bekedudukan di Kayen No. 176, Jl. Kaliurang Km. 6.6,
Sleman Yogjakarta. BORDA dibantu oleh tiga LSM lainnya
yaitu Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan &
Pembangunan (LPKP) yang membawahi Pasuruan, Blitar,
dan Kediri berkedudukan di Malang, Jawa Timur. Bina
Ekonomi Sosial Terpadu (BEST) sebuah LSM lainnya
bertanggung jawab untuk Pamekasan, Sidoarjo dan
Mojokerto,berkedudukan di Surabaya. Sedangkan untuk
Denpasar penanggung jawabnya adalah Bali Fokus yang
berkedudukan di Bali.
Di tingkat warga, SANIMAS difasilitasi oleh dua fasilator
lapangan. Satu orang merupakan staf dari dinas terkait,
dan yang lainnya adalah staf yang direkrut dari LSM
setempat. Kegiatan SANIMAS akan berakhir April tahun
2004, di mana akan dilaksanakan sebuah seminar tingkat
Nasional sehingga pelajaran yang didapat selama uji coba
konsep SANIMAS dapat didesiminasikan.
12
12. Banyak penduduk perdesaan masih tergantung
pada sumber air minum tradisional. Padahal
sumber air itu tak jarang lokasinya sulit dijangkau, debit-
nya tak mencukupi pada saat musim kering, kualitasnya
belum memenuhi syarat untuk dikonsumsi secara
langsung, dan jumlahnya tidak
mencukupi kebutuhan masya-
rakat desa.
Kondisi yang buruk itu
menjadi hambatan yang sangat
besar bagi wanita dan anak-anak
karena waktunya tersita untuk
mendapatkan air bagi keperluan
mencuci, memasak, dan minum.
Selain itu, banyak keluarga
berpenghasilan rendah dan
berada di lokasi terpencil
membuang kotorannya di tempat
terbuka atau sungai. Kebiasaan
buruk ini sering menimbulkan
terjangkitnya penyakit diare atau
lainnya ke masyarakat yang
sama-sama menggunakan
sumber air tersebut.
Proyek WSLIC-1 telah ber-
langsung pada tahun 1993-1999
untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Dari
hasil studi dampak kesehatan terhadap pembangunan
sarana air minum dan sanitasi lainnya terlihat adanya
penurunan tingkat penyakit diare hingga sepertiganya.
Namun proyek WSLIC-1 menghadapi kendala
kerumitan penyaluran administrasi keuangan. Proyek
ini dilanjutkan kembali dengan WSLIC-2 yang berakhir
pada 2006. Total dana yang disediakan untuk proyek
kedua ini sebesar 106 juta dollar AS dari IDA (World
Bank), pemerintah Indonesia, dan pemerintah Australia
melalui AusAID ditambah dana masyarakat.
Tujuan
Proyek ini bertujuan meningkatkan status kesehatan,
produktivitas serta kualitas hidup masyarakat
berpenghasilan rendah melalui perubahan perilaku,
pelayanan kesehatan berbasis lingkungan, penyediaan
air minum dan sanitasi yang aman, cukup dan mudah
dijangkau, berkesinambungan dan efektif melalui
partisipasi masyarakat.
Lokasi
Proyek ini dilaksanakan di tujuh propinsi yakni Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatra Barat, Sumatra
Selatan, Bangka-Belitung, Jawa Barat, dan Sulawesi
Selatan. Pemilihan propinsi ini didasarkan kriteria:
tingkat terjangkitnya penyakit diare, tingkat kemiskinan,
dan tingkat pelayanan air bersih dan sanitasi.
13
Water and Sanitation for Low Income
Communities Project
(WSLIC) II
Tinjau: Kelompok kerja AMPL sedang meninjau proyek WSLIC di Jawa Timur
13. Metoda
WSLIC-2 mempunyai empat komponen utama yakni
peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat,
peningkatan kesehatan dan sanitasi melalui pelayanan
kesehatan dan perubahan perilaku, penyediaan sarana
air minum dan sanitasi, serta pengelolaan/manajemen
proyek.
Proyek ini menerapkan suatu metode pendekatan
yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Seluruh
anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat
(berpartisipasi) dalam pemilihan kegiatan untuk
kesehatan, air minum dan sanitasi, dengan fokus
khusus pada permintaan perempuan dan masyarakat
miskin.
Metode yang digunakan adalah PHAST
(Participatory Health and Sanitation Transformation/
transformasi hidup bersih dan sanitasi dengan
menggunakan metode partisipatori). Metode ini didasari
oleh metodologi partisipatif lain yakni SARAR (Percaya
diri, pemberdayaan budi, perencanaan kegiatan, dan
tanggung jawab bersama).
Dengan metode tanggap kebutuhan tersebut
masyarakat terlibat dari mulai perencanaan,
pelaksanaan, sampai pemeliharaan. Masyarakat
menentukan sendiri pilihan teknologi sarana yang akan
dibangun. Kegiatan mereka didanai oleh hibah desa
yang berasal dari Bank Dunia dan bantuan pemerintah
daerah yang mencakup 80 persen dari total
pembiayaan. Selebihnya dari kontribusi masyarakat
berupa 4 persen tunai, dan 16 persen barang dan
tenaga (in-kind).
Hingga Agustus 2003, tercatat ada 870 desa yang
masuk daftar terpilih. Yang sedang berproses ada 779
desa. Yang sudah menandatangani kontrak ada 387
desa. Sedangkan yang telah selesai melaksanakan
proyek sebanyak 221 desa. Sampai akhir tahun ini
diperkirakan akan ada seribu desa yang terlibat dari
2.000 desa yang ditargetkan proyek WSLIC-2 hingga
2006.
Kendala
Sebagai sebuah proyek baru yang penuh inovasi
aplikasi metode MPA, WSLIC-2 pun menghadapi
kendala. Di awal proyek, kendala itu muncul karena
keterbatasan sumber daya manusia yang mengerti
14
metode yang diterapkan. Akibatnya, proyek yang
seharusnya telah berjalan pada 2001 tersendat. Proyek
harus mempersiapkan sumber daya manusia terlebih
dahulu. Proyek merekrut LSM dan konsultan kemudian
melatihnya. Mereka kemudian baru melatih para
fasilitator.
Kendala lainnya adalah sistem administrasi
keuangan yang langsung masuk ke rekening
masyarakat. Cara seperti ini belum diatur dalam sistem
perundangan yang ada. Oleh karena itu, proyek harus
mempersiapkan terlebih dahulu agar masyarakat bisa
mengelola uang tersebut secara bertanggung jawab
dengan standar akuntansi yang bisa diaudit. Audit
dilakukan terhadap 60 persen Tim Kerja Masyarakat
(TKM) tiap tahun.
Ada hal khusus lain yang perlu dipikirkan ke depan
yakni berkaitan dengan opsi kesehatan. Apakah
komponen kesehatan ini harus dari bawah?
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa Tim
Koordinasi Kabupaten (TKK) tak mengikuti proses sejak
awal. Tak heran jalinan komunikasi berlangsung kurang
harmonis.
Rencana ke depan
Untuk mengatasi tersendatnya komunikasi di antara
pelaksana di tingkat kabupaten maka akan dibentuk
semacam tim teknis yang melibatkan pihak-pihak terkait
yang menangani aspek teknis kesehatan,
pemberdayaan masyarakat dan lainnya agar semuanya
mengetahui proses yang terjadi sehingga koordinasi
di lapangan berlangsung dengan baik.
14. Pada tahun 1997-1998, Water and Sanitation Pro-
gram Bank Dunia dan IRC International Water and Sani-
tation Center menyusun sebuah metode pemberdayaan
masyarakat yang dikenal sebagai Methodology for Par-
ticipatory Assesment (MPA). Metode ini merupakan
gabungan dari metodologi sebelumnya yakni Minimum
Evaluation Procedures (MEP) dan SARAR (Self-esteem,
Associative strength, Resourcefulness, Action planning,
Responsibilty).
Metode ini telah diujicobakan pada tahun 1998-1999
di 88 komunitas pengelola air dari 18 proyek di 15
negara. Studi itu dilaksanakan oleh tim dari universi-
tas, LSM lokal dan nasional, instansi terkait, dan
pelaksana proyek. Dari studi itu diperoleh pelajaran
bahwa Sarana Air Bersih (SAB) yang sinambung adalah
SAB yang dapat memuaskan sebagian besar pengguna
termasuk mereka yang berpenghasilan rendah.
Pelayanan dianggap memuaskan apabila dapat
dirasakan manfaatnya dan penggunaan SAB yang
efektif, dan hal ini terjadi karena sebagian besar
masyarakat memiliki akses (paling tidak 80%).
Pelayanan yang sinambung dan penggunaan yang
efektif ada kaitannya satu sama lain dengan program
yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini
dapat terjadi kalau dari awal para pengguna dilibatkan
dalam perencanaan untuk memberikan suara dan
mempunyai hak pilih. Selain itu terdapat kesetaraan
dalam pengelolaan sarana dan berbagi beban kerja
serta manfaat. Kesemuanya mensyaratkan partisipasi
masyarakat dalam berkontribusi, pengawasan pada
pelaksanaan proyek , dan berbagi tanggung jawab
secara transparan .
Akhirnya disimpulkan terdapat lima aspek yang
mempengaruhi kesinambungan sebuah proyek. Lima
aspek itu adalah:
Kesinambungan Teknis
Kesinambungan tehnis terjadi kalau perencanaan
dilakukan masyarakat dan mempertimbangkan jenis
teknologi yang dimanfaatkan sesuai dengan kondisi
masyarakat.
Kesinambungan Finansial
Kesinambungan finansial didapatkan jika masyarakat
terlibat dalam perencanaan. Selain itu, dalam
menetapkan biaya operasi dan pemeliharaan serta iuran
telah melibatkan semua kelompok masyarakat (kaya/
miskin, laki/perempuan). Iuran ditarik berdasarkan
tingkat pelayanan yang didapatkan pengguna atau
jumlah konsumsi air bersih setiap KK.
Kesinambungan Lingkungan
Kesinambungan lingkungan akan terjadi bila
perencanaan oleh masyarakat telah memperhatikan
aspek lingkungan dalam kaitannya dengan sumber air
yang dimanfaatkan dan pembuangan air limbah.
Kesinambungan Institusi
Kesinambungan institusi merupakan proses
pembentukan badan pengelola yang telah
memperhatikan kesetaraan gender dan pelibatan
kelompok miskin, serta mewujudkan nilai-nilai
demokrasi dan transparansi
Kesinambungan SosialKesinambungan Sosial
Kesinambungan sosial akan terjadi kalau seluruh
kelompok masyarakat diberikan kesempatan
menetapkan pilihan teknologi, jenis sarana, tingkat
pelayanan, jenis pelatihan termasuk kelompok
masyarakat yang disertakan dengan memperhatikan
nilai-nilai Demand Responsive Approach (DRA). Seluruh
kelompok masyarakat telah menyumbangkan suaranya
dalam pengambilan keputusan (suara dimaksudkan
sebagai kondisi ketika seseorang dapat mengeluarkan
pendapatnya dan didengar) mengenai bentuk dan
besarnya kontribusi dan iuran, penetapan mekanisme
pengelolaan sarana, serta pemilihan anggota badan
pengelola sarana.
Memberdayakan
Tanpa Memaksakan
WAWASAN
15
15. Dengan menggunakan kelima aspek ini agar dapat
meningkatkan proses perencanaan yang tanggap pada
kebutuhan, MPA menggunakan metode partisipatif,
yang terdiri dari:
Informasi akan berguna untuk membuat dasar
karakteristik sosial dan sarana pelayanan di masyarakat
menurut pandangan seluruh komponen masyarakat
dalam pleno desa. Masyarakat dapat mencocokkan
kebutuhannya dengan pilihan teknis, kemampuan dan
kemauan untuk membayar di antara kelompok yang
berbeda serta menilai tingkat kebutuhannya sendiri.
MPAtidak hanya dapat digunakan oleh masyarakat tapi
juga bagi semua komponen yang terkait seperti
pengelola layanan masyarakat, pelaksana proyek,
manajer proyek, dan pengambil keputusan.
Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sejak
tahun 1980 telah banyak dibangun sarana air bersih dan
sanitasi. Pembangunan sarana-sarana tersebut
dilaksanakan melalu berbagai proyek yang dibiayai
baik dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara,
negara donor, lembaga donor diantaranya bank dunia.
Kenyataan di lapangan memperlihatkan sarana yang
dibangun tidak bertahan lama. Atau sering dikatakan
menjadi monumen. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Berdasarkan berbagai studi yang dilakukan oleh Wa-
ter Sanitation Program (WSP), kegagalan atau ketidak
kesinambungan proyek itu terjadi akibat ketiadaan rasa
memiliki masyarakat. Kondisi ini menjadikan Indone-
sia sebagai lokasi yang sesuai bagi pemanfaatan
metode MPA.
Bagi Indonesia, metode ini bisa dikatakan baru.
Karenanya berbagai kendala muncul di lapangan.
Berdasarkan pengalaman, justru yang agak sulit
menerima metode ini adalah para pengambil keputusan
dan pengelola proyek. Mengapa? Selama ini mereka
terbiasa mengambil kebijaksanaan yang top down dan
bersifat instruksional sehingga sulit untuk menerima
aspirasi masyarakat. Mereka juga jarang turun langsung
ke tengah-tengah masyarakat. Banyak di antaranya
berpandangan bahwa masyarakat itu tak dapat berdaya
dengan sendirinya.
16
Kegiatan Metode
Inventarisasi karakteristik desa Diskusi terbuka
Klasifikasi sosial Klasifikasi kesejahteraan
Pemetaan sosial Diskusi dan menggambar
Penilaian penggunan sarana Kantung suara
Penilaian pengambilan keputusan Matriks voting
Penentuan sampel untuk transect walk dan pertemuan kelompok diskusi terfokus (FGD) menggunakan pemetaan
sosial
Penilaian pengelolaan, pemeliharaan dan pengelolaan keuangan Diskusi dengan anggota badan
pelayanan pengelola (baik laki-laki dan
Penilaian sejarah pembangunan pelayanan perempuan)
Penilaian divisi pembagian beban kerja dan manfaat
Review pekerjaan sistem pelayanan Transect walks, dilengkapi dengan
Skala pemeringkatan oleh para pengguna penilaian rating scale dan checklist untuk
Penilaian terhadap non-pengguna sarana air bersih dan sanitasi
Penilaian kepuasan pengguna terhadap permintaan Ladders, Card sorting
Divisi beban kerja dan manfaat Pemilihan kartu (card sorting)
Pleno hasil keseluruhan kegiatan oleh masyarakat Presentasi skor-skor dan diskusi
terbuka
Inventarisasi kelembagaan yang mempengaruhi pelayanan Diskusi terbuka, pen-skor-an, kantung
suara
16. Tak Sinambung: Pembangunan yang dipaksakan tidak akan berkesinambungan. Gambar di atas menunjukkan
betapa masyarakat tak peduli dengan bangunan fisik yang rusak padahal bangunan tersebut memiliki peran penting
bagi kelangsungan hidup mereka.
17
Dari sisi pelaksanaan MPA, sebenarnya tak ada
kendala yang berarti. Hanya saja MPA akan lebih
mudah diterapkan oleh fasilitator yang masih mau
belajar. MPAsulit diaplikasikan oleh fasilitator yang pola
pikirnya telah terbentuk dan cenderung lebih suka
mengajar daripada belajar. Pemberdayaan dengan
menggunakan MPA itu dimungkinkan dengan
kelompok masyarakat manapun. Apakah kelompok
miskin, kaya, berpendidikan, bahkan buta huruf
sekalipun. Metode itu bisa diterapkan dengan cara-cara
yang gampang dimengerti oleh masyararakat. Dengan
kata lain MPA dapat disesuaikan dengan kondisi.
Sebuah contoh, di Laos, penerapan metode ini
menemui kesulitan untuk mengklasifikasikan berapa
penduduk kaya dan miskin. Karena di sana pembedaan
seperti itu tidak diperbolehkan. Dengan bahasa
masyarakat setempat ternyata pembedaan itu bisa
terwujud. Disebutkan masyarakat terdidik yang dicirikan
misalnya dengan penggunaan perhiasan yang banyak,
punya jabatan sehingga punya penghasilan tetap dan
ada masyarakat tidak mengenyam pendidikan karena
mereka buruh tani dan tidak punya penghasilan tetap.
Bagi masyarakat, yang penting mereka mengerti/
memahami dan mampu mengungkapkan. Dengan
simbol/gambar pun tak jadi soal, asalkan mereka bisa
menyampaikan suaranya dan menentukan pilihan tanpa
paksaan. Melihat keberhasilan penerapan MPA ini
secara nyata, bukan teori, banyak permintaan datang
dari sektor dan proyek-proyek lain. Negara lain pun
seperti Laos, Cambodia juga Vietnam telah
mengadopsi metode ini. Metode ini telah memberikan
dampak terhadap perkembangan kebijakan pemerintah
setempat termasuk juga terhadap lembaga lain yang
bergerak di luar sektor air bersih dan sanitasi.
Tentang kemungkinan penerapan metode ini bagi
sektor lain, tidak ada masalah. Metode bisa sama.
Hanya saja perlu penyesuaian indikator. (Disarikan dari
wawancara dengan Ratna I. Josodipoero, Hygiene Edu-
cation Specialist, WSP.)
17. Awal Oktober 2003 kami menerima undangan
pertemuan dari WSP-EAP World Bank dengan
agenda membahas Program Handwashing. Banyak
pertanyaan berseliweran di benak kami. Tentu saja kita
semua tahu Mencuci Tangan sudah menjadi bagian dari
tradisi umat beradab. Tetapi adakah hal yang demikian
penting sehingga Mencuci Tangan perlu dibahas dalam
sebuah pertemuan yang dihadiri oleh wakil dari Bank
Dunia Jakarta, USAID,
UNICEF, John Hopkins
University, Universitas
Indonesia, Koalisi Untuk
Indonesia Sehat, Bappenas,
dan Departemen Kesehatan?
Apalagi salah satu agenda
pertemuan ini adalah
menjadikan Indonesia
sebagai negara kelima di
dunia yang akan terlibat
dalam Global Initiative for
Handwashing yang dilahirkan
oleh Bank Dunia pada tahun
2000. Artikel berikut tidak
akan berusaha menjelaskan
yang terjadi dalam pertemuan
tersebut, tetapi lebih
mengantar kita untuk
memahami lebih jauh tentang
Mencuci Tangan.
Kilas Balik
Sejarah Mencuci Tangan sebenarnya dimulai pada
abad 19 ketika banyak wanita di Eropa dan Amerika
meninggal setelah melahirkan. Jumlah yang meninggal
mencapai sekitar 25 persen dari jumlah wanita yang
melahirkan. Penyebabnya adalah Streptococcus
pyogenes bacteria. Kemudian di awal tahun 1843 Dr
Oliver Wendell Holmes menganjurkan mencuci tangan
sebagai langkah pencegahannya. Ia mempercayai
bahwa kasus tersebut dipicu oleh perilaku dokter
sendiri.
Adalah Dr Ignaz Semmelweis pada tahun 1850
yang mengamati bahwa tingkat kematian wanita yang
melahirkan tiga kali lebih banyak terjadi pada kasus
yang ditangani dokter dibanding yang ditangani oleh
tenaga non-medis. Hasil pengamatannya kemudian
menunjukkan bahwa para dokter tidak mencuci tangan
dahulu sebelum membantu ibu
melahirkan. Padahal para dokter
tersebut baru saja menangani
pasien lain atau bahkan baru saja
mengotopsi mayat.
Ia menganjurkan untuk
mencuci tangan terlebih dahulu
sebelum para dokter melakukan
tindakan. Hasilnya tingkat
kematian menurun tajam.
Ironisnya, tanpa mempertim-
bangkan fakta tersebut, Dr
Semmelweiss dikucilkan oleh
koleganya sendiri. Mungkin saja
mencuci tangan masih hal yang
aneh pada saat itu. Ketersediaan
air bersih yang relatif masih sulit,
serta dibutuhkan upaya besar
untuk memanaskannya, serta air
masih dikaitkan dengan penyakit
malaria dan demam tifoid yang
ditengarai menjadi penjelasan
bagi penolakan dari para dokter.
Tentunya kelihatan janggal untuk ukuran kita sekarang
bahwa kaum medis justru menolak mencuci tangan.
Penolakan terus berlanjut bahkan dalam seminar di
Academy of Medicine di Paris pada tahun 1879
penyebaran penyakit melalui tangan masih diragukan.
Adalah Louis Pasteur sendiri dalam seminar tersebut
yang berteriak lantang mengatakan bahwa “Kalian para
dokterlah yang membunuh para wanita yang habis
Mencuci Tangan
(Handwashing)
18
18. melahirkan tersebut dengan membawa mikroba
mematikan dari pasien yang sakit ke wanita yang
melahirkan.’’
Kisah di atas memberi gambaran perjalanan awal
kesadaran mencuci tangan sebagai suatu langkah
pencegahan penyebaran penyakit. Dibutuhkan waktu
dan usaha yang tidak sedikit sebelum sampai pada
tahap mencuci tangan menjadi bagian dari kebudayaan
manusia beradab dan tidak sekadar bagian dari rutinitas
para dokter. Mencuci tangan sekarang sudah menjadi
materi pelajaran di hampir semua sekolah, bahkan
fasilitas mencuci tangan sudah menjadi bagian dari
fasilitas publik.
Seberapa Pentingkah Mencuci Tangan?
Mari kita melihat pada angka yang dapat kita temui
pada beberapa hasil penelitian. Pada tahun 1996,
dengan tidak mencuci tangan secara baik ternyata
menjadi penyumbang 40 persen dari penyakit yang
disebabkan makanan yang terkontaminasi termasuk
salmonella di Amerika Serikat. Angka ini merujuk pada
jumlah 80 juta orang yang mengalami keracunan
makanan yang berdampak pada peningkatan biaya
kesehatan, berkurangnya produktifitas, dan jumlah yang
meninggal mencapai 10.000 jiwa.
Lebih dari 2 juta anak-anak meninggal di negara
berkembang setiap tahun diakibatkan oleh diare. Setiap
menit terdapat 15 orang terkena diare atau 300 kasus
per seribu penduduk. Menurut Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan, diare menjadi
penyebab kematian kedua pada Balita di Indonesia.
Sementara tinjauan terbaru dalam The Lancet Infectious
Diseases Journalmenyarankanbahwa42-47persendari
seluruh insiden diare dapat dicegah hanya dengan
mencuci tangan. Hasil penelitian di Pakistan
menunjukkan mencuci tangan mengurangi insiden diare
sampai sekitar 44 persen. Studi oleh Khan (1982)
membuktikan bahwa mencuci tangan merupakan cara
efektif mencegah diare. Studi lainnya oleh Alam (1989)
dan Clemens (1987) membuktikan bahwa ibu yang
mencuci tangan merupakan faktor yang berperan
penting untuk menekan tingkat kejadian diare pada
anak. Hal ini membuat program penyediaan air bersih
dan perbaikan sanitasi akan lebih efektif jika dilengkapi
dengan program mencuci tangan.
Penelitian lain lagi menunjukkan bahwa mencuci
tangan bisa mengurangi penularan penyakit infeksi
hingga 50 persen. Sumber lain menyatakan dapat
mengurangi bahkan sampai 65 persen. Selain itu,
mencuci tangan secara teratur dapat mengurangi
penyebaran bakteri yang tahan terhadap antibiotik.
Beberapa fakta di atas menunjukkan pentingnya
mencuci tangan sebagai alat pencegahan penularan
beragam penyakit. Jadi, cuci tanganlah!
Benarkah Mencuci Tangan sudah Membudaya?
Sebuah studi oleh Applied Ecology Research Group
University of Wesminster Inggris menyatakan bahwa
hanya 32 persen (dari 292 pengguna toilet yang
dipantau) yang mencuci tangan setelah menggunakan
toilet.
Sementara hasil pengamatan di 5 (lima) kota
metropolitan Amerika Serikat yang dilakukan oleh the
American Society of Microbiology’s Clean Hands
Campaign menunjukkan bahwa walaupun 95 persen
orang yang dijadikan sampel menyatakan bahwa
mereka mencuci tangan setelah menggunakan toilet
umum, tetapi berdasarkan pemantauan ditemukan
bahwa hanya 67 persen yang benar-benar mencuci
tangan.
Bagaimana di Indonesia? Sebuah lembaga di
Indonesia melakukan pengamatan di salah satu toilet
Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) di bulan Juni
2003 terhadap 33 laki-laki pengguna toilet. Ternyata
hanya 8 (delapan) orang yang mencuci tangan setelah
menggunakan toilet. Walaupun data ini tidak dapat
dikatakan mewakili kondisi Indonesia tetapi ternyata
pada toilet yang nota bene berada di Jakarta pun
mencuci tangan masih belum banyak yang
melakukannya.
Apakah mereka tidak mengetahui pentingnya
mencuci tangan? Berdasarkan penelitian di Inggris,
sepertinya mereka menyadari pentingnya mencuci
tangan tetapi mereka mengemukakan beberapa alasan
lain seperti toilet yang mereka gunakan kelihatan bersih,
mereka tidak menyentuh apapun selain milik sendiri,
atau tangannya masih kelihatan bersih—kendati bersih
bukan berarti tidak ada kumannya.
19
19. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa walaupun
mencuci tangan disepakati sebagai tindakan yang perlu
tetapi dalam prakteknya masih jarang dilakukan. Bahkan
di negara yang kita anggap sebagai sebuah negara
maju seperti Inggris sekalipun.
Mencuci Tangan Dapat Mencegah Penyebaran
Penyakit
Bakteri dan virus dapat menyebar melalui beragam cara
antara lain melalui air dan makanan yang tercemar; riak
batuk atau bersin; tangan kotor; permukaan (tanah, meja
dan lainnya) yang tercemar; cairan penderita. Jika kita
dengan secara tidak sengaja menyentuh bakteri atau
virus melalui sumber di atas maka jutaan mikroba akan
berada di tangan kita masing-masing. Sebagian besar
tidak berbahaya, tetapi beberapa jenis mikroba dapat
menyebabkan flu, dan diare. Hanya
dengan menyentuh hidung, mata atau
mulut, maka kita akan segera terinfeksi.
Mencuci tangan merupakan langkah
pertama melawan penyebaran
beragam jenis penyakit mulai dari flu,
meningitis, hepatitis A, dan diare.
Langkah sederhana mencuci tangan
ternyata ampuh mencegah penyebaran
penyakit.
Terlepas dari beragamnya penyakit
yang dapat dicegah dengan hanya
mencuci tangan. Tetapi yang menjadi
sektor perhatian bagi sektor air minum
dan penyehatan lingkungan adalah
menyangkut penyakit bawaan air
seperti diare.
Kapan harus mencuci tangan?
Tidak dapat ditentukan seberapa
sering seharusnya sehari kita mencuci
tangan tapi paling tidak kita harus
mencuci tangan ketika:
· Sebelum makan dan memasak
· Setelah dari kamar mandi
· Setelah membersihkan rumah
· Setelah menyentuh binatang
· Setelah menjenguk teman yang
sakit
· Setelah membersihkan hidung,
batuk, atau bersin
· Setelah aktifitas di luar rumah seperti bermain, ber-
kebun, berolahraga dan seba-gainya.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan tidak lebih
dari 2 menit.
Cara Benar Mencuci Tangan
Terdapat tiga tahapan sederhana mencuci tangan
yang benar yaitu (a) cuci tangan melalui kran, pancuran
atau gayung pembilas. Sebaiknya mempergunakan air
hangat; (b) gunakan sabun (tidak perlu yang anti bakteri)
selama 10 sampai 15 detik. Pastikan bagian
tersembunyi seperti sela-sela jari dan lipatan buku jari
ikut tersabuni; (c) keringkan dengan handuk atau tissu
bersih.
20
20. Sebagai daerah tujuan utama wisata dunia,
Pulau Bali terkenal akan keindahan alam
dan kebudayaannya. Namun demikian, di balik
keindahan yang disajikan, Kota Denpasar
sebagai ibukota Provinsi Bali bernasib “naas”
yang hampir sama dengan yang dialami kota-
kota besar lainnya di
Pulau Jawa. Pesatnya
p e m b a n g u n a n ,
pertumbuhan ekonomi
dan penduduk yang
tinggi menyebabkan
sebagian wajah Kota
Denpasar carut marut,
terlihat semakin padat
dan kumuh.
Berapa lokasi ke-
kumuhan dapat dilihat
secara nyata antara
lain di Banjar Sari dan
Banjar Batur di Ke-
lurahan Ubung, Keca-
matan Denpasar Ba-
rat. Bahkan menurut
keterangan Dinas
Lingkungan Hidup dan Pekerjaan Umum, Gang
Jempiring yang terletak di wilayah Banjar Sari
menempati urutan pertama kampung kumuh di
Kota Denpasar. Banjar Sari yang terletak di
belakang Terminal Ubung, terminal antar kota/
propinsi terbesar di Bali merupakan daerah
transit. Hal inilah yang menyebabkan Ubung
khususnya Gang Jempiring berkembang
menjadi pemukiman padat yang dihuni oleh
berbagai etnis dan daerah.
I Made Yasa, Kepala Lingkungan Banjar
Sari, mengatakan kebanyakan masyarakat
yang tinggal di Ubung berasal dari Jawa Timur,
Lombok, dan daerah Bali sekitarnya.
Sedangkan para pemilik tanah di Gang
Jempiring, rata-rata mengontrakkan rumah atau
tanah mereka untuk tempat tinggal. “Namun
sayang, tidak banyak pemilik tanah yang
membangun fasilitas sanitasi yang layak bagi
penghuninya,” ujar
Yasa yang juga
bekerja di Kantor
Kelurahan Ubung ini.
Made Yasa men-
catat populasi yang
menghuni Gang
Jempiring sekitar
300 Kepala Ke-
luarga. Mereka rata-
rata hidup sebagai
pedagang kaki lima,
buruh bangunan, dan
pekerjaan sektor
informal lainnya.
Rendahnya kesada-
ran masyarakat dan
tidak tersedianya
fasilitas sanitasi yang
memadai menyebabkan Banjar Sari
berkembang menjadi salah satu kawasan padat
perkotaan (kampung kumuh) dengan
permasalahan sanitasi terutama akibat
buangan tinja manusia.
Sebenarnya pemerintah sempat menaruh
perhatian atas kondisi fasilitas sanitasi yang
minim di Gang Jempiring. Yasa mengakui
masyarakat di sekitar Gang Jempiring pernah
mendapatkan bantuan dari pemerintah Orde
Baru. Tepatnya pada tahun 1980. Saat itu
pemerintah membangun 4 unit MCK.
MCK Jempiring
Bukan MCK Moerdiono
CERMIN
21
Kumuh: Gang Jempiring terlihat kumuh sebelum ada
pembangunan MCK.
21. “Masyarakat Banjar Sari mengenalnya dengan
sebutan ‘MCK Moerdiono’,” terang Yasa.
Hanya saja fasilitas sanitasi tersebut kini
kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
‘’MCK Moerdiono hanya sempat bertahan
selama 4 tahun,” kata I Wayan Gandra salah
satu pemilik MCK sumbangan tersebut. Gandra
mengakui bahwa selama ini MCK miliknya tidak
pernah terawat. Sejak tanki septik MCK penuh
dan tidak bisa disedot, Gandra kesulitan untuk
mengatasinya, sehingga ia membuang begitu
saja kotoran MCK langsung ke saluran
drainase. Selain itu, menurut salah satu pemilik
sekitar 20 (dua puluh) rumah kos ini, air PAM
yang menyalurkan air bersih untuk MCK jarang
kalau tidak mau disebut tidak pernah mengalir.
Kesadaran masyarakat pun disinyalir sebagai
penyebab cepatnya kerusakan MCK-MCK
tersebut. Made Yasa yang juga pemilik salah
satu MCK Moerdiono menceritakan
pengalamannya menemukan pembalut wanita
“terkubur”danmenyumbatsaluranpembuangan
dari kloset. “Kami terpaksa memotong pipa
saluran air kotor agar tidak menyumbat kloset,”
papar Yasa.
Permasalahan yang berkaitan dengan
sanitasi di atas terungkap pada waktu
pertemuan sosialisasi program Community
Based Sanitation yang diselenggarakan oleh
Bali Fokus bersama BORDA pada
bulan Juli tahun 2002 yang lalu. Dari
proses identifikasi, perumusan
masalah sampai dengan
rekomendasi solusi yang pernah
dilakukan oleh Bali Fokus, BORDA
dan bersama-sama masyarakat
Banjar Sari selama kurun waktu
bulan Agustus sampai dengan
Desember 2002 terungkap bahwa
keberadaan MCK-MCK Moerdiono
sudah sangat memprihatinkan,
seperti kamar mandi dan WC-nya
kotor, dan bau tak sedap. Lebih
parah lagi, hampir semua MCK itu
tanki septiknya jebol sehingga
kotoran (tinja) langsung dibuang ke
saluran drainase terdekat.
Beberapa hal lain yang
terungkap dalam perumusan masalah sanitasi
di Gang Jempiring, Banjar Sari ialah bahwa
tingkat kesadaran masyarakat untuk turut
merawat dan menjaga kebersihan fasilitas
umum sangat rendah. Penyebabnya rasa
memiliki fasilitas umum ini sangat rendah.
Bali Fokus sebagai organisasi swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang
lingkungan hidup dan pengembangan
masyarakat bekerja sama dengan BORDA
(Bremen Overseas Research Development
Association) sebuah lembaga non-profit yang
berpusat di Bremen, Jerman, menggagas
sebuah proyek demonstrasi. Proyek
demonstrasi ini ditawarkan kepada masyarakat
Gang Jempiring sebagai salah satu solusi dari
permasalahan sanitasi yang mereka alami.
Sebuah proyek yang sarat dengan inovasi dan
juga teknologi tepat guna yang diyakini dapat
menjaga kondisi MCK Jempiring hingga
bertahan lama dan berkelanjutan.
Proyek ini dikatakan inovatif karena MCK
Jempiring lahir dari kebutuhan dan partisipasi
masyarakat. Proses pendekatan nonteknis/
partisipatif dimulai sejak Juli-Agustus tahun
2002 yang lalu sampai dengan operasional
MCK Jempiring yang diresmikan pada hari
Rabu tanggal 6 Agustus 2003. Dalam proses
22
Pertemuan: Masyarakat Gang Jempiring berkumpul untuk
membicarakan apa yang terbaik bagi tempat tinggalnya.
22. pendekatan partisipatif ini, masyarakat diajak
mengidentifikasi permasalahan yang ada dan
menentukan solusi yang dapat mereka lakukan
bersama. Masyarakat kemudian merumuskan
beberapa alternatif solusi permasalahan
sanitasi di lingkungan mereka. Melalui
beberapa kali pertemuan intensif, akhirnya pada
akhir Bulan Januari 2003 yang lalu masyarakat
Banjar Sari se-pakat untuk membangun MCK
baru di Gang Jempi-ring.
Jadi proyek ini bukan lahir dari sebuah ruang
kosong, seperti yang biasa terjadi di masa lalu.
Bu-kanlah model pendekatan top down alaMCK
Moerdiono yang membuat MCK Jempiring
dapat berdiri di Banjar Sari. Karena hampir
seluruh keputusan
yang berkaitan dengan
p e n y e l e s a i a n
permasalahan sanitasi
selalu dikonsultasikan
dan dikoordinasikan
dengan masyakarat.
“Kami sering melaku-
kanpertemuandengan
masyarakat Banjar
Sari, khususnya warga
di Gang Jempiring,”
ujar MadeYudiArsana,
salah seorang pro-
gram officer Bali
Fokus. “Ada sekitar 10
kali pertemuan dengan
masyarakat sebelum
muncul solusi pem-
bangunan MCK Jempiring,” tambah pria lulusan
InstitutTeknologi Sepuluh November, Surabaya
ini.
Bahkan menurutYudi, sebelumnya muncul 4
alternatif, yaitu :
1. Membuat MCK di Balai Banjar Sari (tepat
di balai Banjar Sari)
2. Membuat MCK umum baru di Gang
Jempiring.
3. Memilih sistem pemipaan bersama
(komunal)
4. Renovasi MCK yang sudah ada
Setelah melalui beberapa kali pertemuan,
pada tanggal 31 Januari 2003 yang lalu ditan-
datangani nota kesepakatan antara warga
Banjar Sari dan Bali Fokus yang pada intinya
terdiri atas tiga hal. Pertama, warga Gang
Jempiring, Banjar Sari membutuhkan fasilitas
sani-tasi. Kedua, warga di sekitar Gang
Jempiring bersedia untuk berkontribusi dalam
pera-watan dan pe-meliharaan MCK dan
terakhir, warga mendukung dibangunnya MCK
baru bersedia untuk memelihara dan turut
menjaga kebersihan MCK itu.
Kemudian berdasarkan peta permasalahan
sanitasi di Gang Jempiring yang disusun oleh
masyarakat, terdapat 3 calon lahan yang
potensial untuk
dibangun MCK.
Setelah satu bulan
survei teknis yang
lebih detail maka
diperoleh kesepa-
katan lahan milik I
Ketut Nasib yang
akan dibangun
MCK baru. Kedua
lokasi lainnya tidak
memenuhi syarat
karena selain terlalu
dekat dengan MCK
yang lama juga ada
pemilik lahan yang
tidak setuju lahan-
nya dibangun MCK.
Pembangunan
MCK Jempiring melalui pendekatan berbasis
masyarakat hanyalah salah satu keunggulan
MCK ini. Karena selain itu, MCK Jempiring
yang diresmikan oleh Walikota Denpasar pada
hari Rabu tanggal 6 Agustus 2003 ini, juga
dilengkapi dengan teknologi pengolahan
limbah tepat guna (appropriate technology)
yang dapat menghasilkan gas methan dan air
buangan yang sesuai dengan baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah. Gas methan yang
dihasilkan oleh bangunan pengolah limbah Bio-
digester yang berada tepat di bawah MCK ini
Gotong Royong: Warga Gang Jempiring memberikan
kontribusi tenaga bagi pembangunan MCK.
23
23. dapat mencukupi kebutuhan memasak tiga
keluarga.
Selain itu MCK Jempiring juga memperkerjakan
dua orang petugas penjaga kebersihan MCK
selama 16 jam sehari. Kedua penjaga yang
sekaligus merawat dan menjaga kebersihan
MCK Jempiring ini dibagi atas dua giliran.
Giliran pagi dan malam. Petugas pagi mulai
bertugas dari jam 5 subuh sampai dengan jam
1 siang. Sedangkan yang bertugas malam,
mulai dari jam 1 siang hingga tutup pada malam
hari jam 9.
Lalu bagaimana dengan air limbah MCK
Jempiring ini? Adalah BORDA Indonesia yang
telah berpengalaman selama 20 tahun dalam
bidang pengolahan limbah cair yang
memberikan dukungan teknis perencanaan
IPALatau Instalasi PengolahanAir Limbah yang
dibangun di bawah struktur MCK Jempiring.
Melalui teknologi yang dikenal dengan
sebutan DEWATS (Decentralized Waste Water
Treatment System), air limbah buangan dari
MCK Jempiring diolah. “Kami memberikan
garansi instalasi pengolahan limbah ini dapat
berjalandenganbaik,”kataYuyunIlham,direktur
Bali Fokus. Dan seperti yang dikatakan oleh
warga Gang Jempiring, “MCK Jempiring
memang bukan sekedar MCK.” Disarikan dari
MCK Jempiring, Selayang Pandang, Bali
Fokus, Denpasar
MCK BARU: Warga
Jempiring akhirnya
mampumembangun
MCK baru dan
sekaligusmenjaga
keberadaan MCK
tersebutdengansistem
pengelolaan yang
baik. Berbeda dengan
MCK pada umunya,
MCKJempiringdihiasi
lukisansehingga
menghilangkankesan
kumuh dan jorok.
24
24. Pada bulan September dan Oktober 2003,
Pokja AMPL berkesempatan untuk meninjau
lokasi proyek WSLIC-2 di Kabupaten Bima
(NTB) dan Kabupaten Ponorogo (Jatim).
Berikut laporannya:
Air Telah Mengalir Namun Warga Totokan Belum
Menetapkan Besaran Iuran
Pada 7 Oktober lalu, dilakukan penyerahan sarana
air bersih dan sanitasi yang dibangun oleh Proyek WSLIC 2
ke Kepala Desa Totokan di Kabupaten Ponorogo. Acara ini
dihadiri oleh Bupati Ponorogo beserta segenap jajaran
Pemda Kabupaten Ponorogo, DPRD Kabupaten Ponorogo,
Ibu Pengurus PKK; Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi
(Depkes), Direktur Permukiman dan Perumahan
(Bappenas), Tim Koordinasi Pusat, CPMU dan DPMU
Kabupaten Ponorogo. Acara ini diselenggarakan oleh ke-7
desa lokasi WSLIC2 yang telah menyelesaikan kegiatan
konstruksi sebagai wujud syukur mereka atas tersedianya
air bersih bagi masyarakat.
Penyerahan aset kepada masing-masing kepala desa
dimaksudkan untuk meningkatkan rasa memiliki (sense of
belonging) masyarakat terhadap prasarana dan sarana,
khususnya air bersih dan sanitasi, sehingga keberlanjutan
pelayanan dapat dicapai.
Desa Totokan, di Kabupaten Ponorogo, merupakan
satu dari tujuh desa di kabupaten tersebut yang
memperoleh proyek WSLIC-2. Selama ini warga desa
tersebut, mendapatkan air dari saluran irigasi untuk mengisi
sumur-sumur mereka. Pengaliran tersebut dilakukan
bergilir setiap bulan sekali.
Ada 2 sistem pengadaan air bersih untuk masyarakat Desa
Totokan. Yang pertama adalah, perpipaan dengan sumber
air berasal dari sumur dalam. Sumber air berada 130 meter
di bawah permukaan tanah. Untuk mempompa air
diperlukan tiga buah pompa. Air yang ditarik dari sumur
dalam ditampung terlebih dahulu di sebuah reservoir besar
untuk kemudian ditarik kembali oleh dua unit pompa yang
terletak berjauhan. Kedua, pembangunan sumur gali
sebanyak 9 unit. Rata-rata kedalaman sumur gali adalah
50-60 meter. Pekerjaan konstruksi kedua sistem ini
dilakukan bersama-sama oleh masyarakat.
Sedangkan penggalian sumur dilakukan oleh
masyarakat sendiri. Untuk mengatasi kekurangan oksigen
di dalam lubang sumur, masyarakat membuat saluran dari
plastik yang digunakan untuk mengalirkan udara yang
berasal dari kipas angin dari atas sumur. Dikarenakan Desa
Totokan ini banyak mengandung bebatuan maka tidak
jarang dalam menggali sumur sedalam 50 meter
didapatkan batu (cadas) sebanyak 3-4 truk.
Hanya saja, sistem iuran dari masyarakat belum dapat
diterapkan padahal masyarakat sudah menikmati air bersih.
Diharapkan kelompok/unit pengelola bersama masyarakat
dapat sesegera mungkin menentukan sistem pengelolaan,
termasuk iuran.
Yang pasti, salah satu pengaruh dari adanya air bersih
adalah meningkatnya produksi bata yang diproduksi oleh
masyarakat setempat. Dulunya air untuk mengaduk bata
sulit didapatkan. (ML)
Perpecahan Masih Rentan
Warga Desa Tanah Putih, Kecamatan Sape,
Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, mengambil air dari
sungai. Letaknya tidak jauh dari rumah-rumah mereka,
namun agak sulit dijangkau karena konturnya yang terjal.
Hanya sebagian kecil warga yang memperoleh air dari
sistem perpipaan tetapi dengan debit air yang sangat kecil.
Sekitar 5,4 km dari desa itu terdapat dua sumber air
tapi dengan tingkat kesulitan tinggi untuk mencapainya.
Salah satu sumber air telah digunakan oleh desa
tetangganya dengan seizing penduduk desa tanpa
kompensasi. Proyek WSLIC-2 berupa penyambungan pipa
dari sumber air dan pemasangan public tap pada lima lokasi
termasuk satu unit sekolah dasar.
Namun terpilihnya kepala desa yang baru ternyata
memicu perpecahan warga desa tersebut. Tim Kerja
Masyarakat (TKM) akhirnya terpecah menjadi dua. Kondisi
ini ditengarai akan berdampak pada keberlangsungan
fasilitas yang telah dibangun. Belum lagi pembangunan
konstruksinya dilakukan dengan penekanan biaya yang
besar sehingga daya tahan bangunan.
Dari kondisi ini, ada pembelajaran yang dapat diambil
yakni partisipasi masyarakat desa sangat berperan dalam
menekan biaya konstruksi khususnya pada lokasi yang sulit.
Namun pada kondisi tertentu, penekanan biaya dilakukan
dengan mengorbankan kualitas pekerjaan.
Terdapat pemahaman yang berlaku umum selama ini
bahwa masyarakat desa homogen dan tidak mudah
terpecah. Tetapi pada kenyataannya masyarakat desa juga
rentan terhadap perpecahan.(OM)
Pada bulan September 2003, Pokja AMPL bersama dengan
Bank Dunia melakukan peninjauan lapangan ke beberapa
lokasi proyek SANIMAS. Berikut laporannya:
Perlu Sosialisasi dan Kampanye
Sebelum ada proyek SANIMAS, warga Kelurahan
Bakalan, Kota Pasuruan biasa buang air di sungai. Dengan
adanya SANIMAS, masyarakat diinformasikan mengenai
pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga
Pembelajaran
Lokal
25
25. hampir seluruh kelompok masyarakat mengubah perilaku
mereka dengan membangun sarana sanitasi di rumah
mereka dan sambungan ke instalasi pengolahan limbah
komunal.
Sayangnya, rumah sakit yang berada di lokasi tersebut
tidak mau menyalurkan limbah domestiknya ke instalasi
pengolahan limbah. Hal ini perlu dikonfirmasikan dengan
Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan agar tidak menjadi
pertanyaan oleh masyarakat, mengapa dinas kesehatan
tidak mendukung proyek ini.
Saat ini konstruksi baru dimulai, yaitu penggalian tanah.
Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat secara bergotong
royong. Kontribusi masyarakat sebesar Rp13.618.500;
Pemda Rp174.639.841; SANIMAS Rp 49.985.038;
sehingga total dana mencapai Rp 238.243.379.
Proyek serupa sedang dibangun di Kelurahan
Sukorejo, Kabupaten Blitar. Kegiatan konstruksi belum
dimulai. Saat ini masyarakat baru membuat talud penahan
bangunan karena instalasi pengolahan berada di sebelah
sungai. Sarana sanitasi (jamban) nantinya akan dibangun
di setiap rumah karena saat ini masyarakat telah memiliki
kamar mandi tanpa jamban. Kontribusi masyarakat sebesar
Rp 12.155.000, SANIMAS Rp 49.975.141, dan Pemda
Rp 174.436.799. Total Rp 236.007.122.
Sedangkan di Kelurahan Balowerti, Kota Kediri,
pelaksanaan konstruksi instalasi pengolahan air limbah
terkendala dana karena dana hanya berasal dari masyarakat
sebesar Rp 7.321.113. Sedangkan kontribusi Pemda Rp
151.976.801 dan SANIMAS Rp 49.892.355 belum diterima
oleh masyarakat. Berdasarkan informasi, dana bagi proyek
ini telah tercantum dalam Perubahan Anggaran Keuangan
(PAK).
Beberapa pembelajaran dari proyek SANIMAS di tiga
desa tersebut:
1. Kesadaran masyarakat akan pentingnya perilaku
hidup bersih dan sehat, khususnya yang terkait dengan
pemakaian jamban dan pengolahan air buangannya
(tinja), dapat ditumbuhkan melalui proses sosialisasi
dan kampanye. Sehubungan dengan hal tersebut
maka diperlukan media sehingga mempermudah
proses pemberian informasi kepada masyarakat.
2. Bila masyarakat, termasuk pemerintah daerah, telah
memahami pentingnya penyehatan lingkungan, maka
willingness to pay dapat ditumbuhkan. Hal ini tercermin
dari kontribusi yang diberikan, baik berupa uang (in-
cash) ataupun barang dan tenaga (in-kind).
3. Dengan menginformasikan pilihan mengenai jenis
teknologi, kelembagaan dan jenis pembiayaan kepada
masyarakat, partisipasi masyarakat dapat lebih efektif.
4. Detail desain dari jaringan perpipaan ataupun instalasi
pengolahan limbah harus dilakukan sebaik mungkin
untuk menghindari permasalahan yang mungkin timbul
akibat kesalahan desain, misalnya air buangan tidak
dapat mengalir karena kurangnya kemiringan pipa dari
rumah penduduk ke instalasi pengolahan ataupun
munculnya bau dari instalasi pengolahan.
5. Masyarakat perlu diberikan informasi dan penjelasan
mengenai pelaksanaan kegiatan operasi dan
pemeliharaan agar pelayanan sanitasi tersebut dapat
berjalan secara efektif dan berkelanjutan. Misalnya,
pembersihan jamban secara periodik, tidak
diperbolehkan membuang sampah apapun ke
jaringan air buangan, tidak diperbolehkan
memasukkan cairan pembersih ke saluran air buangan
agar tidak mengganggu proses pertumbuhan
mikroorganisme di instalasi.
6. Pelaksanaan pembangunan, khususnya sanitasi
berbasis masyarakat, tidak hanya memerlukan
partisipasi masyarakat, tetapi juga dukungan dari
semua pihak, seperti penyandang dana, pemerintah
daerah, DPRD setempat ataupun NGO. (Savitri)
Penolakan Masyarakat
Proyek SANIMAS belum selamanya dipahami oleh
pihak-pihak terkait. Berdasarkan peninjauan ke Denpasar
(Bali), Sidoarjo, dan Pamekasan (Jawa Timur), diperoleh
data bahwa ketersediaan lahan menjadi salah satu faktor
penentu dalam menentukan keberhasilan proyek. Di tiga
tempat di wilayah tersebut, lokasi sulit didapatkan sehingga
harus dipindahkan. Di Pamekasan lokasi belum disepakati
dan ada kemungkinan proyek dihentikan.
Selain itu pengertian kesepakatan masyarakat
diterjemahkan sebagai kesepakatan mutlak, sehingga jika
satu kepala keluarga saja yang tidak setuju maka dianggap
tidak terjadi kesepakatan. Ini yang terjadi dalam
pemindahan lokasi.
Hal yang menarik adalah bahwa penolakan
masyarakat hampir seluruhnya dimotori oleh pihak-pihak
yang seharusnya mendukung. Di Denpasar pihak yang
menolak adalah pegawai Dinas Kesehatan. Di Pamekasan
dimotori oleh Puskesmas Pembantu.
Dari kondisi ini diperoleh pembelajaran bahwa perlu
disepakati tentang proses pengambilan kesepakatan di
tingkat desa, apakah menggunakan prinsip kesepakatan
mutlak (100 persen menyetujui) atau sekadar mayoritas (50
persen plus satu). Selain itu, perlu disadari sejak awal
bahwa terdapat kondisi ekstrim ketika masyarakat ternyata
tidak dapat menyepakati suatu kegiatan. Akibatnya proyek
tak terlaksana. (OM)
26
26. Pembangunan sektor air minum berbasis masyarakat
telah dimulai sejak dekade sebelumnya di berbagai
tempat di dunia. Menjadi menarik untuk mengetahui
pengalaman berharga yang ditemui di dalam pelaksanaan
pembangunansektorairminumtersebutsebagaialat bantu
pencerahan wawasan kita. Artikel berikut mengetengahkan
beberapa pengalaman terkait tentang sistem pengumpulan
denda(Pakistan),pengembangannormabaru(Guatemala);
Mesir, Benin, Kamerun, Uganda.
Benang merah yang ditarik dari beberapa pengalaman
negara lain adalah (a) kearifan lokal yang dapat berupa
aturan tradisional dapat diadopsi dan dipergunakan dengan
hasil yang efektif seperti kasus Pakistan. Jika kemudian
masyarakatmenganggaphalaturanyangadasudahkurang
memadai maka dapat saja disusun aturan baru melalui
proses konsultasi publik seperti yang terjadi di Guatemala;
(b)masyarakatdanpenyediaairminumdapatbekerjasama.
Bentuk kerja samanya adalah penyedia mendistribusikan
sampai titik distribusi utama untuk kemudian dilanjutkan
oleh masyarakat ke rumah-rumah. penyedia air minum.
Sebagai contoh adalah Mesir; (c) keterlibatan perempuan
masih terbatas pada tahapan pengelolaan dan pada posisi
tradisional seperti bendahara dan sanitarian. Kasus di
Benin; (d) lahan merupakan kendala utama pembangunan
air minum di perkotaan karena harganya yang mahal
sebagaimana terjadi di Kamerun; (e) LSM dapat berperan
dalam memperluas skala kegiatan tetapi terhambat oleh
kapasitas yang terbatas seperti kasus di Uganda.
Pakistan:
WASEP (Water Supply and Sanitation Extension
Programme ofthe AgaKhanPlanningand BuildingService)
Secara tradisional mereka mempunyai sistem
pengaturan pengumpulan denda. Masyarakat
mempekerjakan seseorang untuk menagih denda, yang
dikenal dengan sebutan Zatoon. Ketika sebuah keluarga
tidak berpartisipasi dalam kerja bakti maka Zatoon akan
bertugas mengumpulkan denda dari keluarga tersebut.
Sistem ini diadopsi oleh program air minum dengan cara
menugaskan Zatoon untuk mengkoleksi denda dari
keluarga yang melanggar aturan. Jika keluarga tersebut
menolak membayar maka pihak pengelola mempunyai
wewenang untuk memutuskan aliran air ke keluarga
tersebut.
Bentuk denda beragam. Mulai dari denda bagi
keluarga yang tidak memperbaiki saluran air yang rusak,
denda bagi keluarga yang tidak menghadiri pertemuan.
Sebagian dana yang terkumpul diberikan kepada Zatoon
sebagai upah kerja, sementara selebihnya dipergunakan
untuk operasi dan pemeliharaan.
Guatemala:
The Aguacatán Case Study A Participatory Action
Research project to support community water supply
managementinruralcommunitieswasimplementedin1994
Pengaturan kewenangan penyelenggaraan sektor air
minum di Guatemala telah diatur dengan baik. Negara
bagian bertanggungjawab dalam penyediaan pelayanan
dasar. Negara bagian menetapkan aturan dan
bertanggungjawab melakukan investasi di perdesaan.
Pemerintah lokal harus mendukung, memantau dan
mengevaluasi penyediaan air minum. Bahkan jika
pemerintah lokal tidak menyediakan sendiri, maka mereka
bertanggungjawab mengatur dan mendukung penyedia
dalamkasusiniadalahmasyarakatsendiri.Pusatkesehatan
masyarakat mempunyai tenaga sanitarian yang
bertanggungjawab memantau kualitas air dan tenaga
kesehatan yang secara berkala melakukan kampanye
PerilakuHidupBersihdanSehat.PeranLembagaSwadaya
Masyarakat adalah memberi masukan bagi penetapan
sasaran strategis untuk membenahi kebijakan di sektor air
minum, dan penemuan model partisipatif serta pilihan
teknologiyangtepatsertamemperluasskalakegiatan.LSM
juga memperkuat kapasitas SDM masyarakat. LSM tidak
membangun sistem atau pengembangannya. LSM bukan
pengganti pemerintah lokal atau negara bagian, tetapi
fasilitator yang memastikan semua institusi bekerja sesuai
Pembelajaran
Internasional
27
Pemberdayaan
di Mancanegara
27. dengan perannya dan pengguna menggunakan haknya
dengan benar.
Pengelolaan air minum diserahkan pada The
community associations yang bekerja setiap hari.
Tanggungjawabnya adalah operasi dan pengelolaan,
manajemen keuangan, perbaikan sistem dan lainnya.
Setelah berjalan beberapa waktu, terdapat keinginan
masyarakat untuk mengelola berdasar prinsip perusahaan.
Mereka berencana mempunyai perusahaan yang dikelola
masyarakat dan menyediakan air minum berkualitas pada
harga semurah mungkin.
Yang menarik dari pengalaman di Guatemala adalah
tentang norma dan aturan tentang pengelolaan air minum.
Norma tradisional yang ada tidak cukup untuk mengatur
semua aspek. Beberapa norma dan aturan yang tersedia
dinilai terlalu teknis sehingga dibutuhkan pembaharuan
norma dan aturan. Tahapan yang dilakukan dalam
menyusunnormadanaturanmelaluipendekatanpartisipatif
adalah:
1. Pengenalan terhadap masalah yang menyangkut air
minum
2. Analisis masalah dan identifikasi masalah kunci
3. Mencari alternatif pemecahan masalah
4. Mencapaikesepakatantentangnormadanaturanbaru
5. Meminta persetujuan masyarakat terhadap norma dan
aturan baru melalui konsultasi publik
Mesir
Pengalaman menunjukkan bahwa menyerahkan
kewenangan pengelolaan dan meningkatkan keterlibatan
masyarakat dalam penyelenggaraan air minum ternyata
memerlukan proses panjang dan bertahap. Pengenalan
pendekatan tanggap kebutuhan dan pengelolaan berbasis
masyarakat di daerah semi-perkotaan dimungkinkan tetapi
memerlukan proses yang lama dan membutuhkan
perubahan kebijakan pemerintah dan otoritas pengelola.
Dimasadepan,otoritasairminumbertanggungjawabhanya
untukmemproduksisampaipadapendistribusiannyaketitik
distribusi utama, kemudian dilanjutkan oleh masyarakat
sendiri ke rumah-rumah termasuk mengumpulkan iuran.
Benin
Partisipasi aktif masyarakat pada setiap tahapan
menghasilkan persepsi yang kuat terhadap kepemilikan.
Pengelolaan yang bersifat sukarela sulit untuk dimotivasi.
Sementara keterlibatan perempuan telah menunjukkan
peningkatan walaupun indikatornya belum menunjukkan
keterlibatan perempuan dalam keseluruhan proses.
Keterlibatan perempuan hanya ditunjukkan dari proporsi
keterlibatan dalam pengelolaan saja, yang mencapai 30%
dari jumlah anggota komite pengelola. Itu pun hanya untuk
posisi favorit perempuan yaitu tetap saja adalah bendahara
dan ahli higinitas.
Intensitas kunjungan LSM yang dibiayai oleh proyek/
donor menjamin operasi dan pemeliharaan berjalan baik.
Dalam jangka panjang terdapat kemungkinan bahwa
kualitaspengelolaandapatmenjadiberkurang.Padajangka
pendek dana yang tersedia di bank masih memadai, tetapi
dalam jangka panjang masyarakat mulai tidak menaruh
dana lagi di bank. Mereka tidak melihat pentingnya memiliki
dana yang besar di bank karena mereka tidak menyadari
pentingnya ketersediaan dana pemeliharaan.
Kamerun
Masyarakat ternyata tidak bebas dari konflik diantara
mereka. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk
mencegahhaltersebutadalahmendorongketerbukaandan
komunikasi diantara masyarakat.
Pelaksanaan pembangunan banyak terkendala oleh
kurang tersedianya lahan. Salah satu penyebabnya adalah
faktor kepemilikan lahan. Faktor utama yang ditengarai
menjadi penyebabnya adalah harga lahan yang mahal atau
menjadi lebih mahal karena pemilik lahan mengambil
keuntungan.
Banyakpelanggaranatauketidakpatuhandarianggota
masyarakat terhadap aturan yang telah disepakati bersama
tidak dapat ditindaklanjuti karena sebagian besar unit
pengelola bukan merupakan organisasi yang terdaftar
secara hukum sehingga kesulitan mengambil tindakan
hukum terhadap pelanggaran oleh anggotanya.
Uganda
Pemberian kewenangan pada masyarakat untuk
mengelola sendiri penyelenggaraan penyediaan air minum
kemudian memberi kesempatan bagi LSM untuk berperan.
Pada banyak kesempatan, LSM berperan besar dalam
memperluas skala kegiatan yang berbasis masyarakat.
Namun kendala utama yang dihadapi adalah terbatasnya
kapasitas yang dipunyai.
28
28. PilihanTeknologi
Pilihan-pilihanAlternatif Bagi Masyarakat
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, yaitu dengan menempatkan masyarakat di posisi teratas
dalam penentuan keputusan maka salah satu prinsip yang ditawarkan dalam kebijakan nasional AMPL adalah
memberikan pilihan teknologi pada masyarakat.
Kumpulan pilihan tersebut dituangkan dalam bentuk pilihan yang diinformasikan (informed choice), yang
mencakup aspek teknis, lingkungan, pembiayaan, sosial budaya, serta bentuk kelembagaan. Pilihan yang ditawarkan
sebaiknya memberikan informasi selengkap mungkin sehingga masyarakat dapat memilih yang sesuai dengan
kondisi geografis, sosial budaya, dan ekonomi setempat.
Beberapa proyek terdahulu mengenai sanitasi membuktikan bahwa sistem sanitasi yang berbasis masyarakat
akan lebih berkelanjutan, yaitu mempunyai umur prasarana yang lebih panjang, berfungsi lebih efisien dan lebih
dipelihara secara baik oleh masyarakat, bila prasarana dan sarana yang terbangun lebih sesuai dengan kondisi
masyarakat dan pemerintah daerah.
Salah satu proyek yang menerapkan prinsip pilihan yang diinformasikan (informed choice) adalah SANIMAS
(Sanitasi oleh Masyarakat). Sesuai dengan lingkup proyek SANIMAS, maka pilihan teknologi yang disampaikan
pada proyek ini adalah teknologi penanganan sanitasi, mulai dari jamban (toilet), pengumpulan (collection), pengolahan
(treatment), pembuangan akhir (disposal) dan pengolahan lumpur tinja (de-sludging). Pilihan teknologi yang tersedia
sebenarnya sangat beragam, namun pada edisi kali ini kami hanya menampilkan sebagian saja untuk memberikan
gambaran mengenai pilihan teknologi tersebut.
TOILET
WC Sentor Sederhana
di luar rumah
WC Sentor
di Luar Rumah
WC Sentor di Dalam Rumah
RAGAM
29
30. Pemantauan dan Perencanaan Keberlanjutan Program Air Minum dan Sanitasi Masyarakat.
Petunjuk Penggunaan Methodology for ParticipatoryAssessment (MPA) bagi Program Pembangunan Berbasis
Masyarakat.
MPA merupakan metode yang dirancang untuk melakukan penilaian agar pembuat kebijakan, manajer program dan masyarakat
setempatdapatmemantaukesinambungansaranamerekadanmengambiltindakanperbaikan.MPAdapatmemperkuatkemampuanmasyarakat
miskin untuk merencanakan, mengelola, dan mempertahankan kualitas pelayanan air minum dan sanitasi milik mereka sendiri. Metode ini telah
dipergunakan di berbagai negara dan telah menunjukkan hasil yang memuaskan baik di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di dalam buku ini, WSP
dan IRC (International Water and Sanitation Centre) mencoba untuk mengumpulkan pengalaman yang didapatkan selama ini di berbagai
negara.
Buku ini terdiri atas dua bagian utama. Pertama, menjelaskan kembali tentang MPA terutama dikaitkan dengan keberlanjutan,
penanggulangan kemiskinan, kesetaraan gender dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, mengemukakan studi kasus penerapan MPA di
berbagai negara.Terdapat 7 (tujuh) studi kasus dengan kasus beragam mulai dari perencanaan proyek, evaluasi, pemantauan dan desain; riset
yang mengaitkan kebijakan, aturan proyek dan proyek berbasis masyarakat; dan ilustrasi potensi penggunaan MPA sebagai katalisator
perubahan sosial dalam masyarakat. Kekuatan dari buku ini terletak pada adanya studi kasus yang bisa memberi gambaran secara lebih utuh
bagaimana MPAdapat diimplementasikan. Di samping itu salah satu studi kasusnya berlokasi di Flores Indonesia.
Judul : Sustainability Planning and Monitoring in Community Water Supply
and Sanitation A Guide on the Methodology for Participatory Assess-
ment (MPA) for Community-Driven Development Programs
Editor : Nilanjana Mukherjee
Christine van Wijk
Penerbit : Water and Sanitation Program (WSP). Water Supply and Sanitati-
on World Bank. Washington, 2003
Tebal : xii + 157 halaman
Air dan Sanitasi di Kota-kota Dunia. Karya Lokal bagi Tujuan Global
Laporan ini merupakan usaha awal dari UN-HABITAT sebagai perpanjangan tangan PBB dalam memantau, menganalisis, dan
melaporkan pelaksanaan Agenda Habitat khususnya permukiman yang sehat dan berkelanjutan. Sekaligus juga menanggapi adanya kebutuhan
dunia internasional terhadap pencapaian Millenium Development Goals (MDG).
Laporan ini pada dasarnya mengemukakan 4 (empat) tema utama yaitu (i) Kekurangcermatan pemerintah dan lembaga internasional
dalammengantisipasijumlahpendudukkotayangtidakmendapatkanpelayananairminumdansanitasi;sertaakibatnyaterhadapkesehatandari
ratusan juta penduduk dunia; (ii) Ketidakpedulian pemerintah dan lembaga internasional terhadap kondisi di atas, meskipun berbagai studi
menunjukkan bahwa penyebabnya lebih pada aspek institusi dan politik; (iii) Kebutuhan akan air minum dan sanitasi harus dilandasi pada kondisi
lokal, termasuk prioritas dari masyarakat dan kondisi lingkungan; (iv) Pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi harus dilakukan dalam
kerangka kepemerintahan yang baik (good governance).
Keempat tema tersebut dirangkai dalam beberapa bab yang runut mulai dari penyediaan air minum da sanitasi di kota; dampak
kekurangan pelayanan air minum dan sanitasi; perubahan perspektif dan peran penyediaan air minum dan sanitasi; pengaturan penyediaan air
minum dan sanitasi. Keseluruhan bab menjadi menarik karena dilengkapi dengan perbandingan kondisi dari berbagai negara di dunia termasuk
Indonesia, sehingga kita akan mendapatkan gambaran tentang posisi Indonesia dibandingkan dengan negara lain.
Judul : Water and Sanitation in the World’s Cities. Local Action for
Global Goals
Penulis : United Nations Human Settlements Programme (UN-HABI-
TAT)
Penerbit : Earthscan Publications Ltd, London, 2003.
Tebal : xxv + 274 halaman
INFO
31
31. http://sanimas.waspola.org/
SANIMAS merupakan proyek hibah dari pemerintah Australia dan Bank Dunia yang diberikan
kepada komunitas perkotaan melalui kerjasama dengan pemerintah daerah setempat. SANIMAS akan
membantu menyiapkan dan mengimplementasikan sistem sanitasi berskala lingkungan yang sesuai
dengan keinginan masyarakat. Secara umum informasi yang dapat diperoleh antara lain (a) penjelasan
tentang Konsep Sanitasi Berbasis Masyarakat termasuk program SANIMAS; (b) kondisi sanitasi di
Indonesia; (c) produk yang dihasilkan dari SANIMAS seperti brosur, bahan presentasi, pilihan yang
diinformasikan (informed choice), modul pelatihan, rekaman video; (d) beberapa kliping tentang SANIMAS.
Hal yang menarik dari situs ini adalah bahwa produk seperti brosur, bahan presentasi, pilihan
yang diinformasikan (informed choice), modul pelatihan, dan rekaman video, seluruhnya dapat di
‘download’.
http://www.irc.nl/
Situs ini merupakan salah satu situs terbaik dan terlengkap tentang berita dan informasi, saran, riset dan
pelatihan dalam bidang air minum dan sanitasi biaya rendah di negara-negara berkembang. Banyak pengalaman,
studi kasus, dan artikel tentang pelaksanaan pembangunan air minum dan sanitasi dari seluruh dunia yang
dapat di ‘download’. Yang lebih menarik lagi adalah situs ini mempunyai informasi tentang seluruh organisasi
air minum dan sanitasi dari seluruh dunia.
Daftar Situs Terkait Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Beberapa informasi tambahan tentang berita yang termuat dalam edisi kali ini dapat diperoleh melalui situs
berikut:
Lembaga/Negara Donor dan Organisasi Internasional
1. AusAID in Indonesia. http://www.indo.ausaid.gov.au/ dan http://www.indo.ausaid.gov.au/sectors/
watersupplysanitation.html.
2. United Nations Human Settlements Programme (UN HABITAT), http://www.unhabitat.org
3. the United Nations Children’s Fund (UNICEF), http://www.unicef.org/wes/index.html
Instansi Pemerintah
1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), http://www.bappenas.go.id/
2. Departemen Kesehatan, http://www.depkes.go.id
3. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, http://www.kimpraswil.go.id
Program dan Kegiatan
1. Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning Project (WASPOLA)
http://www.waspola.org.
2. Mencuci Tangan (Handwashing)
Clean Hands Campaign, http://www.wasup.org
32
32. AGENDA AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
OKTOBER 2003
Peresmian Proyek Water Supply for Low Income Community 2 Kabupaten Ponorogo
Tanggal : 7 Oktober 2003
Lokasi : Desa Totokan, Kabupaten Ponorogo, JawaTimur.
Penyelenggara : Pemda Kabupaten Ponorogo
Penyerahan prasarana dan sarana kepada masyarakat desa.
Diskusi Global Handwashing Initiative Indonesia
Tanggal : 7 Oktober 2003
Lokasi : Bank Dunia Jakarta
Penyelenggara : Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific (WSP-EAP) World
Bank Jakarta
Indonesia merupakan negara kelima yang akan menjadi tempat kegiatan Global Handwashing Initiative. Ide kegiatan ini adalah menjajaki
kemungkinan kerja sama industri swasta dan sektor publik dalam mempromosikan Program MencuciTangan (Handwashing). Langkah awal
adalah mendiskusikan kegiatan masing-masing pihak yang telah melaksanakan program Mencuci Tangan selama ini di Indonesia, dan
kemungkinan melakukan kampanye publik serta keterkaitannya dengan kegiatan skala global.
Seminar Sehari tentang “Water and Sanitation for Cities”
Tanggal : 9 Oktober 2003
Lokasi : Denpasar, Bali
Penyelenggara : Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Seminar dilaksanakan dalam kaitan peringatan hari Habitat.
Evaluasi Uji Coba Pelaksanaan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat
Tanggal : 13-17 Oktober 2003
Lokasi : Kabupaten Solok, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumba Timur
Penyelenggara : WASPOLA
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut uji coba yang telah dilakukan pada empat lokasi. Evaluasi ini bertujuan menggali informasi atas kemajuan
pelaksanaan penerapan kebijakan dan mengidentifikasi kebutuhan daerah dalam upaya penerapan kebijakan.
Pelatihan Teknis Pasca Konstruksi Proyek Water Supply for Low Income Community 2
Tanggal : 14-16 Oktober 2003
Lokasi : Senggigi, Mataram, Propinsi NTB
Penyelenggara : Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Meningkatkan pemahaman tentang pendekatan pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan ketrampilan bagi tenaga pelaksana
Diskusi Berkala Forum Diskusi Air dan Sanitasi bertopik Studi Kasus: Bagaimana Komunitas Kumuh Berjuang Mendapatkan Air
Bersih
Tanggal : 16 Oktober 2003
Lokasi : Bank Dunia Jakarta
Penyelenggara : Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific (WSP-EAP) World
Bank Jakarta
Advokasi Program Pro-Air
Tanggal : 16-17 Oktober 2003
Lokasi : KabupatenTimor Tengah Selatan
Penyelenggara : Proyek Pro-Air
Mengsosialisasikan pelaksanaan kegiatan Pro-Air khususnya kepada lembaga legislatif di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Seminar Konsultasi Proyek Peningkatan Layanan Air Kota
Tanggal : 20-21 Oktober 2003
Lokasi : Hotel Mandarin Oriental, Jakarta
Penyelenggara : Persatuan PerusahaanAir Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI), Bank Dunia,
dan The World Bank Institute.
AGENDA
33
33. Evaluasi Ujicoba Koordinasi Antar Proyek
Tanggal : 20-23 Oktober 2003
Lokasi : Kabupaten LombokTimur, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima (Propinsi
Nusa Tenggara Barat)
Penyelenggara : WASPOLA
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut uji coba yang telah dilakukan pada tiga lokasi. Evaluasi ini bertujuan mengetahui tindak lanjut pihak yang
terlibat setelah pelaksanaan uji coba dan mendapatkan masukan tentang mekanisme koordinasi antar proyek.
Diskusi Laporan Infrastruktur Indonesia tentang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Tanggal : 22 Oktober 2003
Lokasi : Bappenas
Penyelenggara : Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas
Diskusi ini merupakan lanjutan dari diskusi sebelumnya. Topik utama diskusi adalah membahas rancangan Laporan Infrastruktur Indonesia.
Khusus pada kesempatan ini, diskusi hanya membahas salah satu bagian dari isi laporan yang menyangkut air minum dan penyehatan
lingkungan.
Simposium Internasional “Safe Drinking Water in Indonesia. Challenges for 21 Century”
Tanggal : 22-23 Oktober 2003
Lokasi : Lido Lakes Resort, Sukabumi, Jawa Barat
Penyelenggara : Departemen Kesehatan, WHO, dan GTZ.
Tema yang dibahas adalah pelaksanaan pengawasan kualitas air minum di Indonesia.
NOPEMBER 2003
Pertemuan Pembahasan Rencana WSLIC 2 Tahun 2004
Tanggal : 4 Nopember 2003
Lokasi : HotelAcaciaJakarta
Penyelenggara : Pokja AMPL
Agenda pertemuan adalah pembahasan rencana kerja WSLIC 2 Tahun 2004, review koordinasi Tim Pembina Pusat, serta struktur
kelembagaan pembinaan teknis WSLIC 2.
Lokakarya Visi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Visioning Workshop)
Tanggal : 5-6 Nopember 2003
Lokasi : HotelHilton,Jakarta
Penyelenggara : WASPOLA
Tujuan lokakarya adalah menyamakan pemahaman terhadap visi pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan dalam 10-15 tahun
mendatang, termasuk pencapaian Millenium Development Goals (MDGs).
1st Southeast Asia Water Forum - Strengthening Regional Capacity through Best Practices in Integrated Water Resources
Management
Tanggal : 12-21 Nopember 2003
Lokasi : Chiang Mai, Thailand
Penyelenggara : Global Water Partnership SoutheastAsia TechnicalAdvisory Committee (GWP
SEATEC).Alamat situs internet: http://www.gwpseatac.org/
Forum akan mendikusikan beberapa tema yaitu pelayanan air dan sanitasi untuk kesehatan; penyelesaian sengketa; pengelolaan sumber
daya air berbasis komunitas; ekosistem dan lingkungan; air dan makanan
Sejak pencanangan Hari Habitat oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.40/201 A tanggal 17 Desember 1985 maka Hari Habitat Dunia telah
diperingati setiap tahun pada Hari Senin Pertama di bulan Oktober. Ide dasar peringatan Hari Habitat adalah untuk menyadarkan masyarakat umum
pentingnya memperbaiki kondisi permukiman, khususnya bagi penduduk miskin yang hidup tanpa menikmati air minum, sanitasi yang memadai, dan
pelayanan dasar lainnya. Habitat sendiri diartikan sebagai tempat tinggal atau hunian manusia beserta lingkungannya.
TahuniniperingatanhariHabitatDuniadipusatkandikotaRiodeJaneiro,Brasilpadatanggal6Oktober2003.Temaperingatan adalahAirMinumdan
Sanitasi untuk Perkotaan (Water and Sanitation for Cities) untuk mencermati krisis air minum dan sanitasi di perkotaan.
Di Indonesia peringatan Hari Habitat dipusatkan di Denpasar Bali. Tema peringatan mengikuti tema yang menjadi kesepakatan dunia. Sub tema
peringatan adalah Kota yang Bebas dari Lingkungan Permukiman Kumuh. Beberapa kegiatan yang dilakukan di Indonesia dalam rangkaian peringatan
Hari Habitat adalah dialog interaktif di media elektronik, pameran, penyelenggaraan lomba, dan pemberian penghargaan.
Hari Habitat
34