1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada pembukaan UUD 1945 antara lain yang menyatakan “Untuk membentuk
suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan UUD 1945 tersebut, maka disusun dan
diterapkanlah undang-undang yang mengatur pokok-pokok pengelolaan keuangan
negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang
merupakan penjabaran pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Dalam undang-undang ini telah
secara tegas menyatakan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertangggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan, yang harus
diterapkan pada tahap perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan
pertanggungjawaban. Prinsip ini tidak saja berarti pengelola keuangan negara harus
bertindak benar dan terbuka pada saat pelaksanaan pertanggungjawaban, tetapi juga
berarti pada saat perencanaan sudah harus terbuka dan berbuat benar. Apabila dalam
perencanaan sudah ada rekayasa ubtuk berbuat tidak benar, maka berarti telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Berarti perbuatan perencanaan yang tidak
benar, atau tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut telah memenuhi salah satu
1|Page
2. unsur dari unsur-unsur yang dirumuskan dalam pengertian korupsi menurut Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tantang Tindak Pidana Korupsi.
B. Pengertian Korupsi
Menurut Fockema Andreae1 kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio
atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya, disebutkan bahwa
corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu
Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie
(korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu
turun kebahasa Indonesia, yaitu”korupsi.”
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa
Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.”2
1
Kamus Hukum, Fockema Andrea. (Bandung: Bina Cipta, 1983) huruf c. Terjemahan Bina Cipta.
2
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. 1976
2|Page
3. C. Permasalahan
- Mengapa seseorang/kelompok melakukan korupsi?
- Bagaimana akibat/dampak dari korupsi itu?
3|Page
4. PEMBAHASAN
A. Sebab dan Akibat dari Korupsi
Seperti telah diuraikan oleh Thomas Moore (1478-1535), dalam 25 tahun ada
72.000 pencuri digantung di daerah yang penduduknya tiga sampai empat saja, tetapi
kejahatan terus merajalela. Menurut Moore, dengan kekerasan saja tidak akan
dibendung kejahatan. Untuk memberantas kejahatan harus dicari sebabnya dan
menghapusnkannya.3 Dengan demikian, kejahatan seperti korupsi pun tidak akan
terberantas atau kurang kecuali kalau kita menemukan sebabnya, kemudian sebab itu
dihapuskan atau dikurangi.
Tentang kausa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia,
berbagai pendapat telah dilontarkan. Ditambah dengan pengalaman-pengalaman
selama ini, kita dapat membuat asumsi atau hipotesis minyalnya sebagai berikut.
1. Kurangnya Gaji atau Pendapatan Pegawai Negeri Dibandingkan dengan
Kebutuhan yang Makin Hari Makin Meningkat
“Pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya
korupsi sebab paling gampang dihubungkan misalnya kurang gaji
pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat kurang baik, administrasi
dan manajemen yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang
berliku-liku dan sebagainya.”4
Namun demikian, kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang
factor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia.
Hal ini dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker dalam tulisannya yang berjudul
“Indonesia 1979: The Record of three decades” (Asia Survey Vol. xx No. 2, 1980 :
123).
3
W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, terjemahan R. A. Koesnoen (Jakarta: PT Pembangunan, 1955),
hlm. 46.
4
B. Soedarso, Korupsi di Indonesia (Jakarata: Bhratara Karya Aksara, 1969), hlm. 10-11
4|Page
5. 2. Manajemen yang Kurang Baik dan Kontrol yang Kurang Efektif dan
Efisien
Terkenal ucapan Prof. Soemitro Alm. yang dikutip oleh media cetak bahwa
kebocoran mencapai 30% dari anggaran. Ternyata usaha pendidikan dan pelatihan
seperti P4 dan SESPA tidak mempan bukan saja untuk memberantas korupsi, tetapi
juga untuk menguranginya. Korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
3. Penyebab Korupsi ialah Modernisasi
Huntington menulis sebagai berikut.
“Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum
dalam masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam
masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum suatu periode
yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan
bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi
social dan ekonomi yang cepat.”5
Penyebab medernisasi mengembangbiakkan korupsi dapat disingkat dari
jawabab Huntington berikut ini.
a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan paa nilai dasar atas
masyarakat.
b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena medernisasi
membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan yang baru.
c. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang
diakibatkan dalam bidang kegiatan system politik.
Mengenai akibat korupsi, ada dua pendapat. Ada yang mengatakan korupsi
tidak selalu berakibat negative, kadang-kadang berakibat positif, ketika korupsi itu
berfungsi sebagai uang pelican bagaikan tangki minyak pelumas pada mesin.
Pendapat ini banyak dianut oleh peneliti Barat.6
5
Samuel P. Huntington, op.cit., hlm. 121.
6
J. W. Schoorl, op.cit., hlm. 184
5|Page
6. B. Pemberantasan Korupsi
1. Korupsi Harus Ditempatkan Sebagai Dosa Sosial
Lemahnya sanksi social bagi koruptor adalah pemicu lain terjadinya korupsi.
Seorang koruptor masih merasa tidak bersalah meski telah ditetapkan sebagai
tersangka. Keadaan ini cukup membuat keberanian bagi seseorang untuk melakukan
korupsi.
Angka korupsi yang meningkat dari tahun ke tahun tidak hanya menempatkan
kita sebagai jegara terkorup se-Asia dalam dua tahun terakhir, tetapi juga
menurunkan kualitas manusia Indonesia karena anggaran yang semestinya
dipergunakan untuk kesejahteraan bersama, pendidikan, penyediaan pangan dan
lapangan pekerjaan habis terkorupsi.
Merajalelanya korupsi mestinya dilawan dengan kekatan yang sama dari
masyarakat anti korupsi. Selama perlawanan terhadap tindak korupsi hanya parsial,
maka justru semakin kontraproduktif. Memang selama ini telah bermunculan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang merespon berbagai kasus
korupsi, tetapi nampaknya kekuatan dan posisi mereka masih kalah kuat dengan
bebasnya pelaku-pelaku yng didukung penuh oleh negara dan kekuasaan. LSM tidak
akan pernah akan mempunyai bukti-bukti memadai selain mengamati sejumlah gejala
yang diungkap oleh pejabat yang kecewa atau media massa.
Oleh karena itu, menurut saya, memberantas korupsi tidak hanya
dikembangkan dengan mengembangkan budaya sopan santun atau prihatin tetapi
menyediakan gerakan dalam kualitas dan kuantitas yang sama untuk melawan.
Dengan kata lain, jika ada 10 orang melakukan korupsi maka diperlukan juga 10
orang anti korupsi untuk melawannya dengan kualitas yang sama. Membudayakan
gerakan-gerakan anti korupsi sebanyak mungkin jauh lebih efektif di berbagai negara
ketimbang melakukan rindakan-tindakan hukum yang rawan dimanipulasi.
6|Page
7. 2. Meruntuhkan Ruang Bebas Korupsi
Banyak ditahannya wakil-wakil rakyat dengan tuduhan korupsi makin
menegaskan kepada kita jika upaya-upaya pemberantasan korupsi masih menemui
jalan terjal. Bagaimanapun juga, kapasitas sebagai wakil rakyat adalah kapasitas
control baik kepada kepada eksekutif ataupun masyarakat. Tidak sepatutnya lembaga
wakil rakyat dikotori oleh ulah orang-orang tidak bermoral.
Ketika lembaga-lembaga control tidak mampu menjalankan perannya, maka
sejalan dengan itu praktek KKN semakin berkembang subur dan merajalela.
Korupsi di Indonesia bukan melulu pada masalah lemahnya system administrasi
seperti diduga sebagian besar orang selama ini. lembaga pengadilan, legislative yang
mestinya menjadi barometer pencipta keadilan justru tidak bisa melepaskan diri dari
belenggu KKN. Istilah negara hukum sebagaimana diatur dalam pasal-pasal UUD
1945 hanyalah slogan belaka, terbukti para pelaku dan tersangka korupsi masih bebas
melenggang.
Praktek korupsi di Indonesia yang sudah menggurita ini membutuhkan
komitmen semua pihak untuk menanggulanginya. Yang terpenting sekarang bukan
menyusun system dan peraturan melainkan justru mendorong tumbuhnya lembaga-
lembaga control an mempersempit ruang gerak peluang melakukan korupsi. Selama
eksekutif, yudikatif, dan legislative berperan sebagai pelopor korupsi, tinggal
menghitung hari hancurnya negara yang kita banggakan ini. karena terikat sumpah,
pejabat public yang berkorupsi meski dihukum lebih berat dan memadai.
7|Page
8. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi korupsi di Indonesia pada pasca era reformasi bukan semakin menurun
melainkan meningkat ke segala aspek kehidupan dan di semua bidang penyelenggara
negara, baik di lingkungan eksekutif, legislative, yudikatif, bidang politik maupun
sector swasta. Kuantitas korupsi semakin beragam mulai dari yang dilakukan di
tingkat organisasi terendah seperti RT, RW, Pungli di jalanan sampai dengan jual beli
perkara di pengadilan, jual beli objek dan hasil temuan pemeriksaan sampai dengan
yang dilakukan oleh elit birokrat dan kalangan intelektual baik di lingkungan
pemerintahan pusat, daerah, lembaga negara maupun BUMN/BUMD, dan yayasan-
yayasan di lingkungan insitusi kepemerintahan. Korupsi tersebut tidak terjadi secara
kebetulan atau seketika, tetapi sudah direncanakan jauh-jauh hari sejak saat
perncanaan kerja/kegiatan/penyelenggaraan dimulai, dan lebih jauh lagi sejak
penempatan para pejabat disuatu unit kerja daerah maupun lembaga negara.
Melihat kondisi tersebut, apabila korupsi tidak segera dicegah dan diberantas,
tinggal menunggu waktu saja bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadinya
revolusi yang akan menghiasi sejarah kepulauan nusantara yang menandakan bahwa
Republik Indonesia pernah ada.
8|Page