1. BUKU PUTIH REDD
(DRAFT 3, tgl 10 Juni 2008)
CSO NETWORK ON FORESTRY GOVERNANCE AND CLIMATE CHANGE
1
2. DAFTAR ISI
Daftar Isi ........................................................................................................................... 2
Pengantar ............................................................................................................................ 3
1. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 4
1.1. Sekilas Perubahan Iklim Global ................................................................................ 4
1.2. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) .................. 9
1.3. Protokol Kyoto ............................................................................................................ 11
1.4. COP13 dan REDD ..................................................................................................... 13
2. REDD INDONESIA .................................................................................................. 15
2.1. IFCA dan COP13 ....................................................................................................... 15
2.2. Peran World Bank ...................................................................................................... 16
2.3. Konsep REDD Indonesia .......................................................................................... 19
3. KEKUATIRAN DAN PERTANYAAN SEPUTAR REDD ...................................... 24
3.1. Hasil Workshop REDD di Berbagai Daerah .............................................................. 24
3.2. CSO Network on Forestry Governance and Climate Change .................................... 29
3.3. REDD menurut CSO Network on Forestry Governance and Climate Change .......... 31
3.4. Pekerjaan Rumah Yang Tersisa ................................................................................. 37
4. REKOMENDASI ..................................................................................................... 43
2
3. Pengantar
Buku putih REDD ditulis sebagai masukan bagi pemerintah tentang konsep dan penerapan
REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). Pemerintah, dalam hal ini
Departemen Kehutanan, telah meluncurkan REDD pada tanggal 7 Desember 2008 bersamaan
dengan pelaksanaan COP13 di Bali.
Konsep REDD sendiri telah dimatangkan oleh Departemen Kehutanan beberapa bulan sebelum
pelaksanaan COP13. Proses ini dibantu oleh IFCA (Indonesian Forest Climate Alliance) yang
mendapat dukungan dari World Bank, pemerintah Australia dan Jerman. Semula konsep REDD
yang dihasilkan, akan disosialisasikan ke berbagai daerah. Namun, karena keterbatasan
sumberdaya dan waktu, maka sosialisasi hanya diadakan dua kali di Jakarta. Karena itu, tidak
mengherankan apabila banyak orang yang tidak tahu apa yang dimaksud dengan REDD.
Minimnya proses konsultasi publik di daerah untuk membahas REDD cukup memprihatinkan.
Hal ini dikarenakan, banyak pemerintah daerah yang tertarik untuk implementasi REDD tetapi
hanya mempunyai informasi yang sangat minim. Informasi yang minim itu juga belum tentu
akurat. Pada umumnya, pihak pemerintah daerah hanya mengumpulkan informasi tentang
seberapa besar potensi dana yang bisa diraih apabila REDD diterapkan di daerahnya. Informasi
lain seperti resiko finansial dan sosial, seringkali dilupakan.
Kondisi di atas menyebabkan Civil Society Network on Forestry Governance and Climate (CSO)
Change berupaya untuk menyusun sebuah buku yang bersifat informatif sekaligus dapat
menggambarkan keprihatinan CSO terhadap isu REDD. Oleh karena itu proses penyusunan buku
ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan, mulai dari pengumpulan informasi tentang perubahan
iklim dan REDD, mengadakan side event workshop pada acara COP13 di Bali, memfasilitasi
proses konsultasi publik tentang REDD di sejumlah daerah (Samarinda, Mataram, Makasar,
Kendari, Palu, Tomohon, Sorong dan Pekanbaru), serta workshop penulisan.
Buku ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama merupakan penjelasan singkat tentang apa
yang dimaksud dengan perubahan iklim dan pemanasan global, bagaimana proses terjadinya
pemanasan global serta dampaknya, perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur kerjasama
antar negara untuk mengantisipasi pemanasan global, termasuk munculnya konsep REDD
sebagai skema untuk mengurangi dampak pemanasan global yang diakibatkan oleh deforestasi
dan degradasi lahan.
Bagian kedua adalah penjelasan tentang konsep REDD versi Indonesia. Bagian ini akan dimulai
dengan penjelasan tentang peran para pihak yang membantu merumuskan konsep REDD versi
Indonesia, terutama IFCA dan World Bank. Setelah itu, konsep REDD akan dijelaskan secara
singkat.
Bagian ketiga berisi tinjauan kritis terhadap konsep REDD yang telah dihasilkan oleh
Departemen Kehutanan. Tinjauan kritis ini berasal dari hasil konsultasi publik tentang REDD
yang diadakan di beberapa daerah yang telah disebut di muka. Secara khusus, pandangan dan
sikap CSO juga akan diungkap pada bagian ini. Dan pada bagian akhir, akan ditulis tentang hal-
hal yang masih harus dipersiapkan apabila pemerintah ingin menerapkan REDD di Indonesia.
Buku ini akan ditutup oleh sejumlah rekomendasi terkait dengan rencana penerapan REDD di
Indonesia, mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi.
3
4. I. PENDAHULUAN
1.1. Sekilas Perubahan Iklim Global
Iklim dunia sedang kacau balau. Badai terjadi di mana-mana, salah satunya yang terparah terjadi
di Bangladesh pada 17 Nov 2007 dan menelan korban lebih dari 2000 orang. Yang terbaru,
terjadi di Myanmar, pada bulan Mei 2008, dengan memakan korban yang jauh lebih banyak
daripada di Bangladesh. Di Indonesia, angin puting beliung melanda hampir semua kota di pulau
Jawa. Jakarta pun tidak luput terkena sapuan angin puting beliung pada awal November 2007.
Tidak hanya itu. Kekacauan iklim juga terjadi di Amerika dan Eropa. Banjir di Jerman bulan
Agustus 2007, gelombang dingin yang melanda Eropa pada awal 2007, serta kebakaran hutan
hebat di Yunani pada Agustus 2007. Bahkan Amerika juga tak luput dari terpaan badai, banjir
dan kebakaran hutan. Semuanya memberi pertanda iklim sedang berubah.
Pakar pun urun rembug membicarakan penyebab dan cara penanggulangannya. Salah satu hasil
dari temuan pakar yang paling banyak dikutip adalah Stern Review yang dikeluarkan awal tahun
2007. Selain itu ada pula film semi documenter yang diproduksi dan dibintangi oleh politisi
kawakan Al Gore (mantan wapres AS), berjudul the Inconvinience Truth. Film ini menceritakan
betapa parahnya akibat dari perubahan iklim yang sedang terjadi, dan perkiraan-perkiraan yang
akan terjadi di masa datang.
1.1.1. Bagaimana Iklim Berubah
Ketika bumi menerima panas dari matahari, secara alami sebagian panas akan terperangkap di
atmosfer akibat adanya beberapa jenis gas. Gas-gas yang menangkap panas tersebut dikenal
sebagai gas rumah kaca (GRK) karena cara kerjanya mirip rumah kaca (greenhouse), di mana
suhu di dalamnya diatur agar cukup hangat sehingga tanaman dapat tumbuh. Terperangkapnya
panas oleh gas-gas di atmosfer dikenal dengan istilah ‘efek rumah kaca’.
Sebenarnya efek rumah kaca diperlukan agar permukaan bumi cukup hangat untuk didiami.
Sayangnya, aktivitas manusia membuat konsentrasi GRK semakin tinggi dan menyebabkan suhu
permukaan bumi semakin panas sehingga terjadilah perubahan iklim.
Emisi dari pembangkit listrik dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil –
seperti minyak bumi dan batubara – merupakan sumber utama karbondioksida (CO2). Gas ini
merupakan GRK yang memiliki pengaruh terbesar terhadap terjadinya perubahan iklim.
Karbondioksida juga terkandung dalam jumlah besar pada pohon sehingga kebakaran dan
penebangan hutan menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK.
Pemakaian pupuk buatan pada pertanian menghasilkan nitro oksida (N2O). Selain itu,
pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, dan sampah organik akan melepaskan gas metana
(CH4). Proses serupa terjadi pada tanah yang tergenang air, seperti daerah rawa-rawa dan
persawahan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa peternakan, sawah, dan tempat pembuangan
sampah ikut meningkatkan GRK.
Beberapa aktivitas lain menghasilkan GRK yang menyerap panas dengan kekuatan sangat tinggi
walaupun konsentrasinya rendah. Penggunaan beberapa jenis gas untuk freon AC dan campuran
4
5. produk kaleng semprot serta proses produksi beberapa industri, terutama peralatan listrik, juga
menghasilkan GRK.
Fakta menunjukkan bahwa industri di Negara maju telah menyumbang emisi gas rumah kaca
sebesar 70%, yang berasal dari sektor energi, transportasi, industri, bangunan dan energi lain.
Sedangkan emisi yang dihasilkan negara berkembang hanya 30%. Dan ini lebih banyak berasal
dari sektor non-energi seperti sampah, pertanian dan penggunaan lahan, termasuk penebangan
hutan.
Fakta di atas menunjukkan bahwa negara industrilah yang seharusnya mempunyai tanggung
jawab besar dalam pengurangan emisi. Mereka harus memperbaiki teknologi agar lebih ramah
lingkungan. Demikian pula gaya hidup masyarakatnya harus diubah agar tidak boros energi.
Setiap kepala penduduk di negara barat mengeluarkan emisi karbondioksida 25 kali lebih banyak
daripada penduduk di negara-negara berkembang. Lima pengemisi karbondioksida terbesar di
dunia adalah Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Inggris, dan Jepang.
Data terakhir menunjukkan Amerika Serikat menyumbang 720 juta ton gas rumah kaca, yang
merupakan 25% dari emisi total dunia. Emisi gas rumah kaca dari pusat pembangkit listrik di
Amerika Serikat saja lebih besar daripada total jumlah emisi 146 negara (tiga perempat negara di
dunia). Sektor energi menyumbang sepertiga total emisi gas rumah kaca AS. Emisi gas rumah
kaca AS sektor energi lebih dari dua kali lipat dari emisi India. Dan total emisi gas rumah kaca
AS masih lebih besar dari dua kali emisi gas rumah kaca Cina.
Emisi total dari negara-negara berkembang besar seperti misalnya Korea, Meksiko, Afrika
Selatan, Brazil, Indonesia dan Argentina, tidak melebihi emisi AS.
1.1.2. Dampak Perubahan Iklim
Baru-baru ini, Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) memublikasikan hasil
pengamatan ilmuwan dari berbagai negara. Isinya sangat mengejutkan. Selama tahun 1990-2005,
ternyata telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15 0,3o C. Jika
peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (33 tahun dari sekarang)
lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas, pada
tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di seantero
jagat. Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan makanan. Napas tersengal oleh asap
dan debu. Rumah-rumah di pesisir terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas,
sehingga akhirnya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula nyawa manusia.
Secara umum perubahan iklim akan membawa perubahan kepada parameter-parameter cuaca
yaitu temperatur, curah hujan, tekanan, kelembaban udara, laju serta arah angin, kondisi awan,
dan radiasi matahari. Perubahan pada curah hujan akan berdampak pada sektor-sektor yang
terkait dengan air yaitu, sumber daya air, pertanian, infrastruktur (termasuk permukiman,
transportasi, PLTA/Pembangkit Listrik Tenaga Air dan penataan ruang), perikanan, rawa dan
lahan gambut serta pantai.
Dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor terkait sumber daya air antara lain:
Bertambahnya jumlah kejadian ekstrim terkait iklim banjir dalam lima tahun terakhir
sehingga meningkatkan kerusakan prasarana dan sarana, termasuk juga ancaman terjadi
badai dan gelombang yang tinggi sehingga mengancam keselamatan pelayaran. Ancaman
badai ini juga dapat menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk yang tinggal pada
dataran rendah pantai dan pulau-pulau kecil.
Menurunnya kontribusi hydro power pada penyediaan energi secara keseluruhan.
5
6. Bertambahnya panjang pantai yang terkena abrasi
Ancaman intrusi air laut dapat mengakibatkan
o penurunan kuantitas dan kualitas pasokan air baku selama musim kemarau yang
akan berdampak pada bertambahnya biaya untuk pengolahan air baku untuk air
minum
o ancaman intrusi air laut pada sumber air minum (tempat pengambilan air di
sungai) karena kenaikan muka air laut.
o mengakibatkan kerusakan pada struktur bangunan
o menurunnya produksi perikanan akibat kekurangan pasokan air tawar terutama di
musim kemarau
o menyebabkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan lingkungan pada daerah
yang terdampak.
Terganggunya transportasi air di darat pada pedalaman Kalimantan akibat menyusutnya
muka air sungai di musim kemarau sehingga sungai tidak dapat dilalui oleh kapal besar.
Meningkatnya kerentanan kebakaran lahan gambut akibat peningkatan temperatur dan
berkurangnya curah hujan dimusim kemarau.
Ancaman atas kerusakan habitat mangrove dan coral reef
Meningkatkan ancaman atas biodiversity akibat perubahan tata guna dan tutupan lahan
dan tekanan meningkatnya jumlah penduduk
Sir Nicholas Stern, Kepala Departemen Pelayanan Ekonomi dan Sekretaris Tetap Menteri
Keuangan Inggris, Oktober 2006, dalam laporan menggegerkan berjudul Stern Review, mencatat
bahwa emisi karbon dioksida dunia sekarang berada di kisaran 430 ppm. Kalau dibiarkan, pada
10 tahun berikutnya, bumi akan lebih panas setengah derajat Celsius lagi. Kalau masih dibiarkan,
pada 50 tahun ke depan, rerata temperatur global akan meningkat 2-3 derajat Celsius dari
sebelumnya.
Stern yang juga mantan ekonom kepala di Bank Dunia itu menghitung bahwa beban pengeluaran
negara oleh karena dampak perubahan cuaca yang ekstrem bisa mencapai 0,5-1 persen dari PDB
dunia per tahun (perkiraaan hingga di paruh waktu abad sekarang, yakni mencapai £184 miliar
per tahun), dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur. Di Inggris, kerugian
tiap tahun karena banjir bisa mencapai 0,1 persen dari PDB, dan akan mencapai 0,2-0,4 PDB
apabila temperatur global naik hingga 3 atau 4 derajat Celsius. Dan dengan pemanasan hingga 5-
6 derajat Celsius-kemungkinan besar tercapai di abad 22-model yang ditawarkan Stern
menunjukkan bahwa risiko dari perubahan iklim skala internasional akan berdampak pada
kerugian PDB global di kisaran 5-10 persen. Produksi ekonomi global akan berkurang hingga 10
persen, sementara kemampuan konsumsi per kepala menurun hingga 20 persen.
Perubahan Iklim di Indonesia
Di Indonesia, gejala serupa sudah terjadi. Sepanjang tahun 1980-2002, suhu minimum kota
Polonia (Sumatera Utara) meningkat 0,17oC per tahun. Sementara, Denpasar mengalami
peningkatan suhu maksimum hingga 0,87oC per tahun. Tanda yang kasatmata adalah
menghilangnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu
Gunung Jayawijaya di Papua.
Hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut
Teknologi Bandung (2007), pun tak kalah mengerikan. Ternyata, permukaan air laut Teluk
6
7. Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm. Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan, pada
tahun 2050 daerah-daerah di Jakarta (seperti : Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing) dan Bekasi
(seperti : Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan terendam semuanya.
Dengan adanya gejala ini, sebagai warga negara kepulauan, sudah seharusnya kita khawatir.
Pasalnya, pemanasan global mengancam kedaulatan negara. Es yang meleleh di kutub-kutub
mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut bumi termasuk laut di seputar
Indonesia‚ terus meningkat. Pulau-pulau kecil terluar kita bisa lenyap dari peta bumi, sehingga
garis kedaulatan negara bisa menyusut. Dan diperkirakan dalam 30 tahun mendatang sekitar
2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam. Bukan hanya itu, jutaan orang yang tinggal di pesisir
pulau kecil pun akan kehilangan tempat tinggal. Begitu pula asset-asset usaha wisata pantai.
Skenario masa depan dari perubahan iklim menunjukan bahwa pada 2080 sebagian Sumatera dan
Kalimantan akan lebih tinggi curah hujannya dengan 10 hingga 30 persen selama musim Barat.
Kebalikannya, di Jawa dan Bali akan lebih kering 15 persen. Variasi musim dan cuaca ekstrim
seperti El Nino akan lebih dahsyat dan akan lebih signifikan dalam meningkatkan resiko
kebakaran hutan selama masa musim kering Indonesia.
Perubahan iklim juga akan menambah resiko frekuensi kebakaran hutan di wilayah selatan
Indonesia dimana hutan secara umum lebih kering, termasuk di selatan Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan juga Jawa serta Bali. Kebakaran hutan yang sangat merusak di Indonesia pada
1997-98 telah mengakibatkan kerugian sebesar 9 milyar dolar AS.
Dampak dari kebakaran hutan yang diakibatkan perubahan iklim ini juga berakibat pada:
Kesehatan. Selain mengemisikan karbon dioksida, kebakaran hutan juga akan
melepaskan ke udara gas-gas beracun seperti karbon monoksida, ozon, nitrogen dioksida,
hidrokarbon yang dapat mengakibatkan penyakit pernafasan yang gawat. Curah hujan
yang lebih tinggi dan banjir akan mendorong distribusi yang lebih luas dari penyakit yang
disebarkan melalui air. Suhu tropik yang lebih tinggi akan meningkatkan kejadian
penyakit yang berasal dari makanan.
Mata Pencaharian. Meningkatnya prevalensi dan intensitas kebakaran akan mengancam
berbagai komunitas yang sangat bergantung kepada hutan untuk memberikan mereka
kayu dan juga kebutuhan non-kayu melalui kemunduran habitat hutan, dan akan
mengancam ketersediaan air bersih.
Kehilangan Keanekaragaman Hayati. Kebakaran akan mengeliminasi tumbuhan dan
hewan, selain sekaligus mendegradasi habitat hutan. Kebakaran tahun 1997-1998
mengurangi populasi orangutan sebesar sepertiganya.
Kehutanan dan Pertanian. Kebakaran hutan alami maupun yang disengaja telah
menghancurkan kawasan luas hutan komersial maupun perkebunan dan pertanian, seperti
hutan untuk bubur kayu dan perkebunan kelapa sawit.
Pariwisata. Kebakaran dan kabut asap mengurangi jumlah wisatawan yang mengunjungi
kawasan wisata dan hutan. Kebakaran dapat menghancurkan potensi hutan bagi wisata.
Transportasi. Kabut asap dari kebakaran dapat mengganggu lalu lintas di perkotaan,
pelayaran laut. Rendahnya daya pandang yang diakibatkan adanya kebakaran hutan telah
dikaitkan dengan terjadinya kecelakaan lalulintas udara dan pelayaran.
Emisi GRK (Gas Rumah Kaca). Kebakaran merupakan cara paling efektif untuk
mengoksidasi biomassa menjadi karbon dioksika (CO2) dan gas-gas berjejak lainnya.
Kebakaran hutan 1997/98 di Indonesia menghasilkan lebih dari setengah pertumbuhan
tahunan emisi CO2 dunia.
7
8. 1.1.3. Mitigasi
Salah satu cara menahan laju perubahan iklim adalah mengurangi emisi GRK hasil aktivitas
manusia. Ini bisa dilakukan antara lain dengan menggunakan bahan bakar dari sumber energi
yang lebih bersih, seperti beralih dari batubara ke gas, atau menggunakan sumber energi
terbarukan seperti tenaga matahari atau biomassa.
Selain itu, mengurangi penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan menghemat
listrik juga mengurangi emisi GRK. Usaha-usaha seperti ini disebut mitigasi.
Melalui kerjasama dengan negara maju, negara berkembang bisa menerima manfaat dengan
adanya tambahan dana dan alih teknologi untuk menjalankan kegiatan yang mengurangi emisi
GRK sekaligus mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan.
1.1.4. Adaptasi
Perubahan iklim yang sedang terjadi berikut segala dampaknya tidak dapat dihindari. Oleh karena
itu, harus dilakukan upaya adaptasi, yaitu mempersiapkan diri dan hidup dengan berbagai
perubahan akibat perubahan iklim, baik yang telah terjadi maupun mengantisipasi dampak yang
mungkin terjadi.
Beradaptasi terhadap kedua macam dampak perubahan iklim – kejadian ekstrem dan dampak
perlahan – memerlukan strategi yang berbeda.
Mempersiapkan diri menghadapi kejadian ekstrem dilakukan dengan menyusun rencana
penanganan bila terjadi bencana alam, seperti badai dan banjir. Sedangkan menghadapi
perubahan perlahan memerlukan kemauan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
kondisi lingkungan yang terus berubah.
Sebenarnya penanganan masalah lingkungan, seperti reboisasi atau rehabilitasi terumbu karang
yang rusak, sudah merupakan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, kegiatan
tersebut perlu diperkuat dengan menyertakan pertimbangan mengenai dampak perubahan iklim.
Usaha mengurangi kemiskinan juga merupakan kegiatan adaptasi karena masyarakat miskin
paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dengan minimnya kemampuan mereka untuk
beradaptasi.
Contoh adaptasi terhadap kejadian ekstrem adalah dengan mengantisipasi bencana alam yang bisa
semakin sering terjadi karena adanya perubahan iklim. Ini bisa dilakukan dengan membuat sistem
peringatan dini di daerah yang dinilai rawan badai serta memberi petunjuk mengenai apa yang
harus dilakukan masyarakat bila badai terjadi.
Contoh adaptasi terhadap dampak perubahan iklim perlahan adalah membuat perlindungan bagi
masyarakat yang tinggal di pesisir dengan cara menanam hutan bakau. Adanya hutan bakau
mengurangi kemungkingan erosi pantai dan intrusi air laut ke dalam sumber air bersih akibat
naiknya permukaan air laut.
Upaya-upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim telah disepakati secara
global dalam suatu kerangka kerjasama antar negara yaitu Konvensi Perubahan Iklim yang
disebut UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).
8
9. 1.2. United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC)
Pembentukan UNFCCC diawali dari laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change)
yang memaparkan hasil penelitian pertamanya (First Assessment Report) di tahun 1990. Dalam
hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa perubahan iklim adalah ancaman serius bagi umat
manusia dan lingkungan.
Ancaman serius bagi dunia tersebut ditindaklanjuti dengan seruan pentingnya kesepakatan global
untuk menanggulangi masalah perubahan iklim. Kemudian dengan segera Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB) membentuk INC (Intergovernmental Negotiating Committee) untuk melaksanakan
negosiasi konvensi yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Lebih lanjut negosiasi tersebut sepakat untuk membentuk Kerangka Kerja Konvensi Perubahan
Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC) yang mulai
ditandatangani pada bulan Juni 1992, di Rio de Janeiro - Brazil, dalam KTT Bumi. Secara
ringkas, perkembangan isu perubahan iklim dapat dibaca pada Kotak 1.
Kotak 1. Sejarah Singkat Perkembangan Issue Perubahan Iklim
1979 The First World Climate Conference mengidentifikasi perubahan iklim sebagai sebuah
permasalahan global sangat mendesak dan mengeluarkan deklarasi untuk mengundang pemerintah
di seluruh dunia untuk mengantisipasinya. Hal ini ditindaklanjuti dengan pembentukan World Climate
Programme dengan arahan World Meteorological Organization (WMO), United Nations Environment
Programme (UNEP) dan International Council of Scientific Unions (ICSU) serta diikuti
penyelenggaraan konferensi intergovernmental dalam issue perubahan iklim.
1988 Dilangsungkan debat dalam Toronto Conference on the Changing Atmosphere ketika lebih dari
340 peserta debat dari 46 negara merekomendasikan untuk membentuk comprehensive global
framework convention sebagai upaya perlindungan atmosfer. Mengikuti proposal yang diajukan
Malta, UN General Assembly menyampaikan issue perubahan iklim untuk pertama kali dengan
mengadopsi Resolution 43/53. WMO dan UNEP membentuk Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), untuk mengkaji perubahan dunia yang telah terjadi, memperkirakan dampak yang
ditimbulkannya dan mengajukan strategi untuk mmenanggulanginya.
1990 IPCC mempublikasikan First Assessment Report on the state of the global climate, yang
menjadi dasar negosiasi di bawah United Nations General Assembly on a climate change
convention. Tanggal 21 Desember UN General Assembly melalui Resolution 45/212 membentuk
Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC)
sebagai “a single intergovernmental negotiating process under the auspices of the General
Assembly.” Pertemuan INC berlangsung dalam lima sesi dalam selang waktu antara February 1991
dan May 1992.
1992 INC menyelesaikan teks konvensi dalam waktu 15 bulan dan diadopsi di New York pada
tanggal 9 Mei dan dilaunching pada Bulan Juni di Rio de Janeiro Earth Summit, dimana UNFCCC
dibuka untuk penandatanganan (signature) dan 154 negara menandatanganinya.
1994 Konvensi mulai berlaku tanggal 21 March
1995 COP-1 (Berlin). INC menyelesaikan tugasnya untuk mempersiapkan implementasi konvensi.
Parties menyetujui komitmen untuk Negara-negara industri dan menghasilkan “Berlin Mandate” yang
menyebutkan tentang komitmen tambahan. Hasil COP1 :
1⇒ membentuk Ad Hoc Group on the Berlin Mandate untuk menindaklanjuti negosiasi
9
10. 2⇒ memutuskan perlunya dilakukan pertemuan Subsidiary Body for Implementation (SBI, Article10
Konvensi) dan Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA, Article9 Konvensi)
1996 COP-2 (Geneva).
1997 COP-3 (Kyoto) mengadopsi Kyoto Protocol. Protokol ini menciptakan target individual (dan
terikat secara hukum) bagi negara-negara industri untuk mempersiapkan langkah-langkah positif
dalam menurunkan emisi CO2 dan GHG lainnya.
1998 COP-4 (Buenos Aires). Dihasilkan Buenos Aires Plan of Action (BAPA) yaitu rencana dua
tahun untuk menyelesaikan perangkat praktis implementasi Konvensi.
1999 COP-5 (Bonn)
2000 COP-6 (The Hague). Dilangsungkan negosiasi dalam modalities of the Kyoto Protocol
2001 COP-6.5 (Bonn, Bulan Juli). Persetujuan politis dalam modalities of the Kyoto Protocol.
Dihasilkan pula Bonn Agreement tentang system perdagangan emisi, Clean Development
Mechanism (CDM), aturan untuk menghitung reduksi emisi dari carbon sinks, dan compliance
regime. Selain itu juga menggarisbawahi paket dukungan keuangan dan teknologi untuk membantu
Negara berkembang agar dapat berkontribusi dalam aksi global perubahan iklim dan dampaknya.
2001 COP-7 (Marrakech); finalisasi teknis secara rinci mengenai Bonn Agreement terkait Kyoto
Protocol yang disebut “Marrakech Accords”
2002 COP-8 (New Delhi) merupakan sesi pertama yang dilakukan setelah penyelesaian negosiasi di
bawah BAPA. COP8 mengadopsi Delhi Ministerial Declaration on Climate Change and Sustainable
Development dan New Delhi work programme dalam aspek pendidikan, training dan public
awareness.
2003 COP-9 (Milan) mengadopsi keputusan kegiatan afforestasi dan reforestasi di bawah skema
CDM.
2004 COP-10 (Buenos Aires) membahas adaptasi perubahan iklim dan menghasilkan Buenos Aires
programme of work on adaptation and response measures.
2005 COP-11 and COP/MOP 1 (Montreal). Protokol Kyoto mulai berlaku sejak 16 Februari dan pada
penyelenggaraan COP11 ini dilangsungkan pula first Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (COP/MOP1), dengan terobosan politis untuk memulai
suatu dialog tentang strategic long-term cooperative action.
2006 COP-12 and COP/MOP 2 (Nairobi).
Sampai dengan Bulan September 2006, 189 negara dari total anggota UN (191 negara), dan
European Community (EU) bergabung dalam Konvensi (164 negara dan EU bergabung dalam Kyoto
Protocol). Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa Konvensi Perubahan Iklim merupakan satu
persetujuan internasional yang ada yang memperoleh dukungan paling banyak dari seluruh dunia.
Tujuan yang paling utama dari pembentukan konvensi perubahan iklim tersebut adalah
mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga konsentrasi gas-gas tersebut tidak melampaui
batas aman dan tidak membahayakan iklim dunia.
Dalam konvensi tersebut disepakati juga untuk membagi negara-negara yang meratifikasi
menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I (negara-negara maju) dan negara-negara
non-Annex I (negara-negara berkembang).
Yang dimaksud dengan negara-negara Annex I adalah negara-negara yang telah
mengkontribusikan GRK hasil kegiatan manusia (anthropogenic) sejak revolusi industri tahun
1850-an. Sedangkan, negara-negara non-Annex I adalah negara-negara selain Annex I, yang
mengemisikan GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih
rendah.
10
11. Untuk menjalankan kegiatan UNFCCC membentuk otoritas tertinggi yaitu Conference of the
Parties (COP) yang mengadakan pertemuan rutin sekali setahun. Atau, ketika dibutuhkan. Selain
itu, UNFCCC juga membentuk dua badan tambahan yang diberi nama SBSTA (Subsidiary Body
for Scientific and Technological Advice) dan SBI (Subsidiary Body for Implementation).
Dua badan tambahan yang disebutkan terakhir secara rutin mengadakan pertemuan sebanyak dua
kali dalam setahun atau ketika dibutuhkan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintah Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No. 6
Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994. Sebagai salah satu negara non-Annex I, Indonesia ikut
ke dalam prinsip “common but differentiated responsbilities” yang artinya mempunyai tanggung
jawab bersama tetapi dengan porsi yang berbeda, tentunya dalam hal target pengurangan emisi
GRK.
Kemudian lebih lanjut dalam konvensi tersebut semua negara yang telah meratifikasi diwajibkan
memberikan National Communication yang berisi laporan-laporan inventarisasi GRK dan
kebijakan nasional yang terkait dengan perubahan iklim.
Pemanasan global adalah persoalan rumit, yang terkait dengan banyak isu-isu pembangunan,
ekonomi, kemiskinan, dan lain-lain. Maka dari itu strategi untuk menghadapi ancaman perubahan
iklim harus dilakukan bersama-sama dari sekarang, tidak ada waktu menunggu hari esok.
Kegiatan sosialisasi dan program-program yang terintegrasi antara pihak-pihak yang terkait
mutlak diperlukan, yaitu antara pemerintah, pihak industri, dan pemangku kepentingan, serta
masyarakat.
1.3. Protokol Kyoto
Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional untuk mengurangi emisi GRK global.
Berdasarkan perjanjian tersebut, negara-negara maju yang meratifikasi protokol ini wajib
menurunkan emisi GRK-nya sesuai target masing-masing yang telah ditetapkan melalui
kesepakatan bersama. Protokol Kyoto adalah salah satu hasil kesepakatan internasional yang
difasilitasi oleh UNFCCC.
Segera setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan
Iklim (UNFCCC-United Nations Framework Convention on Climate Change) disetujui pada
KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, negara-negara peserta konvensi
mulai melakukan negosiasi-negosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam
mengurangi emisi gas rumah kaca (selanjutnya disebut GRK).
Pada saat pertemuan otoritas tertinggi tahunan dalam UNFCCC ke-3 (Conference of Parties 3 -
COP) diadakan di Kyoto, Jepang, sebuah perangkat peraturan yang bernama Protokol Kyoto
diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi GRK. Kepentingan protokol tersebut
adalah mengatur pengurangan emisi GRK dari semua negara-negara yang meratifikasi.
Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi
Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus
mulai menurunkan emisi GRK mereka.
Menurut pengertiannya secara umum (http://untreaty.un.org/), protokol adalah seperangkat
aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati.
Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan
didalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas peraturan sebelumnya (semisal konvensi)
menjadi lebih detil dan spesifik.
11
12. Sepanjang COP 1 dan COP 2 hampir tidak ada kesepakatan yang berarti dalam upaya penurunan
emisi GRK. COP 3 dapat dipastikan adalah ajang perjuangan negosiasi antara negara-negara
ANNEX I (negara maju) yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri dengan
negara-negara non-ANNEX I (negara-negara berkembang) yang rentan terhadap perubahan iklim.
Negara-negara maju memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat
lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Untuk
mengakomodasi kepentingan kedua pihak tersebut, digunakan lah Protokol Kyoto sebagai
satusatunya kesepakatan internasional yang mengikat mereka untuk berkomitmen dalam
mengurangi emisi GRK. Kenapa? Karena Protokol Kyoto mengatur pengurangan emisi dengan
lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding).
Dalam Protokol Kyoto disepakati bahwa seluruh negara ANNEX I wajib menurunkan emisi GRK
mereka rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi tersebut di tahun 1990. Tahun 1990 ditetapkan
dalam Protokol Kyoto sebagai acuan dasar (baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK.
Bagi negara-negara non-ANNEX I, Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK,
tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di dalamnya, prinsip
tersebut dikenal dengan istilah “tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda” (common
but differentiated responsbility). Protokol Kyoto mengatur semua ketentuan tersebut selama
periode komitmen pertama, yaitu dari tahun 2008 sampai dengan 2012.
Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur masalah pengurangan emisi GRK,
seperti dijelaskan di bawah ini:
1. Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju untuk
membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan
emisi GRK.
2. Emission Trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju untuk
menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya. ET dapat
dimungkinkan ketika negara maju yang menjual kredit penurunan emisi GRK memiliki
kredit penurunan emisi GRK melebihi target negaranya.
3. Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan negara non-
ANNEX I (negara-negara berkembang) untuk berperan aktif membantu penurunan emisi
GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh sebuah negara maju. Nantinya kredit
penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari proyek tersebut dapat dimiliki oleh negara
maju tersebut. CDM juga bertujuan agar negara berkembang dapat mendukung
pembangunan berkelanjutan, selain itu CDM adalah satu-satunya mekanisme di mana
negara berkembang dapat berpartisipasi dalam Protokol Kyoto.
Bagi negara-negara ANNEX I, mekanisme-mekanisme di atas adalah perwujudan dari prinsip
mekanisme fleksibel (flexibility mechanism). Mekanisme fleksibel memungkinkan negara-negara
ANNEX I mencapai target penurunan emisi mereka dengan 3 mekanisme tersebut di atas.
Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:
1. sekurang-kurangnya protokol harus diratifikasi oleh 55 negara peratifikasi Konvensi
Perubahan Iklim
2. jumlah emisi total dari negara-negara ANNEX I peratifikasi protokol minimal 55% dari
total emisi mereka di tahun 1990.
Pada tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani protokol tersebut yang berarti syarat pertama
telah dipenuhi. Kemudian pada tanggal 18 November 2004 Rusia akhirnya meratifikasi Protokol
Kyoto dan menandai jumlah emisi total dari negara ANNEX I sebesar 61.79%. Ini berarti semua
12
13. syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari setelah ratifikasi
Rusia, yaitu pada tanggal 16 Februari 2005.
1.4. COP13 dan REDD
Dalam pertemuan COP ke 13 (pertemuan negara-negara) tentang UNFCCC di Bali yang
berlangsung tanggal 3 Desember sampai dengan 14 Desember 2007 salah satu agenda
pembahasan yang menyita perhatian para delegasi negara, lembaga swadaya masyarakat dan
media massa adalah pembahasan tentang REDD (Reducing Emission from Deforestation from
Developing Country). Proposal mekanisme penurunan emisi dari sector kehutanan ini muncul
untuk merespon laporan IPCC yang menyebutkan bahwa salah satu kontributor emisi global
adalah datang dari sektor kehutanan.
Sektor kehutanan dianggap sebagai salah satu penyumbang emisi yang cukup signifikan
mencapai 18%-20% total emisi gas rumah kaca1 (GRK) di atmosfir sebagai dampak penebangan,
konversi lahan, kebakaran hutan, dan aktivitas lainnya. Ekosistem hutan mengandung lebih
kurang 60% karbon yang ada di ekosistem daratan2. Hutan menyimpan karbon melalui
pertumbuhan pohon dan peningkatan karbon di dalam tanah.
Emisi Gas Rumah Kaca yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi
(konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman,
pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging,
kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), dan perambahan.
Sekitar 60% dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor LULUCF (Land Use, Land
Use Change, and Forestry) (Natcom, 1999). Terdapat publikasi ilmiah internasional yang
menyatakan bahwa kebakaran hutan dan ladang gambut di Indonesia pada tahun 1997
menyumbang 13 – 40% emisi karbon tahunan dunia [Page, dkk., 2002]. Bahkan Indonesia
ditempatkan sebagai kontributor emisi CO2 terbesar ketiga di dunia, setelah USA dan China.
REDD telah mulai dibahas sejak tahun 2005 dalam pertemuan internasional para pihak
(Conference on Parties) ke-11 di Montreal Canada. Pembahasan dilanjutkan dalam COP 12 di
Nairobi, dan menjadi salah satu agenda utama dari COP 13 di Bali pada bulan Desember 2007.
Indonesia memutuskan untuk mengikuti langkah Costa Rica dan PNG dalam memanfaatkan
skema REDD sebagai insentif bagi Indonesia untuk menahan laju deforestasi yang akan
dinegosiasikan dalam COP-13 tersebut.
Jika kita berbicara tentang pengelolaan hutan di Indonesia berdasarkan data terakhir yang tercatat
di Departemen Kehutanan luasan kawasan hutan yang masih dimiliki dan telah ditetapkan
kawasan hutan seluas 126,8 juta ha, yang terbagi kedalam beberapa fungsi seperti konservasi
(23,2 juta ha), lindung (32,4 juta ha), produksi terbatas (21,6 juta ha) produksi (35,6 juta ha) dan
produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha). Sementara itu pada tahun yang sama hasil study
citra satelit yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture
Organization/FAO) menyebutkan tutupan hutan Indonesia mencapai 88 juta ha. Luasan hutan
terakhir ini berpotensi diperdagangkan potensi karbonnya melalui mekanisme REDD dengan
potensi sebesar US$ 6 milyar pertahun atau sekitar US$ 6.000 per hektar.
1
Menurut Sir Nicholas Stern dalam Bukunya Stern Review, The Economic of Climate Change, disebutkan dua kelompok
besar penyebab gas rumah kaca, yaitu:
a. Emisi energi: energi (24%), transportasi (14%), industri (14%), bangunan (8%), and energi lain (5%)
b. Emisi non-energi: sampah (3%), pertanian (14%), penggunaan lahan (18%)
2
IPCC, Land use, land-use change, and forestry: a special report of the IPCC (Cambridge and New York: Cambridge
University Press, 2000).
13
14. II. REDD INDONESIA
IFCA dan COP13
Dalam rangka persiapan untuk melaksanakan REDD, pemerintah Indonesia telah membentuk
Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA). Aliansi ini bertugas melaksanakan kajian tentang
REDD yang mencakup tiga bagian:
1. Metode tentang penentuan periode dan emisi ‘referensi’, serta pemantauannya yang
diperlukan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar penurunan emisi yang berhasil
dicapai dari upaya mencegah konversi dan kerusakan hutan
2. Strategi penurunan emisi yang dapat dilakukan di lima sektor utama yaitu dari hutan
produksi, hutan konservasi/hutan lindung, hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan
lahan gambut.
3. Mekanisme pasar dan pendistribusian hasil pembayaran dari kegiatan REDD bagi para
pelaku.
IFCA terbentuk sejalan dengan bergulirnya pemikiran tentang upaya Indonesia dalam merespon
isu global mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from
Deforestation and Degradation/REDD) di negara berkembang.
Indonesia telah berpartisipasi aktif dalam proses pembahasan dalam pertemuan para pihak
(Conference of the Parties/COP) Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Conventions on
Climate Changes/UNFCCC) sejak pertama kali isu ini dimasukkan dalam Agenda COP, yaitu
COP-11 di Montreal tahun 2005.
Mempertimbangkan kesiapan Indonesia saat ini, perkembangan proses negosiasi, harapan pada
COP-13 dan pasca COP-13, Departemen Kehutanan sejak awal tahun 2007 telah memulai
merealisasikan pemikiran tentang upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di
Indonesia (REDDI/ Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Indonesia).
Kerangka ROAD MAP telah disiapkan yang mencakup 3 (tiga) fase yaitu :
Fase 1 : Persiapan (2007);
Fase 2 : Transisi/Pilot Activities (2008-2012);
Fase 3 : Implementasi Penuh (mulai 2012 atau lebih awal sesuai hasil COP).
Fase persiapan ini difasilitasi oleh World Bank, UK-DfID, Jerman, dan Australia. Upaya ini
memerlukan partisipasi semua unsur Governance yaitu Pemerintah, Kalangan Bisnis, dan Civil
Societies. Disamping itu, oleh karena merupakan bagian dari upaya global, diperlukan
keterlibatan komunitas internasional baik lembaga/negara donor maupun organisasi
internasional.
IFCA diciptakan sebagai wadah untuk mensinergikan upaya/inisiatif baik yang secara langsung
didesain untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di Indonesia maupun inisiatif
lain yang berkontribusi positif terhadap upaya tersebut. Dan oleh karenanya IFCA merupakan
wadah sinergitas upaya Pemerintah, Kalangan Bisnis, Civil Societies, dan masyarakat
international dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari yang pada akhirnya akan berkontribusi
positif terhadap stabilisasi iklim dunia.
14
15. Peran World Bank
World Bank mempunyai kepentingan menyalurkan utang kepada negara-negara berkembang.
Utang tersebut diperuntukkan bagi program-program pembangunan di suatu negara. Seringkali
World Bank dikritik bahwa utang yang diberikan, telah digunakan untuk membiayai proyek-
proyek pembangunan yang bersifat ekspoitatif dan menyebabkan terjadinya deforestasi dan
menguras energi fosil. Dalam konteks perubahan iklim, banyak proyek yang mendapat pinjaman
atau utang dari World Bank telah memberi kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya
pemanasan global.
Dalam Laporan rutin International Financial Corporation (IFC) tahun 2007 menyebutkan bahwa
Bank Dunia memberikan utang ke sektor swasta (private sector loan) lebih dari $645 Million
kepada perusahaan minyak dan gas bumi. Jumlah ini meningkat 40 % dibandingkan tahun 2006.
Disamping itu komitmen Bank Dunia untuk membiayai perusahaan swasta yang bergerak di
sektor energi pada tahun 2006 meningkat dari $2.8 billion to $4.4 billion. Sektor minyak dan gas
serta pembangkit tenaga memperoleh porsi terbesar dengan 77% dari total komitmen sedangkan
sektor energi terbarukan hanya memperoleh 5 % dari total komitmen.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa World Bank lebih senang membiayai perusahaan
multinasional yang bergerak dibidang ekstraksi minyak dan gas, didasari pada keuntungan yang
akan kembali atau dengan kata lain Bank Dunia lebih memilih menerapkan bisnis as usual dalam
praktek kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa Bank Dunia akan mengabaikan faktor
pembangunan yang berkelanjutan asalkan dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dalam konteks REDD, peran World Bank juga tidak terlepas dari kepentingan untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu World Bank mendorong mekanisme pasar bebas
sebagai cara untuk memperdagangkan karbon. Upaya ini bisa dilihat dari inisiatif World Bank
yang tertuang dalam Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inisiatif ini sempat didiskusikan
oleh World Bank dengan Masyarakat Adat dari Indonesia, Thailand, Burma, Philippines,
Vietnam, Cambodia, India, Bhutan, Bangladesh, Japan and Nepal pada tanggal 28 – 29 February
2008 di Nepal.
15
16. Konsep REDD Indonesia
Dalam pertemuan yang ke 13 bulan Desember 2007 di Bali, Indonesia mengusulkan untuk
memperluas cakupan kegiatan yaitu menurunkan emisi tidak hanya melalui pencegahan
deforestasi tetapi juga melalui upaya penurunan laju kerusakan hutan yang kemudian dikenal
dengan REDD (Reduction Emission from Deforestation and forest Degradation). Dalam kaitan ini
pemerintah Indonesia sudah membentuk Aliansi Hutan dan Iklim Indonesia (IFCA) dengan
dukungan dari Bank Dunia, Pemerintah Inggris, Australia dan German.
Hal yang menarik dari REDD ialah besarnya potensi aliran dana ke negara-negara yang memiliki
hutan luas seperti Indonesia dari pelaksanaan kegiatan ini. Secara global, diperkirakan besar pasar
karbon untuk REDD mencapai 15-50 miliar USD apabila diasumsikan besar potensi penurunan
emisi dari REDD sekitar 50% dari tingkat emisi saat ini. Besar pasar carbon untuk REDD jauh
lebih besar dari pada A/R CDM. Walaupun demikian, pelaksanaannya masih menghadapi
berbagai masalah yang terkait dengan aspek teknis, administrasi dan sosial karena model
pelaksanaannya tidak berbasis proyek seperti halnya A/R CDM.
Tantangan di atas merupakan salah satu dasar utama dalam membagi kegiatan IFCA menjadi
delapan bagian yang dilaksanakan oleh para peniliti baik nasional maupun internasional bersama
dengan Departemen Kehutanan. Kegiatan tersebut diarahkan untuk memberikan rekomendasi
berkaitan dengan:
1. Metode terbaik untuk menentukan dan menyusun emisi referensi dan cara memonitor
keberhasilan penurunan emisi yang terjadi dari tingkat emisi referensi
2. Strategi yang dapat dilakukan untuk menurunkan emisi melalaui perencanaan dan
pengelolaan yang lebih baik terhadap hutan produksi alam, hutan tanaman industri,
perkebunan sawit, dan hutan konservasi dan hutan lindung. Selain itu, strategi penurunan
emisi dari hutan lahan gambut juga menjadi salah satu perhatian utama, khususnya di
Sumatra, Kalimantan dan Papua.
3. Mekanisme pasar karbon yang efektif untuk REDD dan sistem kelembagaan untuk
mendistribusikan insentif atau pembayaran di Indonesia.
Penentuan tingkat emisi referensi sangat penting untuk REDD dibanding A/R CDM karena
pelaksanaannya nanti akan berada pada tingkat wilayah geografi yang luas (tingkat daerah atau
nasional) bukan pada tingkat proyek. Hal ini diusulkan untuk mengatasi masalah kebocoran
karbon dan ‘additionality’ yang terjadi pada kegiatan yang bersifat proyek seperti A/R CDM.
Pelaksanaan kegiatan REDD pada tingkat proyek seperti halnya proyek A/R CDM akan memiliki
potensi kebocoran karbon yang sangat besar sehingga sulit untuk menjamin bahwa penurunan
emisi yang terjadi di wilayah proyek bersifat nyata dan terukur (additional). Misalnya
keberhasilan melindungi kawasan hutan konservasi atau lindung yang dijadikan proyek REDD
dari upaya konversi menjadi lahan pertanian misalnya bisa saja berdampak pada meningkatnya
konversi hutan di kawasan yang lain yang berdekatan yang tidak menjadi sasaran proyek REDD
(disebut kebocoran karbon).
Dengan demikian karbon yang diselamatkan pada satu kawasan tersebut sifatnya tidak nyata
(tidak additional) karena telah meningkatkan kehilangan karbon dari kawasan hutan lain. Oleh
karena itu tantangannya terbesar ialah bagiamana menentukan luasan wilayah yang minimum
yang dapat mengatasi masalah kebocoran ini dengan tingkat ketelitian yang memadai sehingga
kredit penurunan emisi yang dihasilkan benar-benar layak untuk mendapatkan kompensasi atau
untuk diperdagangkan.
16
17. Opsi yang dipertimbangkan dalam penentuan emisi referensi ialah dengan menggunakan data
historis laju deforestasi dan kerusakan hutan yang terjadi pada periode tertentu. Sebagai contoh,
tahun 1990 dapat digunakan sebagai tahun awal perhitungan emisi referensi (negara maju sudah
menggunakan tahun 1990 sebagai tahun dasar perhitungan). Untuk Indonesia, perubahan besar
tingkat emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan terjadi pada periode 10 tahun terakhir yaitu
saat terjadinya krisis ekonomi dan dilaksanakannya desentralisasi sistem pemerintahan.
Usulan dengan menggunakan data dari periode 10 tahun terkahir tentu akan menguntungkan
Indonesia karena tingkat emisi referensi akan tinggi sehingga potensi penurunan emisi yang dapat
dilakukan akan lebih besar. Opsi lain ialah dengan pendekatan modeling. Dalam pendekatan ini
proyeksi tingkat emisi referensi ke depan dilakukan dengan menggunakan model simulasi
konversi dan kerusakan hutan sebagai fungsi dari faktor-faktor pendorong terjadinya konversi dan
kerusakan hutan.
Hal penting lain yang harus dipertimbangkan untuk meningkatkan tingkat kompetisi Indonesia
dari negara lain yang memiliki hutan luas seperti Brazil ialah masalah metode analisis dan
pemilihan citra satelit yang akan digunakan dalam menentukan perubahan tutupan dan kerusakan
hutan. Metode yang dipilih minimal mampu memberikan perkiraan perubahan tutupan hutan dan
kerusakan hutan dengan tingkat akurasi yang cukup tinggi dengan tingkat resolusi minimal 2 ha
seperti yang sudah dilakukan oleh Brazil. Teknologi untuk pengumpulan dan pemoresan data
citra satelit sudah berkembang pesat dengan menggunakan platform citra satelit Landsat dan
MODIS.
Terlepas dari hal ini, Indonesia juga perlu segera melakukan survey lapangan yang intensif untuk
mengukur stok karbon baik yang ada pada biomas bagian atas dan bawah permukaan, juga yang
ada pada kayu mati di lantai hutan, sarasah dan karbon tanah untuk semua tipe hutan pada
berbagai tingkat kerusakan. Pengetahuan tentang perubahan stok karbon pada hutan gambut juga
sangat penting untuk dikaji lebih jauh.
Sistem klasifikasi hutan untuk REDD dapat menggunakan sistem klasifikasi hutan pada tataguna
hutan kesepakatan (TGHK) yang terdiri dari hutan produksi, hutan konservasi, hutan konservasi,
hutan lindung dan hutan konversi. Klasifikasi ini dirinci lebih jauh ke dalam kelas hutan tidak
terganggu, terganggu atau sudah menjadi hutan tanaman industri dan bukan tutupan hutan (tebang
habis yang tidak diikuti oleh penanaman hutan industri). Selain itu juga harus ditambahkan areal
di luar kawasan hutan yang berada di bawah pemerintah daerah yang kondisi masih berupa hutan.
Dengan pengakatagorian ini memungkinkan untuk memasukkan semua hutan baik yang ada di
dalam maupun luar kawasan ke dalam skema REDD dengan melibatkan semua pihak baik pusat
maupun daerah.
Di Indonesia laju emisi CO2 historis masih tinggi karena besarnya pengambilan hasil hutan kayu,
pembukaan hutan untuk hutan tanaman industri untuk pulp dan kertas dan untuk perkebunan
khususnya kelapa sawit. Disamping itu pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan serta terus
berlangsungnya penebangan dan pembukaan lahan secara ilegal baik di dalam kawasan hutan
produksi maupun dalam kawasan hutan konservasi dan lindung juga memberikan kontribusi yang
besar terhadap peningkatan emisi.
Karena ke depan kebutuhan akan kayu industri dan minyak nabati semakin besar, maka
pembukaan hutan alam untuk memenuhi permintaan ini diperkirakan akan terus meningkat
Namun demikian, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan Indonesia untuk mengurangi laju
emisi dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Strategi yang paling signifikan
ialah:
1. Mengurangi konversi hutan alam yang dapat dikonversi menjadi hutan tanaman industri
atau perkebunan melalui pemanfaatan lahan dalam kawasan hutan yang sudah mengalami
degradasi berat sehingga biaya pembangunan hutan tanaman dan perkebunan tidak lagi
dimungkinkan diambil sebagian dari hasil penjualan kayu.
17
18. 2. Mengalihkan sebisa mungkin operasi penebangan, konversi hutan menjadi hutan tanaman
industri dan perkebunan ke luar dari hutan gambut dan merestorasi kembali hutan gambut
yang sudah rusak dengan memperbaiki kondisi hidrologinya serta mendorong kegiatan
afforestasi dan reforestasi serta mempecepat laju regenerasi hutan gambut melalui
kegiatan pengayaan alam buatan.
3. Menekankan kembali kewajiban melaksanakan sistem pengelolaan hutan yang
bekelanjutan sesuai dengan pedoman da aturan internasional untuk Reduced Impact
Logging (RIL) dimana Indonesia ikut dalam menandatangani kewajiban ini.
Seefektif apakah Indonesia mampu dalam membangun dan mendorong pelaksanaan REDD
melalui pengembangan istrumen kebijakan dan hukum yang tepat serta pemanfaatan tenaga ahli
dan teknis yang professional akan menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan REDD.
REDD akan memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya
pada dunia luar dalam mengelola hutannya secara berkelanjutan dan meyakinkan pasar karbon
dunia kualitas kredit karbon dari penurunan emisi yang dihasilkan dari upaya pencegahan
konversi dan degradasi hutan. Pembeli kredit karbon selalu memberikan nilai yang besar untuk
kualitas, jadi tidak hanya dari sisi karbon semata tetapi juga dari sisi lingkungan yang lebih luas
dan dari aspek-aspek sosial.
Pada saat ini ada empat opsi kebijakan internasional terkait dengan REDD, yaitu:
1. Sistem kredit karbon sebagai kelanjutan dari Protokol Kyoto (compliance market), yang
pelaksanaannya berbasis proyek atau wilayah geografis (nasional atau sub-nasional)
2. Sistem kredit karbon REDD yang diatur dalam protokol tersendiri di bawah UNFCCC
3. Mekanisme kompensasi REDD yang berbasis pendanaan bukan pasar (sama seperti GEF)
dan
4. Sistem pendanaan berbasis pasar sukarela (voluntary market)
5. Sistem kredit karbon REDD yang mengikuti kerangka UNFCCC dengan model
pelaporan yang sudah diadop oleh negara Annex 1.
Dari semua ini, opsi yang dianggap paling bermanfaat bagi negara berkembang ialah opsi REDD
yang berbasis pasar dengan aturan yang mengikat (compliance rules) sebagai kelanjutan dari
Protokol Kyoto atau melalui protokol tersendiri di bawah UNFCCC yang pelaksanaannya tidak
berbasis proyek tetapi pada tingkat wilayah geoprafis tertentu (nationl atau sub-nasional).
Pertimbangannya ialah opsi ini akan menjamin pasar REDD yang tinggi karena kredit yang
dihasilkan dapat digunakan oleh negara pemberi kompensasi untuk memenuhi dari target
penurunan emisi dan masalah kebocoran karbon dapat diatasi. Sudah barang tentu besar pasar
REDD melalui opsi ini akan sangat ditentukan oleh target penurunan emisi yang ditetapkan bagi
negara maju setelah pasca Kyoto, jumlah negara yang ikut menetapkan target penurunan emisi
dan kecendrungan besar penurunan emisi dari pelaksanaan proyek CDM dari sektor energi.
Besar pendapatan negara dari kegiatan REDD akan ditentukan oleh besarnya volume penurunan
emisi yang dicapai dan dijual oleh negara tersebut serta kemampuannya untuk menjamin pembeli
bahwa penurunan emisi yang terjadi bersifat nyata (additional) dan memberikan dampak positif
terhadap kondisi sosial dan lingkungan. Hal ini sangat terkait pada tingkat kemampuan
pengelolaan hutan oleh daerah dan nasional sehingga dapat menjaminan dan membangun
kepercayaan negara pembeli terhadap negara penjual kredit tentang kualitas dari kredit yang
REDD yang akan dihasilkan.
Contoh-contoh keberhasilan tentang pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari perlu
diungkapkan secara internasional untuk membangun kepercayaan internasional terhadap
kemampuan Indonesia untuk melaksanakan REDD. Yang masih menjadi pertanyaan ialah
18
19. (1) Apakah Indonesia cukup memiliki kekuatan menerima kepercayaan internasional untuk
menerima pembayaran di muka dalam melakukan kesepakatan pembelian penurunan
emisi melalui REDD menjelang tahun 2012?
(2) Sejauh dan sebesar apa dana yang tersedia dan dikelola oleh pendanaan internasional
untuk persiapan pelaksanaan REDD?
Apapun keputusan yang dipilih berkaitan dengan REDD, efektifitas dan keberlanjutan dari
pelaksanaan REDD baik di tingkat nasional maupun internasional akan sangat bergantung pada
apakah sistem pembayaran dapat dilakukan secara adil dan transparan kepada yang berhak atau
pihak yang terkait langsung dalam melaksanakan upaya perlindungan dan pencegahan kerusakan
hutan dan lahan gambut. Dana kompensasi juga harus cukup tinggi dan dapat mendorong
keberlanjutan upaya REDD. Isu penting berkaitan dengan REDD ialah sejauh mana kemampuan
dari sistem pemerintahan yang ada dapat menjamin pelaksanaan REDD memiliki dampak sosial
yang positif, bukan justru hanya memberikan manfaat bagi pihak-pihak ternetu yang selama ini
memanfaatkan keuntungan dari kegiatan eksploitasi hutan dengan memanfaatkan
ketidakberdayaan masyarakat.
Untuk mengatasi masalah di atas, diperkukan struktur kelembagaan yang independent yang
memisahkan peran pemerintah sebagai regulator, perantara, pembeli kredit karbon local dan
supplier kredit ke pasar internasional. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan perlu segera
disiapkan seperti metode pembayaran, kegiatan yang layak dan boleh untuk REDD, mekanisme
pendistribusion, akountabilitas dan kebijakan lainnya untuk menjamin transparansi. Keterlibatan
masyarakat sipil dalam pelaksanaannya menjadi suatu keharusan.
Struktur kelembagaan REDD yang direkomendasikan ialah sistem kelembagaan nasional yang
berperan untuk meregistrasi semua pihak dari daerah yang memiliki komitmen melaksanakan
REDD, membantu menyusun dan memantau emisi referensi dari semua daerah yang sudah
mendaftar, menyusun aturan main baku pelaksanaan REDD dan menjual kredit REDD yang
dihasilkan oleh daerah serta mendistribusikan keuntungan dari penjualan kredit REDD kepada
daerah-daerah secara adil dan transparan. Dalam sistem kelembagaan ini, pemerintah daerah
memiliki kewajiban untuk melakukan koordinasi dengan berbagai pihak yang akan ikut
melaksanakan REDD, baik pengusaha, LSM, organisasi kemasyarakatan dan pemerintah daerah
sendiri dalam menentukan bagaimana upaya penerunan emisi dari pencegahan deforestasi dan
kerusakan hutan akan dilakukan di tingkat lokal. Pembahasan lebih lanjut tentang keuntungan dan
kerugian pemerintah nasional sebagai regulator dan sekaligus distributor dibanding hanya sebagai
regulator saja dijelaskan dalam laporan konsolidasi.
1.3.1. Proses Penyusunan Konsep REDD Indonesia
Departemen Kehutanan menempuh 3 (tiga) tahapan penanganan isu pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) (periksa
Bagan 1). Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDDI) merupakan terjemahan
initiatif internasional ke dalam konteks nasional. Oleh karenanya REDDI tidak didesain eksklusif
terhadap kebijakan kehutanan, tetapi untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan dan upaya-
upaya yang dilakukan dalam menuju pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.
Penjelasan dari ketiga tahapan penanganan REDDI adalah sebagai berikut :
1. Fase Persiapan (pre – COP 13)
Pada fase ini kegiatan difokuskan pada penyiapan basis negosiasi di COP-13 dan
penyiapan desain serta kriteria pemilihan lokasi sebagai pilot sites. Studi komprehensif
yang mencakup aspek metodologi dan strategi serta kajian aspek pasar dan insentif,
dilakukan selama bulan Juli-November 2007. Studi dilakukan oleh tenaga ahli
19
20. inernasional dan nasional, dengan nara sumber dari instansi/organisasi terkait atau
perorangan sesuai keahliannya. Pembiayaan didukung oleh World Bank, UK-DFID,
Jerman, dan Australia. Hasil studi akan dipresentasikan pada side events di COP-13.
Diharapkan pada COP-13 sudah dapat diumumkan lokasi potensial untuk pilot activities
berdasarkan kriteria yang dibangun dalam studi di atas, serta calon lokasi pilot activities
yang telah mendapat komitmen dukungan pendanaannya.
Pengorganisasian studi di atas dapat dilihat pada Bagan 2, Bagan 3, dan Tabel 1.
2. Fase Transisi (2008 – 2012)
Pada tahap transisi, pelaksanaan pilot activities, dimaksudkan sebagai sarana learning by
doing process, termasuk di dalamnya testing metodologi dan strategi yang dihasilkan dari
studi bulan Juli-November 2007, termasuk mekanisme insentif. Pilot activities dapat
berupa pengurangan emisi dari deforestasi (REDeforestasi), pengurangan emisi dari
degradasi (REDegradasi), dan Konservasi.
3. Fase Implementasi ( mulai tahun 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan dalam
negosiasi COP).
Fase ini merupakan implementasi mekanisme REDD dengan modalities, rules, dan
prosedur sesuai keputusan COP.
20
21. III. KEKUATIRAN DAN
PERTANYAAN
SEPUTAR REDD
3.1. Hasil Workshop REDD di Berbagai
Daerah
Workshop regional merupakan rangkaian kegiatan dari CSO Network on Forestry Governance
and Climate Change yang bertujuan untuk memberi peluang kepada stakeholder di daerah dalam
menyikapi REDD. Hal ini dilakukan karena proses penyusunan konsep REDD oleh pemerintah
dan dibahas dalam COP13, dilakukan tanpa proses konsultasi publik yang memadai.
Workshop regional diadakan dalam periode Maret sampai April 2008, di empat lokasi yaitu
Mataram, Samarinda, Makasar dan Sorong. Khusus untuk workshop regional di Makasar,
sebelumnya telah diadakan workshop tingkat propinsi yang diadakan di Kendari, Palu dan
Tomohon. Workshop tingkat propinsi diadakan oleh Sulawesi Community Foundation dengan
dukungan dari DFID. Satu workshop yang masih direncanakan adalah workshop regional
Sumatera yang merupakan kerjasama CSO dengan Departemen Kehutanan.
Pelaksanaan workshop regional selalu dihadiri oleh salah satu anggota DELRI sebagai nara
sumber, yaitu Dr. Nur Masripatin, Dr. Ngaloken Ginting, Dr. Chairil Anwar Siregar, dan Ir.
Andri Akbar MS. Selain itu salah satu anggota CSO juga menjadi nara sumber, untuk
menyampaikan sikap CSO terhadap isu REDD.
Peserta yang diundang pada workshop di Mataram, Samarinda dan Makasar pada umumnya
berasal dari berbagai pihak, baik masyarakat, aparat pemerintah daerah, LSM dan perguruan
tinggi. Sedangkan di Sorong kebanyakan berasal dari masyarakat adat dan LSM. Alasannya,
masyarakat adat dan LSM di Papua perlu melakukan konsolidasi untuk menyikapi isu REDD
sebelum diskusi dengan pihak lain.
3.1.1. Kekuatiran dan Pertanyaan Seputar REDD
Keraguan terhadap manfaat REDD
REDD dianggap tidak memberi manfaat yang signifikan bagi Indonesia, karena hanya
memperhitungkan kawasan hutan yang tercegah dari deforestasi, dan tidak memperhitungkan
kawasan hutan yang masih utuh dan hutan yang direhabilitasi.
Mekanisme distribusi manfaat dari REDD belum jelas, apa hak dan tanggung jawab dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah ?
Di tingkat implementasi, tanggapan peserta terutama ditujukan agar skema-skema insentif yang
ditawarkan tidak memberi dampak negative terhadap masyarakat. Apa pun skemanya, diharapkan
insentif dapat diberikan kepada pihak-pihak, baik yang mencegah terjadinya deforestasi-degradasi
hutan maupun yang sudah melindungi hutan sejak lama.
21
22. REDD bukan satu-satunya skema.
REDD hanyalah salah satu skema pemberian insentif untuk mengurangi dampak perubahan iklim
melalui pengurangan deforestasi. Kita jangan hanya terpaku pada skema REDD. Skema REDD
hanya salah satu skema insentif yang bisa diterapkan. Kita juga sebaiknya menggambarkan
adanya skema-skema insentif lain yang juga bisa diakses oleh masyarakat maupun pemerintah
daerah dan stakeholder lain
Para pihak di Nusa Tenggara menyepakati bahwa skema yang mungkin lebih tepat untuk
kawasan Nusa Tenggara yang didominasi oleh pulau-pulau kecil adalah strategi adaptasi.
Strategi ini telah disusun oleh Bapedalda Propinsi NTB dan telah ditawarkan kepada Propinsi
NTT.
REDD dan inisiatif lokal
REDD belum dapat menjawab pertanyaan tentang kompensasi bagi inisiatif masyarakat lokal
atau adat dalam melindungi hutan.
HKm (Hutan Kemasyarakatan) merupakan salah satu skema yang bisa dikembangkan dalam
REDD.
Dalam konteks HKm, REDD jangan terlalu cepat dibuang dan jangan terlalu cepat dimakan
karena akan menjadi racun. Yang ingin dilihat adalah bagaimana HKm bisa sukses, mengingat
sudah banyak inisiatif masyarakat.
HKm meskipun memungkinkan/bisa dimasukkan dalam skema REDD tetapi hingga kini
dipertimbangkan tidak prospektif untuk memberi pemasukan signifikan bagi negara (luasnya
relatif kecil dan itupun sulit dicapai) dan bagi masyarakat (belum jelas dan tidak atraktif
dibanding sumber pendapatan lain/risiko yang mungkin dihadapi)
Ditinjau dari tantangan yang ada, maka daripada mempertimbangkan untuk me-masukkan HKm
dalam REDD adalah lebih penting saat ini mengimplementasikannya secara konsisten dan
merealisasikan seluruh skema resmi kehutanan masyarakat agar proses desentralisasi dan
devolusi manajemen sumberdaya hutan dapat terwujud
REDD mensyaratkan tidak adanya konflik dengan masyarakat, sementara di tingkat lapang
banyak sekali konflik, terutama yang menyangkut persoalan tenurial. Bagaimana REDD dapat
memenuhi syarat ini ?
Skema REDD yang sedang dirancang Departemen Kehutanan RI belum memberikan jaminan
secara tegas terhadap hak kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya hutan yang dimiliki oleh
Masyarakat Adat Papua.
Kekuatiran terhadap kesiapan forest governance
Penegakan hukum bidang lingkungan dan khususnya kehutanan masih lemah.
Proses dan mekanisme penyusunan skema REDD yang sedang diinisiasi oleh Departemen
Kehutanan RI dinilai tidak partisipatif dan transparan.
Peserta konsultasi meyakini bahwa skema REDD yang sedang dirancang Departemen Kehutanan
RI akan berdampak terhadap masyarakat adat Tanah Papua di Papua Barat sehingga inisiatif
tersebut mutlak dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Masyarakat Adat Papua sebelum
diimplementasikan.
Kekuatiran terhadap tumpang tindih kebijakan tata ruang
Kaltim merupakan daerah yang sedang mengembangkan investasi perkebunan dan pertambangan.
Tidak hanya di Kaltim, di daerah lain juga sama, dimana ada kecenderungan semakin tingginya
22
23. tingkat kebutuhan konversi lahan (perkebunan, transmigrasi, pertambangan dll). Hal ini akan
berakibat pada meningkatnya kebutuhan atas kawasan hutan untuk dibuka atau terdeforestasi.
Kelembagaan multi-pihak di daerah
Kelembagaan di setiap daerah juga harus dikembangkan. Untuk tahap awal, diharapkan ada
forum yang bisa menjadi cikal bakal kelembagaan. Apabila belum ada, maka forum multi-pihak
ini bisa difasilitasi oleh community foundation yang ada di setiap regio (SSS di Sumatera, KBCF
di Kalimantan, SCF di Sulawesi, Samanta di Nusa Tenggara, JAVLEC di Jawa dan PCSSF di
Papua).
Di Sulawesi ada keinginan untuk menjajaki integrasi REDD dalam KPH (Kesatuan Pengelolaan
Hutan).
3.1.2. Daftar Kebutuhan Tentang REDD
Kebutuhan terhadap Dasar hukum
Skema yang akan diterapkan, misalnya REDD, harus memiliki dasar hukum yang jelas, dan
proses penyusunan dasar hukum ini harus melibatkan stakeholder di daerah.
Kebutuhan terhadap kejelasan informasi REDD bagi masyarakat
Aksesibilitas informasi REDD masih rendah, sehingga pemahaman REDD di semua level masih
kurang.
Hasil-hasil penting dari COP-13 Bali belum dipahami dengan baik oleh sebagian besar
masyarakat sipil karena tidak terjadi mekanisme penyebarluasan informasi dengan baik.
Skema REDD yang sedang dirancang Departemen Kehutanan RI belum dikonsultasikan kepada
publik Tanah Papua di Papua Barat secara partisipatif dan representatif, sehingga apa yang
termuat dalam rancangan tersebut tidak diketahui dan dipahami oleh mayoritas publik, terutama
masyarakat adat Tanah Papua di Papua Barat.
Kebutuhan terhadap database
Data Based Sumberdaya Hutan belum memadai, terutama tentang data kondisi hutan, laju
deforestasi dan degradasi hutan, serta data iklim di daerah. Kalaupun tersedia, biasanya data
tersebut tidak akurat.
Kebutuhan terhadap pengembangan kapasitas
Pemerintah pusat perlu mengalokasikan sumberdaya untuk peningkatan kapasitas stakeholder di
daerah, antara lain dalam menghitung potensi karbon yang dapat “diperjual belikan”, juga dalam
mengembangkan kelembagaan.
3.1.3. Langkah-langkah antisipasi REDD
Nusa Tenggara
Implementasi REDD, dengan mengembangkan konsep REDD alternatif/sandingan yang sesuai
dengan kondisi lokal, dan dikelola oleh lembaga multi-pihak di tingkat daerah
Tawaran model: tidak hanya REDD
Pemberdayaan masyarakat (HKM, HTR dll.)
23
24. Pengembangan kapasitas
Pengembangan kualitas sumberdaya alam (konservasi biodiversity dll.)
Pengembangan Renewal Energy dan Hutan Tanaman Industri
Langkah-langkah:
Identifikasi resources
Menyusun skala prioritas kawasan dan program
Menyusun daftar stake holders
Kontak person (NTT : Paskalis Nai, NTB : Dwi Sudarsono)
Kalimantan Timur
Manfaat bagi kelestarian hutan Kaltim:
Masyarakat lokal;
Daerah dan masyarakat terlibat aktif dalam proses dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan dalam REDD
Spesifikasi/keragaman lokal/daerah dipertimbangkan serius dalam kebijakan dan
peraturan REDD nasional
Manfaat bagi Kelestarian Hutan di Kaltim, jika;
Melindungi hutan lindung di kawasan konservasi
Prinsip-prinsip REDD benar-benar dilaksanakan
Adanya komitmen dan konsistensi dalam melaksanakan RTRWP dan RTRWK
Sulawesi
Langkah-Langkah Strategis Penerapan REDD di Sulawesi:
Pembentukan pokja REDD (SCF, Dishut provinsi dan kabupaten)
Memperbarui data dan informasi
Identifikasi dan Inventarisasi Hutan
Identifikasi dan Inventarisasi stakeholder
Mendorong percepatan pembentukan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
Sosialisasi REDD (publikasi)
Pengembangan jaringan informasi Sulawesi
Mengkaji kebijakan/Perda
Pengembangan kapasitas parapihak khususnya dalam perhitungan karbon
Pemenuhan kriteria untuk lokasi REDD
Kelembaagaan Multi Stakeholder
Kajian data
Singkronisasi data disemua level
24
25. Kriteria lokasi contoh:
Tersedianya data dan informasi (peta dsb)
Tingkat degradasi dan deforestasi
Berada di kawasan hutan negara
Kelayakan ekonomi (apakah REDD menguntungkan disitu)
Tekanan terhadap kawasan (ancaman dan resiko)
Dukungan para pihak
Ada masyarakat pengelolaan hutan (dengan sistem kelembagaan yang kuat)
Komitmen/dukungan nyata pemkab/pemprov setempat
Lokasi mudah diakses
Papua
A. Pemerintah Pusat (c.q. Departemen Kehutanan RI)
Melakukan sosialisasi hasil-hasil penting COP 13 Bali kepada publik Tanah Papua di
Papua Barat.
Mengkonsultasikan Rancangan REDD secara intensif kepada publik Tanah Papua di
Papua Barat. Konsultasi publik ini harus melibatkan representasi parapihak sektor
kehutanan Tanah Papua di Papua Barat.
Menyiapkan perangkat kebijakan terkait dengan REDD. Proses penyiapan kebijakan ini
harus partispatif, representatif, dan transparan.
Melakukan konsultasi secara transparan dan partisipatif dalam pemilihan wilayah dan
implementasi Pilot Project REDD.
B. Pemerintah Daerah
Melakukan sosialisasi hasil-hasil penting dari COP 13 Bali kepada publik Tanah Papua di
Papua Barat.
Menyiapkan perangkat kebijakan tingkat daerah terkait dengan REDD
Melakukan konsultasi secara transparan dan partisipatif dan transparan dalam pemilihan
wilayah dan implementasi Pilot Project REDD. Proses konsultasi secara transparan dan
partisipatif juga harus dilakukan terhadap penentuan wilayah-wilayah REDD yang
berbasis voluntary market.
Memfasilitasi komunitas masyarakat adat di Kampung berdasarkan sistem dan tata nilai
yang berlaku di wilayahnya untuk melakukan pemetaan kepemilikan dan penguasaan
lahan hutan secara partisipatif, demokratis dan damai.
C. Masyarakat Sipil
Masyarakat Adat melakukan pemetaan wilayahnya masing-masing berdasarkan sistem
dan tatanilai yang dianut secara damai.
Mendorong terbangunnya pemahaman dan respon publik Tanah Papua di Papua Barat
tentang REDD.
Mendorong terbentuknya tim multipihak Tanah Papua di Papua Barat untuk melakukan
asistensi dan fasilitasi inisiatif REDD.
25
26. 3.2. CSO Network on Forestry Governance
and Climate Change
Civil Society Organization Network on Forestry Governance and Climate Change (CSO) adalah
jaringan kerjasama antara beberapa Community Foundation (Sumatera Support System, Kawal
Borneo Community Foundation, Sulawesi Community Foundation, Samanta dan Java Learning
Center), NGO (KKI WARSI, LATIN, IHSA, LEI, TELAPAK, PROTEUS), dan Partnership for
Governance Reform.
CSO memulai aktivitas sejak bulan September 2007 dalam bentuk diskusi-diskusi yang
membahas keterkaitan antara isu kehutanan dengan perubahan iklim. Salah satu isu utama yang
dibahas adalah REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). Isu ini
kemudian menjadi fokus pembahasan di antara anggota CSO, karena diperkirakan akan
berdampak langsung terhadap kelompok-kelompok masyarakat dampingan anggota CSO.
Di sisi lain, konsep REDD adalah salah satu agenda utama yang akan dibahas pada COP13 pada
bulan Desember 2007 di Bali. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, telah
menyiapkan konsep REDD yang akan ditawarkan pada COP13. Namun, konsep yang dibuat
pemerintah disusun tanpa melalui proses konsultasi publik yang memadai.
Oleh karena itu CSO menyusun suatu konsep paper yang berjudul “Mekanisme Kompensasi
Pengurangan Emisi di Sektor Kehutanan yang Berkeadilan”. Konsep ini merupakan tanggapan
kritis dari CSO terhadap konsep REDD yang telah disusun pemerintah. Selain itu, CSO juga
menyampaikan posisinya terhadap isu REDD. Pada prinsipnya, CSO mengajukan sejumlah
persyaratan apabila isu REDD ini mau diterapkan di Indonesia.
Konsep paper ini kemudian disampaikan kepada publik melalui serangkaian diskusi dengan
media massa, baik melalui konferensi pers maupun diskusi langsung di kantor media massa.
Kegiatan ini diadakan sebelum dan selama COP13 diadakan. Media massa yang diajak
berdiskusi adalah Media Indonesia, Koran Tempo, Kantor Berita ANTARA, The Jakarta Post,
dan Radio RAMACO. Selain itu dilakukan pula diskusi di televisi pada acara NewsDotCom di
Metro TV.
Pada waktu COP13 dilaksanakan, CSO mengadakan diskusi tentang REDD, pada tanggal 6
Desember 2007. Diskus ini bertujuan untuk menggalang opini stakeholder dari berbagai daerah
untuk menyikapi isu REDD. Peserta yang diundang lebih kurang 60 orang dari Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara dan Jawa. Hasil workshop telah didokumentasikan
dalam format “Catatan Diskusi REDD”. Nara sumber workshop adalah Agus Affianto (CSO),
Ruly Syumanda (WALHI), Dr. Rizaldi Boer (IPB), Nuzran (DPD asal Jambi), dan Dr. Sofyan
Warsito (UGM).
Selain itu, selama COP13 berlangsung, anggota CSO juga berdiskusi dengan beberapa anggota
Delegasi RI (DELRI) tentang REDD. Kegiatan ini bertujuan untuk meminta penjelasan tentang
posisi pemerintah terhadap isu REDD dan menyampaikan posisi CSO kepada pemerintah.
Orang-orang yang diajak berdiskusi adalah anggota Delegasi RI dari Departemen Kehutanan
yang bertanggung jawab untuk mematangkan konsep REDD versi Indonesia. Mereka adalah Ir.
Wahyudi Wardoyo MSc. (Kepala Badan Litbang Dephut sekaligus koordinator Tim Penyusun
konsep REDD Indonesia, Dr Nur Masripatin (Sekretaris Badan Litbang Dephut, sekaligus
koordinator pelaksana tim penyusun konsep REDD Indonesia), Ir. Fitrian Ardiansyah MS.
(WWF sekaligus anggota DELRI dan tim negosiator untuk isu REDD), Dr. Rizaldi Boer (anggota
26
27. Tim Ahli penyusun konsep REDD Indonesia), Ir. Andri Akbar MS. (anggota DELRI untuk isu
hukum internasional).
Setelah COP13, CSO memfasilitasi penyelenggaraan konsultasi publik tentang REDD di berbagai
daerah, yaitu di Kendari (peserta berasal dari propinsi Sulawesi Tenggara), Palu (peserta berasal
dari Sulawesi Tengah), Tomohon (peserta berasal dari Sulawesi Utara dan Gorontalo), Makasar
(peserta berasal dari seluruh propinsi di Sulawesi), Sorong (peserta berasal dari propinsi Papua
Barat), Mataram (peserta berasal dari propinsi NTB dan NTT), Samarinda (peserta berasal dari
propinsi Kalimantan Timur). Hasil-hasil konsultasi publik di berbagai daerah telah disampaikan
di muka.
27
28. 3.3. REDD Menurut CSO Network on Forestry
Governance and Climate Change
Kompensasi pengurangan emisi yang diputuskan dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim
ketiga belas (COP13) telah dirumuskan dalam konsep REDD (Reducing Emission from
Deforestation and Degradation). REDD muncul karena sektor kehutanan dianggap sebagai salah
satu penyumbang emisi yang cukup signifikan mencapai 18%-20% total emisi gas rumah kaca3
(GRK) di atmosfir sebagai dampak penebangan, konversi lahan, kebakaran hutan, dan aktivitas
lainnya.
Bagi Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga di dunia, keputusan ini sangat penting
dan akan berpengaruh terhadap tata kelola hutan di Indonesia. Departemen Kehutanan sebagai
stakeholder utama hutan Indonesia secara sigap telah meluncurkan konsep REDD yang dibuat
dengan bantuan IFCA (Indonesian Forest Climate Alliance). Namun karena keterbatasan
sumberdaya dan waktu, maka konsep REDD dibuat dengan proses konsultasi publik yang minim.
Stakeholder di daerah, dimana REDD akan diimplementasikan, kurang mendapat kesempatan
untuk menyikapi, mengkritisi dan memberi masukan terhadap konsep REDD yang dibuat.
Sementara itu keputusan tentang REDD sudah dibuat pada COP13, antara lain tentang perlunya
membuat demonstration activities di daerah.
Sehubungan dengan hal di atas, maka beberapa kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam
CSO Network on Forest Governance and Climate Change, menganggap penting proses konsultasi
di daerah. Kelompok ini telah melakukan kegiatan yang bersifat mendukung berbagai upaya
kelompok masyarakat dalam melestarikan hutan. Bisa jadi REDD adalah ancaman bagi upaya
masyarakat tsb., atau sebaliknya REDD adalah peluang. Karenanya kelompok ini mendorong
terjadinya diskusi di daerah tentang REDD, kemungkinan implementasi di lapangan, serta
implikasi dari penerapan REDD di lapangan.
3.3.1. Tanggapan Atas Keputusan COP13 Tentang REDD
Keputusan tentang REDD (CP.13) yang berjudul “Reducing emissions from deforestation in
developing countries: approaches to stimulate action)” telah diketuk dan akan berimplikasi pada
kebijakan pemerintah Indonesia dan pada gilirannya berdampak pula terhadap masyarakat sekitar
hutan.
Di sisi lain, REDD sebenarnya hanya merupakan salah satu mekanisme yang dikembangkan
untuk melindungi hutan. Mekanisme lain yang sudah berjalan misalnya Sustainable Forest
Management, Payment Environment Service, Biodiversity Conservation, dsb.
Ada beberapa negara di Afrika dan Amerika LATIN yang sudah memulai pengembangan
kompensasi bagi upaya perlindungan hutan dan pencegahan deforestasi, dengan skema yang
integratif (integrative modelling)4. Dalam skema yang integratif, dimana REDD termasuk di
3
Menurut Sir Nicholas Stern dalam Bukunya Stern Review, The Economic of Climate Change,
disebutkan dua kelompok besar penyebab gas rumah kaca, yaitu:
c. Emisi energi: energi (24%), transportasi (14%), industri (14%), bangunan (8%), and energi
lain (5%)
d. Emisi non-energi: sampah (3%), pertanian (14%), penggunaan lahan (18%)
4
Kontak: Joanna Durbane dari Climate, Community & Biodiversity Alliance
28
29. dalamnya, dinyatakan bahwa pengurangan emisi melalui pencegahan deforestasi tidak bisa
dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat.
Isu di atas adalah sebagian tanggapan dari CSO Network on Forest Governance and Climate
Change. Tanggapan lain lebih mengarah kepada berbagai hal yang perlu diklarifikasi oleh
DELRI.
Istilah REDD. Hal pertama yang harus jelas, terkait dengan istilah REDD (Reducing Emission
from Deforestation and Degradation) adalah tentang pengertian hutan, deforestasi dan degradasi.
Definisi hutan penting diperjelas untuk membedakan hutan seperti apa yang akan digunakan
sebagai acuan untuk implementasi REDD. Apakah pengertian hutan hanya mencakup hutan alam
saja, apakah agroforestry yang dibangun masyarakat juga termasuk dalam definisi hutan, apakah
kebun karet juga masuk, dan apakah kebun kelapa sawit juga masuk ? Apakah ada luas tertentu
yang menjadi batasan pengertian hutan ? Begitu pula dengan istilah deforestasi dan degradasi.
Rujukan apa yang digunakan dalam REDD ?
Pertanyaan mendasar berikutnya, terkait dengan istilah REDD adalah, “Apakah REDD memang
bisa menjadi cara untuk menanggulangi deforestasi ? Kalau memang bisa, apa prasyaratnya
sehingga REDD benar-benar bisa digunakan untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan ?”
Bagian Preamble. Kedua, beberapa hal yang tercantum di dalam bagian preamble keputusan
COP13 tentang REDD, perlu dijelaskan lebih lanjut. Hal-hal yang perlu dijelaskan pengertian
co-benefit, pengertian the needs of local and indigenous communities.
Istilah co-benefit harus diperjelas. Pengertian co-benefit bisa dikembangkan menjadi keuntungan
yang bisa diperoleh selain dari keuntungan yang dihitung berdasarkan hutan yang tercegah dari
deforestasi. Jadi hutan yang dilindungi baik oleh masyarakat maupun pemerintah seharusnya
juga mendapat penghargaan. Selain itu, CSO mengusulkan agar co-benefit juga bisa berarti
keuntungan sosial, dan tidak hanya keuntungan finansial dari penghitungan stok karbon.
Istilah “the needs of local and indigenous communities” perlu diperjelas. Mengingat istilah ini
belum ada penjelasannya, maka ada peluang bagi masyarakat untuk mengusulkan pengertian
istilah tsb., antara lain bahwa needs juga mencakup kebutuhan untuk menyelesaikan konflik
tenurial di kawasan hutan yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola hutan.
Bagian keputusan. Ketiga, pada bagian keputusan, CSO menanggapi sebagai berikut:
- ada peluang memperoleh dukungan dalam pengembangan kapasitas, bantuan teknis, dan
transfer teknologi, yang dapat digunakan untuk memperkuat kemampuan kita dalam
menghitung jumlah karbon yang terselamatkan, membuat database kehutanan yang lebih
akurat, mengembangkan system monitoring, dan membangun kelembagaan yang
diperlukan.
- Ada peluang untuk terlibat dalam proses membangun “demonstration activities” yang
akan mulai dilaksanakan tahun 2008 sampai 2012. Yang perlu dimintakan penjelasan
dari DELRI adalah Apa yang dimaksud dengan demonstration activities, apa bedanya
dengan pilot project ? Apa bentuk kegiatannya ? Lokasinya dimana ? Lokasi mana yang
akan dijadikan sebagai rujukan ? Apa rencana Dephut tentang demonstration activities.
- Mendukung keputusan nomor 5 dimana Negara maju harus menyediakan sumberdaya
bagi Negara berkembang untuk pengembangan kapasitas, membangun demonstration
activities, dsb. Yang belum jelas adalah bagaimana mekanisme untuk mengakses
sumberdaya tsb. dan system akuntabilitasnya.
- Perlunya mempelajari metodologi untuk menghitung emisi, sesuai dengan metode Good
Practice Guidance for Land Use, Land Use Change and Forestry activities yang disebut
dalam Keputusan no. 6. Guideline tsb. sebenarnya hanya diwajibkan bagi Negara Annex
I yang masuk dalam Protokol Kyoto.
29
30. - Dalam konteks metodologi, pemerintah Indonesia harus mempersiapkan konsep
metodologi yang akan diterapkan dalam REDD. Ini adalah peluang untuk memberi
masukan kepada pemerintah. Bisa saja masukan yang diberikan mencakup metodologi
yang bisa diterapkan di kawasan hutan yang dikelola masyarakat, atau kawasan
konservasi.
- Perlunya memperjelas pengertian positive incentives seperti yang disebut dalam
keputusan nomor 11 dan 12.
Bagian indicative guidance. Indicative guidance merupakan lampiran dari keputusan COP13
tentang REDD. Tanggapan CSO terhadap indicative guidance adalah sbb.:
- perlunya memperjelas istilah host party yang berwenang untuk memberi persetujuan
terhadap pengembangan demonstration activities. Siapa yang akan menjadi focal point
(host-party) REDD di Indonesia ? Apa yang dimaksud dengan host-party ? Siapa yang
akan menjadi host party ? Apa kewenangannya ? Apa rencana Dephut/pemerintah untuk
menindak lanjuti hal ini ? Bagaimana koordinasi dengan national focal point untuk
climate change yang sudah ada pada Kantor Meneg LH ?
- perlunya meminta penjelasan dari Dephut tentang data historical emission yang akan
dijadikan sebagai rujukan, seperti yang disebut pada Indicative Guidance point 6. Kalau
tidak memadai, maka apa yang akan dilakukan ?
- hal lain yang perlu diperjelas dari Indicative Guidance adalah istilah “subnational” dan
“independent review”.
Selain tanggapan terhadap ketiga hal di atas, CSO menyarankan agar keputusan COP13 itu dapat
diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat
pemahaman REDD sangat beragam, sementara bahasa Inggris yang digunakan bisa
diinterpretasikan dengan beragam pengertian pula.
3.3.2. Kekuatiran Terhadap Implikasi REDD
Keputusan COP13 tentang REDD masih menyisakan banyak kekuatiran, bahkan bisa menjadi
semacam jebakan apabila diimplementasikan di lapangan. Kekuatiran-kekuatiran itu
menyangkut tentang meningkatnya resiko social, pengalihan tanggung jawab, penentuan harga
karbon, mekanisme distribusi kompensasi, serta penentuan jenis aktivitas yang bisa mendapat
kompensasi.
Meningkatnya Resiko Sosial
Aspek ekonomi menjadi pertimbangan utama dalam REDD. Sebaliknya, aspek sosial yang
mencakup masalah-masalah hak asasi manusia masih jauh dari pembahasan jual beli karbon.
Karena itu banyak kelompok-kelompok masyarakat sipil yang hadir sebagai pengamat dalam
Konferensi tsb. mendesak agar pembahasan REDD atau perdagangan karbon juga
mempertimbangkan resiko sosial yang akan terjadi.
Sejumlah resiko sosial yang mungkin akan terjadi apabila REDD diterapkan antara lain semakin
terbatasnya akses masyarakat ke kawasan hutan dan sebaliknya menguatnya kontrol pemerintah
terhadap kawasan hutan.
Masyarakat yang telah berinteraksi dengan kawasan hutan, antara lain dengan membangun hutan
adat dan kebun yang berisi beragam tumbuhan bermanfaat, akan dengan mudah dituduh sebagai
30
31. perambah dan penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi. Atas nama pencegahan deforestasi
maka masyarakat harus keluar dari kawasan hutan. Mereka akan diusir baik secara halus maupun
kasar dengan menggunakan aparat keamanan.
Pengusiran masyarakat oleh tentara atas nama perdagangan karbon, sudah terjadi di Uganda.
Laporan Tom Griffith bulan Juni 2007 menyajikan gambar di cover depan laporan. Gambar
menunjukkan seorang penduduk desa di Ruwa, Gunung Elgon, Uganda, memperlihatkan
selongsong peluru yang disasarkan kepada orang-orang yang bekerja di lahan mereka. Lahan
tersebut berada di dalam kawasan perkebunan untuk skema perdagangan karbon yang terlibat
sengketa di wilayah perbatasan Taman Nasional Gunung Elgon.
Selain itu, potensi konflik horizontal juga akan semakin membesar. Pertama, antara kelompok
masyarakat yang menerima skema REDD dan yang menolak. Kedua, bagi kelompok yang
menerima skema REDD juga akan timbul konflik antara yang mendapat kompensasi dengan yang
tidak mendapat kompensasi. Belum lagi ulah para spekulan tanah yang akan memanfaatkan
situasi ini dengan menyerobot tanah yang bukan haknya. Akibatnya konflik pertanahan akan
semakin mengemuka.
Konflik pertanahan di kawasan hutan sangat mungkin terjadi karena sebagian besar kawasan
hutan di Indonesia tidak mempunyai batas yang jelas. Data dari World Agroforestry Center
menyebutkan bahwa sampai tahun 2005, hanya 12% kawasan hutan yang sudah jelas tata
batasnya. Walaupun sudah ada beberapa contoh tentang penetapan tata batas kawasan hutan
secara partisipatif, namun kecenderungan untuk menetapkan batas wilayah hutan tanpa
melibatkan persetujuan dan partisipasi masyarakat masih kerap terjadi.
Apabila resiko-resiko tersebut bisa dihilangkan atau dikurangi, maka skema REDD bisa memberi
kesempatan kepada masyarakat di sekitar hutan untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Oleh karena itu, baik dalam konsep maupun implementasinya, REDD harus meletakkan prinsip-
prinsip penghormatan atas hak asasi manusia, pengakuan terhadap hak dan akses masyarakat
terhadap kawasan hutan, tata pemerintahan yang baik, keamanan tanah, transparansi, pembagian
manfaat yang setara, dan akuntabilitas pada publik serta orang-orang yang hidup di dalam dan di
sekitar hutan yang potensial terkena dampaknya.
Pengalihan Tanggung Jawab
Salah satu keputusan COP13 adalah mewajibkan negara maju untuk melakukan deeper cut
(pengurangan emisi secara signifikan). Sayangnya tidak ada angka yang dicantumkan, sehingga
keputusan ini bisa diinterpretasikan secara bebas.
Keputusan ini menunjukkan kurangnya tanggung jawab negara maju dalam pengurangan emisi
global. Secara faktual Negara maju adalah penyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 70%.
Sementara emisi yang dihasilkan negara berkembang hanya 30%.
Setiap kepala penduduk di negara barat mengeluarkan emisi karbondioksida 25 kali lebih banyak
daripada penduduk di negara-negara berkembang. Lima pengemisi karbondioksida terbesar di
dunia adalah Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Inggris, dan Jepang.
Data terakhir menunjukkan Amerika Serikat menyumbang 720 juta ton gas rumah kaca, yang
merupakan 25% dari emisi total dunia. Emisi gas rumah kaca dari pusat pembangkit listrik di
Amerika Serikat saja lebih besar daripada total jumlah emisi 146 negara (tiga perempat negara di
dunia). Sektor energi menyumbang sepertiga total emisi gas rumah kaca AS. Emisi gas rumah
31
32. kaca AS sektor energi lebih dari dua kali lipat dari emisi India. Dan total emisi gas rumah kaca
AS masih lebih besar dari dua kali emisi gas rumah kaca Cina.
Emisi total dari negara-negara berkembang besar seperti misalnya Korea, Meksiko, Afrika
Selatan, Brazil, Indonesia dan Argentina, tidak melebihi emisi AS.
Namun semua itu tertutup oleh skenario global yang mengalihkan perhatian kita agar
berkonsentrasi pada pengurangan emisi di sektor kehutanan, dan sebaliknya melupakan
pengurangan emisi yang seharusnya dilakukan oleh negara industri.
Ini jelas merupakan bentuk dari pengalihan tanggung jawab dalam mengatasi persoalan
pemanasan global. Oleh karena itu tidak heran apabila mekanisme kompensasi pengurangan
emisi yang akan dinegosiasikan merupakan cara untuk membeli sertifikat “Hak untuk
mengeluarkan emisi”.
Penentuan Harga Karbon
Penentuan harga karbon masih menimbulkan banyak pertanyaan. Siapa sebenarnya yang
menentukan harga karbon. Informasi yang diperoleh sebelum COP13 berlangsung, harga karbon
adalah USD12 per ton. Harga ini kemudian turun menjadi USD 8 per ton pada saat COP13 baru
mulai dan turun lagi menjadi USD 4 per ton. Turunnya harga ini antara lain disebabkan oleh
keinginan dari berbagai negara tropis untuk memasukkan seluruh stok karbon yang masih
disimpan di hutan yang masih tersisa (tidak hanya di hutan yang terancam oleh deforestasi),
sehingga stok karbon secara keseluruhan di dunia semakin banyak (stok melimpah), sementara
pembeli (demand) tidak bertambah. Hukum pasar yang berlaku mengakibatkan harga karbon
terus menurun.
Yang menjadi pertanyaan, apabila mekanisme pasar yang digunakan, dan harga karbon menurun,
maka harga tsb. menjadi tidak menarik bagi negara pemilik hutan tropis. Implikasinya, mungkin
lebih baik hutan dikonversi menjadi kebun kelapa sawit daripada hanya dilindungi.
Oleh karena itu perlu dirumuskan mekanisme penentuan harga karbon yang lebih layak, misalnya
sebanding dengan biaya marjinal perbaikan teknologi industri di negara-negara maju untuk
mengurangi emisi.
Mekanisme Distribusi Kompensasi
Kejelasan tentang mekanisme distribusi kompensasi menjadi hal yang krusial. Jangan sampai
yang memperoleh nilai kompensasi terbesar adalah pihak ketiga atau konsultan, sementara pihak
yang langsung berperan dalam melindungi hutan mendapat porsi yang jauh lebih kecil.
Selain itu, di tingkat daerah, harus dirumuskan dengan jelas peran, tanggung jawab, hak dan
kewajiban dari setiap pihak, yang langsung berkontribusi terhadap upaya perlindungan hutan,
termasuk masyarakat adat atau masyarakat lokal.
Pembatasan Jenis Aktivitas Yang Mendapat Insentif/Kompensasi
Program REDD yang dirancang oleh Departemen Kehutanan ditujukan hanya untuk memberi
insentif pada upaya pencegahan deforestasi dan degradasi di lima bentang lahan, yaitu hutan
produksi, lahan gambut, kelapa sawit, kawasan HTI – pulp and paper, serta kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung.
32
33. Artinya, REDD hanya akan memberikan kompensasi pada kawasan hutan alam yang tidak jadi
terdeforestasi dan terdegradasi akibat aktivitas pada kelima kawasan hutan tersebut baik melalui
penebangan, konversi, maupun penggunaan lainnya.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa mekanisme kompensasi REDD merupakan mekanisme
yang tidak adil dikarenakan kompensasi REDD hanya diberikan pada sebagian kawasan hutan,
sementara basis kinerja pengurangan emisi akan diukur pada tingkat nasional.
Atau dengan kata lain apabila basis kinerja pengurangan emisi diukur pada tingkat nasional,
maka kompensasi juga harus diberikan pada seluruh kawasan SDH tingkat nasional, termasuk
kawasan konservasi dan hutan lindung yang masih baik, dan CBFM (Community based Forest
Management) yang dikelola masyarakat dengan lestari, termasuk hutan rakyat, dan hutan desa.
3.3.3. Sikap CSO
Mekanisme kompensasi pengurangan emisi apapun namanya harus memenuhi prinsip-prinsip:
- Mekanisme kompensasi pengurangan emisi harus menjadikan manusia sebagai
pertimbangan utama, dimana pendekatan dan tindakan yang akan dilakukan harus tidak
merugikan manusia itu sendiri dalam bentuk apapun baik material maupun immaterial.
- Mekanisme kompensasi pengurangan emisi-apapun namanya-harus mampu mencakup 2
peran sektor kehutanan dalam bentuk pemberian kompensasi terhadap pengurangan
pelepasan karbon (carbon release reduction), penyimpanan karbon (carbon storage) dan
penyerapan karbon (carbon sequestration).
- Mekanisme kompensasi pengurangan emisi harus mencakup seluruh kawasan
sumberdaya hutan (SDH) baik pada kawasan hutan negara maupun kawasan diluar hutan
negara serta semua bentuk pengelolaan SDH baik yang berbasis negara, swasta, maupun
masyarakat, seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat, pekarangan, dan
bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat lainnya.
- Mekanisme kompensasi pengurangan emisi untuk sektor kehutanan harus diberikan
kepada seluruh upaya pencegahan terlepasnya karbon, memelihara stock karbon dan
penambahan penyerapan karbon (reforestasi), bukan hanya selisih antara baseline tingkat
deforestasi dengan deforestasi yang masih terjadi (carbon release avoided).
- Harga satuan kompensasi pengurangan emisi setiap satuannya (US$/ton) harus ditetapkan
minimum sebanding dengan biaya marjinal (marginal cost) perbaikan teknologi industri
di negara-negara maju untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 1 ton.
Sebagai ilustrasi, seandainya industry-industri di negara maju membutuhan tambahan
biaya sebesar US$ 30 untuk menurunkan emisi GRK sebesar 1 ton, maka minimum harga
US$ 30 itulah yang harus digunakan dalam penghitungan nilai kompensasi. Pendekatan
yang demikian ini akan menggambarkan bentuk hak dan tanggung jawab yang sama
antara negara maju dan negara bekembang dalam upaya pengurangan emisi GRK.
- Nilai prosentase kompensasi yang diterima oleh suatu negara haruslah lebih besar dari
nilai prosentase proses, untuk menghindari penggunaan kompensasi yang tidak tepat
sasaran dan lebih banyak menguntungkan pihak lain ( konsultan independen, lembaga
penjamin, dsb) yang biasanya merupakan lembaga-lembag kepanjangan tangan dari
negara maju tersebut. Nilai prosentase proses ditaksir tidak lebih dari 30% dari total nilai
kompensasi.
- Mekanisme distribusi merupakan mekanisme distribusi yang berkeadilan dalam arti
distribusi manfaat harus sampai pada penerima manfaat sesuai dengan nilai peran (input
share) masing-masing pihak, mulai dari pemerintah pusat, sampai dengan kelompok
33