SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  28
1
KONSEP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN GERONTIK
1. Konsep Legal dan Etik Keperawatan Gerontik
1.1 Prinsip Etik
1.1.1. Respect (Hak untuk dihormati)
Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien.
1.1.2. Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya.
1.1.3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)
Kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien/orang lain
dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya.
1.1.4. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain)
Kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian
atau cidera.
Prinsip : Jangan membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, jangan
menyebabkab nyeri atau penderitaan pada orang lain, jangan membuat
orang lain berdaya dan melukai perasaaan orang lain.
1.1.5. Confidentiality (hak kerahasiaan)
Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien
yang dipercayakan pasien kepada perawat.
1.1.6. Justice (keadilan)
Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri
berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah.
1.1.7. Fidelity (loyalty/ketaatan)
1.1.7.1. Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab
terhadap kesepakatan yang telah diambil.
1.1.7.2. Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak
hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat.
1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku.
1.1.7.4. Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang
disepakati.
2
1.1.8. Veracity (Truthfullness & honesty)
Kewajiban untuk mengatakan kebenaran.
1.1.8.1. Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent
1.1.8.2. Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan
kebenaran.
1.2. Pemecahan masalah etik
1.2.1. Identifikasi masalah etik
1.2.2. Kumpulkan fakta-fakta
1.2.3. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik.
1.2.4. Buat keputusan dan uji cobakan
1.2.5. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb
1.3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik
Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan
dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan
kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan
untuk memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum,
dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia
baik dalam kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman,
nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik
diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem-
bangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas.
Namun, dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara
kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan pelayanan. Dalam
mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-
aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik.
1.4. Area Prioritas
1.4.1. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau
kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area
prioritas: ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat,
stimulasi mental, tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit
vaskularisasi periver, masalah respiratori, masalah gastrointestinal,
3
masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah genitourinary,
masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik, masalah
dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan dampaknya,
palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri dan
higienitas, pengawasan menelan obat.
1.4.2. Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Subarea
prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat ukur
geriatric.
1.4.2.1. Factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan
kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di
rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care),
model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan
jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work.
1.4.2.2. Factor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub
area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan kesehatan
yang berbasis budaya dan kepercayaan, sosial ekonomi, konsep-konsep
gerontology (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral,
aspek nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis dan aspek social).
1.4.2.3. Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social. Sub
area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile demensia,
olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, interaksi
social, spiritual, manajemen stress, sakaratul maut, support keluarga,
aktivitas dan disfungsi seksual.
1.4.2.4. Promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi.
2. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita
usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
2.1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “Simpati atas dasar
pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih
sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
4
Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga
tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu
semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik
dari penderita lansia.
2.2. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-
maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada
keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita.
Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat
seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring
yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu
dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
2.3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja
hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut
berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara
mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau
menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki,
prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih
kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini
seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil
dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat
keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
2.4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang
sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang
penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar
karakteristik yang tidak relevan.
2.5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji
yang diberikan pada seorang penderita.
5
Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier dan Cassel
menulis sebagai berikut : ”..............although the medical community has ferquently
been attacked for its attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism
can be justified if certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained for
the person outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if the person is
too ill to choose the same intervention…………………………”.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai
berikut :
1) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat
sukarela.
2) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian
ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau
informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan
medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan,
apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih
tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang
sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut
haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label diagnosis,
antara lain terlihat dari :
1. Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar?
2. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat?
3. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)?
6
4. Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya? (misalnya tentang
keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut? dan mengerti pula berbagai
pilihan yang ada)?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih
terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,
sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah terdapat
gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu, upaya
dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita.
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk
mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
1. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada
keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut
demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan
bisa dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau
pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission
maker.
2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek
medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hukum, harta benda dll) maka
sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan hukum (guardianship board).
(Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).
Dalam kenyatannya pengambilan keputusan ini sering dilakukan berdasarkan
keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dibanding keadaan de-jure
oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering
melelahkan baik secara fisik maupun emosional.
Oleh Karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian,
kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita
mengambil keputusan yang salah (antara lain menolak tramfusi/tindakan bedah yagn
live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas
otonomi penderita tetap harus dihargai.Yang penting adalah bahwa dokter mau
mendengar semua keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin memperbaiki
keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil
7
tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter dan apa
yang diinginkan oleh penderita.
Arahan Keinginan Penderita (Advance Directives) (Reuben et al, 1996, Kane et
al, 1994)
Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut
sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang
diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik.
Arahan keinginan yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian
digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan keputusan pada
saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan apabila arahan
tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum, asalkan terdapat
saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut diucapkan.
Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang disebut
sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu pernyataan dari penderita saat
masih kapabel secara fungsional didepan seorang petugas hukum (pengacara/notaries).
Testament kematian ini bisa memberi kekuatan hukum atas tindakan dokter unruk
memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan pemberian alat Bantu
perpanjangan hidup.
Pemberian Peralatan Perpanjangn Hidup (Life Sustaining Device)
Salah satu aspek etika yang penting dan tetpa controversial dalam pelayanan
geriatric adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya
perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa
muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup
penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut
apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut
seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang “kejam” (futile treatment).
Dikatakan sebagai “kekejaman fisiologik” bila terapi/tindakan yang diberikan
tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada kesehatan
penderita. “kekejaman kuantitatif” bila tindakan atau terapi tampaknya tidak ada
gunanya. “Kekejaman kualitatif” bila tindakan atau terapi perpanjangn hidup tidak
menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup penderita.
8
Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari keluarga,
penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi pertimbangan
yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak.
Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi untuk suatu saat
menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi.
Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi
pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu
dihentikan.
Perumatan Penderita Terminal Dan Hospis (Shaw, 1984; Kane et al, 1994;
Ruben et al, 1996; Pearlman, 1990)
Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak terbatas
hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa sebagaian
besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena itulah perawatan hospis atau
erawatan bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan bagian yang
penting dari pelayanan geriatri.
Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ
sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, nafas agonal dan
keadaan yang jelas ”tidak memberi harapan”, masalhnya mungkin tidak begitu sulit.
Akan tetapi pada penderita yang masih sadar penuh, masih mobilitas dengana berbagai
fungsi organ masih cukup baik, persoalan etika dan hukum menjadi lebih rumit. Pada
penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma metastasis lanjut), beberapa hal
perlu ditimbangkan :
1. Apakah penderita perlu diberitahu
2. Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah
ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap
memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ?
Hal-hal seperti diatas merupakan masalah yang kemudian menimbulkan upaya
hospis menjadi penting
Dari prinsip otonomi seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus
dibertahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas
pertimbangan keluarga hal ini sering tidak dilaksanakan.
9
3. Aspek Hukum dan Etika
Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara
merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut
Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu
Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila
dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian
terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.
Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954),
Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985),
Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter
for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care
Reform Strategy (1996).
Di Amerika Serikat diundangkan Social Security Act yang meliputi older
American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social
Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI).
Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus
Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care (1987)
dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990).
Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah
ditetapkan standardisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah
ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care.
Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of
Elders (SAGE) dan The Elders’ Village.
4. Landasan Hukum di Indonesia
Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai
Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah
diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :
4.1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang
Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan
tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
4.2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja.
10
4.3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
4.4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
4.5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
4.6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
4.7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
4.8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
4.9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.
4.10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
4.11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
4.12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
4.13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan.
4.14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-
Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
4.15. Pasal 27 UUD 45
Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu
dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaannya dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan.
4.16. Pasal 34 UUD 45
Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan
masyarakat bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan.
Penganiayaan yang dimaksud dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan
yang disengaja dan eksploitasi. Sedangkan pencegahan yang dapat
dilakukan adalah berupa perlindungan di rumah, perlindungan hukum dan
perawatan di rumah.
11
Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 1988)
1) Penyiksaan suami-istri
2) Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual)
3) Penyiksaan terhadap lansia
4) Peniksaan terhadap orang tua
5) Penyiksaan terhadap sibling
4.17. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
4.18. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19:
Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan agar tetap produktif dengan bantuan pemerintah
dalam upaya penyelenggaraannya.
4.19. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 :
Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan
derajad kesehatan dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan
sosialnya dapat berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan,
penyembuhan, dan pengembangan lembaga.
4.20. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan
masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.
Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya
masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang
mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi,
yaitu: anak, orang tua dan kakek/nenek.
4.21. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Seseorang yang telah lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan
kesehatan yang diakui pemerintah. Tenaga keperawatan adalah perawat dan
bidan.
4.22. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan.
12
4.24. Undang-undang No.22 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah.
4.25. Undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional.
4.26. Tahun 2000-2004, bidang Pembangunan Sosial Budaya.
4.27. PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewengan Pemerintah dan Kewenangan.
4.28. Propinsi sebagai Daerah Otonomi.
4.29. PP No. 32 tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan.
4.30. PP No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan.
4.31. Sosial Lanjut Usia Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi
dan Praktik Keperawatan.
4.32. Keppres No.452 th 2004 tentang Komite Nasional Lanjut Usia.
4.33. Keputusan Menkokesra No.15/KEP/IX/1994 tentang Panitia Nasional.
4.34. Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa.
4.35. Keputusan Menteri Sosial No.10/HUK/1998 tentang Lembaga
Kesejahteraan Lanjut Usia.
4.36. SK Men Kes RI No. 1346 tahun 1990 tentang pembentukkan Tim Kerja.
4.37. Geriatri : Bertugas merumuskan program pembinaan kesehatan usia lanjut.
4.38. Dokrin-dokrin.
4.39. Kebijakan Institusi.
Sumber Etik Keperawatan :
1) PPNI - code of ethics
2) Personal ethics
3) General standart
4.40. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
4.40.1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan
kelembagaan.
4.40.2. Upaya pemberdayaan.
4.40.3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak
potensial.
4.40.4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
4.40.5. Perlindungan sosial.
13
4.40.6. Bantuan sosial.
4.40.7. Koordinasi.
4.40.8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
4.40.9. Ketentuan peralihan.
5. Permasalahan
Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek
hukum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut :
5.1. Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hukum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu
pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk
Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan
permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang
Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga
perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat
mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik.
5.2. Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat
masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II,
sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga
sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh
minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para
Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalannya
menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.
5.3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan
serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan
mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu
permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya
mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan
terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari
berbagai disiplin ilmu, antara lain :
14
5.3.1 Tenaga ahli gerontology.
5.3.2 Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri,
dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist,
perawat terlatih.
5.3.3 Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case
managers), petugas sosial masyarakat, konselor.
5.3.4 Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih,
jaksa penunutut umum, hakim terlatih.
5.3.5 Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor.
5.3.6 Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana,
mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga
ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT
terlatih.
5.4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hukum dan etika
yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
5.4.1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
5.4.2. Tindak kejahatan (crime)
5.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services)
5.4.4. Persetujuan tertulis (informed consent)
5.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical
issues)
5.4.1. Pelecehan dan ditelantarkan (abuse and neglect)
Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang
menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status kesehatan,
pelayanan kesehatan, pribadi, hak memutuskan, kepemilikan maupun
pendapatannya. Pelaku pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau
perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain.
Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama ata8u dapat terjadi reaksi
akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.
15
Penyebab pelecehan menurut International Institute on Agening (INIA, United
Ntions-Malta, 1996) adalah :
5.4.1.1.Beban orang yang merawat Lanjut usia tersebut sudah terlalu berat.
5.4.1.2.Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia atau keluarganya.
5.4.1.3.Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.
5.4.1.4.Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
5.4.1.5.Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :
1) Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.
2) Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat Lanjut Usia.
3) Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan keluarganya.
4) Perilaku psikopat dari Lanjut Usia dan atau keluarganya.
5) Tidak adannya dukungan masyarakat.
6) Keluarga mengalami kehilangan pekerjaan/pemutusan hubungan
kerja.
7) Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga.
Gejala yang terlihat pada pelecehan atau ditelantarkan antara lain :
a. Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas sebabnya, higiena
jelek, malnutrisi dan adanya bukti melakukan pengobatan yang tidak benar.
b. Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan menjadi penurut atau
tergantung, menyalahkan diri, menolak bila akan disentuh orang yang
melecehkan, memperlihatkan tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain
dan adanya kekurangan biaya transpor, biaya berobat atau biaya memperbaikik
rumahnya.
c. Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu persoalan secara tidak
benar serta cara mengungkapkan rasa salah atau penyesalan yang tidak sesuai,
baik dari Lanjut Usia itu sendiri maupun orang yang melecehkan.
Jenis pelecehan dan ditelantarkan adalah :
a. Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik.
b. Pelecehan psikis atau melalui tutur kata.
c. Pelanggaran hak.
d. Pengusiran.
e. Pelecehan di bidang materi atau keuangan.
16
f. Pelecehan seksual.
Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran pasif (passive neglect)
dan keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut Usia dapat dekelompokan
sebagai berikut :
1. Terhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:
 Mendapatkan orang yang dipercaya untuk melakukan tindakan hukum atau
melakukan transaksi keuangan.
 Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara.
2. Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan:
 Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.
 Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan Lanjut Usia selalu
mendapatkan informasi baik tentang keadaan fisi, emosi, maupiun keadaan
keuangan Lanjut Usia tersebut.
 Orang yang merawat lanjut Usia menyadari keterbatasannya tidak ragu-
ragu mencari pertolongan atau melimpahkan tanggung jawaabnya kepada
fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi
merawatnya.
 Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap tindak pelecehan
kepada Lanjut Usia (neighbourhood watch).
 Melaksanakan program pelatihan tentang perawatan Lanjut Usia jompo di
rumah, pengenalan tanda-tanda terjadinya tidak pelecehan, pemberian
bantuan kepada Lanjut Usia, cara melakukan intervensi dan melakukan
rujukan kepada fasilitas yang lebih mampu.
1.4.2. Tindak kejahatan (crime)
Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap tindak kejahatan bila
dibandingakan dengan ketakutan terhadap penyalit dan pendapatan yang
berkurang. Kerugian yang diderita oleh mereka tidak melebihi penderitaan yang
dialami oleh kaum muda. Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut Usia lebih
parah, berupa rasa ketakutan, kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya.
Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa factor fisik, keuangan
dan kedaan lingkungan di sekitar Lanjut Usia tersebut.
Jenis tindak kejahatan adalah:
17
1.4.2.1. Penodongan.
1.4.2.2. Pencurian dan perampokan.
1.4.2.3. Penjambretan.
1.4.2.4. Perkosaan.
1.4.2.5. Penipuan dalam pengobatan penyakit.
1.4.2.6. Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales, dll.
1.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services)
Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang dibeikan kepada para
Lanjut Usia yang tidak mempu melindungi dirinya terhadap kerugian yang terjadi
akibat mereka tidak dapat merawat diri mereka sendiri atau dalam melakukan
kiegiatan sehari-hari.
Pelayanan perlindungan bertujuan memberikan perlindungan kepada para
Lanjut Usia, agar kerugian yang terjadi ditekan seminimal mungkin. Pelayanan
yang diberikan akan menimbulkan keseimbangan di antara kebebasan dan
keamanan.
1.4.3.1. Perlindungan hukum
Perlindungan hukum uang dapat diberikan kepada Lanjut Usia dapat berupa:
1) Bantuan pengacara (power of attorney).
Lanjut Usia harus cukup kompeten untuk mengambil inisitif dalam
menyerahkan urusannya kepada orang lain.
2) Joint Tenancy.
Joint tenancy merupakan suatu produk hukum yang memungkinkan Lanjut
Usia lain atau seorang pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut
Usia.
3) Intervivos trust.
Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain sebagai pewaris.
4) Conservatorship.
Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan untuk melindungi ha
milik seorang lanjut usia yang telah dianggap ta sanggup atau inkompeten,
pada umumnya bila lanjut usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun.
Permohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau
instansi.
18
Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak lagi dapat
bersuara dan megurus keuangannya serta menentukan tempat tinggalnya atau
mengambil suatu keputusan penting lainnya.
5) Informal guardianship.
Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hukum, akan tetapi meruakan suatu
kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut usia tersebut adalah tetangganya,
panti atau suatu perusahaan.
1.4.4. Persetujuan tertulis (Informed consent).
Persetujuan tertulis merupakan suatu persetujuan yang diberikan sebelum
prosedur atau pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni
panti. Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan
ialah ia masih kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan
risiko dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu yang diberikan kepadanya.
Bila seoang lanjut usia inkompeten, persetujuan diberikan oleh pelindung atau
seorang walui.
1.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical
issue).
Berbagai factor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang yang
mempengaruhi kualitas kehidupan lanjut usia adalah:
1.4.5.1. Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostic seperti CT-scan dan
katerisasi jantung, MRI, dsb.
1.4.5.2. Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi organ, raidasi
1.4.5.3. Bertambahnya risiko pengobatan.
1.4.5.4. Biaya pengobatan yang meningkat.
1.4.5.5. Manfaat pengobatan yang masih diragukan.
1.4.5.6. Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Isu etika muncul bila terjadi suatu pertentangan antara pendapat ilmiah
atau ilmu kedokteran dengan pandangan etika atau perikemanusiaan, misalnya :
1) Untuk mengawali atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut usia yang
sakit berat.
2) Mempertahankan atau melepaskan infuse atau tube feeding. Melakukan
tindakan yang biayanya mahal.
19
3) Euthanasia.
Isu euthanasia merupakan isu yang hangat dipertentangan di luar negeri,
tetapi belum merupakan hal yang penting di Indonesia, mengingat hal ini
bertentangan denagn hukum dan perundang-undangan serta kode etik kedokteran
di Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa :
a. Keinginan lanjut usia dan keluarganya.
b. Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut usia
tersebut.
c. Prognosa penyakit yang diderita.
d. Kualitas kehidupan dari lanjut usia.
e. Perawatan yang sedang diberikan.
Jenis euthanasia yang diberikan adalah active euthanasia (orang luar
mempercepat lanjut usia untuk mengakhiri hidupnya) dan passive euthanasia
(orang lain atau petugas kesehatan menolak memberikan pertolongan ytertentu
kepada penderita terminal).
6. Aspek Legal Dan Etis Keperawatan Gerontik Praktek Keperawatan Profesional
6.1 Aspek Legal
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu tempat : Indonesia
6.1.1 GBHN’98 – 2003, tentang kesra, pendidikan dan kebudayaan.
6.1.2 UU RI NO. 13 TH 1998, tentang kesejahteraan lanjut usia GBHN’98 –
2003
6.1.2.1. Arah pembangunan; peningkatan kualitas penduduk lansia u/
mewujudkan integritas sosial penduduk lansia dg masyarakat
lingkungannya
6.1.2.1. Pelayanan lansia untuk penghargaan;
1) Kemudahan pelayanan umum
2) Bantuan kesra bagi yg memerlukan
Pengembangan ilmu pengetahuan tentang lansia UU RI NO 13 1998
A. Hak Lanjut Usia
1. Meningkatkan kesejahteraan sosial, meliputi:
a. Pelayann keagaamaan dan mental spiritual.
b. Pelayanan kesehatan.
20
c. Kesempatan kerja.
d. Diklat.
e. Kemudahan dan penggunaan fasilitas, serta sarana dan
prasarana umum.
f. Sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
g. Mengamalkan dan mentransformasikan kemampuannya ke
generasi penerus.
h. Memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan untuk
generasi penerus.
2. Sama dalam kehidupan bermasyarakat Berbangsa & bernegara
B. Kebijakan Khusus Untuk Lanjut Usia
1. PBB NO 045/206 TH 1991; 1 OKTOBER “International Day For
The Elderly”.
2. PERGERI (The Indonesian Society Of Gerontology), 14 desember
1984.
3. GBHN 1993 ; lansia dapat didayagunakan untuk pembangunan.
4. HALUN ; mulai th 1996, 29 mei 1945, radjiman widiodiningrat
(lansia) : “perlunya falsafah negara (pancasila), pandangan jauh ke
depan dan wawasan luas.
6.2. Kode Etik dalam Praktik Keperawatan
6.2.1. Tanggung jawab terhadap klien
6.2.2. Tanggung jawab terhadap tugas
6.2.3. Tanggung jawab terhadap sesama prawat
6.2.4. Tanggung jawab terhadap profesi keperawatan
6.2.5. Tanggung jawab terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air.
6.3. Hal - hal yang harus diperhatikan oleh perawat berkaitan dengan kode
etik
6.3.1. Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan
suku, ras, golongan, pangkat, jabatan, status sosial, maslah kesehatan.
6.3.2. Menjaga rahasia klien
21
6.3.3. Melindungi klien dari campur tangan pihak yang tidak kompeten, tidak
etis, praktek illegal.
6.3.4. Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi dan pekerjaannya
6.3.5. Perawat menjaga kompetensi keperawatan
6.3.6. Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya.
6.3.7. Kompetensi individu serta kualifikasi daalm memberikan konsultasi
6.3.8. Berpartisipasi aktif dalam kelanjutanya perkembangannya body of
knowledge
6.3.9. Berpartipitasi aktif dalam meningkatan standar professional
6.3.10. Berpatisipasi dalam usaha mencegah masyarakat, dari informasi yang
salah dan misinterpretasi dan menjaga integritas perawat
6.3.11. Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatannya yang lain atau
ahli dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
oleh masyarakat termasuk pada lansia.
6.4. Fungsi kode etik (Kozier & Erb, 1980)
6.4.1. Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, pasien,
tenaga kesehatan lain, dan masyarakat.
6.4.2. Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan
6.4.3. Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan dan
untuk mengenalkan kepada lulusan tenaga keperawatan baru tentang
praktik keperawatan profesional
6.4.4. Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan
praktik keperawatan
6.5. Prinsip etik
6.5.1. Fidelity
Lebih terpusat pada kode etik keperawatan dimana perawat harus respek
kepada klien sebagai keutuhan manusia
6.5.2. Autonomi
Lebih mementingkan keputusan klien atas tindakan yang diberikan
6.5.3. Beneficience
Punya prinsip berbuat baik
6.5.4. Justice
22
Kewajiban moral
6.6. Upaya Meminimalkan Risiko Dengan Penuh Tanggung Jawab
6.6.1. Lakukan tindakan yang sistematis, logis dan ilmiah yaitu :
Pengkajian, diagnosa keperawatan yang benar, perencanaan yang benar,
implementasi yang sesuai, evaluasi sesua kondisi
6.6.2. Lakukan research untuk pengembangan keperawatan gerontik
6.7. Pekerjaan Sosial
Pekerjaan Sosial adalah profesi yang mendasarkan diri sebagai “disiplin
normatif”. Jadi profesi ini berkaitan dengan nilai-nilai moral dan norma sosial
yang selalu mengarahkan kepada kebaikan secara sosial. Teori-teori Pekerjaan
sosial adalah “normatif” yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat. Jadi penting kiranya meningkatkan kemampuan pekerjaan
sosial untuk memperlihatkan secara langsung aspek-aspek moral dan normatif
dari teori dan praktek pekerjaan sosial.
Prisip-prinsip etika praktek yang berasal dari filosofi idiologi dan prinsip-
prinsip teknik praktek yang berasal dari landasan pengetahuan adalah komponen
utama dari teori praktik pekerjaan sosial.
6.8. Prinsip Etik Praktek
Pekerja sosial menggunakan seperangkat prinsip-prinsip etik praktek
untuk membimbing dan membatasi tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan
prisip etik praktek dipandang sebagai kewajiban-kewajiban,standar-standar, tugas-
tugas, tanggung jawab untuk diterapkan dalam praktek.
6.9. Kode Etik Profesi
Prinsip etik praktek dituangkan dalam kode etik profesi dalam bentuk
petunjuk dan kewajiban. (kode etik internasional bagi pekerja sosial profesional).
6.10. Prinsip-Prinsip Dasar Etik
6.10.1. Acceptance (penerimaan)
Pekerja sosial harus dapat menerima klien secara apa adanya.
6.10.2. Individualization (individualisasi)
Klien merupakan pribadi unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya.
6.10.3. Non-judgemental attitude (sikap tidak menghakimi)
23
Pekerja sosial harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap
kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien
6.10.4. Rationality (rasionalitas)
Pekerja sosial memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap
kemungkinan-kemungkinang terjadi, serta mampu mengambil keputusan.
6.10.5. Emphaty (empati)
Kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain / klien
6.10.6. Genuiness (ketulusan /kesungguhan)
Ketulusan dalam komunikasi verbal
6.10.7. Impartiality (kejujuran)
Tidak menghadiahi ataupun tidak merendahkan sesorang dan kelompok
(tidak menganak-emaskan atau menganak-tirikan)
6.10.8. Confidentiality (kerahasiaan)
Pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data klien kepada orang lain
6.10.9. Self-awareness (mawas diri)
Pekerja sosial harus sadar akan potensinya dan keterbatasan
kemampuannya.
6.11. Idiologi dalam Pekerjaan Sosial
6.11.1. Pekerjaan Sosial adalah Humansitik
Humanistik dalam pengertian bahwa dalam prakteknya akan menjunjung
tinggi martabat dan harga diri manusia, perwujudan diri, otonomi pribadi
6.11.2. Pekerjaan Sosial adalah Positivistik
Positivistik dalam pengertian bahwa pekerjaan sosial memiliki nilai
obyektif dan ilmu pengetahuan, seperti rasionalitas logis, keterbukaan,
obyektivitas, universalisme dan kemajuan.
6.11.3. Pekerjaan Sosial adalah Utopian
Utopia adalah suatu keadaan pikiran yang tidak sesuai dengan keadaan
realitas yang mendorong manusia untuk mengubah realitas tersebut sesuai
dengan keinginan dalam pikiran menuju masyarakat yang baik dan
bertanggung jawab. Pekerjaan sosial ditandai oleh adanya suatu keyakinan
yang pasti untuk menciptakan masyarakat yang baik dan
bertanggungjawab.
24
6.12. Sifat Pelayanan
Setiap jenis pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah maupun maupun masyarakat mengandung sifat
preventif , kuratif dan rehabilitatif.
Preventif
Pelayanan sosial yang diarahkan untuk pencegahan timbulnya masalah
baru dan meluasnya permasalahan lanjut usia, maka dilakukan melalui upaya
pemberdayaan keluarga, kesatuan kelompok –kelompok di dalam masyarakat dan
lembaga atau organisasi yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan lanjut
usia, seperti keluarga terdekat, kelompok pengajian, kelompok arisan karang
werdha, PUSAKA, PERGERI.
6.12.1. Kuratif
Pelayanan sosial lanjut usia yang diarahkan untuk penyembuhan atas
gangguan yang dialami lanjut usia, baik secara fisik, psikis maupun sosial.
6.12.2. Rehabilitatif
Proses pemulihan kembali fungsi-fungsi sosial setelah individu mengalami
berbagai gangguan dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya.
6.13. Prisip Pelayanan
Prinsip kesejahteraan sosial sosial lanjut usia didasarkan pada resolusi
PBB NO. 46/1991 tentang principles for Older Person ( Prinsip-prinsip bagi
lanjut usia) yang pada dasarnya berisi himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut
usia yang meliputi kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri dan
martabat.
6.13.1. Memberikan pelayanan yang menjujung tinggi harkat dan martabat
lansia
6.13.2. Melaksanakan, mewujutkan hak azasi lanjut usia
6.13.3. Memperoleh hak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri
6.13.4. Pelayanan didasarkan pada kebutuhan yang sesungguhnya
6.13.5. Mengupayakan kehidupan lansia lebih bermakna bagi diri, keluarga dan
masyarakat
6.13.6. Menjamin terlaksananya pelayanan bagi lanjut usia yang disesuaikan
dengan perkembangan pelayanan lanjut usia secara terus menerus serta
25
meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak.
6.13.7. Memasyarakatkan informasi tentang aksesbilitas bagi lanjut usia agar
dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana
serta perlindungan sosial dan hukum.
6.13.8. Mengupayakan lanjut usia memperoleh kemudahan dalam penggunaan
sarana dan prasarana dalam kehidupan keluarga, serta perlindungan sosial
& hukum.
6.13.9. Memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk menggunakan sarana
pendidikan, budaya spriritual dan rekreasi yang tersedia di masyarakat
6.13.10. Memberikan kesempatan bekerja pada lansia sesuai minat dan
kemampuan
6.13.11. Memberdayakan lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam penanganan lanjut usia dilingkungannya
6.13.12. Khusus untuk panti, menciptakan suasana kehidupan yang bersifat
kekeluargaan
6.14. Proses Pelayanan
6.14.1. Persiapan
6.14.1.1. Sosialisasi program dan kegiatan Panti/Orsos bagi lanjut usia penerima
pelayanan, keluarga dan masyarakat.
6.14.1.2. Kontak (Pertemuan pertama antara pihak panti/orsos dengan lanjut usia
dan keluarganya/yang mewakili).
6.14.1.3. Kontak (kesepakatan pelayanan atau bantuan secara tertulis antara klien
dengan pihak panti/pekerja sosial/orsos.
6.14.1.4. Pengungkapan masalah lanjut usia.
6.14.1.5. Rencana tindak/intervensi.
6.14.2. Pelaksanaan Pelayanan.
6.14.2.1. Pelayanan sosial
6.14.2.2. Pelayanan fisik
6.14.2.3. Pelayanan psikososial
6.14.2.4. Pelayanan ketrampilan
6.14.2.5. Pelayanankeagamaan/
spiritual
6.14.2.6. Pelayanan pendampingan
6.14.2.7. Pelayanan bantuan hukum
26
6.14.2.8. Monitoring dan evaluasi
6.14.2.9. Terminasi
6.14.2.10.Pembinaan lanjut
6.15. Kesejahteraan Sosial (pasal 2 ayat 1/UU 6/74) :
Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materiil dan spriritual yang
diliputi oleh rada keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri ,
keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta
kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.
6.16. Fungsi Pekerjaan Sosial (orientasi praktek)
Meningkatkan kemampuan orang (capacity building) agar dapat
memecahkan masalahnya secara lebih efektif. Menghubungkan orang dengan
sistem-sistem sumber pelayanan Melaksanakan kontrol sosial dan perubahan
distem pelayanan sosial (Memperbaiki kinerja jaringan pelayanan sosial)
Pemerataan distribusi sistem sumber pelayanan
6.17. Fungsi Peksos Secara Metodologis
6.17.1. Fungsi pencegahan
6.17.2. Fungsi pengembangan
6.17.3. Fungsi rehabilitatif
6.17.4. Fungsi suportif
6.17.5. Fungsi pengganti
6.18. Pendekatan dalam Pekerjaan Sosial
6.18.1. Pendekatan Mikro
Pendekatan berbasis pada masalah yang dihadapi oleh orang per orang.
atau secara metodologis disebut dengan case work
6.18.2. Pendekatan Mezzo
Pendekatan berbasis kelompok , yaitu pembentukan kelompok secara
terencanakan untuk berbagai kepentingan.
6.18.3. Pendekatan Makro
Planing, adminstration, evaluation and community organizing
6.19. Bentuk UPKS Lansia (PP nomor 43 tahun 2004)
6.19.1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual
6.19.2. Pelayanan kesehatan
6.19.3. Pelayanan kesempatan kerja (tidak berlaku bagi LU non potensial)
27
6.19.4. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, saran dan prasarana
umum
6.19.5. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum
6.19.6. Perlindungan sosial (tidak berlaku bagi LU potensial)
6.19.7. Bantuan sosial
LU Potensial
mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.
LU tidak potensial
tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidup tergantung pada bantuan orang lain
28
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Lansia Masa Kini dan Mendatang. Jakarta: Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Kedeputian I Bidang Kesejahteraan
Sosial. 2010
Anonim. Konsep Dasar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Nurse Idea. 2009.
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Darmojo, Boedi. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1999.
Kiswanto, Eka A. Trend dan Isu Legal dalam Keperawatan Profesional. Jakarta:
Pro-Health. 2009.
Mardjono, Mahar. Beberapa Masalah dalam Geriatri dan Aspek Medik pada Usia
Lanjut. Jakarta: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1982.
Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2000.
R, Rully. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam Perspektif
HAM. Jakarta: Harian Suara Pembaharuan. 2002.
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tim Keperawatan Gerontik AKPER Lumajang. 2012. Handout Keperawatan
gerontik Asuhan Keperawatan pada Lanjut Usia. Akadmi Keperawatan Lumajang

Contenu connexe

Tendances

5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx
5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx
5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx
Rubiy1
 
Analisan dan diagnosa kep, keluarga
Analisan dan diagnosa kep, keluargaAnalisan dan diagnosa kep, keluarga
Analisan dan diagnosa kep, keluarga
yaenk_ekis
 
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatanTeori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Muhammad Awaludin
 
Pengkajian keperawatan Keluarga
Pengkajian keperawatan KeluargaPengkajian keperawatan Keluarga
Pengkajian keperawatan Keluarga
Ns.Heri Saputro
 
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasienDialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
zulindarisma
 

Tendances (20)

Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan NutrisiKonsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
 
Askep pada agregat anak
Askep pada agregat  anakAskep pada agregat  anak
Askep pada agregat anak
 
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
 
Primary health-care
Primary health-carePrimary health-care
Primary health-care
 
Form askep JIWA
Form askep JIWAForm askep JIWA
Form askep JIWA
 
Konsep keperawatan medikal bedah
Konsep keperawatan medikal bedahKonsep keperawatan medikal bedah
Konsep keperawatan medikal bedah
 
Skenario role play timbang terima
Skenario role play timbang terimaSkenario role play timbang terima
Skenario role play timbang terima
 
Komunikasi efektif dalam keperawatan
Komunikasi efektif dalam keperawatanKomunikasi efektif dalam keperawatan
Komunikasi efektif dalam keperawatan
 
Asuhan keperawatan kehilangan dan berduka
Asuhan keperawatan kehilangan dan berdukaAsuhan keperawatan kehilangan dan berduka
Asuhan keperawatan kehilangan dan berduka
 
5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx
5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx
5. Legal Etik Keperawatan Jiwa.pptx
 
Aspek legal pendokumentasian Keperawatan
Aspek legal pendokumentasian KeperawatanAspek legal pendokumentasian Keperawatan
Aspek legal pendokumentasian Keperawatan
 
Analisan dan diagnosa kep, keluarga
Analisan dan diagnosa kep, keluargaAnalisan dan diagnosa kep, keluarga
Analisan dan diagnosa kep, keluarga
 
Judul kti keperawatan
Judul kti keperawatanJudul kti keperawatan
Judul kti keperawatan
 
Konsepsehat sakit
Konsepsehat sakitKonsepsehat sakit
Konsepsehat sakit
 
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatanTeori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatan
 
Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Kebutuhan rasa aman dan nyamanKebutuhan rasa aman dan nyaman
Kebutuhan rasa aman dan nyaman
 
Prinsip prinsip etika keperawatan
Prinsip prinsip etika keperawatanPrinsip prinsip etika keperawatan
Prinsip prinsip etika keperawatan
 
Pengkajian keperawatan Keluarga
Pengkajian keperawatan KeluargaPengkajian keperawatan Keluarga
Pengkajian keperawatan Keluarga
 
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasienDialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
 
Askep kehamilan dengan DM gestasional
Askep kehamilan dengan DM gestasional Askep kehamilan dengan DM gestasional
Askep kehamilan dengan DM gestasional
 

En vedette

Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1
Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1
Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1
Ns. Lutfi
 
Pp41 presentation 13 maret 2010 - ristek
Pp41 presentation 13 maret 2010 - ristekPp41 presentation 13 maret 2010 - ristek
Pp41 presentation 13 maret 2010 - ristek
kometik14
 
Pengaruh relasasi benson pada lansia
Pengaruh relasasi benson pada lansiaPengaruh relasasi benson pada lansia
Pengaruh relasasi benson pada lansia
petrus nurak
 
Trend dan issue dalam keperawatan
Trend dan issue dalam keperawatanTrend dan issue dalam keperawatan
Trend dan issue dalam keperawatan
octo zulkarnain
 
Ppt komunikasi terapeutik
Ppt komunikasi terapeutikPpt komunikasi terapeutik
Ppt komunikasi terapeutik
Yuli Thamrin
 
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat DaruratAspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Elon Yunus
 
Konsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat daruratKonsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat darurat
dedy ari
 
Konsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat daruratKonsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat darurat
Bita Fadillah
 

En vedette (20)

Etika perawatan lansia
Etika perawatan lansiaEtika perawatan lansia
Etika perawatan lansia
 
Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1
Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1
Tugas legal etik, kelompok 4, sp ikd 1
 
Kelalaian
KelalaianKelalaian
Kelalaian
 
Implikasi,Legal Etik pada Dokumentasi Keperawatan Serta Strategi Manejemen Re...
Implikasi,Legal Etik pada Dokumentasi Keperawatan Serta Strategi Manejemen Re...Implikasi,Legal Etik pada Dokumentasi Keperawatan Serta Strategi Manejemen Re...
Implikasi,Legal Etik pada Dokumentasi Keperawatan Serta Strategi Manejemen Re...
 
Konsep keperawatan kesehatan lanjut usia
Konsep keperawatan kesehatan lanjut usiaKonsep keperawatan kesehatan lanjut usia
Konsep keperawatan kesehatan lanjut usia
 
Pp41 presentation 13 maret 2010 - ristek
Pp41 presentation 13 maret 2010 - ristekPp41 presentation 13 maret 2010 - ristek
Pp41 presentation 13 maret 2010 - ristek
 
Pengaruh relasasi benson pada lansia
Pengaruh relasasi benson pada lansiaPengaruh relasasi benson pada lansia
Pengaruh relasasi benson pada lansia
 
Etika dalam agama dan adat istiadat
Etika dalam agama dan adat istiadatEtika dalam agama dan adat istiadat
Etika dalam agama dan adat istiadat
 
Implikasi, Legal dan Etik pada Dokumentasi Keperawatan serta Strategi Manajem...
Implikasi, Legal dan Etik pada Dokumentasi Keperawatan serta Strategi Manajem...Implikasi, Legal dan Etik pada Dokumentasi Keperawatan serta Strategi Manajem...
Implikasi, Legal dan Etik pada Dokumentasi Keperawatan serta Strategi Manajem...
 
Makalah etika keperawatan dalam hukum keperawatan
Makalah etika keperawatan  dalam hukum keperawatanMakalah etika keperawatan  dalam hukum keperawatan
Makalah etika keperawatan dalam hukum keperawatan
 
Uu nomor 38 tahun 2014 ttg Keperawatan
Uu nomor 38 tahun 2014 ttg KeperawatanUu nomor 38 tahun 2014 ttg Keperawatan
Uu nomor 38 tahun 2014 ttg Keperawatan
 
Konsep dasar keperawatan gerontik
Konsep dasar keperawatan gerontikKonsep dasar keperawatan gerontik
Konsep dasar keperawatan gerontik
 
Ragam bahasa
Ragam bahasaRagam bahasa
Ragam bahasa
 
Trend dan issue dalam keperawatan
Trend dan issue dalam keperawatanTrend dan issue dalam keperawatan
Trend dan issue dalam keperawatan
 
Ppt komunikasi terapeutik
Ppt komunikasi terapeutikPpt komunikasi terapeutik
Ppt komunikasi terapeutik
 
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat DaruratAspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
 
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Reproduksi, Infeksi, Gangguan Ferti...
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Reproduksi, Infeksi, Gangguan Ferti...Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Reproduksi, Infeksi, Gangguan Ferti...
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Reproduksi, Infeksi, Gangguan Ferti...
 
Konsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat daruratKonsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat darurat
 
Konsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat daruratKonsep keperawatan gawat darurat
Konsep keperawatan gawat darurat
 
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat pptAspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
 

Similaire à Konsep legal dan etik keperawatan gerontik

96666973 makalah-bu-aini-kasus-2
96666973 makalah-bu-aini-kasus-296666973 makalah-bu-aini-kasus-2
96666973 makalah-bu-aini-kasus-2
Amhar Rizki
 

Similaire à Konsep legal dan etik keperawatan gerontik (20)

Prinsip justice
Prinsip justicePrinsip justice
Prinsip justice
 
Makala etika keperawatan
Makala etika keperawatanMakala etika keperawatan
Makala etika keperawatan
 
Makalah prinsip etika keperawatan akper raha
Makalah prinsip etika keperawatan akper rahaMakalah prinsip etika keperawatan akper raha
Makalah prinsip etika keperawatan akper raha
 
Makalah prinsip etika keperawatan akper raha
Makalah prinsip etika keperawatan akper rahaMakalah prinsip etika keperawatan akper raha
Makalah prinsip etika keperawatan akper raha
 
eTIK LEGAL.pptx
eTIK LEGAL.pptxeTIK LEGAL.pptx
eTIK LEGAL.pptx
 
Pembuatan keputusan etik
Pembuatan keputusan etikPembuatan keputusan etik
Pembuatan keputusan etik
 
Dilema etikkeperawatan
Dilema etikkeperawatanDilema etikkeperawatan
Dilema etikkeperawatan
 
Bioetika
BioetikaBioetika
Bioetika
 
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.MEtika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
 
96666973 makalah-bu-aini-kasus-2
96666973 makalah-bu-aini-kasus-296666973 makalah-bu-aini-kasus-2
96666973 makalah-bu-aini-kasus-2
 
Konsep dasar etika profesi keperawatan
Konsep dasar etika  profesi keperawatanKonsep dasar etika  profesi keperawatan
Konsep dasar etika profesi keperawatan
 
Makalah azan
Makalah azanMakalah azan
Makalah azan
 
2017_kpdl_ETIKA SOSIAL.pdf
2017_kpdl_ETIKA SOSIAL.pdf2017_kpdl_ETIKA SOSIAL.pdf
2017_kpdl_ETIKA SOSIAL.pdf
 
Dilema etika keperawatan
Dilema etika keperawatanDilema etika keperawatan
Dilema etika keperawatan
 
Aspek legal perioperatif
Aspek legal perioperatifAspek legal perioperatif
Aspek legal perioperatif
 
Makalah bioetik
Makalah bioetikMakalah bioetik
Makalah bioetik
 
Dilema etik
Dilema etikDilema etik
Dilema etik
 
Fidelity dkk
Fidelity dkkFidelity dkk
Fidelity dkk
 
3. Etika Kesehatan Masyarakat.pptx
3. Etika Kesehatan Masyarakat.pptx3. Etika Kesehatan Masyarakat.pptx
3. Etika Kesehatan Masyarakat.pptx
 
Makalah azan
Makalah azanMakalah azan
Makalah azan
 

Dernier

Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
JarzaniIsmail
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
ssuser35630b
 

Dernier (20)

Program Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - PerencanaanProgram Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
 
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTXAKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxPPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
 
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
 
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
 
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptxRegresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
 
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYSOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 

Konsep legal dan etik keperawatan gerontik

  • 1. 1 KONSEP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN GERONTIK 1. Konsep Legal dan Etik Keperawatan Gerontik 1.1 Prinsip Etik 1.1.1. Respect (Hak untuk dihormati) Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien. 1.1.2. Autonomy (hak pasien memilih) Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya. 1.1.3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien) Kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien/orang lain dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya. 1.1.4. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain) Kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau cidera. Prinsip : Jangan membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, jangan menyebabkab nyeri atau penderitaan pada orang lain, jangan membuat orang lain berdaya dan melukai perasaaan orang lain. 1.1.5. Confidentiality (hak kerahasiaan) Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang dipercayakan pasien kepada perawat. 1.1.6. Justice (keadilan) Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah. 1.1.7. Fidelity (loyalty/ketaatan) 1.1.7.1. Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap kesepakatan yang telah diambil. 1.1.7.2. Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat. 1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku. 1.1.7.4. Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang disepakati.
  • 2. 2 1.1.8. Veracity (Truthfullness & honesty) Kewajiban untuk mengatakan kebenaran. 1.1.8.1. Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent 1.1.8.2. Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan kebenaran. 1.2. Pemecahan masalah etik 1.2.1. Identifikasi masalah etik 1.2.2. Kumpulkan fakta-fakta 1.2.3. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik. 1.2.4. Buat keputusan dan uji cobakan 1.2.5. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb 1.3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan untuk memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia baik dalam kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman, nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem- bangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas. Namun, dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan pelayanan. Dalam mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek- aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik. 1.4. Area Prioritas 1.4.1. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area prioritas: ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat, stimulasi mental, tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit vaskularisasi periver, masalah respiratori, masalah gastrointestinal,
  • 3. 3 masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah genitourinary, masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik, masalah dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan dampaknya, palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri dan higienitas, pengawasan menelan obat. 1.4.2. Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Subarea prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat ukur geriatric. 1.4.2.1. Factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care), model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work. 1.4.2.2. Factor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan kesehatan yang berbasis budaya dan kepercayaan, sosial ekonomi, konsep-konsep gerontology (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis dan aspek social). 1.4.2.3. Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social. Sub area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile demensia, olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, interaksi social, spiritual, manajemen stress, sakaratul maut, support keluarga, aktivitas dan disfungsi seksual. 1.4.2.4. Promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi. 2. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) : 2.1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “Simpati atas dasar pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
  • 4. 4 Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia. 2.2. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non- maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan. 2.3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa). 2.4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan. 2.5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang penderita.
  • 5. 5 Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier dan Cassel menulis sebagai berikut : ”..............although the medical community has ferquently been attacked for its attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism can be justified if certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained for the person outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if the person is too ill to choose the same intervention…………………………”. Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai berikut : 1) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat sukarela. 2) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas. 3) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental dianggap kapabel. Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful). Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari : 1. Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar? 2. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat? 3. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)?
  • 6. 6 4. Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya? (misalnya tentang keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut? dan mengerti pula berbagai pilihan yang ada)? Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik, sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita. Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh : 1. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission maker. 2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hukum, harta benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan hukum (guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994). Dalam kenyatannya pengambilan keputusan ini sering dilakukan berdasarkan keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dibanding keadaan de-jure oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional. Oleh Karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian, kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita mengambil keputusan yang salah (antara lain menolak tramfusi/tindakan bedah yagn live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai.Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil
  • 7. 7 tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita. Arahan Keinginan Penderita (Advance Directives) (Reuben et al, 1996, Kane et al, 1994) Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik. Arahan keinginan yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan keputusan pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan apabila arahan tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum, asalkan terdapat saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut diucapkan. Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang disebut sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu pernyataan dari penderita saat masih kapabel secara fungsional didepan seorang petugas hukum (pengacara/notaries). Testament kematian ini bisa memberi kekuatan hukum atas tindakan dokter unruk memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan pemberian alat Bantu perpanjangan hidup. Pemberian Peralatan Perpanjangn Hidup (Life Sustaining Device) Salah satu aspek etika yang penting dan tetpa controversial dalam pelayanan geriatric adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang “kejam” (futile treatment). Dikatakan sebagai “kekejaman fisiologik” bila terapi/tindakan yang diberikan tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada kesehatan penderita. “kekejaman kuantitatif” bila tindakan atau terapi tampaknya tidak ada gunanya. “Kekejaman kualitatif” bila tindakan atau terapi perpanjangn hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup penderita.
  • 8. 8 Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari keluarga, penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi pertimbangan yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak. Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi untuk suatu saat menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi. Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu dihentikan. Perumatan Penderita Terminal Dan Hospis (Shaw, 1984; Kane et al, 1994; Ruben et al, 1996; Pearlman, 1990) Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa sebagaian besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena itulah perawatan hospis atau erawatan bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan bagian yang penting dari pelayanan geriatri. Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, nafas agonal dan keadaan yang jelas ”tidak memberi harapan”, masalhnya mungkin tidak begitu sulit. Akan tetapi pada penderita yang masih sadar penuh, masih mobilitas dengana berbagai fungsi organ masih cukup baik, persoalan etika dan hukum menjadi lebih rumit. Pada penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma metastasis lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan : 1. Apakah penderita perlu diberitahu 2. Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ? Hal-hal seperti diatas merupakan masalah yang kemudian menimbulkan upaya hospis menjadi penting Dari prinsip otonomi seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus dibertahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas pertimbangan keluarga hal ini sering tidak dilaksanakan.
  • 9. 9 3. Aspek Hukum dan Etika Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar. Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954), Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care Reform Strategy (1996). Di Amerika Serikat diundangkan Social Security Act yang meliputi older American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990). Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah ditetapkan standardisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care. Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of Elders (SAGE) dan The Elders’ Village. 4. Landasan Hukum di Indonesia Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah : 4.1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747). 4.2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
  • 10. 10 4.3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 4.4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. 4.5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional. 4.6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian. 4.7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 4.8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 4.9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera. 4.10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. 4.11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan. 4.12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. 4.13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan. 4.14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang- Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo. 4.15. Pasal 27 UUD 45 Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaannya dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan. 4.16. Pasal 34 UUD 45 Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan masyarakat bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan. Penganiayaan yang dimaksud dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan yang disengaja dan eksploitasi. Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan adalah berupa perlindungan di rumah, perlindungan hukum dan perawatan di rumah.
  • 11. 11 Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 1988) 1) Penyiksaan suami-istri 2) Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual) 3) Penyiksaan terhadap lansia 4) Peniksaan terhadap orang tua 5) Penyiksaan terhadap sibling 4.17. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 4.18. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19: Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan agar tetap produktif dengan bantuan pemerintah dalam upaya penyelenggaraannya. 4.19. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 : Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajad kesehatan dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan, penyembuhan, dan pengembangan lembaga. 4.20. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia. Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi, yaitu: anak, orang tua dan kakek/nenek. 4.21. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Seseorang yang telah lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan kesehatan yang diakui pemerintah. Tenaga keperawatan adalah perawat dan bidan. 4.22. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan.
  • 12. 12 4.24. Undang-undang No.22 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah. 4.25. Undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. 4.26. Tahun 2000-2004, bidang Pembangunan Sosial Budaya. 4.27. PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewengan Pemerintah dan Kewenangan. 4.28. Propinsi sebagai Daerah Otonomi. 4.29. PP No. 32 tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan. 4.30. PP No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan. 4.31. Sosial Lanjut Usia Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan. 4.32. Keppres No.452 th 2004 tentang Komite Nasional Lanjut Usia. 4.33. Keputusan Menkokesra No.15/KEP/IX/1994 tentang Panitia Nasional. 4.34. Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa. 4.35. Keputusan Menteri Sosial No.10/HUK/1998 tentang Lembaga Kesejahteraan Lanjut Usia. 4.36. SK Men Kes RI No. 1346 tahun 1990 tentang pembentukkan Tim Kerja. 4.37. Geriatri : Bertugas merumuskan program pembinaan kesehatan usia lanjut. 4.38. Dokrin-dokrin. 4.39. Kebijakan Institusi. Sumber Etik Keperawatan : 1) PPNI - code of ethics 2) Personal ethics 3) General standart 4.40. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain : 4.40.1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan kelembagaan. 4.40.2. Upaya pemberdayaan. 4.40.3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial. 4.40.4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia. 4.40.5. Perlindungan sosial.
  • 13. 13 4.40.6. Bantuan sosial. 4.40.7. Koordinasi. 4.40.8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi. 4.40.9. Ketentuan peralihan. 5. Permasalahan Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek hukum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut : 5.1. Produk Hukum Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk hukum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik. 5.2. Keterbatasan prasarana Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalannya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan. 5.3. Keterbatasan sumber daya manusia Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara lain :
  • 14. 14 5.3.1 Tenaga ahli gerontology. 5.3.2 Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist, perawat terlatih. 5.3.3 Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case managers), petugas sosial masyarakat, konselor. 5.3.4 Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih. 5.3.5 Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor. 5.3.6 Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana, mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT terlatih. 5.4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hukum dan etika yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah : 5.4.1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect) 5.4.2. Tindak kejahatan (crime) 5.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services) 5.4.4. Persetujuan tertulis (informed consent) 5.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues) 5.4.1. Pelecehan dan ditelantarkan (abuse and neglect) Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status kesehatan, pelayanan kesehatan, pribadi, hak memutuskan, kepemilikan maupun pendapatannya. Pelaku pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain. Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama ata8u dapat terjadi reaksi akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.
  • 15. 15 Penyebab pelecehan menurut International Institute on Agening (INIA, United Ntions-Malta, 1996) adalah : 5.4.1.1.Beban orang yang merawat Lanjut usia tersebut sudah terlalu berat. 5.4.1.2.Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia atau keluarganya. 5.4.1.3.Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya. 5.4.1.4.Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya. 5.4.1.5.Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti : 1) Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia. 2) Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat Lanjut Usia. 3) Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan keluarganya. 4) Perilaku psikopat dari Lanjut Usia dan atau keluarganya. 5) Tidak adannya dukungan masyarakat. 6) Keluarga mengalami kehilangan pekerjaan/pemutusan hubungan kerja. 7) Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga. Gejala yang terlihat pada pelecehan atau ditelantarkan antara lain : a. Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas sebabnya, higiena jelek, malnutrisi dan adanya bukti melakukan pengobatan yang tidak benar. b. Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan menjadi penurut atau tergantung, menyalahkan diri, menolak bila akan disentuh orang yang melecehkan, memperlihatkan tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain dan adanya kekurangan biaya transpor, biaya berobat atau biaya memperbaikik rumahnya. c. Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu persoalan secara tidak benar serta cara mengungkapkan rasa salah atau penyesalan yang tidak sesuai, baik dari Lanjut Usia itu sendiri maupun orang yang melecehkan. Jenis pelecehan dan ditelantarkan adalah : a. Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik. b. Pelecehan psikis atau melalui tutur kata. c. Pelanggaran hak. d. Pengusiran. e. Pelecehan di bidang materi atau keuangan.
  • 16. 16 f. Pelecehan seksual. Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran pasif (passive neglect) dan keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut Usia dapat dekelompokan sebagai berikut : 1. Terhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:  Mendapatkan orang yang dipercaya untuk melakukan tindakan hukum atau melakukan transaksi keuangan.  Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara. 2. Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan:  Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.  Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan Lanjut Usia selalu mendapatkan informasi baik tentang keadaan fisi, emosi, maupiun keadaan keuangan Lanjut Usia tersebut.  Orang yang merawat lanjut Usia menyadari keterbatasannya tidak ragu- ragu mencari pertolongan atau melimpahkan tanggung jawaabnya kepada fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi merawatnya.  Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap tindak pelecehan kepada Lanjut Usia (neighbourhood watch).  Melaksanakan program pelatihan tentang perawatan Lanjut Usia jompo di rumah, pengenalan tanda-tanda terjadinya tidak pelecehan, pemberian bantuan kepada Lanjut Usia, cara melakukan intervensi dan melakukan rujukan kepada fasilitas yang lebih mampu. 1.4.2. Tindak kejahatan (crime) Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap tindak kejahatan bila dibandingakan dengan ketakutan terhadap penyalit dan pendapatan yang berkurang. Kerugian yang diderita oleh mereka tidak melebihi penderitaan yang dialami oleh kaum muda. Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut Usia lebih parah, berupa rasa ketakutan, kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya. Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa factor fisik, keuangan dan kedaan lingkungan di sekitar Lanjut Usia tersebut. Jenis tindak kejahatan adalah:
  • 17. 17 1.4.2.1. Penodongan. 1.4.2.2. Pencurian dan perampokan. 1.4.2.3. Penjambretan. 1.4.2.4. Perkosaan. 1.4.2.5. Penipuan dalam pengobatan penyakit. 1.4.2.6. Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales, dll. 1.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services) Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang dibeikan kepada para Lanjut Usia yang tidak mempu melindungi dirinya terhadap kerugian yang terjadi akibat mereka tidak dapat merawat diri mereka sendiri atau dalam melakukan kiegiatan sehari-hari. Pelayanan perlindungan bertujuan memberikan perlindungan kepada para Lanjut Usia, agar kerugian yang terjadi ditekan seminimal mungkin. Pelayanan yang diberikan akan menimbulkan keseimbangan di antara kebebasan dan keamanan. 1.4.3.1. Perlindungan hukum Perlindungan hukum uang dapat diberikan kepada Lanjut Usia dapat berupa: 1) Bantuan pengacara (power of attorney). Lanjut Usia harus cukup kompeten untuk mengambil inisitif dalam menyerahkan urusannya kepada orang lain. 2) Joint Tenancy. Joint tenancy merupakan suatu produk hukum yang memungkinkan Lanjut Usia lain atau seorang pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut Usia. 3) Intervivos trust. Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain sebagai pewaris. 4) Conservatorship. Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan untuk melindungi ha milik seorang lanjut usia yang telah dianggap ta sanggup atau inkompeten, pada umumnya bila lanjut usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun. Permohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau instansi.
  • 18. 18 Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak lagi dapat bersuara dan megurus keuangannya serta menentukan tempat tinggalnya atau mengambil suatu keputusan penting lainnya. 5) Informal guardianship. Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hukum, akan tetapi meruakan suatu kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut usia tersebut adalah tetangganya, panti atau suatu perusahaan. 1.4.4. Persetujuan tertulis (Informed consent). Persetujuan tertulis merupakan suatu persetujuan yang diberikan sebelum prosedur atau pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni panti. Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan ialah ia masih kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu yang diberikan kepadanya. Bila seoang lanjut usia inkompeten, persetujuan diberikan oleh pelindung atau seorang walui. 1.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issue). Berbagai factor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang yang mempengaruhi kualitas kehidupan lanjut usia adalah: 1.4.5.1. Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostic seperti CT-scan dan katerisasi jantung, MRI, dsb. 1.4.5.2. Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi organ, raidasi 1.4.5.3. Bertambahnya risiko pengobatan. 1.4.5.4. Biaya pengobatan yang meningkat. 1.4.5.5. Manfaat pengobatan yang masih diragukan. 1.4.5.6. Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan. Isu etika muncul bila terjadi suatu pertentangan antara pendapat ilmiah atau ilmu kedokteran dengan pandangan etika atau perikemanusiaan, misalnya : 1) Untuk mengawali atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut usia yang sakit berat. 2) Mempertahankan atau melepaskan infuse atau tube feeding. Melakukan tindakan yang biayanya mahal.
  • 19. 19 3) Euthanasia. Isu euthanasia merupakan isu yang hangat dipertentangan di luar negeri, tetapi belum merupakan hal yang penting di Indonesia, mengingat hal ini bertentangan denagn hukum dan perundang-undangan serta kode etik kedokteran di Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa : a. Keinginan lanjut usia dan keluarganya. b. Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut usia tersebut. c. Prognosa penyakit yang diderita. d. Kualitas kehidupan dari lanjut usia. e. Perawatan yang sedang diberikan. Jenis euthanasia yang diberikan adalah active euthanasia (orang luar mempercepat lanjut usia untuk mengakhiri hidupnya) dan passive euthanasia (orang lain atau petugas kesehatan menolak memberikan pertolongan ytertentu kepada penderita terminal). 6. Aspek Legal Dan Etis Keperawatan Gerontik Praktek Keperawatan Profesional 6.1 Aspek Legal Peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu tempat : Indonesia 6.1.1 GBHN’98 – 2003, tentang kesra, pendidikan dan kebudayaan. 6.1.2 UU RI NO. 13 TH 1998, tentang kesejahteraan lanjut usia GBHN’98 – 2003 6.1.2.1. Arah pembangunan; peningkatan kualitas penduduk lansia u/ mewujudkan integritas sosial penduduk lansia dg masyarakat lingkungannya 6.1.2.1. Pelayanan lansia untuk penghargaan; 1) Kemudahan pelayanan umum 2) Bantuan kesra bagi yg memerlukan Pengembangan ilmu pengetahuan tentang lansia UU RI NO 13 1998 A. Hak Lanjut Usia 1. Meningkatkan kesejahteraan sosial, meliputi: a. Pelayann keagaamaan dan mental spiritual. b. Pelayanan kesehatan.
  • 20. 20 c. Kesempatan kerja. d. Diklat. e. Kemudahan dan penggunaan fasilitas, serta sarana dan prasarana umum. f. Sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Mengamalkan dan mentransformasikan kemampuannya ke generasi penerus. h. Memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan untuk generasi penerus. 2. Sama dalam kehidupan bermasyarakat Berbangsa & bernegara B. Kebijakan Khusus Untuk Lanjut Usia 1. PBB NO 045/206 TH 1991; 1 OKTOBER “International Day For The Elderly”. 2. PERGERI (The Indonesian Society Of Gerontology), 14 desember 1984. 3. GBHN 1993 ; lansia dapat didayagunakan untuk pembangunan. 4. HALUN ; mulai th 1996, 29 mei 1945, radjiman widiodiningrat (lansia) : “perlunya falsafah negara (pancasila), pandangan jauh ke depan dan wawasan luas. 6.2. Kode Etik dalam Praktik Keperawatan 6.2.1. Tanggung jawab terhadap klien 6.2.2. Tanggung jawab terhadap tugas 6.2.3. Tanggung jawab terhadap sesama prawat 6.2.4. Tanggung jawab terhadap profesi keperawatan 6.2.5. Tanggung jawab terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air. 6.3. Hal - hal yang harus diperhatikan oleh perawat berkaitan dengan kode etik 6.3.1. Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan suku, ras, golongan, pangkat, jabatan, status sosial, maslah kesehatan. 6.3.2. Menjaga rahasia klien
  • 21. 21 6.3.3. Melindungi klien dari campur tangan pihak yang tidak kompeten, tidak etis, praktek illegal. 6.3.4. Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi dan pekerjaannya 6.3.5. Perawat menjaga kompetensi keperawatan 6.3.6. Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya. 6.3.7. Kompetensi individu serta kualifikasi daalm memberikan konsultasi 6.3.8. Berpartisipasi aktif dalam kelanjutanya perkembangannya body of knowledge 6.3.9. Berpartipitasi aktif dalam meningkatan standar professional 6.3.10. Berpatisipasi dalam usaha mencegah masyarakat, dari informasi yang salah dan misinterpretasi dan menjaga integritas perawat 6.3.11. Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatannya yang lain atau ahli dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat termasuk pada lansia. 6.4. Fungsi kode etik (Kozier & Erb, 1980) 6.4.1. Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, pasien, tenaga kesehatan lain, dan masyarakat. 6.4.2. Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan 6.4.3. Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk mengenalkan kepada lulusan tenaga keperawatan baru tentang praktik keperawatan profesional 6.4.4. Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktik keperawatan 6.5. Prinsip etik 6.5.1. Fidelity Lebih terpusat pada kode etik keperawatan dimana perawat harus respek kepada klien sebagai keutuhan manusia 6.5.2. Autonomi Lebih mementingkan keputusan klien atas tindakan yang diberikan 6.5.3. Beneficience Punya prinsip berbuat baik 6.5.4. Justice
  • 22. 22 Kewajiban moral 6.6. Upaya Meminimalkan Risiko Dengan Penuh Tanggung Jawab 6.6.1. Lakukan tindakan yang sistematis, logis dan ilmiah yaitu : Pengkajian, diagnosa keperawatan yang benar, perencanaan yang benar, implementasi yang sesuai, evaluasi sesua kondisi 6.6.2. Lakukan research untuk pengembangan keperawatan gerontik 6.7. Pekerjaan Sosial Pekerjaan Sosial adalah profesi yang mendasarkan diri sebagai “disiplin normatif”. Jadi profesi ini berkaitan dengan nilai-nilai moral dan norma sosial yang selalu mengarahkan kepada kebaikan secara sosial. Teori-teori Pekerjaan sosial adalah “normatif” yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Jadi penting kiranya meningkatkan kemampuan pekerjaan sosial untuk memperlihatkan secara langsung aspek-aspek moral dan normatif dari teori dan praktek pekerjaan sosial. Prisip-prinsip etika praktek yang berasal dari filosofi idiologi dan prinsip- prinsip teknik praktek yang berasal dari landasan pengetahuan adalah komponen utama dari teori praktik pekerjaan sosial. 6.8. Prinsip Etik Praktek Pekerja sosial menggunakan seperangkat prinsip-prinsip etik praktek untuk membimbing dan membatasi tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan prisip etik praktek dipandang sebagai kewajiban-kewajiban,standar-standar, tugas- tugas, tanggung jawab untuk diterapkan dalam praktek. 6.9. Kode Etik Profesi Prinsip etik praktek dituangkan dalam kode etik profesi dalam bentuk petunjuk dan kewajiban. (kode etik internasional bagi pekerja sosial profesional). 6.10. Prinsip-Prinsip Dasar Etik 6.10.1. Acceptance (penerimaan) Pekerja sosial harus dapat menerima klien secara apa adanya. 6.10.2. Individualization (individualisasi) Klien merupakan pribadi unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya. 6.10.3. Non-judgemental attitude (sikap tidak menghakimi)
  • 23. 23 Pekerja sosial harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien 6.10.4. Rationality (rasionalitas) Pekerja sosial memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinang terjadi, serta mampu mengambil keputusan. 6.10.5. Emphaty (empati) Kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain / klien 6.10.6. Genuiness (ketulusan /kesungguhan) Ketulusan dalam komunikasi verbal 6.10.7. Impartiality (kejujuran) Tidak menghadiahi ataupun tidak merendahkan sesorang dan kelompok (tidak menganak-emaskan atau menganak-tirikan) 6.10.8. Confidentiality (kerahasiaan) Pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data klien kepada orang lain 6.10.9. Self-awareness (mawas diri) Pekerja sosial harus sadar akan potensinya dan keterbatasan kemampuannya. 6.11. Idiologi dalam Pekerjaan Sosial 6.11.1. Pekerjaan Sosial adalah Humansitik Humanistik dalam pengertian bahwa dalam prakteknya akan menjunjung tinggi martabat dan harga diri manusia, perwujudan diri, otonomi pribadi 6.11.2. Pekerjaan Sosial adalah Positivistik Positivistik dalam pengertian bahwa pekerjaan sosial memiliki nilai obyektif dan ilmu pengetahuan, seperti rasionalitas logis, keterbukaan, obyektivitas, universalisme dan kemajuan. 6.11.3. Pekerjaan Sosial adalah Utopian Utopia adalah suatu keadaan pikiran yang tidak sesuai dengan keadaan realitas yang mendorong manusia untuk mengubah realitas tersebut sesuai dengan keinginan dalam pikiran menuju masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Pekerjaan sosial ditandai oleh adanya suatu keyakinan yang pasti untuk menciptakan masyarakat yang baik dan bertanggungjawab.
  • 24. 24 6.12. Sifat Pelayanan Setiap jenis pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun maupun masyarakat mengandung sifat preventif , kuratif dan rehabilitatif. Preventif Pelayanan sosial yang diarahkan untuk pencegahan timbulnya masalah baru dan meluasnya permasalahan lanjut usia, maka dilakukan melalui upaya pemberdayaan keluarga, kesatuan kelompok –kelompok di dalam masyarakat dan lembaga atau organisasi yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan lanjut usia, seperti keluarga terdekat, kelompok pengajian, kelompok arisan karang werdha, PUSAKA, PERGERI. 6.12.1. Kuratif Pelayanan sosial lanjut usia yang diarahkan untuk penyembuhan atas gangguan yang dialami lanjut usia, baik secara fisik, psikis maupun sosial. 6.12.2. Rehabilitatif Proses pemulihan kembali fungsi-fungsi sosial setelah individu mengalami berbagai gangguan dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya. 6.13. Prisip Pelayanan Prinsip kesejahteraan sosial sosial lanjut usia didasarkan pada resolusi PBB NO. 46/1991 tentang principles for Older Person ( Prinsip-prinsip bagi lanjut usia) yang pada dasarnya berisi himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut usia yang meliputi kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri dan martabat. 6.13.1. Memberikan pelayanan yang menjujung tinggi harkat dan martabat lansia 6.13.2. Melaksanakan, mewujutkan hak azasi lanjut usia 6.13.3. Memperoleh hak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri 6.13.4. Pelayanan didasarkan pada kebutuhan yang sesungguhnya 6.13.5. Mengupayakan kehidupan lansia lebih bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat 6.13.6. Menjamin terlaksananya pelayanan bagi lanjut usia yang disesuaikan dengan perkembangan pelayanan lanjut usia secara terus menerus serta
  • 25. 25 meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak. 6.13.7. Memasyarakatkan informasi tentang aksesbilitas bagi lanjut usia agar dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana serta perlindungan sosial dan hukum. 6.13.8. Mengupayakan lanjut usia memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana dalam kehidupan keluarga, serta perlindungan sosial & hukum. 6.13.9. Memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk menggunakan sarana pendidikan, budaya spriritual dan rekreasi yang tersedia di masyarakat 6.13.10. Memberikan kesempatan bekerja pada lansia sesuai minat dan kemampuan 6.13.11. Memberdayakan lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penanganan lanjut usia dilingkungannya 6.13.12. Khusus untuk panti, menciptakan suasana kehidupan yang bersifat kekeluargaan 6.14. Proses Pelayanan 6.14.1. Persiapan 6.14.1.1. Sosialisasi program dan kegiatan Panti/Orsos bagi lanjut usia penerima pelayanan, keluarga dan masyarakat. 6.14.1.2. Kontak (Pertemuan pertama antara pihak panti/orsos dengan lanjut usia dan keluarganya/yang mewakili). 6.14.1.3. Kontak (kesepakatan pelayanan atau bantuan secara tertulis antara klien dengan pihak panti/pekerja sosial/orsos. 6.14.1.4. Pengungkapan masalah lanjut usia. 6.14.1.5. Rencana tindak/intervensi. 6.14.2. Pelaksanaan Pelayanan. 6.14.2.1. Pelayanan sosial 6.14.2.2. Pelayanan fisik 6.14.2.3. Pelayanan psikososial 6.14.2.4. Pelayanan ketrampilan 6.14.2.5. Pelayanankeagamaan/ spiritual 6.14.2.6. Pelayanan pendampingan 6.14.2.7. Pelayanan bantuan hukum
  • 26. 26 6.14.2.8. Monitoring dan evaluasi 6.14.2.9. Terminasi 6.14.2.10.Pembinaan lanjut 6.15. Kesejahteraan Sosial (pasal 2 ayat 1/UU 6/74) : Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materiil dan spriritual yang diliputi oleh rada keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri , keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila. 6.16. Fungsi Pekerjaan Sosial (orientasi praktek) Meningkatkan kemampuan orang (capacity building) agar dapat memecahkan masalahnya secara lebih efektif. Menghubungkan orang dengan sistem-sistem sumber pelayanan Melaksanakan kontrol sosial dan perubahan distem pelayanan sosial (Memperbaiki kinerja jaringan pelayanan sosial) Pemerataan distribusi sistem sumber pelayanan 6.17. Fungsi Peksos Secara Metodologis 6.17.1. Fungsi pencegahan 6.17.2. Fungsi pengembangan 6.17.3. Fungsi rehabilitatif 6.17.4. Fungsi suportif 6.17.5. Fungsi pengganti 6.18. Pendekatan dalam Pekerjaan Sosial 6.18.1. Pendekatan Mikro Pendekatan berbasis pada masalah yang dihadapi oleh orang per orang. atau secara metodologis disebut dengan case work 6.18.2. Pendekatan Mezzo Pendekatan berbasis kelompok , yaitu pembentukan kelompok secara terencanakan untuk berbagai kepentingan. 6.18.3. Pendekatan Makro Planing, adminstration, evaluation and community organizing 6.19. Bentuk UPKS Lansia (PP nomor 43 tahun 2004) 6.19.1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual 6.19.2. Pelayanan kesehatan 6.19.3. Pelayanan kesempatan kerja (tidak berlaku bagi LU non potensial)
  • 27. 27 6.19.4. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, saran dan prasarana umum 6.19.5. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum 6.19.6. Perlindungan sosial (tidak berlaku bagi LU potensial) 6.19.7. Bantuan sosial LU Potensial mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa. LU tidak potensial tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidup tergantung pada bantuan orang lain
  • 28. 28 DAFTAR PUSTAKA Anonim. Lansia Masa Kini dan Mendatang. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kedeputian I Bidang Kesejahteraan Sosial. 2010 Anonim. Konsep Dasar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Nurse Idea. 2009. Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Darmojo, Boedi. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1999. Kiswanto, Eka A. Trend dan Isu Legal dalam Keperawatan Profesional. Jakarta: Pro-Health. 2009. Mardjono, Mahar. Beberapa Masalah dalam Geriatri dan Aspek Medik pada Usia Lanjut. Jakarta: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1982. Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2000. R, Rully. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam Perspektif HAM. Jakarta: Harian Suara Pembaharuan. 2002. SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tim Keperawatan Gerontik AKPER Lumajang. 2012. Handout Keperawatan gerontik Asuhan Keperawatan pada Lanjut Usia. Akadmi Keperawatan Lumajang