HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
KRONOLOGI PENYELESAIAN KASUS HUKUM
1. 1. KRONOLOGI KASUS KONSULTASI HUKUM
Arief Budiman adalah pengusaha besi muda yang baru merintis usahanya di
sebuah Kota Pekalongan, dia merintis usahanya karena bantuan dari kakak iparnya mas
Imam yang sudah menjadi pengusaha Besi sukses di kotanya di Tegal UD.GENTOSAN.
Mas imam berniat membuka cabang usahanya di Kota Pekalongan , ia mempercayakan
nya pada Arief agar bisa berkembang menjadi bisnis keluarga.
Bisnis yg digeluti dalam penjualannya berupa lempengan besi dari berbagai
ukuran ketebalan, dan jenis besi pesenan pelanggan yang lain. Dalam produksinya juga ia
memproduksi sendiri di dalam usahanya dan dibantu dengan karyawannya.
Kaus 1.
Pada tanggal 3 Maret 2015 dilakukannya transaksi pembelian oleh pelanggan
Sutrisno 3 jenis barang dengan totalan Rp 25.728.800,- ( dua puluh lima juta tujuh ratus
dua puluh delapan ribu delapan ratus rupiah) dan dengan catatn dibayar 3 minggu setelah
pembuatan nota di tandatangani juga oleh pihak penjual dan pembeli namun tidak diatas
materai.
Pada saat jatuh tempo pembayaran pembeli tidak dapat melunasi dan belum ada
itikad baik sampai saat ini, bagaimana penyelesaian dalam pandangan hukum untuk kasus
tersebut?
Kasus 2.
Arief dalam usahanya untuk mencari pelanggan ia memberikan harga jauh lebih
murah Rp 1000,- /kg besi dibandingkan dengan yang lain, dikarenakan dalam
produksinya ia meproduksi sendiri. Namun saingan bisnis nya di kota Pekalongan
tersebut tidak terima karena ia menjual lebih murah dan pelanggan nya pada berpindah ke
tempat arief. Alhasil sampe saat ini sudah ada 3 pengusaha yang menegur, dan arief takut
akan adanya hal yg lebih tidak diinginkan. Bagaimana antisipasinya ?
2. 2. CARA PENYELESAIAN KASUS
Kasus 1.
Dalam hal ini karena pihak penjual/ debitur masih mau beritikad baik
kepada pihak pembeli/ kreditur diambilnya langkah negosiasi untuk penyelesaian kasus
pembayaran hutang jatuh tempo diatas dan diberikan perpanjangan waktu untuk
pelunasan hutang paling lambat sampai 3 bulan dihitung dari penagihan hutang pertama
pada tanggal 24 maret 2015 dan jatuh tempo pada bulan Juni. Apabila pada bulan yang
sudah ditentukan pihak kreditur tetap tidak ada itikad baik untuk pelunasan , penyelesaian
kasus akan dibawa ke jalur Pengadilan, karena apabila kreditur mempunyai itikad baik
untuk menyicil, kasus tidak bisa dibawa kepengadilan.
Untuk surat perjanjian yang tidak bermaterai bukan masalah untuk dijadikannya
alat bukti diPengadilan karena dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian
(misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli)
tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian.
Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu
perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320
KUHPerdata.
Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai
alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
Kasus 2.
Dalam persaingan bisnis mencari pelanggan bukan hal yang jarang lagi
apabila seorang penjual memberikan harga yang lebih murah dibandingkan dari
pesaingnya. Karena tidak ada perjanjian sebelumnya oleh antar perusahaan persaingan
dengan memberikan harga lebih murah tak ada masalah bagi pihak yang merasa
dirugikan. Karena tidak ada perjanjian atau paguyuban yang memayungi usaha besi di
daerah tersebut. Apabila ada itu termasuk dalam perjanjian price vixing (Perjanjian
penetapan harga atau syarat-syarat penjualan lain) yang termasuk dalam peraturan yang
bersifat restriktif itu dilarang dalan pernjanjian internasional.
3. Apabila ada pihak yang tidak terima dan melakukan tindakan yang menimbulkan akibat
hukum dapat dipidanakan.
3. PERAN SAYA DALAM PENYELESAIAN KASUS : SEBAGAI
KONSULTAN
4. AKHIR KASUS : Masih dalam proses Negosiasi
5. LEGAL OPINION :
Kasus 1.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang dimaksud dengan wanprestasi (ingkar
janji) adalah adanya pelanggaran terhadap perjanjian, sedangkan menurut pasal 1365
KUH Perdata perbuatan melawan hukum adalah tindakan dari pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap suatu ketentuan/aturan hukum yang berakibat merugikan orang
lain.
Dalam menyelesaikan sengketa perdata, Pengadilan bukanlah merupakan satu-
satunya lembaga untuk menyelesaikan sengketa, namun dikenal juga penyelesaian
sengketa dengan cara di luar pengadilan. Baik sengketa karena wanprestasi ataupun
perbuatan melawan hukum, dapat dilakukan di luar Pengadilan atau melalui Pengadilan.
Uraian mengenai kedua jenis proses penyelesaian sengketa tersebut, adalah sebagai
berikut:
A. PENYELESAIAN DI LUAR PENGADILAN (Alternative Dispute Resolution)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sering disebut sebagai “Alternatif
Penyelesaian Sengketa” (“APS”) atau “Alternative Dispute Resolution” (“ADR”).
Penyelesaian sengketa/konflik melalui ADR sudah lazim digunakan di negara-negara
maju, terutama untuk penyelesaian sengketa usaha/bisnis.
Ada beberapa bentuk ADR, yaitu melalui:
1. Negosiasi;
2. Mediasi;
3. Konsiliasi; atau
4. Arbitrase.
4. Penyelesaian sengketa melalui ADR tersebut akan efektif dan efisien apabila
dilaksanakan berdasarkan itikad baik para pihak yang bersengketa, yang dilakukan atas
dasar sukarela dengan tujuan agar:
– proses penyelesaian dapat dilakukan dengan cepat;
– menekan biaya supaya relatif tidak terlalu besar; dan
– dapat ditangani oleh orang yang ahli dibidangnya.
Dalam penyelesaian sengketa melalui ADR, masing-masing pihak dapat
menggunakan cara yang sesuai dengan kondisi dan strategi yang diinginkan.
Di bawah ini diuraikan tentang beberapa cara penyelesaian sengketa melalui ADR
tersebut.
1. Negosiasi
Negosiasi adalah suatu perundingan/musyawarah yang dilakukan oleh para pihak
yang bersengketa atau yang mewakili dengan menjalankan suatu proses tawar menawar
dalam upaya mencapai kesepakatan penyelesaian.
Untuk tercapainya tujuan negosiasi tersebut, proses Negosiasi dapat dilakukan langsung
oleh para pihak terkait atau dapat melibatkan peranan negosiator dari masing-masing
pihak yang berperan sebagai penghubung, penengah dan inisiator.
Negosiator yang dikirim dalam proses negosiasi ini harus memiliki kemampuan untuk
melakukan tawar menawar dengan penyampaian argumen yang detail, menguasai dasar
sengketa dan transaksi terkait, memiliki kemampuan bernegosiasi dan jaringan yang baik,
serta keterampilan berinteraksi dengan pihak lawan, karena semua faktor tersebut sangat
mempengaruhi suksesnya Negosiasi.
2. Mediasi
Mediasi adalah salah satu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak
ketiga atau Mediator sebagai pihak luar yang tidak terkait dengan para pihak yang
bersengketa, tidak memihak, netral serta dapat bekerja sama.
Dalam menjalankan fungsinya, Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memberikan
putusan yang mengikat terhadap para pihak yang bersengketa. Tugas Mediator adalah
membantu mencarikan solusi terbaik bagi para pihak yang bersengketa.
5. Mengingat fungsi dari Mediator tersebut, maka orang yang ditunjuk sebagai
mediator harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas, menguasai
permasalahan dan mempunyai integritas yang tinggi.
Diikutsertakannya pihak ketiga sebagai Mediator adalah untuk meminimalkan
terjadinya salah pengertian akibat adanya halangan dalam melakukan komunikasi
diantara pihak yang bersengketa. Selain itu mediator dapat juga befungsi sebagai nara
sumber bagi para pihak.
Dengan menggunakan mediasi sebagai media penyelesaian sengketa diharapkan
keputusan yang dihasilkan dapat merupakan keputusan yang bersifat menguntungkan
serta dapat diterima oleh para pihak (win-win solution).
Kesulitan dalam menggunakan Mediasi dalam penyelesaian sengketa adalah
memilih Mediator yang tepat yang dapat bersikap independen dan tidak memihak kepada
salah satu pihak.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada
suatu komisi orang yang bertugas untuk menguraikan fakta, membuat usulan untuk
penyelesaian, namun keputusan yang diambil tidak mengikat.
Walaupun menggunakan pihak ketiga, Konsiliasi mempunyai perbedaan dengan
Mediasi. Perbedaannya adalah dalam Konsiliasi pihak ketiga tersebut mengajukan usulan
kepada para pihak yang bersengketa atas solusi yang akan diambil. Apabila usulan
tersebut disetujui maka dapat ditindaklanjuti dengan mengadakan pertemuan dan
negosiasi.
Sama seperti halnya dengan proses Mediasi keputusan yang dihasilkan melalui
proses Konsiliasi adalah keputusan yang dapat diterima oleh pihak yang bersengketa dan
demikian juga pemilihan Konsiliator yang dapat bersikap independen sehingga dapat
berfungsi sebagaimana mestinya bukanlah merupakan hal yang mudah.
4. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa dengan cara menunjuk seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang
ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
6. Dasar hukum Arbitrase adalah Undang Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”).
Pasal 60 UU Arbitrase menyebutkan bahwa putusan Arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Penjelasan pasal ini
menyebutkan bahwa putusan final tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi atau
peninjauan kembali.
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan Arbitrase secara sukarela maka
putusan akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Sebelum memberikan perintah
pelaksanaan atas putusan Arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri melakukan pemeriksaan
terlebih dahulu apakah putusan Arbitrase tersebut telah memenuhi syarat formal sesuai
dengan UU Arbitrase serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
B. PENYELESAIAN MELALUI PENGADILAN (Court Settlement)
Dalam upaya penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, para pihak harus
memperhatikan prosedur yang mengacu kepada Hukum Perdata Formil (Hukum Acara
Perdata) maupun Hukum Perdata Materil.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelesaian sengketa perdata melalui
pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Hukum Acara Perdata
Tata cara penyelesaian sengketa perdata diatur dalam Ketentuan Hukum Acara
Perdata. Hukum Acara Perdata adalah serangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan serta bagaimana cara
pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan
hukum perdata (Hukum Perdata Materil).
2. Sumber Hukum dan Asas Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata Indonesia hingga saat ini belum diatur dalam undang-undang yang
terkodifikasi. Kaidah hukum acara perdata masih diatur dalam berbagai aturan hukum
yang menjadi sumber hukum bagi hukum acara perdata di Indonesia, yang dapat
dijadikan sumber hukum bagi hakim dalam memeriksa perkara, yaitu:
HIR (Het herziene Indonesich Reglement) untuk wilayah Jawa dan Madura dan
RBG (Rechtsreglement Buitengewesten) untuk wilayah luar Jawa dan Madura .
7. Buku IV KUH Perdata atau tentang pembuktian dan kadaluarsa.
Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang Undang Nomor 20 tahun 1947 yang mengatur masalah Banding untuk
wilayah Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura menggunakan
Rbg.
Undang Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tentang
Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 tahun 1974.
Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang Undang Nomor 14 tahun 1985 juncto Undang Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung yang mengatur tentang susunan MA, kekuasaan
MA, Hukum Acara MA termasuk pemeriksaan Kasasi, pemeriksaan tentang
sengketa kewenangan mengadili.
Yurisprudensi dari Putusan Hakim terhadap perkara yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht).
Doktrin atau ilmu pengetahuan.
UNTUK SAH NYA PERJANJIAN TANPA BEA MATERAI
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat
bukan akta, dan Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan.
Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat
dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu
dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai
pasal 1880.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara
pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau
terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum
(seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di
bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan
pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari
akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan,
8. surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya
adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.
Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik
merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta
tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-
hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut
dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat
membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan
tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta
tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang
menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak
darinya.
Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa
terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual
beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya
tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya
sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya
materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan
sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
Kasus 2.
Ditinjau dari maksud perikatan atau perjanjian antar perusahaan dengan
karakteristik produk yang dihasilkan atau jenis produk perusahaan-perusahaan
bersangkutan, perjanjian antara perusahaan pada dasarnya terdiri dari dua macam yaitu
perjanjian yang bersifat vertikal dan horisontal.
9. Perjanjian vertikal yaitu perjanjian antar perusahaan pada berbagai tahap dalam
proses maanufakturing atau proses distribusi, misalnya perjanjian perjanjian antar para
produsen dan wholesaler, atau antara produsen, wholesaler dan pengecer. Sedangkan
perjanjian horisontal adalah perjanjian yang diadakan antara perusahaan- perusahaan
yang bergerak secara umum di bidang kegiatan yang sama , yaitu antara para produsen
atau para wholesaler, atau antar para pengecer yang bergerak dalam jenis produk yang
sama. Perjanjian-perjanjian tersebut dapat dengan sekaligus bersifat horisontal dan
vertikal seperti perjanjian dalam penetapaan harga.
Perjanjian-Perjanjian, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal (tertulis /
lisan) apabila dilakukan dengan niat untuk mengurangi persaingan atau bahkan
menghilangkan persaingan di pasar (perjanjian yang bersifat restriktif) berdampak buruk
bagi perekonomian. Oleh karenanya di banyak negara dikeluarkan aturan-aturan yang
melarang esksistensi perjanjian ini.
Pengurangan, pembatasan atau penghilangan persaingan usaha antar perusahaan
tidak saja dihasilkan oleh perjanjian yang dibuat antar perusahaan tapi juga dapat
dilakukan oleh pemerintah yang mengeluarkan peraturan yang menghasilkan kondisi atau
akibat yang sama terhadap pasar. Peraturan yang dihasilkan itu disebut peraturan yang
bersifat restriktif. Pengeluaran peraturan tersebut banyak mendapat tentangan, tidak saja
oleh perusahaan pesaing di dalam negeri namun pula dilakukan oleh perusahaan di luar
negeri yang mempunyai akses ke pasar negara yang bersangkutan yang biasanya dilaku-
kan melalui pemerintah asal perusahaan tersebut. Maka banyak negara meminta agar
dilarang adanya peraturan yang bersifat restriktif itu melalui perjanjian internsional.
Praktek-praktek perjanjian atau pengaturan restriktif biasanya dilakukan dalam bentuk
antara lain:
a. Price Fixing (Perjanjian penetapan harga atau syarat-syarat penjualan lain).
Penetapan harga adalah salah satu di antara bentuk paling umum praktek bisnis
restriktif dan terlepas apakah menyangkut barang atau jasa, di banyak negara dianggap
sebagai pelanggaran per se sementara di beberapa negara lain diatur secara rule of
reason. Penetapan harga dapat terjadi di sembarang tingkatan di dalam proses produksi
10. dan distribusi. Ia bisa mencakup perjanjian mengenai harga barang-barang primer, input
antara atau produk final. Ia juga dapat mencakup perjanjian yang berkaitan dengan
bentuk khusus potongan harga, termasuk discount dan rabat, susunan daftar harga dan
tukar-menukar informasi harga.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah Kasus Kartel SMS.
b. Collusive Tendering / Conspiracy Requirement (Tender Kolusif).
Tender kolusif pada hakekatnya bersifat anti persaingan, karena bertentangan
dengan maksud tender itu sendiri, yang adalah untuk membeli barang atau jasa
berdasarkan harga dan persyaratan yang paling menguntungkan. Tender secara kolusif
dapat berbentuk macam-macam, misalnya "perjanjian untuk menyerahkan penawaran
harga yang sama, perjanjian mengenai siapa yang harus menyerahkan penawaran
terendah, perjanjian untuk menyerahkan penawaran bohong-bohongan (penawaran
bohong dengan suka rela), perjanjian untuk tidak bersaing satu sama lain, perjanjian
mengenai norma bersama dalam menghitung harga atau persyaratan lelang, perjanjian
untuk membungkam peserta lelang yang tidak ikut dalam perjanjian tersebut, perjanjian
untuk memilih pemenangnya lebih dahulu atas dasar yang masuk akal atau atas dasar
alokasi pelanggan atau alokasi geografis. Perjanjian-perjanjian seperti itu biasanya
memberikan suatu sistem kompensasi bagi peserta lelang yang gagal berdasarkan suatu
prosentase tertentu dari keuntungan peserta lelang yang menang untuk dibagi di antara
peserta lelang yang gagal pada akhir jangka waktu tertentu.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah perkara tender penjualan saham dan
obligasi PT Indomobil Tbk. dan beberapa perkara lain.
c. Market and Customer Allocation (Alokasi Pasar atau Konsumen).
alokasi pasar dan konsumen di antara perusahaan mencakup penugasan kepada
perusahaan tertentu untuk secara eksklusif menggarap konsumen atau pasar tertentu.
Pengaturan seperti ini dimaksudkan terutama untuk memperkokoh atau mempertahankan
pola perdagangan tertentu para pesaing yang meninggalkan (forgoing) persaingan dalam
hal konsumen atau pasar. Pengaturan demikian dapat bersifat membatasi untuk jenis
produk tertentu atau jenis konsumen tertentu. Pengaturan alokasi konsumen dapat terjadi
11. dalam perdagangan dalam negeri maupun luar negeri; dalam hal terakhir ini mereka
seringkali mencakup pembagian pasar internasional atas dasar geografis, yang
mencerminkan hubungan pemasok-pembeli yang terjalin sebelumnya.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan bangunan.
d. Restraints on Production or Sales (Pembatasan produksi atau penjualan, termasuk
dengan kuota).
Pengaturan pembagian pasar dapat juga dirancang atas dasar alokasi kuantitas
ketimbang atas dasar wilayah atau kelompok konsumen. Pembatasan seperti itu
seringkali diterapkan di sektor-sektor yang memiliki surplus kapasitas atau dimana
tujuannya adalah menaikan harga. Dibawah skema seperti itu perusahaan seringkali
sepakat untuk membatasi pasokan sampai pada proporsi penjualan sebelumnya, dan
untuk melaksanakan ini, kerap diciptakan pengaturan suatu pooling arrangement dimana
perusahaan yang menjual kelebihan kuotanya diminta membayar kepada pool tersebut
sebagai kompensasi kepada mereka yang menjual di bawah kuota.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan bangunan.
e. Concerted Refusals to Purchase or Supply – Boycotts (Penolakan untuk Membeli atau
Memasok).
Penolakan bersama untuk membeli atau memasok, atau mengancam untuk itu,
adalah salah satu dari cara paling lazim yang ditempuh untuk memaksa mereka yang
tidak menjadi anggota suatu grup atau kelompok agar mengikuti kelompok aksi yang
ditetapkan. Boikot grup dapat horisontal (misalnya anggota kartel dapat bersepakat di
antara mereka untuk tidak menjual kepada atau membeli dari konsumen tertentu), atau
dapat vertikal (mencakup perjanjian di antara para pihak dari berbagai tingkat produksi
dan tingkat distribusi) untuk menolak berhubungan bisnis dengan pihak ketiga, biasanya
pesaing dari salah satu yang disebutkan di atas.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah perkara PT Telkom, Tbk.
f. Collective Denial of Access to An Arrangements or Association (Penolakan bersama
terhadap pihak untuk mengikuti suatu Persetujuan atau suatu Asosiasi).
12. Keanggotaan suatu asosiasi profesi dan dagang adalah lazim dalam produksi dan
penjualan dari barang dan jasa. Asosiasi seperti itu biasanya memiliki aturan tertentu
mengenai persyaratan menjadi anggota dan biasanya siapa yang memenuhi persyaratan
tersebut diperbolehkan menjadi anggota. Tetapi persyaratan menjadi anggota dapat
dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menghadang (menghalangi) masuknya
pesaing (calon pesaing) baik melalui diskriminasi terhadapnya atau bertindak seperti
"toko tutup". Namun demikian sebagai mana diatur di AS, profesional syah (handal) yang
bersangkutan dapat dengan syah/benar menolak individu dari asosiasi profesional.
Penolakan kolektif ke dalam suatu persetujuan dapat juga berbentuk penolakan
masuk ke suatu fasilitas/ kemudahan yang perlu dalam rangka bersaing secara efektif di
pasar tersebut. Dalam kaitan ini, konsep "fasilitas/kemudahan yang perlu bagi
persaingan" telah diterima di AS dengan menetapkan bahwa suatu kelompok pembeli
lebih dari 30 persen pangsa pasar dapat mengeluarkan perusahaan seperti yang
diinginkan.
Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan bangunan.