2. 2 3
2014
Nafas Kedua oleh Nina Masjhur 19 Maret
Lomba Bergaya dengan Karya 7 April 2014 – 20 Mei
Vertikultur 18 April
Peta Grogol 20 April
Becak Lukis Indramayu 31 April
Si Maneki ‘monggo’ Neko 7 Mei
Panen Raya Hasil Berkebun dalam Gedung 23 Mei
Rak 800 (Kesusasteraan) TKC
Gania, Gina (2010) Rahasia Inovasi Steve
Jobs, Prinsip Berbeda untuk Melakukan
Terobosan. Penerbit Erlangga
Jangan buat rencana kecil;
rencana kecil tidak punya sihir
untuk menggolakkan darah manusia.
Daniel Hudson Burnham
Arsitek
3. 4 5
Sejak pertengahan 2013 program aktivasi Tarumanaga Knowledge Centre diper-
siapkan. Sedikit soal pemetaan masalah, agak panjang berdiskusi soal berbagai
kemungkinan kegiatan dan pihak yang akan dilibatkan, sampai beberapa uji coba
mekanisme kerja dilakukan.
pada akhirnya, di Februari 2014, Program Injeksi Visual dimulai. Program ini
bertujuan untuk mendorong munculnya enerji baru, segar, dan bermanfaat
melalui berbagai visual yang ditampilkan dalam ruang-ruang TKC. Di samping
menghadirkan berbagai karya visual, kegiatan-kegiatan yang memberi konteks,
cerita, bagi karya - merupakan suprastruktur yang wajib ada, dianggap penting
untuk dilakukan.
Proses instalasi 319 bangau origami karya Nina Masjhur ‘menghangatkan’ ru-
ang perpustakaan di gedung utama Tarumanagara yang dingin dan biasa senyap
itu. Banyak pihak hadir dan menyaksikan. Akademisi dan publik yang diundang
merasakan gairah yang sederhana dan jarang ada. Karya berjudul Nafas Kedua
itu tergantung di void setinggi empat lantai, seakan memberi tanda bahwa TKC
serius untuk hadir dan menjadi berguna bagi akademisi Universitas Tarumanaga-
ra dan publik.
Kemudian empat instalasi cocok tanam tanpa tanah, hidroponik, dibangun di
empat titik di lantai enam dan tujuh Gedung Utama Tarumanagara. Selain ber-
tujuan untuk menyatakan otentisitas ilmu pengetahuan yang disodorkan oleh
sebuah perpustakaan, instalasi ini dapat menggantikan ornamen ruang berupa
tanaman plastik yang sebelumnya ada. Dengan menghadirkan metode cocok
tanam sederhana di dalam gedung ini, diharapkan banyak pihak mulai berpikir
untuk memproduksi bahan makanannya sendiri. Wadah dan pipa instalasi dib-
ungkus oleh mantel -mantel yang dirajut dengan tangan dari benang warna-war-
ni, demi menghadirkan suasana hangat dan manusiawi.
Banyak lagi karya visual yang hadir di ruang-ruang TKC. Gagasannya sederhana
saja. Mengaktifkan perpustakaan di gedung utama Tarumanagara, yang memi-
liki berbagai fasilitas itu, menjadi ruang yang membolehkan hal-hal sederhana
menjadi luar biasa. Seperti yang banyak dari kita percaya, bahwa kita hanya bisa
bergaya dengan karya.
sedikit latar belakang
4. 6 7
Bangau Origami
Nina Masjhur: Nafas Kedua
319 bangau kertas tergantung di dela-
pan utas benang di void perpustakaan
Tarumanaga Knowledge Centre.
Bangau-bangau yang dilipat dari ker-
tas bekas itu merupakan karya ori-
gami Nina Masjhur yang berjudul
Nafas Kedua. Digantung daru satu
titik, menjulur setinggi lima lantai.
Kadang-kadang, bangau-bangau itu
bergerak sedikit, berputar bebas di
delapan ujung dari empat bilah kayu
yang diikat pada satu poros, menga-
nalogikan delapan arah mata angin.
Kertas-kertas bekas yang digunakan,
masing-masing memiliki pesan di da-
lamnya. Ada berita selebritis, agenda
acara, sampai aktifitas akhir minggu
khas kegiatan kaum urban. Berbagai
konteks, lingkup kehidupan, terlipat
secara berulang di dalam bangau-ban-
gau itu. Kehidupan adalah pengulan-
gan. Kita dapat belajar dari apa yang
pernah terjadi dan dari apapun yang
ada di sekitar kita. Ini adalah karya se-
derhana yang akan memantik inspirasi
saudara-saudari.
Lulusan dalam bidang studi arkeolo-
gi yang lalu bekerja di bidang-bidang
yang sama sekali berbeda. Begitu lulus
kuliah, ia bergabung dengan sebuah
ekspedisi asal Inggris di Pulau Seram.
Disusul dengan bekerja sebagai periset
mengenai bahan-bahan pewarna alami
di sebuah butik sutra.
Selanjutnya, ia menjadi penulis lepas
dengan fokus utama fotografi, dan
sedikit-sedikit terlibat dalam penye-
lenggaraan pameran senirupa dan
fotografi. Bidang lain yang kemudian
ditekuninya adalah dunia produksi
film termasuk untuk iklan. Berkem-
bang menjadi fixer (koordinator lokal/
produser pelaksana) dan/atau periset
untuk para film-maker dokumenter
asing dan dan wartawan televisi asing.
Kini, penyuka kucing ini, masih suka
menulis tentang hal-hal yang menjadi
minat pribadinya. Dan asyik berkec-
impung dalam dunia penerbitan buku-
buku coffee-table tentang kebudayaan
Indonesia. Sambil mengembangkan
hobi lamanya dalam dunia kekriyaan
yang menjadi nafas ke-duanya.
Foto: Reda Gaudiamo
5. 8 9
Instalasi Hidroponik
Empat instalasi hidroponik di lan-
tai enam dan tujuh Tarumanagara
Knowledge Centre menjadi elemen
visual yang mengugah rasa. Lam-
pu-lampu LED berwarna ungu, yang
selain berguna bagi proses fotosintesa
tanaman yang tumbuh di bawahnya,
mereka diharapkan dapat membangun
suasana nyaman, romantis, memantik
inspirasi bagi para pengunjung per-
pustakaan demi menghasilkan karya-
karya bermutu.
Hidroponik adalah teknik bercocok
tanam yang hanya menggunakan un-
sur air. Metode tanam tanpa tanah ini
perlu didorong khususnya di kota-ko-
ta besar seperti Jakarta, di mana ruang
tanam makin sempit.
Adalah Agus, Roni, dan Iyeng tiga
pemeran utama dalam pembangunan
kebun hidroponik di dalam Gedung
Utama Tarumanagara. Mereka ter-
gabung dalam Kebun Sayur, sebuah
usaha yang bergerak di bidang horti-
kultura, yang memproduksi berbagai
jenis sayur-mayur dengan metode hi-
droponik.
Sayuran yang dihasilkan dapat ditemu-
kan dalam menu sallad dan lalapan, di
banyak restoran terkemuka di Jakar-
ta. Selada kubis (butterhead), selada
Cos Romaine, yang biasa berada da-
lam menu Caesar Sallad, selada kepala
(iceberg), daun selada (leaf letuce),
oakleaf lettuce, dan endive, yang biasa
ada pada pizza).
6. 10 11
Kamu di manaa?
Potongan peta Jakarta Barat seukuran
hampir 19 meter persegi disandarkan
pada sebidang tembok dalam per-
pustakaan Tarumanagara Knowledge
Centre lantai 8. Karya visual Robowo
ini menampilkan ekspresi urban se-
cara tradisional. Ia menampilkan peta
Grogol, yang di zaman sekarang dapat
dengan segera dilihat di media dijital,
dengan menggunakan media cat dan
papan berurat kayu. Metode meng-
gambar secara manual menitipkan rasa
manusia dalam karya ini. Ketidak sem-
purnaan garis yang ditarik, menyodor-
kan suasana hangat, tidak mekanik
yang dingin.
Sebagai lokasi yang dikenal strategis
di Jakarta Barat dan memiliki fasilitas
lengkap (rumah sakit jiwa, terminal
bus, kampus, sampi supermall yang
terang benderang jadi landmark daer-
ah ini), Grogol juga dikenal sebagai
daerah yang cukup padat baik dari segi
kemacetan dan penduduk.
Berandai-andai saja kalau kita bisa
menandai daerah mana saja yang per-
nah kita singgahi, sebagai sebuah pen-
anda memori visual tentang kejadian
yang pernah kita alami di sekitar gro-
gol sebagai interaksi positif menang-
gapi tentang kondisi lingkungan seki-
tar kita”, ujar Robowobo.
Robowobo adalah nama ‘gaul’ RM.
Herwibowo. Kelahiran Jakarta, 1982,
lulusan seni rupa Universitas Negeri
Jakarta ini adalah seorang urban art-
ist yang banyak ‘mengintervensi’ ru-
ang-ruang publik Jakarta.
Di 2006, bersama teman-temannya,
Robowo mendirikan Komunitas Ser-
rum (share-room). Kini ia adalah ma-
najer program seni publik Serrum.
Karya Robowobo banyak muncul
melalui di tembok-tembok di ber-
bagai sudut Kota Jakarta, merefleksi
pengalaman warga. Dalam berkarya
Robowobo banyak bereksperimentasi
dengan berbagai medium, antara lain:
seni grafis dan air-brush.
7. 12 13
Verikultur
Ketika banyak hal yang kita lihat
memanjang secara horizontal, perlu
adanya benda yang tegak berdiri se-
cara vertikal. Secara visual, ini menjaga
keharmonisan sebuah komposisi.
Dua buah instalasi vertikultur ditem-
patkan di Executive Lounge Taru-
managara Knowledge Centre.
Yeye dan Alan adalah dua pemeran
utama dalam pembangunan kebun
hidroponik sistem vertikal, biasanya
disebut sebagai sistem vertikultur.
Metode Vertikultur merupakan cara
bertanam yang dilakukan dengan me-
nempatkan media tanam dalam wa-
dah-wadah yang disusun secara verti-
kal, dan mengaliri setiap wadah yang
diisi benih itu dengan larutan nutrisi.
Penanaman dengan metode vertikul-
tur ini merupakan alternatif bagi mas-
yarakat yang tinggal di kota, di mana
lahan kian menyempit.
Jenis-jenis tanaman yang dibudiday-
akan biasanya adalah tanaman yang
bernilai ekonomi tinggi, berumur
pendek, dan/atau tanaman tanpa ter-
gantung pada musim. Sayuran seperti
seledri, caisim, pack-choy, baby-kailan,
dan selada adalah jenis sayuran yang
tepat ditanam dengan metode ini.
8. 14 15
Beca Baca
Karya lukis pak Suminta setia meng-
hias becak-becak yang aktif lalu lalang
di kawasan Jakarta Utara. Warna-war-
ni yang meriah dalam berbagai bentuk
abstrak yang organik yang khas Dae-
rah Indramayu, memberi karakter
pada alat transportasi yang konon su-
dah dihapuskan sejak terbitnya Pera-
turan Daerah Nomor 11 tahun 1998.
Isu transportasi kota tak pernah tert-
inggal untuk dibahas. Apalagi di Kota
Jakarta yang kondisi jalannya macet
secara berkelanjutan. Persoalan moda
dan para pihak yang hidup di dalam
isu transportasi itu yang sering ter-
lupakan. Berbagai moda baru ber-
munculan - konon untuk perbaikan.
Warga kota dibiasakan dengan benda
baru yang kelimis untuk jangka waktu
relatif pendek. Oleh pemerintah kota,
masyarakat (dan juga pengelola jasa
transportasi kota) tidak dibiasakan un-
tuk memelihara, apalagi bangga den-
gan apa yang dimiliki. Alhasil, moda
transportasi ‘lawas’ dianggap tidak lagi
berguna, dan perlu dicarikan peng-
ganti. Hal ini seakan menjadi metode
praktis dan sistematis yang men-
dorong proses pelupaan, menghapus
cerita, menghilangkan akar budaya
kota.
Jhons Patriatik Karlah, warga Jakarta
asal Bumi Ayu, Jawa tengah, mengajak
Suminta, asal Cirebon, untuk bergaya
dengan karya dalam lukisan becak.
Tepatnya dua becak, ditempatkan di
tengah ruang-ruang Tarumanagara
Knowledge Centre. Satu becak yang
dulu berfungsi untuk mengantar pen-
umpang, dilengkapi meja belajar beru-
pa papan kayu yang dilukis ornamen
berwarna merah khas Indramayu.
Meja itu ditopang oleh dua besi behel,
dibuat sesuai dengan rangka becak
dan dapat dibuka-tutup, agar penggu-
na barunya dapat mudah mengakses
kursi. Satunya lagi becak gerobak yang
sebelumnya mengantar barang-barang
dari Pasar Teluk Gong ke toko-toko di
sekitarnya, maupun ke tempat-tempat
sejauh Tangerang. Becak gerobak ini
dilengkapi kasur kuning menyala dan
bantal, membuat pengguna barunya
dapat membaca di dalamnya dengan
santai
9. 16 17
Mantel Rajut Hidroponik
Warna-warni benang yang dirajut den-
gan tangan memeluk setiap wadah
dan pipa instalasi hidroponik dalam
perpustakaan Tarumanagara Knowl-
edge Centre. Ekspresi dari warna yang
dihasilkan meneriakkan pesan-pesan
yang hangat dan menarik perhatian.
Adalah Ati, Puja, Chandan, Nyoman,
Tata, dan Lisa, enam pemeran penting
dalam hal rajut-merajut mantel yang
dipasangkan pada instalasi hidropon-
ik dan vertikultur di Tarumanagara
Knowledge Centre.
Di zaman yang semakin canggih dan
serba cepat ini, orang kota pada um-
umnya, dan banyak anak-anak seko-
lah, telah meninggalkan kesenangan
dan kecanggihan mengerjakan kera-
jinan tangan. Ratusan meter benang
berwarna warni digunakan untuk ma-
tel hidroponik dengan harapan banyak
yang terusik untuk mulai juga untuk
berkarya, seperti halnya nam orang ini
yang berkarya, merajut dengan hati.
10. 18 19
Kolaborasi Tiga Fakultas
Universitas Tarumanagara
Gula aren ini adalah produk kolabora-
si yang difasilitasi oleh Lembaga Peng-
abdian kepada Masyarakat dan Ventu-
ra Universitas Tarumanagara. Fakultas
Teknik Mesin mefasilitasi dengan per-
ancangan dan pembuatan mesin peng-
giling dan tungku, Fakultas Ekonomi
dengan pembentukan koperasi petani,
dan Faultas Senirupa dan Desain mer-
ancang kemasan produk handal ini.
Bintang Tamu Bintang Tamu
Pengembangan Produk Gula Aren
pada Petani Gula Aren di Kopera-
si Arridho di Kanagarian Simpang
Tonang Jorong Air Dingin, Kabupat-
en Pasaman Timur, Padang.
Kegiatan PKM Untar ini memberikan
manfaat kepada petani gula aren Pas-
aman berupa ketrampilan dan penge-
tahuan dalam mengolah kemasan gula
aren secara professional.
Keterampilan tersebut sangat berguna
dalam menunjang kegiatan produksi
gula aren di daerah Jorong Air Dingin.
Kapasitas produksi saat ini 10 kilo-
gram per hari gula aren. Selanjutnya
jika produksi gula aren ini terus-me-
nerus meningkat dan ditunjang oleh
promosi yang baik maka tidak berlebi-
han jika suatu saat nanti Gula Aren
Pasaman akan menjadi produk ciri
khas Jorong Air Dingin dan menjadi
komoditas andalan kecamatan Duo
Koto khususnya, dan Pasaman Timur
pada umumnya.
11. 20 21
Salada
Hidroponika
Setelah memperkenalkan cara berco-
cok tanam hidroponik yang mudah
dilakukan, selanjutnya dibutuhkan
cara membuat sajian yang mudah dib-
uat. Itu sebab ada Kiki di sini.
Kiki, begitulah panggilan akrab
Yehezkiel Christandy adalah koki
muda Tarumanagara Knowledge Cen-
tre (TKC). Ia menyajikan Salad Cup,
Canape, dan Egg Roll yang sedap un-
tuk disantap dan menarik pula untuk
dilihat. Kiki adalah mahasiswa perho-
telan yang pernah ikut acara Cooking
Demo dari Kraft Singles dan magang
di Club Med Bintan Island.
Video: Antara dokumen-
tasi dan publikasi
Dokumentasi menjadi aspek penting
dalam publikasi. Konon tidak ada
publikasi yang baik tanpa materi refe-
rensi yang bergizi.
Ratusan jam rekaman video oleh Yo-
vista Ahtajida dan Dyantini Adeline
membantu Program G11440 untuk
belajar dari apa yang terekam, dan
mudah menyampaikan pesan dalam
format audio-visual. Karya kelompok
the Youngrrr telah berkelana jauh
sampai ke serbia, India, Portugal, dan
Spanyol.
Kopi Teladan
Untuk menemani hidangan berserat ‘tingkat tinggi’, per-
lu adanya minuman khas Nusantara. Kopi Teladan nama
kopi yang dibangun atas kerjasama penuh tantangan oleh
tim Grogol 11440 dan dua Alumni Fakultas Seni Rupa dan
Desain Universitas Tarumanagara yang mempelajari kopi
secara otodidak.
Nama Kopi Teladan dipilih untuk lebih mengedepankan
Bahasa Indonesia, sambil memperkenalkan berbagai kopi
asal Nusantara
Sebuah frase sederhana: “ Yang tidak cerdas pun dapat
menjadi teladan”, dijadikan moto Kopi Teladan. Ketelad-
anan yang mengutamakan rasa dan etika, tidak semata-mata
kecerdasan. Toh, ada yang bilang: Kecerdasan tanpa etika
tidaklah elok, bukan?
Kanal Publikasi Dijital
Banyak saluran publikasi yang digu-
nakan oleh G11440. Mulai dari situs
internet, facebook, twitter, sampai
pengiriman newsletter minggu secara
dijital. Tampilan ‘bersih’ (straight-for-
ward) cenderung ‘sederhana’ (simple)
mendorong penyampaian pesan lebih
mudah, efisien, dan efektif.
Fauzi Raisyuli dan Arisyi Zimah ada-
lah perancang grafis dan programmer
situs G11440 di internet. Berbagai
informasi dikelompokkan untuk
kemudian komponen-komponen
grafis dirancang dan diprogram
sedemikian rupa untuk memudahkan
penyampaian dan penyerapan.
12. 22 23
Grogol: 1980, 11440 dan Paranoia Masa Depan
Yuka Dian Narendra
Pertanian Dalam Memori
Cita-cita menjadi seorang insinyur pertanian pernah sekali hinggap di benak
saya. Pada saat itu mungkin saya masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.
Entah apa yang membuat saya membayangkan masa depan saya seperti itu saya
tidak tahu. Pengaruh televisi? Pastinya. Tidakkah di masa itu semua anak seusia
saya mengalami paparan media televisi satu-satunya di Indonesia, yaitu Televisi
Republik Indonesia (TVRI)? Oleh karena tidak adanya pilihan, maka acara sep-
erti”Ria Jenaka,” “Dari Desa ke Desa” hingga siaran berita menjadi konsumsi
media sehari-hari setelah film-film kartun jam empat sore. Sekadar nostalgia,
“Dari Desa ke Desa” adalah program televisi tentang pertanian dengan segala
seluk-beluknya. Dari program inilah saya mengenal istilah Koperasi Unit Desa
(KUD), intensifikasi pertanian, padi Gogo dan banyak lagi. Dalam acara ini
jugalah Suharto – presiden Republik Indonesia pada saat itu – tampil dengan
penuh percaya diri sebagai “selebriti pertanian.” Sejalan dengan strategi politik
swasembada pangan ala rezim Orde Baru itulah narasi pertanian, harus diakui,
menjadikan profesi petani terlihat “seksi” bagi anak-anak seusia saya. Masih ter-
ekam dalam ingatan ada beberapa teman sekelas yang juga bercita-cita menjadi
insinyur pertanian, “petani” dalam narasi modernisme. Waktu itu adalah masa
awal dekade delapanpuluhan.
13. 24 25
Di masa itu pula narasi “desa” dan
“kota” diposisikan sedemikian rupa
dalam kontrasitas yang tinggi. Desa
dieksotisasi sedemikian rupa sebagai
representasi dari tradisionalitas, asal-
usul bangsa dan juga masa lalu. Seo-
lah seluruh warga bangsa ini memang
berasal dari desa, gambaran tentang
desa indah permai terkonstruksi se-
bagai imaji kolektif generasi saya ten-
tang zona nyaman tanpa perubahan.
Representasi ini di lain pihak juga
menarasikan geografi kultural Indo-
nesia tentang ketahanan pangan. Desa
diposisikan sebagai tulang punggung
pertanian dan sumber pangan bangsa
Indonesia. Dalam narasi seperti ini,
meski terglorifikasi sebagai pengger-
ak ketahanan pangan nasional, petani
terlokasikan di desa. Sadar atau tidak,
disengaja atau tidak, narasi versi Orde
Baru tentang desa kemudian memb-
ingkai petani sebagai sosok yang tra-
disional dan tidak mampu beradaptasi
dengan perubahan jaman. Orde Baru
sendiri telah mengondisikan ima-
ji petani sebagai sosok yang “kalah”
bertarung melawan perubahan jaman.
Setidaknya, petani terkondisikan un-
tuk gagal sejak awal ketika program
“glorifikasi” petani di televisi nasion-
al – satu-satunya di masa itu – sebagai
bentuk kontrol sekaligus represi neg-
ara terhadap isu pangan. Saya terin-
gat akan tuturan seorang teman yang
aktif bergerak di lembaga swadaya
masyarakat dalam bidang pertanian.
Menurutnya, seberapapun hebat ino-
vasi yang berhasil diupayakan petani,
bibit tanaman produktif pokok –
seperti padi – tetap menjadi domain
negara. Tidak diperkenankan inovasi
apapun terkait dengan bibit. Menga-
pa harus dikontrol seketat itu, tanya
saya. Kemandirian pangan, memang
isu sensitif yang berkaitan dengan ke-
bijakan negara, karena jika rakyat lapar
maka singa-singa di dalam perut mere-
ka akan mengaum keras dan berujung
pada revolusi. Bibit menjadi satu-sat-
unya senjata negara untuk mengontrol
singa-singa lapar tadi, itu asumsi saya.
Sewaktu masih duduk di kelas satu
sekolah dasar, masih ingat betul, saya
membaca tajuk utama sebuah harian
sore, berbunyi “Tahun 2000 Sudah
Tidak Ada Lahan Laik Tani.” Saya
bertanya pada ibu apa maksudnya. Ibu
menjelaskan sekenanya bahwa di ta-
hun 2000 semua telah berubah menja-
di kota dan tidak ada lagi sawah. Selang
lebih tiga puluh tahun “ramalan” tajuk
tersebut seakan terbukti. ketika pem-
bantu rumah tangga saya tahun lalu
mengundurkan diri setelah mendapa-
tkan warisan dua petak sawah di kam-
pung halamannya. Namun ia tidak
berencana menjadi petani. Sawahnya
yang terletak di tepi jalan utama desa
hendak ia uruk, kemudian memba-
ngun kompleks ruko di atas bekas
sawah tersebut. “Sudah ada rekanan
yang menawarkan kerjasama, demiki-
an menurutnya. Bila perlu, ia dan
rekan bisnisnya ingin membuka bisnis
waralaba mini market yang marak di
ibukota. Belajar dari Jakarta, ia mera-
sa menemukan jalan untuk mengubah
nasibnya dengan meminjam metode
ekonomi kota. Masa depan justru
menantang kita dengan berbagai per-
soalan konkret yang sejak lama kita
tanam benihnya. Ketahanan pangan,
perubahan iklim dan kerusakan alam
adalah tema-tema besar yang mengh-
adang siapapun kita. Tiba-tiba dikoto-
mi “desa – kota” yang dahulu terasa
memuakkan kini berbuah penyesalan,
ketika pertentangan tersebut runtuh
bukan karena lahan pertanian habis
tergerus oleh arus kapital ekonomi
dari kota. Modernisasi yang berupaya
mengubah pola pikir tradisional –
yang dituding terbelakang itu – ber-
hasil mengubah warga desa berpikir
layaknya orang kota dan mengubah
desanya menjadi kota. Dalam kasus
seperti inilah petani meniadakan ket-
erpinggirannya.
Negara Indonesia adalah negara agrar-
is yang masyarakatnya dahulu hidup
dari pertanian, adalah salah satu narasi
yang disuntikkan melalui pelajaran se-
kolah, terutama sekolah dasar. Diko-
tomi “desa” dan “kota” dipertajam
dengan tema bacaan “Berlibur ke ru-
mah nenek di desa” dalam pelajaran
Bahasa Indonesia. Saya ingat sewak-
tu masih di sekolah dasar, saya ber-
sitegang dengan guru yang memaksa
membuat karangan bertema seperti
itu. Nenek tinggal di desa, demikian
pula petani. Maka menjadi masuk akal
bila dalam tataran pemaknaan, nenek
dan petani berada dalam posisi yang
setara. Posisi yang melambangkan tra-
disionalitas dalam perangkap masa lalu
yang jauh dari kemutakiran peradaban.
Lebih jauh lagi, “kampungan.” Lalu
bagaimana mungkin kita melancarkan
strategi menghadapi ketahanan pan-
gan di masa depan, jika garda depan-
nya ditempatkan dalam oposisi biner
terhadap generasi muda? Saya ingat,
semenjak bermain dengan stereo-set,
memutar vinyl dan kaset menjadi
kegemaran saya setiap hari sepulang
sekolah, imaji petani perlahan memu-
dar dari benak saya. Pertanian menja-
di dunia yang tampak membosankan.
Sawah dan padi, apalagi sapi, menjadi
narasi yang justru saya lawan karena
bertentangan dengan imaji dunia baru,
yaitu dunia yang saya temukan melalui
budaya populer. Mendengarkan musik
Rush sambil menikmati novel-novel
fiksi ilmiah karya Victor Appleton atau
Isaac Asimov mengonstruksi narasi
baru bagi saya dunia masa depan. Bah-
kan film Star Wars seperti memberi
gambaran konkret akan dunia seperti
apa kelak di masa depan. Dunia yang
dipenuhi dengan narasi teknologi, pet-
ualangan inter-galaktik dan dinami-
ka jagad raya. Sejak itu, saya menjadi
terobsesi dengan masa depan: gamba-
14. 26
ran tentang dunia ultra-modern yang
cerah dan penuh tantangan. Tidak
pernah terbesit sekalipun dalam benak
saya untuk menjadi orang sukses, kaya
ataupun tenar. Berada di masa depan
dalam narasi inter-galaktik bagi saya
sudah cukup. Namun gambaran masa
depan seperti itu tidak saya temukan
dalam keseharian kini. Sebaliknya, da-
lam model narasi yang sama, kini saya
justru menemukan betapa mengeri-
kannya masa depan saya dan seluruh
umat manusia kelak.
“Revolt Through Sudden Respati-
alization”
Jika terasa sulit untuk membayangkan
“seluruh umat manusia,” maka perke-
cil saja skalanya menjadi “Jakarta,”
ibukota Indonesia. Pada masa akhir
dekade tujuhpuluhan dan awal delapa-
npuluhan, setiap tanggal 1 Suro (tahun
baru Jawa) saya selalu ikut ibu saya
pergi ke Grogol, Jakarta Barat, untuk
memandikan keris warisan eyang putri
dan eyang kakung saya. Ibu saya tetap
melakukan hal ini, bukan karena ia
seorang penganut Kejawen, melainkan
semata-mata untuk merawat pening-
galan orangtuanya. Setidaknya, itulah
yang ibu katakan pada saya yang ma-
sih berusia tujuh tahunan saat itu. Saya
sendiri selalu menikmati perjalanan ke
Grogol karena di masa itu, pohon-po-
hon besar rimbun tumbuh berjejer
sepanjang jalan dari Semanggi, Slipi
hingga perempatan Grogol – Univer-
sitas Trisakti. Pohon-pohon sepanjang
tepi jalan itu demikian rimbunnya
hingga cahaya matahari seakan sulit
menembus. Setiap kali memasuki ka-
wasan tersebut, saya selalu berkhayal
berada dalam ekspedisi menembus
hutan belantara di sebuah planet as-
ing. Khayalan itu sontak bubar ketika
jalan tol dalam kota dibangun sepan-
jang kawasan tersebut dan mewariskan
kegersangan di bawah teriknya ma-
tahari, hiruk-pikuk kota dan kepadatan
lalu lintas. Kontras dengan kenangan
masa kecil saya tentang Grogol tem-
pat di mana cahaya matahari sulit ma-
suk. Jangankan pohon, tanaman pun
sulit. Kini Grogol menjadi salah satu
area di kawasan ibukota yang – seo-
lah – tidak dirancang untuk kehidupan
apapun selain kehidupan bisnis. Inter-
aksi manusia digantikan oleh transak-
si perdagangan semata. Jika hendak
bepergian menuju Grogol dari arah
Semanggi – entah disengaja atau tidak
– tampak empat pusat perbelanjaan
hiper-modern berjejer di sisi kiri jalan:
Slipi Jaya (Slipi), Mall Taman Anggrek
(perempatan Slipi – Tomang), Central
Park (persis bersebelahan dengan Mall
Taman Anggrek), Citraland (bersebe-
lahan dengan Universitas Tarumaneg-
ara dan Trisakti) hingga Season’s City
(dekat Jelambar). Superblok, aparte-
men, gedung perkantoran dan bangu-
nan universitas tumbuh saling-silang
disisipi oleh lapak dan gerobak peda-
gang kaki lima. Grogol kini hanyalah
urban-after-all.
Lengkaplah sudah, hilangnya imaji
tentang pertanian dalam narasi budaya
populer serta “rimba belantara plan-
et alien” di Grogol. Pudarnya fantasi
masa depan inter-galaktik dalam benak
saya oleh kemajuan pembangunan di
satu sisi tampak paradoksal. Secara
pragmatik bukankah kondisi konk-
ret Grogol yang saya “gerundelkan”
itu merupakan konsekuensi logis dari
kemajuan peradaban? Grogol sebe-
narnya telah berhasil menjadi kawasan
hiper-modern seperti di film-film fiksi
ilmiah. Area urban yang kontras an-
tara hiruk-pikuk manusia di “bawah”
terik matahari maupun di luar gedung,
dengan mereka yang berada di dalam
batas kenyamanan semu (gedung ber-
AC). Mungkin saja. Akan tetapi sang-
gahan saya, perubahan drastis dari
lansekap Grogol itu hanyalah efek
dari pertumbuhan ekonomi, bukan
karena perkembangan ilmu pengeta-
huan dan teknologi seperti yang saya
bayangkan. Atau, perkembangan ilmu
pengetahuan ternyata bergerak mengi-
kuti vektor yang berbeda, yaitu vektor
kapital ekonomi yang terakumulasi
(kapitalisme). Ternyata hanya benak
kanak-kanak sayalah yang hingga kini
masih belum dapat menerima peruba-
han itu – tentu saja – tidak memper-
hitungkan faktor kapitalisme. “Jangan
kapitalismenya terus dong yang dis-
alahkan…” Demikian komentar seo-
rang teman pada saya dalam sebuah
obrolan – yang berubah menjadi de-
bat – beberapa tahun lalu, ketika kami
sedang membahas bagaimana peruba-
han makna yang diberikan oleh mas-
yarakat Jakarta terhadap kehidupannya
sendiri. Bagi saya pernyataan tersebut
– meski terdengar bodoh dan tidak
intelek – harus diakui, jujur. Jika kita
kembali kepada persoalan perubahan
lansekap Grogol yang telah menjadi
urban-after-all tadi, maka pertanyaan
besar yang seharusnya dikedepankan
adalah, bagaimana menyiasati urbani-
tas Grogol agar masyarakat yang ting-
gal ataupun beraktivitas dalam ruang
urban tersebut dapat menyadari bah-
wa realitas sehari-hari mereka yang ba-
nal itu sebenarnya dapat diubah secara
radikal. Dalam konteks inilah, kata
kunci “pertanian” yang saya uraikan
sebelumnya pada bagian awal tulisan
ini menjadi penting. Mari kita per-
temukan narasi kontemporer Grogol
urban itu dengan “pertanian,” melalui
gagasan “Revolt Through Sudden
Respatialization” (Levebfre 1991) se-
bagai metodenya.
15. 29
Menurut sosiolog Prancis Henri Le-
febvre, setiap warga berhak atas kota
yang menjadi ruang tinggalnya.1
Spa-
sialisasi dominan yang terjadi di ru-
ang kota akibat runtuhnya kota ke
dalam abstraksi ekonomi yang terlalu
dominan berdampak pada peming-
giran warga kota itu sendiri. Padahal
warga kota adalah motor penggerak
abstraksi ekonomi tersebut ke dalam
putaran ekonomi yang paling konkret.
Peminggiran warga kota menjelaskan
kondisi ketika manusia tergerus oleh
wacana yang dikonstruksinya sendiri
dan termakan oleh gagasan besar ten-
tang kesejahteraan. Kota dalam hal ini
menjadi representasi dari kesejahter-
aan itu. Dalam narasi kebudayaan
(karya sastra maupun film, misalnya)
kota kerap menjadi representasi dari
kemakmuran dan kesejahteraan ala ka-
pitalisme. “Kejamnya ibu tiri tak seke-
jam ibukota” adalah sebuah judul film
karya sutradara Imam Tantowi tahun
1981,2
bercerita tentang kisah seorang
pemuda (diperankan oleh Ateng, idola
saya waktu kecil) yang mengadu nasib
ke Jakarta. Tidak tahan hidup sengsara
dengan ibu tirinya yang kejam di kam-
pung, ia berangkat ke kota, tanpa ket-
rampilan dan juga pengalaman. Sing-
katnya film tersebut menggambarkan
bahwa hidup di ibukota jauh lebih
menderita.
Film tersebut merupakan kritik subtil
terhadap gemuruh kota sebagai rep-
resentasi dari pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan ekonomi yang masif
dan sentralistik dengan sendirinya
menjadikan segala aspek kehidupan
di Jakarta runtuh ke dalam nara-
si ekonomi: yang kuat bertahan dan
yang kalah terpinggirkan. Ateng ada-
lah contoh kelompok yang terping-
girkan karena ketidakmampuannya
beradaptasi dengan deru perubahan
Jakarta, seperti jutaan orang lainnya
kini. Meski demikian, Jakarta hingga
kini tetap menarik bagi banyak orang
karena sebagai ibukota, Jakarta menja-
di pusat dari segala wacana ekonomi
dan politik negeri ini. Jakarta adalah
representasi dari Indonesia, baik di
mata warga negaranya sendiri mau-
pun masyarakat internasional. Sebagai
bagian dari Jakarta, Grogol menja-
di salah satu dari arena pertarungan
nasib tersebut. Entah berapa banyak
“Ateng lain” terperangkap dalam be-
lantara beton Grogol dan terpaksa
bertarung hidup di situ. Persoalannya,
Grogol tidak seinternasional itu untuk
dapat diapresiasi. Ia tidak gemerlap
seperti Sudirman – Thamrin tempat
berpusarnya arus invetasi internasi-
onal. Tidak juga dipenuhi superblok
cantik seperti kawasan Kasablanka
yang hendak disulap sedemikian rupa
agar setara dengan kawasan Orchard,
Singapura. Apalagi mewah seperti
Menteng dan Kebayoran Baru. Dalam
situasi tersebut, peluang hidup lebih
baik macam apa yang dapat diraih oleh
warga Grogol? Sebelum menjawab itu,
saya ingin menempatkan warga Gro-
gol dalam narasi seperti berikut ini.
Ruang Kota dan Mimpi
Kemandirian
Enambelas tahun lalu Jakarta lumpuh
akibat kerusuhan sosial dan Grogol
adalah kawasan yang mengalami ker-
usakan cukup parah. Sehari sebelum-
nya, peristiwa penembakan terhadap
mahasiswa terjadi di kawasan ini.
Toko dan pusat perbelanjaan yang
sebelumnya menopang kenyamanan
hidup warga kota habis dijarah dan
dibakar. Jangankan arus uang dan ba-
rang, mobilitas manusia pun terhenti
sejenak selama beberapa hari. Dapat
kita bayangkan apabila keterputusan
tersebut – oleh alasan apapun – ber-
langsung lebih dari satu bulan, atau
bahkan satu tahun lamanya. Bayang-
kan sekitar dua belas juta warga Jakar-
ta yang tidak dapat mengakses sumber
makanan karena mesin besar kapital-
isme gagal menyediakannya. Bayang-
kan jutaan manusia tidak mampu
mencukupi kebutuhan pangan sendiri
karena terbiasa disediakan oleh sistem
ekonomi kapitalistik. Bukan lantaran
tidak mampu secara finansial melaink-
an karena kota tidak lagi memiliki daya
dukung yang cukup untuk menopang
kelangsungan hidup warga, terlebih
urusan bahan pangan. Menyalahkan
spasialisasi dominan yang terlanjur
terjadi sudah percuma karena tidak
mungkin kita mengembalikan Jakarta
(Grogol, dalam konteks ini) kembali
rimbun oleh pepohonan dan setiap
jengkal menjadi area hijau. Dalam ab-
straksi ekonomi, pepohonan di ruang
kota tidak dapat dikonversi ke dalam
narasi kuantitatif ekonometri.
3 “… the right to the city revolves so strongly around the production of urban space, the sca-
lar arrangement of participation it implies would be profoundly more complex, overlapping, and
malleable than the current structure. Lefebvre argues that inhabitants have the right to partici-
pate centrally in the decisions that produce urban space. Those decisions operate at a range of
different scales in a range of different territories.” (Purcell 2002, dalam GeoJournal 58: 99–108.
4 Ungkapan Lefebvre tentang “The Everyday Man (orang awam di kota) “…circumscribed by his
possessions and his needs.” Dalam “The Everyday Life in the Modern World” (2000)
1. “The Right to the City,” dalam “The Urban Revolution” (1971).
2. Lihat tautan Perfilman Nasional Republik Indonesia (PNRI). Diakses tanggal 25
Oktober 2013, pukul 17:29 (http://perfilman.pnri.go.id/filmografi/detail/2455).
28
16. 30
Ruang hidup yang telah berubah men-
jadi urban-after-all meminggirkan segala
akses terhadap kemandirian. Padahal
kemandirian ini menjadi “senjata” am-
puh warga melawan penindasan spa-
sial – yang berwujud peminggiran dan
penggusuran. Ruang hidup kota men-
gondisikan manusia yang menghunin-
ya menjadi manusia sehari-hari, yang
bergantung pada matarantai ekonomi
kapitalistik sehingga kehilangan posi-
si tawarnya (Purcell 2002).3
Akibatn-
ya, keterputusan matarantai ekonomi
yang terjadi dapat mendatangkan ben-
cana besar secara perlahan bagi warga
kota, yaitu terputusnya akses terhadap
kebutuhan sehari-hari. Kondisi terse-
but membatasi warga kota melalui
pemilikan dan kebutuhannya (Lefe-
bvre 2000: 17-18).4
Dalam situasi ka-
cau akibat keterputusan matarantai
ekonomi kota, keterbatasan tersebut
dapat mengisolasi warga kota. Con-
toh sederhananya adalah, ketika tidak
ada supermarket yang buka maka air
minum, popok bayi hingga sayur-ma-
yur. Akumulasi kapital yang terjadi
di kota tidak hanya berdampak pada
relasi kepemilikan asset antara warga
kota dengan kapitalis besar. Akumu-
lasi tersebut juga dengan sendirinya
mengakumulasi arus ketersediaan ba-
rang kebutuhan sehari-hari, dan men-
yandera warga kota dalam pemenuhan
kebutuhannya. Persoalannya, kebu-
tuhan manusia urban bagaikan ban-
dul yang terus bergerak antara kutub
“keterbatasan” dengan kutub “ketida-
kterbatasan.” Keterbatasan di sini ber-
korelasi dengan ketersediaan barang
kebutuhan hidup sehari-hari, sementa-
ra ketidaterbatasan berkorelasi dengan
kebutuhan hidup dalam narasi kon-
sumerisme. Sebagai contoh, kondisi
transportasi umum Jakarta yang tidak
nyaman dan tidak dapat diandalkan
ketepatan waktunya membuat semua
orang ingin memiliki kendaraan prib-
adi, baik itu sepeda motor ataupun
mobil. Maka bertambahlah daftar ke-
butuhan sehari-hari berupa belanja
transportasi.
Hidup di ruang kota yang serba ter-
gantung dan serba bayar memicu im-
pian warganya untuk dapat mandiri.
Sesederhana keinginan untuk memi-
liki kendaraan pribadi dan tidak lagi
tergantung pada transportasi umum.
Dalam konteks ini mimpi kemandirian
tersebutlah yang memberi kekuatan
pada warga untuk bertahan di tengah
kemacetan daripada harus tergantung
pada matarantai ekonomi kapitalistik.
Artinya, kita dapat membaca determi-
nasi semangat mandiri itu dari peris-
tiwa kemacetan. Yang penting adalah
bagaimana caranya memicu mimpi
kemandirian tersebut menjadi hasrat
untuk menciptakan atau memproduk-
si sendiri kebutuhan hidup sehari-hari.
Hal ini dapat berdampak pada up-
aya membebaskan diri dari sandera
matarantai ekonomi kota. Oleh kare-
nanya, praktik-praktik kultural seperti
bercocoktanam di ruang kota dapat
dijadikan strategi perlawanan, selama
yang ditanam adalah tanaman-tana-
man produktif. Lahan bercocoktanam
menjadi persoalan tersendiri. Padatnya
ruang kota seperti di Grogol menjelas-
kan bagaimana paradox kota berop-
erasi: Menjauhkan dari yang rural
(melalui praktik ekonomi kota) namun
pada saat yang sama memberi imaji
(dan mimpi) rural tentang kepemilikan
tanah dan segala hal yang harus dibeli.
Lahan produktif hilang berganti men-
jadi halaman yang sempit, dialihkan
ke kawasan sub-urban mewah seperti
Kebayoran Baru. Lahan garapan men-
jadi milik kaum elit kota. Persoalann-
ya, konsep lahan garapan bagi kaum
elit kota dimaknai sebagai halaman
atau pekarangan yang tidak bermak-
na produktif. Di lahan seperti ini, ta-
naman produktif – seperti sayuran –
digantikan oleh tanaman hias semata
untuk kosmetika arsitektural.
Saya sendiri bukanlah penggemar tana-
man. Seperti yang telah saya ungkap-
kan sebelumnya, hasrat saya terhadap
tanaman telah hilang bersama dengan
konsumsi budaya populer. Saya pikir
sebagian besar orang segenerasi saya
mengalami hal yang sama. Saya juga
bukanlah seorang pecinta lingkungan,
apalagi pecinta alam. Oleh sebab itu
ketika bertemu dengan proyek Gro-
gol 11440, saya merasa tidak dapat
menemukan apapun selain keteras-
ingan saya dengan wacana tanaman,
penghijauan, lingkungan dan alam.
Ketertarikan saya terhadap proyek ini
sederhana, karena kehadiran tanaman
dalam gedung di tengah belantara bet-
on Grogol ini seperti mengingatkan
pada paranoia saya akan imaji masa
depan yang mengerikan seperti rent-
annya ketahanan pangan. Narasi film-
film fiksi ilmiah dengan setting pascap-
erang nuklir di masa depan, seringkali
menggambarkan perjuangan manusia
untuk dapat hidup normal. Ketika me-
lihat taman hidroponik dalam gedung
yang digarap oleh Grogol 11440, saya
merasa seperti di dalam sebuah kolo-
ni di Mars. Para astronot menanam
tanaman di lingkungan yang ekstrem
5 Dalam “Like/Share/Comment” (Narendra 2014) saya melakukan kritik terhadap praktik aktiv-
isme akhir pekan warga Jakarta. Lihat jurnal “Berkas” edisi Oktober 2014.
6 Ibu saya pernah bercerita ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar pada masa pendudu-
kan Jepang, warga kota diwajibkan untuk menanam tanaman “Jarak Pagar” (Jatropha curcas L.,
dari famili Euphorbiaceae, sumber Wikipedia). Biji Jarak ini dapat diolah menjadi bahan biodiesel
dan minyak pelumas untuk mesin-mesin perang Jepang.
31
17. 32 33
sekadar untuk memberi kehidupan
pada dunia alien tersebut, sekaligus
pula untuk menciptakan sumber pe-
menuhan kebutuhan mereka sendiri,
seperti sayur-mayur. Gagasan ini sebe-
narnya dapat diubah menjadi sebuah
proyek besar radikal, ketika tanaman
yang dikembangtumbuhkan adalah ta-
naman produktif seperti sayur-mayur
untuk kebutuhan pangan sehari-hari.
Dengan demikian proyek hidroponik
dalam gedung ini dapat berbuat lebih
banyak dari sekadar perayaan hobby ke-
las menengah kota yang seringkali ter-
libat dalam berbagai aktivisme urban
(Narendra 2014)5
tanpa pernah men-
coba mengubah (atau menghancurkan
tatanan). Kampus dapat menjadi are-
na persemaian gagasan tersebut kare-
na sejatinya mahasiswa selalu tertarik
dengan gagasan-gagasan radikal yang
diberi label “pembebasan.” Untuk
memenuhi dialog ekonomi yang ter-
lanjur mendominasi paradigma warga
kota, proyek ini seharusnya memberi
tawaran penghematan. Hemat, adalah
kata kunci dalam topik kemandirian
warga kota. Bayangkan berapa ban-
yak uang yang dapat ditabung ketika
sebagian besar kebutuhan pangan di-
hasilkan dari kebun sendiri? Toh, per-
soalan sempitnya lahan dapat terjawab
dengan metode hidroponik. Hal lain
yang perlu dilakukan adalah mem-
bingkai praktik berkebun urban ini
dengan bingkai yang lebih besar, yaitu
kemandirian bagi warga kota. Satu-sa-
tunya cara untuk membingkai proyek
ini dengan bingkai kemandirian
menurut hemat saya adalah dengan
menyuntikkan semangat perlawanan
terhadap narasi dominan kapitalisme,
yang beroperasi melalui bujuk rayu
konsumerisme. Tidak perlu membeli
sayuran di supermarket karena tinggal
memetik di kebun hidroponik milik
sendiri, adalah semangat perlawanan
urban tersebut. Pada skala tertentu,
praktik ini dapat berkembang menja-
di sebuah strategi perlawanan semes-
ta – di ruang kota – ketika semangat
swadaya ini diduplikasi ke dalam prak-
tik-praktik lainnya. Misalnya saja, ger-
akan kolektif untuk menyediakan ke-
butuhan listrik sendiri. Atau lebih jauh
lagi membuat bahan bakar sendiri.6
Menghidupkan Kembali Petani
Agar dapat menjadi agenda perla-
wanan kolektif warga kota terhadap
narasi dominan ekonomi kota, proyek
hidroponik urban ini perlu menjadi se-
buah gerakan sosial. Persoalan selan-
jutnya adalah bagaimana menjadikan
praktik berkebun dalam gedung ini
sebagai sebuah gerakan sosial? Ker-
aguan terhadap berhasilnya “gerakan
sosial” di Jakarta masuk akal mengin-
gat sikap pragmatis warga kota akibat
terus-menerus digerus oleh kenyataan
bahwa memang mereka tidak memiliki
posisi tawar. Dengan demikian sekali
lagi, penghematan menjadi isu pent-
ing dalam proyek ini. Perlu dilakukan
studi secara ekonomi, berapa besar
penghematan anggaran per bulan
(untuk setiap tingkat pendapatan ru-
mah tangga) jika setiap rumah tangga
melakukan praktik ini. Penghematan
ini perlu disinkronisasi dengan peng-
etahuan akan tanaman apa saja yang
sebaiknya ditanam (termasuk juga
proses penanamannya). Lebih jauh
lagi bila perlu, studi mengenai resep
masakan apa saja yang dapat dihasil-
kan melalui praktik berkebun seperti
ini. Dengan melalui tahapan ini seti-
daknya gagasan memberi posisi tawar
bagi warga kota (dalam hal ini warga
Grogol) dapat mewujud secara konk-
ret, sekonkret makanan yang tersaji di
atas meja makan.
Dalam skala yang lebih radikal, proyek
ini mungkin saja bereksperimen den-
gan bahan pangan pokok seperti
padi. Bayangkan, ketika setiap rumah
tangga di Grogol (dalam konteks ini)
ataupun Jakarta (dalam konteks yang
lebih luas) mampu memenuhi kebu-
tuhan mendasarnya sendiri. Sebagian
persoalan ketergantungan matarantai
ekonomi yang saya uraikan sebelumn-
ya setidaknya, teratasi. Jika upaya sep-
erti ini berhasil, bukannya tidak mun-
gkin kita mencapai masyarakat kota
yang mandiri dan berdaulat secara
ekonomi. Hal tersebut tentu tidak mu-
dah. Bagaimanapun, kapitalisme selalu
menemukan cara untuk memutarba-
likkan perlawanan terhadapnya men-
jadi senjata baru yang dapat mereka
gunakan untuk merebut kembali hege-
moninya. Menghadapi persoalan ini,
kita dapat masuk melalui satu pintu:
pelaku kapitalisme adalah warga kota
itu sendiri. Setidaknya, jika mereka
turut runtuh ke dalam praktik berke-
bun urban secara kolektif ini, mereka
juga dapat merasakan manfaat dari
kemandirian tersebut. Mereka kelak
dapat memahami bahwa kemandirian
yang ditawarkan di sini merupakan
sebuah metode – meski tidak dalam
artian pembebasan spiritual – pembe-
basan ekonomi (baca: penghematan).
Ah sudahlah, mungkin saya terlalu
muluk berpikir. Terlalu terbius oleh
narasi fiksi ilmiah.
Mungkin persoalan mendasar dari
hilangnya imaji petani adalah karena
sosoknya diposisikan pada persimpan-
gan besar antara modernitas dan tra-
disionalitas, antara kemajuan dan ket-
ertinggalan. Petani ditempatkan pada
geografi kultural “desa” yang harus
melayani kebutuhan kota, sementara
perlahan dalam keseharian desa-desa
menjadi kota-kota yang baru. Seperti
yang saya uraikan pada bagian awal
tulisan ini, runtuhnya narasi pertanian
seringkali dipercepat oleh agen-agen
ekonomi kota yang justru berasal dari
desa dan ingin mengubah hidupnya
dalam narasi kehidupan kota. Kisah
18. 34 35
tentang pembantu rumah tangga
saya yang mengundurkan diri men-
jelaskan hal tersebut. Beralihnya desa
menjadi kota di lain pihak seperti
menghapus desa dari memori kultural
yang kolektif. Bersamaan dengan itu
memudar pula sawah-sawah dan lah-
an-lahan produktif menjadi ruang-ru-
ang ekonomi khas kota, seperti ruko
tempat mini market. Hal tersebut dapat
saja kita anggap sebagai konsekuensi
kultural yang logis dari kapitalisme,
dan mungkin saja kita tidak memiliki
posisi tawar untuk menegosiasinya.
Di tengah derasnya arus perubahan
peradaban, petani dalam konteks ini
hanyalah satu variabel ekonomi yang
mungkin harus hilang suatu hari. Na-
mun kita tidak dapat membiarkan
praktik produksi pertanian hilang ber-
sama dengan hilangnya para petani
dari narasi peradaban manusia. Profe-
si tukang pos ataupun desainer grafis
dapat saja hilang oleh perubahan te-
knologi. Akan tetapi jika praktik ber-
tani hilang, lalu para penggiat peruba-
han jaman mau makan apa?
Proyek hidroponik urban atau ber-
cocotanam di dalam gedung yang
dilakukan Grogol 11440 dapat men-
jadi percontohan antisipasi terhadap
hilangnya para petani dari peradaban
manusia. Atas azas “bertahan hidup,”
proyek ini berpeluang untuk mengu-
bah warga kota biasa menjadi petani-
petani jaman baru. Para petani ini ti-
dak lagi bercocoktanam di lahan yang
luas ataupun sawah hijau menghampar
di antara kaki bukit. Mereka bercocok-
tanam di tengah kepadatan kota, di an-
tara lorong-lorong gedung dan di lah-
an yang menjulang ke atas. Para petani
indoor macam ini tidak perlu kuatir
dengan perubahan iklim. Toh, lahan
berada di dalam ruangan yang dapat
diatur temperatur dan kondisi cuacan-
ya. Mereka tidak perlu menunggu saat
datangnya panen raya karena panen
raya telah berganti menjadi tanggal
gajian. Cukup mengambil seperlunya
untuk dimasak di dapur sendiri. Tidak
perlu takut menghadapi serangan balik
kapitalisme. Saya membayangkan,
jika semua orang menghasilkan padi
dan sayur-mayurnya sendiri di rumah
mereka, maka silakan saja kapitalisme
menciptakan mesin pengolah padi
mini otomatis, seperti oven microwave.
Tinggal masukkan padi yang baru saja
dipetik dari pot ke dalam mesin terse-
but, pencet tombol dan dalam beber-
apa menit padi telah berubah menjadi
beras siap masak. Dalam tataran inilah
kita masih memerlukan narasi domi-
nan kapitalisme, karena memang sulit
bagi kita untuk menciptakan sendiri
mesin macam itu. Mungkin narasinya
perlu dibalik, kapitalisme tidak perlu
kuatir akan gagasan kemandirian ma-
cam ini karena masih ada wilayah pro-
duksi yang tidak dapat dilakukan oleh
warga kota.
Daftar Pustaka
Harvey, David (2008). The right to the city. Dalam New Left Review, volume 53: 23, 2008.
Lefebvre, Henri (1991). The production of space. Oxford: Blackwell
Lefebvre, Henri (1996). Writings on cities. Cambridge, MA: Blackwell
Lefebvre, Henri (2000). Everyday live in the modern world. New York: Continuum
Pucell, Mark (2002). Excavating Lefebvre: The right to the city and its urban politics of the inhabitant. Dalam
GeoJournal volume 58: halaman 99–108, 2002. Amsterdam, The Netherlands: Kluwer Publishing.
Purcell, Mark (2003). Citizenship and the right to the global city: Reimagining the capitalist world order.
Dalam International Journal of Urban and Regional Research. volume 27 (3): halaman 564–90, 2004.
Soja, Edward (1996). Thirdspace: Journeys to Los Angeles and other real-and- imagined places. Cam-
bridge, MA: Blackwell
Yuka Dian Narendra lahir di Jakarta,
1972. Sekarang ia mengepalai De-
partemen Kajian Kebudayaan Pop-
uler Indonesia di C4Ad (Center for
Arts & Design) Surya Research and
Education Center di Serpong, Jawa
Barat. Minat penelitiannya adalah hal
remeh-temeh dalam kebudayaan pop-
uler Indonesia, terutama kajian ten-
tang subkultur musik Metal.
Kegemarannya terhadap musik Metal
itulah yang membuat Kandidat doktor
bidang Cultural Studies dari Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia
ini memutuskan untuk menulis diser-
tasi subkultur Metal Indonesia. Selain
menjadi peneliti, Yuka menghabiskan
waktu senggangnya dengan berbu-
ru makanan enak, terutama Chinese
Food yang otentik bersama istrinya.
Cara lain bersenang-senang, ia lakukan
dengan merekam dan memproduksi
sejumlah album kelompok musik un-
derground di studio rekaman kecil di
rumahnya.
19. 36 37
Tarumanagara Knowledge Centre
(TKC) merupakan satu dari banyak
unit yang bernaung di bawah Yayasan
Tarumanagara. TKC didirikan sebagai
sarana untuk menunjang kegiatan aka-
demik Universitas Tarumanagara pada
khususnya, dan untuk melayani mas-
yarakat luas pada umumnya.
Visi perpustakaan ini adalah menjadi
pusat informasi yang menunjang pen-
didikan, penelitian, dan rekreasi terde-
pan, teraktual, dan berteknologi ting-
gi, serta handal bagi civitas akademika
Tarumanagara dan masyarakat umum.
TKC memiliki koleksi ribuan buku,
majalah, koran, dan media dijital, serta
fasilitas-fasilitas seperti ruang baca,
ruang audio visual, ruang diskusi, ru-
ang seminar, galeri, executive lounge
serta mini theatre 1 dan 2.
Perpustakaan modern ini setiap
Hari Senin sampai dengan Jumat
Pukul 09.00 – 16.00 WIB.
Gedung Utama
Kampus 1
Universitas Tarumanagara
Lantai 6-9
Jl. Letjen S. Parman No. 1
Jakarta Barat 11440
Telepon: 021 5695 8760
Twitter.com/tkcuntar
Facebook.com/Tarumanagara
Knowledge Centre
Kode pos untuk Kampus satu Univer-
sitas Tarumanagara ini dijadikan untuk
nama program aktifasi Tarumanagara
Knowledge Centre (TKC). TKC ada-
lah perpustakaan yang menempati lan-
tai enam sampai dengan sembilan di
Gedung Utama Kampus1 Universitas
Tarumanagara. Lembaga yang berada
di bawah Yayasan Tarumanagara ini
dibuka untuk publik sejak 2007 untuk
melayani akademika Universitas Ta-
rumanagara, di samping publik yang
ingin membuka wawasan.
Kawasan Jakarta Barat, memiliki
banyak tempat ‘wisata’ urban yang
mendorong konsumtivisme. Mall, pla-
za, besar, kecil, menyediakan begitu
banyak pilihan yang siap dikonsumsi.
Umumnya masyarakat kota, termasuk
mahasiswa menjadi terlena, bila tidak
terpaksa, menikmati kehadirannya
yang hampir selalu diusahakan dalam
kondisi gegap gempita dengan berb-
agai tawaran yang sebenarnya tidak
dibutuhkan. Kondisi itu yang kemu-
dian mendorong banyak pihak, untuk
mengusahakan adanya penyeimbang.
Grogol 11440 adalah nama dari pro-
gram aktivasi tersebut. Ia bertujuan
untuk mendorong munculnya hara-
pan-harapan, pertemuan-pertemuan
sederhana, namun esensial bagi ke-
hidupan manusia.
Gedung Utama
Kampus 1
Universitas Tarumanagara
Lantai 8
Jl. Letjen S. Parman No. 1
Jakarta Barat 11440
info@grogol11440.net
www.grogol11440.net
Twitter.com/G11440
Facebook.com/Grogol 11440
20. 38 39
Dra. Natanelya Anindita. Nanin adalah
Kepala Perpustakaan Tarumanagara Knowl-
edge Centre (TKC). Ibu penyuka warna ungu
ini dengan giat mendorong TKC untuk dapat
menjadi sumber inspirasi bagi mahasiswa/i
Universitas Tarumanagara.
Vania Natalia. Vania adalah manajer
proyek Grogol 11440. Setiap hari mengatur
berbagai pekerjaan tim G11440. Perempuan
penyuka batik ini sering didaulat menjadi MC
dalam berbagai acara di lingkungan Taru-
managara. Ia ini yang bertugas untuk selalu
bersemangat mendorong Program Grogol
11440 menjadi asik.
Ivander Elffindy. Vander lulus dari
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Ta-
rumanagara di 2013. Ia bertugas menangani
berbagai pekerjaan terkait Hubungan Mas-
yarakat untuk Program Grogol 11440. Ke-
mampuan berbicara dan menangani hal-hal
operasional, membuatnya menjadi ‘handy-man’
bagi berbagai kegiatan.
Aldo Muharamarizka. Aldo adalah per-
sonel yang kalem sekaligus moddy. Lulusan
Desain Komunikasi Visual Universitas Taru-
managara ini merancang berbagai materi vi-
sual menarik dan tepat untuk menyampaikan
pesan program dengan medium visual yang
komunikatif.
GROGOL11440*
*
*
*
Sejak Februari 2014, Tim G11440 dibentuk dan dibawahi oleh Biro Desain Visualiteit. Biro desain yang
menggagas, merancang, dan mendorong Proyek Injeksi Visual demi mengaktivasi Tarumanagara
Knowledge Centre sebagai ruang publik yang dapat membuat hal-hal sederhana menjadi luar biasa.