SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  4
Télécharger pour lire hors ligne
Kolom OPINI, JP Radar Jogja, 28 Oktober 2004


                Refleksi Hari Sumpah Pemuda ;
 MENYEMAI (KEMBALI) NASIONALISME DAN MULTIKULTURALISME

                                 Oleh : Halili Hasan *)

        Hari ini tujuh puluh enam tahun yang lalu, Sumpah Pemuda dikumandangkan
dengan lantangnya diiringi lagu Indonesia Raya. Sumpah Pemuda dicetuskan sebagai
hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta,
dihadiri oleh wakil-wakil angkatan muda yang tergabung dalam Jong Java, Jong
Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon,
Minahasa Bond, Madura Bond, Pemuda Betawi, Jong Pasundan, Budi Utomo, Sarekat
Islam, PNI (Perserikatan Nasional Indonesia), Surabaya Studieclub, beberapa kelompok
pemuda Kristen dan Katolik dan lain-lain. Kongres tersebut diselenggarakan atas
prakarsa gerakan pemuda, yang tergabung dalam organisasi pemuda PPPKI
(Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Menurut M.C Riklefs
(1981), komunitas-komunitas Tionghoa dan Arab pun pada saat itu sangat mendukung
gerakan menuju Indonesia yang multi rasial tersebut.
        Dalam sejarah perjalanan nusantara, momentum Sumpah Pemuda merupakan
suatu peristiwa kebangkitan dalam atmosfer perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan
(dalam arti luas). Sampai pada perjalanan reformasi yang sudah berlangsung kurang
lebih enam tahun ini, terdapat enam periode “kebangkitan nasional” ; Kebangkitan
Kartini, Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi, Orde Baru, dan Orde Reformasi
(Mubyarto, 2004). Jadi, sejatinya Sumpah Pemuda merupakan kebangkitan ketiga
setelah “Kebangkitan” Kartini tahun 1879, dan Boedi Oetomo 29 tahun kemudian.
        Lalu apa yang tersisa dari Sumpah Pemuda kini? Segenap elemen bangsa patut
memaknai kembali momentum Sumpah Pemuda.

Akar Nasionalisme dan Multikulturalisme
        Nasionalisme lahir dari kesadaran kesatuan identitas yang diwarnai oleh
beberapa latar, diantaranya faktor situasi politis dan faktor spasial kewilayahan. Situasi
politis mengkonstruksi kekuasaan yang direkayasa untuk menjadi relasi biner ; superior
atau inferior, subjek atau objek, menguasai atau dikuasai. Kebanggaan dan hasrat untuk
menjadi bangsa „paling terhormat‟ melahirkan nasionalisme yang mengerucut pada
fasisme a la Jerman dan Italia. Sebaliknya, nasionalisme yang berujung pada
pembebasan Yunani dan Bulgaria dari Turki, lahir dari situasi politik yang ingin lepas
dari penguasaan. Bangsa Arab merupakan salah satu contoh yang dapat disebut, dimana
aspek kewilayahan dalam pembentukan kesadaran kebangsaannya cukup dominan.
Sedangkan nasionalisme pada Perang Dunia I mempresentasikan gambaran tentang
lekatnya faktor kewilayahan dan politis, yang kemudian mewujudkan peta geopolitik di
Eropa.
        Nasionalisme memiliki sejarah panjang pada relasi kuasa suatu masyarakat
(negara) dalam hubungannya dengan masyarakat yang lain. Tinta sejarah melukiskan
bagaimana nasionalisme pernah menjadi ideologi yang sangat kuat mendorong
terjadinya pembebasan dan pemerdekaan negara-bangsa dari kungkungan kolonialisme.
Hal itu terjadi paling tidak pada paruh pertama dan paruh kedua abad ke-20, tak
terkecuali untuk Indonesia. Sumpah Pemuda pada fase awal kurun itu merupakan
penyadaran untuk ber-Indonesia secara terang-terangan—berbeda dari momentum
kebangkitan nasional Boedi Oetomo yang masih sembunyi-sembunyi. Kolonialisme
yang mencengkram nusantara mendorong ditinggalkannya sekat-sekat kesukuan—
walau tidak berarti tumbang—dan ditinggalkannya pola perjuangan „sendiri-sendiri‟
dalam mengusir penjajah.
        Statemen bersama kalangan muda waktu itu tentang kesatuan kebangsaan,
tumpah darah, dan bahasa dapat dimaknai sebagai output dari pencarian mereka atas
identitas diri. Pencarian identitas diri tersebut terjadi di tengah-tengah suasana
subordinasi dan eksploitasi atas hak-hak naturalistik mereka oleh adanya kolonialisme
asing. Keragaman entitas kesukuan yang menjadi identitas dasar masyarakat bersatu
bersama mengkonstruk satu “payung besar” kebangsaan Indonesia. Harus diakui
memang, aspek emosi patriotik sangat dominan dalam pembentukan entitas kesadaran
kebangsaan tersebut. Ada perasaan yang sama sebagai objek jajahan bangsa asing yang
„menghinakan‟ sehingga perlu dilawan dengan perjuangan bersama melawan common
enemy, kolonialisme yang dilakukan bangsa penjajah. Suka atau tidak suka, catatan
sejarah membuktikan efektivitas langkah itu.
        Dalam sudut pandang yang lain, melihat fenomena keberagaman latar identitas
pemuda yang meneriaklantangkan Sumpah Pemuda dapat diabstraksi bahwa
nasionalisme Indonesia bersifat multikultural. Hal itu berarti nasionalisme Indonesia
sangat sulit untuk diberdirikan sendiri dari realitas multikulturalnya. Multikulturalisme
yang tampak dalam momentum Sumpah Pemuda hanyalah tampilan formal, sebab
kenyataan keberagaman tersebut memang sudah ada secara alami. Pengukuhan secara
resmi tersebut lebih sebagai langkah politik yang bersifat konkrit terkait dengan sikap
politik futuristik jangka panjang sebuah bangsa yang bernama Indonesia, yang saat itu
sedang dalam himpitan ketiak penjajah.

Prospek Masa Depan; Kebangsaan Multikultural dan Polisentrik
          Dalam konteks kekinian Indonesia, nasionalisme dihadapkan pada kenyataan—
meminjam istilah Sri-Edi Swasono—deideologisasi yang penuh absurditas. Gugatan
atas eksistensi nasionalisme terus terjadi di tengah-tengah dialektika wacana kalangan
muda masyarakat akademik. Nasionalisme dianggap tidak relevan dengan dinamika
kekinian yang mengglobal. Diskursus tersebut terjadi pasca berakhirnya perang dingin
dengan kemenangan kapitalisme Barat. Hal itu ditambah lagi dengan „intervensi‟
pemikiran ilmuwan (terutama ekonomi) pasca perang dingin seperti Andrew Marshal
dan Mathew Horsman (1994), Kenichi Ohmae (1995), serta David Korten (1996), yang
dengan tegas mengatakan bahwa nasionalisme tidak dapat mengatasi persoalan-
persoalan global.
          Namun roda sejarah seakan berputar kembali, dimana arus balik nasionalisme
yang dulu „dipertanyakan‟ kini semakin deras. Australia dan beberapa negara yang
memiliki kebijakan dalam dan luar negeri yang cenderung inward looking cukup
menjadi bukti. Juga, menarik untuk disimak apa yang dikatakan oleh Bush Junior
setelah rakyat Amerika bersatupadu berdiri di belakang kebijakan pre-emptive strike
melawan terorisme pasca tragedi 911. Presiden negara adidaya yang kental dengan
ajektif transnasional dalam sendi-sendi kehidupannya itu mengatakan bahwa mereka
telah mendapatkan kembali apa yang pernah hilang dari rahim Amerika, yaitu
nasionalisme (dan patriotisme) ; nasionalisme a la Amerika.
          Sangat paradoksal jika disini nasionalisme tersebut meluntur atau dilunturkan
(?) sementara di „luar sana‟ nasionalisme (juga patriotisme) menampakkan diri menjadi
ideologi yang semakin dirindukan dalam menentukan orientasi pembangunan jangka
panjang.
Potret multikulturalisme juga tidak menggembirakan. Konflik horizontal dalam
masyarakat kita masih saja terjadi yang melibatkan kelompok-kelompok etnik, hampir
di setiap pulau besar ; Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua dan lain-
lain. Realitas alamiah keberagaman dalam rahim bangsa yang seharusnya menjadi
anugerah terus menyimpan potensi konflik. Sekat-sekat kultural mulai menciptakan
dikotomi relasi “kami” dan “mereka”. Jika itu terus dibiarkan, bisa jadi akan menjelma
bara dalam sekam yang lambat laun akan membakar bangunan kebangsaan kita yang
sejatinya multikultural.
          Multikulturalisme dalam kebangsaan kita memang harus dijaga. Sebagaimana
sangat mafhum, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang dibuat (invented),
bukan nasionalisme etnik yang eksklusif (ethnocentric nationalism). Kebangsaan kita
dibentuk dari keragaman etnik dalam situasi politik masa lalu yang memaksa. Untuk itu,
perubahan situasi politik bisa dengan sangat mudah mengubah tingkat adesivitas tali
kebangsaan. Gunawan Muhammad mengatakan “Indonesia adalah definisi yang belum
final”. Dialektika terus bergulir dan disitulah bandul-bandul budaya dan kuasa memiliki
peran besar dalam upaya maintenansi kebangsaan Indonesia, yang terus bergerak secara
dinamis.
          Pada masa-masa awal kemerdekaan sampai tumbangnya pemerintahan Orde
Lama tidak banyak riak yang menggugat kebangsaan kita. Hal itu tidak kurang karena
“keadilan” Soekarno dan Hatta dalam memperlakukan seluruh kelompok etnis. Mereka
berhasil menciptakan nuansa kekitaan. Kita adalah Indonesia, begitupun, Indonesia
adalah kita.
          Hal itu tentu sangat jauh berbeda dengan performansi yang ditampilkan pada
zaman Soeharto. Keberagaman Indonesia doanggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga
isu SARA menjadi sentimen yang tidak boleh diungkit-ungkit. Padahal diversitas suku,
agama, ras, dan keberagaman golongan melekat secara intrinsik dengan Indonesia yang
seharusnya dipahami dalam konsep perbedaan dan penerimaan atas perbedaan itu.
          Di sisi lain, disengaja atau tidak, pada masa itu terjadi determinasi hegemonik
etnik Jawa atas yang lain. Performansi yang “sangat Jawa” tampak dalam diri Soeharto
secara personal dan institusional dalam lembaga kepresidenan. Secara kelembagaan,
kebijakan politik Soeharto seringkali dicurigai berorientasi Jawa. Kenyataan tersebut
diperparah dengan terjadinya gap yang luar biasa di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Tak ayal lagi, cultural boundaries (batas-batas budaya) kemudian mewujud menjadi
political boundaries.
          Di samping itu terjadi uniformisasi dalam beberapa aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Nilai-nilai lokal dalam dunia pendidikan, hukum, dan pranata sosial
ditekan oleh kebijakan pemerintah yang sentralistik. Padahal filosofi dasar negara
(Philosophische Grondslagh) ini mengakui dengan gagah semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika”. Sayang memang, titik tekan pemaknaan pemerintah saat itu lebih pada
“keikaan” (kesatuan) bukan pada “kebhinnekaan” (keragaman). Bahkan tidak jarang,
keragaman ditumbalkan dalam represi pemerintah demi menjaga kesatuan. Dalam
kondisi demikian, sangat wajar jika di beberapa daerah muncul teriakan “Merdeka!”.
          Kedepan, pemaknaan kembali atas substansi nasionalisme dan
multikulturalisme harus dipahami dengan adanya kesadaran akan keragaman. Indonesia
bukan Jawa, bukan Betawi, bukan Batak, dan lain-lain. Bukan pula Riau, bukan Aceh,
bukan Jakarta, dan seterusnya. Juga bukan Kristen, bukan Katolik, dan sebagainya.
Akan tetapi, seluruh anasir identitas partikular itulah Indonesia; bangsa yang
multikultural.
          Wacana pendidikan multikultur dan kebijakan beberapa lembaga pendidikan
untuk memasukkannya dalam kurikulum merupakan ide dan langkah yang patut
dihargai untuk memaknai dan menjunjung tinggi keragaman itu. Bangsa yang sangat
pluralistik seperti Indonesia membutuhkan pendidikan multikultur. Namun, di samping
itu bangsa ini juga membutuhkan kesejahteraan, keadilan ekonomi, sosial, dan
kemerataan hasil pembangunan. Tidak ada dominasi dan hegemoni suatu etnik tertentu
atas yang lain. Tidak ada kesenjangan ekonomi yang lebar antar elemen bangsa. Tidak
ada pemaksaan satu kultur atas kultur yang lain.
          Bila demikian, dengan sendirinya kebangsaan kita akan bergerak menjadi
polisentris (policentric nationalism) yang memiliki kecenderungan outward looking
antar identitas partikularnya, mengakomodasi dialog antar elemen dalam arena
kebangsaan, merefleksikan adanya pluralitas sumber kekuasaan, mempertahankan
keluhuran nilai dan institusi tradisional tiap kelompok, dan bersama-sama meretas
perubahan yang linear dan progresif sebagai bagian dari sebuah keluarga "bangsa".
Dengan begitu, kita tidak perlu bersumpah lagi bukan?
          Jika tidak, sangat logis kekhawatiran bahwa “definisi” Indonesia tidak akan
pernah final, sementara bangsa lain sudah menikmati kejayaannya sebagai sebuah
bangsa. Atau jangan-jangan, benar tudingan Benedict Anderson bahwa Indonesia adalah
proyek imagi tokoh pendiri negara bangsa? Semoga tidak.

            *) Mahasiswa dan Pegiat Komunitas Studi Kebangsaan (KOSSA) FIS UNY

Contenu connexe

Tendances

Bab iii integrasi hasil
Bab iii integrasi hasilBab iii integrasi hasil
Bab iii integrasi hasilEdi Ison
 
Nasionalisme di era globalisasi
Nasionalisme di era globalisasiNasionalisme di era globalisasi
Nasionalisme di era globalisasiDzikriani Yugi
 
Makalah Multikuturalisme
Makalah MultikuturalismeMakalah Multikuturalisme
Makalah MultikuturalismeJuwita Yulianto
 
Globalisasi dan identitas nasional
Globalisasi dan identitas nasionalGlobalisasi dan identitas nasional
Globalisasi dan identitas nasionalyuliansafa
 
Nasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati Ayus
Nasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati AyusNasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati Ayus
Nasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati AyusIntsiawati Ayus
 
Sejarah Pendidikan Multikultural
Sejarah Pendidikan MultikulturalSejarah Pendidikan Multikultural
Sejarah Pendidikan MultikulturalAbid Nurhuda
 
Akar akar nasionalisme di indonesia
Akar akar nasionalisme di indonesiaAkar akar nasionalisme di indonesia
Akar akar nasionalisme di indonesiaAntarBudiarto1
 
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan KebangsaanMusni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaanmusniumar
 
Power point nasionalisme
Power point nasionalismePower point nasionalisme
Power point nasionalismeRizal Komarudin
 
Makalah nasionalisme sudah jadi
Makalah nasionalisme sudah jadiMakalah nasionalisme sudah jadi
Makalah nasionalisme sudah jadidinnianggra
 
Makalah Nasionalisme
Makalah NasionalismeMakalah Nasionalisme
Makalah NasionalismeMichant Lhoo
 

Tendances (20)

Dakwah multikultural
Dakwah multikulturalDakwah multikultural
Dakwah multikultural
 
Bab iii integrasi hasil
Bab iii integrasi hasilBab iii integrasi hasil
Bab iii integrasi hasil
 
Multietnik yapi
Multietnik yapiMultietnik yapi
Multietnik yapi
 
Nasionalisme di era globalisasi
Nasionalisme di era globalisasiNasionalisme di era globalisasi
Nasionalisme di era globalisasi
 
Makalah Multikuturalisme
Makalah MultikuturalismeMakalah Multikuturalisme
Makalah Multikuturalisme
 
Identitas nasional By Andi Juntak
Identitas nasional By Andi JuntakIdentitas nasional By Andi Juntak
Identitas nasional By Andi Juntak
 
Wawasan kebangsaa1
Wawasan kebangsaa1Wawasan kebangsaa1
Wawasan kebangsaa1
 
Globalisasi dan identitas nasional
Globalisasi dan identitas nasionalGlobalisasi dan identitas nasional
Globalisasi dan identitas nasional
 
Nasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati Ayus
Nasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati AyusNasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati Ayus
Nasionalisme dan Demokrasi dalam Konteks Nasional dan Daerah_by Intsiawati Ayus
 
Sejarah Pendidikan Multikultural
Sejarah Pendidikan MultikulturalSejarah Pendidikan Multikultural
Sejarah Pendidikan Multikultural
 
Buku ajar spni
Buku ajar spniBuku ajar spni
Buku ajar spni
 
3304118 makalah
3304118 makalah3304118 makalah
3304118 makalah
 
Akar akar nasionalisme di indonesia
Akar akar nasionalisme di indonesiaAkar akar nasionalisme di indonesia
Akar akar nasionalisme di indonesia
 
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan KebangsaanMusni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
 
Power point nasionalisme
Power point nasionalismePower point nasionalisme
Power point nasionalisme
 
Nasionalisme
Nasionalisme Nasionalisme
Nasionalisme
 
Ingrasi nasional.ppt
Ingrasi nasional.pptIngrasi nasional.ppt
Ingrasi nasional.ppt
 
Makalah nasionalisme sudah jadi
Makalah nasionalisme sudah jadiMakalah nasionalisme sudah jadi
Makalah nasionalisme sudah jadi
 
Makalah Nasionalisme
Makalah NasionalismeMakalah Nasionalisme
Makalah Nasionalisme
 
Estimologi multikulturalisme
Estimologi multikulturalismeEstimologi multikulturalisme
Estimologi multikulturalisme
 

Similaire à 92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda

jbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.ppt
jbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.pptjbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.ppt
jbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.ppttugasips91
 
Nasionalisme kita
Nasionalisme kitaNasionalisme kita
Nasionalisme kitaIndra Jaya
 
pendekatan multikultural dalam pembelajaran
pendekatan multikultural dalam pembelajaranpendekatan multikultural dalam pembelajaran
pendekatan multikultural dalam pembelajaranAndy Wilson
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasSatrio Arismunandar
 
Tugas individu ppk
Tugas individu ppkTugas individu ppk
Tugas individu ppkme_idung
 
Wawasan Nusantara
Wawasan NusantaraWawasan Nusantara
Wawasan Nusantaratojing
 
PERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptxPERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptxSusiAgustini12
 
Nasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptx
Nasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptxNasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptx
Nasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptxMawardiMuhammadThaib
 
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptxSolin123
 
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.pptBENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.pptIsembelSianipar
 
Prinsip Kemajemukan.pptx
Prinsip Kemajemukan.pptxPrinsip Kemajemukan.pptx
Prinsip Kemajemukan.pptxwakiah4
 
Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1People Power
 
SEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONAL
SEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONALSEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONAL
SEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONALWoro Handayani
 

Similaire à 92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda (20)

Nasionalisme itu Sampah
Nasionalisme itu SampahNasionalisme itu Sampah
Nasionalisme itu Sampah
 
WAWASAN KEBANGSAAN.ppt
WAWASAN KEBANGSAAN.pptWAWASAN KEBANGSAAN.ppt
WAWASAN KEBANGSAAN.ppt
 
jbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.ppt
jbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.pptjbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.ppt
jbptunikompp-gdl-dewikurnia-23119-11-wasbang.ppt
 
Nasionalisme kita
Nasionalisme kitaNasionalisme kita
Nasionalisme kita
 
wasbang latsar.pptx
wasbang latsar.pptxwasbang latsar.pptx
wasbang latsar.pptx
 
pendekatan multikultural dalam pembelajaran
pendekatan multikultural dalam pembelajaranpendekatan multikultural dalam pembelajaran
pendekatan multikultural dalam pembelajaran
 
KEBANGKITAN NASIONAL
KEBANGKITAN NASIONALKEBANGKITAN NASIONAL
KEBANGKITAN NASIONAL
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
 
Identitas Nasional
Identitas NasionalIdentitas Nasional
Identitas Nasional
 
Tugas individu ppk
Tugas individu ppkTugas individu ppk
Tugas individu ppk
 
Wawasan Nusantara
Wawasan NusantaraWawasan Nusantara
Wawasan Nusantara
 
PERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptxPERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptx
 
Nasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptx
Nasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptxNasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptx
Nasionalisme Di Era Globalisasi ( Kelompok 4 ).pptx
 
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
6._HARMONI_AGAMA_DAN_BUDAYA[.pptx
 
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.pptBENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
 
TBM dan Pancasila sebagai Rumah Kita
TBM dan Pancasila sebagai Rumah KitaTBM dan Pancasila sebagai Rumah Kita
TBM dan Pancasila sebagai Rumah Kita
 
Prinsip Kemajemukan.pptx
Prinsip Kemajemukan.pptxPrinsip Kemajemukan.pptx
Prinsip Kemajemukan.pptx
 
Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1
 
SEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONAL
SEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONALSEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONAL
SEJARAH DAN MAKNA HARI KEBANGKITAN NASIONAL
 
Ayu
AyuAyu
Ayu
 

92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda

  • 1. Kolom OPINI, JP Radar Jogja, 28 Oktober 2004 Refleksi Hari Sumpah Pemuda ; MENYEMAI (KEMBALI) NASIONALISME DAN MULTIKULTURALISME Oleh : Halili Hasan *) Hari ini tujuh puluh enam tahun yang lalu, Sumpah Pemuda dikumandangkan dengan lantangnya diiringi lagu Indonesia Raya. Sumpah Pemuda dicetuskan sebagai hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, dihadiri oleh wakil-wakil angkatan muda yang tergabung dalam Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Pemuda Betawi, Jong Pasundan, Budi Utomo, Sarekat Islam, PNI (Perserikatan Nasional Indonesia), Surabaya Studieclub, beberapa kelompok pemuda Kristen dan Katolik dan lain-lain. Kongres tersebut diselenggarakan atas prakarsa gerakan pemuda, yang tergabung dalam organisasi pemuda PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Menurut M.C Riklefs (1981), komunitas-komunitas Tionghoa dan Arab pun pada saat itu sangat mendukung gerakan menuju Indonesia yang multi rasial tersebut. Dalam sejarah perjalanan nusantara, momentum Sumpah Pemuda merupakan suatu peristiwa kebangkitan dalam atmosfer perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan (dalam arti luas). Sampai pada perjalanan reformasi yang sudah berlangsung kurang lebih enam tahun ini, terdapat enam periode “kebangkitan nasional” ; Kebangkitan Kartini, Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi, Orde Baru, dan Orde Reformasi (Mubyarto, 2004). Jadi, sejatinya Sumpah Pemuda merupakan kebangkitan ketiga setelah “Kebangkitan” Kartini tahun 1879, dan Boedi Oetomo 29 tahun kemudian. Lalu apa yang tersisa dari Sumpah Pemuda kini? Segenap elemen bangsa patut memaknai kembali momentum Sumpah Pemuda. Akar Nasionalisme dan Multikulturalisme Nasionalisme lahir dari kesadaran kesatuan identitas yang diwarnai oleh beberapa latar, diantaranya faktor situasi politis dan faktor spasial kewilayahan. Situasi politis mengkonstruksi kekuasaan yang direkayasa untuk menjadi relasi biner ; superior atau inferior, subjek atau objek, menguasai atau dikuasai. Kebanggaan dan hasrat untuk menjadi bangsa „paling terhormat‟ melahirkan nasionalisme yang mengerucut pada fasisme a la Jerman dan Italia. Sebaliknya, nasionalisme yang berujung pada pembebasan Yunani dan Bulgaria dari Turki, lahir dari situasi politik yang ingin lepas dari penguasaan. Bangsa Arab merupakan salah satu contoh yang dapat disebut, dimana aspek kewilayahan dalam pembentukan kesadaran kebangsaannya cukup dominan. Sedangkan nasionalisme pada Perang Dunia I mempresentasikan gambaran tentang lekatnya faktor kewilayahan dan politis, yang kemudian mewujudkan peta geopolitik di Eropa. Nasionalisme memiliki sejarah panjang pada relasi kuasa suatu masyarakat (negara) dalam hubungannya dengan masyarakat yang lain. Tinta sejarah melukiskan bagaimana nasionalisme pernah menjadi ideologi yang sangat kuat mendorong terjadinya pembebasan dan pemerdekaan negara-bangsa dari kungkungan kolonialisme. Hal itu terjadi paling tidak pada paruh pertama dan paruh kedua abad ke-20, tak terkecuali untuk Indonesia. Sumpah Pemuda pada fase awal kurun itu merupakan penyadaran untuk ber-Indonesia secara terang-terangan—berbeda dari momentum
  • 2. kebangkitan nasional Boedi Oetomo yang masih sembunyi-sembunyi. Kolonialisme yang mencengkram nusantara mendorong ditinggalkannya sekat-sekat kesukuan— walau tidak berarti tumbang—dan ditinggalkannya pola perjuangan „sendiri-sendiri‟ dalam mengusir penjajah. Statemen bersama kalangan muda waktu itu tentang kesatuan kebangsaan, tumpah darah, dan bahasa dapat dimaknai sebagai output dari pencarian mereka atas identitas diri. Pencarian identitas diri tersebut terjadi di tengah-tengah suasana subordinasi dan eksploitasi atas hak-hak naturalistik mereka oleh adanya kolonialisme asing. Keragaman entitas kesukuan yang menjadi identitas dasar masyarakat bersatu bersama mengkonstruk satu “payung besar” kebangsaan Indonesia. Harus diakui memang, aspek emosi patriotik sangat dominan dalam pembentukan entitas kesadaran kebangsaan tersebut. Ada perasaan yang sama sebagai objek jajahan bangsa asing yang „menghinakan‟ sehingga perlu dilawan dengan perjuangan bersama melawan common enemy, kolonialisme yang dilakukan bangsa penjajah. Suka atau tidak suka, catatan sejarah membuktikan efektivitas langkah itu. Dalam sudut pandang yang lain, melihat fenomena keberagaman latar identitas pemuda yang meneriaklantangkan Sumpah Pemuda dapat diabstraksi bahwa nasionalisme Indonesia bersifat multikultural. Hal itu berarti nasionalisme Indonesia sangat sulit untuk diberdirikan sendiri dari realitas multikulturalnya. Multikulturalisme yang tampak dalam momentum Sumpah Pemuda hanyalah tampilan formal, sebab kenyataan keberagaman tersebut memang sudah ada secara alami. Pengukuhan secara resmi tersebut lebih sebagai langkah politik yang bersifat konkrit terkait dengan sikap politik futuristik jangka panjang sebuah bangsa yang bernama Indonesia, yang saat itu sedang dalam himpitan ketiak penjajah. Prospek Masa Depan; Kebangsaan Multikultural dan Polisentrik Dalam konteks kekinian Indonesia, nasionalisme dihadapkan pada kenyataan— meminjam istilah Sri-Edi Swasono—deideologisasi yang penuh absurditas. Gugatan atas eksistensi nasionalisme terus terjadi di tengah-tengah dialektika wacana kalangan muda masyarakat akademik. Nasionalisme dianggap tidak relevan dengan dinamika kekinian yang mengglobal. Diskursus tersebut terjadi pasca berakhirnya perang dingin dengan kemenangan kapitalisme Barat. Hal itu ditambah lagi dengan „intervensi‟ pemikiran ilmuwan (terutama ekonomi) pasca perang dingin seperti Andrew Marshal dan Mathew Horsman (1994), Kenichi Ohmae (1995), serta David Korten (1996), yang dengan tegas mengatakan bahwa nasionalisme tidak dapat mengatasi persoalan- persoalan global. Namun roda sejarah seakan berputar kembali, dimana arus balik nasionalisme yang dulu „dipertanyakan‟ kini semakin deras. Australia dan beberapa negara yang memiliki kebijakan dalam dan luar negeri yang cenderung inward looking cukup menjadi bukti. Juga, menarik untuk disimak apa yang dikatakan oleh Bush Junior setelah rakyat Amerika bersatupadu berdiri di belakang kebijakan pre-emptive strike melawan terorisme pasca tragedi 911. Presiden negara adidaya yang kental dengan ajektif transnasional dalam sendi-sendi kehidupannya itu mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan kembali apa yang pernah hilang dari rahim Amerika, yaitu nasionalisme (dan patriotisme) ; nasionalisme a la Amerika. Sangat paradoksal jika disini nasionalisme tersebut meluntur atau dilunturkan (?) sementara di „luar sana‟ nasionalisme (juga patriotisme) menampakkan diri menjadi ideologi yang semakin dirindukan dalam menentukan orientasi pembangunan jangka panjang.
  • 3. Potret multikulturalisme juga tidak menggembirakan. Konflik horizontal dalam masyarakat kita masih saja terjadi yang melibatkan kelompok-kelompok etnik, hampir di setiap pulau besar ; Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua dan lain- lain. Realitas alamiah keberagaman dalam rahim bangsa yang seharusnya menjadi anugerah terus menyimpan potensi konflik. Sekat-sekat kultural mulai menciptakan dikotomi relasi “kami” dan “mereka”. Jika itu terus dibiarkan, bisa jadi akan menjelma bara dalam sekam yang lambat laun akan membakar bangunan kebangsaan kita yang sejatinya multikultural. Multikulturalisme dalam kebangsaan kita memang harus dijaga. Sebagaimana sangat mafhum, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang dibuat (invented), bukan nasionalisme etnik yang eksklusif (ethnocentric nationalism). Kebangsaan kita dibentuk dari keragaman etnik dalam situasi politik masa lalu yang memaksa. Untuk itu, perubahan situasi politik bisa dengan sangat mudah mengubah tingkat adesivitas tali kebangsaan. Gunawan Muhammad mengatakan “Indonesia adalah definisi yang belum final”. Dialektika terus bergulir dan disitulah bandul-bandul budaya dan kuasa memiliki peran besar dalam upaya maintenansi kebangsaan Indonesia, yang terus bergerak secara dinamis. Pada masa-masa awal kemerdekaan sampai tumbangnya pemerintahan Orde Lama tidak banyak riak yang menggugat kebangsaan kita. Hal itu tidak kurang karena “keadilan” Soekarno dan Hatta dalam memperlakukan seluruh kelompok etnis. Mereka berhasil menciptakan nuansa kekitaan. Kita adalah Indonesia, begitupun, Indonesia adalah kita. Hal itu tentu sangat jauh berbeda dengan performansi yang ditampilkan pada zaman Soeharto. Keberagaman Indonesia doanggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga isu SARA menjadi sentimen yang tidak boleh diungkit-ungkit. Padahal diversitas suku, agama, ras, dan keberagaman golongan melekat secara intrinsik dengan Indonesia yang seharusnya dipahami dalam konsep perbedaan dan penerimaan atas perbedaan itu. Di sisi lain, disengaja atau tidak, pada masa itu terjadi determinasi hegemonik etnik Jawa atas yang lain. Performansi yang “sangat Jawa” tampak dalam diri Soeharto secara personal dan institusional dalam lembaga kepresidenan. Secara kelembagaan, kebijakan politik Soeharto seringkali dicurigai berorientasi Jawa. Kenyataan tersebut diperparah dengan terjadinya gap yang luar biasa di bidang ekonomi, sosial dan politik. Tak ayal lagi, cultural boundaries (batas-batas budaya) kemudian mewujud menjadi political boundaries. Di samping itu terjadi uniformisasi dalam beberapa aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai lokal dalam dunia pendidikan, hukum, dan pranata sosial ditekan oleh kebijakan pemerintah yang sentralistik. Padahal filosofi dasar negara (Philosophische Grondslagh) ini mengakui dengan gagah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Sayang memang, titik tekan pemaknaan pemerintah saat itu lebih pada “keikaan” (kesatuan) bukan pada “kebhinnekaan” (keragaman). Bahkan tidak jarang, keragaman ditumbalkan dalam represi pemerintah demi menjaga kesatuan. Dalam kondisi demikian, sangat wajar jika di beberapa daerah muncul teriakan “Merdeka!”. Kedepan, pemaknaan kembali atas substansi nasionalisme dan multikulturalisme harus dipahami dengan adanya kesadaran akan keragaman. Indonesia bukan Jawa, bukan Betawi, bukan Batak, dan lain-lain. Bukan pula Riau, bukan Aceh, bukan Jakarta, dan seterusnya. Juga bukan Kristen, bukan Katolik, dan sebagainya. Akan tetapi, seluruh anasir identitas partikular itulah Indonesia; bangsa yang multikultural. Wacana pendidikan multikultur dan kebijakan beberapa lembaga pendidikan untuk memasukkannya dalam kurikulum merupakan ide dan langkah yang patut
  • 4. dihargai untuk memaknai dan menjunjung tinggi keragaman itu. Bangsa yang sangat pluralistik seperti Indonesia membutuhkan pendidikan multikultur. Namun, di samping itu bangsa ini juga membutuhkan kesejahteraan, keadilan ekonomi, sosial, dan kemerataan hasil pembangunan. Tidak ada dominasi dan hegemoni suatu etnik tertentu atas yang lain. Tidak ada kesenjangan ekonomi yang lebar antar elemen bangsa. Tidak ada pemaksaan satu kultur atas kultur yang lain. Bila demikian, dengan sendirinya kebangsaan kita akan bergerak menjadi polisentris (policentric nationalism) yang memiliki kecenderungan outward looking antar identitas partikularnya, mengakomodasi dialog antar elemen dalam arena kebangsaan, merefleksikan adanya pluralitas sumber kekuasaan, mempertahankan keluhuran nilai dan institusi tradisional tiap kelompok, dan bersama-sama meretas perubahan yang linear dan progresif sebagai bagian dari sebuah keluarga "bangsa". Dengan begitu, kita tidak perlu bersumpah lagi bukan? Jika tidak, sangat logis kekhawatiran bahwa “definisi” Indonesia tidak akan pernah final, sementara bangsa lain sudah menikmati kejayaannya sebagai sebuah bangsa. Atau jangan-jangan, benar tudingan Benedict Anderson bahwa Indonesia adalah proyek imagi tokoh pendiri negara bangsa? Semoga tidak. *) Mahasiswa dan Pegiat Komunitas Studi Kebangsaan (KOSSA) FIS UNY