Gagasan awal versi saya pribadi mengenai Fokus Strategi yang harus ditempuh bagi penyusunan dokumen Rencana Aksi Daerah Pencegahan Pemberantasan Korupsi (RAD PK) di Provinsi NTB. Belakangan, telah terbit Pergub NTB Nomor 35/2013 dan Nomor 36/2013 tentang Aksi Pencegahan Pemberantasan Korupsi di Lingkup Pemprov NTB, Jangka Menengah (2013-2018) dan Tahun 2014.
15. TEMUAN AUDIT EKSTERNAL-BPK RI (Lanjutan)
Permasalahan Umum Keuangan Daerah di Provinsi NTB:
KEUANGAN
1. Pengelolaan aset tetap (inventarisasi, penghapusan, dan penatausahaan)
belum memadai
2. Pengelolaan aset lainnya (kerja sama dengan pihak III) belum memadai
3. Pengelolaan persediaan belum memadai
4. Penatausahaan investasi non permanen (seperti pengelolaan dana bergulir)
belum memadai
5. Penatausahaan investasi permanen belum memadai
KINERJA
1. Perencanaan kegiatan belum memadai
2. Monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan belum dilaksanakan secara
memadai
3. Standar Pelayanan Publik (Key Performance Indicator) belum disusun.
4. Kinerja atas Pelayanan Perizinan belum optimal.
5. Kinerja atas Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam
menunjang program pendidikan belum optimal.
PDTT
1. Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
2. Terdapat proyek di bidang infrastuktur jalan dan jembatan tidak sesuai dengan
kontrak dan tidak tepat waktu
3. Pengelolaan dan pengendalian dana bantuan sosial belum memadai
4. PDAM belum melaksanakan rehabilitasi sarana dan prasarana distribusi
secara memadai.
16. Laporan Temuan Indikasi Tipikor
BPK kepada APH
UU No. 15 Tahun 2004...
BPK wajib menyampaikan temuan pemeriksaan
berindikasi pidana (khssx tipikor) kpd APH.
Pemeriksa BPK yg sengaja tdk melaporkan (p<1,5 thn,
d<500 jt) + Anggota BPK yg memperlambat/tdk
melaporkan (3-10th, 3-10 M) + Setiap orang yg tdk
menindaklanjuti rekomendasi (<1,5 thn, <500 jt) –
BELUM DITERAPKAN
Realisasi (2004- medio 2011):
- Nasional: 305 perkara untuk total etintas seluruh
Indonesia. Ditindaklanjuti o APH 166 perkara.
- NTB : 0,-
Pembanding: di NTB tahun 2011 ada 62 Perkara tipikor
diproses hukum.
17. Temuan Pemantauan Korupsi 2011
SOMASI NTB
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Keuangan Pendidikan Infrastruktur Pertanahan Kesehatan Perpajakan Pertanian dan
Peternakan
Perumahan Perikanan dan
Kelautan
19
14
7
5 5
4 4
2
1
Jumlah Kasus Korupsi Menurut Sektor
19. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kota Mataram
Kab. Lombok Timur
Kab. Bima
Kab.Sumbawa Barat
Kab. Sumbawa Besar
Kab.Lombok Utara
Provinsi
Kab. Dompu
Kota Bima
Kab.Lombok Barat
Kab. Lombok Tengah
2
3
3
4
4
5
6
7
7
10
10
Jumlah kasus Berdasarkan Lokasi
20. - 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000
Setda Provinsi
Dinas Transmigrasi
Sekretariat Dewan Provinsi
Dishub Kominfo
Dinas Perikanan dan Kelautan
Dinas Kesehatan
Dinas Pertanian dan Peternakan
Sekretariat Dewan Kab/Kota
Dinas PU Kab/Kota
DPPKAD
Swasta BUMN/BUMD
Dinas PU Provinsi
Dinas Pendidikan
Dinas Pendapatan Provinsi
Setda Kab/Kota
107
341
442
500
750
916
1,100
1,600
1,600
1,600
2,200
5,980
6,023
10,580
58,707
Miliar
Nilai Kerugian Negara Menurut Institusi
22. Fokus Strategi-Aksi PPK NTB
Cara Berfikir
Beban & Ekspetasi : Perintah Presiden,
Kapasitas-resources, Ekspetasi Publik
Fokus pd struktur & sistem, ketimbang sub-
sistem
Integratif: keterpaduan antar sistem-aktor-
sumber daya
Faktor Pengungkit: perubahan yang lebih
luas. >Pesan yg jelas : Siapa yg korup akan
diproses hukum (sanksi tegas|)
Piloting pada beberapa Bidang/Sektor (sub-
sistem)
Pemajuan: Partisipasi Masyarakat
Peran Trigger Provinsi terhadap Kab/kota
23. Fokus Aksi PPK NTB
Sistem Administrasi Pemerintahan
Tata Kelola Keuangan Publik
Pelayanan Publik
Keterbukaan Informasi Publik
Dukungan bg Pemkab/Pemkot di NTB
Piloting pd Bbrp Sektor+Penetapan Zona
Integritas
Pemajuan: Partisipasi Masyarakat
Share Values & knowledge
Strategic Agenda: Strada PPK Jk
Menengah Prov NTB (Pergub-2013/2014)
24. Sistem Administrasi Pemerintahan
Mekanisme Pengangkatan & Promosi
Pejabat-lebih terbuka
Efektivitas Laporan Kekayaan Pejabat &
PNS>Review & Pendalaman cakupan, uji klinis
periodik, publikasi, Contoh Sanksi tegas.
Orientasi pengembngan sistem sendiri atas
dukungan KPK
Pengawasan transaksi & Penyembunyian:
Pengawasan “Rekening Liar” dan “Rekening
Gendut” Pejabat/PNS>koordinasi dg PPATK
Penerapan Sanksi yg lbh tegas bg Pejabat
Korup>sistem intern Pemda, koord dg BPK &
APH u pelaporn.+proses hkm. Tsk-non-aktif,
inkrah-pemecatan.
25. Sistem Administrasi Pemerintahan
(Lanjutan)
Pemantapan sistem u perluas dan
permudah akses informasi di semua
level pemerintahan
Dukungan “administratif” bagi APH &
koordinasi dgn pihak lain terkait (BPK,
PPATK, OMBUDSMAN, KPK, dlsb)
Award untuk Pejabat Bersih & Masy
26. Tata Kelola Keuangan Daerah
Pemantapan sistem adm keuangan daerah
Penerapan Sistem Aplikasi Pengendalian
Anggaran & Monitoring Proyek>Proyek
numpuk pada akhir tahun
Perhatian khusus pada pengelolaan dana
Hibah (trmsk sumber dana hibah), Bantuan
Keuangan dan Bansos
Perhatian Khusus pada pengelolaan asset
tetap daerah dan kerjasama pengelolaan
asset dg pihak ke-3
Perhatian khusus pada pengelolaan BUMD,
investasi daerah
BERTINDAK BERBEDA untuk mendapatkan
HASIL yang BEDA
27. Pelayanan Publik
Review & Pemantapan sistem pelayanan
publik-Integrasi antar bbrp kegiatan
pelayanan terkait (Rumpun pelayanan)
Pengendalian & pengawasan Proses,
sistem insentif (+-) memperbaiki
transparansi & informasi pelayanan,
mekanisme komplain (intern+ekstern) &
resolusi masalah, publikasi
penyalahgunaan jabatan-kerjasama dg ORI
(Perwakilan NTB)
Award : Personal+instansi/lembaga
pelayanan publik & Masy.
28. Pelayanan Publik (Lanjutan)
Piloting Perbaikan Pelayanan Publik (korupsi sub-sistem)
Pendidikan (DAK, BOS,
Penerimaan Siswa Baru)
Kesehatan (Pengadaan Obat +
Alkes, Data Penerima Skim
Jaminan Kesehatan, Pelayanan
Kesehatan yang Berkualitas)
Perijinan Usaha
Pertanahan
Ketenagakerjaan
29. Pendidikan + Budaya Anti Korupsi
Pendidikan>Kelompok Sasaran:
Pengusaha-Kode Etik Bisnis). Asosiasi
Profesi-Kode Etik Profesi (Akuntan, Notaris,
Advokat, Konsultan Pajak), Masy
(Agama+Budaya, institusi pendidikan),
Jurnalis/Media Massa, Birokrasi
Kampanye Antikorupsi & Strategi
komunikasi, Informasi & edukasi yg
terintegrasi
Publikasi Praktek terbaik
Diseminasi antikorupsi oleh masy (CSO,
30. MONEV PPK & Partisipasi Masyarakat
Cakupan
UNTUK DUKUNG
PELAPORAN & PUBLIKASI
Kebijakan/aturan main Monev di Pemda
Kerangka & Mekanisme Kerja
Sarana & Prasarana
Perluas dan Permudah Akses Informasi di
SKPD terkait
Menyerap masukan publik & feedback
31. Monev PPK & Partisipasi Masyarakat
Kelembagaan
Notes de l'éditeur
Dari enam strategi Stranas PPK, banyak pihak memplot bahwa yang relevan dilaksanakan di daerah hanya tiga strategi yakni Pencegahan, Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi dan Monev PPK. Namun ada baiknya memberikan tekanan tertentu pada strategi penegakan hukum agar bisa keterpaduan pemberantasan korupsi di daerah. Titik tekan yang bisa dilakukan adalah pada adanya “dukungan administratif” dari Pemda kepada Aparat Penegak hukum (APH).
Dari framework yang disusun Johnston (1987) dapat dijelaskan bahwa korupsi di satu sisi terjadi karena ketimpangan relasi antara negara dan masyarakat (aksesibilitas pada arena politik dan independensi dari elit politik). Di sisi lain, korupsi merupakan hubungan atau kaitan antara penguasaan sumber daya dan kekuasaan.
Fragmented patronage (1)
Kekuasaan dan pengaruh elit politik maupun elit kepentingan masih terbatas. Hal ini disebabkan karena dalam arena politik terdapat banyak pemain dengan ‘kekuatan’ relatif sama. Kondisi ini biasa terjadi pada masa transisi politik.
Corrupt Dictator (2)
Elit Politik telah mengkonsolidasikan kekuasan (oligarki) sehingga memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan mempunyai kontrol yang kuat ke dalam masyarakat. Korupsi yang terjadi menjadi sistemik serta merajalela di semua sektor dan tingkatan tanpa mekanisme kontrol publik.
Interest Group Controlled (3)
Kelompok kepentingan mempunyai posisi tawar yang kuat dan menggunakan sumber daya (ekonomi) untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan. Pada model ini, elit politik lemah dan bergantung kepada kelompok kepentingan guna membiayai aktivitas politiknya. Kondisi ini jamak dijumpai di negara-negara yang bercirikan demokrasi liberal.
Patronage Collaboration (4)
Batas antara negara dan sektor privat tidak jelas. Kolaborasi antara elit politik dan sektor privat tidak jelas. Kolaborasi antara elit politik dan kelompok kepentingan menjadikan korupsi tidak hanya sistemik tapi juga menjadi legal.
Ketika saluran aspirasi dan kepentingan dalam sistem politik tidak dapat digunakan, publik (dan dalam kasus tertentu—kekuatan politik) cenderung menggunakan jalur hukum.
Dari bagan itu, dibandingkan dengan relasi kuasa sebagaimana diintrodusir dalam UU No. 22/1999, secara umum dapat dikatakan kuasa menjadi lebih tersebar. DPRD yang sebelumnya memiliki bargaining position (posisi tawar) cukup tinggi, baik terhadap eksekutif (kepala daerah) maupun terhadap partai politik, sekarang memiliki posisi yang cenderung sejajar dengan eksekutif (kepala daerah), sementara kontrol partai terhadap anggota dewan sekarang mulai dapat berfungsi dengan adanya kewenangan untuk melakukan recalling. Disisi lain, menguatnya kontrol partai terhadap anggota dewan juga dibarengi dengan menguatnya posisi partai terhadap kepala daerah, karena partailah yang memiliki hak untuk mencalonkan kepala daerah.
Situasi ini juga memperlihatkan bahwa pergeseran yang ada hanya terjadi berkaitan dengan relasi antar tiga pihak, yakni Kepala daerah-DPRD-Partai politik. Sementara pada sisi yang lain, khususnya posisi masyarakat terhadap ketiga pihak tersebut, belum mengalami perubahan yang berarti.
Memang, dengan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung, seolah-olah kontrol masyarakat terhadap kepala daerah diandaikan semakin kuat, namun dengan proses pencalonan oleh partai, kepala daerah sebenarnya lebih mewakili keinginan partai, terlebih lagi dengan minimnya kerangka akuntabilitas yang telah dibangun bagi pola hubungan kepala daerah dengan masyarakatnya.
Belakangan, setelah terbukanya peluang jalur pencalonan independen seharusnya dapat memberikan ruang untuk meningkatkan kontrol langsung masyarakat (pemilih) terhadap kandidat kepala daerah terpilih (seandainya calon “independen” itu terpilih). Namun kecenderungan di beberapa daerah menunjukkan belum efektifnya jalur ini untuk digunakan mengingat belum adanya perbaikan dalam praktek representasi masyarakat. Umumnya, hadirnya jalur independen yang dapat dimaknai sebagai jalur alternatif untuk grup politik yang tidak memiliki akses untuk ikut mencalonkan diri melalui jalur partai akibat praktek oligarki sebagian besar partai, kembali lebih banyak digunakan oleh grup-grup politik yang tersingkir dari proses pencalonan di partai tertentu.
Minimnya mekanisme kontrol masyarakat juga dapat dilihat dalam dua sisi lainnya, yakni menyangkut kontrol terhadap partai politik dan DPRD. Dengan sistem nomor urut yang berlaku dalam Pemilu legislatif (Pemilu 2004) atau sistem suara terbanyak namun harus memenuhi syarat minimal BPP (Pemilu 2009), anggota DPRD lebih kental mewakili aspirasi partai. Hal ini juga dibarengi dengan minimnya kerangka akuntabilitas dewan kepada masyarakat. Hal yang juga belum berubah hingga sekarang, dengan kondisi partai di daerah yang umumnya merupakan partai semu (quasy-party) sangat sulit membayangkan adanya kontrol masyarakat (konstituen) terhadap kebijakan-kebijakan partai.
Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam pola relasi era UU. No. 32/2004 ini partai politik menempati posisi sebagai penentu arah perkembangan dinamika politik sehingga menjadi pihak yang memiliki peluang cukup besar untuk mempengaruhi relasi-relasi pada sisi lainnya. Sementara di sisi lain, kepala daerah akan menjadi pihak yang paling ”terjepit”. Pasalnya, hampir semua tekanan, baik dari publik, partai dan --dalam batas tertentu-- dewan, akan mengarah kepada kepala daerah.
Pergeseran struktur relasi-kuasa ini sangat penting untuk dicermati karena dengan berubahnya struktur relasi-kuasa ini, maka pola dan locus transaksi (dan konflik) politik juga bisa diduga akan berubah/bergeser, mengikuti pergeseran relasi-kuasa yang terjadi. Namun, tentu saja perlu digarisbawahi bahwa pentas yang dimainkan di panggung politik, juga bergantung pada setting sosial-politik setempat yang menjadi backgroundnya. Karena para pemain cenderung akan mencari jalan keluar, baik dengan cara mensiasati jalur legal yang tersedia maupun melalui jalur extra-legal, yang memungkinkan paradigma politik yang mereka pandang layak dapat dipraktekkan dengan leluasa, atau dalam bahasa lain, aktor-aktor/grup-grup politik akan mensiasati peluang lingkungan (eksternal) tersedia dengan mempertimbangkan kondisi kapasitas internal yang mereka memiliki untuk mendapatkan keuntungan dalam kompetisi politik lokal.
>Akibat Sistem Politik Lokal yang Berlaku dan Setting Politik Khas NTB-Pengawasan oleh DPRD dan Kontrol Publik lemah.
Kerangka Analisis Korupsi Berlapis Tiga (menurut GJ Aditjondro):
Korupsi Lapis Pertama, berupa suap (bribery) dimana prakarsa datang dari warga yang membutuhkan bantuan pejabat tertentu dan pemerasan (extortion) dimana prakarsa datang dari pejabat publik.
Korupsi Lapis Kedua, berupa nepotisme diantara mereka yang punya hubungan darah dengan pejabat publik, kronisme diantara mereka yang tidak punya hubungan darah dengan pejabat publik, dan korupsi di lingkaran “kelas baru”, terdiri dari semua kader pemerintah dan keluarga mereka yang menguasai semua pos basah, pos ideologis dan pos yuridis penting.
Korupsi Lapis Ketiga, berupa jejaring (chabal) yang bisa bercakup regional, nasional, maupun internasional, yang meliputi unsur pemerintahan, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum.
Pointer2 ini dihasilkan dari analisis berita media massa lokal. Meski demikian masih ada beberapa persoalan yang lebih khusus terkait korupsi, misalnya:
menyangkut Divestasi PT NNT : Proses Divestasi I dan Pembentukan PT DMB tanpa dasar Hukum (tak sepengetahuan DPRD NTB), Selisih Harga Divestasi, Dana CSR PT NNT; Proses Divestasi II.
Distribusi Dana DBH-CHT (cukai tembakau).
Bantuan dana Bergulir di Sektor Koperasi-UKM
-dlsb
Sebenarnya, sudah banyak upaya dilakukan oleh Pemprov untuk memperbaiki kondisi pengelolaan keuangan daerah dengan mengikuti saran-saran yang telah disampaikan oleh BPK. Hasilnya, LHP Keuangan Tahun 2011 mendapat Opini WTP.
Meski demikian, menyimak beberapa pemberitaan di media massa lokal dan beberapa dokumen hasil pemeriksaan BPK RI (Audit Kinerja, Audit dengan Tujuan Tertentu) masih diperlukan kerja keras untuk memperbaiki pengelolaan Keu Daerah.
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Menurut Penjelasan Plh. Kepala BPK Perwakilan NTB baru-baru ini, pihaknya tdk punya wewenang untuk mengeluarkan dokumen Laporan hasil pemeriksaannya dan menyampaikan laporan temuan yang terindikasi pidana kepada APH.
SOMASI NTB, NGO Antikorupsi di NTB memantau kasus Korupsi yang diproses di jalur hukum, berbasis data pemberitaan media massa, data kejaksaan, data kepolisian, dan data pengadilan.
Untuk pandangan tentang luas penyebaran korupsi lihat John Girling.
Panduan terbaik untuk memberantas korupsi sejauh ini adalah yang diintrodusir oleh Prof. Klitgaard.
Kelembagaan yang disarankan:
-Laporan akhir Monev tetap menjadi domain/wewenang Bappeda
-Sebaiknya ada unit/komite khusus, yang berperan sebagai gate-keeper untuk tujuan: partisipasi, validasi, dan legitimasi hasil monev. Diusulkan anggota komite/unit berasal dari : Staf Bappeda (Bag Sosbud), Inspektorat, BPKP dan Representasi Masyarakat.
Proses share values & knowledges dilaksanakan dalam setting forum Anti Corruption-pertemuan periodik stakeholder daerah untuk tukar menukar knowledges dari upaya (aksi) PPK yang telah dilakukan, berupa Best Practices, Bad Practices, atau studi independen. Upaya ini juga dapat melibatkan pihak2 terkait di tingkat nasional maupun internasional untuk menyerap pembelajaran. Share nilai juga akan terjadi secara tidak langsung.
Akuntabilitas pelaksaan Aksi PPK kiranya juga bisa dishare disini, meski harus ada keterpaduan dengan kegiatan komunikasi, kampanye dan informasi untuk memastikan adanya share nilai dan legitimasi, serta kepemilikan publik.
Yang jauh lebih penting adalah pengelolaan knowledge yang diperoleh dalam forum2 sejenis yang selanjutnya dapat berkontribusi untuk pemantapan aksi PPK, maupun penyusunan Rencana Strategis Daerah PPK Jangka Menengah.