1. Jakarta, 26 Desember 1967
Herman yang baik,
Saya tidak tahu apa sebabnya, tetapi makin lama saya
merasa bahwa saya makin jauh dari kawan-kawan.
Kesibukan–kesibukan di Senat membuat saya jarang
menghadapi mereka sebagai individu, selalu menghadapi
kawan-kawan sebagai manusia dalam fungsinya, saya
merasa timbul jarak yang dahulu tidak terasa.Dan saya
kira kawan-kawan juga kurang membantu saya untuk
mengisi jarak yang ada, kecuali beberapa orang. Saya
merasa
bahwa
teman-teman
Mapala
diam-diam
menyerang saya. Mereka tidak mau berterus terang,
tetapi mengecam dari belakang. Saya tidak mau perduli
di sini, mungkin saya sombong karena kejujuran saya
yang saya berikan kepada mereka, rasanya dibalas
2. dengan gosip. Soal cap, soal katanya saya terlalu banyak
membuat acara dengan orang luar (Rosita, Imada), soal
kecil-kecil lain. Yang membuat saya sedih adalah
mereka tak mau berterus terang.
Saya
melihat
semua
ini
adalah
sebagai
“pemberontakan generasi”. Saya kira saya terlalu
dominan dan secara instingtif, mereka juga ingin
berprestasi, tetapi ”Sinar” mereka ditutup oleh “Mega”
saya. Tetapi sayangnya mereka kurang berterus terang dan
ini memedihkan hati saya. Tetapi saya mau mengerti. Ada
saatnya saya harus muncul, dan kini tiba saatnya saya
untuk mundur. Dan dimana saya mungkin ingin
menonton dari jauh pertumbuhan kawan-kawan kita.
Mungkin mereka akan tumbuh dan lebih besar dari generasi
kita yang ditempa dalam tahun-tahun yang sulit.
3. Faktor lain yang membuat saya merasa “sendiri”
sekarang adalah bahwa saya makin tidak dimengerti
oleh kawan-kawan. Mereka mengeluh bahwa saya keras
kepala. Mungkin keluhan mereka benar. But I can’t
change my personality. Saya tidak mau merubah
pendirian-pendirian saya selama saya merasa bahwa
pendirian saya benar. Dan saya tidak mau menjadi
manusia massal, yang sikap pribadinya ditentukan oleh
poster, slogan dan intimidasi. Barangkali orang-orang
seperti saya hanya bisa muncul saat-saat krisis. Sesudah
itu masyarakat membutuhkan pemimpin yang lebih lunak.
Dan mereka tidak berpikir kreatif, terlalu pragmatis.
Kadang-kadang saya takut memikirkan masa depan.
Minggu-minggu ini saya banyak berpikir. Lebih-lebih
sejak saya pulang dari gunung. Mungkin karena kurang
pekerjaan dan saya mencoba mengadakan introspeksi
4. pada diri saya sendiri. Tidak ada perasan sedih, tak ada
perasaan menyesal, ya tidak ada perasan apa-apa. Seolahseolah semuanya bagai angin dingin yang menggigilkan.
Tapi saya tak punya pilihan lain kecuali menerimanya.
Saya tak punya kegairahan seperti setahun yang lalu.
Mungkin saya terlalu lelah dan ingin menyelesaikan skripsi
saya. Mungkin juga semuanya ini semacam tanda
bahwa dunia saya telah berlainan dengan dunia temanteman yang lebih muda. Di pintu rasanya telah mengetuk
suara-suara halus yang menyilahkan saya untuk
meninggalkan dunia yang begitu lama saya gauli.
Bersama tertawa, bertengkar, ngobrol, dan lain-lainnya.
Saya akan hadapi semuanya.
Mungkin surat ini agak aneh untukmu. Dan mungkin
surat seperti ini tidak kamu harapkan. Kalo demikian
5. maafkan, saya hanya sekedar mengeluh pada kamu.
Selamat bekerja dan sampai lain kali.
Soe Hok-gie
6. maafkan, saya hanya sekedar mengeluh pada kamu.
Selamat bekerja dan sampai lain kali.
Soe Hok-gie