Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang otonomi daerah dan dikotomi antara desa dan kota dalam perekonomian di Indonesia.
2) Terdapat perbedaan antara desa dan kota dalam hal morfologi, jumlah penduduk, lingkungan hidup, mata pencaharian, dan corak kehidupan sosial.
3) Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat mengurangi dikotomi antara desa dan k
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi,
otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi
Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah,
lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat
awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah”
menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan
persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan
perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah
digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Masyarakat adalah sebuah kelompok individu yang diorganisasikan dan
mengikuti cara hidup dan peraturan yang harus dipatuhi dimana individu itu tinggal.
Sebuah kelompok masyarakat akan mengikuti peraturan yang sudah menjadi
kebiasaan di lingkungan mereka atau akan mematuhi sebuah aturan yang sudah lama
berlaku di lingkungan mereka. Semua manusia bersaudara dan kita semua sama. Yang
membedakan diri kita dengan individu lain atau orang lain adalah jalan pikiran kita.
Kelompok masyarakat yang tinggal disatu tempat yang jauh dari keramaian
kota tentu akan berbeda dengan kelompok masyarakat yang tinggal dikeramaian kota
yang penuh dengan kemajuan teknologi dan derasnya informasi yang masuk ke jalan
pikiran kelompok masyarakat tersebut. Hal ini sudah dibuktikan diberbagai negara
belahan dunia. Bukti yang sangat jelas adalah diberbagai negara pasti terdapat suku
asli atau penduduk asli yang tinggal di pedalaman yang masih memiliki kepercayaan
kepada leluhur mereka dan mereka masih memakai peraturan yang sudah lama
mereka pakai sejak nenek moyang mereka hingga sekarang. Hal ini disebabkan
1
2. karena kehidupan mereka jauh dari segala informasi tentang kemajuan jaman
sehingga mereka tidak tahu apa-apa tentang kehidupan diluar.
Indonesia adalah Negara berkembang di mana desa-desa masih mempunyai
peranan yang sangat penting bagi kehidupan di kota. Jadi keduanya menjadi daerah
pendorong berkembangnya Negara Indonesia. Kota dan desa mempunyai peran yang
sama. Namun desa dan kota mempunyai banyak perbedaan baik dari segi fisik
maupun dari segi sosial. Dari segi fisik misalnya bentuk dan tata ruang. Sedangkan
dari segi sosial misalnya sumber ekonomi keluarga, interaksi sosialnya, gaya hidup
dan masih banyak lagi yang lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat kita ketahui bahwa pelaksanaan otonomi
daerah yang menuntut nilai ekonomi dan social mempunyai dampak terhadap
dikotomi perekonomian.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini dibuat adalah untuk mengetahui:
1. Otda dan dikotomi antara desa-kota dalam perekonomian.
2. Pelaksanaan Otda yang menuntut nilai ekonomi dan social serta dampaknya
terhadap dikotomi perekonomian.
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Dalam setiap penulisan makalah tentu saja terdapat manfaat dari
materi/pembahasan. Di dalam makalah yang kami buat ini pun memiliki beberapa
manfaat. Sesuai dengan judulnya yaitu Otda Dan Dikotomi Antara Desa-Kota
Dalam Perekonomian, tentu manfaat yang terkandung adalah :
Mengetahui pelaksanaan otda yang menuntut nilai ekonomi dan social.
Mengetahui kelemahan dan kelebihan sistem otda dan dikotomi antara desa-kota
dalam perekonomian yang di terapkan di Indonesia.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan
Otonomi Daerah
Memahami dampak dari pelaksanaan otda terhadap dikotomi perekonomian.
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otda Dan Dikotomi Antara Desa-Kota Dalam Perekonomian
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan
masyarakat
setempat
menurut
aspirasi
masyarakat
untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga
sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara
memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung
jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber
potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Dikotomi kota dan desa dalam perencanaan pembangunan merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindari. Bahkan dikotomi tersebut diarahkan pada tercapainya
kesesuian tindakan pembangunan terhadap kebutuhan desa maupun kota dalam
memenuhi fungsi optimalnya. Kota sebagai pusat aglomerasi kegiatan ekonomi
dan sosial, memiliki tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Kota didukung
dengan pembangunan fisik yang juga lebih intens dalam mendukung efisiensi
kegiatan perkotaan. Disisi lain, daerah yag bukan perkotaan disebut sebagai
perdesaan sehingga dapat didefinisikan bahwa di daerah inilah tingkat kepadatan
pendududk diperkirakan lebih rendah daripada perkotaan. Kegiatan ekonomi dan
sosial pun jauh lebih sedikit. Pembangunan fisik juga tidak intensif.
3
4. 2.2 Dikotomi Kota Dan Desa
Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya
bersifat gradual. Kita dapat membedakan antara masyarakat desa dan masyarakat
kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya
sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses
sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula.
Kota dan desa tidak lagi dapat didasarkan pada pengetahuan seperti keadaan
geografis, aktivitas ekonomi, politik atau sistem sosial dan budaya, di mana kota
identik dengan segala hal yang berbau modernitas, sementara desa itu tradisional.
Bisa jadi benar beberapa tahun ke belakang, namun dikotomi kota-desa secara
sosiologis itu di abad globalisasi sekarang tidaklah semudah kriteria-kriteria
tersebut di atas.
Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk
membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan-perbedaan yang
ada mudah-mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah
suatu masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat pedesaan atau masyarakat
perkotaan.
Ciri-ciri tersebut antara lain :
1. Aspek Morfologi
Menurut Sapari Imam Asy’ari (1993), dari aspek morfologi, antara kota dan
pedesaan terdapat perbedaan bentuk fisik, seperti cara membangun bangunanbangunan tempat tinggal yang berjejal dan mencakjar langit (tinggi) dan serba kokoh.
Tetapi pada prakteknya criteria tersebut sukar dipakai pengukuran, karena banyak kita
temukan di bagian-bagian kota tampak seperti desa misalnya di daerah pinggiran kota,
sebaliknya terdapat juga desa-desa yang mirip dengan kota. Jika di daerah kota
banyak gedung-gedung pencakar langit dan rumah penduduk yang sangat rapat, di dea
lebih pada pemanfaatan lahan atau tanah oleh penduduk atau masyarakat yang lebih
agraris, serta bangunan rumah tinggal yang terpencar (jarang).
2. Jumlah Dan Kepadatan Penduduk
Dari aspek jumlah penduduk, maka desa didiami oleh sejumlah kecil
penduduk dengan kepada yang rendah.( Sapari Imam Asy’ari (1993)). Dari aspek
jumlah penduduk secara praktis dapat membedakan antara kota dan desa. Jumlah
penduduk kota lebih banyak jika di bandingkan di desa. Jumlah penduduk kota
semakin banyak Karena pertambahan secara alami dan juga karena adanya urbanisasi
4
5. penduduk desa ke kota. Sedangkan didesa semakin kekurangan pekerja lahan
pertanian karena banyak dari golongan pemuda di desa yang pergi ke kota untuk
berbagai tujuan, misalnya untuk sekolah ataupun bekerja. Pertambahan penduduk
yang cepat di kota tentu akan mengakibatkan adanya kepadatan penduduk yang tinggi
pula sedangkan luas lahan tidak bertambah.
3. Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup di pedesaan sangat jauh berbeda dengan di perkotaan.
Lingkungan kota lebih kurang sehat jika dibandingkan dengan yang ada di lingkungan
desa seperti yang di ungkapkan oleh Drs. N. Daldjoeni: “Disimpulkan para peririset
kesehatan kota bahwa persentasi korban dari pencemaran di kota melebihi yang ada di
pedesaan. Di perkotaan persediaan banyaknya air bagi keluarga-keluarga bergantung
pada tinggi rendahnya penghasilan”. Lingkungan pedesaan terasa lebih dekat dengan
alam bebas. Udaranya bersih, sinar matahari cukup, tanahnya segar diselimuti
berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan berbagai satwa yang terdapat di sela-sela
pepohonan, di permukaan tanah, di rongga-rongga bawah tanah ataupun berterbangan
di udara bebas. Air yang menetes, merembes atau memancar dari sumber-sumbernya
dan kemudian mengalir melalui anak-anak sungai mengairi petak-petak persawahan.
Semua ini sangat berlainan dengan lingkungan perkotaan yang sebagian besar
dilapisi beton dan aspal. Bangunan-bangunan menjulang tinggi saling berdesakdesakan dan kadang-kadang berdampingan dan berhimpitan dengan gubug-gubug liar
dan pemukiman yang padat. Udara yang seringkali terasa pengap, karena tercemar
asap buangan cerobong pabrik dan kendaraan bermotor. Hiruk-pikuk, lalu lalang
kendaraan ataupun manusia di sela-sela kebisingan yang berasal dariberbagai sumber
bunyi yang seolah-olah saling berebut keras satu sama lain. Kota sudah terlalu banyak
mengalami sentuhan teknologi, sehingga penduduk kota yang merindukan alam
kadang-kadang memasukkan sebagian alam ke dalam rumahnya, baik yang berupa
tumbuh-tumbuhan, bahkan mungkin hanya gambarnya saja.
4. Mata Pencaharian
Perbedaan paling menonjol adalah pada mata pencaharian. Kegiatan utama
penduduk desa berada di sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris. Kehidupan
ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan
pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sedangkan kota merupakan
pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, di samping
sektor ekonomi tertier yaitu bidang pelayanan jasa.
5
6. Kegiatan di desa adalah mengolah alam untuk memperoleh bahan-bahan
mentah, baik bahan kebutuhan pangan, sandang maupun lain-lain bahan mentah untuk
memenuhi kebutuhan pokok manusia. Sedangkan kota mengolah bahan-bahan mentah
yang berasal dari desa menjadi bahan-bahan asetengah jadi atau mengolahnya
sehingga berwujud bahan jadi yang dapat segera dikonsumsikan. Dalam hal distribusi
hasil produksi ini pun terdapat perbedaan antara desa dan kota. Di desa jumlah
ataupun jenis barang yang tersedia di pasaran sangat terbatas.
5. Corak Kehidupan Sosial
Corak kehidupan sosial di desa dapat dikatakan masih homogen. Sebaliknya di
kota sangat heterogen, karena di sana saling bertemu berbagai suku bangsa, agama,
kelompok dan masing-masing memiliki kepentingan yang berlainan.
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan
lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan
lainnya. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan
penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian,
walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat
gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di
samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja.
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang
peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada
kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah
pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai,
ajengan, lurah dan sebagainya.
6. Stratifikasi Sosial
Beranekaragamnya corak kegiatan di bidang ekonomi berakibat bahwa sistem
pelapisan sosial (stratifikasi sosial) kota jauh lebih kompleks daripada di desa.
Misalnya saja mereka yang memiliki keahlian khusus dan bidang kerjanya lebih
banyak memerlukan pemikiran memiliki kedudukan lebih tinggi dan upah lebih besar
daripada mereka yang dalam sistem kerja hanya mampu menggunakan tenaga
kasarnya saja. Hal ini akan membawa akibat bahwa perbedaan antara pihak kaya dan
miskin semakin menyolok.
7. Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial di kota jauh lebih besar daripada di desa. Di kota, seseorang
memiliki kesempatan lebih besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertikal
6
7. yaitu perpindahan kedudukan yang lebih tinggi atau lebih rendah, maupun horisontal
yaitu perpindahan ke pekerjaan lain yang setingkat.
Namun di desa kesempatan mobilitas sosial lebih sedikit, hal ini disebabkan
karena karakter sosial penduduk desa lebih homogen. Misalnya dalam pekerjaan.
Mayoritas penduduk desa bekerja sebagai petani.
8. Pola Interaksi Sosial
Pola-pola interaksi sosial pada suatu masyarakat ditentukan oleh struktur
sosial masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan struktur sosial sangat dipengaruhi
oleh lembaga-lembaga sosial (social institutions) yang ada pada masyarakat tersebut.
Karena struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada di pedesaan sangat
berbeda dengan di perkotaan, maka pola interaksi sosial pada kedua masyarakat
tersebut juga tidak sama. Pada masyarakat pedesaan, yang sangat berperan dalam
interaksi dan hubungan sosial adalah motif-motif sosial.
Dalam interaksi sosial selalu diusahakan agar kesatuan sosial (social unity)
tidak terganggu, konflik atau pertentangan sosial sedapat mungkin dihindarkan jangan
sampai terjadi. Bahkan kalau terjadi konflik, diusahakan supaya konflik tersebut tidak
terbuka di hadapan umum. Bila terjadi pertentangan, diusahakan untuk dirukunkan,
karena memang prinsip kerukunan inilah yang menjiwai hubungan sosial pada
masyarakat pedesaan, karena masyarakat ini sangat mendambakan tercapainya
keserasian (harmoni) dalam kehidupan berinteraksi lebih dipengaruhi oleh motif
ekonomi daripada motif-motif sosial.
9. Solidaritas Sosial
Dari segi sikap masyarakat desa jauh lebih dapat bersosialisasi dibandingkan
dengan masyarakat dikota. Masyarakat didesa lebih berkerabat antara satu dengan
yang lainnya. Karena didesa yang paling penting adalah saling membantu, saling
menolong, saling menghargai dan menghormati dan saling pengertian.hal-hal itulah
yang menjadikan masyarakat didesa jauh lebih dapat bersosialisasi dibandingkan
dengan masyarakat dikota. Masyarakat dikota banyak yang kurang dapat
bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungan sekitar mereka. Hal ini dibuktikan di
kota banyak perumahan yang mendirikan pagar setinggi 2 meter lebih sehingga
banyak masyarakat yang tidak mengetahui siapa yang tinggal di rumah tersebut.
Masyarakat di perkotaan banyak yang lebih suka menyendiri doibandingkan
berkumpul antar tetangga. Hal inilah yang membedakan masyarakat desa dan
masyarakat kota dalam bersosialisasi antar masyarakat sekitar di lingkungan mereka.
7
8. 10. Kedudukan Dalam Hierarki Sistem Administrasi Nasional
Di samping motif ekonomi, maka motif-motif nasional lainnya juga banyak
mempengaruhi kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional, misalnya saja
politik, pendidikan, kadang-kadang juga dalam hierarki sistem administrasi nasional,
maka kota memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada desa. Di negara kita
misalnya, urut-urutan kedudukan tersebut adalah: ibukota negara, kota propinsi, kota
kabupaten, kota kecamatan, dan seterusnya. Semakin tinggi kedudukan suatu kota
dalam hierarki tersebut, kompleksitasnya semakin meningkat, dalam arti semakin
banyak kegiatan yang berpusat di sana.
Kompleksitas di bidang administrasi nasional atau kenegaraan ini biasanya
sejajar dengan kompleksitas di bidang kemasyarakatan lainnya, misalnya saja bidang
ekonomi atau politik. Jadi ibukota Negara di samping menjadi pusat kegatan
pemerintahan, biasanya sekaligus menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik dan
bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Belum ada angka yang pasti mengenai jumlah
pengangguran penuh di Indonesia, tetapi jumlah setengah pengangguran semakin
lama semakin meprihatinkan.
Perbedaan desa dan kota secara kualitatif
Masih banyak ahli yang membahas perbedaan kota dan desa selain yang sudah
dipaparkan di atas. Prof Drs. Bintarto menjelaskan perbedaan antara masyarakat kota
dan desa (urban dan rurals) secara kualitatif seperti yang ada dalam tabel berikut:
No
Unsur-unsur
Desa
Kota
perbedaan
1
Mata pencaharian
Agraris-homogen
Non
agraris-
heterogen
2
Ruang kerja
Lapangan terbuka
Ruang tertutup
3
Musim/cuaca
Penting dan menentukan
Tidak penting
4
Keahlian/keterampilan
Umum dan tersebar
Ada spesialisasi
5
Rumah
dan
tempat Dekat
Berjauhan
kerja
6
Kepadatan penduduk
Tidak padat
Padat
7
Kontak sosial
Frekuensi kecil
Frekuensi besar
8
Stratifikasi sosial
Sederhana dan sedikit
Komplek
8
dan
9. banyak
9
Lembaga-lembaga
Terbatas dan sederhana
Banyak
dan
kompleks
10
Control sosial
Adat/tradisi
Hokum/peraturan
tertulis
11
Sifat
kelompok Gotong
royong
akrab Geselfschalf
masyarakat
(gemeinschalf)
12
Mobilitas
Rendah
Tinggi
13
Status sosial
Stabil
Tidak stabil
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Otonomi Daerah
Berikut adalah kelebihan dan kelemahan otonomi daerah yang dapat dihimpun
oleh penulis sebagai berikut:
A. Kelebihan:
1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan
2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan
tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari
Pemerintah pusat.
3. Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan
pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu.
Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri
pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
4. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang
ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang
kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena
itu dapat lebih muda untuk diadakan.
5. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
6. Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan
memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
9
10. B. Kekurangan
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga
mengandung kekurangan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997)
antara lain sebagai berikut ini:
1. Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan
bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan
daerah dapat lebih mudah terganggu.
3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa
yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena
memerlukan perundingan yang bertele-tele.
5. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak
dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan
kesederhanaan.
2.4 Pelaksanaan /Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang tidak sama sekali
penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan para artis. Pengembangan suatu
daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan
daerah masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi
pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan
kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat
ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah
daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka
membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan hukum yaitu
perundang-undangan.
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek
tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian
keberhasilan.
10
11. a) Output Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Output kebijakan secara konsepsi harus diukur berdasarkan substansi
kebijakan, yang item-itemnya menggambarkan tujuan yang ingin dicapai dari
kebijakan tersebut. Namun demikian, tidak semua item tujuan kebijakan dapat
dilakukan pengukuran keberhasilan, sebab ada beberapa kebijakan public yang
tujuan akhirmya (output-nya) baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian.
Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:
1) Pertumbuhan ekonomi masyarakat
2) Fleksibilitas program pembangunan
3) Peningkatan kualitas pelayanan publik
b) Outcomes Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah:
1) Peningkatan partisipasi masyarakat
2) Efektivitas pelaksanaan koordinasi
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Desentralisasi
dan Otonomi Daerah
Berdasarkan hasil analisis lapangan dengan menggunakan indikator output
kebijakan dan outcomes kebijakan, kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi
kebijakan desentralisasi
dan otonomi
daerah belum
memberikan
hasil
sebagaimana yang diharapkan, dengan kata lain kinerja kebijakan masih relatif
rendah.
Berdasarkan kajian teori (konsep) dari para ahli kebijakan dan ahli otonomi
daerah sebagaimana telah dikemukakan di atas, serta hasil analisis di lapangan,
telah diidentifikasi bahwa ada empat variabel yang dapat menjelaskan bahwa
kinerja implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota, yaitu
aspek manajerial, aspek SDM organisasi, aspek budaya birokrasi, dan etika
pelayanan publik.
1. Aspek Manajerial
Keampuan kepemimpinan Bupati/Kepala Daerah Bupati selaku top
manajer
di
Daerah
memegang
peranan
penting
akan
keberhasilan
implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Mengingat
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masih merupakan suatu yang
baru bagi pemerintah daerah serta memiliki tujuan yang begitu luas dan
kompleks, jelas memerlukan suatu kemampuan seorang Bupati dalam
11
12. memanage agar tujuan kebijakan yang begitu luas dan komleks bisa dipahami
oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam manajemen
modern, setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas, sebagai
acuan bagi semua komponen dalam melaksanakan aktivitasnya. Visi
organisasi tersebut sedapat mungkin disosialisasikan kepada karyawan,
menjadi visi bersama yang harus diperjuangkan (Ordway Tead, 1954).
2. Aspek SDM Organisasi
Ketersediaan Sumber daya Manusia (SDM) organisasi (dinas daerah)
sangat penting dalam implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah. SDM dimaksud antara lain mencakup karyawan yang harus
mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah, dan
anjuran atasan (pimpinan). Di samping itu, harus ada ketepatan dan kelayakan
antara jumlah karyawan yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai
dengan bidang tugas yang akan dikerjakan (Salusu, 1988: 493).
3. Aspek Budaya Birokrasi
Secara nasional birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia memiliki
ciri-ciri yang hampir sama, di mana unsur paternalisme amat kental dalam
pola hubungan yang bersifat internal organisasi maupun pada tataran eksternal
organisasi. Hubungan antara bawahan dan pimpinan berada pada posisi di
mana bawahan cenderung berusaha melayani dan memuaskan atasan. Kondisi
ini secara otomatis akan mengurangi kualitas layanan yang diberikan birokrasi
kepada masyarakat sebagai pengguna jasa.
4. Aspek Politik Lokal
Perpanjangan proses politik pemerintah pusat yang berupaya
menyeragamkan semua institusi birokrasi pemerintah, baik dari segi struktur
maupun fungsinya telah menyebabkan kemacetan proses penyelesaian
masalah yang telah berlaku secara turun-temurun pada masyarakat melalui
pola musyawarah mufakat yang merupakan bentuk penerapan demokrasi
lokal.
12
13. 2.6 Dampak Positif dan Negatif Pelaksanaan Otonomi Daerah Bagi Kemajuan
Bangsa Indonesia
Jika kita tinjau lebih jauh penerapan kebijakan otonomi daerah atau
desentralisasi sekarang ini, cukup memberikan dampak positif nagi perkembangan
bangsa indonesia. Dengan adanya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah
diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur daerahnya, karena dinilai
pemerintahan daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya masing-masing.
Disamping itu dengan diterapkannya sistem desentralisasi diharapkan biaya
birokrasi yang lebih efisien. Hal ini merupakan beberapa pertimbangan mengapa
otonomi daerah harus dilakukan.
Dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan
sisi negatifnya. Begitu juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki
beberapa kelemahan dan kelebihan. Secara terperinci mengenai dampak dampak
positif dan negatif dari desentarlisasi dapat di uraikan sebagai berikut :
a. Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keutungan dari penerapak
sistem desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah
untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan
demikian apabila suber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara
maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan
meningkat.
b. Segi Sosial Budaya
Mengenai sosial budaya ini saya belum menemukan artikel
yang secara penuh membahas mengenai dampak sosial budaya. Tetapi
menurut analisis saya dengan diadakannya akan memperkuat ikatan
sosial budaya pada suatu daerah. Karena dengan diterapkannya sistem
desentralisasi ini pemerintahan daerah akan dengan mudah untuk
mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan
kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu potensi
daerah tersebut.
13
14. c. Segi Keamanan dan Politik
Dalam segi politik ini saya masih kurang begitu paham.
Menurut pendapat saya dengan diadakannya desentralisasi merupakan
suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena
dengan diterapkannya kebijakna ini akan bisa meredam daerah-daerah
yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang
merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut
NKRI). Tetapi disatu sisi otonomi daerah berpotensi menyulut konflik
antar daerah.
14
15. BAB III PENUTUP
SIMPULAN
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah
digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kota dan desa merupakan bagian dari fenomena bumi yang mempunyai
banyak perbedaan dan banyak diantaranya bertolak belakang. Perbedaan ini bisa di
kategorikan dalam dua bagian yaitu perbedaan secara fisik dan perbedaan secara
sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya yaitu:
a. Morfologi
b. Jumlah dan kepadatan penduduk;
c. Lingkungan hidup;
d. Mata pencaharian;
e. Corak kehidupan sosial;
f. Stratifikasi sosial;
g. Mobilitas sosial;
h. Pola interaksi sosial;
i. Solidaritas sosial; dan
j. Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional.
Dari tentang analisis kebijakan tentang implementasi desentralisasi dan
otonomi daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek tersebut
memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian keberhasilan.
2. Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:
a. Peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat
b. Peningkatan kualitas pelayanan public
c. Fleksibilitas program pembangunan.
15
16. 3. Outcomes kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: a)
Peningkatan partisipasi masyarakat, dan b) Efektivitas pelaksanaan koordinasi.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota:
a) Aspek manajerial
b) Aspek SDM Organisasi
c) Aspek budaya birokrasi
d) Aspek politik lokal.
5. Dilihat dari aspek output kebijakan, maka implementasi kebijakan desentralisasi
dapat dikatakan relatif berhasil. Namun dilihat dari aspek outcomes kebijakan,
ternyata
banyaknya
urusan
yang
telah
diterima
(desentralisasi)
oleh
Kabupaten/Kota justru menjadi beban berat bagi daerah. Harapan kebijaksanaan
seperti
memacu
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat
berbagai
program
pembangunan (proyek), pelaksanaannya belum efektif.
Berdasarkan wacana diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah,
maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan
mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif
dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki
kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis
mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan
berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut
kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusus
perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
16
17. DAFTAR PUSTAKA
Ahamu, Sultan. 2010. “Kelebihan Dan Kekurangan Otonomi Daerah”.
http://sultanahamu.blogspot.com (diakses 15 Desember 2012 pukul 16.25 WIB).
Bsz, Majid. 2008. “Dampak Positif Dan Negatif Otonomi Daerah Terhadap Kemajuan
Bangsa Indonesia”. http://majidbsz.wordpress.com. (diakses pada 15 Desember 2012
pukul 15.55 WIB).
Kuncoro. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan
Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Syaukani, Affan Gaffar, Ryass Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wikipedia. 2010. “Otonomi daerah di Indonesia”. http://id.wikipedia.org. (diakses pada 15
Desember 2012 pukul 15.20 WIB).
17