18. * Your main theme?
* Tell somebody about it—especially the why—
let them be your spectator.
* Do it everyday for 30 days. One day skipped,
do it all over again.
19. * Do the compulsory subthemes—decide how
long you’ll take it.
* Write about it and let people know what a
wonderful soul you are.
Golden Rule:
BE HONEST.
Hai, nama saya Indiena Saraswati. Ini Pecha Kucha pertama saya, dan saya kaget, karena waktu dibilang bahwa satu slide diperlukan waktu 20 detik saja saya merasa bahwa itu sebentar. Mudahlah, karena kalau di kelas pun saya ngga pernah lama-lama kalau presentasi, gitu. Eh, ternyata setelah liat Youtube dan nyoba sendiri, Hm, lama juga ya. Maaf ya kalau nanti agak krik krik krik. Oke, jadi Pecha Kucha ini akan tentang Happiness Project, karena itulah hal yang sedang saya lakukan saat ini.
Ini adalah Bumi tempat kita tinggal. Kita biasanya menyebutnya sebagai dunia. Saya pernah tinggal di atau sekedar mengunjungi beberapa tempat di dunia ini. Dari ujung dunia yaitu Alaska, sampai Jatinangor tempat antah berantah hehe. Tapi di mana pun saya tinggal saya ngga pernah merasa bahagia, kecuali di Alaska karena waktu itu saya masih kecil dan kita semua tau masa kecil itu masa tanpa masalah. Jadi saya bahagia. Tapi beranjak besar, saya sadar bahwa dunia adalah tempat kejam di mana semua orang berlomba-lomba untuk sesuatu yang menurut saya ngga esensial.
Kesuksesan, ketenaran, kekayaan. Masa-masa remaja saya dihabiskan untuk memikirkan bahwa dunia ini menuntut kita untuk mencapai hal-hal yang ngga hakiki. Sedangkan saya pada waktu itu hanya ingin hidup damai, penuh, dan bermakna. Sampai sekarang sih. Dulu saya banyak galau karena hati saya ngga sejalan dengan tuntutan dunia. Saya ngga ingin mengejar hal-hal yang mereka anggap penting, dan hal-hal yang saya kejar ngga dunia anggap penting. Makanya, saya banyak susahnya waktu itu. Saya bahkan banyak konflik dengan siapa pun karena ngga ngerti jalan pikiran mereka, dan sebaliknya.
Jadi saya selalu merasa sendiri dan kesepian. Selalu mempertanyakan tempat saya di dunia ini di mana, atau adakah orang-orang yang sejalan dengan pemikiran saya. Pada waktu itu, saya ngga menemukan. Jadi saya semakin lama semakin jatuh ke dalam lubang, sendirian. Gelap, pengap, diam-diam, ngga ada yang tau. Baru beberapa tahun kemudian saya menemukan istilah existential depression di Internet, dan merasa bahwa definisi tersebut mirip seperti apa yang saya rasakan. Depresi ini menemani saya selama 3 tahun, dengan insomnia, sleep apnea, dan simtom-simtom psikosomatis lain. Saya nggatau bahwa saya membutuhkan pertolongan. 4 tahun berikutnya depresi saya udah ngga eksistensial lagi, tapi depresi karena ngga bisa mengikuti tuntutan sosial.
Di tengah lubang hitam itu saya merasa saya dipanggil alam, lebih tepatnya Tuhan sih, untuk belajar psikologi aja. Udah rahasia umum ya bahwa orang-orang yang belajar psikologi dan meyakinkan dirinya ingin menolong orang lain itu adalah orang-orang yang justru membutuhkan pertolongan. Selain karena saya waktu itu kurang sehat mentalnnya, saya juga udah mempelajari (walau pun hanya bagian kecilnya aja) filsafat, kaya tentang Plato dan goanya, Sokrates, dan Aristoteles, dan saya jatuh hati pada filsafat, walau pun saya ngga mendalaminya. Saya rasa itu karena saya orangnya senang hal-hal yang puitis. Eh ternyata belajar di Fapsi Unpad ada filsafatnya, dan itu baru tau setelah masuk. Senang deh.
Selama kuliah pun saya tetap merasa ilmu-ilmu yang saya dapatkan itu ngga ada gunanya untuk kebahagiaan saya. Saya tetap merasa ngga berguna, ngga punya masa depan, ngga mungkin bangkit, dan lain-lain. Saya merasa apa pun yang saya usahakan, saya ngga akan pernah bahagia. Padahal saya waktu itu punya teman-teman, tapi saya merasa teman-teman saya ngga cukup peka atau peduli untuk memberikan dukungan sosial. Saya pun ngga kekurangan duit untuk bisa melarikan diri ke hal-hal duniawi kaya makanan, nonton film, jalan-jalan. Tapi saya tetap ngga bisa menikmati hidup saya. Saya masih berharap ada dewa (kalau bisa dalam bentuk Prince Charming) yang datang dan membuat semuanya menjadi lebih baik dalam hidup saya. Saya masih sangat ingin ditolong, dan mengutuk kenapa saya ngga ditolong walau pun saya udah jungkir-balik nolongin orang lain.
Untung saya bertahan. Karena menjelang akhir-akhir saya bisa menunaikan mimpi saya selama ini, menginjakkan kaki di daerah Pegunungan Himalaya. Tempat yang selama ini saya idam-idamkan. Dari sini saya belajar bahwa selamanya mengharapkan pertolongan itu ngga akan bisa bikin hidup saya berprogres. Ke Pakistan ini merupakan sebuah terapi besar-besaran, terapi nekat, yang lebih berguna dari pada menghabiskan waktu di ruang-ruang terapi. Hanya dalam 5 minggu saya merasakan sensai “There’s nothing I can’t do or go through in this life!” Saya menjadi lebih terbuka sama pengalaman, dan lebih terbuka sama orang lain. Karena teknik-teknik “bodo amat” “ngga tau malu” dan “muka badak” saya pelajari selama di Pakistan.
Kalau mikirnya nolong diri sendiri terus, kapan bisa nolong orang lain? Nanti kamu lupa caranya nolong orang lain, atau terlena maunya nolong diri sendiri dulu. Well, saya ngga bisa menjawab itu. Tapi saya tetap mencoba untuk melakukan apa yang orang-orang itu sentil ke saya, bahwa kaya di pesawat, sebelum pakein selang oksigen orang lain, pake dulu yang diri sendiri, biar ga mati duluan. Kalau kita merasa bisa nolong tapi kita sendiri ngga tertolong, matilah si penolong potensial itu. Satu penolong potensial mati, maka lebih banyak lagi orang yang mati. (Analogi ini dapetnya dari Kang Fajar)
Keterbukaan inilah yang membuat saya mampu menerima kode-kode yang Tuhan berikan. Dalam periode waktu yang bersamaan, orang-orang yang saya anggap keren, hebat, dan signifikan mengingatkan saya terus-menerus, bahwa jika ingin menolong, tolonglah diri sendiri dulu. Baru orang lain. Jika ingin menyayangi orang lain, sayangilah diri sendiri dulu. Saya baru merasa tersentil, bahwa memang, saya selalu ingin membantu orang lain, mungkin karena saya kasian dan tau rasanya ngga ada yang ditolongin, mungkin dengan harapan alam akan menolong saya balik. Tapi, saya ngga pernah tuh menolong diri saya sendiri sebelumnya. Selalu berharap dibaik hati-in sama alam semesta. Ada yang bilang,
Oh iya, pada masa ini saya udah mulai menggembar-gemborkan #happinessproject ini di medsos, supaya orang-orang nanyain kalau saya absen sehari aja, biar ngga lupa. Jadi inilah salah satu cara yang bisa dipakai. Yaitu nge-list hal-hal baik yang saya banggakan yang saya lakukan hari itu. List ini pribadi dan hanya untuk diri sendiri. Saya punya temboknya di kamar, penuh dengan post-it. Tapi jeleknya adalah, untuk orang yang ngga bisa berkomitmen seperti saya, makin ke sini makin sering lupa untuk melakukan hal ini. Jadi, saya bertanyalah ke Kang Fajar, gimana caranya supaya bisa menyayangi diri sendiri dan ga lupa untuk itu. Akhirnya, Kang Fajar ngasih tugas mentoring untuk nge-post proyek ini di Instagram dengan tema-tema tertentu tiap bulan. Dan saya harus menulis tentang gambar tersebut. Strategi ini ternyata bikin saya gembira melakukannya, karena 1) saya ngga merasa sombong, tapi merasa senang bisa berbagi pelajaran, dan 2) orang-orang mulai ngeh bahwa proyek ini serius, jadi saya dapet banyak dukungan sosial.
Setelah menggunakan berbagai teknik yang pernah diajarkan, sifatnya eksistensial, saya akhirnya paham bahwa saya harus sayang sama diri sendiri dulu. Love yourself! Gimana mau bahagia kalau selalu menyalahkan diri sendiri, marahin diri sendiri, kalau salah dikit aja? Gimana mau dibilang cantik sama orang kalau ngga merasa dirinya cantik? Gimana mau dihargai orang kalau ngga PD sama apa yang saya punya? Jadilah #loveyourself sebagai tema saya untuk berbahagia, dalam proyek pribadi ini. Waktu itu saya mikir, gimana ya caranya supaya saya bisa menghargai diri sendiri? Hmmm… Saya pernah melakukan satu cara, yang menurut saya cukup bisa menolong…
Happiness Project ini mirip seperti 100 Happy Days challenge. Kalau kelewatan satu hari, kaya minum obat TBC, harus ngulang lagi dari hari pertama. Bedanya, challenge-nya bersifat 30 hari, dan ada tema-tema tertentu di 30 hari itu. Tema wajib pertama adalah #grateful. Waktu dikasih tema ini saya udah bisa nebak kalau ini akan akan jadi tema pertama. Dan ternyata, tema ini adalah dasar dari segala keterbukaan kita pada kebahagiaan. Kasarnya, ini adalah teknik ngeles dari kesialan-kesialan hidup dengan cara yang elegan. Dulu saya selalu disuruh bersyukur sama orang-orang, tapi saya ngga ngerti caranya gimana. Sekarang baru saya ngerti maksudnya bersyukur itu apa, karena saya mencoba menjalaninya dengan menyenangkan dan di luar kebiasaan. Saat kita bersyukur, segala kepositifan yang kita terima ngga akan lewat begitu aja. Segala kenegatifan pun akan disyukuri, dan pelajarannya bisa diambil. Ternyata, dengan satu tema ini aja hidup saya sudah banyak berubah.
Lalu, tema kedua adalah #kindness, atau kebaikan. Sekarang saya tahu bahwa #grateful dan #kindness ini dirancang bukan karena kebetulan, tapi karena memang ada studinya, bahwa rasa bersyukur dan kebaikan adalah dua hal yang digunakan untuk intervensi penyakit mental dan cukup berpengaruh. Tapi yang kedua ngga akan berjalan dengan lancar tanpa yang pertama, sepengalaman saya. Untuk orang yang selalu melihat bahwa kebaikan itu adalah alat untuk berbalik dibaikhatikan oleh orang lain, tema ini membantu saya sadar betapa banyak hal-hal yang baik dan orang baik yang mengelilingi kita. Kitanya aja yang kurang sensitif untuk menyadari itu. Tema kedua ini membantu saya untuk lebih tulus dalam melakukan kebaikan, dan lebih tidak bodoh juga dalam menyebarkannya. Setelah kedua tema wajib ini, tema-tema berikutnya dirancang sesuai kebutuhan…
Kalau tema ketiga saya sih #beauty. Dan sejauh ini tema ini luar biasa sulit untuk saya. Hari ini adalah hari ke-24 untuk tema ini, dan sejujurnya saya masih mencari-cari dengan kurang natural, tidak seperti di dua tema pertama. Kalau untuk orang lain yang ingin ikutan, tema ini sudah mulai bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing orang. Kang Fajar sepertinya ngeh bahwa saya kurang bisa menyerap keindahan di sekitar saya… Jadi saya minta dukungannya aja supaya saya bisa melalui dan menyerap pelajaran dari tema ketiga ini dengan baik. Tapi, yang saya ingin laporkan adalah, sejauh ini hidup saya sudah sangat banyak berubah. Dari perasaan, cara kerja, dan cara pandang. Yang masih belum berubah adalah kemalasan saya, mungkin itu akan jadi tema ke-empat hehe.
Jadi gini, #happinessproject ini memang proyek pribadi saya, tapi ini juga bisa jadi proyek pribadi kita semua. Bagi orang-orang yang merasa tertekan, stres, sulit, sedih melulu, dan lain-lain, dan terutama merasa ingin hidupnya berubah, kita bisa bergerak sama-sama. Syaratnya cuma satu: kamu emang benar-benar ingin berubah menjadi lebih positif. Kalau ngerjainnya hare-hare, ya hasilnya juga hare-hare. #happinessproject model saya begini, strateginya boleh diikutin, tapi boleh juga bikin sendiri yang lebih pas dan menyenangkan untuk diri sendiri. Saya bukan promosi, saya hanya ingin berbagi resep, bahwa kebahagiaan itu ternyata memang harus dijemput. Dan juga, rasanya lebih menyenangkan saat kita tau kita ngga berjuang sendirian. Seperti senangnya saya saat ada yang mendukung perjuangan saya ini, saya juga sangat-sangat senang saat mereka jadi berani berjuang untuk hidup mereka sendiri. Kasih tau aja ya, biar kita bisa saling mendukung.
Terakhir, saya mau minta doanya ya. Rencanya sih si #happinessproject ini mau divalidasi di tugas akhir saya, alias skripsi. Saya akan senang sekali kalau bisa melakukan skripsi yang memang menyenangkan untuk saya, sekaligus bisa lulus dan mengejar hal-hal yang penting di dunia ini untuk saya nantinya. Proyek ini memang bukan tujuan hidup saya, tetapi batu loncatan untuk menuju mimpi saya, tapi kalau apa yang saya lakukan bisa membuat satu orang saja menjadi lebih bersemangat menjalani hidup, itu merupakan bonus kebahagiaan untuk saya. Semoga kita semua bisa berjuang sama-sama di ranahnya masing-masing. Semoga tetap semangat menjalani hidup, walaupun awan hitam pasti datang, tapi penting untuk bawa lampu darurat kita ke mana-mana. Lampu darurat itu ngga pernah jauh dari diri kita sendiri, yaitu hati kita. Stay happy.
Perjalanan ini bermakna buat saya, bukan karena hidup saya bahagia-bahagia aja, tapi saya juga merasakan kesulitan-kesulitan. Percayalah, dalam hal apa pun kita akan menghadapi oposisi, baik dari orang lain, diri sendiri, atau pun dari alam. Saya sering kali terlalu lelah, sering juga internet ngga mendukung, bahkan ada yang bilang saya bodoh karena melakukan ini, karena hidup ngga mungkin bahagia melulu. Well, di balik layar, bahkan kadang secara jujur saya ungkapkan di-post saya, saya juga seringkali terlalu sedih untuk bisa menulis dan berbagi hal-hal yang baik. Tapi saat saya paksakan, saya selalu merasa hangat di hati, bahwa seburuk apa pun hari yang saya lalui, seringkali ada berlian-berlian kecil yang saya sandung dan bisa disampaikan ke orang lain. Walau pun masih sering merasa negatif, tapi saya merasa hidup banyak berubah dengan mencoba melihat kepositifan yang menghampiri. Bahkan, problem-problem kecil saya yang lain pun lebih terasa ngga terlalu berat saat saya lebih bahagia.