2. DAFTAR ISI
CERITA PENDEK
1. Cerpen: Nausea ……………………………………………………………………………………………………………………………………
2. Cerpen: Lidah Ular ………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Cerpen: Kupu-kupu Bersayap Gelap …………………………………………………………………………………………………
PUISI
1. Puisi: Setelah Angin …………………………………………………………………………………………………………………………
2. Puisi: Perlawanan ………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Puisi: Gedhog ………………………………………………………………………………………………………………………………………
4. Puisi: Ersa ……………………………………………………………………………………………………………………………………………
5. Puisi: Butir Hujan ………………………………………………………………………………………………………………………………
SASTRA MELAYU KLASIK
1. Hikayat Patani ……………………………………………………………………………………………………………………………………
2. Hikayat Si Miskin ………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Gurindam 12: Raja Haji Ali ………………………………………………………………………………………………………………
CERITA RAKYAT
1. Raja Pareeket (Aceh) ………………………………………………………………………………………………………………………
2. Lutung Kasarung (Jawa Barat)…………………………………………………………………………………………………………
3. Si Pitung (Jakarta) ……………………………………………………………………………………………………………………………
DRAMA (CUPLIKAN)
1. Bunga Rumah Makan …………………………………………………………………………………………………………………………
2. Rama Bargawa ……………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Sudah …………………………………………………………………………………………………………………………………………………
PANTUN
BIOGRAFI
1. Chairil Anwar ………………………………………………………………………………………………………………………………………
2. Andrew Darwis ……………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Beethoven ……………………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Cerpen
Judul cerpen: Sebuah Ruang Kosong
Karya Ratna Indraswari Ibrahim
Nina, melihat pameran foto ini,
matanya seperti dihantam. Padahal foto ini menurut beberapa
orang tak patut dipuji. Nina betulbetul terperangkap. Lama sekali
dia terpanah di depan sebuah foto, yang menshoot sebuah ruangan luas, dimana langit-langitnya
seperti berlapis-lapis dan tidak ada
habis-habisnya.
Nina, merasakan sesuatu yang
aneh, hadir di lubuk hatinya, dia
ingin tahu lebih dekat obyek foto
ini. Menurut fotografernya, ruangan kosong ini terletak di sebuah
pantai yang menjorok ke laut. Sebuah ruangan kosong, yang selalu
diterpa oleh sinar matahari, nampak mencorong, sehingga tanah di
sekitarnya kelihatan retak-retak
dan kemerah-merahan. Masih
menurut fotografer, dia sendiri
tidak tahu mengapa mengambil
sudut itu. Yah, begitu saja seperti
orang mengigau.
Keingintahuan Nina semakin mencuat, sehingga dia selalu membicarakannya kepada orang-orang
yang sangat dicintainya, yaitu papa, mama, dan kedua kakaknya.
Mereka merasa keheran-heranan
dengan sikap Nina.
“Bagaimana kamu bisa melakukan
perjalanan ke sana, karena sebentar lagi kamu harus menyelesaikan
skripsimu!” kata keluarganya, serentak.
Nina, mendengarkan ucapan itu
dengan perasaan sedih. Lantas,
Nina merasa seperti orang yang
tengah patah hati saja, padahal
tak ada sesuatu yang berubah dalam kehidupannya.
Suatu saat, tanpa terkendalikan
lagi, dia sudah mempersiapkan
untuk perjalanan itu. Persis akan
berangkat, papa muncul di jendela
mobil.
“Kamu seperti kesurupan saja,
sebaiknya cepat pulang, Non. Kalau ada apa-apa tolong telepon
aku! Aku menduga kamu cuma
kelelahan, dalam pembuatan
skripsimu. Karena kau memilih
topik yang sulit.”
Nina, menyentuh tangan papa
yang sangat dicintainya. Sesungguhnya, dia bangga dengan papanya. Papanya tidak pernah memukulnya seperti papa Etik, atau
berselingkuh seperti papanya Rozi.
“Saya pulang, sehari sebelum
ulang tahun Papa. Saya janji.”
Papanya tersenyum. Alangkah senangnya mendengarkan itu, untuk
telinga lelaki yang sudah berusia
54 tahun.
Nina mencium tangan papa. Dia
selalu ingat cerita papa, ketika
mama mengandung anak ketiga,
dia sudah merasa bahwa bayi yang
akan dilahirkannya adalah perempuan!
“Ketika kaulahir, aku merasa orang
yang paling bahagia. Karena, kau
seorang bayi perempuan yang
cantik. Dan aku sudah membayarnya kepada mamamu, dengan sebentuk cincin berlian.”
Nina, senang mendengar cerita
yang selalu diulang-ulang itu. Bahkan mama mengatakan kepada
Nina, “Papamu, kadang-kadang
keterlaluan. Dia kelewat memanjakan kamu. Untungnya, abangabangmu tidak cemburu.”
***
Perjalanan ini tidak dilakukannya
secara bergegas. Dia bisa menikmati segala yang ada di udara, sinar matahari bahkan debu-debu
yang bertebaran.
Di satu tempat, dimana Nina
membeli bensin, sambil menunggu untuk dilayani, dia menggumam sendiri, “Sudah banyak yang
saya lihat, peristiwa hidup campur
baur, tanpa perasaan takjub, saya
jalani kehidupan satu persatu seperti jam yang sudah pasti detik
dan menitnya.”
“Sesungguhnya semua orang bilang, hidupku mudah, karena aku
anak walikota! Tapi, bisa jadi aku
melihatnya dari sisi lain. Aku selalu
melihat keganasan kekuasaan itu,
4. sekalipun papa selalu ingin tampil
bijaksana. Karena papa dibesarkan
oleh sebuah partai, dimana beliau
harus memenuhi kebutuhan partai
dan rakyat secara berimbang. Hal
itu tidak mudah. Kadang-kadang
aku tahu, papa merasa capek karena papa seperti didukung beramai-ramai ke sebuah puncak gunung dan diharap memikul beban
itu sendiri! Kedua kakakku, belajar
di mancanegara. Aku tidak ingin
pergi jauh dari papa, karena aku
tahu, akulah yang bisa menghiburnya kalau papa begitu capek.
Sekalipun tentu saja ada mama,
kami sepertinya membagi ruang
dengan mama. Mama lebih banyak membicarakan hal-hal domestik kepada papa. Sebaliknya,
papa lebih senang mendiskusikan
masalah-masalah yang ada di kota
ini denganku. Sekalipun kadangkadang, kami tidak selalu sepaham. Tapi, sering papa bilang kepadaku, “Seandainya Indonesia
bisa demokratis, aku ingin kau
menjadi Indira Gandi negeri ini.
Tapi, kadang-kadang aku lebih suka kau menjadi tehnokrat saja.
Karena itu lebih aman dari intrikintrik. Kautahu, sejak muda aku
sudah terbiasa dengan intrik-intrik
itu. Dan aku tidak suka putriku,
jadi tidak bahagia dengan intrikintrik itu.”
Sebenarnya, Nina menganggap
dirinya bisa menjadi walikota.
Sekarang, Nina melanjutkan perjalanan. Pemandangan di daerah
sekitar pantai ini menghunjam
matanya. Dia melirik ke jam tangan yang melekat di tangannya.
Pada jam begini, biasanya Nina
nongkrong di kantin sambil ngobrol dengan beberapa teman. Tapi
hari ini dia sendirian saja. Dia masih ingat beberapa gosip tentang
papanya. Tentu saja, setiap gosip
lebih banyak buruknya. Seandainya, dia bisa menghantam se-
tiap orang yang menggosipkan
papanya. Yah setiap orang tahu
dia putri kesayangan bapak walikota. Dan banyak orang mendekatinya. Tetapi, Nina selalu mendengarkan nasehat papanya, dia akan
selalu menjawab seperti ini, “Kalau Bapak ingin berurusan dengan
Papa, silahkan maju sendiri ke
kantor.”
“Saya seorang realistis dan tahu
aturan permainan waktu. Saya
bukan seorang romantis yang suka
bermimpi. Masa remaja saya sudah lewat. Sekarang, saya sudah
jadi perempuan berusia dua puluh
tiga tahun yang lebih suka membaca buku politik, sosial, budaya
dan mendiskusikan itu, dengan
papa.”
Sesungguhnya, kadang-kadang dia
jenuh juga menjadi anak walikota,
sekalipun dia begitu bangga. Kedua abangnya pergi dari kota ini,
karena tidak suka pada pandangan
masyarakat terhadap mereka, sebagai putra pejabat, yang rasanya
setiap hari disorot oleh publik.
Mereka merasa tidak bebas. Nina
tidak merasa keberatan, bukankah
tidak semua orang bisa menjadi
walikota, seperti papanya.
Yah, dia sudah lama berhenti dugem. Kini, dia betah berjam-jam
ngobrol dengan papanya. Mereka
sepaham bahwa undang-undang
pemerintahan kadang-kadang sulit
mengakomodir kemauan rakyat.
Sehingga, baik papa maupun dirinya sepakat bahwa demo yang
dilakukan oleh banyak kalangan di
negeri ini, hanya karena sulit mencari titik persamaan. Dan ini terkadang bisa melubangi kekuasaan
papa.
Sekarang tercium olehnya bau
laut. Sebetulnya, dia tidak tahu
apa yang terjadi dalam dirinya,
kecuali foto ruang kosong yang
setiap saat menghambur, dia merasa kepayahan. Sekali lagi dilihatnya dirinya baik-baik. Apa yang
sebenarnya tengah terjadi? Bersama angin pagi, akan disongsongnya sebuah masa depan, tapi
mengapa dia membiarkan dirinya
terjebak oleh gosip-gosip liar, padahal di sekolah dia selalu belajar
rasional. Dan selalu diingatnya
omongan papa, “Kalau kita jadi
beringin, pasti lebih banyak angin
yang bertiup di seputar kita.”
Nina selalu merasa ucapan papa
itu sebuah pelajaran yang menarik. Terdengar pekikan burungburung
di
laut
sambarmenyambar. Nina ketakutan.Maka
dilajukan mobilnya dengan cepat.
Sepi menggumpal. Dia kaget, sepertinya terjebak, merasa sulit
untuk mengatur nafasnya.
Nina semakin mempercepat laju
mobilnya.
Malam mulai tiba. Pekik-pekik burung bercampur dengan deru mobilnya.
Pada malam ini, sebuah ruang kosong sudah terpampang di depan
matanya. Dia betul-betul terhisap,
dan tanpa sadar menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini terpantul di
ruang kosong itu. Bukan pada sebuah pesta. Nina menganggap
ruang kosong yang berlapiskan
kayu ini mencetuskan satu kegembiraan di mana-mana. Dia merasa sangat betah tinggal di sini.
Semuanya seperti sudah menyatu
dalam dirinya, bagaikan menjadi
belahan badan bagian kanan dan
kirinya.
Dia mondar-mandir di ruang ini.
Dompetnya terbuka. Foto papa
dengan baju seragam walikotanya
terloncat dari dalam tasnya. Maka
Nina cepat-cepat menutup dom-
5. pet itu erat-erat. Lantas, Nina duduk santai di sini dan terharu. Dia
tergelitik untuk merekam momenmomen yang indah di sini, tapi tak
jadi dijepretnya momen-momen
itu. Sementara di luar ruang ini
terdengar suara hiruk-pikuk: seorang perempuan dengan kerutmerut di wajahnya dan sangat mirip dirinya, berteriak-teriak bercampur dengan tangisan.
“Kamu tahu, anak saya perampok!” katanya tandas dan melengking.
Dengan geram, Nina mendorong
perempuan tua itu keluar dari
ruangan ini, karena dia butuh istirahat tanpa diganggu oleh siapa
pun.
Semilir angin laut menyapu tubuh
Nina, sehingga Nina tertidur dengan nyenyaknya tanpa perlu memakai obat tidur lagi.
Sesaat, perempuan tua itu muncul
lagi di depannya dan berkata dengan sangat lantang, kacaubalau.
“Bayangkan, anakku
sudah kuberi segala-galanya, tapi
yang terlahir dari rahimku cuma
seorang perampok. Percaya atau
tidak, perampok itu mirip kamu!”
Nina jadi sangat benci. Dengan
sekuat tenaganya, dia mendorong
perempuan tua itu.
“Kalau ke sini lagi, akan kubunuh
kamu!”
Perempuan tua itu menangis, sedangkan Nina jadi kelagapan.
“Setiap orang bilang saya rasional.
Telah saya masuki perguruan tinggi teknik, namun saya lebih suka
belajar ilmu-ilmu sosial. Papa
bangga sekali denganku. Dua kakakku lebih dekat dengan mama,
yang suka hal-hal yang bersifat
ringan, musik pop, belanja baju
dan lain-lainnya. Sebetulnya koran
kemarin sungguh menyakitkanku.
Aku tahu papa tidak seburuk itu.
Dia lelaki yang mencintai keluarganya, tidak akan pernah mempergunakan jabatan untuk kepentingan keluarganya.”
“Di sini, aku betul-betul ketakutan,
apakah papa seorang penjahat
dalam jabatannya. Sesungguhnya,
aku tidak mempercayai hal itu.
Media massa bisa saja dibayar
oleh lawan politik papa. Bukankah
sekarang media massa dan media
elektronik sangat bisa membentuk
citra orang, menjadi siapa saja.”
Nina merasa kecapaian berfikir,
kepingin sekali dia menghibur dirinya sendiri. Di tengadahkan kepalanya ke atas langit-langit, yang
berlapis-lapis, bukan suatu gambaran yang terpisah-pisah, seperti
yang dilihatnya sehari-hari. Perasaan Nina jadi kosong.
Udara di ruang ini, sepertinya tidak sehat. Nina, merasa tidak enak
badan, kepalanya pening. Akhirakhir ini, dia sering pening dan
hampir pingsan.
tidak berbuat apa-apa, kekalutan
mencekam. Matanya terbelalak,
ruang kosong ini kembali menyatu
dengan sendirinya.
Nina menganggap tidak perlu berlama-lama untuk berada di sini.
Kemudian dia memotret beberapa
kali, matanya berkabut. Nina menjalankan mobilnya lagi dengan pelan, menyusuri pantai yang diterpa
matahari dan pekik burungburung kalang-kabut.
Beberapa hari kemudian, kita melihat foto Nina yang dilatarbelakangi oleh sebuah ruang kosong di
beberapa media massa dan elektronik. Kemarin, dia mengadakan
jumpa pers, “Saya tahu, papa tidak
pernah berbuat kejahatan dalam
menjalankan jabatannya. Beliau
sangat paham, kadang-kadang
tidak bisa mengakomodir semua
kehendak rakyat. Hal itu yang
menjadi titik kelemahan beliau,
dan lawan-lawan politiknya memancing di air keruh. Sehingga,
kewajiban kami sekeluarga mangambil pengacara untuk menegakkan tali yang basah. Dan berharap para pecundang itu, lebih
bisa menuding dirinya sendiri.
Atau jelasnya, hukum yang akan
berbicara nanti di pengadilan, bisa
adil dan tahu siapa yang bersalah.
Sekali lagi saya tegaskan, papa
saya bukan pecundang.”
Kemarin, media massa bilang, papanya tersangka korupsi!
Ruangan kosong ini jadi baur dengan foto papanya. Nina tersentak,
semua yang dilihat kian lama kian
terpisah-pisah. Kepingin sekali, dia
Sumber: Horison Online, Mei 2011
6. Judul cerpen: Purnamaku Terlukis di Langit
Karya Chairani
Suara panser yang menggilas pasir-pasir putih kudengar bagai gulungan ombak di pantai Lok Nga.
Suara itu bergemuruh menjemput
maut dan mengabarkan perang
yang tidak berkesudahan.
Aku bangkit dari tidur, hari sudah
menjelang fajar. Ayam pekantan
kesayangan Zakir, siswa nomor
wahid di kelasku, tidak lagi bernyanyi merdu, seakan pita suaranya terputus mendengar gemuruh panser itu. Jangkrik pun
menghentikan musik dan lari ke
persembunyiannya.
Darahku berdegup keras ketika ibu
kos mengetuk pintu kamar menginformasikan bahwa panser itu
bergerak dari arah timur, tepatnya
dari desa Bantayan. “Desa Bantayan berjarak tiga puluh kilometer dari rumah kos ini. Pantas saja
tidak kudengar suara letusan senapan dan bombardir yang siap
melumat jantungku,” pikirku dalam hati.
Aku keluar kamar menuju jendela
berjalan tergontai. Kusibak tirai
jendela setengah usang, samarsamar terbaca olehku tanda-tanda
seragam dan alat perang yang mereka gunakan. Ya…, malam ini pasukan perang asal Maluku kembali
menyisir penduduk tepi pantai
Bantayan.
Nanar mata tentara berjaga-jaga
di atas panser sambil mengarahkan senjata yang telah dikokang.
Lima senjata yang berputar di atas
alat perang siap dimuntahkan jika
musuh menghadang. “Enam orang
penduduk yang tewas, Bu. Dua
tentara sekarat,” jelas ibu kos pa-
daku. Aku tidak bergeming mendengar penjelasan ibu kos yang
penuh kasih menjaga bayiku dua
tahun yang lalu.
Setiap kali ada kontak senjata,
dua, empat atau sepuluh yang tewas itu biasa terdengar di telingaku. Orangtua, anak-anak yang tidak berdosa, perempuan yang
tidak berdaya, bahkan bayi dalam
buaian tidak luput dari peluru.
Termasuklah bayiku yang berusia
delapan bulan, Bonar namanya,
menjadi korban kekejaman perang.
Waktu itu kami diundang memanen udang di kolam Tengku Anwar. Secepat kilat, suara bom bergemuruh dan peluru berhamburan. Terjadi kontak senjata antara
dua pasukan. Namun, tak satu pun
pasukan perang yang tampak oleh
kami, hanya peluru yang terlihat
mondar-mandir di depan mata.
Kami terkepung di tengah. Saat
itulah peluru nyasar merenggut
nyawa anakku, Bonar yang lucu.
Peristiwa ini terjadi dua tahun lalu,
namun masih segar dalam ingatanku bagaimana peluru bersarang
di kepalanya dan isi otaknya berhamburan ke luar. Darah bersimbah di sekujur tubuhku ketika
memeluknya. Pekikanku saat itu
terdengar ke langit ketujuh. Bonar
yang setia menemani perjalananku dan mengisi hari-hariku yang
sepi di desa ini telah hijrah ke
surga.
Mataku masih tertuju pada barisan panser itu. Aku berpikir, siapa
lagi dari siswaku yang yatim pagi
ini, siapa lagi akan kudekap dalam
tangisan, siapa lagi yang akan tersenyum bagai purnama walau peluru berhamburan seperti hujan
badai? Abdul Manaf kah, si energik yang bercita-cita jadi tentara
dan siap mendamaikan Aceh, atau
M. Nuh, yang katanya akan melanjutkan kuliah ke Malaysia setelah
tamat SMA? mungkinkah Nurhabibah, si bola mata indah, bersinar, tapi teduh, sebab dua abangnya dibantai ketika memupuk sawit milik Geucik di Lampulo?
Suara beker di kamar menyentakkan lamunanku. Pukul lima shubuh, aku melepas tatapan dari
barisan panser yang menjauh dari
mataku. Kumasuki kembali kamarku setelah pamitan pada ibu kos.
Sebelum bergegas ke sumur kutatap wajah ketiga temanku. Ibu Sari, guru Sejarah, Ibu Henny, guru
Geografi dan Ibu Dwi, guru Kimia,
masih pulas tertidur. Mungkin bagi
mereka gemuruh panser tadi
hanya hadir dalam mimpi. Ketiga
wajah ini begitu indah. Di dada
mereka tersimpan cita-cita yang
luhur “mencerdaskan bangsa” walau perang melanda.
Kuambil handuk menuju sumur.
Gemetar tubuhku saat air gayungan pertama menyentuh kulitku.
Air ini lebih dingin dari kemarin,
mungkin suhu tubuhku turun. Aku
mandi kilat pagi ini. Mukena dan
sarung cap gajah membantu
menghangatkan tubuhku.
“Khusuk hamba menghadap-Mu,
ya Allah.” Pelan airmataku turun
membelah pipiku yang tirus. “Tabahkan keluarga korban yang gugur malam ini, akhirilah konflik ini,
ya Allah. Biarkan kami di desa ini
7. tersenyum indah bagai purnama.”
Tangisanku terhenti setelah sujud
terakhir.
Satu persatu teman seperjuanganku bangun. “Sudah mandi, Kak,”
tanya Henny.
Pukul 07.40 WIB kami ke SMA 1
Madat tercinta. Pelan dan pasti
kami melangkah, degup jantungku
seperti genderang mau perang,
lebih keras dari derap sepatu aparat yang bertugas di desa.
“Kakak sudah mandi?” kembali Ibu
Henny bertanya dengan suara
lembut, selembut hatinya.
Beberapa siswa melomba jalan
kami. Langkah mereka lebih cepat
dan dayungan sepeda melaju kencang seakan ingin memberitakan
atau memburu berita aktual pagi
ini. Mereka bagai kuli tinta pengumpul berita.
“Sudah, Bu Henny,” jawabku dengan suara lebih keras. Si bawel, Ibu
Dwi, tanpa bicara langsung menyambar handuk menuju sumur.
Dengan malas pula Ibu Sari bergumam, “Sudah azan, Bu Rani?
Kenapa belum kedengaran ya?”
Guru Sejarah yang senang tidur di
lantai tanpa alas tikar seakan lupa,
bahwa sudah sekian lama azan
shubuh tidak berkumandang mengagungkan Tuhan.
Tiba di pintu sekolah 07.50 WIB.
Masih sepuluh menit lagi lonceng
masuk. Sekolah kami seperti sekolah lain yang mulai belajar pukul
07.30 WIB. Kepala sekolah cukup
toleran memberi waktu, ini disebabkan remaja di desa setiap
malam belajar Al-Qur’an sampai
pukul 23.00 WIB. Karena situasi
mereka tidak berani pulang ke
rumah dan tidur di meunasah
sampai pagi.
Telah lama meunasah di ujung
desa sepi dari orang-orang bersujud. Tidak ada lagi suara zikir
menggema. Keindahan azan yang
dikumandangkan Tengku Asnawi
berganti dengan letusan senjata
dan dentuman bom molotov.
Penduduk desa lebih memilih shalat shubuh di rumah daripada berjema’ah ke meunasah. Tidak ada
yang berani mengambil risiko
menjemput kematiannya sendiri.
Zakir, siswa si nomor wahid yang
setia memberi berita buruk,
menghampiriku. Siswa kelas XII
IPA-1 ini sering mencemaskan keselamatanku. “Selamat pagi, Bu,”
sapanya.
”Sudah,” jawabku hampir tidak
bersuara.
“Azan shubuh tak lagi terdengar,
apa Bu Sari lupa?” jawabku ketus.
“O iya, lupa Sari, maklum saja
keenakan tidur,” katanya sambil
tertawa.
Peristiwa yang kusaksikan tadi kusimpan dalam hati, aku tidak ingin
mereka menyesali nikmatnya tidur
malam ini.
“Selamat pagi, Zakir,” jawabku
sambil menuju kursi.
Setengah berbisik Zakir berkata,
“Bu …, malam tadi kontak senjata
di Bantayan, ada yang meninggal,
Bu.”
Kutatap wajah itu dan berkata,
“Benar katamu, Ibu sudah tahu
sejak shubuh. Sekarang kamu boleh masuk kelas, dua menit lagi
lonceng berbunyi.”
Zakir menuju kelas dan puas telah
menyapaku pagi ini. Begitulah siswa ini selalu.
Lonceng masuk berbunyi. Aku berjalan menuju kelas bersama sahabatku, Ibu Henny. “Kontak rupanya malam tadi ya, Eny keenakan tidur, tidak mendengar apaapa. Ibu sudah tahu?” Aku tidak
berkomentar dan hanya tersenyum mendengarnya. Kami berpisah di kelas XII IPA-1.
Aku mengajar seperti biasa. Jam
pertama sampai jam ketiga masuk
di kelas XII IPA-2. Delapan orang
siswa di kelasku absen. Memang
selalu begini, setiap kali kontak
senjata 25% siswa tidak hadir dari
seluruh jumlah yang ada. Satu jam
menjelaskan pokok bahasan “Paragraf Induksi dan Paragraf Deduksi”, pintu kelas diketuk. Junaidi, yang kami sebut si sulung, selaku ketua OSIS mengumumkan berita duka penuh haru. Tidak ada
rasa ingin tahu siapa yang jadi
korban malam tadi, sebab mereka
lebih cepat memburu berita dari
kami gurunya. “Innallillahi,” kalimat inilah yang selalu mengiringi
si sulung Junaidi bila memasuki
kelas. Empat siswa di kelas X yatim
lagi.
Aku keluar kelas menahan airmata. Kutatap langit. Tampak olehku
sesayat kepedihan tertulis di sana.
Padi yang kuning keemasan di halaman sekolah merunduk, seakan
hening cipta atas berpulangnya
para syuhada.
Setelah Junaidi mengumpulkan
uang recehan untuk disumbangkan sebagai uang duka, aku kembali ke kelas. Kutatap siswa yang
wajah-wajahnya indah bagai purnama. Mereka menyambut tatapanku dengan ramah. Purnama itu
tetap tersenyum walau luka di dadanya.
Jam istirahat, lonceng panjang
berbunyi. Siswa dipulangkan lebih
awal. Dua mobil pick up disewa
8. dari Tengku Anwar. Beberapa siswa dan guru menuju rumah duka.
Hampir satu jam kami menempuh
perjalanan yang menyakitkan ini.
bergulung berkejar-kejaran. Suasana mencekam.
tak tidur malam ini. Mana Bu Rani,
lemas ya, Bu?”
Tidurmu adalah mimpi panjang
Aku tidak menjawab dan menutup
telingaku dengan bantal.
Enam mayat terbujur kaku di
Meunasah Istiqomah. Sedih, sakit,
dendam dan pasrah terlukis di wajah pelayat. Empat orang siswaku
merunduk menyambut kehadiran
kami. Airmata mereka bagai cahaya purnama jatuh menyentuh
pasir-pasir kwarsa. Airmata seorang anak yang tidak mengerti
mengapa pelipis ayahnya tembus
peluru, mengapa di dada ayahnya
bersarang bazoka, mengapa ada
mayat bergelimpangan tanpa kepala? Mengapa harga seekor lembu lebih mahal dari sebuah nyawa? Tidak ada yang menjawab.
Darah yang tercecer saksi ketidakadilan
Ilalang bisu. Rumput kering. Tidak
peduli dengan teriakan purnama
di pelukanku. Daun kering yang
jatuh ke bumi bersekongkol dengan musuh, tidak pernah membisikkan bahwa perang akan tiba.
Ketika bencana datang semua
hanya bisa terperangah.
Upacara pemakaman usai sudah.
Satu persatu pelayat meninggalkan tempat. Berat kaki-kaki ini melangkah, terlebih-lebih keluarga
yang ditinggalkan.
Kepala sekolah memakai batik
berwarna gelap, bertubuh tegap,
berjalan lunglai menuju tempat
untuk memberi sambutan. Humaira, Tiraimah, Ismail dan Zainabon
mendengar penuh hikmat. Giliran
si sulung Junaidi memberi sambutan terakhir. Si Sulung ini mahir
berpidato dan begitu dewasa. Dia
dewasa karena ditempa keadaan,
lagi pula usianya sudah 25 tahun
tapi masih SMA. Junaidi lebih tua
enam bulan dari guru Geografi,
Ibu Henny. Kedengarannya aneh,
tapi bagi kami tidak ada yang aneh
di desa ini. Usai memberi sambutan jenazah diberangkatkan.
Iring-iringan jenazah menuju pemakaman diikuti ratusan pelayat.
Bumi basah karena gerimis dan
airmata. Gumpalan awan hitam
Gemuruh di angkasa menyambar
perbuatan dosa
Selamat jalan syuhada
Malaikat Malik menunggumu di
syurga.
Tanah pemakaman menganga
menyambut kedatangan hambaNya. Tak ada satu pun yang bersuara. Hanya doa dan isak tangis
yang terdengar.
Aku menaiki pick up dan duduk di
bak belakang, diikuti siswa lainnya.
Jalan-jalan sepi. Ya, sepi yang makin menambah luka di hati. Tak
ada kegiatan apa pun di desa ini.
Semua berkabung dan waswas.
Siswa-siswi yang duduk dan jongkok bersamaku di bak belakang
tampak layu dan bermuka sembab. Tak satu pun yang berbicara
sebab tak seorang pun yang ingin
mendengar kata-kata.
Tiba di kos kurebahkan tubuh di
lantai beralas tikar pandan. Lelah
hati ini, lelah tubuh ini. Kami istirahat. Sayur campur, sambal telur,
makanan wajib di kost ini tidak
ada yang menyentuh. Tak ada
yang lapar walau sudah jam dua
siang. Perut kami selalu kenyang di
sisi penderitaan.
Dari balik pintu Pak Ali berkata,
“Enam orang yang korban, alamat
Dwi menimpali omongan Pak Ali,
“Begadang lagi … begadang lagi.
Kita harus waspada malam ini,
siapa tahu ada serangan balasan.
Atau, pulang kita yuuuk …, tak
usah ngajar kita besok.” Kami
hanya tersenyum mendengar ocehan si bawel.
Meninggalkan murid tidak akan
pernah kami lakukan. Mereka adalah purnama yang indah. Mereka
tetap bersinar cemerlang dan berotak gemilang dengan prestasi
segudang walau perang menghajar tanah rencong ini. Semangat
mereka tidak pernah surut menimba ilmu.
Beberapa saat terdiam, Ibu Sari
menyela, “Maunya tak usah ada
malam ya…, maunya siang terus.”
Lagi-lagi Bu Sari lupa, bahwa dalam Al-Qur’an surat empat belas
dikatakan bahwa Allah menundukkan matahari dan bulan beredar dalam orbitnya sehingga ada
siang dan malam yang tidak dapat
saling mendahului.
Tapi begitulah di desa ini, bila pagi
terbentang hati pun lega. Berharap ayah, abang atau adik yang
diculik kembali ke tengah-tengah
keluarga dalam keadaan hidup
maupun tidak bernyawa. Jika malam menjelang semua gelisah, ketakutan. Menunggu pagi bagai
seabad lamanya. Karena gelisahnya malam-malam yang kami lewati, tidur pun sering berhias
mimpi. Mimpi bersambung lagi.
Per episode. Indah, bukan? Begitulah penanggungan yang dialami
penduduk, selain menderita fisik
juga menderita psikologis.
9. Azan Magrib terdengar. Parau suara Tengku Ismail memuji asma Allah. Siang tadi di pekuburan,
Tengku Ismail salah satu pelayat
yang paling banyak menitikkan
airmata. Tiga dari enam korban
yang terbujur kaku, ada pertalian
darah dengannya. Gemetar lengan
Tengku Ismail menengadahkan
tangan, berdoa pada Allah.
Malam menjelang dengan ribuan
misteri yang tersimpan di dalamnya. Seperti biasa kami bergumul
dengan kesibukan masing-masing.
Pak Ali di kamar depan menyiapkan laporan tahunan; Ibu
Dwi dan Ibu Sari menyiapkan soalsoal ulangan bulanan; Ibu Henny
sibuk memperhatikan peta NAD.
Dua minggu yang lalu Bu Henny ke
Banda mengikuti penataran. Beberapa kondisi sungai dan tanah berubah bentuk akibat tsunami, dan
aku mendalami pokok bahasan
untuk besok.
HP Bu Sari berdering. Suami Bu
Sari dari jarak 60 km menelepon.
Yang kudengar: “Iya, Bang. Sari
sudah makan pakai sayur campur
dan dadar telur. Ada juga plik uk
dan timpan yang diantar Hasanah
sore tadi. Kami baik-baik saja, tak
ada apa-apa, Bang. Semua di rumah, Bang.” Lupa lagi Bu Sari.
“Siapa pula yang pernah keluar
malam hari,” pikirku dalam hati.
Lalu kudengar lagi: “Aman-aman
saja di sini, tak ada apa-apa,
Bang.”
Bu Sari menutup kegelisahannya
malam ini. Begitu juga dengan
kami. Banjir darah, hujan peluru,
mayat bergelimpangan di depan
mata, hanya terekam di dada. Keluarga tidak perlu tahu rentetan
peristiwa dramatis ini. Kami tidak
ingin ada keluarga yang mencemaskan kepergian kami. Kami ingin dilepas dengan senyuman, tidak dengan tangisan!
Ibu Dwi berkali-kali menepuk tubuhnya mengusir nyamuk. Jam
20.00 WIB baru aku tahu bahwa
lingkaran cap roda tiga habis. Jam
20.00 WIB tidak ada lagi warung
buka dan diupah pun tidak akan
ada yang berani ke luar rumah.
Terkadang Bu Dwi juga memukul
dadanya mengusir ketakutan. Ibu
Henny dan Ibu Sari sebentarsebentar berkipas mengeringkan
badan yang berkeringat dan mengipas kegerahan malam yang menakutkan. Udara panas, mencapai
48°C, begitu menurut keterangan
badan meteorologi.
Jam beker dan suara jangkrik bersahut-sahutan, membentuk bisikan gaib dari malaikat pencabut
nyawa. Desir angin mengayun dedaunan terdengar bagai sayatan
sangkur mengiris dada. Telingaku
terpasang tajam mencari langkah
kaki di semak belukar dan suara
letusan.
Malam terlalu panjang dan menyiksa
Gelisah dan ketakutan adalah
gambaran jiwa
Tikar-bantal yang basah melukiskan kepedihan
Berlalulah kau malam jahanam!
Ayam pekantan Zakir berkokok
dengan gagah. Suara beker pun
berbunyi. Serentak kami terbangun, seperti dikomandokan oleh
panglima perang. “Alhamdulillah
…, tidak ada kontak senjata malam
ini,” ucap kami bergantian. Tubuh
kami masih bergelimpangan di
tikar, seperti ikan hiu yang terdampar di laut Atlantik Utara. Begitu perumpamaan yang diberikan
Bu Cut, guru BP saat masih kos di
rumah ini.
Hari ini aku berangkat ke sekolah
lebih awal. Zakir menjemput dengan sepeda jandanya. Di boncengannya kami bercerita tentang apa
saja. Biasanya tentang HAM, kedamaian, perang prestasi, cita-cita
dsb. Tapi tentang hidupku di rumah tangga tak pernah aku bercerita.
“Besok pulang, Bu?” tanya Zakir.
“Iya …, semua kami pulang, hari
Senin bertugas lagi. Doakan gurugurumu selamat di jalan ya, Zakir,”
jawabku bersemangat. “Pasti, Bu.
Purnama Ibu tetap berdo’a agar
Ibu dan guru lainnya kembali
mengajar kami,” jawab Zakir sambil membelokkan sepeda ke gerbang sekolah.
Dengan Zakir aku sarapan di kantin sekolah. Ada Tiasyiah, Mawaddah dan Baihaqi. Pagi ini tak kalah
cepatnya mereka hadir dariku.
“Selamat pagi, Bu,” sapa mereka
menabur senyuman.
“Selamat pagi, Purnamaku,” jawabku dengan senyum simetris.
Teh manis dan pisang goreng menemani obrolan kami pagi ini.
Anak-anak di desa ini begitu akrab
dengan gurunya. Kebiasaan anak
laki-laki duduk di warung dengan
orangtuanya dan orangtua lainnya, sambil minum kopi atau
mengunyah sirih, membuat mereka mudah beradaptasi.
Proses belajar-mengajar berjalan
lancar. Keseriusan, canda, marah,
nasihat merupakan rutinitas seorang guru di kelas. Tidak terdengar
suara letusan senjata. Tidak ada
suara panser bergemuruh menjemput maut seperti di pantai Lok
Nga. Tidak kulihat wajah gegana
merah padam. Tidak perlu kami
tiarap di kelas karena takut peluru
nyasar. Tidak kulihat garis kesedihan di wajah siswaku di sekolah.
10. Purnamaku penuh cahaya merentangkan tangan menyambut pagi
ceria.
Pulang mengajar giliranku berbelanja. Zakir menemaniku dengan
sepeda jandanya. Belanjaanku
hanya sekeranjang kecil. Di depan
pintu rumah, Dwi sudah menunggu. Lalu disianginya ikan. Bu Sari
menggiling lombok merah; Henny
menyiangi sayuran dan aku mengolahnya. Tidak banyak yang dimasak, tapi semua mengambil
bagian kerja. Tidak pernah ada
pertengkaran di antara kami.
Pak Ali di warung mengganjal perut sebelum makan siang yang
biasanya pukul 15.00-16.00 WIB.
Pak Ali mengidap penyakit maag
yang dialaminya selama bertugas
di Madat ini.
Sore hari aku dan Pak Ali ngobrol
di teras. Zakir yang lewat di depan
rumah kos membelokkan sepeda
jandanya ke arah kami. Purnamaku yang berusia 21 tahun ini kembali menyampaikan kabar buruk.
“Di Lok Nibong ada mayat yang tak
dikenal, Pak. Mayat laki-laki berusia sekitar tiga puluhan. Mayat itu
dibuang dari motor hantu, keduanya tanpa kepala. Hati-hati pulang
besok ya, Pak. Ibu juga. Situasi
memanas, Bu,” jelas Zakir dengan
rasa cemas.
“Yakh… apa yang terjadi … terjadilah, pasrah saja kita ya, Bu Rani.
Entah apa yang mereka cari. Yakh
…, mudah-mudahanlah semuanya
cepat berakhir. Kasihan orangorang yang tidak berdosa,” sela
Pak Ali sambil menghela nafas
panjang. “Doakan saya, Bu … Pak,
saya bercita-cita menjadi panglima
perang. Saya akan menghentikan
pertumpahan darah, tidak akan
ada nyawa yang hilang sia-sia. Perang akibat luka lama akan saya
hentikan. Guru kami pasti damai
bertugas di desa ini!” Zakir bicara
begitu semangat sambil mengepalkan tangan. Amin … amin…,
jawab kami serentak sambil tertawa. Betapa menyenangkan siswaku ini.
Zakir menyambung pembicaraan,
“Kapan ya, Bu, ayah Zakir dipulangkan. Di mana ayah disembunyikan penculik bertopeng. Zakir
merindukan ayah, Pak.”
Pak Ali mencoba menenangkan,
“Zakir, tugasmu hanya mendoakan
ayahmu, jika Allah menghendaki
pasti ayahmu kembali.”
Raut wajah Zakir suram. Kerinduan
pada seorang ayah memenuhi relung hatinya. Tak ada bantahan
ketika ayah Zakir dibawa paksa
oleh orang tak dikenal. Membantah artinya berpesta dengan nyawa.
Hari Kamis telah tiba. Hari kemerdekaan yang kami tunggu-tunggu
setiap minggu. Pulang mengajar
siang nanti aku dan teman-teman
akan kembali ke rumah masingmasing. Kami mengemas pakaian
kotor untuk dibawa pulang.
Kubayangkan perjalanan lima jam
menuju rumah cukup melelahkan.
Makanan dan minuman telah tersedia. Jumlahnya dilebihkan, siapa
tahu ada kontak senjata, perjalanan bisa menelan waktu lebih lama.
Terbayang di mataku, betapa hangat memeluk kedua buah hatiku.
Canda dan gelak tawa buah hatiku
terlukis di mata. Keduanya akan
menjerit memanggilku Mama.
Mereka akan berebut coklat kesukaannya. Alangkah lelap tidur di
kasur empuk malam nanti, tidak
akan ada mimpi buruk menghiasi.
“Sudah siap berkemas, Bu. Cepat
… sudah jam 07.40 WIB sekarang,”
teriak Pak Ali mengingatkan. Aku
tersentak, bayanganku seketika
lenyap dari depan mata.
Seperti orang mau kemping kami
berjalan berlima menuju sekolah.
Jalan lengang dan sepi. “Astaga…,
beberapa orang berseragam loreng lalu-lalang di jalan, bazoka
dengan mulut peluru seperti jantung, terarah ke langit. Apalagi
yang akan terjadi?” jeritku dalam
hati. Kegembiraan kami lenyap
seketika. Kami tak dapat mundur
karena sudah terlihat oleh mereka. “Mudah-mudahan tidak terjadi
kontak ya, Pak, seperti dua minggu
yang lalu mereka hanya lalulalang, beberapa lama kemudian
mereka bubar,” harap Henny dengan sangat.
Gemetar tubuhku melewati rombongan itu, kepala merunduk, tak
sanggup beradu mata. Bumi seakan berguncang, berputar menerbangkan nafas.
Lebih kurang sepuluh menit berjalan sampailah kami di sekolah.
Kepala sekolah dan beberapa guru
telah sampai terlebih dahulu.
Tampak olehku wajah kepala sekolah putih seperti kapas, lebih pucat dibanding Diana dan Dek La.
Tidak terdengar ucapan “selamat
pagi” atau “assalamualaikum”. Tas
berisi pakaian kuletakkan sembarangan. Lalu ikut menyaksikan
pemandangan di luar.
Siswa yang telah hadir lebih dari
setengah ini tak satu pun ke luar
kelas. Melihat kondisi yang tidak
menguntungkan lebih baik kami
berjaga di ruangan untuk menenangkan siswa.
Banyak yang absen di kelasku. Mereka pandai membaca situasi. Tubuhku lemas bersandar di kursi.
11. Telapak tanganku berkeringat,
sesekali kuhela nafas. “Kita berjaga-jaga ya ..., keadaan belum kondusif, berdoalah pada Allah,” bergetar tubuhku mengucapkan katakata itu.
Dari sela jendela kulihat Pak Ali
keliling kelas mengabarkan perkembangan keadaan, sekaligus
menenangkan siswa walau Pak Ali
juga tampak pucat. Aku keluar
kelas melihat dari kejauhan. “Ya
Allah, jumlah mereka bertambah,”
gumamku dalam hati.
Aku kembali ke kelas. Tiba di pintu
kelas terdengar letusan bazoka
yang memekakkan telinga. Bumi
bergetar. Burung bangau yang
hinggap di punggung kerbau melayang mencari kedamaian. Teriakan dan suara gaduh terdengar
keras. “Ayo …anak-anak, tiarap
semua!” teriakku dengan suara
bergetar. Semua berhamburan ke
lantai. Beberapa siswa merayap
mencari posisi aman. Letusan terdengar lagi dari senjata lain. Ini
pertanda pasukan lawan telah
mendekat. Letusan demi letusan
bersahut-sahutan dan semakin
keras. Suara itu kurasakan bagai
tiupan sangkakala dari malaikat
Izrafil yang mengabarkan kiamat
telah tiba. “Ya, Allah selamatkan
kami,” desahku dalam doa.
Peluru mulai nyasar di halaman
sekolah. Kali ini dinding kelasku
ditembus peluru bazoka. Siswa
berteriak, “Allahu Akbar… Allahu
Akbar.” Tubuhku tak bergerak lagi.
Lantai ini seperti bermaknit. Pipiku
menyentuh lantai, kudengar pasir
berbisik, “Sabar dan tabahlah selalu.”
Setengah jam kontak senjata berakhir. Pelan kami berdiri, seperti
mayat bangkit dari kubur. Purnamaku saling berpelukan menangis
tak berkesudahan. Senyuman tak
pernah abadi di desa ini. Kakiku
lemas seperti dijangkiti polio. Dibantu dua siswa aku didudukkan
di bangku. Baru menghela nafas
pertama, sudah terdengar teriakan dari kelas di seberang sawah,
dari kelas XII. Ada siswa jadi korban di XII IPA-1.
Semua siswa ingin berlari menuju
teriakan itu, namun kucegah. “Cukup ketua kelas yang keluar!” pintaku. Abdul Rahman, kelas XII,
dengan beberapa ketua kelas lainnya. Suara tangisan dari kelas tersebut makin pilu.
Siapa yang korban pagi ini? Orangtua mana yang akan kehilangan
permatanya? Purnama mana yang
akan redup dari sinarnya? Tanyaku
berulang-ulang dalam hati.
Ketakutanku belum pudar. Permata-permataku masih pucat pasi.
Kami tak biasa akrab dengan tragedi seperti ini walau sering kami
alami. Abdul Rahman kembali ke
kelas. Nafasnya turun naik karena
berlari. “Bu…, Bu…, Zakir keunong
aneuk beude bak dada, Zakir…
Zakir mate,” (”Bu…, Bu…, Zakir
dadanya tertembak senjata, Zakir… Zakir tewas.” ) ucap Rahman
yang kurang paham berbahasa
Indonesia dengan terbata-bata.
“Dada Zakir… dada Zakir… dia tewas, ayo ke sana, Bu,” ucap Rahman sekali lagi.
Aku terhentak, bagai halilintar di
siang bolong penuh api membakar
dadaku. Jantungku berdebar kencang. Nafasku tersengal. “Ti … dak,
ti…ti ... dak, Rahman, jangan sebut
itu pada Ibu!” kataku berharap.
Fadli dari luar kelas meyakinkan,
“Benar, Bu. Benar… Zakir….”
“Stop…, tak ada yang tewas!” bentakku setengah berteriak.
Bagai ada tarikan gravitasi tubuhku berdiri tegap. Entah kekuatan
gaib dari mana yang kuterima tibatiba aku berubah kuat. Aku berlari
menuju kelas Zakir. Tangisan pilu
terdengar menyayat kalbu.
Zakir mengerang memegang dada
menahan sakit. Darah hitam berhamburan dari dadanya. Kupeluk
purnamaku dengan erat. Kucoba
menenangkannya di sela isak tangisanku. ”Bertahanlah, Zakir….
Bertahanlah, Purnamaku. Lihat
Ibu… guru-gurumu yang selalu
ingin bersamamu!” Mata itu menatap sendu. Darah terus mengalir
menganak sungai. “Ibu…, Purnamamu tak sanggup bersinar sepanjang hari, saya titip purnamapurnama lain pada semua guru….
Maafkan saya…, Ibu,” ucap Zakir
dengan suara hampir lenyap. “Tidak…, Zakir, tidak…, bertahanlah…,” bisikku di telinganya. Bola
mata itu menatap teduh, butir
airmata berkerlap-kerlip melewati
pipinya bagai kunang-kunang. Di
sela raunganku Zakir berucap lagi,
“Ibu…, biarkan Purnamamu terlukis di langit.”
Mata itu terkatup. Tubuh itu terkulai. Aku menjerit, suaraku terdengar membelah langit. Hatiku
mengharu-biru melepas jenazah
Zakir dari pelukanku. Zakir pergi
untuk selamanya. Tak ada lagi senyum dan canda Zakir, purnamaku
yang bersinar. Tak ada lagi harapan dan cita-citanya. Hanya ayam
pekantan Zakir yang setia membangunkan tidurku di pagi hari.
Awan bergerak perlahan-lahan
lalu berkumpul dan bertumpuktumpuk. Hitam. Kelam. Kemudian
gerimis dari celah-celahnya.
Bumi menangis mengantar purnamaku ke pemakaman. Ibu Zakir
menabur bunga terakhir.***
12. Sumber: Horison Online, Juli 2010
Judul cerpen: Rumah Cinta Ujung Langit
Karya Joni Ariadinata
Kalau ndak keliru, Gusti Kanjeng
Sultan terdahulu yang membikin prakarsa membelah alun-alun
kota ini dengan sebuah jalan
corcoran. Membentang dari arah
utara, lurus melewati tembok beringin, kemudian mentok pas di
depan Pagelaran. Kalau ndak keliru juga, dulu di tengahtengahnya tumbuh pohon beringin berjanggut, besar dan kuat.
Konon, menurut cerita, pohon beringin itu bisa bikin kualat. Saking
gagah dan lebatnya, hingga anakanak seusiaku ketika itu sering
punya pikiran bagus: alangkah
beruntung jika lebih banyak lagi
prajurit takut kualat. Para abdi
dalem takut kualat, orang-orang
tua sejenis (bertopi blangkon)
serta perempuan-perempuan berkemben takut kualat. Makin banyak orang yang harus berjalan
khidmat ketika melewatinya, takut
dicekik lalu kualat lalu mampus,
itu makin bagus. Sumpah!
“Pohon ini pasti dihuni tuyul, demit, kuntilanak, atau sebangsa
wewe. Makin banyak demit makin makmur kita! Bukankah makanan demit adalah makanan kita
juga, hoh-hoh.... Makanan siapa
lagi, heh?” Dan tentu, semua jenis
makanan persembahan para
priyayi selalu enak dan baik. Kubilang juga pada mereka: “Demit
pohon beringin memang tidak baik
bagi mereka, tapi pasti baik buat
kita.”
Meskipun tentu saja, pikiran baik
ini selalu membuat persaingan
seru pada setiap malam jumat.
Kadang hingga berkelahi. Betapa
tidak? Butir-butir kelapa muda itu,
berbatang-batang cerutu, jajanan
manis dan asin (kadang juga tujuh
atau sepuluh butir telur) serta seribu bahkan hingga lima ribu perak uang logam bercampur kembang; bagaimanapun semuanya
memang enak untuk dimakan. Lagi
pula, toh kami semua beranggapan bahwa bangsa-bangsa demit
hanyalah musuh bagi mereka.
Tapi kemakmuran itu tidak berlangsung lama. Angin puting beliung dahsyat tiba-tiba datang
mengiringi kematian Gusti Sultan
yang memang sudah tua itu. Jelas,
bagi jenis gembel model aku,
dan beberapa kerabat, kehadiran
hujan angin puting beliung yang
melanda kota ini seberapa saat
sebelum Gusti Sultan yang terdahulu mati, betul sungguh tidak
ramah sama sekali. Sebab beringin
yang begitu keramat itu bisa terbelah dan tumbang. Betul-betul
tumbang! Jelas kami kehilangan
saudara wewe dan kuntilanak.
Padahal semua kerabat tahu,
bahwa saudara wewe dan seketurunan kuntilanak dan demit-demit
asu itu butuh sesaji. Dan di manapun sesaji diletakkan, bukankah
mereka butuh kami untuk menghabiskannya?
Gusti Sultan yang lain, setelah naik
tahta, menggantikan beringin besar perkasa itu dengan beringin
cilik, —kecil segede jempol bayi.
Sungguh lucu dibanding benteng temboknya yang besar dan
tinggi. Hampir saja ketika itu Paerah dan Marijo mencabutnya ka-
rena mangkel. Kalau saja Paerah
tidak segera diseret, entah bagaimana nasib beringin cilik itu. ”Ojo
dicabut Paerah! Jangan dicabut!”,
kami meneriakinya keras-keras
waktu itu. Tapi Paerah sempat
mengencinginya satu kali. Sedangkan Marijo nekat meludahi dan
memberakinya tanpa ampun. “Beringin asu!” katanya.
Dari sinilah kisah yang sesungguhnya dimulai.
***
Hidung amat pesek, rambut tumbuh jarang dan lurus, bibir memang tebal dan lebar dari Tuhan;
tapi kulit berbitil-bintil bekas kena cacar hingga ke muka adalah murni sebenar-benarnya salahku. Kulitku tak putih, tapi cuman hitam amat gelap, bersisik
belang gara-gara buduk yang tak
kunjung sembuh. Kawan-kawan
sekerabat menyebut aku onta,
atau tak jarang menyindir babi.
Sungguh sengsara memasuki usia
lima belas. Cerita-cerita dari mulut Inoh, Tinah, Marsinem, dan lain
yang segerombol bisa mendebarkan sekaligus membuat sakit. “Lelaki itu enak, “ katanya. Lalu mereka memandangku. Lalu mereka
bilang, hingga kiamat tak bakal
ada lelaki yang sudi menyentuh
kulit hitam berbintil-bintil dan
bermuka babi sepertiku. “Bukan
babi, tapi gabungan babi dan Onta!” begitu kira-kira ejekan mereka.
“Aku akan buktikan itu!” entah
mengapa, tiba-tiba aku merasa
13. sakit hati. Berbulan-bulan aku meradang, dan merasa terhina. Tapi
begitulah nasib buruk, meski kutiru habis-habisan gaya mereka (Inoh, Tinah, Saliyem, dan sekerabat
pelacur seumurku yang diam-diam
selalu kuperhatikan), dengan gincu
dan bedak seribu perak di mukanya. Kutiru gambar-gambar dalam adegan tivi saat aku harus
menggoyang-goyangkan pantatku
di depan lelaki sekerabat-ku, kutiru dengan penuh luka dan malu,
tapi tampaknya seluruh lelaki sial
itu hanya punya satu kata: “Pergilah! Kamu bau! Bikin mual!”
Hingga satu hari, dengan berani
dibelikanlah Paimin sebotol KTI.
Di saat Paimin mabuk itulah aku
serahkan diriku sungguh-sungguh.
Kuterkam mulut bau Paimin segera, meskipun rasanya bacin dan
asam karena Paimin (seperti juga
kami semua) tak pernah tahu apa
gunanya gosok gigi. Tapi memang
begitulah yang kulihat, atau
mungkin yang aku harus lakukan
segera, seperti apa yang musti
dilakukan orang-orang pada awalnya. Seperti yang kulihat di dalam
gambar-gambar. Memakan bibir
laki-laki, dan laki-laki memakan
bibir
perempuan!
Sungguhsungguh, Paimin mabuk meneracau, mendengus, menyeretku tanpa ampun. Menindih dan membanting-banting. Dan aku, dalam
kesadaran yang disengaja, berteriak-teriak agar seluruh orang kerabat-kerabat itu mendengar
bahwa aku juga perempuan yang
punya harga diri. “Makan aku,
Paimin. Samber bledek, mumpung
aku masih perawan....”
Ah, kasihan Paimin sesungguhnya.
Karena kenekatankulah Paimin
harus menanggung malu. Ia pergi
ke kota lain. Ia sering disindir oleh
para kerabat dengan sebutan matamu picak. Maka demikianlah
pada awalnya Paimin selalu men-
jawab: “Djiancuk, kadal buduk,
monyet jelek, kowe ngerti kan kalau aku mabuk? Aku tidak tahu
kalau yang kutidurin itu itu onta
berkulit babi! Bangsat kowe semua...”
Dan mereka semua tertawa. Mereka semua senang jika Paimin
menanggung malu.
***
Tapi sekarang bukan lagi waktunya
buat memaki. Bukan lagi waktunya. Bukalah mata kalian bulatbulat. Silahkan kalian ngomong
sekehendakmu, aku tak peduli.
Karena dari sinilah, sekali lagi, kisah yang sesungguhnya akan aku
ceritakan dengan terang-terangan.
Dulu aku sakit gara-gara Paimin,
lantaran Inoh kemudian mencakar
muka dan memaki-maki hebat
dengan kata-kata buruk yang tak
berkesudahan. Inoh cemburu!
(sebetulnya aku bangga bisa
membikin Inoh cemburu). Lalu
Paimin bergegas pergi padahal
setelah malam kejadian itu aku
jadi kangen. Aku kangen pada kekasaran Paimin, pada mulut Paimin yang asam, dan terutama pada keanehan tubuh laki-laki yang
nyatanya bisa membuat napasku
bergetar. Dengan dada berdebamdebam. Bau bacin keringat Paimin,
bau bangkai mulut Paimin, menjadi kenangan tak pernah kulupa.
Sumpah.
Tapi lihat sekarang aku. Seribu kali
Paimin dan serombongan lelaki
lain mungkin harus berpikir hanya
untuk percaya saja. Entah aku
waras ataukah hanya setengah
sinting. Tapi begitulah cerita ini
memang betul-betul nyata. Ketika
suatu malam, seorang Pangeran
datang meminangku. Seorang lelaki dengan kulit seperti jin! Seperti demit, seperti kera putih dalam
wayang kulit yang sering kutonton
di pagelaran setiap bulan maulud.
Ia, lelaki jin itu, mengajakku berkenalan dengan tiba-tiba, dan
menggondolku dengan tiba-tiba.
“Saya menyukaimu,” begitu katanya.
Betapa aku begitu mulia. Sungguh.
Samber bledek. Ketika kali itu aku
ketemu, dan ketika kali itu dengan
tiba-tiba ia mengajak ngomong,
aku sungguh-sungguh hanya ingin percaya. Dan nyatanya ia
memang terus ngomong dan
mengajakku jalan. Dan nyatanya ia
senang dan dibelikan aku kalung
imitasi. Dan ia takjub lalu membeli
baju. Seumur hidup, pada usia
tujuh belas itulah aku tahu, betapa sukanya orang kalau disayang.
Aku senang. Aku bahagia. Pada
usia tujuh belas ada laki-laki memandang wajahku seperti betulbetul wajah asli milikku. Dia bilang, “Kamu cantik. Kamu tak ada
duanya kalau kubawa ke negri
saya. Tentu kamu mau jadi teman
saya, Lisa!”
Sumpah. Aku tidak berbohong. Dia
memanggilku “Lisa”, bukan “babi”,
“onta”, atau “buduk”. Dan dia
mengatakan: aku cantik.
Mungkinkah ia memang laki-laki
demit yang begitu mulia? Ataukah
hanya orang gila, atau sinting,
atau setengah sinting. Ah, sudahlah, aku tak biasa berpikir-pikir.
Ndak waras pun tak apa, demit
pun jika ia memang sungguh demit, juga tak apa.
“Apakah kamu masih perawan,
Lisa?”
Perawan? Pertanyaan itu bikin
kaget. Tapi pertanyaan itu juga
bikin aku bangga. Kubilang, “Banyak lelaki yang telah meniduriku!”
14. Lisa? Samber bledek, namaku
memang Lisamah. Dan laki-laki
berkulit jin itu lantas memanggil
Lisa? Lisa... Duh Gusti. Berapa
tahunkah namaku tak pernah disebut orang, meskipun aku selalu
ngotot bahwa namaku Lisamah,
bukan babi, onta, apalagi buduk.
Barulah aku tahu, bahwa malam
setelah itu adalah malam-malam
yang begitu baik. Bahwa aku
punya nama yang baik. Makanya
rumput-rumput jadi sejuk, jalanjalan jadi sejuk, orang-orang jadi
sejuk, juga Mang Oding tukang
kacang, Lek Mijo sego angkring,
semua memandang heran dan
sejuk. Mereka melotot. Lihatlah
matanya! Ajaib, “Onta!” katanya.
“Apakah betul itu Onta?” Semua
kerabat pada ngiri. Aku cuman
tersenyum. “Aku bukan onta. Aku
sekarang Lisa.... Sekarang panggilah namaku dengan benar: Lisa”.
“Di tempat saya, gadis seumur
kamu memang sudah saatnya
menentukan pilihan. Saya suka,
Lisa. Saya suka.”
Tentu aku kaget: “Di tempatku?”
“Nama saya Frederick,” katanya
menjelaskan. Pe-re-dik? Aneh.
Tapi sungguh itu tidak apa-apa,
tidak tahu namanya pun pun tidak
apa-apa. Lelaki jin itu saja sudah
cukup. Tapi dia cerita panjang lebar, tentang asal dia dari negeri
yang jauh. Tentang tempat tinggalnya yang katanya harus menyeberangi lautan. Tapi yang paling penting, bahwa lelaki jin itu
memegang tanganku! Samber bledek aku gemetar.
“Di alun-alun?”
Uh. Pada mulanya aku memang
bingung mau jawab apa saat lelaki
jin itu bertanya tentang perawan.
Tapi pikiran baik selalu tiba-tiba
datang. Bahwa aku harus dengan
tegas menjawab: sungguh aku
sebetulnya tidak perawan. Malahan aku ingin sekali bisa cerita
dengan panjang (dan penuh kebanggaan) bahwa aku betul-betul
tidak perawan pada usia lima belas! Bahwa banyak lelaki yang mau
(atau perlukah dibilang tergilagila? Ah, ndak usah saja). Aku
membayangkan diri seperti menjadi perempuan yang pernah menjadi rebutan.
“Untuk sementara, kamu boleh
mandi dan tiduran di sini.” Lagilagi aku merasa gemetar. Memandang sprei bersih, bantal bagus,
seumur hidup tak pernah.
Tapi akhirnya aku hanya cerita
tentang Paimin saja. Aku ingin jujur saja. Dan ia malah tertawa.
Lelaki jin itu memegang tanganku
dan bilang: “Saya senang kamu
begitu. Ha-ha-ha!” Ternyata betul.
Dia lebih senang aku telah berkata
jujur.
“Maukah kamu pergi menemani
saya, Lisa?”
Lisamah. Sekali lagi namaku Lisamah. Sekarang aku menjadi Lisa.
“Jadi Predik menginap di hotel
sini?” Predik mengangguk lalu tertawa. Ada kamar mandi. Aku, Lisamah, disuruhnya mandi. Biar wangi, katanya. “Pakai handuk
itu, caranya mengeluarkan air begini, yang ini air panas, yang ini
dingin, dan ini shampo, dan itu
sabun... Gosoklah gigimu supaya
bersih!”
“Jadi Predik mandi dan tidur di
sini?”
Ia kembali tertawa. Lelaki jin itu
sungguh pandai membuatku tidak
malu.
“Kamu lucu, Lisa. Tapi kapankapan saya ingin menginap di
tempatmu.”
“Betul. Di tempat kamu menginap.”
“Ya. Kapan-kapan. Tapi sekarang
tidurlah kamu di sini.”
***
Sumpah Prediklah yang mulamula bercerita tentang Gusti Sultan. Amit-amit, sebetulnya aku tak
berani ikut ngomong tentang Gusti
Sultan karena itu akan membuat
kualat. Katanya, Gusti Sultan
membuat jalan corcoran di tengah
alun-alun itu pada awalnya baik.
Bagus buat nuntun kuda, dan baik
buat abdi-abdi dalem serta emban-emban setelah gilir sore-sore
jalan kaki. Bagus lantaran kalau
malam banyak rakyat dudukduduk mengintip bulan. Boleh pacaran. Boleh bawa anak atau bawa
siapa saja. Jalan Agung di tengah
kota terlalu sumpek, katanya. Kadang-kadang juga pesing, bacin,
dan bau kencing. Sedang sudut
alun-alun (yang dulu buat rakyat
ngintip bulan) sebelah timur, kini
sudah semrawut. Banyak bakulbakul, penjual jagung bakar yang
senangnya menggeret-geret, memaksa-maksa. Berkomplot dengan
pengamen yang seringnya bikin
ribut. Juga makin banyak sepeda
motor dan mobil berkeruyukan
nyari parkir. Belum lagi bancibanci yang memang liar. Pokoknya makin ndak tenang jika buat
jalan klangenan.
Tentu saja aku bingung, tak tahu
apa yang diomongkan Predik. Aku
hanya berkali-kali bilang bahwa
Gusti Sultan itu selalu baik. Tak
pernah tidak baik. Baik untukku,
juga baik buat semua kerabat yang
tinggal di sini. Terus terang, aku
bilang baik karena memang tidak
15. mungkin melupakan kebaikan jalan ini, yang telah mempertemukan aku dengan Predik! Jika ingat
itu berkali-kali aku ingin nangis.
Aku katakan itu pada Predik. Corcoran yang anget, lampunya terang, tidak bau got, tidak terganggu sekaligus mendatangkan
banyak rezeki.
“Maksudku, Gusti Sultan yang dulu. Pemilik beringin keramat,” tegasku kemudian. “Tapi juga Gusti
Sultan yang sekarang.”
“Ah, kamu tidak mengerti Lisa.
Bagi saya kedua-duanya sama.
Tidak baik.”
“Tidak baik kenapa, Predik? Kenapa tidak baik?”
“Karena kedua-duanya sama-sama
jahat, ha-ha-ha...”
Sekali lagi, aku tak paham maksud
Predik. Aku hanya tahu, bahwa
sejak dulu pendapat kerabat semua, tempat macam ini cocok
buat tidur dan nyambi. Itu saja.
Dan tempat ini, tentu saja semuanya milik Gusti Sultan. Tentang
tempat ini, aku bilang sekali lagi: itu sepantasnya, dan memang
begitu dari dulu. Para emban, abdi-abdi dalem, atau nyonyahnyonyah dan tuan; memang semuanya sering datang ke sini.
“Mereka dulu paling takut pada
beringin di tengah itu,” aku menunjuk dengan tegas ke arah tengah alun-alun. “Maka kalau mereka pergi malam-malam ke sini,
mereka tidak pernah berani mendekati beringin milik Gusti Sultan.
Mereka takut kualat.”
“Tapi sekarang sudah tidak lagi,”
kataku kemudian. Aku lalu cerita
tentang Tinah dan Marsinem (sekerabatku) yang gara-gara itu
ia pernah menyilet banci: ”Tempatmu di sana bedes elek! Banci-
banci jelek! Di pojok alun-alun!
Bukan di tembok beringin sini!”.
Tentu saja tak ada yang berani
pada ancaman mereka. Tinah dan
Marsinem memang berbadan
kingkong.
“Kenapa Tinah dan Marsinem
mengusir banci-banci itu dari
tembok?” tanya Predik kemudian.
“Tentu saja, karena tembok beringin itu sekarang selalu ramai, terutama jika malam hari. Para priyayi
itu sudah tidak takut lagi. Banyak
priyayi baru, tidak hanya yang suka pake blangkon saja, tetapi juga
orang-orang umum yang pake topi, kaos dan celana jin. Tak ada lagi
demit yang keramat. Maka dari
itulah Tinah dan Marsinem memakainya untuk bekerja. Mereka tak
ingin tempatnya diganggu!”
Akhirnya aku dan Predik tertawa
ngakak. Sumpah samber bledek
untuk ini aku merasa bangga bisa
banyak cerita. Dan aku tidak bisa
bohong. Entah, aku juga bingung.
Predik, membuatku seperti wanita betulan. Sedikit-sedikit ingin
bisa melucu. Sedikit-sedikit ingin
juga bisa mikir.
“Ceritakan lagi, apa saja, Lisa. Aku
senang kamu bisa lancar bicara.”
“Anu, Predik...”
“Fre-de-ri-ck. Frederick!”
“Ya, Pe-re-dik, Predik,” aku jadi
tersenyum. Nyatanya Predik betul gembira. Itulah Predik, membuat aku bangga dan seperti bener-bener pinter: “Kalau dulu beringin keramat ini hanya menyediakan makanan dari para priyayi
tua berblangkon dan perempuan
ndoro berkemben setiap malam
jumat, tapi sekarang kami bisa
mendapat makanan setiap malam!
Maksudku, dia sekarang bukan
hanya milik priyagung lagi, orangorang priyayi saja.... Maksudku,
em, membuat jalan corcoran itu,
benteng tembok beringin itu,
memang bukan buat mereka. Tapi
buat kami. Em, bagaimana ya, aku
bingung ngomongnya Predik.“
“Good!”
jempol.
Predik
mengacungkan
“Betul, gud. Tukang mi ayam,
abang becak, sego angkring, kerabat-kerabat, juga semua akhirnya ikut seneng. Kanjeng Gusti
Sultan telah berhasil membikin
jinak beringin keramat. Hanya
Kanjeng Gusti Sultan yang akhirnya bisa mengusir saudara wewe
dan kuntilanak hingga kami bisa
bebas main di dalam tembok.
Hingga tembok ini ramai sampai
pagi. Itu sebuah berkah Gusti Sultan, maksudku. Itu semua....”
“Main? What... apa itu main? Apa
sultanmu juga ikut main?” Predik
kembali ngakak.
Aku geli. Predik tak juga mengerti.
Maka aku terangkan seperti guru.
Aku praktekan dengan gerakan
apa yang sering dilakukan Paerah, Salijo, Mursalim, bahkan Inoh
dan Ipah saat bekerja di dalam
tembok beringin. Kadang bisa
sampai dapat lima lelaki, kadang
hanya dapat tiga, tapi bisa juga
dapat sepuluh. Predik lalu bertanya, apakah Salijo dan Mursalim
itu wanita. Aku jawab laki-laki.
Mereka bisa sewa pakaian wanita.
“Jadi kamu yang menyewakan pakaian?”
“Ya, semalam dua ribu.”
“Juga main?”
“Aku pernah mencoba, tapi ndak
laku,” menunduk. Betul aku malu.
16. Tapi senang akhirnya
mengerti.
“Betul-betul
gumkan!”
negerimu
Predik
“Sssst, bisa kualat kamu. Mang
Oding bilang, Lisa itu ketibanan
awu ratu.”
menga-
***
“Aku ingin dipoto Predik, potolah,
ayo!!” Jangankan Partinah, Marsinem, Suparti, Mursalim, bahkan
Wak Kontet yang dihormati gerombolan pemulung dari daerah
utara juga bangga. Senang dan
suka. Memuji-muji Predik yang
amat baik. Tentu, aku, Lisamah,
berbunga-bunga. Betapa nikmat
dipandang orang berharga; “Ayo,
mana nyonyahnya? Lisa... sini
dong! Senyum, naaah begitu
dong!”
Setiap Predik datang, selalu membawa alat potret. Entah kenapa
Predik amat suka memotret. Predik juga seringkali membawa makanan: membawa sate, membawa
apel, membawa anggur. Semua
gembira. Bahkan Paimin, yang dulu pergi dan membuat kangen, kini
sudah kembali nongol. Dengan
bersemangat dan tak malu ia bercerita, bahwa dialah yang pertama
kali meniduri Lisa. Tak ada onta.
Tak ada babi. “Lisa itu hebat,” katanya.
“Jadi kau pernah tidur di losmen
Garuda itu Lisa? Wah...”
“Tempat tidurnya wangi!”
“Mas Predik, sekali-sekali dong
ajak Inge.”
“Husy! Jangan ngaco kamu, Inge!”
“Nyaaaaaaak.”
“Heran ya, padahal kan lebih cantik Inge...”
Aku hanya ingin menangis atas
anugrah itu. Barangkali benar
kata semua orang, bahwa Gusti
Sultan berkenan maringi pangestu, memberi berkah. Karena aku
sudah lama tinggal di sini. Di alunalun ini. Tidak seperti kebanyakan.
Aku merasa terhormat. Betapa
tempat ini selalu penuh pemandangan yang bagus. Hari demi
hari. Bulan demi bulan. Malam
selalu baik, dan Predik semakin
betah. Aku pikir, Predik semakin
cinta. Aku pun jadi betul-betul
amat cinta. Aku jadi ingin selalu
bersama Predik. Ingin selalu dipegang Predik. Di dalam rumput. Di
dalam tembok beringin. Di atas
becak. Di atas jalan corcoran anget.
Predik jadi sering menginap. Ah,
kalau saja di sini hanya ada aku
berdua sama Predik. Tak ada semua orang yang bisa ganggu. Tapi
tak apa. Aku percaya sama Inoh,
Sulinem, atau kerabat-kerabat
semua. Tak mungkin mereka bisa
merebut Predik.
“Semua kawan-kawanmu baik,”
kata Predik. “Aku ingin akrab dengan semua,” katanya lagi.
“Tapi Predik...”
Ah. Bukankah aku hanyalah Lisamah?
***
Kalau saja Inoh tidak saling cakar
dengan Marsinem gara-gara rebutan sudut tembok, barangkali
tak ada pikiranku untuk melibatkan becak-becak. Maklum
warga semakin bertambah. Ditambah persoalan banci-banci
yang diusir dari jalan Kapas. Me-
mang banci-banci itu sekarang tak
berani lagi beroperasi di dalam
tembok beringin. Kami mengusirnya dengan ancaman yang keras.
“Mereka banci asli, punya rumah,
dan kaya. Mereka tidak berhak di
sini,” begitulah kesepakatan yang
terjadi.
“Kalau Mursalim misalnya, siang
dinas tetapnya ngemis dan malam
jadi banci, itu namanya halal. Cari
lemburan.”
Yang jadi pokok masalah sebetulnya,
adalah
rombongan pemulung pimpinan Wak Kontet. Dulunya memang mereka
hanya numpang kumpulan: pagipagi dikumpulkan Wak Kontet
untuk nerima uang seribu buat
sarapan, dan sorenya kembali
kumpul bayar Wak Kontet seribu
empat ratus. Tapi kini, hitung
punya hitung mereka jadi tertarik
cari lemburan. Menjadi banci jika
malam hari, menjadi pemulung
jika siang hari. Akhirnya, banyak
juga mereka yang pada tidur. Kemudian menganggap tembok beringin adalah wilayahnya. Sungguh
repot.
Bayangkan, dari sepuluh warga
yang sah (maksudnya yang asli
golongan kami, sejak kecil memang tinggal di sini) kini jadi tiga
puluh. Sedang luas tembok
hanya tujuh meter kali tujuh meter. Kalau bermain dengan jarak
rapet-rapet, apa mungkin tamu
mau. Kecuali mungkin yang kepepet, atau tak tahu malu, atau lagi
sekarat lantaran mabuk. Tapi tamu model begitu, bukankah hanya
satu dua?
“Mending kalau semua tamu bisa
model Mursalim, cukup dengan
berdiri. Lha, Inoh dan Ipah contohnya? Mereka kan perempuan
asli, harus telentang. Ndak mungkin main sambil berdiri kan?”
17. “Usaha kita bisa bangkrut!”
Semua lantas menuding Wak Kontet. Wak Kontet balas menuding:
“Harap sampeyan jangan salahkan
aku lho. Aku hanya buka kridit
nolong yang susah di sini. Malah
gara-gara banyak anggota yang
betah, banyak tertarik cari lemburan, aku jadi susah. Langganan
kridit semakin kurang,” Wak Kontet langsung ngotot.
“Bukan begitu Wak Kontet. Sesama kerabat dilarang saling melarang. Kumpulan ini, maksudnya
cari jalan keluar. Bagaimana kalau kita gunakan becak? Kita sewa
becak-becak buat main. Daripada
banyak nongkrong malam-malam,
kasian. Aku sudah nembung Mas
Jalil. Mas Jalil setuju satu kali
main dua ribu. Paling banter juga
setengah jam rampung, kan? Lagian, semua becak punya tedeng
hujan. Nah, tedeng hujan itu bisa
pake tutup. Biar gak ketahuan.
Dari pada gelar di rumput terbuka? Pegalaman kita-kita semua,
begitu tamu diajak gelar di rumput, banyak enggak mau.”
***
Sungguh Gusti Sultan milik kami.
Puluhan becak yang kami anggap
sekerabat karena banyak diantaranya yang juga tak punya rumah,
kini menjadi warga baru. Warga
yang baik, karena kami semua
memang baik. Begitulah jika malam mereka bergerombol di warung sego angkring Pakde Sukir,
itu artinya becak mereka sedang
main. Pada awalnya amat lucu
melihat puluhan becak-becak yang
keliatan kosong (tentu saja dengan tedeng tertutup), akan tetapi
bergerak-gerak. Tapi lama-lama
jadi terbiasa. Pernah suatu ketika,
becak kosong yang bergerak itu
tiba-tiba nyelonong. Tentu saja
dua pemain di dalamnya panik,
berteriak mencoba keluar dengan
tubuh telanjang. Orang-orang kaget, lantaran becak itu akhirnya
jempalit, jungkir. Lha, ya pasti saja
jungkir, soalnya tak ada keseimbangan kalo orang yang ada di
dalamnya keluar tiba-tiba. Pakde
Sukir bilang, becak itu pasti didorong kuntilanak. Tapi aku tidak
setuju. Aku bilang, sudah lama
kuntilanak tidak lagi betah tinggal
di sekitar tembok beringin. Kuntilanak sudah diusir Gusti Sultan.
“Tapi kenapa becak itu nyelonong
tiba-tiba?” katanya. Aku jawab:
“Mungkin kita harus mengganjal
becak-becak itu dengan batu. Sebelum becak dipake main.” Lalu
semua setuju. Bahkan Mas Jalil
mengikat roda belakangnya pada
sebuah patok. Sejak itu, tak lagi
ada kejadian aneh yang menimpa
para pemain. Semua aman.
lan yang meredup dalam tebaran
becak-becak sewaan, berpencarpencar semakin subuh semakin
gelap.
Kecuali Predik. Ya, hatiku semakin
tidak aman semenjak predik menjadi akrab pada semua kerabat.
Ketika pikiran tentang becak diketahui Predik, lelaki jin itu masih
amat mesra menepuk-nepuk pundakku sambil bilang, “Kamu memang pintar, Lisa. Aku suka kamu
pintar.” Dan Predik pun makin
akrab dengan tukang-tukang becak. Makin sering kelayapan. Makin jarang mengajak jalan.
Aku diam. Aku melihat Mak Jamilah curiga. “Apakah kamu sakit,
Lisa?”
***
Tiga puluh entah kerabat untuk
seorang laki-laki, apakah mungkin? Mulanya aku senang. Suka.
Gembira. Predik seperti priyagung kekaguman, tidak jijikan dan
nyinyir. Semalam dua malam.
Sebulan dua bulan. Dua tahun?
Aku tunjukkan dengan bangga
semuanya tentang kita-kita, kerabat-kerabat, semua: kebiasaan,
cara omong-omong, harga, juga
tentu para langganan. Sedang aku
sudah merasa betul jadi wanita.
Cor-coran masih anget, lampu ja-
Pada mulanya aku juga paling suka melihat bayangan Predik melintas-lintas. Tertawa-tawa. Kadang berdiri di tembok. Kadang
lenyap di balik tedeng. Aku senang
dan percaya. Lama. Tapi lamalama, ah lama sekali, aku gelisah.Cerita Mak Jamilah tukang
pijat, yang juga kerabat kami,
membuat aku takut. Mak Jamilah
bilang: “Suamimu kini jadi rebutan. Tadi malam aku lihat, suamimu mencoba main di dalam becak.
Bersama Mursalim.”
Suami? Duh.
“Kamu pucat, Lisa.”
Dua tahun tak terasa, dan kini
usiaku sudah sembilan belas. Semestinya aku menganggap hal itu
adalah biasa. Semenjak kecil, aku,
Lisamah, tak pernah memiliki apa
pun. Bahkan tak pernah memiliki
kemarahan, kecuali saat usia lima
belas saat keperawanan milik paling sial dihina. Tapi kini, kenapa
mendadak merasa marah? Mendadak ingin menangis. Mendadak
ingin pergi.
Aku tidak tahu harus bagaimana.
Hingga suatu malam aku memberanikan diri bertanya: “Apakah
engkau cinta Inoh dan Nursalim,
Predik?”
Predik mengangguk. “Saya mencintai mereka semua. Semua yang
tinggal di sini.”
Predik lantas tertawa. Menggenggam tangan dan berjalan. Menun-
18. juk lampu, jalan, gedung-gedung,
dan rumah: ”Lihat keraton itu
Lisa. Begitu besar dan megah. Semua yang tinggal di sana, pasti
bahagia Tapi di sini orang-orang
juga bahagia. Kau tahu arti nrimo?
Itulah yang dikatakan Sultan supaya kalian bahagia. Itulah yang
lantas dikatakan Inoh. Itulah yang
juga dikatakan Nursalim. Mungkin
itu pulalah yang kemudian dikatakan semua. Saya ngeri. Saya tidak
seperti kamu, tapi saya tak pernah bisa tertawa seperti ini. Di
negeri yang jauh, saya punya rumah, punya pekerjaan, punya kehidupan; tapi tidak seperti di sini.
Di negeri saya yang jauh, orangorang semacam kamu pasti sudah
bunuh diri! Pasti....” Predik terus
nyerocos. Samber bledek aku tak
paham. Kenapa Predik bilang seperti itu? Kenapa Predik bilang
mencintai semua? Apakah mungkin Predik juga bermain dengan
mereka semua, tiga puluh entah
lelaki dan perempuan? Ingat
bayangan itu, aku tiba-tiba menjadi pusing. Tapi siapakah aku? Aku
hanyalah Lisamah.
“Kenapa Lisa? Kamu terlihat pucat.”
Aku diam. Aku sebetulnya ingin
bilang bahwa aku sakit. Tapi aku
takut.
“Katakan Lisa. Apa kamu mau
ngomong sama saya?”
“Tidak,” aku menggeleng.
Akhir-akhir aku memang sakit.
Takut. Aku benci mereka: Marsinah, Inoh, Painah, Sulijo, —
semuanya. Makanya aku pilih
tinggal di jalan. Menunggu Predik
pergi. Dan seperti wanita-wanita
yang pernah kulihat, aku pun
mencoba menangis. Mengeluarkan air mata. Pada usia sembilan
belas
itulah
aku sungguhsungguh bisa menangis. Aku nyaris
tak percaya. Hingga suatu pagi
yang tak baik Predik menderita
gila dan mengajakku pergi ke penginapan. Kemudian di sanalah ia
bilang dengan mulut paling buruk:
“Lisa, saya mau bilang terima kasih. Seluruh ceritamu, serta pengalaman bersama orang-orang di
tempatmu sungguh amat berharga. Kini sudah saatnya saya pulang. Saya akan tulis sebuah laporan yang amat penting. Bagi saya,
dan terutama bagi negeri saya.
Saya harus segera pergi.”
Samber bledek! Demit gundul!
"Pergi lapor? Jadi kamu mau pergi
lapor, melaporkan aku? Pada siapa? Heh?! Jadi kamu sebetulnya
temen pulisi?" Aku kaget dan putus asa. Pucat. Tak dinyana. Lalu
lelaki jin itu malah menggeleng
tertawa.
"Ah, kamu tidak mengerti, Lisa,
kamu tidak...."
"Kamu sudah pake aku, pake Inoh,
pake Mursalim, pake semua. Semua! Semua, uh-uh.... Jadi kamu
sebetulnya siapa? Kamu musti
ngaku! Kamu...."
"Dengar Lisa!"
Demit bau! Apakah yang aku ngerti? Mulut Predik nyerocos. Terus
nyerocos. Busuk dan gila. Aku bisa
meradang. Aku hanyalah Lisamah,
bukan Lisa, bukan wanita. Aku
benci: “Pergilah, bangsat! Lelaki
busuk! Ke neraka!!” aku sakit. Aku
sungguh-sungguh sakit. Aku makin
tak suka mereka semua: Marsinah,
Inoh, Painah, Sulijo, —semuanya.
Aku ingin ngamuk. Ingin membunuh. Dan ingin mati.
Sumber: Horison Online, Mei 2011
19. Puisi
Pisau yang Takut
Isak Hujan
Karya Adri Sandra
Karya Adam Gottar Pirre
Karya Yogi S. Memeth
matanya mencari, daging yang tersembunyi; betapa harum
bau darah di balik kulit, deras mengalir
antara urat dan tulang, denyut panasnya di pembuluh nadi
Ia berdiri menunggu dekat vas bunga
hanya berdiri
tanpa kata-kata
ditatapnya kelopak-kelopkak ungu
dengan mata berkedip
menangiskah?
jangan ditanya
bibirnya tak akan menjawab
tapi lihatlah bulu matanya
dan butir-butir kristal yang tergantung
di ujung bulu matanya
pada tangis yang hendak pecah
tapi selalu ditahannya dalam
lipatan bibir
ia tak ingin sedu-sedan memaknai
dukanya yang dalam
dengan mengendarai angin
orang – orang mengepung istana.
istana yang menyulut resah
berjelaga terpukat laba – laba
"betapa tajam matamu, berkilat disorot lampu!"
dan pisau itu menggeliat, merabaraba dinding malam
tapi di balik beton yang tebal, aku
mengintip
dari celah lubang-lubang angin dan
pori-pori hari yang berkeringat
"jangan! leher ini menyatukan kepala
dengan badan
jangan pisahkan ajal dengan kematian!"
mata pisau itu berkedip; bau maut
menggigil di kedua lutut
seketika kugambarkan bayang-bayang
peperangan
bom, peluru kendali, laras-laras pistol
mata pisau itu terpejam, mulutnya
mengigau risau
"ah, dunia begitu tolol!"
Sumber: Horison Online, 2011
Kabar Jalan Menuju Istana
orang – orang bermulut api melempar
kobar menuju istana
sepuluh ribu penjaga bersenapan –
mobil baja
membentang kawat duri lima ratus
meter langkah – dindingnya
api – api menyala – nyala membumbung
tinggi
kemudian menghujat deras istana
“kita musti membersihkan kerikil api”
sabdamu pada seratus perajurit bernama Wine
dalam wajah kehilangan ruh,
setelah hujan pertama--seratus api
jelma babi
seruduk dada Wine kanan – kiri
dan kabar dari jalan menuju istana
seratus api berpendar
dalam mabuk onani
Sumber: Horison Online, 2011
dan di arus zaman
pisau hilang keberanian
muram dalam ketakutan.
Dangau, 2011
Sumber: Horison Online, 2011
20. Sastra Melayu Klasik
Hikayat Patani
Bismillahirrahmanirrahiim. Wabihi
nastainu,biIlahi al a’la.
Inilah suatu kisah yang diceritakan
oleh orang tua-tua, asal raja yang
berbuat negeri Patani Darussalam
itu.
Adapun raja di Kota Maligai itu
namanya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana
pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda itu
Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka
Paya Tu Antara pun kerajaanlah
menggantikan ayahanda baginda
itu. Ia menamai dirinya Paya Tu
Naqpa.
Selama Paya Tu Naqpa kerajaan
itu sentiasa ia pergi berburu. Pada
suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda:
“Aku dengar khabarnya perburuan
sebelah tepi laut itu terlalu banyak
konon.”
Maka sembah segala menteri:
“Daulat Tuanku,sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu,
patik dengar pun demikian juga.”
Maka titah Paya Tu Naqpa: “Jikalau demikian kerahkanlah segala
rakyat kita. Esok hari kita hendak
pergi berburu ke tepi laut itu.”
Maka sembah segala menteri hulubalangnya:”Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung.”
Arkian setelah datanglah pada
keesokan harinya, maka baginda
pun berangkatlah dengan segala
menteri hulubalangnya diiringkan
oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah
dan kemahpun didirikan oranglah.
Maka baginda pun turunlah dari
atas gajahnya semayam didalam
kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian.
Maka baginda pun menitahkan
orang pergi melihat bekas rusa itu.
Hatta setelah orang itu datang
menghadap baginda maka sembahnya: “Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu
banyak bekasnya.”
Maka titah baginda: “Baiklah esok
pagi-pagi kita berburu”
Maka setelah keesokan harinya
maka jaring dan jerat pun ditahan
oranglah. Maka segala rakyatpun
masuklah ke dalam hutan itu
mengalan-alan segala perburuan
itu dari pagi-pagi hingga datang
mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta
menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda
sendiri itu. Maka anjing itu pun
dilepaskan oranglah. Hatta ada
sekira-kira dua jam lamanya maka
berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera
mendapatkan suara anjing itu.
Setelah baginda datang kepada
suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang yang menurut anjing
itu. Maka titah baginda:”Apa yang
disalak oleh anjing itu?”
Maka sembah mereka sekalian itu:
“Daulat Tuanku, patik mohonkan
ampun dan karunia. Ada seekor
pelanduk putih, besarnya seperti
kambing, warna tubuhnya gilang
gemilang. Itulah yang dihambat
oleh anjing itu. Maka pelanduk itu
pun lenyaplah pada pantai ini.”
Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun
berangkat berjalan kepada tempat
itu. Maka baginda pun bertemu
dengan sebuah rumah orang tua
laki-bini duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh
bertanya kepada orang tua itu,
dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana
asalnya.
Maka hamba raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada
orang tua itu. Maka sembah orang
tua itu: “Daulat Tuanku, adapun
patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena
asal patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri
ke Ayutia, maka patik pun dikerah
orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah
Paduka Nenda sampai kepada
tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun
ditinggalkan oranglah pada tempat ini.”
Maka titah baginda: “Apa nama
engkau?”
Maka sembah orang tua itu: “Nama patik Encik Tani.”
21. Setelah sudah baginda mendengar
sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala
menteri hulubalangnya hendak
berbuat negeri pada tempat pelanduk putih itu. Setelah keesokan
harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang
mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat
hilir berbuat negeri itu. Setelah
sudah segala menteri hulubalang
dititahkah oleh baginda masingmasing dengan ketumbukannya,
maka baginda pun berangkat
kembali ke Kota Maligai.
Hatta antara dua bulan lamanya,
maka negeri itu pun sudahlah.
Maka baginda pun pindah hilir
duduk pada negeri yang diperbuat
itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri
yang sejahtera). Arkian pangkalan
yang di tempat pelanduk putih
lenyap itu (dan pangkalannya itu)
pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah.Dan) pangkalan
itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat itu.
Syahdan kebanyakan kata orang
nama negeri itu mengikut nama
orang yang merawa itulah. Bahwa
sesungguhnya nama negeri itu
mengikut sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
Sumber: Hikayat Seribu Satu Malam
22. Hikayat Si Miskin
Karena kutukan Batara Indra, raja keindraan beserta istrinya jatuh miskin, melarat, dan
terlunta-lunta di kerajaan Antah
Berantahyang diperintah oleh
Maharaja Indra Dewa. Setiap hari
si miskin mencari sisa makanan
yang sudah dibuang orang di tempat – tempat sampah. Apabila
penduduk melihatnya , mereka
beramai-ramai
menghina,memukul, dan mengusis si
miskin suami istri itu, sehingga
badannya luka-luka. Sedih hati si
miskin sepanjang hari dan tidak
berani masuk kampong karena
takut di pukul atau dilempari batu.
Diambilnya daun-daun muda untuk di makan dan untuk pengobat
luka di tubuhnya. Demikian pengalaman dan penderitaan mereka
sepanjang hari.
Ketika mengandung 3 bulan , istrinya mengidamkan buah
mempelam ( sejenis mangga )
yang tumbuh di halaman istana
raja. Dimintanya agar suaminya ( si
miskin ) meminta buah mempelam
itu kepada raja. Mendekat kampong saja suaminya tidak berani,
apalagi hendak menghadap raja
minta buah mempelam itu. Dengan sedih dan meratap istrinya
memohon supaya suaminya mau
meminta mempelam raja itu. Karena kasihan kepada istrinya si
miskin mencoba meminta mempelam itu.
Tiada disangka-sangka ,
raja sangat bermurah hati dan
member kan mempelam yang diminta si miskin. Buah lain seperti
nangka pun di beri raja. Penduduk
kampong yang melihatnya jatuh
kasihan dan bermurah hati member si miskin kue dan juadah 9 kue
basah ) mungkin berkat tuah anak
yang dikandung istrinya juga hal
yang demikian itu terjadi.
Pada hari baik , setelah
cukup bulanya , istri si miskin melahirkan seorang putra yang sangat elok parasnya , anak itu di beri
nama Marakemah yang artinya
anak dalam penderitaan.
Ketika si miskin menggali
tanah untuk memancangkan tiang
atap tempat berteduh , tergali
olehnya taju ( tapi mahkota ) yang
penuh berhias emas . dengan kehendak yang maha kuasa , terjadilah lengkap dengan alat , pegawainya , pengawal dan sebagainya
ditempat itu. Si miskin menjadi
rajanya dengan nama Maharaja
Indra Angkasa dan istrinya menjadi permaisuri dengan nama Ratna
Dewi. Kerajaan itu mereka namakan Puspa Asri .
Kerajaan puspa asri terkenal kemana-mana. Pemerintahanya baik, rakyatnya aman, damai, makmur, dan sentosa. Tiada
lama kemudian lahirlah pula adik
Marakemah yang di beri nama
Nila Kesuma. Bertambah mashurlah kerajaan puspa sari dan bertambah pula iri hati Maharaja Entah Berantah.
Kemudian tersiar kabar ,
Maharaja Indra Angkasa mencari
ahli nujum untuk mengetahui peruntungan kedua anaknya kelak.
Kesempatan ini di pergunakan
Maharaja Indra Dewa . semua ahli
nujum dikumpulkan dan dihasutnya supaya mengatakan kepada
Indra Angkasa bahwa Marakemah
dan Nila Kesuma akan mendatangkan mala petaka dan akan
menghancurkan kerajaan puspa
Asri . semua ahli nujum mengatakan seperti yang di hasutkan oleh
Maharaja Indra Dewa.
Mendengar kata-kata ahli
nujum itu sangatlah murka Maharaja Indra Angkasa .maraakemah
dan adiknya hendak di bunuhnya,
permai suri Ratna Dewi menagis
tersedu-sedu, memelas, dan memohon pada suaminya supaya
kedua putranya jangan dibunuh .
ia tak tahan lagi melihat ke dua
anaknya di perlakukan demikian.
Dimohonnya kepada suaminya
supaya di biarkan saja kemana
perginya mereka. Sambil di sepak
dan di terjang, pergilah ke dua
anak iti mengembara tanpa tujuan. Sesaat setelah mereka pergi
kerajaan Puspa Sari terbakan habis, semuanya musnah.
23. Sampai dikaki bukit berteduhlah Marakemah dengan adiknya Nila Kesuma, dibawah sebatang pohon dalam keadaan lapar
tertangkaplah seekor burung yang
sedang hinggap di dekatnya. Karena lapar, mereka hendak memakan burung itu dan berusaha hendak memasaknya lebih dahulu.
Datanglah mereka ke pondok seorang petani hendak minta api untuk membakar burung itu. Tibatiba mereka ditangkap petani karena di tuduh hendak mencuri .
keduanya dilemparkan ke laut dan
di terjang ombak kesana kemari.
Nila Kesuma akhirnya terdampar
di pantai dan di temukan oleh raja
Mengindra Sari, putra mahkota
kerajaan palinggam cahaya. Nila
Kesuma di bawa ke istana , kemudian di persunting raja Mengindra
Sari, menjadi permaisuri dengan
gelar putri mayang mengurai.
Marakemah di bawa arus
dan terdampar di pangkalan (
tempat mandi di pantai ) nenek
gergasi ( raksasa tua . kemudian
dia di ambil dan di masukkan dalam kurungan di rumahnya . kebetulan di situ telah di kurung pula
putri Raja Cina bernama Cahaya
Khairani yang tertangkap lebih
dahulu. Mereka ini akan dijadikan
santapan sang gergasi.
Sebuah
kapal
besar
menghampiri perahu mereka dan
mereka ditangkap lalu dimasukkan
ke kapal. Nahkoda kapal jatuh cinta kepada Cahaya Khirani . cahaya
Khirani di paksa masuk ke dalam
kmar , sedangkan marakemah di
buang ke laut.
Dalam keadaan terapungapung . setelah kapal berlayar juh,
,Marakemaah di telan seekor ikan
nun ( ikan ynag sangat besar. Ikan
itu terdampar di pangkalan nenek
kabayan. Seekor burung rajawali
terbang diatas pundak nenek kabayan dia emberi tahu supaya perut ikan nun yang terdampar dipantai itu di toreh ( di buka ) hatihati., karena di dalamnya ada
seorang anak raja . petunjuk burung itu diikuti nenek kabayan dan
setelah perut ikan nun dibuka keluarlah Marakemah dari dalamnya
mereka sama-sama senang dan
gembira . lebih- neek kabayan
yang mendapatkan seorang putra
yang baik budibya.
Marakemah tinggal di rumah nenek kabayan dan sehari
hari turut membantu membuat
karangan bunga untuk dijal dan
dikirim ke negeri lain.dan cerita
nenek kabayan tahulah Marakemah . bahwa permaisuri kerajaan
tempat tinggal mereka bernama
mayang mengurai yang tidak lain
dari pada seorang putrid yang di
buang ke laut oleh seorang [etani
ketika hendk mencari api untuk
membakar seekor burung bersama kakaknya . yakinlah Marakemah bahwa putrid itu sesungguhnya adiknya sendiri.
sebenarnya marahkemalah yang
mengarangnya. Pada suatu ketika
dicantumkanya namanya dalam
karangan bunga itu. Dari mana itu
Cahaya Khirani dan Nila Kusuma
mengetahui bahwa marekamah
masih hidup. Bertambah dalam
cinya Cahaya Khirani kepada kekasihnya. Demikian juga Nila kesuma
beserta suaminya , berkemauan
keras untuk segera mencari kakaknya yaitu marakemah kerumah
nenek kabayan itu.
Betapa gembira mereka
atas pertemuan itu tak dapat dibayangkan dengan mudah pula
marakemah bersama iparnya Raja
Palinggap Cahyo dapat menemukan tempat cahaya khirani disembunyikan oleh nahkoda kapal. Setelah cahaya khirani ditemukan
dan ternyata ia belum ternoda
oleh nahkoda , maka dilangsunhkanlah pernikahan antara marakemah dengan cahaya khirani .
dan nahkoda yang menggoda cahaya kirani di bunuh di kerajaan
palinggan cahaya.
Marakemah bersama cahaya kirani kemudian pergi ke
tempat ayah – bundanya yang telah jatuh ,iskin di Puspa Sari yang
telah lenyap dengan isinya di daratan tinju maya, mercu indra kemudian ia dinobatkan di sana
menggantikan orangtuanya.
Kebetulan Cahaya Khairani
maupun Mayang Mengurai sangat
menyukai karangan nenek yang
(Sumber: Peristiwa Sastra Melayu Lama)
24. Gurindam
Oleh: Raja Ali Haji
Pasal Pertama (1)
Barang siapa tiada memegang agama. Segala-gala tiada boleh dibilang nama. Barang siapa mengenal yang
empat. Maka yaitulah orang yang ma’rifat. Barang siapa mengenal. AllahSuruh dan tegaknya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal diri. Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri. Barang siapa mengenal dunia. Tahulah ia barang yang terpedaya. Barang siapa mengenal akhirat. Tahulah ia dunia mudharat
Pasal Kedua (2)
Barang siapa mengenal yang tersebut. Tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang. Seperti rumah tiada bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa. Tidaklah mendapat dua termasa. Barang siapa meninggalkan zakat. Tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji. Tiadalah ia menyempurnakan janji.
25. Cuplikan Naskah Drama
Judul: Bunga Rumah Makan
Karya Utuy Tatang Sontani
Panggung merupakan ruangan rumah makan, dialati oleh tiga stel kursi untuk tamu, lemari tempat minuman,
rak kaca tempat kue, meja tulis beserta telepon, radio dan lemari. Pintu masuk ada di belakang dan pintu keluar ada di depan sebelah kiri.
(Adegan 3)
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
Pengemis
Ani
(Adegan 4)
: (ke belakang sambil menyanyi kecil).
: (masuk pelahan-lahan dengan kaki pincang, setelah di dalam, melihat ke kiri-ke kanan, ke rak
tempat kue-kue, kemudian menuju rak itu dengan langkah biasa, tangannya membuka tutup
stopples hendak mengambil kue).
: (tampil dari belakang) Hai!
: (cepat menarik tangannya).
: Engkau mau mencuri, ya?
: (menundukkan kepala).
: Hampir tiap engkau datang di sini, engkau kuberi uang.Tak nyana, kalau sekarang berani datang di sini dengan maksud mencuri.
: Ampun, Nona, ampun.
: Mau sekali lagi kau mencuri?
: Saya tak akan mencuri bila saya punya uang.
: Bohong!
: Betul, Nona, sejak kemarin saya belum makan.
: Mau bersumpah, bahwa engkau tak hendak mencuri lagi?
: Demi Allah, saya tak akan mencuri lagi, Nona. Asal...
: Tidak. Aku tidak akan memberi lagi uang padamu.
: (sedih) Ah, Nona, kasihanilah saya.
: Tapi mengapa tadi mau mencuri?
: (sedih) Tidak, Nona, saya tidak akan sekali lagi. Dan saya sudah bersumpah. Ya, saya sudah
bersumpah.
: (mengambil uang dari laci meja) Awas, kalau sekali lagi engkau mencuri!
26. Pengemis
Sudarma
Pengemis
Sudarma
Ani
Sudarma
Ani
Pengemis
Sudarma
Pengemis
Sudarma
Ani
Sudarma
Ani
Sudarma
Ani
Sudarma
Ani
Sudarma
: (masuk menjinjing tas kulit, melihat kepada pengemis)
: Mengapa kau ada di sini? Ayo, keluar.
: (diam menundukkan kepala).
: (kepada Ani) Mengapa dia dibiarkan masuk, An?
: Hendak saya beri uang.
: Tak perlu. Pemalas biar mati kelaparan. Padahal dia datang di sini mengotorkan tempat
semata
: (memberi uang kepada pengemis) Nih. Lekas pergi.
: Terima kasih, Nona. Moga-moga Nona panjang umur.
: Lekas pergi dan jangan datang lagi di sini.
: (pergi keluar dengan kaki pincang).
: Lain kali orang begitu usir saja, An. Jangan rumah makan kita dikotorinya. (dengan suara lain)
Tak ada yang menanyakan daku?
: Ada, tapi entah dari mana, sebab Karnaen-lah yang menerima teleponnya tadi.
: Anakku sudah biasa lalai. Barusan dia ketemu di jalan, tapi tidak mengatakan apa-apa.
(mengangkat telepon) Sembilan delapan tiga.
: (membersihkan kursi).
: (kepada Ani) Meja ini masih kotor, An.
: (membersihkan meja).
: (dengan telepon) Tuan kepala ada? -Baik, baik.- Waaah, kalau sudah banyak uangnya, lama
tidak kedengaran suaranya, ya? - ya? -Ini Sudarma, bung. - Ha, ha, ha, betul, betul. - Biasa saja,
menghilang sebentar untuk kembali berganti dulu. - (tertawa) - Tapi, bung, bagaimana tentang
kanteb yang dijanjikan itu? - Ah, ya? - Bagus, bagus, lebih cepat lebih nikmat. - ya, ya, sebentar
ini juga saya datang. -Baik, baik. (telepon diletakkan; kepada Ani) Aku hendak pergi ke kantor
pertemuan. Kalau ada yang menanyakan, baik perantaraan telepon atau datang, tanyakan keperluannya, lalu kau catat, ya An? (melangkah).
: Ya.
: Eh, jika nanti Usman datang di sini, suruh menyusul saja ke kantor pertemuan. Dan engkau
jangan bepergian.
Sumber: Horison, Kitab Nukilan Drama, 2002
27. Judul: Rama Bargawa
Karya D. Jayakusuma
(Adegan XXV)
(Pentas belakang terang, muncul Petruk, Gareng, dan Bagong)
Petruk
: Menurut Semar yang maha tahu segera datang seorang tamu.
Gareng
: Pedagang atau bangsawan?
Bagong
: Katanya anak pendeta ex raja.
Petruk
: Yang bekas raja itu pendeta atau anaknya?
Bagong
: Anak jadi raja, pendetanya jadi ex.
Gareng
: Kalau mendengar yang gamblang, kalau bicara yang terang.
Bagong
: Aku ini bicara tegas, sebab itu pasti jelas, tegasnya aku sendiri tidak jelas.
Petruk
: Siapa yang ex raja, atau ex pendeta, atau ex anak tidak penting, yang penting kita harus menerimanya,
kita dijadikan protokol. Kita kol bersaudara. Semar jadi dongkol.
Gareng
: Memang aku antikol. Aku pro kangkung, ditambah hidung, ditambah petis yang agak manis ............
Petruk
: Jangan main-main. Amanat orangtua. Supaya tamu merasa dihormati, yang menerima harus setaraf
dengan dia. Kalau dia bangsawan, kita juga bangsawan.
Bagong
: Cocok. Aku komedi bangsawan.
Aku jin Afried: La, la....
Gareng
: Ya, Pangeran Ommelet. Pangeran sudah adu jangkrik?
Bagong
: Aku kok tidak ditanya?
Petruk
: Bagaimana Tuanku Baron Bagong?
Bagong
: Baik-baik. Terima kasih, Pangeran Pailit. Namaku Baron Bagong de Bawor.
(Adegan XXVI)
(Bergawa datang)
Gareng
: Ah, tamu kita datang. Selamat datang! Saudara ini raja atau tukang kayu?
Bergawa
: Saya Rama Bergawa alias Rama Parasu.
Petruk
: Tambah Seri Paduka.
Bergawa
: Maaf Tambah Seri Paduka.
(Pada Petruk). Ini raja?
Gareng
: Berapa kali sudah menghina. Tapi tidak apa. Ini cuma sandiwara.
Saya raja negeri kurang tahu, darahku biru, buat transfusi tidak laku.
Bergawa
: Maaf, Seri Paduka mengapa pincang?
Gareng
: Pincang? Masalah gampang. Sebentar mengarang. Ini garagara kerang. Waktu ibu saya mengandung.
Bagong
: Mengandung!
Gareng
: Supaya yang diam, Baron.
Waktu ibuku mengandung waking tabu... waking wang?
Bergawa
: Apa itu waking wang?
Gareng
: Sorry. Tidak kenal bahasa Kawi?
Maksudnya badannya saya. Dia iseng makang kerang di restoran ngangkang ....
Bergawa
: Pantas, Seri Paduka seperti kerang.
28. Gareng
Bergawa
Bagong
Gareng
Petruk
Bagong
Petruk
Bagong
Gareng
Bagong
Petruk
Gareng
Petruk
Bergawa
Petruk
Bagong
Gareng
Petruk
Bergawa
Petruk
Bergawa
: Ya, kerang. Perlu kerang? Berapa kilo?
: Terima kasih, lain kali. Ini yang bundar?
: Perkenalkan! Saya Baron Bagong de Bawor de Belangsetan, keturunan kesepuluh dari maharaja diraja,
keturunan raja disinga, tanpa di. Mengapa bundar? Terlalu banyak obat dan gas. Sebentar lagi aku akan
melayang seperti balon; ngalor, ngidul, ngetan, kembali kulon. Mau kelon?
: Sudah tolol adu okol. Kita harus raja, pangeran, dan baron.
: Betul. Sekarang bagi-bagi titel.
Kang Gareng yang tua jadi raja. Aku jadi pangeran.
: Setuju. Aku jadi Baron de Bagong. Lha, Pak Semar jadi apa?
: Dia mestinya, ya, jadi kaisar.
: Cocok. Semar mbokne Parto.
: Mbokne Parto bagaimana?
: Itu yang selalu garuk-garuk perutnya. Orang kecil.
: O, Bonaparte. Nah, itu orangnya datang. Awas! (Pada Gareng). Seri Paduka apa sudah mandi pagi ini?
: Sudah Pangeran. (Berbisik). Siapa namamu? Sudah tiga kali.
: (Berbisik). Panggil aku Ommelet.
: Sangat mengagumkan. Dan tuan panjang ini?
: Pangeran. Pangeran pengkalan bambu bambungan– Satria 100 persen. Boleh ditawar.
: 75 persen.
: 25 persen.
: 50 persen. Jadi? Jadi. 50 persen.
Nah, Grap Barbara ....
: Rama Bergawa alias Rama Paras.
: Baik Rama Bergawa, hari ini kau, kami angkat jadi Grap Parabagawa di Barbasu de Bakso. Grap tentu
ingin audiensi menghadap seri paduka yang mulya lagi bijak bestari asmara terpendam di keranjang
sampah.
: Kalian ini bangsawan atau badutbadut yang tidak lucu?
(Adegan XXVII)
(Semar datang sambil tertawa terkekeh-kekeh).
Semar
: Maafkan saya, anak-anak saya. Memang agak kurang ajar, walau sudah berkali-kali dihajar tanpa bayar.
Saya ini Semar, budak biasa, budaknya Prabu Rama saja, tidak pakai embel-embel.
Bergawa
: Jadi namanya Rama– saja tidak pakai embel-embel.
Semar
: Maksud saya Rama saja, thok, doang. Dia bukan Rama Barbawa-bawa.
Petruk
: Juga bukan Bar ngangsu di kali baru.
Gareng
: Bukan pula Bar ngawur di kali tawur.
Bagong
: Juga bukan Bar Bir di tempat parkir.
Semar
: Sudah siap menghadap majikan saya?
Bergawa
: Lekas bawa dia kemari.
Gareng
: Jangan omong asal omong.
Petruk
: Salah omong bisa monyong.
Bagong
: Sekali monyong minta lontong.
Bergawa
: Sekali lontong.... gila. Biar aku ke sana.
Semar
: Tunggu saja di sini dengan sabar.
(Adegan XXVIII)
Semar pergi.
Gareng
Petruk
Bagong
: Dan jangan berani kurang ajar.
: Lebih baik berdamai, kompromi.
: Tapi bayar uang administrasi. Uang semir juga jadi. Mau plesir? Aku ladeni.
29. Bergawa
: Bawa dia lekas kemari. (Bargawa mengangkat kapaknya. Gareng, Petruk dan Bagong memasang kudakuda pendak, bokser, dan gulat).
(Adegan XXIX)
(Rama Wijaya diantar Semar. Rama Wijaya tidak membawa senjata).
Rama Wijaya : Kamu sekalian, pergi.
Gareng
: Yang hati-hati.
Petruk
: Harus ada saksi.
Rama Wijaya : Sudahlah, pergi sana!
Bagong
: Sisa makanan masih ada?
Semar
: Masih banyak, ayo!
(Semar dan anak-anaknya pergi. Tinggal Rama Wijaya dan Rama Bergawa berhadapan).
(Adegan XXX)
(Rama Wijaya dan Rama Bergawa berhadapan).
Rama Wijaya : Sama awalnya, lami akhirnya sama namanya, lami gelarnya semoga dewa melindungimu sehat-sehat di
hadapanku?
Rama Bergawa : Terima kasih atas sambutanmu sudah lama aku ingin bertemu dengan orang menyamai namaku.
Rama Wijaya : Aku senang berjumpa muka dengan Bergawa Parasu Rama begitu tersohor di dunia.
Rama Bergawa : Kita berjumpa mengadu senjata mengapa datang bertangan hampa?
Rama Wijaya : Kau datang hendak membunuh aku datang menerima tamu seperti galibnya tuan rumah terhadap tetamu harus ramah. Kau datang mencabut nyawa aku serahkan dengan rela.
(Rama Wijaya berlutut di depan Rama Bergawa, mengalungkan lehernya).
Rama Bergawa : Ini bukan keramahan tapi jelas penghinaan.
Rama Wijaya : Aku bermaksud tidak melawan karenanya aku hampa tangan. Aku sadar dosaku sangat banyak sudah
layak jadi sasaran kapak atau Bargawastra yang sakti akan mengantar aku kembali ke asalku yang sejati.
(Rama Wijaya menung, kemudian ia kembali tegak, sedang Rama Bergawa terdiam).
Rama Wijaya : Dunia tabu akan hasratmu menggantikan Yamadipati.
Penuhi hasratmu jangan ragu masih banyak tugasmu menanti.
(Bergawa ayunkan kapak. Rama mengelak. Kapak mengenai tanah, tangkainya patah jadi dua, Bergawa
heran).
Jumlah satria tak terbilang jangan biarkan waktu terbuang.Kau mau bersihkan dunia lakukanlah dengan
segera.
(Bergawa memasang tali pada busur. Mendadak tali putus. Dengan kesal busur dilempar ke tanah).
Mengapa tanggalkan senjata? Badanmu kuat sentausa tanganmu berotot baja cukup dengan mencekiksaja.
Chorus:
Rama Bergawa diam membisu menyadari tindakannya keliru.
Ia ingin bersihkan dunia dari satria murang tata.
Solo
Tiap apa dilakukannya?
Tiap satria dibunuhnya bahkan juga perempuan dan bayi dalam kandungan.
Rama Wijaya
Chorus
: Tugasmu belum selesai belum terdengar lonceng usai masih banyak satria berkelana tak terbilang ke
turunannya. Angkat senjata bunuh semua bunuh aku dan dirimu karena kau laki-laki dan satria lagi. Baru sesudah tiada lagi seorang insan di dunia ini boleh kau tanggalkan senjata boleh kau menepuk dada
telah terpenuhi sumpahmu keji.
(Rama Bergawa bertekuk lutut di hadapan Rama Wijaya. Cahaya dipusatkan pada kedua tokoh itu).
30. Anak satria adalah satria tapi satria dan satria ada berbeda.
Solo
Perbuatan, perbuatan itulah nilai dan ukuran.
Maunya membersihkan dunia nyatanya ia mengotorinya.
Chorus
Bila dipimpin benci dan dendam pandangan tajam menjadi buram hati nurani tenggelam dalam.
Sumber: Horison, Kitab Nukilan Drama
Judul: Sudah
Karya Darto Temala
Pentas menggambarkan sebuah kebun, halaman belakang gedung perpustakaan suatu SMA. Di tengah terdapat bangku
panjang, tempat duduk yang terbuat dari semen. Bagian depan sebelah kanan terdapat bak air kecil yang tak ada airnya
dan bisa untuk duduk. Ada beberapa tanaman bunga dan pot bunga ada di situ.
Latar belakangnya gedung perpustakaan.
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
: (Sedang tekun membaca buku catatan, belajar. Tas, buku ada di sisinya, di bangku tersebut. Setelah
terdengar bel, beberapa saat berlalu dalam sepi)
: (Masuk dari kiri) Sudah lama?
: (Acuh tak acuh) Sudah!
: (Duduk di sampingnya) Tentu saja. Tadi kau tidak ikut pelajaran yang keenam. (Membuka buku cata
tan). Pak Hadi tadi juga menanyakan kamu. Lalu, teman teman menjawab sekenanya. Kau pulang lantaran sakit perut. (Pause) Jam keenam sudah lewat?
: (Sambil membaca) Sudah!
: Terang sudah. (Pause) Hmmmmm, sekarang jam pelajaran ketujuh. Jam kedelapan ulangan Fisika, jadi
masih ada waktu untuk belajar.... (Melihat jam tangan) Tiga puluh tujuh menit. Kau sudah belajar tadi
malam?
: (Sambil membaca) Sudah!
: Aku juga tahu, tapi cuma sepintas lalu saja. O, ya, soal-soal minggu kemarin sudah kau kerjakan?
: (Sambil membaca) Sudah!
: Semua? (Diam saja) Biasanya kau hanya mengerjakan empat dari sepuluh soal itu. Itu pun yang mudah
saja. lya, kan? Aku sendiri paling malas bila berhadapan dengan soal-soal Fisika. (Membuka catatannya)
Eh, Yus, sudah nonton "Mighty Man"?
: (Kesal) Sudah!
: Bagaimana kesannya? Bagus? Aku juga nonton, juga lihat kamu. Kau nonton dengan....
: (Cepat memotong) Sudah!
: Asyik ya, nonton duaan!
: (Kesal) Suuuudah!
: (Menggoda) Kau tidak salah memilih cowok macam Agus?
: (Marah) Sudah! Sudah!
: Dia itu cowok ideal. Gagah lagi. Face-nya lumayan, tidak terlalu ngepop, juga tidak kampungan.
: (Marah) Suuuuuuudah! Sudah!
: Apalagi anak pejabat tinggi.
: (Masih marah) Sudah, sudah, sudah!
: Sudah. Sudah,! Sudah! Lagi, ah! Dari tadi sudah melulu. Apa tidak ada kata-kata lain? Bahasa Indonesia
kan banyak perbendaharaan katanya. Sudah, sudah, sudah, dari tadi sudah, sudah, sudah melulu.
(Menggoda) Jangan begitu, Yus, dia itu benarbenar cakep, Iho.
: (Marah) Sudah, ah!
31. Igun
Yusrina
Igun
Yusrina
Igun
Hanafi
Yusrina
Hanafi
Igun
Hanafi
Igun
Hanafi
Igun
Hanafi
Igun
Hanafi
Igun
Hanafi
Igun
Hanafi
Igun
Hanafi
Igun
Hanafi
: Sudah! Baru bertengkar, apa? Sedang Perang Sabil, ya? Jangan, ah! Dia itu cowok ideal. Sungguh! Cuma
sayang. Kau kelihat-annya masih terlalu kecil. Aku kira kau belum pantas pacaran macam malam Minggu
kemarin itu. Soalnya....
: (Membanting bukunya) Sudah, sudah, sudah. Huuuuu... sudah, sudah, sudah. Cerewet terus. (Mengambil bukunya kembali) Sudah, aku mau belajar!
: (Menirukan) Sudah, sudah, sudah, sudah. Huuuu... sudah, sudah, sudah! Cerewet terus. Sudah, aku
mau belajar!
:(Mencibir) Huuuuuh!
: (Menirukan) Huuuuuh!
: (Masuk dari kanan) Nah, ini. Ini baru bisa disebut pelajar teladan. Serius juga kelihatannya. (Mendekati
Yusrina) Yus, mau ulangan, ya?
: (Sambil membaca) Sudah, sudah, sudah!
: Lho! Kelewat serius, nih! (Duduk di antara mereka) Sedang yang ini? Aku agak sangsi. Ini belajar atau
melamun? Gun!
: (Sambil membaca) Sudah, ah. Berisik saja. Ada orang lagi belajar ini.
: Apa? Orang macam kamu belajar? Lantas kebudayaan menyontekmu kau ke manakan?
: Sori saja, tidak musim sekarang.
: Omong kosong! (Mengeluarkan sebatang rokok) Pinjam koreknya.
: Buat apa? Pinjam korek pada orang lagi belajar. Ini baru sepaning, mau ulangan Fisika tahu?!
: Mau ulangan Fisika saja pakai sepaning segala. Tanya, nih, calon profesor. Beres!
: Profesor gombal!
: Tidak usah menghafal rumus-rumus. Buang waktu dan energi saja. Langsung pada soal, sekaligus
jawaban.
: Hah!? Apa kelasmu sudah ulangan?
: Sudah!
: Sudah?
: Sudah!
: Kapan?
: Jumat kemarin.
: Lho! Bukankah Jumat kemarin Pak Asnawi masih opname di rumah sakit?
: Ya, tapi Pak Asnawi kan guru tulen! Dia itu punya segudang soal ulangan sekaligus jawaban yang sudah
jadi. Suatu saat ada ulangan, pakai soal yang itu. Ada ulangan lagi? Pakai soal yang ini. Dan dia itu bisa
saja....
Sumber: Kumpulan Naskah Drama Remaja
32. Pantun
Pantun Agama
Pantun Peribahasa
Pantun Percintaan
Bunga kenanga diatas kubur
Pucuk sari pandan Jawa
Apa guna sombong dan takabur
Rusak hati badan binasa
Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Ikan belanak hilir berenang
Burung dara membuat sarang
Makan tak enak tidur tak tenang
Hanya teringat dinda seorang
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat dipintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian
Anak kera diatas bukit
Dipanah oleh Indera Sakti
Dipandang muka senyum sedikit
Karena sama menaruh hati
Pantun Jenaka
Pantun Nasehat
Pantun Adat
Orang Sasak pergi ke Bali
Membawa pelita semuanya
Berbisik pekak dengan tuli
Tertawa si buta melihatnya
Kemuning ditengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri
Menanam kelapa di pulau
Bukum Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
Ada apa diseberang itu
Mentimun busuk dimakan kalong
Ada apa diseberang itu
Bujang bungkuk gadis belong
Parang ditetak kebatang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka