1. MENAGIH JANJI NAWACITA JOKOWI DALAM PENYELESAIN KASUS
PELANGGARAN HAM MASA LALU.
(MOHAMAD HIDAYAT MUHTAR)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Penyelengaraan pemilu 2 tahun lalu menghadirkan sebuah isu yang sangat menarik
yang menyerang salah satu kandidiat calon presiden dengan berbagai isu pelanggaran HAM
dan menjadi aktor serta pelaku utama dalam pelanggaran masa lampau. Isu ini di hembuskan
dengan begitu derasnya dan menjadi perhatian banyak pihak, ada sebuah luka yang
mendalam serta kesedihan tiada tanding akan sebuah nestapa tak berujung bagi korban dan
keluarga Korban.
Terlepas dari itu isu HAM masa lalu masih belum padam dan apinya tetap menyala
terang. Pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan wakil presiden indonesia
menjadi sebuah nafas baru, harapan baru dalam penyelesain pelanggaran HAM Masa lampau
dengan slogan "Nawacita" yang salah satunya menjanjikan penyelesain pelanggaran HAM
masa lalu. Mimpi itu makin nyata ketika Nawacita di rumuskan dalam dokumen resmi yaitu
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMP) tahun 2014-2019 yang di
sahkan lewat Kepres Nomor 2 tahun 2015. Akan tetapi janji nawacita tentang penuntasan
kasus pelanggaran HAM masa lalu seolah hanya sebagai retorika pengantar tidur yang indah
di dengar yang nadanya menenangkan jiwa tetapi tumpul di lapangan, pelaksanaan nawacita
yang pada prinsipya menjadi salah satu instrumen untuk menuntaskan pelanggaran HAM
masa lalu menjadi tumpul sebagai akibat kekuataan politik terhadap orang-orang yang
bertanggung jawab pada saat itu.
Indonesia sendiri telah banyak mengalami pelanggaran HAM yang tetap
menimbulkan polemik berkepanjangan. Sebut saja pembantaian sesama anak bangsa yang
2. terjadi sebelum dan sesudah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dengan
jumlah korban sekitar 75 ribu – 1,5 juta orang, penembakan misterius “Petrus” 1982-1985
dengan jumlah korban sekitar 1.678 orang, kasus di Timor Timur pasca Referendum 1999
dengan korban 97 orang, juga kasus-kasus di Aceh pra DOM 1976-1989 dengan korban
ribuan orang. Selain itu, masih ada pula Kasus Tanjung Priok 1984 dengan korban 74 orang,
kasus-kasus di Papua 1966-2007 dengan korban ribuan orang, kasus Dukun Santet
Banyuwangi 1998 dengan korban puluhan orang, kasus Marsinah 1995, kasus hilangnya Wiji
Thukul, kasus Bulukumba 2003 dengan 2 korban tewas dan puluhan luka-luka, Talangsari
Lampung, 1989, dengan korban 803 orang, kasus 27 Juli 1996 dengan jumlah korban 1.317
orang, Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998 dengan korban 31 orang, Kerusuhan Mei 1998
dengan jumlah korban 1.308, kasus Semanggi I 1998 dengan korban 473 orang, Semanggi II
1999 dengan korban 231 orang, serta Penculikan Aktivis 1998 dengan korban 23 orang.1
Apakah data di atas tidak menjadi perhatian pemerintah yang mengelitik sanubari
hati kita sebagai bangsa yang berbudi pekerti, apakah nyawa seorang manusia begitu
murahnya dan dengan gampangnya para penguasa itu mengampar kesucian hukum,
mengampar kedigdayaan hukum, dan mengampar supermasi hukum serta melanggengkan
impunitas di Indonesia dimana letak kemanfaatan hukum, dimana letak kepastian hukum dan
dimana letak keadilan hukum jikalau pemerintah tetap tutup mata tentang hal ini
Jalur Rekonsiliasi yang di gagas pemerintah seolah-olah menjadi satu-satunya jalan
dalam penyelesain kasus pelanggaran HAM . Padahal instrumen hukum indonesia telah
memberikan jalan dalam penyelesain lewat UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan
HAM, dalam perkembanganya pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia merupakan
Kejahatan terhadap kemanusian yang di lakukan secara sitematik dan terencana, kejahatan
terhadap kemanusia sendiri dapat di artikan sebagai suatu kejahatan yang menyerang
1 Asvi Warman Adam, Dalam Artikel, Berkisah dengan Hati Nurani Wacana HAM Penantian Panjang Korban
Pelanggaran HAM, Jurnal Wacana HAM, Edisi 1-31 Juli 2008. Hal. 5-6.
3. Populasi sipil secara meluas yang di dalamnya terdapat perencanaan dan kesengajaan.
Adapun pasal 9 uu no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM menyatakan:2
“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematlk yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa :
a. pembunuhan
b. pemusnahan
c. perbudakan
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenangwenang yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum
intemasional
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual
lain yang setara
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, efnls, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid
Pelaku Kejahatan terhadap Kemanusian dapat di tuntut dengan Pasal 37 s/d pasl 41 uu
no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang berbunyi:
“Pasal 37 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a, b, d, e, dan j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat
10 (sepuluh) tahun.”
“Pasal 38 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 5 (lima) tahun.”
“Pasal 39 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana, dimaksud dalam
Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 5 (lima) tahun.”
“Pasal 40 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.”
“ Pasal 41 Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 atau Pasal 9 dipidana dengan
2 Lihat Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
4. pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.”
Sudah sangat jelas bahwa pasal-pasal di atas mengakomodir para pelaku
pelanggaran HAM untuk di bawah di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan mereka akan tetapi lagi-lagi inisiatif dari pemerintah dalam hal ini masih
sangatlah kurang dan telah menjadi pertanyaan banyak pihak mengapa hal ini dapat
terjadi apakah karena adanya pertimbangan politik atau pertimbangan lain tetapi
terlebih dari pertimbangan itu para pelaku harus di bawah di pengadilan HAM untuk
menegakan supermasi hukum.
Pelanggaran HAM merupakan kejahatan yang luar biasa yang menyangkut hajat
hidup orang banyak selain itu pelanggaran HAM di lakukan secara sadar dan sistematik tidak
ada suatu alasan apapun yang logis dalam menyelesaikan kasus ini dengan rekonsiliasi hal ini
menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah menindak secara hukum orang yang bertanggung
jawab saat itu yang turut menyuburkan praktek impunitas di Indonesia.
ada apa dengan tokoh-tokoh besar tersebut?
ada apa dengan mereka yang kuat secara politik?
dalam hal ini Lord Acton dalam teorinya Abuse of Power pernah mengatakan:
"Seseorang yang memiliki Kekuasaan cenderung untuk menyalahi kekusaanya akan
tetapi seseorang yang mempunyai kekuasaan yang tak terbatas sudah pasti menyalahi
kekuasaanya"
Tokoh-tokoh nasional yang memiliki kekuasan kuat sangatlah sulit untuk di sentuh
oleh hukum, harus butuh kerja keras serta keberanian yang luar biasa untuk dapat menindak
mereka. Janji Nawacita sebenarnya telah memberikan harapan baru, asah baru serta mimpi
baru, tetapi janji itu tak kunjung di realisasikan. Indonesia yang katanya sebagai bangsa yang
beradab tetapi membiarkan perbuatan BARBAR menjadi duri dalam daging yang pedihnya
tidak hilang sebelum DURI ITU DI HILANGKAN....!!!!