Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Konvergensi sains dan_spiritualitas
1. Klaim Dasar Sains dan Spiritualitas: Kemungkinan dan Ketidakmungkinan
Konvergensi?
*Harjo Winoto
Dalam dunia modern kontemporer, sains dikenal sebagai suatu aktivitas intelektual dan
praktis tentang studi suatu sistem, struktur, dan perilaku materi fisik (natural world) melalui
observasi dan eksperimen. Dalam pikiran orang awam, kata "sains" (atau science dalam
bahasa Inggris) dibayangkan sebagai buku teks yang tebal, jaket lab berwarna putih dan
mikroskop, seorang astronom yang sedang menerawang melalui teleskop, seorang naturalis
di hutan hujan tropis, atau persamaan Einstein (E=MC2
) di papan tulis. Secara umum,
gambar-gambar tersebut muncul sebagai bagian dari imaginasi tentang adanya suatu alat
atau penemuan yang dapat mengatasi permasalahan manusia. Namun, gambaran ini tidak
pernah secara utuh menjelaskan sains.
Berikut beberapa pendekatan dalam sistem yang dinamakan "scientific"
1. Asumsi aksiomatik
Beberapa filsuf mencoba mengartikulasi asumsi aksiomatik yang menjadi dasar sains, suatu
bentuk foundationalism. Pendukung pendekatan ini menyatakan bahwa asumsi ini cukup
masuk akal dan diperlukan untuk menjalankan aktivitas sains. Misalnya, Hugh Gauch
mengargumentasikan bahwa sains mengasumsikan bahwa "dunia fisik bersifat teratur dan
dan dapat dipahami". Sama halnya, seorang biologis Stephen Jay Gould, mengutip hukum
alam konstansi sebagai suatu asumsi yang harus diasumsikan seorang peneliti sebelum
memulai kegiatan geologi.
2. Koherentisme
Bertolak belakang dari pandangan sains berpijak pada asumsi pondasional, koherentisme
menyatakan bahwa semua pernyataan dapat dijustifikasi dengan menjadi bagian dari suatu
sistem yang koheren. Atau, jika pernyataan individu tidak dapat divalidasi dengan
sendirinya, hanya sistem yang koheren yang dapat dijustifikasi. Sebuah prediksi tentang
"transit of venus" (fenomena dimana planet Venus berada langsung di antara matahari dan
Bumi, atau planet lain) hanya dapat dijustifikasi jika prediksi tersebut koheren dengan
pemahaman yang lebih luas tentang mekanika selestial (milky way) dan observasi-observasi
sebelumnya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, observasi tersebut merupaka tindakan
yang kognitif, yaitu bahwa ia bergantung pada pemahaman yang telah ada, suatu sistem
2. "keyakinan". Suatu observasi tentang "transit of Venus" mempersyaratkan diyakininya
beberapa hal lain, yaitu optik teleskop, mekanika teleskop, dan pemahaman akan mekanika
selestial. Jika prediksi tersebut gagal dan suatu transit tidak dapat diobservasi, maka akan
ada penyesuaian dengan sistem yang ada, perubahan dari asumsi sandingan (auxiliary
assumption), ketimbang penolakan terhadap keseluruhan sistem teori tersebut.
Beberapa ilmuwan menyatakan ketidakmungkinan untuk menguji suatu teori dalam kondisi
tertutup (terisolasi). Uji tersebut hanya dapat dilakukan melalui hipotesis sandingan (auxiliary
hypotheses) untuk membuat prediksi yang dapat diuji. Sebagai misal, untuk menguji hukum
Newton tentang gravitasi dalam setting sistem tata surya, seorang ilmuwan memerlukan
informasi tentang massa dan posisi Matahari dan seluruh planet. Sejarah mencatat suatu
kejadian yang terkenal di kalangan ilmuwan di abad ke-19 yaitu kegagalan untuk
memprediksi orbit Uranus tidak sekonyong-konyongnya mengakibatkan penolakan terhadap
hukum Newton namun mengakibatkan penolakan tentang hipotesis bahwa sistem tata surya
terdiri dari hanya 7 planet. Investigasi lanjutan menghasilkan penemuan planet ke-8,
Neptunus. Jika suatu tes gagal, berari ada sesuatu yang salah. Akan tetapi, terdapat
masalah untuk menemukan apa "sesuatu' itu, misalnya, ada planet yang belum
terobservasi, alat uji yang tidak terkalibrasi dengan baik, kurvatur ruang yang tidak disangka-
sangka.
3. "Apa saja" masuk
Seorang filsuf sains Paul Feyerabend mengargumentasikan bahwa tidak ada satupun
penjelasan metode sains yang cukup luas untuk mencakup semua pendekatan dan metode
yang digunakan seorang ilmuwan. Dia mengklaim bahwa tidak ada aturan metodologi yang
berguna dan bebas dari pengecualian. Feyerabend menolak metode sains yang preskriptif
dengan dasar bahwa metode semacam itu akan melumpuhkan perkembangan sains.
Dengan kata lain, menurut Feyerabend "satu-satunya prinsip yang tidak menghambat
perkembangan sains adalah "apa saja" masuk".
Feyerabend merasa bahwa sains dimulai sebagai suatu gerakan yang meliberalisasi, namun
seiring waktu sains menjadi dogmatik dan kaku, dan oleh karenanya cenderung menjadi
suatu ideologi, dan, atas kesuksesan tersebut, sains telah menjadi alat untuk mengekang.
Ia merasa dominasi sains yang bersifat eksklusif telah menjadikannya suatu alat untuk
mengarahkan masyarakat ke dalam bentuk otoritarianisme.
4. Sosiologi pengetahuan sains
3. Suatu paradigma merupakan hal yang diyakini secara kolektif oleh anggota-anggota
komunitas sains. Sebaliknya, suatu komunitas sains terdiri dari orang-orang yang meyakini
paradigma tersebut secara kolektif. Menurut Thomas Kuhn, sains hanya dapat dilakukan
sebagai bagian dari suatu komunitas, dan secara inheren merupakan aktifitas komunal.
Jelas bahwa faktor sosial yang mempunyai peran penting dan langsung dalam metode
sains. Lebih lanjut, walaupun dari perspektif ini sains merupakan konstruksi sosial, tidak
berarti bahwa realita adalah sekedar konstruksi sosial.
5. Filsafat kontinental
Filsuf dengan tradisi kontinental tidak dikenal (atau dikategorisasikan) sebagai filsuf sains.
Namun, mereka berbicara banyak tentang sains, bahkan beberapa dari mereka mengusung
tema-tema yang berbau tradisi analitis. Contohnya, Nietzsche yang mengedepankan tesis
"Genealogi Moral" dalam pencarian kebenaran dalam sains sebagai suatu ideal yang
aksetik. Secara umum, sains dalam filosofi kontinental dilihat dari perspektif sejarah
peradaban. Georg Wilhelm Friedrich Hegel merupakan salah satu pendukung pendekatan
ini. Semua pendekatan ini meliputi perspektif sejarah dan sosial, dengan memprioritaskan
"pengalaman organik", ketimbang pendekatan progres atau anti-sejarah yang dilakukan oleh
tradisi analitis.
Perkembangan sains modern, yang ditandai oleh subyek fisika kuantum yang
mengobservasi realita fisik dalam skala nano (10-9
) dan yokto (10-24
). Fisika kuantum
berupaya menjelaskan konstruksi realitas fisik dengan memisahkan semua obyek fisik
dalam ukuran terkecilnya (konstituen atom terkecil). Dalam suatu karya graphic novel, the
Watchmen, kuantum fisika digambarkan melalui proses pemisahan suatu obyek fisik hingga
komponen terkecilnya melalui mesin Akselerator Partikel. Tujuannya adalah mengobservasi
hukum-hukum alam yang berlaku untuk interaksi partikel sub-atomik.
Konvergensi Metode: Sains dan Spiritualitas
Dari sejarah dan tradisi sains hingga fisika kuantum, sains bercokol pada sifatnya yang
obyektif, empiris, dan dapat direka. Meskipun terdapat tubrukan-tubrukan yang cukup keras
di kalangan ilmuwan yang berkontentasi atas metode serta asumsi sains, namun tubrukan-
tubrukan itu menghasilkan suatu konvergensi dalam tubuh sains sendiri. Misalnya dalam
konteks kuantum fisika yang kemudian melahirkan String-Theory, yang disempurnakan
dengan M-Theory, ilmuwan fisika kuantum "percaya" bahwa terdapat 11 dimensi dalam
4. realitas fisik. Konstruksi ini untuk sementara didasarkan pada bahasa matematika. Namun,
yang ingin penulis tekankan adalah implikasinya. Bila dapat dibuktikan (bukan hanya
sekedar pembuktian internal ala matematika (proof), dan dimanifestasikan (dinyatakan
dalam suatu wujud fisik (evidence) atau ditemukan suatu metode atau alat observasi), maka
pemahaman fisikawan tentang dunia realitas fisik diprediksi akan mengalami perubahan
yang cukup fundamental. Perubahan fundamental yaitu pada asumsi kita tentang
momentum dan lokasi, yaitu semua obyek fisik berprilaku secara deterministik (ada di lokasi
tertentu) dan dapat diprediksi. Dalam level kuantum, semakin jelas lokasi suatu partikel,
semakin kabur informasi tentang momentumnya dan sebaliknya.
Saat ini ada beberapa alternatif String-Theory, yakni 11D supergravity, Type IIA, Type IIB,
Type I, E8E8, dan S0(32) heterotic. M-Theory merupakan metode untuk mengunifikasi
semua teori tersebut (penambahan satu dimensi dari 3 dimensi hingga 11 dimensi
menunjukkan munculnya fitur-fitur masing-masing teori).
Tanpa bermaksud menjelaskan secara teknis, yang perlu digarisbawahi dari metode M-
Theory adalah kemampuannya untuk menciptakan "payung" yang lebih besar yang mampu
menjelaskan seluruh pecahan-pecahan teori kecil. Tentunya, seluruh teori ini dibangun
melalui observasi yang kemudian dibahasakan dalam konstruksi matematika. Konvergensi
ini mengandung suatu metode yang mampu (jika terbukti secara utuh dan dapat diuji
berulang kali) menghilangkan sifat eksklusifitas dan dualisme dalam berbagai anomali fisika,
misalnya dualisme gelombang-partikel elektron.
Salah satu metode kunci yang dipakai dalam sains adalah metode induksi-deduksi. Induksi
adalah generalisasi dari contoh-contoh yang dapat diobservasi secara empiris. Deduksi
adalah proses yang berlawanan, yang dimulai dari asumsi kebenaran umum yang kemudian
diterapkan (diobservasi dan ternyata benar) dalam contoh-contoh empiris.
5. Saya ambil contoh pendekatan konvergensi sains dan spiritualitas dari pemikiran Dalai
Lama. Buddhisme mempercayai bahwa terdapat perbedaan yang mendasar dari peran
deduksi dalam proses pemikiran (reasoning) Buddhisme dengan sains. Sains menggunakan
konstruksi matematika yang kompleks, sementara Buddhisme, seperti halnya filsafat India
kuno, selalu berkutat pada hal konkret dalam penggunaan logika, di mana pemikiran
(reasoning) diterapkan pada suatu konteks yang partikular. Matematika memungkinkan
proses abstraksi yang luar biasa besar dalam sains. Perbedaan lain dan mungkin lebih
penting adalah proses falsifikasi, yaitu teori sains harus memuat di dalamnya kondisi-kondisi
dimana teori tersebut dapat dibuktikan salah. Contoh yang dikemukakan Dalai Lama adalah
teori bahwa Tuhan menciptakan alam semesta tidak mungkin menjadi suatu teori yang
scientific karena dalam teori tersebut tidak terdapat kondisi-kondisi dimana ia dapat
dibuktikan salah. Dalam, Buddhisme arena pemikiran tidak hanya terbatas pada realitas
fisik, namun juga termasuk pengalaman subyektif tentang nilai (values), metafisika dan
etika. Hanya dengan melihat ketiga komponen tersebut dalam satu kerangka yang utuh
barulah tercapai pemahaman yang lebih akurat.
Dalam tradisi Buddhisme, mereka mengenal prinsip "ranah negasi", yang mendelineasi "apa
yang tidak ditemukan/terbukti" dengan "apa yang terbukti tidak ada". Logika dalam
dikhotomi ini, bila diaplikasikan dalam pertanyaan "Apakah Tuhan ada?", maka fakta bahwa
sains tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan tidak berarti Tuhan tiada bagi kaum yang
mempraktikkan tradisi teistik. Problematika yang hendak dijelaskan dalam butir ini adalah
pertanyaan tentang prima causa, atau asal muasal alam semesta.
Selanjutnya, topik yang banyak diteliti dewasa ini adalah mengenai kesadaran
(consciousness) manusia. Penelitian tentang persepsi dan bangunan proses kita sebagai
manusia dalam memahami dunia di sekitar kita merupakan merupakan kunci untuk
mengetahui benar-tidaknya atau setidaknya batasan dari kemampuan observasi kita. Sudut
pandang ini mulai mempersempit jarak sains dan spritualitas (yang mengusung pengalaman
subyektif dari sang pelaku).
Perkembangan fisika kuantum hingga saat ini menunjukkan runtuhnya metode deduksi
untuk topik-topik bahasan yang berada di luar resepsi (dan persepsi) indera fisik manusia
(penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa, bau) dan untuk obyek-obyek di luar realitas 3
dimensi manusia. Menurut hemat penulis, metode deduksi tanpa disertai aspek induksi dan
aspek multi-perspektif akan mengakibatkan terciptanya paham yang dogmatis. Sains hanya
akan menjadi agama baru dimana premis-premis awalnya tidak tersentuh pertanyaan dan
interogasi kritis.
6. Titik-titik konvergensi
Dari paparan singkat metode sains dan spiritualitas di atas, terdapat beberapa titik
kovergensi.
Pertama, titik konvergensi dalam hal pengalaman subyektif individu yang mempunyai
dampak terhadap "obyek" (dalam dikhotomi klasik tentang subyek-obyek). Artinya, terdapat
relasi dalam hubungan keduanya dengan bau hermeneutika. Implikasinya adalah konteks
atau sudut pandang dimulainya suatu observasi berpengaruh terhadap "obyek". Artinya,
obyek bukanlah semata-mata suatu fenomena independen yang eksistensinya konstan
sepanjang masa dengan atau tanpa hadirnya subyek. Selama ini toh semua obyek selalu
dibungkus dan diorganisasi oleh subyek (manusia). Catatan dari penulis adalah bahwa
dikhotomi subyek-obyek harus diluluhkan untuk menerawang kemungkinan adanya potensi
relasi lain di antara subyek-obyek. Atau bahkan mungkin keduanya adalah satu hal yang
sama. Dalam bahasa spiritualitas, zat yang dinamakan Tuhan atau Higher Being tidaklah
semata-mata suatu kenyataan obyektif yang kaku dan independen. Namun, suatu
zat/entitas yang dinamis dalam relasinya dengan manusia.
Kedua, titik konvergensi dalam hal realitas fisik yang terbatas. Fisika kuantum secara
gamblang menggambarkan keterbatasan kemampuan observasi manusia, yang dari sana
lah dirumuskan teori 11 dimensi. Keberadaan suatu obyek fisik yang melampaui 3 dimensi
manusia tidak dapat dibuktikan dengan kondisi dan alat dalam dimensi tersebut. Para
ilmuwan fisika kuantum meyakini perkembangan teknologi akan membawa manusia untuk
mampu menciptakan alat untuk menerawang melampaui 3 dimensi tersebut. Realitas fisik
yang terbatas berarti tercipta ruang bagi suatu zat yang melampaui manusia. Belum tentu
zat itu tuhan sebagaimana diyakini kaum teistik, dengan variasi, politeistik, deistik maupun
monoteistik. Setidaknya, pada titik ini ruang ini membongkar asumsi klasik sains tentang
obyek material. Sebagaimana halnya pelampauan tersebut, agama-agama Samawi hanya
dapat berkonvergensi dengan sains bila terdapat "pencairan" teks dan interpretasi teks serta
tradisi yang mampu merespons perkembangan sains. Dengan kata lain, teks tidak
seharusnya diperlakukan sebagai obyek mati yang sudah selesai. Penerapan dan
reinterpretasi nilai teks harus menjadi bagian yang utuh dalam kehidupan spritualitas.
Konvergensi ini tidak mungkin terjadi bila sains dan spiritualitas mengusung ide bahwa
"dunia obyektif material merupakan ranah sains, dan dunia obyektif spiritualitas merupakan
ranah spritualitas". Sifat dikhotomi yang memisahkan dengan tegas "obyek" yang diteliti
sains dan spiritualitas akan memisahkan keduanya dalam ketidaksinambungan. Setidaknya,
kita harus mengambil sikap bahwa "kita tidak tahu", atau "mari kita coba". Dalam guyonan
7. para ilmuwan "siapa tahu tuhan ada di dimensi yang lain (lebih tinggi) dan manusia ternyata
sains adalah jawaban iman".
Penulis menutup tulisan ini dengan catatan bahwa dikhotomi sains dan spritualitas
hendaknya diperlakukan dengan sikap mencoba menjalin dialog. Bila akhirnya tidak terdapat
titik temu, setidaknya kita sudah membuktikan divergensi tersebut. Namun, pada titik ini
perlu dilakukan upaya memahami satu sama lain melalui penyamaan kosa kata.
*Karena hujan lebat yang tak kunjung henti, seorang pendeta yang terjebak di atap
rumahnya pun berdoa meminta bantuan tuhannya. Setelah berjam-jam menunggu, ia tidak
melihat satupun tanda-tanda. Tiba-tiba, terdengar suara mesin yang berdengung dan
semakin dekat semakin jelas bahwa beberapa orang menggunakan boat kecil untuk
menolong korban yang tertinggal. Sang pendeta menolak bantuan orang-orang tersebut.
Berikut beberapa jam kemudian, terdengar suara menderu dari sebuah helikopter. Sang
pendeta pun tetap menolak pertolongan itu dan meyakini tuhannya akan mengirimkan
pertolongan. Beberapa jam kemudian, terlihat beberapa orang korban yang sedang
menggunakan barang-barang tersisa untuk membuat pelampung dan meminta bantuan
pendeta tersebut supaya mereka bisa berenang mencari bantuan. Sang pendeta pun tetap
menolak dan menyakini tuhannya akan menolongnya. Sang pendeta pun meninggal karena
kelaparan, rasa capek, dan kedinginan. Sesampainya ia di Surga, ia bertanya mengapa
tuhan tidak menolongnya. Tuhan menjawab "Saya sudah mengirim tiga bantuan dan kamu
tetap menolaknya"
Mungkinkah sains adalah pertolongan tuhan untuk lebih mendekatinya?