SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  11
Télécharger pour lire hors ligne
1
Upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia
Prevention is action: Ex-Ante dan Ex-post sebagai Langkah Pencegahan
Kebakaran Hutan dan Pendegradasian Lahan Terbakar
Ika Bayu Kartikasari. Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia. 081257745951.
Ikabayu.kartika06@gmail.com
Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, Indonesia sedang mengalami darurat asap.
Hal ini disebabkan oleh tingginya kebakaran hutan yang menyebar di pulau
Sumatra dan Kalimantan. Akibat kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran
hutan dan lahan di ratusan kawasan, Indonesia mengeluarkan emisi karbon lebih
banyak ketimbang Amerika Serikat. Padahal, AS selama ini menyandang predikat
sebagai sumber gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah Cina. Selain itu,
polusi asap yang terjadi di Indonesia meluas ke negara-negara tetangga seperti
Malaysia dan Singapura, yang menyebabkan ketidak harmonisan hubungan
dengan pemerintah tersebut.
Indonesia sebagai Negara tropis yang mempunyai hutan lindung yang
menjadi penjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim namun
pada kenyataannya menujukkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan terus
terjadi, baik disebabkan oleh kebakaran hutan; perubahan tata guna lahan, seperti
perubahan hutan menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit, tambang, dll;
serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas pemanfaatan yang
tidak terkendali. Selain itu, pembakaran lahan gambut dan hutan merupakan
penyumbang utama gas rumah kaca (GRK) Indonesia. Antara 0,81 dan 2,57
gigaton (Gt) karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat
dari kebakaran hutan yang meluas di Kalimantan dan Sumatra pada tahun 1997.
Hal ini setara dengan 13-40% dari emisi karbon rata-rata tahunan global dari
bahan bakar fosil.
Kini manusia kian serakah, hutan pun akhirnya dibakar dan dijadikan
sebagai kebun kelapa sawit. Jelas, dalam pembukaan lahan tersebut memerlukan
biaya lebih dan waktu yang cukup lama. Untuk menyingkat waktu tersebut
2
akhirnya pembakaran hutan pun dilakukan. Tiada asap tanpa api pun akhirnya
disematkan kepada kondisi sekarang ini. Faktor yang membuat api semakin
meluas juga disebabkan oleh iklim, fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Tapi
sayangnya dari semua faktor tersebut tentunya manusia mempunyai peran yang
penting atas perubahan ini.
Kawasan hutan didaerah Sumatra dan Kalimantan memiliki karakteristik
lahan gambut. Ketika lapisan gambut yang kering, kebakaran dapat membakar
akar dan bahan organik tanah selama berhari-hari sampai berbulan-bulan, dan
menyebar di bawah permukaan tanah, yang walaupun penyebarannya sangat
lambat, tetapi tidak hanya menimbulkan ancaman langsung terhadap kesehatan
manusia dan satwa liar, kabut dari kebakaran juga mengganggu transportasi dan
kegiatan ekonomi jutaan orang.
Menurut Usup dkk. (2004) Ada 3 tahap kebakaran hutan dilahan gambut,
yaitu:
a. Pembukaan lahan dengan ditebas kemudian dibakar jika sudah kering,
adalah penyebab utama kebakaran. Kebakaran terjadi dipermukaan
gambut pada lahan yang sudah ditebas kemudian menyebar dan
membakar vegetasi hutan gambut sekunder yang terletak di antara
daerah pedesaan dan wilayah hutan.
b. Kebakaran permukaan yang lama kemudian membakar gambut
permukaan melalui celah-celah atau kumpulan kayu, atau kumpulan
sampah di rongga kecil yang meluas ke dalam tanah gambut. Setelah
gambut permukaan telah terbakar, api kemudian mulai membakar secara
lateral ke bawah permukaan gambut.
c. Kebakaran kemudian berlanjut ke lapisan gambut yang lebih dalam.
Kebakaran gambut dalam adalah tahap akhir dari proses kebakaran
gambut. Api akan menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah
permukaan karena tanpa dipengaruhi oleh angin. Akar dari suatu
tegakan pohon dilahan gambut pun dapat terbakar, sehingga jika
akarnya hancur pohonnya pun menjadi labil dan akhirnya tumbang.
Mengingat tipe kebakaran yang terjadi di dalam tanah dan hanya
3
asapnya saja yang muncul di permukaan, maka kegiatan pemadaman
akan mengalami banyak kesulitan. Pemadaman secara tuntas terhadap
api di dalam lahan gambut hanya akan berhasil, jika pada lapisan
gambut yang terbakar tergenangi oleh air.
Kabut asap dan kebakaran hutan akhirnya menjadi permasalahan nasional.
Jutaan manusia dibiarkan mati secara perlahan-lahan akibat kabut asap tersebut.
Upaya yang dilakukan pemerintah pun belum ada yang membuahkan hasil, seperti
water boming, hujan buatan, dll. Salah satu yang diusulkan oleh Presiden Joko
Widodo adalah sekat kanal. Yaitu membatasi drainase air gambut yang
menyebabkan lahan menjadi mengering dan akhirnya terbakar.
Namun secara urgenitas, pembuatan sekat kanal membutuhkan waktu yang
lama dan membutuhkan pendanaan yang cukup. Namun masyarakat tidak bisa
tinggal diam, tampak beberapa masyarakat yang telah melakukan aksi preventif
yaitu dengan melakukan pembuatan sumur bor. Dan dengan keberanian mereka,
mereka langsung turun tangan memadamkan api sambil menyaksikan tumbangnya
satu persatu pepohonan yang hangus terbakar.
Dampak dari kebakaran hutan dan lahan gambut terhadap lingkungan sangat
luas, Secara rinci kebakaran hutan berdampak pada hal-hal berikut:
a. Emisi karbon
Gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah
hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut
(substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan
biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Karbon yang
tersimpan tersebut akan hilang dengan cepat apabila hutan ditebang.
Penebangan yang diikuti dengan pembakaran mempercepat proses emisi
dari biomassa hutan gambut.
b. Perubahan kualitas fisik gambut
Karakteristik fisik gambut yang penting adalah mengandung kadar air yang
banyak, namun memiliki sifat mengering tidak balik. Gambut yang
mengalami kekeringan karena di drainase, volumenya akan menyusut,
4
sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Jika terjadi
kebakaran, efeknya akan semakin parah, karena selain membakar gambut,
suhu yang panas akan mengeringkan lapisan gambut yang tidak terbakar
sehingga akan sulit untuk pulih kembali.
c. Perubahan kualitas kimia gambut
Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi
dengan kisaran pH 3 – 5. Kebakaran akan menaikkan pH gambut, tetapi
menurunkan kandungan carbon organik karena terbakar. Perubahan kualitas
sifat kimia gambut setelah terjadinya kebakaran salah satunya dipengaruhi
oleh banyaknya abu yang dihasilkan dari pembakaran. Perubahan ini
selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi di atasnya.
d. Ikut terbakarnya benih-benih vegetasi alam yang sebelumnya
terpendam di dalam lapisan tanah gambut, sehingga perkembangan
populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu atau
berubah dan akhirnya menurunkan keanekaragaman hayati.
e. Rusaknya siklus hidrologi
Kebakaran menurunkan kemampuan serapan air hujan ke dalam tanah
sehingga menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang
mengalir di permukaan yang berdampak pada sedimentasi dan perubahan
kualitas air di perairan. Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi
kering dan mudah terbakar. Pada daerah gambut dekat dengan laut,
kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi
air laut semakin jauh ke darat.
Menurut studi yang dilakukan di Portugal dalam melakukan strategi
pencegahan kebakaran hutan dan teknik pendegradasian kembali lahan terbakar
terdapat dampak dari kebakaran hutan. Diantaranya, tanah rapuh yang
mengakibatkan kesuburan tanah dan kerugian produktivitas lahan.
Oleh karena itu perlunya strategi untuk menyeimbangkan dampak yang
timbul, diantaranya pengetahuan sederhana tentang proses erosi, bio-geo-kimia,
5
dan pengoptimalisasian tanah dan konservasi air. Tanpa kita sadari, berkurangnya
kepadatan hutan yang ada dapat menyebabkan menurunnya konektivitas dan
transmisi di bagian hulu. Akhirnya berdampak seperti yang kita rasakan sekarang
seperti banjir bila musim hujan dan kekeringan berkepanjangan.
Pengelolaan daerah yang terbakar akan terdiri dari berbagai teknik yang
akan dilakukan sebelum (ex-ante) dan setelah (ex-post) kebakaran yang
merupakan strategi pencegahan dan mitigasi.
Dalam proses Ex-Ante, terdapat 2
tahap yaitu planning dan managemen
vegitasi. Dalam tahap planning, perlu
diperhatikan kawasan yang akan
dikelola. Dimulai dari penyebab
kebakarannya, faktor masyarakat,
topografi dan peremajaan lahan yang
akan dilakukan. Tentunya yang perlu
diperhatikan yaitu harus adanya
keseimbangan antara manusia dengan
alam dan faktor yang akan terjadi
kedepannya karena daya dukung tanah
pun semakin berkurang. (Gomes and
Silva, 2002).
Kemudian melakukan menegemen vegetasi. Menurut Wiersum (1979),
dalam siklus hidrologi vegetasi mempunyai peranan dalam proses-proses
intersepsi, air tembus (through-fall), aliran batang (stem flow), transpirasi dan
fotosintesis yang kesemuanya sangat berperan dalam tata air. Ditinjau dari segi
hidrologis, hutan merupakan bentuk vegetasi yang memegang peranan penting
dalam suatu daerah aliran sungai. Hal ini disebabkan karena vegetasi hutan dapat
memperbaiki/mempertahankan kualitas maupun kuantitas air sungai. Menurut
Manan (1979), vegetasi hutan dan tumbuhan penutup tanah lainnya merupakan
salah satu cara alam dalam mengatur dan menjaga mutu dan jumlah air yang
mengalir di anak-anak sungai dan sungai utama.
6
Secara umum, yaitu memberikan dampak positif untuk mengurangi dampak
dari kerusakan hutan. Salah satunya adalah melakukan manegemen biomassa.
Biomassa hutan berperan penting dalam
siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan,
sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan (Sutaryo, 2009).
Setelah proses Ex-ante dilanjutkan keproses Ex-post. Dalam kegiatan ini
banyak menggunakan jerami atau rerumputan kering disebabkan karena
penutupan lahan jerami mampu menutupi tanah dan mencegah erosi dan relatif
murah. (Larsen et al., 2009; Prats et al., 2012). Salah satu teknologinya bernama
hydromulch, hydomulch merupakan campuran dari jerami, cacahan kulit kayu,
dan bahan organik lainnya. Kemudian dicampurkan bersama air dan disemprotkan
ke permukaan tanah. Agar menekan kondisi longsor dan erosi pada kondisi basah
atau hujan. Beberapa eksperimen yang dilakukan untuk melakukan percobaan
hydromulch, di dalam tanah terjadi reaksi kimia sufaktan dan poliakrilmida yang
dapat mengurangi erosi tanah dan
mempercepat infiltrasi dalam tanah.
Hal ini membuktikan betapa
pentingnya proses penutupan tanah
dalam pengendalian pasca-
kebakaran. (Riechers et al., 2008;
Davidson et al., 2009)
Kemudian, melakukan
kegiatan penyemaian. Penyemaian
pasca-kebakaran dapat didefinisikan
sebagai penanaman dan
pembentukan spesies vegetasi yang
tumbuh cepat untuk memberikan
penutup tanah untuk tanah sampai
vegetasi asli bisa pulih. Namun,
Beyers (2004) menyoroti bahwa rerumputan bersaing dengan vegetasi asli dan
akhirnya tidak efektif mengurangi erosi tanah. Ada kontroversi tentang
7
penyemaian daerah terbakar, dan pada kenyataannya Robichaud dkk. (2006)
menunjukkan bahwa penyemaian keberhasilan sangat tergantung pada intensitas
curah hujan dan waktu.
Dalam melakukan penyemaian, terdapat 2 cara yaitu dengan manual
seeding dan Hydro-seeding. Cara manual merupakan kegiatan penyemaian yang
langsung disebarkan kedaerah lahan tetapi kekurangannya membutuhkan waktu
yang sangat lama dan tidak merata. Cara yang kedua adalah hydro-seeding yaitu
mencampurkan antara air, pupuk, dan bibit. Hydro-seeding lebih cepat, mudah
dan lebih merata. Penyemaian dapat dilakukan dengan penyemprotan manual atau
pula dengan menggunakan helikopter. (Rey, 2003).
Langkah selanjutnya peremajaan, Peremajaan hillslope barriers, tujuannya
agar padatan yang berada diatas lereng tidak langsung turun kebawah. Karena
tertahan oleh penghalang. Pehalang dapat dibuat dari tumpukan jerami yang diikat
dan dibentuk seperti gelonggong kayu, atau dapat dibuat dari gelonggongan kayu
tersebut yang ditahan. Peletakan harus diletakan tegak lurus dengan tanah dan
diberikan lubang-lubang air, agar air dapat meresap kedalam tanah. (Robichaud
and Brown, 2005)
Teknik ex-post mempengaruhi kenaikan biomassa ketika pencegahan
erosi, baik dengan jerami, pembibitan dan gelonggong kayu untuk penghalang
erosi, harus diterapkan dalam situs yang paling rentan, dikepadatan yang sesuai.
Yang akan mewakili fraksi kecil dari Total beban bahan bakar vegetasi kawasan
hutan, yang mewakili kontribusi kecil bagi peningkatan risiko kebakaran di tahun-
tahun berikutnya.
Setelah melakukan proses ex-ante dan ex-post masuk kedalam tahap
perawatan dan peremajaan. Perawatan dilakukan untuk menstabilkan gradien
saluran dan mempertahankan sedimen. Robichaud dkk. (2000) menyimpulkan
bahwa perawatan lebih baik dilakukan dibagian hilir. Bahkan, perawatan tidak
selalu menggunakan teknik mitigasi erosi, tetapi menghambatan transportasi
sedimen jangka pendek-menengah-panjang. Mekanisme ex-ante dan ex-post yang
telah dibuat mungkin dapat terjadi kegagalan atau bahkan hancur selama musim
8
hujan, terutama jika intensitas curah hujan yang tinggi yang disertai badai pertama
setelah kebakaran.
Peremajaan dilakukan pada kondisi, kayu, jerami, aliran, batuan, dan
bagian hilir sungai. Peremaajaan juga berguna untuk memantau perjalanan air
yang mengalir selama 10 sampai 20 tahun kedepan. Sebisa mungkin air terserap
kedalam tanah untuk membentuk vegetasi yang baru. Sebaliknya titik kegagalan
dari peremajaan ini ketika aliran air terus mengalir kehilir tanpa penyerapan dan
membawa sedimen-sedimen yang dapat mencemar dan mengganggu jalannya air.
(WOCAT,2007)
Masalah utama dampak dari kebakaran hutan adalah menyangkut proses
tanah dan air. Pertama, tidak adanya hambatan untuk pemecahan tanah agregat
oleh percikan (yang disebabkan oleh dampak dari hujan di permukaan tanah),
kedua, adanya arah aliran dan bangunan menyebabkan kemampuan untuk
infiltrasi. Oleh karena itu sebagai manusia, perlu adanya kegiatan untuk membuat
lubang infiltrasi, dengan cara membajak. Membajak adalah metode mengubah
tanah dengan membajak dengan traktor, dan membuka permukaan tanah untuk
membentuk alur air dan lubang-lubang resapan. Lubang-lubang tersebut
mengumpulkan air dan dirancang di tempat lebih rendah (Robichaud et al., 2008a,
b).
Kegiatan restorasi adalah proses untuk melaksanakan pemulihan
ekosistem, dan mengubah bentuk lingkungan pasca awal kebakaran menuju yang
lebih baik dan hasilnya dapat dirasakan jangka panjang daripada di periode jangka
pendek. (Valdecantos et al., 2009). Tujuan utama dari restorasi adalah, selain
untuk menjaga air dan tanah yang ada, dan mendorong peningkatan
keanekaragaman hayati di kawasan kebakaran hutan (Vallejo et al., 2006).
Dari hasil yang telah dipaparkan hal tersebut merupakan langkah-langkah
mitigasi dalam penanganan pendegradasian lahan terbakar. Namun hasil yang
dilakukan akan berbanding terbalik jika kita tidak ikut merawat dan menjaga
hutan kita. Perlu adanya hukum dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan
9
bukan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Tentunya adanya kerjasama
dalam melakukan aksi untuk menanggulangi kebakaran hutan.
REFERENSI
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151021_indonesia_emisi
_as akses 16 November 2015 8:35
Beyers, J.L., 2004. Postfire seedling for erosion control: effectiveness and impacts
on native plant communities. Conservation Biology 18 (4), 947–956.
Gomes, F., Silva, J.S., 2002. Normas preventivas no planeamento das
arborizações. In: Silva, J.S., Páscoa, F. (Eds.), Manual de Silvicultura para a
prevenção de incêndios VIII. Direcção Geral das Florestas, Lisboa, pp. 1–8.
Larsen, I.J., MacDonald, L.H., Brown, E., Rough, D.,Welsh,M.J., Pietraszek, J.H.,
Libohova, Z., Benavides-Solorio, J.D., Schaffrath, K., 2009. Causes of post-
fire runoff and erosion: water repellency, cover, or soil sealing? Soil Sci.
Soc. Am. J. 73, 1393–1407
Manan, S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Indonesia.
Riechers, G.H., Beyers, J.L., Robichaud, P.R., Jennings, K., Kreutz, E., Moll, J.,
2008. Effects of three mulch treatments on initial post-fire erosion in North-
central Arizona. Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-189. In: Narog, Marcia G.
(Ed.), Proceedings of the 2002 Fire Conference: Managing Fire and Fuels in
the Remaining Wildlands and Open Spaces of the Southwestern United
States.
Riechers, G.H., Beyers, J.L., Robichaud, P.R., Jennings, K., Kreutz, E., Moll, J.,
2008. Effects of three mulch treatments on initial post-fire erosion in North-
central Arizona. Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-189. In: Narog, Marcia G.
(Ed.), Proceedings of the 2002 Fire Conference: Managing Fire and Fuels in
the Remaining Wildlands and Open Spaces of the Southwestern United
States.
Rey, M.S., 2003. Catálogo de espécies herbáceas e leñosas bajas autóctonas para
la revegetación de zonas degradadas en La Rioja. Gobierno de La Rioja.
10
Consejería de Turismo, Medio Ambiente y Política Territorial. Dirección
General de Medio Natural.
Robichaud, P.R., Wagenbrenner, J.W., Brown, R.E., Wohlgemuth, P.M., Beyers,
J.L., 2008b. Evaluating the effectiveness of contour-felled log erosion
barriers as a post-fire runoff and erosion mitigation treatment in the western
United States. Int. J. Wildland Fire 17, 255–273.
Robichaud, P.R., Pierson, F.B., Brown, R.E., Wagenbrenner, J.W., 2008a.
Measuring effectiveness of three postfire hillslope erosion barrier
treatments, western Montana, USA. Hydrol. Process. 22, 159–170.
Robichaud, P.R., 2005. Measurements of post-fire hillslope erosion to evaluate
and model rehabilitation treatment effectiveness and recovery. Int.
J.Wildland Fire 14, 475–485.
Robichaud, P.R., Lillybridge, T.R., Wagenbrenner, J.W., 2006. Effects of post-
fire seeding and fertilizing on hillslope erosion in north-central Washington,
USA. Catena 67, 56–67.
Sutaryo,D.2009. Penghitungan Biomassa ―Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon
Dan Perdagangan Karbon‖.Wetlands International Indonesia Programme.
Bogor.
Usup, A., Hashimoto, Y., Takahashi, H., Hayasaka, H., 2004. Combustion and
thermal characteristics of peat fire in tropical peatland in Central
Kalimantan, Indonesia. TROPICS Vol. 14. Issued August 31, 2004.
Valdecantos, A., Baeza, M.J., Vallejo, V.R., 2009. Vegetation management for
promoting ecosystem resilience in fire-prone Mediterranean shrublands.
Restor. Ecol. 17, 414–421.
Vallejo, R., Aronson, J., Pausas, J.G., Cortina, J., 2006. Mediterranean
woodlands. In: Van Andel, J., Aronson, J. (Eds.), Restoration Ecology. The
New Frontier: Blackwell Science, Oxford, UK, pp. 193–207.
Wiersum, K.F dkk, 1979. Influence of Forest on Erosion. Institute of Ecology,
University of Padjajaran. Bandung
11
WOCAT, 2007. Where the Land is greener — case studies and analysis and water
conservation iniciatives worldwide. Hanspeter Liniger and William
Critchley.

Contenu connexe

Dernier (9)

4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
 
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
 
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
 
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdfMODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
 
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptxManual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
 
Materi Asesi SKK Manajer Pelaksana SPAM- jenjang 6.pptx
Materi Asesi SKK Manajer Pelaksana SPAM- jenjang 6.pptxMateri Asesi SKK Manajer Pelaksana SPAM- jenjang 6.pptx
Materi Asesi SKK Manajer Pelaksana SPAM- jenjang 6.pptx
 
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdfMetode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
 
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
 
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdfTEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
 

En vedette

How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
ThinkNow
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Kurio // The Social Media Age(ncy)
 

En vedette (20)

2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot
 
Everything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTEverything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPT
 
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsProduct Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
 
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
 
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfAI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
 
Skeleton Culture Code
Skeleton Culture CodeSkeleton Culture Code
Skeleton Culture Code
 
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
 
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
 
How to have difficult conversations
How to have difficult conversations How to have difficult conversations
How to have difficult conversations
 
Introduction to Data Science
Introduction to Data ScienceIntroduction to Data Science
Introduction to Data Science
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best Practices
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project management
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
 

upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

  • 1. 1 Upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia Prevention is action: Ex-Ante dan Ex-post sebagai Langkah Pencegahan Kebakaran Hutan dan Pendegradasian Lahan Terbakar Ika Bayu Kartikasari. Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia. 081257745951. Ikabayu.kartika06@gmail.com Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, Indonesia sedang mengalami darurat asap. Hal ini disebabkan oleh tingginya kebakaran hutan yang menyebar di pulau Sumatra dan Kalimantan. Akibat kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan di ratusan kawasan, Indonesia mengeluarkan emisi karbon lebih banyak ketimbang Amerika Serikat. Padahal, AS selama ini menyandang predikat sebagai sumber gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah Cina. Selain itu, polusi asap yang terjadi di Indonesia meluas ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yang menyebabkan ketidak harmonisan hubungan dengan pemerintah tersebut. Indonesia sebagai Negara tropis yang mempunyai hutan lindung yang menjadi penjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim namun pada kenyataannya menujukkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi, baik disebabkan oleh kebakaran hutan; perubahan tata guna lahan, seperti perubahan hutan menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit, tambang, dll; serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas pemanfaatan yang tidak terkendali. Selain itu, pembakaran lahan gambut dan hutan merupakan penyumbang utama gas rumah kaca (GRK) Indonesia. Antara 0,81 dan 2,57 gigaton (Gt) karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat dari kebakaran hutan yang meluas di Kalimantan dan Sumatra pada tahun 1997. Hal ini setara dengan 13-40% dari emisi karbon rata-rata tahunan global dari bahan bakar fosil. Kini manusia kian serakah, hutan pun akhirnya dibakar dan dijadikan sebagai kebun kelapa sawit. Jelas, dalam pembukaan lahan tersebut memerlukan biaya lebih dan waktu yang cukup lama. Untuk menyingkat waktu tersebut
  • 2. 2 akhirnya pembakaran hutan pun dilakukan. Tiada asap tanpa api pun akhirnya disematkan kepada kondisi sekarang ini. Faktor yang membuat api semakin meluas juga disebabkan oleh iklim, fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Tapi sayangnya dari semua faktor tersebut tentunya manusia mempunyai peran yang penting atas perubahan ini. Kawasan hutan didaerah Sumatra dan Kalimantan memiliki karakteristik lahan gambut. Ketika lapisan gambut yang kering, kebakaran dapat membakar akar dan bahan organik tanah selama berhari-hari sampai berbulan-bulan, dan menyebar di bawah permukaan tanah, yang walaupun penyebarannya sangat lambat, tetapi tidak hanya menimbulkan ancaman langsung terhadap kesehatan manusia dan satwa liar, kabut dari kebakaran juga mengganggu transportasi dan kegiatan ekonomi jutaan orang. Menurut Usup dkk. (2004) Ada 3 tahap kebakaran hutan dilahan gambut, yaitu: a. Pembukaan lahan dengan ditebas kemudian dibakar jika sudah kering, adalah penyebab utama kebakaran. Kebakaran terjadi dipermukaan gambut pada lahan yang sudah ditebas kemudian menyebar dan membakar vegetasi hutan gambut sekunder yang terletak di antara daerah pedesaan dan wilayah hutan. b. Kebakaran permukaan yang lama kemudian membakar gambut permukaan melalui celah-celah atau kumpulan kayu, atau kumpulan sampah di rongga kecil yang meluas ke dalam tanah gambut. Setelah gambut permukaan telah terbakar, api kemudian mulai membakar secara lateral ke bawah permukaan gambut. c. Kebakaran kemudian berlanjut ke lapisan gambut yang lebih dalam. Kebakaran gambut dalam adalah tahap akhir dari proses kebakaran gambut. Api akan menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan karena tanpa dipengaruhi oleh angin. Akar dari suatu tegakan pohon dilahan gambut pun dapat terbakar, sehingga jika akarnya hancur pohonnya pun menjadi labil dan akhirnya tumbang. Mengingat tipe kebakaran yang terjadi di dalam tanah dan hanya
  • 3. 3 asapnya saja yang muncul di permukaan, maka kegiatan pemadaman akan mengalami banyak kesulitan. Pemadaman secara tuntas terhadap api di dalam lahan gambut hanya akan berhasil, jika pada lapisan gambut yang terbakar tergenangi oleh air. Kabut asap dan kebakaran hutan akhirnya menjadi permasalahan nasional. Jutaan manusia dibiarkan mati secara perlahan-lahan akibat kabut asap tersebut. Upaya yang dilakukan pemerintah pun belum ada yang membuahkan hasil, seperti water boming, hujan buatan, dll. Salah satu yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo adalah sekat kanal. Yaitu membatasi drainase air gambut yang menyebabkan lahan menjadi mengering dan akhirnya terbakar. Namun secara urgenitas, pembuatan sekat kanal membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan pendanaan yang cukup. Namun masyarakat tidak bisa tinggal diam, tampak beberapa masyarakat yang telah melakukan aksi preventif yaitu dengan melakukan pembuatan sumur bor. Dan dengan keberanian mereka, mereka langsung turun tangan memadamkan api sambil menyaksikan tumbangnya satu persatu pepohonan yang hangus terbakar. Dampak dari kebakaran hutan dan lahan gambut terhadap lingkungan sangat luas, Secara rinci kebakaran hutan berdampak pada hal-hal berikut: a. Emisi karbon Gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Karbon yang tersimpan tersebut akan hilang dengan cepat apabila hutan ditebang. Penebangan yang diikuti dengan pembakaran mempercepat proses emisi dari biomassa hutan gambut. b. Perubahan kualitas fisik gambut Karakteristik fisik gambut yang penting adalah mengandung kadar air yang banyak, namun memiliki sifat mengering tidak balik. Gambut yang mengalami kekeringan karena di drainase, volumenya akan menyusut,
  • 4. 4 sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Jika terjadi kebakaran, efeknya akan semakin parah, karena selain membakar gambut, suhu yang panas akan mengeringkan lapisan gambut yang tidak terbakar sehingga akan sulit untuk pulih kembali. c. Perubahan kualitas kimia gambut Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5. Kebakaran akan menaikkan pH gambut, tetapi menurunkan kandungan carbon organik karena terbakar. Perubahan kualitas sifat kimia gambut setelah terjadinya kebakaran salah satunya dipengaruhi oleh banyaknya abu yang dihasilkan dari pembakaran. Perubahan ini selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi di atasnya. d. Ikut terbakarnya benih-benih vegetasi alam yang sebelumnya terpendam di dalam lapisan tanah gambut, sehingga perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu atau berubah dan akhirnya menurunkan keanekaragaman hayati. e. Rusaknya siklus hidrologi Kebakaran menurunkan kemampuan serapan air hujan ke dalam tanah sehingga menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan yang berdampak pada sedimentasi dan perubahan kualitas air di perairan. Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Pada daerah gambut dekat dengan laut, kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat. Menurut studi yang dilakukan di Portugal dalam melakukan strategi pencegahan kebakaran hutan dan teknik pendegradasian kembali lahan terbakar terdapat dampak dari kebakaran hutan. Diantaranya, tanah rapuh yang mengakibatkan kesuburan tanah dan kerugian produktivitas lahan. Oleh karena itu perlunya strategi untuk menyeimbangkan dampak yang timbul, diantaranya pengetahuan sederhana tentang proses erosi, bio-geo-kimia,
  • 5. 5 dan pengoptimalisasian tanah dan konservasi air. Tanpa kita sadari, berkurangnya kepadatan hutan yang ada dapat menyebabkan menurunnya konektivitas dan transmisi di bagian hulu. Akhirnya berdampak seperti yang kita rasakan sekarang seperti banjir bila musim hujan dan kekeringan berkepanjangan. Pengelolaan daerah yang terbakar akan terdiri dari berbagai teknik yang akan dilakukan sebelum (ex-ante) dan setelah (ex-post) kebakaran yang merupakan strategi pencegahan dan mitigasi. Dalam proses Ex-Ante, terdapat 2 tahap yaitu planning dan managemen vegitasi. Dalam tahap planning, perlu diperhatikan kawasan yang akan dikelola. Dimulai dari penyebab kebakarannya, faktor masyarakat, topografi dan peremajaan lahan yang akan dilakukan. Tentunya yang perlu diperhatikan yaitu harus adanya keseimbangan antara manusia dengan alam dan faktor yang akan terjadi kedepannya karena daya dukung tanah pun semakin berkurang. (Gomes and Silva, 2002). Kemudian melakukan menegemen vegetasi. Menurut Wiersum (1979), dalam siklus hidrologi vegetasi mempunyai peranan dalam proses-proses intersepsi, air tembus (through-fall), aliran batang (stem flow), transpirasi dan fotosintesis yang kesemuanya sangat berperan dalam tata air. Ditinjau dari segi hidrologis, hutan merupakan bentuk vegetasi yang memegang peranan penting dalam suatu daerah aliran sungai. Hal ini disebabkan karena vegetasi hutan dapat memperbaiki/mempertahankan kualitas maupun kuantitas air sungai. Menurut Manan (1979), vegetasi hutan dan tumbuhan penutup tanah lainnya merupakan salah satu cara alam dalam mengatur dan menjaga mutu dan jumlah air yang mengalir di anak-anak sungai dan sungai utama.
  • 6. 6 Secara umum, yaitu memberikan dampak positif untuk mengurangi dampak dari kerusakan hutan. Salah satunya adalah melakukan manegemen biomassa. Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan (Sutaryo, 2009). Setelah proses Ex-ante dilanjutkan keproses Ex-post. Dalam kegiatan ini banyak menggunakan jerami atau rerumputan kering disebabkan karena penutupan lahan jerami mampu menutupi tanah dan mencegah erosi dan relatif murah. (Larsen et al., 2009; Prats et al., 2012). Salah satu teknologinya bernama hydromulch, hydomulch merupakan campuran dari jerami, cacahan kulit kayu, dan bahan organik lainnya. Kemudian dicampurkan bersama air dan disemprotkan ke permukaan tanah. Agar menekan kondisi longsor dan erosi pada kondisi basah atau hujan. Beberapa eksperimen yang dilakukan untuk melakukan percobaan hydromulch, di dalam tanah terjadi reaksi kimia sufaktan dan poliakrilmida yang dapat mengurangi erosi tanah dan mempercepat infiltrasi dalam tanah. Hal ini membuktikan betapa pentingnya proses penutupan tanah dalam pengendalian pasca- kebakaran. (Riechers et al., 2008; Davidson et al., 2009) Kemudian, melakukan kegiatan penyemaian. Penyemaian pasca-kebakaran dapat didefinisikan sebagai penanaman dan pembentukan spesies vegetasi yang tumbuh cepat untuk memberikan penutup tanah untuk tanah sampai vegetasi asli bisa pulih. Namun, Beyers (2004) menyoroti bahwa rerumputan bersaing dengan vegetasi asli dan akhirnya tidak efektif mengurangi erosi tanah. Ada kontroversi tentang
  • 7. 7 penyemaian daerah terbakar, dan pada kenyataannya Robichaud dkk. (2006) menunjukkan bahwa penyemaian keberhasilan sangat tergantung pada intensitas curah hujan dan waktu. Dalam melakukan penyemaian, terdapat 2 cara yaitu dengan manual seeding dan Hydro-seeding. Cara manual merupakan kegiatan penyemaian yang langsung disebarkan kedaerah lahan tetapi kekurangannya membutuhkan waktu yang sangat lama dan tidak merata. Cara yang kedua adalah hydro-seeding yaitu mencampurkan antara air, pupuk, dan bibit. Hydro-seeding lebih cepat, mudah dan lebih merata. Penyemaian dapat dilakukan dengan penyemprotan manual atau pula dengan menggunakan helikopter. (Rey, 2003). Langkah selanjutnya peremajaan, Peremajaan hillslope barriers, tujuannya agar padatan yang berada diatas lereng tidak langsung turun kebawah. Karena tertahan oleh penghalang. Pehalang dapat dibuat dari tumpukan jerami yang diikat dan dibentuk seperti gelonggong kayu, atau dapat dibuat dari gelonggongan kayu tersebut yang ditahan. Peletakan harus diletakan tegak lurus dengan tanah dan diberikan lubang-lubang air, agar air dapat meresap kedalam tanah. (Robichaud and Brown, 2005) Teknik ex-post mempengaruhi kenaikan biomassa ketika pencegahan erosi, baik dengan jerami, pembibitan dan gelonggong kayu untuk penghalang erosi, harus diterapkan dalam situs yang paling rentan, dikepadatan yang sesuai. Yang akan mewakili fraksi kecil dari Total beban bahan bakar vegetasi kawasan hutan, yang mewakili kontribusi kecil bagi peningkatan risiko kebakaran di tahun- tahun berikutnya. Setelah melakukan proses ex-ante dan ex-post masuk kedalam tahap perawatan dan peremajaan. Perawatan dilakukan untuk menstabilkan gradien saluran dan mempertahankan sedimen. Robichaud dkk. (2000) menyimpulkan bahwa perawatan lebih baik dilakukan dibagian hilir. Bahkan, perawatan tidak selalu menggunakan teknik mitigasi erosi, tetapi menghambatan transportasi sedimen jangka pendek-menengah-panjang. Mekanisme ex-ante dan ex-post yang telah dibuat mungkin dapat terjadi kegagalan atau bahkan hancur selama musim
  • 8. 8 hujan, terutama jika intensitas curah hujan yang tinggi yang disertai badai pertama setelah kebakaran. Peremajaan dilakukan pada kondisi, kayu, jerami, aliran, batuan, dan bagian hilir sungai. Peremaajaan juga berguna untuk memantau perjalanan air yang mengalir selama 10 sampai 20 tahun kedepan. Sebisa mungkin air terserap kedalam tanah untuk membentuk vegetasi yang baru. Sebaliknya titik kegagalan dari peremajaan ini ketika aliran air terus mengalir kehilir tanpa penyerapan dan membawa sedimen-sedimen yang dapat mencemar dan mengganggu jalannya air. (WOCAT,2007) Masalah utama dampak dari kebakaran hutan adalah menyangkut proses tanah dan air. Pertama, tidak adanya hambatan untuk pemecahan tanah agregat oleh percikan (yang disebabkan oleh dampak dari hujan di permukaan tanah), kedua, adanya arah aliran dan bangunan menyebabkan kemampuan untuk infiltrasi. Oleh karena itu sebagai manusia, perlu adanya kegiatan untuk membuat lubang infiltrasi, dengan cara membajak. Membajak adalah metode mengubah tanah dengan membajak dengan traktor, dan membuka permukaan tanah untuk membentuk alur air dan lubang-lubang resapan. Lubang-lubang tersebut mengumpulkan air dan dirancang di tempat lebih rendah (Robichaud et al., 2008a, b). Kegiatan restorasi adalah proses untuk melaksanakan pemulihan ekosistem, dan mengubah bentuk lingkungan pasca awal kebakaran menuju yang lebih baik dan hasilnya dapat dirasakan jangka panjang daripada di periode jangka pendek. (Valdecantos et al., 2009). Tujuan utama dari restorasi adalah, selain untuk menjaga air dan tanah yang ada, dan mendorong peningkatan keanekaragaman hayati di kawasan kebakaran hutan (Vallejo et al., 2006). Dari hasil yang telah dipaparkan hal tersebut merupakan langkah-langkah mitigasi dalam penanganan pendegradasian lahan terbakar. Namun hasil yang dilakukan akan berbanding terbalik jika kita tidak ikut merawat dan menjaga hutan kita. Perlu adanya hukum dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan
  • 9. 9 bukan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Tentunya adanya kerjasama dalam melakukan aksi untuk menanggulangi kebakaran hutan. REFERENSI http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151021_indonesia_emisi _as akses 16 November 2015 8:35 Beyers, J.L., 2004. Postfire seedling for erosion control: effectiveness and impacts on native plant communities. Conservation Biology 18 (4), 947–956. Gomes, F., Silva, J.S., 2002. Normas preventivas no planeamento das arborizações. In: Silva, J.S., Páscoa, F. (Eds.), Manual de Silvicultura para a prevenção de incêndios VIII. Direcção Geral das Florestas, Lisboa, pp. 1–8. Larsen, I.J., MacDonald, L.H., Brown, E., Rough, D.,Welsh,M.J., Pietraszek, J.H., Libohova, Z., Benavides-Solorio, J.D., Schaffrath, K., 2009. Causes of post- fire runoff and erosion: water repellency, cover, or soil sealing? Soil Sci. Soc. Am. J. 73, 1393–1407 Manan, S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Indonesia. Riechers, G.H., Beyers, J.L., Robichaud, P.R., Jennings, K., Kreutz, E., Moll, J., 2008. Effects of three mulch treatments on initial post-fire erosion in North- central Arizona. Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-189. In: Narog, Marcia G. (Ed.), Proceedings of the 2002 Fire Conference: Managing Fire and Fuels in the Remaining Wildlands and Open Spaces of the Southwestern United States. Riechers, G.H., Beyers, J.L., Robichaud, P.R., Jennings, K., Kreutz, E., Moll, J., 2008. Effects of three mulch treatments on initial post-fire erosion in North- central Arizona. Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-189. In: Narog, Marcia G. (Ed.), Proceedings of the 2002 Fire Conference: Managing Fire and Fuels in the Remaining Wildlands and Open Spaces of the Southwestern United States. Rey, M.S., 2003. Catálogo de espécies herbáceas e leñosas bajas autóctonas para la revegetación de zonas degradadas en La Rioja. Gobierno de La Rioja.
  • 10. 10 Consejería de Turismo, Medio Ambiente y Política Territorial. Dirección General de Medio Natural. Robichaud, P.R., Wagenbrenner, J.W., Brown, R.E., Wohlgemuth, P.M., Beyers, J.L., 2008b. Evaluating the effectiveness of contour-felled log erosion barriers as a post-fire runoff and erosion mitigation treatment in the western United States. Int. J. Wildland Fire 17, 255–273. Robichaud, P.R., Pierson, F.B., Brown, R.E., Wagenbrenner, J.W., 2008a. Measuring effectiveness of three postfire hillslope erosion barrier treatments, western Montana, USA. Hydrol. Process. 22, 159–170. Robichaud, P.R., 2005. Measurements of post-fire hillslope erosion to evaluate and model rehabilitation treatment effectiveness and recovery. Int. J.Wildland Fire 14, 475–485. Robichaud, P.R., Lillybridge, T.R., Wagenbrenner, J.W., 2006. Effects of post- fire seeding and fertilizing on hillslope erosion in north-central Washington, USA. Catena 67, 56–67. Sutaryo,D.2009. Penghitungan Biomassa ―Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon Dan Perdagangan Karbon‖.Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Usup, A., Hashimoto, Y., Takahashi, H., Hayasaka, H., 2004. Combustion and thermal characteristics of peat fire in tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. TROPICS Vol. 14. Issued August 31, 2004. Valdecantos, A., Baeza, M.J., Vallejo, V.R., 2009. Vegetation management for promoting ecosystem resilience in fire-prone Mediterranean shrublands. Restor. Ecol. 17, 414–421. Vallejo, R., Aronson, J., Pausas, J.G., Cortina, J., 2006. Mediterranean woodlands. In: Van Andel, J., Aronson, J. (Eds.), Restoration Ecology. The New Frontier: Blackwell Science, Oxford, UK, pp. 193–207. Wiersum, K.F dkk, 1979. Influence of Forest on Erosion. Institute of Ecology, University of Padjajaran. Bandung
  • 11. 11 WOCAT, 2007. Where the Land is greener — case studies and analysis and water conservation iniciatives worldwide. Hanspeter Liniger and William Critchley.