1. PROPOSAL PENELITIAN
PERANAN GURU DAN FLEKSIBILITAS KURIKULUM BAGI SISWA
BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR INKLUSI
ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Penelitian Pendidikan
dosen: Dr. Y. Suyitno, M. Pd
Oleh
Inne Marthyane Pratiwi (1003490)
Kelas: 3 Matematika
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN PEDAGOGIK
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
2. A. Judul Penelitian
Perananan Guru dan Fleksibilitas Kurikulum bagi Siswa Berkebutuhan Khusus di
Sekolah Dasar Inklusi
B. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun
2003 mengamanatkan bahwa Sisdiknas harus mampu menjamin pemeratan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan dan efesiensi pengelolaan
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, internasional, dan global sehingga diperlukan paradigma
pembaharuan pendidikan yang diselenggarakan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 dan 2 dijelaskan bahwa “setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas yaitu:
Pasal 3:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
bertanggungjawab.
Pasal 5:
Ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu.
Ayat (2): Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh Pendidikan Khusus.
Ayat (4): Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh Pendidikan Khusus.
Setiap siswa memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan di
sekolah umum begitu pula dengan siswa berkebutuhan khusus. Pengertian anak
kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan atau
penyimpangan baik secara fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional dalam
proses pertumbuhan dan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Kebanyakan dari orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Hal tersebut bukanlah hal yang salah. Hal
3. ini menandakan bahwa pendidikan berprinsip pada keseimbangan dan pemerataan hak
serta kewajiban bagi setiap warga negara.
Sebagai salah satu upaya untuk menyetarakan hak penyandang ketunaan
dalam hal memperoleh ilmu pengetahuan di bangku sekolah, Subdinas Pendidikan
Luar Biasa (Subdis PLB) Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat sudah mulai
menerapkan program pendidikan inklusif. Dalam program tersebut, anak-anak
berkebutuhan khusus bersekolah dan juga disatukelaskan dengan murid-murid pada
umumnya di sekolah reguler.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi
adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga
merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan
saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain
agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa: pendidikan inklusi
adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di
kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar
yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun
gradasinya.
Guru sekolah dasar pada umumnya merasa kebingungan dalam menghadapi
siswanya yang berkebutuhan khusus. Mereka tidak mengetahui perlakukan apa yang
harus diberikan kepada siswanya yang berkebutuhan khusus dan siswa normal lainnya.
Hal ini terjadi karena guru belum memiliki wawasan mengenai anak berkebutuhan
khusus. Guru di sekolah dasar kebanyakan baru mengetahui mengenai anak tunanetra,
tunarungu, dan tunadaksa, autisme saja karena relatif mudah dikenali dan dideteksi.
Biasanya yang lain belum begitu banyak dikenali sehingga sangat mungkin
memberikan perlakuan yang salah.
Dilematisasi guru dalam menangani siswa berkebutuhan khusus bukan hanya
pada penanganan di kelas terhadap perilakunya saja, namun dalam pemberian materi
pelajaran pun guru merasa kebingungan, bagaimana penyesuaian kurikulumnya, juga
bagaimana menentukan hasil dari evaluasi sumatif atau evaluasi tahap akhir misalnya
apakah siswa tersebut naik kelas atau tidak atau apakah siswa tersebut lulus atau tidak.
4. Apabila siswa berkebutuhan khusus tersebut diberikan perlakuan yang biasa
saja dan tidak ada keinginan guru untuk menyesuaikan kurikulum yang ada maka
tujuan pendidikan nasional tidak akan tercapai. Untuk itu diperlukan penelitian agar
tujuan pelaksanaan pendidikan dapt tercapai.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka identifikas masalah dapat
diklasifikasikan, yaitu:
1. Anak berkebutuhan khusus seharusnya memiliki hak yang sama dengan siswa
lainnya dan bersosialisasi dengan siswa normal.
2. Ketidaktahuan guru dan Kepala Sekolah bahwa Sekolah Dasar harus menerima
kehadiran siswa berkebutuhan khusus.
3. Kurangnya pemahaman guru dalam menangani perilaku siswa berkebutuhan
khusus.
4. Ketidakmampuan guru dan kepala sekolah dalam penyesuaian kurikulum siswa
berkebutuhan khusus dengan siswa lainnya yang normal.
D. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka batasan dari
masalah tersebut adalah ketidakmampuan guru dan kepala sekolah dalam menangani
perilaku anak berkebutuhan khusus dan penyesuaian kurikulum siswa berkebutuhan
khusus dan siswa lainnya yang normal.
E. Rumusan Masalah
Penelitian ini akan meneliti mengenai perlakuan yang harus dilakukan guru
terhadap siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah dasar inklusi, maka
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa yang harus dilakukan oleh guru dalam menangani siswa berkebutuhan khusus
di sekolah dasar inklusi?
2. Bagaimana fleksibilitas kurikulum dan format program pembelajaran yang disusun
oleh guru bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi?
F. Maksud dan Tujuan Penelitian
5. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggunakan data yang
diperoleh di lapangan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dan untuk
mengetahui apa yang dihasilnya dari fleksibilitas kurikulum bagi siswa berkebutuhan
khusus di sekolah dasar inklusi.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendapatkan gambaran mengenai penyesuaian dan perlakuan guru dalam
menangani siswa berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi
2. Untuk mendapat gambaran tentang bagaimana fleksibilitas kurikulum dan format
pembelajaran yang disusun oleh guru bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah
dasar inklusi.
G. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menjawab
permasalahan dan menguji asumsi-asumsi yang muncul berkaitan dengan
penganganan siswa berkebutuhan khusus oleh guru serta penerapan prinsip
fleksibilitas kurikulum dan format pembelajaran yang disusun oleh guru bagi siswa
berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat
1. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan mengenai fleksibilitas kurikulum dan format
pembelajaran yang disusun oleh guru bagi siswa berkebutuhan khusus yang
bersekolah di sekolah iklusi.
2. Bagi orangtua, sebagai pertimbangan dalam memasukkan anak berkebutuhan
khusus ke sekolah dasar inklusi.
3. Bagi peneliti, sebagai bahan pertimbangan dan pengetahuan mengenai kondisi anak
berkebutuhan khusus dan fleksibilitas kurikulum bagi siswa berkebutuhan khusus
di sekolah dasar inklusi.
H. Kerangka Teori
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Pada hakekatnya semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan. Melalui pendidikan, seluruh potensi anak didik dapat
digali dan dikembangkan secara optimal. Baik anak didik yang normal maupun
berkelainan. Hal ini bertemali dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan ayat 2
tentang hak dan kewajiban setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan
6. UU nomor 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 tentang hak setiap warga negara
memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan demikian tidak ada alasan untuk
meniadakan pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), apalagi menelantarkan
ABK dalam memperoleh pendidikan.
Anak berkebutuhan khusus adalah Anak berkebutuhan khusus (Heward)
adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya
tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang
termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan
gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar
biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK
memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan dan potensi mereka. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di
Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB
bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk
tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan
SLB bagian G untuk cacat ganda.
2. Sekolah Inklusi
a. Gagasan Pendidikan Inklusi
Pemahaman konsep tentang pendidikan anak penyandang cacat terus
berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Pada tahun delapan puluhan terjadi gerakan
yang kuat terhadap penyatuan pendidikan anak penyandang cacat bersama
anak-anak pada umumnya di sekolah biasa yang disebut dengan integrasi.
Integrasi adalah penyediaan pendidikan yang berkualitas bagi siswa-siswa
berkebutuhan khusus di sekolah biasa.
Dalam sistem pendidikan integrasi anak-anak penyandang cacat
mempunyai kesempatan untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa bersama
anak-anak pada umumnya. Akan tetapi kesempatan bagi anak penyandang
cacat untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa dibatasi oleh adanya
patokan yaitu bahwa penyandang cacat dapat diterima di sekolah reguler
sepanjang anak ini dapat menyesuaikan diri dengan sistem yang berlaku bagi
anak pada umumnya. Artinya anak penyandang cacat harus mampu
menyesuaikan diri dengan sistem yang berlaku di sekolah itu.
7. Salah satu layanan dalam sistem pendidikan integrasi ini adalah
adanya pendidikan inklusi yang merupakan perkembangan terkini dari model
bagi anak luar biasa yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan
Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan
Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.
b. Pengertian Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi memiliki pengertian yang beragam. Stainback dan
Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang
menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menentang, tetapi sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru agar siswa-siswanya berhasil. Lebih dari itu, sekolah
inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari
kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya
maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat
terpenuhi.
Pendidikan inklusi adalah layanan pendidikan yang semaksimal
mungkin mengakomodasi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan
khusus atau anak luar biasa di sekolah atau lembaga pendidikan (diutamakan
yang terdekat dengan tempat tinggal anak) bersama dengan teman-teman
sebayanya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki
oleh anak. (Tim Pendidikan Inklusi Jawa Barat, 2003:4)
Pendapat lain mengatakan Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang
memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Pendidikan yang
memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya,
tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik
di kelas/ sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya
yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.
(Pendidikan yang Terbuka Bagi Semua, Djuang Sunanto, 2004:3)
c. Landasan Yuridis
Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
8. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun 1994.
UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun 2004.
d. Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah
reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan
tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1. alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat
dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang
mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait,
terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah
berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar
Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi
(Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada
kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu
dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi
waktunya selama 6 jam.
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas
normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
9. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif
normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah
normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau
lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan
seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas
normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan
(diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak
ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap
penting untuk anak berbakat.
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif
normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap
dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah
normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum
sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya
seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis,
sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan
khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan
perbedaan individual setiap anak;
Lebih terbuka (divergent);
Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di
dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling
bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan
pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran
kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan
cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha
10. seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang
juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak
negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik.
Anak dapat menjadi egois.
Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif
ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak
dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi
tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan
mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok,
dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini
sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan
berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan
berkembang harmonis.
Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe
visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi
melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah
menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya
tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan
anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
3. Hakikat Fleksibilitas Kurikulum
a. Pengertian Fleksibilitas Kurikulum
Sekolah dengan setting pendidikan inklusi merupakan sekolah yang
menghargai karakteristik unik atau keberagaman setiap pesert didik. Pengakuan
atas karakteristik unik (difernsiasi) berarti diberikannya kesempatan bagi
seseorang untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik mintanya. Kedua
hal tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat yang menganut sistem
demokrasi untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki.
Karema setiap pribadi adalah unik maka kurikulum tersebut pun perlu disusun
secara unik dan bersifat fleksibel atau luwes.
11. Kurikulum dewasa ini menekankan penggunaan kurikulum secara
fleksibel sesuai denga kebutuhan siswa, yang memungkinkan keragaman cara
untuk mencapai sasaran belajar, bahkan dalam kurikulum semacam ini tidak
menutup kemungkinan bahwa siswa pada saat-saat tertentu merumuskan sendiri
sasaran belajarnya (Kaplan, 1997 dalam Munandar U. 1992: 150).
Fleksibilitas kurikulum dapat diartikan bahwa kurikulum memberikan
ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program pembelajaran yang
sesuai dengan kondisi yang ada dan menyediakan berbagai kemungkinan
program pilihan sesuai dengan bakat dan minat siswa atau sesuai dengan kondisi
yang ada (Sanjaya, 2008: 41).
Prinsip fleksibilitas mengandung arti bahwa pelaksanaan program bagi
peserta didik, dan lulusan memiliki ruang gerak dan kebebasan dakam bertindak.
Guru sebagai pelaksana silabus, dapat mengakomodasi berbagai ide baru atau
memperbaiki ide-ide sebelumnya. Peserta didik diberikan berbagai pengalaman
belajar yang dapat dipilih sesuaidengan karakteristik dan kemampuan masing-
masing. Sedangkan fleksibel dari segi lulusan dimaksudkan bahwa mereka
memiliki kewenangan dan kemampuan yang multi arah (Mulyasa, 2007: 193).
Seting pendidikan inklusif menjadikan kelas heterogen, dank arena
kurikulum bagi peserta didik berfungsi sebagai pedoman belajar, yaitu tentang
kemampuan apa yang harus dicapai, materi apa yang harus dikuasai, dan
pengalaman belajar apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan, maka
dalam pelaksanaannya fleksibilitas ikurikulum tersebut sangat oerku untuk
diperhatikan sehingga dapat tercipta suatu proses belajar mengajar yang
diinginkan dan juga dapat menghasilkan output pendidikan yang berkompeten.
Dalam UU Sisdiknas tahun 2003, kurikulum diartikan sebagai
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan belajar, serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar untuk
mencapai tujuan tertentu.
Kurikulum memiliki peran penting dalam program belajar yang telah
direncanakan dalam proses belajar mengajar demi tercapinya tujuan pendidikan,
baik tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional (lembaga), tujuan kurikuler,
maupun tujuan instruksional (tujuan pengajaran).
Alexander Inglis mengemukakan enam fungsi kurikulum untuk siswa,
yaitu:
12. 1) Fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function)
2) Fungsi integrasi (the integrating function)
3) Fungsi difernsiasi (the differentiating function)
4) Fungsi persiapan (the propardentic function)
5) Fungsi pemilihan (the selective function)
6) Fungsi diagnostik (the diagnostic function)
Tujuan dari senuah pengembangan kurikulum dalam buku pedoman
penyelenggaraan pendidikan inklusif (2007) adalah:
1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi
hambatan belajar yang dialami semaksimal mungkin di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif.
2) Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program pendidikan
bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di
sekolah maupun di rumah.
3) Menjadi pedoman bagi sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan,
menilai, dan menyempurnakan pendidikan inklusif.
Ada beberapa model dalam pengembangan kurikulum yang
berkembang sekarang ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Model kurikulum umum (reguler)
Pada model kurikulum ini peserta didik berkebutuhan khusus mengikuti
kurikulum umum, sama seperti peserta didik lainnya di dalam kelas yang
sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses
pembimbingan belajar, motivasi, dan ketekunan belajarnya.
2) Model kurikulum umum dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini anak berkebutuhan khusus menggunakan
kurikulum perpaduan antara kurikulum umum dengan kurikulum PPI
(Program Pengajaran Individual). Operasional pengembangan kurikulum
ini, dilakukan dengan cara memodifikasi kurikulum umum disesuaikan
dengan potensi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus. Dengan
kurikulum modifikasi ini diharapkan anak berkebutuhan khusus dapat
mengikuti pembelajaran pada kelas umum secara klasikal bersama anak
reguler lainnya.
3) Model kurikulum yang diindividualisasikan
13. Pada model kurikulum ini anak berkebutuhan khusus menggunakan
kurikulum yang diindividualisasikan, dalam format program pengajaran
individual (PPI). Sesuai dengan sifat dan karakteristiknya, kutrikulum ini
sering disebut model kurikulum PPI, yang dikembangkan secara khusus
oleh guru pendidikan khusus di sekolah dengan seting pendidikan inklusif.
Model kurikulum PPI ini dipersiapkan untuk anak berkebutuhan khusus
yang tidak dapat mengikuti kurikulum umum maupun kurikulum
modifikasi. Standar kompetensi dalam kurikulum PPI dirumuskan
berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan oleh guru pendidikan khusus
bersama tim ahli terkait.
Bicara tentang pendidikan, pasti tidak terlepas dari apa yang
dinamakan proses bimbingan, karena bimbingan merupakan bagian integral
dari sebuah pendidikan. Pendidikan merupakan proses membantu mnusia yang
sedang berkembang menuju kedewasaan. Pendidikan bertugas membantu
manusia mencapai tingkat perkembangan diri yang lebih tinggi. Perkembangan
ini bersifat individual dan oleh sebab itu proses yang dialami dan diberikan pun
perlu melihat kebutuhan pendidikan secra individual yang selaras dengan
kehidupan masyarakat agar terjadi keserasian antara perkembangan individu
tersebut dengan lingkungan sekitar sehingga individu tersebut memperoleh
perkembangan yang optimal serta dapat diterima di lingkungannya.
Dalam pendidikan, individu tersebut dikenal sebagai peserta didik.
Peserta didik merupakan satu amanah dari Tuhan Yang Maha Esa, memiliki
potensi, sehingga perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik dalam segi fisik, mental maupun sosial
sehingga menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak ulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjasi manusia yang demokratis serta bertanggung
jawab (sesuai dengan fungsi pendidikan).
Fleksibilitas kurikulum bagi siswa dapat diartikan bahwa kurikulum
harus menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan
bakat dan minat siswa, karena kurikulum bagi siswa berfungsi sebagai
pedoman belajar, yaitu tentang kemampuan apa yang harus dicapai, materi apa
yang harus dikuasai dan pengalaman belajar apa yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan (Sanjaya, 2008: 40).
14. Fleksibilitas kurikulum tersebut juga perlu dilakukan mengingat
karakteristik anak dan kebutuhan setiap individu yang menuntut untuk
dipenuhi, serta sebagai salah satu penghargaan terhadap hak anak atas
pendidikan untuk mewujudkan semua itu, berdasarkan UU Perlindungan Anak
no. 23 tahun 2002 dan UUSPN no 20 tahun 2003, guru memiliki tanggung
jawab untuk dapat menyelenggarakan pendidikan untuk semua anak yang
diarahkan pada:
1) Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat,
kemampuan mental dan fisik sehingga mencapai potensi yang optimal.
2) Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia.
3) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa,
dan nilai-nilainya sendiri, dari mana anak berasal dan peradaban-
peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri.
4) Persiapan anak untuk hidup bertanggung jawab.
5) Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
b. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif pada dasarnya adalah menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di
sekolah umum, namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta
didik yang bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang, sampai berat,
maka dalam implementasinya di lapangan kurikulum reguler tersebut perlu
dilakukan modifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan tersebut
ada beberapa prinsip yang menjadi pegangan dalam penyusunan, pelaksanaan,
dan pengembangan kurikulum (KTSP) yang tercantumpada Permen No. 22
Tahun 2006 tentang standar isi, yaitu:
1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik dan lingkungannya.
Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan
potensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan pro[insip bahwa peserta didik
memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar
15. menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2) Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristikpaeserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis
pendidikan tanpa membedakan agama, suku bangsa, dan adat istiadat ,
serta status soasial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi
komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokas, dan pengembangan diri
secara terpadu,serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang
bermaksa dan tepat antar substansi.
3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Tanggap terhadap perkembangan atas kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh
karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk
mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menjamin relevansipendidikan
dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan
masyarakat, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, ketermpilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan suatu
keharusan.
5) Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruh dimensi
kompetensibidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan
dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
6) Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara unsure pendidikan formal, nonformal,
16. dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan
yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan
kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto “Bhineka Tunggal Ika” dalamkerangka negara kesatuan
Republik Indonesia.
UUSPN No. 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 2 menyatakan bahwa
kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi deduai dengan satuan pendidikan, potensidaerah dan
peserta didik. Dalam pengembangan kurikulum perlu diperhatikan potensi
daerah, hal ini menunjukkan bahwa kurikulum itu tidak sentralistik, tetapi lebih
lugas dan dapat menyesuaikan diri serta dapat berkembang melebihi standar
yang ditentukan pemerintah. Selain itu kurikulum harus memperhatikan
potensi peserta didik, artinya diberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi
anak didik untuk berkembang melebihi standar yang ditentukan jika anak itu
memiliki kemapuan dan kecerdasan yang sesuai dengan perkembangannya
(Sagala, 2008: 240).
c. Komponen Fleksibilitas Kurikulum
Dalam pendidikan inklusif tersebut perlu ada penyesuaian terhadap
komponen-komponen pendidikan terhadap kebutuhan khusus peserta didik
(Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, 2007). Komponen-komponen
pendidikan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Tujuan Pembelajaran
Evaluasi Bahan
Pembelajaran Pembelajaran
Media Pembelajaran Strategi Pembelajaran
17. Gambar 1. Hubungan Antar Komponen dalam Pembelajaran
Komponen pembelajaran tersebut adalah tujuan, materi pelajaran,
motode/strategi pembelajaran, media, evaluasi. Komponen-komponen tersebut
saling berkaitan dan saling mempengaruhi atau berinteraksi satu sama lain.
Hubungan antar komponen tersebut misalnya adalah dalam menentukan bahan
pelajaran murujuk pada tujuan yang telah ditentukan, bagaimana materi
tersebut akan disampaikan maka akan menggunakan metode/strategi yang tepat
serta didukung oleh media pemeblajaran yang sesuai. Demikian juga evaluasi,
akan merujuk pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Komponen
pembelajran yang lain adalah adanya anak didik/siswa, pendidik/guru, dan
masyarakat sebagai pendukukng terlaksananya proses pembelajaran.
d. Program Pembelajaran Tematik Berdasarkan Fleksibilitas Kurikulum
Nasution (1984: 58) mengemukakan beberapa usaha untuk
menyesuaikan pelajaran atau memfleksibelkan kurikulum dengan perbedan
atau karakteristik unik peserta didik, yaitu dengan:
“(1) lebih mengutamakan proses belajar daripada mengajar, (2)
merumuskan tujuan yang jelas, (3) mengusahakan partisipatif aktif dari
pihak murid, (4) menggunakan banyak feedback atau balikan evaluasi, dan
(5) member kesempatan kepada murid untuk maju dengan kecepatan
masing-masing.”
Dari fleksibilitas kurikulum yang dilakukan pada akhirnya akan
menghasilkan fleksibilitas programdan proses pembelajaran. Salah satu bentuk
yang lahir dari fleksibilitas kurikulum ini adalah adanya modifikasi
kurikulum/kurikulum individual utuk melayani setiap peserta didik terutama
anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum individual
ini kemudian menghasilkan PPI (Program Pengajaran Individual). Dengan
program pengajaran individual ini diharapkan dapat meningkatkan mutu dan
efektivitas pembelajaran serta dapat membantu mengembangkan peserta didik
secara optimal.
PPI merupakan suatu rencana pembelajaran yang menyesuaikan
terhadap perbedaan kebutuhan individu. Lynch (1994: 39) mengemukakan
bahwa PPI merupakan suatu kurikulum terindividualisasi atau program belajar
yang didasarkan kepada gaya, kekuatan, dan kebutuhan-kebutuhan khusus
18. anakdalambelajar. Mercer & Mercer (1989) menegaskan bahwa program
individual merujuk pada suatu program pembelajaran dimana peserta didik
bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya (Tim
Jassi. 2002: 139).
Pendidikan individual pada dasarnya disusun dengan maksud untuk
memenuhi kebutuhan khusus setiap peserta didik secara optimal. Prosedur
ideal untuk mengembangkan program pembelajaran individual oleh Kitano &
Kirby (1986) dilakukan melalui langkah-langkah: 1) pembentukan tim PPI
biasanya terdiri dari guru, orang tua, dan tenaga professional, 2) menilai
kebutuhan khusuus anak yang bersangkutan, 3) mengembangkan tujuan jangka
panjang dan jangka pendek, 4) merancang metode dan prosedur pembelajaran,
dan 5) menentukan evaluasi kemajuan anak (Tim Jassi, 2002: 139).
Idealnya PPI tersebut disusun oleh tim yang terdiri dari kepala
sekolah, komite sekolah, tenaga ahli dan profesi terkait, orang tua atau wali
murid, guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pendidikan khusus/ PLB,
serta peserta didik yang bersangkutan.
1) Prinsip-prinsip PPI
a) Berorientasi pada peserta didik
b) Sesuai potensi dan kebutuhan anak
c) Memperhatikan kecepatan belajar masing-masing
d) Mengejar ketertinggalan dan mengoptimalkan kemampuan.
2) Komponen PPI secara garis besar
a) Deskripsi tingkat kemampuan peserta didik sekarang
b) Tujuan jangka panjang (umum) dan tujuan jangka pendek (khusus).
c) Rincian layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang terkait
termasuk seberapa besar peserta didik dapat berpartisipasi di kelas
reguler.
d) Sasaran
e) Metode
f) Ketercapaian sasaran
g) Evaluasi
Program belajar mengajar merupakan satuan pembelajaran yang
memuat tentang tujuan pembelajran, bahan pelajaran, kegiatan belajar
19. mengajar, metode dan alat bantu mengajar, serta evaluasi kemajuan hasil
belajar (Sagala, 2008: 165).
1) Tujuan Pembelajaran
Tujuan ini dijabarkan dari kurikulum yang berlaku secara resmi di sekolah
mengacu pada kondisi belajar yang diperlukan. Acuan kurikulum yang
berlaku tersebut berkaitan erat dengan bahan ajar yang harus dijabarkan
oleh guru dalam bentuk materi pelajaran. Dianjurkan agar tujuan
kurikulum tersebut dirumuskan dalam bentuk perilaku yang dapat diamat.
Tujuan ini tidak hanya mengenai bahan yang harus dikuasai, akan tetapi
juga keterampilan, tujuan emosional, dan sosial.
2) Pokok Bahasan/Bahan Pelajaran
Guru dapat memilih cara mengajar berdasarkan teori-teori belajar yang
sesuai dengan materi pelajaran yang tertuang dalam pokokbahasan. Pokok
bahasan tersebut dapat disesuaikan dengan jenis sekolah, kelas, waktu,
karakteristik per[serta didik, keterbatasan biaya, fasilitas, sumber
pengajaran, tenaga adminstrasi, dan hubungannya dengan pelajaran lain.
3) Metode Mengajar
Metode mengajar banyak ditentukan oleh tujuan yang dirumuskan oleh
guru. Metode mengajar adalah cara yang digunakan oleh guru dalam
mengorganisasikan kelas pada umumnya atau dalam menyajikan bahan
pelajaran pada khususnya. Dengan metode pembelajaran yang dipilih
tersebut memugnkinkan peserta didik mengadakan observasi yang
sistematis, membuat catatan, dan membuat laporan tertulis.
4) Media dan Sumber Belajar
Pembelajaran lebih mengutamakan sifat konkret, sehingga alat pelajaran
pun perlu dipilih dari sifat media tersebut, dari yang sifatnya paling
konkret sampai yang paling abstrak. Penggunaan media yang tepat, selain
memudahkan siswa juga dalam mengalami, memahami, mengerti, dan
melakukan juga enimbulkan motivasi yang lebih kuat jika dibandingkan
dengan menggunakan kata-kata semata.
5) Evaluasi Pengajaran
Dengan evaluasi makan akan diperoleh balikan atau feedback guna
memperbaiki atau merevisi bahan atau metode pembelajaran, atau untuk
menyesuaikan bahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan
20. evaluasi guru juga dapat menilai hingga manakah pengetahuan yang
diperoleh dan transformasi dapat dimanfaatkan untuk memahami hasil
belajar.
Dalam proses belajar mengajar perlu dipilih strategi atau metode yang
digunakan agar apa yang akan disampaikan kepada peserta didik dapat diterima
dengan baik. Pemilihan strategi ini juga karena peserta didik yang ada adalah
individu yang unik, sehingga satu metode belum tentu bisa diterapkan untuk
anak yang lain, hal tersebut karena latar belakang yang dimiliki peserta didik
juga berbeda-beda.
Beberapa pendekatan strategi pembelajaran yang banyakditerapkan
dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, yaitu:
1) Pendidikan remedial dan pendidikan kompensasi (remedial education &
compensatory education)
2) Latihan persepsi motorik (perceptual motor training)
3) Program pengajaran individual (individualized education program/IEP)
Pendidikan remedial ini memegang peranan penting dalam mencapai
hasil belajar yang lebih memadai atau mengacu kepada proses peningkatan dan
perbaikan dalam suatu bidang tertentu. Pendidikan kompensasi adalah
penyeimbang dan penggantian suatu kecakapan dengan yang lain.
Latihan persepsi motorik adalah untuk mendukung anak agar dapat
mengerjakan tugasnya dengan lebih mandiri. Latihan persepsi motorik
biasanya diterapkan bagi mereka yang mengalami kelemahan motorik,
gangguan koordinasi mata-tangan, dan gangguan persepsi motorik.
Program pembelajaran individual merupakan program ytang
dirancang khusus untuk siswa berkebutuhan khusus, sehingga siswa dapat
belajar mengerjakan tugasnya dengan tepat, program pembelajaran individual
ini disusun untuk satu orang siswa yang memiliki kecerdasan atau bakat
istimewa dan bagi mereka yang memerlukan pelayanan khusus akibat dari
hambatan yang dimiliki. Prinsip dari program pengajaran individual ini
diantaranya adalah berorientasi kepada peserta didik, disesuaikan dengan
potensi dan kebutuhan anak, memperhatikan kecepatan belajar masing-masing,
mengajar ketertinggalan dan mengoptimalkan kemampuan anak. Program
pengajaran individual ini menekankan pada pentingnya perhatian, bantuan, dan
21. perilaku khusus kepada anak berkebutuhan khusus yang berbeda minat dan
kebutuhannya serta karakteristik belajarnya.
I. Tinjauan Pustaka
Penyesuaian kurikulum oleh guru sekolah dasar Sembilan Mutiara Bandung
dalam memenuhi kebutuhan khusus peserta didik dalam seting pendidikan inklusif
sudah dilakukan, gurr berusaha untuk dapat memeberikan layanan pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tidak keluar dari koridor kurikulum
nasional. Guru terkadang melaksanakan kurikulum reguler dan juga melaksanakan
kurikulum individual. Penyesuaian yang dilakukan oleh guru diantaranya adalah
menyesuaikan arah atau tujuan pendidikan, alokasi waktu, materi pembelajran,
strategi/metode, tugas-tugas, bantuan dan evaluasi yang diberikan sesuai dengan
kemampuan atau kebutuhan anak. Meskipun mereka belajar dalam satu kelas yang
sama serta dengan tema mata pelajaran yang sama, guru tetap mencoba untuk dapat
mewujudkan pendidikan yang dapat melayani dan memenuhi kebutuhan semua
peserta didik terutama anak berkebutuhan khusus. Untuk anak tunagrahita misalnya
dengan adanya pengulangan-pengulangan materi.
Format program pembelajaran yang disusun oleh guru berdasarkan pada
fleksibilitas kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus dalam implementasi
pendidikan inklusif di sekolah dasar Sembilan Mutiara Bandung ini secara tertulis
baru dilaksanakan terutama oleh ortopedagoh melalui program pembelajaran
individual untuk anak berkebutuhan khusus. Guru kelas masih membuat program
pembelajran secara klasikal, format program pembelajran individual ini berisi tentang
diagnose anak, penanganan, tujuan akademik dan perilaku, waktu pelaksanaan, dan
laporan perkembangan anak.
Pelaksanaan program pembelajaran yang telah disusun berdasarkan prinsip
fleksibilitas kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus dalam implementasi
pendidikan inklusif di sekolah dasar Sembilan Mutiara Bandung ini selalu
dilaksanakan dengan melibatkan anak berkebutuhan khusus untuk ikut berpartisipasi
bersama-sama dalam satu kelas, maka anak ikut belajar klasikal, tetapi jika anak
berkebutuhan khusus tersebut tidak dapat mengikuti proses pembelajaran yang
dilaksanakan di kelas, maka anak berkebutuhan khusus tersebut belajar sendiri sesuai
dengan program pembelajaran individualnya, baik di dalam kelas dengan teman-
temannya yang lain maupun belajar sendiri di luar ruangan kelas/ruang khusus.
22. Fleksibilitas kurikulum ini menghasilkan program fleksibel serta secara
otomatis juga mengahsilkan proses pembelajran yang fleksibel. Dimana proses
pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan kurikulum
nasional atau kurikulum reguler tetap dapat dilaksanakan.
J. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan
pendekatan kualitatfi melalui studi kasus (case study). Penelitian ini memiliki ciri
menuturkan dan menafsirkan suatu keadaan, fakta atau fenomena yang terjadi pada
saat penelitian berlangsung secara objektif. Karena kulaitatif maka penelitian ini tidak
menggunakan angka dalam pengumpulan data dan dalam memberikan penafsiran
terhadap hasilnya. Menurut Maanen penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan berbagai macam teknik interpretasi yang berupaya mendeskripsikan,
mengungkap, menerjemahkan, atau menafsirkan fenomena sosial tertentu yang terjadi
secara alami, dari maknanya bukan frekuensinya.
1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas 1 SDN 2 Gegerkalong Girang.
2. Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah guru kelas satu sebagai
guru mata pelajaran tematik, kepala sekolah, siswa, dan orang tua siswa, melalui
observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan teknik wawancara,
observasi, dan teknik studi dokumentasi.
4. Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan sebagai instrument dalam penelitian ini adalah
pedoman observasi, pedoman wawancara, dan pedoman studi dokumentasi.
5. Pengujian Keabsahan Data
Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini adalah dengan
membandingkan data dari hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif
yaitu analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus pada setiap tahapan penelitian sampai tuntas dan datanya sampai jenuh.
23. K. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan
laporan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
Di dalamnya menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, langkah-langkah penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab II Landasa Teoritis
Dalam bab ini membahas tentang konsep anak berkebutuhan khusus, sekolah
inkulsi, peranan guru, dan fleksibilitas kurikulum.
Bab III Metodologi Penelitian
Dalam bab ini membahas tentang waktu dan tempat penelitian, populasi dan
sampel penelitian, metode dan desain penelitian, teknik pengumpulan data dan
prosedur pengolahan data.
Bab IV Pembahasan dan Hasil Penelitian
Dalam bab ini membahas tentang deskripsi data dan analisis data. Analisis
tersebut berupa pengujian prasyarat analisis.
Bab V Penutup
Dalam bab ini penulis member kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian yang
dilakukan.
L. Jadwal Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama empat bulan, dimulai dari Bulan Februari 2013 sampai
Bulan Mei 2013.
Bulan
No. Kegiatan
Februari Maret April Mei
1. Perencanaan √
2. Pelaksanaan penelitian √ √
3. Pengumpulan data √ √
4. Analisis data √ √
5. Penyusunan laporan √ √
24. M. Daftar Pustaka
Abdurrahman, Mulyono. (2009). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Delphie, Bandi. (2009). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting
Pendidikan Inklusi. Klaten: PT Intan Sejati.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2009). Pendidikan Khusus dan Pendidikan
Layanan Khusus. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional.
Ifdlali. (2010). Pendidikan Inklusi (Pendidikan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus).
[online]. Tersedia: http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-
artikel/115-pendidikan-inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-
khusus. [4 Januari 20123]
Janah, Mufasihatun. (2011). Fleksibilitas Kurikulum Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
dalam Implementasi Pendidikan Inklusif Di Sekolah Dasar Sembilan Mutiara
Bandung: Studi Kasus Pada Pembelajaran Tematik Kelas Satu
Sekolah Dasar Sembilan Mutiara Bandung. Skripsi Sarjana pada FIP UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Rani. (2010). Pengertian Sekolah Inklusi Menurut Para Ahli. [online]. Tersedia:
http://ranietak5110050.blogspot.com/2010/12/pengertian-sekolah-inklusi-
menurut-para.html. [4 Januari 2013]
Riduwan. (2004). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti
Pemula. Bandung: Alfabeta.
Sekolah Inklusi. (2011). Konsep Sekolah Inklusi. [online]. Tersedia:
http://www.bintangbangsaku.com/content/konsep-sekolah-inklusi. [4 Januari
2013]