Tulisan ini membahas tentang UMKM dan tantangan pasar global serta konsep ekonomi kerakyatan Gus Dur. Gus Dur melihat UMKM sebagai fondasi ekonomi negara yang perlu ditingkatkan kapasitasnya agar mampu bersaing di pasar bebas. Namun, diperlukan kerja keras untuk merealisasikan konsep tersebut dan menggerakkan perekonomian rakyat seperti yang diharapkan Gus Dur. [.]
1. Penanggung jawab
SekNas JGD
Penasihat
Alissa QM Wahid
koordinator
Tata Khoiriyah
Redaksi
Nabilah Munsyarihah,
Zahrotien
Editor
Abas Z g.
Tata letak
Muhammad Nabil
Kontributor
GUSDURian di berbagai
daerah
M e n g g e r a k k a n Tr a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a
Sirkulasi
SekNas Jaringan GUSDURian
Edisi 8 / Oktober 2013
Sekadar Mendahului
Bolehkah Rakyat Kaya?
P
asar bebas sudah menjadi pola perekonomian yang diamini oleh semua
negara. Bagi negara maju dengan sistem ekonomi kuat, hal itu tidak
menjadi persoalan. Namun bagi negara yang sistem ekonomi belum
mapan, justru akan menimbulkan masalah-masalah baru.
Menghadapi pasar bebas, rupanya Gus Dur sudah membaca hal
tersebut sejak awal 1990an, bahkan mungkin lebih awal dari itu. Konsep
menggunakan dana global untuk penguatan sektor usaha kecil, mikro dan
menengah (UMKM) adalah pondasi awal yang kemudian dikenal dengan sistem
ekonomi kerakyatan.
Muhammad Arif Ruba’i, aktivis GUSDURian Kabupaten Semarang mencoba
menganalisis hal tersebut dalam edisi ini. Pernyataan yang sama juga disajikan
oleh Muhammad Fauzan. Keduanya menyoroti prinsip Gus Dur tentang pola
ekonomi kerakyatan, yang tentunya berbeda dengan pengertian ekonomi
kerakyatan yang dipahami pada umumnya. (red)
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.
com. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.
Newsletter ini adalah produk nonprofit.
“
“
“Menyesali nasib takkan mengubah keadaan. Terus berkarya dan
bekerjalah, itu yang membuat kita berharga.”
KH. Abdurrahman Wahid
2. Menggerakkan Tradisi
Gus Dur
dan
Ekonomi
(Ke)rakyat(an)*
Oleh: Arif Ruba’i
S
ejak proklamasi kemerdekaan pada
tahun 1945, khususnya setelah zaman
revolusi (1945-1950) orientasi ekonomi
kita banyak ditekankan pada kepentingan para
pengusaha besar dan pengembangan sektor
modern.
Konsepsi ekonomi kerakyatan sangat
jauh dari pemikiran para pemimpin pada
waktu itu. Selain itu, ekonomi kerakyatan
sejak semula merupakan gagasan yang berasal
dari elit atau bangsawan. Sampai berakhirnya
kekuasaan Orde Baru gagasan ekonomi
kerakyatan hanyalah pinggiran dari sebuah
gerak roda ekonomi.
Pada paruh pertama tahun 1990-an,
Gus Dur mencoba mencari terobosan dalam
menumbuhkan perekonomian rakyat, dalam
hal ini perekonomian kaum nahdliyyin.
Bekerjasama dengan bank Summa, NU
mendirikan puluhan bank perkreditan di
beberapa daerah. Karena sebuah sebab
‘perselisihan politik’ program itu tidak bisa
berjalan sesuai yang direncanakan.
Gagasan-gagasan ekonomi kerakyatan
dan nasionalisme ekonomi, dalam bentuk
e-newsletter SELASAR /edisi 8/2013
2
terbatas, kembali diangkat oleh Rizal Ramli
dan sejumlah menteri di era pemerintahan Gus
Dur. Walaupun tetap melanjutkan kesepakatan
dengan IMF, ada prinsip dari tim ekonomi
untuk mempertahankan beberapa konsepsi
ekonomi kerakyatan dan nasionalisme
ekonomi.
Cara berpikir penggagas “ekonomi
kerakyatan” menurut Gus Dur, terjebak dalam
cara berpikir dualistik yang dikembangkan
sejarahwan-ekonomi Belanda yang pernah
meneliti di Indonesia, yaitu J.H. Boeke.
Menurutnya ada dualisme alias dua corak
perekonomian yang hidup bersamaan dalam
masyarakat Hindia-Belanda yaitu ekonomi
tradisional dan ekonomi formal (modern).
Ekonomi tradisional ini, menurut Boeke
bergerak di sektor non-formal, eksistensinya
tidak masuk dalam catatan resmi sistem
ekonomi legal negara. Dengan kata lain,
sektor ekonomi ini adalah sektor ekonomi
rakyat.
Gus Dur memilih langsung menyentuh
ekonomi-rakyat. Salah satu ‘pesan’
yang Gus Dur sampaikan dari ikhtiarnya
3. mengembangkan ekonomi rakyat adalah
bekerja sepenuhnya untuk kepentingan
ekonomi rakyat, tanpa menjadi anti pada
kekuatan (ekonomi) besar.
“Upaya pembangunan Indonesia jika
hanya bertumpu pada penegakkan demokrasi
hukum, tanpa memperhatikan sistem
ekonomi yang sekarang timpang, yang hanya
mementingkan konglomerat tidak akan ada
hasilnya,” ujarnya di tahun 2004.
Tahun 2005 Gus Dur mengusulkan agar
para pemimpin republik membalik pikirannya
dari menolak ke menerima moratorium
pembayaran utang luar negeri selama lima
tahun. Menurutnya, jeda bayar hutang selama
5 tahun tersebut dapat digunakan untuk dua
hal, (1) memberikan kredit bagi usaha kecil
menengah, dan (2) perubahan kebijakan gaji
pegawai.
Bagi Gus Dur, dan ini yang terpenting,
ada cara selain membangun dan
menggerakkan ekonomi negara selain
menunggu asing menanamkan modalnya di
Indonesia. Yaitu dengan membangun potensi
ekonomi rakyat.
Gus Dur, tidak pernah terdengar antiglobalisasi. Beliau selalu mencari peluang di
antara proses yang berlangsung. Proyeknya
untuk membangun poros Jakarta-New DelhiBeijing merupakan salah satu gerak terobosan
yang sempat mencemaskan AS (khususnya)
ketika itu.
Poros tersebut mempertemukan – dan
bila berjalan, menyatukan – tiga negara
berpenduduk terbesar di muka bumi. Beliau
adalah ‘aktivis’ penguat ekonomi rakyat yang
faham betul dengan kerja ekonomi pasar,
globalisasi, dan tanpa anti terhadap pasar dan
globalisasi. [.]
* Diedit Dari tulisan Arif Ruba’I, KONSEPTUALISASI EKONOMI KERAKYATAN: Membaca Sekelumit Penggalan
Cerita tentang dan dari GUS DUR yang direfleksikan oleh Sumardi Arabani, Naeni amanullah dan Muh Arif
Ruba’i
3
4. Menggerakkan Tradisi
Menuju
Indonesia Berdikari
dengan
Oleh: Moh. Fauzan*
K
emajuan perekonomian dan kemiskinan
yang semakin meningkat menjadi
pertanyaan mendasar tentang
perekonomian Indonesia. Keadaan dIlematis
ini perlu kita telaah lagi penyebabnya dalam
rangka mencari “smart solution” untuk
keadaan ini sehingga apa yang di idamidamkan bangsa ini sejak dulu yang tertuang
dalam sila ke-5 yaitu bukan hayalan semata.
Kesenjangan ekonomi dilatarbelakangi
oleh dua faktor yaitu aspek kultural dan
aspek struktural. Pada aspek kultural yaitu
berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat Indonesia baik lingkup lokal
maupun Indonesia secara umum. Sedangkan
pada aspek struktural yaitu berhubungan
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam berberbagai aspek kenegaraan.
Arus globalisasi yang begitu kuat
mencengkram Indonesia dengan “pasar
bebas”. Banyak barang impor masuk ke
Indonesia yang cenderung harganya lebih
murah dari pada harga barang dalam negeri
sehingga sulit untuk bersaing.
Kurangnya perhatian khusus pemerintah
terkait Usaha Kecil Menengah (UKM) bahkan
kebijakan-kebijakan antara perusahaan besar
dan perusahaan kecil bahkan UKM hampir
sama. Misalnya berdampak pada persaingan
pasar modern dan pasar tradisional.
Dalam buku “Islamku, Islam Anda
dan Islam Kita” yang ditulis oleh KH.
Abdurrahman Wahid (Gusdur) tertuang salah
satu solusi untuk mencapai “masyarakat
yang bertumpukan pada keadilan dan
kemakmuran” (al-maslahah al-ammah) dalam
aspek perekonomian yang disebut dengan
“Ekonomi Rakyat”.
Ekonomi rakyat bukanlah suatu konsep
yang kaku melainkan suatu orientasi dari
suatu perekonomian yang seharusnya menjadi
ruh dan spirit dari perekonomian Indonesia,
e-newsletter SELASAR /edisi 8/2013
4
UKM
yang mana perekonomian Indonesia
seharusnya memihak kepada rakyatrakyat kalangan menengah kebawah yang
merupakan mayoritas peduduk Indonesia yang
nota bene keadaan ekonominya tertinggal.
Spirit ekonomi rakyat tidak dapat
dipisahkan dengan spirit “BERDIKARI” (berdiri
pada kaki sendiri) yang lebih menekankan
pada perluasan pasar dalam negeri secara
besar-besaran. Untuk mewujudkan itu,
butuh tiga hal yang perlu dilakukan yaitu
peningkatan pendapatan masyarakat untuk
kemampuan daya beli yang besar, pengarahan
Industri untuk menghidupkan kembali
penyediaan barang pada pasar dalam negeri,
indepedensi ekonomi agar tidak tergantung
pada tataniaga Internasional.
Langkah kongkrit yang sering dikatakan
Gus Dur dalam beberapa tulisannya yaitu
pembentukan dan pengembangan Usaha
Kecil Menengah (UKM) secara optimal.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi
jumlah pengangguran dengan mendorong
masyarakat memiliki keterampilan dan
menyediakan mikro kredit yang mudah
diakses. UKM tidak hanya menguatkan
ekonomi rakyat, tetapi juga ekonomi negara
secara keseluruhan.Langkah-langkah secara
umum yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, Pemetaan kawasan sesuai potensi
Sumber Daya Alam ataupun Sumber Daya
Manusia dalam suatu daerah. Kedua,
Sosialisasi di media massa dan pelatihan
secara intensif, bahkan kalau perlu dibentuk
suatu tim khusus untuk menangani UKM serta
diiringi dengan pegawasan dan pendampingan
secara kontinu ataupun berkala. Ketiga,
pemberian modal oleh pemerintah dengan
kredit bunga rendah dan kemudahan dalam
birokrasinya.
*Pegiat GARUDA Malang
5. Forum
Aan Anshory, Aktivis GUSDURian Jombang
Jenderali Kerukunan Di Jawa Timur
J
awa Timur merupakan sarang dari
organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama dengan haluan Islam
moderat. Namun, kemoderatan bukan berarti
tidak menyisakan konflik, gesekan antar
kelompok yang ada acapkali menjadi pemicu
konflik sosial di daerah ini.
Adalah Aan Anshory, pria yang didaulat
untuk mengkoordinir Jaringan GUSDURian
di Jawa Timur oleh masyarakat GUSDURian,
adalah salah satu aktivis yang paling getol
untuk menjaga keragaman tanpa konflik di
Jawa Timur.
Warga Jalan Pakubuwono 50,
Mojongapit, Jombang ini melakukan dua hal
dalam menuju ambisinya mencapai Jawa
Timur yang beragam tanpa konflik. Jalur
pertama melalui pendidikan dan upgrade
pengetahuan, dan dipraktikkan di lapangan
sebagai jalur terakhir.
“Saya mengikuti banyak pelatihan,
baik itu program formal maupun informal.
Termasuk memperbanyak diskusi
untuk mengupgrade pengetahuan saya
sehingga saya dapat lebih optimal dalam
mempraktikkan di lapangan,” papar pria
yang juga aktivis Indonesia Cycle for Justice
Association ini.
Tercatat, pria berputra dua ini telah
ratusan kali mengikuti workshop, pelatihan
dan pendidikan, baik sebagai peserta maupun
pembicara. Bahkan untuk itu, ia harus
rela berpisah dengan anak dan istri untuk
sementara waktu. “Terakhir saya ikut summer
school di UGM dan harus meninggalkan anak
istri selama dua minggu lebih. Itu hal berat,
tetapi kami saling bisa mengerti,” tambahnya.
Alumnus Universitas Darul Ulum,
Jombang ini selain terlibat langsung dalam
penyelesaian konflik lapangan, juga aktif
melakukan penyuluhan terhadap masyarakat.
Penyuluhan dilakukan secara langsung
maupun melalui media tulis yang sering
dipublikasikannya. (red)
5
6. Pergulatan
UMKM
dan Tantangan
Pasar Global
P
erekonomian menjadi pokok
hampir semua bidang kehidupan.
Ketergantungan masyarakat terhadap
bidang perekonomian, terutama dalam skala
ekonomi mikro, berlaku sejak manusia ada,
untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Perkembangan pola dan sistem
berekonomi juga terus terjadi, dimulai
sistem berburu dan meramu, pola barter
hingga jual beli. Melihat dengan kacamata
ekonomi makro, sistem ekonomi juga
terus mengalami perubahan, liberalisme,
materialisme, kapitalisme sampai sistem
ekonomi kerakyatan.
Gus Dur selain dikenal sebagai
tokoh agama, kemanusiaan dan
bangsawan, ia juga memiliki konsep
ekonomi, yakni ekonomi kerakyatan.
Dalam pengejawantahan sistem ini, ia
lebih memperkuat pada basis ekonomi,
penguatan Usaha Kecil Mikro dan Menengah
(UMKM) yang dianggapnya sebagai fondasi
ekonomi negara.
Konsep tersebut apabila direalisasikan
dengan baik, jelas akan sangat membantu
negara dalam peningkatan kesejahteraan
dan pertarungan pasar bebas. China sudah
mempraktikkan hal tersebut, disana, UMKM
dikelola sedemikian rupa sampai hampir
semua produk bermula dari home industry.
Kita juga memiliki potensi yang sama,
populasi Indonesia yang besar juga akan
mampu mengarah seperti China. Namun,
siapakah yang akan menggerakkan?
Siapakah yang akan mengejawantahkan
konsepsi sistem ekonomi yang ditawarkan
oleh Gus Dur sejak awal 1990an tersebut?.
(red)
e-newsletter SELASAR /edisi 8/2013
6
PUJI SYUKUR
K
etika itu Gus Dur berceramah di malam
peringatan Isro’ Mi’roj. Seperti para
ustadz kebanyakan, ia memulai ceramah
dengan kalimat pembuka. “Marilah kita
memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah
SWT.”
Lalu Gus Dur bertanya kepada para
jamaah, “Ada yang tahu, kenapa kita perlu
memanjatkan puji dan syukur?”
Jama’ah diam. Kenapa?
Kata Gus Dur, “Karena Puji dan Syukur
tidak bisa memanjat sendiri.” (Anam)
A genda
Jogja | 25 Oktober | Diskusi Forum Jumat Terakhir:
Artist Talk bersama Ahmed Mater (seniman & senirupa
kontemporer Arab Saudi) | Perpustakaan Karta Pustaka|
Pukul 19.00 | Gratis & Umum | CP 082141232345
Jakarta | 1 November | Forum Jumat Pertama | Aula
Wahid Institute | Gratis & Umum | CP 082141232345
Bandung | 16 November | Bandung Lautan Damai |
teman masih dalam konfirmasi | Gratis & Umum | CP @
jakatarubsays
Temanggung | 6 November | Refleksi Hari Jadi Kab.
Temanggung Bersama Prof. Dr Mahfudz MD | Pendopo
Jenar Setda Temanggung (Ruang Kerja Bupati) | Gratis dan
umum | CP: David (088806515214)
7. Gus Dur Bertutur
Islam:
Apakah Bentuk
Perlawanannya?
(Part II)
Oleh: Abdurrahman Wahid
D
isini, KH. A. Mutamakin
memperkenalkan pendekatan yang
lain sama sekali. Ia mengutamakan
pandangan alternatif terhadap kelaliman
penguasa, namun tidak memberikan
perlawanan secara terbuka. Dengan
demikian, ia lebih mengutamakan sikap
memberikan contoh bagaimana seharusnya
seorang pemimpin wajib bertindak dan
menampilkan para ulama sebagai kekuatan
alternatif kultural di hadapan sang penguasa.
Pendekatan inilah yang di kemudian hari
dikenal dengan pendekatan kultural yang
memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan
sang penguasa.
Sikap ini dikecam dengan keras oleh
pendekatan politis yang menunjang penguasa
dan yang menentangnya. Pendekatan kultural
ini, tidak pernah jelas-jelas menentang
penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang
penguasa. Di masa itu, kaum syari’ah
memberikan dukungan kepada penguasa
sedangkan pihak tarekat bersikap menentang.
KH. A.Mutamakin mengembangkan sikap
kultural di atas, yakni pilihan alternatif yang
bersifat kultural.
Di masa Orde Baru, keadaan menjadi
terbalik: pihak tarekat justru menjadi
penunjang dan mendukung kekuasaan, seperti
terjadi pada pemimpin-pemimpin tarekat
pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at,
seperti yang tergabung dalam kalangan NU
dalam PPP (Partai PersatuanPembangunan)
masa itu menampilkan perlawanan kultural
terhadap kekuasaan.
Sekarang, pertanyaan pokok
adalah, haruskah perlawanan kultural itu
dikembangkan terus di masa depan? Atau
justru dimatikan? Dan dengan demikian
perjuangan seterusnya menjadi perlawanan
politis saja. Jawabannya menurut penulis
adalah sesuatu yang sangat komplek: bagi
organisasi non-politis, seperti NU, pendekatan
yang harus diambil adalah pendekatan
kultural yang lebih didasarkan pada alternatifalternatif yang mengutamakan kebersihan
perilaku di bidang pemerintahan.
Sedangkan bagi organisasi-organisasi
politik, seperti PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa), tekanan harus diletakkan pada
penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi
ketiga bidang eksekutif-legislatif-yudikatif.
Hanya dengan kombinasi kedua
pendekatan kultural dan politis itu dapat
ditegakkan proses demokratisasi di negeri
kita. Sebagaimana diketahui, demokratisasi
hanya dapat tegak kalau dapat diupayakan
berlakunya kedaulatan hukum dan adanya
perlakuan yang sama bagi semua warga
negara di muka Undang-Undang.
Bukankah dengan demikian, menjadi
relevan bagi kita di saat ini, mengembangkan
pendekatan kultural yang dahulu dirintis
KH. A. Mutamakin?
7
8. Kongkow
JOGJA
Gus Dur
Mengajak Kita
Untuk Berdaulat!
G
usdurian Jogja bersama SekNas Gusdurian
mengadakan agenda rutinan “Diskusi
Jum’at Terakhir Forum Gusdurian Jogja”
(Jum’at 27/9). Temanya kali ini “Gus Dur
dan Kedaulatan Sumber Daya Alam” yang
bertempat di Jl. Sunan Giri 33 B, Sleman. Acara
berlangsung dinamis dengan peserta 30-an
orang dari berbagai latar belakang.
Pemantik utamanya ialah Bosman
Batubara, aktivis anti eksplorasi tambang yang
sudah menekuni dunia tersebut sudah sejak
lama. Ia juga tercatat sebagai salah seorang
inisiator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan
Sumber Daya Alam (FN-KSDA).
Menurutnya,Negara sudah tidak lagi
berfungsi sebagai regulator dalam konvesional
triad “negara-korporasi-masyarakat”, tetapi
sudah berubah menjadi kacung dalam formasi
yang sedang menjadi “korporasi+negaramasyarakat”. Artinya masyarakat sendirian
mengahadapi duet korporasi dan negara
tersebut. (qiya)
JOMBANG
Nobar
Les Hommes Libres
F
ilm selain kental dengan nuansa
entertainment, juga sarat dengan amanat
yang disampaikan melalui ceritera yang
digambarkan. Amanat tersebut akan lebih
dapat dipahami dan menjadi cerminan apabila
dikaji secara mendalam.
Semangat itulah yang membuat
Jaringan GUSDURian Jombang menggelar
nonton bareng film Les Hommes Libres.
Perjalanan Islam di Paris Prancis kaitannya
e-newsletter SELASAR /edisi 8/2013
8
dengan hubungan lintas agama mencoba
dipetik amanatnya. “Kami mendapati banyak
hikmah,” terang Khusaini Arifin, aktivis
GUSDURian Jombang.
Koordinator GUSDURian Jombang,
Aan Anshori menambahkan, kegiatan nobar
merupakan kegiatan bagian dari agenda rutin,
secara berkala film-film yang sarat makna
ditonton bersama dan dibedah intisari pesan
yang disampaikan. (enny)