SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  8
Delik
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam
keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam
rumah tangga, mutlak memerlukan perlindungan hukum. Saat ini RUU mengenai
kekerasan dalam rumah tangga sedang dalam tahap penggodokan. Lahirnya RUU ini
berawal dari inisiatif LBH Advokasi untuk Perempuan Indonesia dan Keadilan
(APIK) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya yang
tergabung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Jangka PKTP) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah
disiapkan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog publik.
Persiapan ini memang termasuk lama mengingat isu KDRT masih kurang dikenal
oleh masyarakat dan diragukan oleh kalangan tertentu.
Menurut LBH APIK tujuan dari RUU ini adalah untuk menghilangkan atau
meminimalis tindak pidana KDRT. Dari fakta yang terjadi di lapangan, pihak yang
sering menjadi korban dalam persoalan KDRT berjenis kelamin perempuan dan
anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami peningkatan dari hari ke hari. Namun
ironisnya penegakan hukum untuk pencapaian keadilan bagi si korban juga
menunjukan angka yang berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut.
Selain itu RUU anti KDRT juga bertujuan menjaga keutuhan rumah tangga,
dimana keutuhan rumah tangga dapat terjadi jika setiap anggota keluarga menyadari
hak dan kewajibannya masing-masing/tidak ada satu anggota keluarga yang bisa
melakukan kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksudkan disini artinya
posisi yang sama antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara istri
dengan suami dan anak dengan orang tua dan tidak ada satu pihak yang merasa
tersubordinat dengan pihak yang lain.
Adalah hal yang tidak benar jika keberadaan RUU ini diartikan untuk
mencabik-cabik atau meruntuhkan keluarga sehingga bercerai-berai. LBH APIK
www.pemantauperadilan.com 1
Delik
menganggap bahwa isu RUU anti KDRT merupakan satu hal/kondisi yang perlu
dicermati dan dikritisi, karena salah satu fungsi UU adalah menjadi satu pagar
anggota masyarakat agar tidak semena-mena terhadap orang lain. Tidak dapat
dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki RUU anti KDRT, mungkin akan semakin
banyak orang terluka atau bahkan meninggal karena dianiaya dalam keluarganya
dan akhirnya melahirkan generasi-generasi bangsa yang tidak sehat. RUU anti
KDRT mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga dan bangsa yang sehat.
Keberadaan RUU ini merupakan bentuk antisipasi yang sebenarnya agar masyarakat
mengetahui bahwa negara tidak menginginkan, tidak menyetujui dan menghukum
orang yang melakukan kekerasan.
Konsep KDRT mungkin belum dikenal oleh masyarakat secara luas.
Pengertian KDRT menurut RUU anti KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan
secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual maupun ekonomi yang pada intinya
mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan
dampak kepada korban, seperti misalnya mengalami kerugian secara fisik atau bisa
juga memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami
penderitaan secara psikis.
KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. Dengan pengertian
domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam satu hubungan
suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu. Jadi bisa saja
tidak hanya hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah atau bahkan seorang
pekerja rumah tangga menjadi pihak yang perlu dilindungi. Selama ini seringkali
kita mendengar atau membaca di koran, tv atau radio bahwa pembantu sering
menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
tersebut seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun pada prakteknya hal itu menjadi
tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakuan-
perlakuan kekerasan. Oleh karena itu RUU anti KDRT atau anti kekerasan domestik
www.pemantauperadilan.com 2
Delik
dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami
istri, tapi juga pihak lain.
Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan
puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukan fakta yang valid. Persoalan
KDRT banyak terjadi di keluarga, namun umumnya keluarga korban tidak
mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan keluarga mereka layak
untuk dibawa ke pengadilan, karena selama ini masyarakat menganggap bahwa
persoalan-persoalan KDRT adalah persoalan yang sifatnya sangat pribadi dan hanya
diselesaikan dalam lingkup rumah tangga saja.
Salah satu konsekuensi meningkatnya jumlah korban KDRT (khususnya dari
kelompok korban yang berstatus istri) sebenarnya sangat berakibat terhadap
persoalan rumah tangga mereka sendiri. Jika kasus-kasus KDRT pada akhirnya
menimbulkan dampak traumatic pada anggota keluarga yang lain dan meningkatkan
angka kriminalitas maka hal itu akan semakin menguatkan perlunya intervensi
negara melalui produk UU agar kelompok korban bisa mendapatkan keadilan dan
pelaku ataupun calon pelaku tidak semakin merajalela.
Selama ini KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk delik aduan.
Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan)
dan Pasal 356 KUHP (pemberatan) sama sekali tidak mensyaratkan adanya satu delik
aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat penegak hukum) selalu
menganggap jika suatu kasus berkaitan dengan keluarga maka selalu dinyatakan
sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah sebuah kejahatan murni.
Kalaupun misalnya di belakang hari nanti korban melakukan pencabutan aduan,
seharusnya polisi bersikap tegas dengan menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu
memang sebagai suatu bentuk kejahatan dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan.
Hal ini memang menjadi kendala yang sangat umum sekali dalam persoalan
KDRT, karena kelompok korban memang tidak bisa menyatakan secara berani
bahwa ini adalah sebuah kejahatan yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum.
www.pemantauperadilan.com 3
Delik
Ketidakberanian korban sangat berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di
Indonesia, yaitu budaya patriarki yang sangat kental yang seringkali melihat bahwa
masalah KDRT bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan
untuk menyelesaikan persoalan KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu
disampaikan oleh aparat penegak hukum sendiri. Padahal aparat penegak hukum
sebetulnya sangat mengetahui bahwa persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus
direspon dengan hukum.
KDRT memang tidak bisa dilepaskan secara murni sebagai satu bentuk
kejahatan tanpa harus disandingkan dengan satu bentuk hubungan keluarga. Hal itu
merupakan hal yang sangat dilematis dan hal itu juga disadari oleh korban,
khususnya oleh kelompok istri yang misalnya datang ke LBH APIK. Para istri yang
menjadi korban KDRT yang datang ke LBH APIK umumnya memang tidak bisa
kemudian secara gagah berani mengatakan bahwa dirinya akan melaporkan
suaminya. Hal itu membutuhkan satu proses konseling yang cukup lama. LBH APIK
pun tidak bisa memaksakan hal itu. Artinya LBH APIK memang akan
menyampaikan beberapa pilihan. Sebagai contoh, jika dia mau melakukan pelaporan
maka LBH APIK akan menyampaikan konsekuensi dari setiap tindakan tersebut.
Terkadang LBH APIK juga menyebutkan “jalur aman” menempuh jalur hukum
perdata yaitu dengan mengajukan gugatan. Umumnya para korban tersebut
memang memilih melakukan gugatan karena dianggapnya sebagai jalur yang tidak
berkonflik dibandingkan dengan jalur pidana yang dampaknya lebih jauh
(pelaku/suami korban kemungkinan akan dipidana penjara).
Secara umum RUU KDRT banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Sebagai contoh dengan adanya RPK di kepolisian secara tidak langsung menjadikan
polwan-polwan yang bertugas di RPK sangat mengetahui bagaimana kendala dan
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti kasus KDRT. Dari
pihak kejaksaan maupun kehakiman persoalannya juga tidak jauh berbeda, yaitu
lebih kepada segi hukumnya. Terlebih lagi hakim, karena mempunyai kewenangan
www.pemantauperadilan.com 4
Delik
yang sangat luas untuk memutuskan hukuman apa yang tepat untuk pelaku. Hal
yang menjadi kendala disini adalah budaya patrilineal seperti yang sudah dijelaskan
di atas, sehingga meskipun hukumnya sudah ada dan secara tegas melarang hal itu,
namun pada kenyataannya ketika sampai di pengadilan hukuman yang dijatuhkan
oleh hakim hanya hukuman percobaan. Artinya secara tidak langsung tidak ada
upaya dari aparat penegak hukum untuk menegakan hukum dengan maksimal,
meskipun diakui bahwa dalam RUU anti KDRT masalah sanksi atau penghukuman
tidak dilihat sebagai suatu balasan terhadap pelaku melainkan juga harus melihat
pada manfaat yang diberikan kepada korban, karena dalam RUU anti KDRT korban
tidak hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pertimbangan dalam
penghukuman.
RUU anti KDRT membagi ruang lingkup KDRT menjadi 3 bagian hubungan,
yaitu pertama, hubungan garis keturunan darah (misalnya anak); kedua, hubungan
suami istri; ketiga, hubungan orang yang bekerja di dalam lingkup dalam keluarga
tersebut/tidak punya hubungan sama sekali. Dari hasil penelitian LBH APIK
ditemukan bahwa KDRT dapat terjadi di segala tingkatan ekonomi. Kelompok yang
rentan menjadi korban KDRT adalah istri, anak dan pembantu rumah tangga.
Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa siapa saja bisa sangat rentan
mendapatkan kekerasan asalkan ia berjenis kelamin perempuan. Namun tidak
menutup kemungkinan suami mendapatkan perlakuan kekerasan dari istrinya.
KDRT juga mungkin saja dilakukan oleh ibu kandung terhadap anak kandungnya
sendiri. Hal itu juga telah diantisipasi dalam RUU KDRT, karena seperti telah
dijelaskan di atas, ruang lingkup KDRT adalah kekerasan domestik. Artinya
hubungan perkawinan yang tidak hanya dilihat dari segi hukum negara, tapi juga
dari hukum adat atau agama (termasuk nikah dibawah tangan dan hidup bersama).
Oleh karena itu yang dilindungi tidak hanya istri, tapi juga anak, pasangan hidup
dan pembantu rumah tangga
Dalam RUU anti KDRT kekerasan dibagi 4 macam, yaitu :
www.pemantauperadilan.com 5
Delik
a. Kekerasan fisik;
memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi
dengan mudah dari hasil visum)
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan ekonomi (dalam KUHP disebut penelantaran orang-orang yang wajib
ditolong);
d. Kekerasan seksual (dalam KUHP disebut delik kesusilaan, namun di KUHP tidak
dikenal kekerasan seksual terhadap istri);
RUU anti KDRT mengenal kekerasan seksual/marital rape terhadap istri. Hal
ini akan terlihat janggal karena kerangka yang dipakai adalah perkawinan sebagai
satu bentuk yang melegitimasi apapun bentuk interaksi antara suami istri. Sebagai
contoh “Apa benar dalam suatu hubungan suami istri itu ada perkosaan, karena
kalau yang namanya istri itu kan hukumnya wajib melayani suami, jadi tidak ada
yang namanya kekerasan, paksaan, karena memang harus”. Hal itulah yang
sebenarnya menarik untuk kemudian dilihat kembali karena ternyata menimbulkan
perbedaan-perbedaan.
Sedangkan untuk pembuktian, pembuktian dalam RUU anti KDRT tidak
hanya (mau) melihat pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Piadana (KUHAP). Oleh sebab itu RUU anti KDRT tidak hanya mengatur hukum
materilnya saja, tapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal hal
tertentu yang tidak diatur dalam RUU anti KDRT maka akan menggunakan
KUHAP). RUU anti KDRT memungkinkan satu alat bukti (keterangan sanksi atau
alat bukti lainnya) sebagai pembuktian yang dirasa cukup. Namun hal ini perlu
didiskusikan lebih lanjut karena masih mengundang perdebatan, terutama dari pihak
aparat penegak hukum. Untuk itu perlu segera dicari jalan keluar terhadap masalah
pembuktian ini di tengah keterbatasan alat bukti dengan tidak menghilangkan
kaedah-kaedah hukum yang ada.
www.pemantauperadilan.com 6
Delik
Hal lainnya yang terdapat dalam RUU anti KDRT adalah adanya saksi
pendamping dan perintah perlindungan. Perintah perlindungan disini artinya
seorang korban bisa mendapatkan satu bentuk perlindungan sampai kemudian
pokok perkaranya atau laporannya ditindaklanjuti. Dalam perintah perlindungan
terdapat larangan-larangan yang harus ditaati oleh pelaku, misalnya larangan untuk
mendekati korban, larangan untuk menghubungi korban. Larangan-larangan itu
merupakan hal yang baru dalam khazanah hukum Indonesia.
Keberadaan RUU anti KDRT (yang nantinya diharapkan akan disahkan
menjadi sebuah UU) akan menjadi tidak efektif jika tidak didukung oleh aparat
penegak hukum, karena penegakan sebuah UU sangat tergantung dari perilaku
aparat penegak hukum. Harapannya, setelah RUU anti KDRT disahkan menjadi UU,
harus ada sosialisasi baik kepada masyarakat maupun kepada aparat penegak hukum.
Dan sosialisasi ini juga telah dimulai sejak digulirkannya isu KDRT oleh LBH APIK
dan Jangka PKTP. Sosialisasi yang telah dilaksanakan oleh LBH APIK dan Jangka
PKTP dimulai sejak tahun 1999. Sosialisasi dilakukan melalui seminar atau semiloka
(seminar-lokakarya) terbuka (tidak terbatas kepada jenis kelamin perempuan saja).
Dari seminar dan semiloka yang dihadiri oleh berbagai perwakilan kelompok yang
berdekatan dengan isu KDRT, misalnya kelompok agamawan (kelompok laki-laki
biasanya masuk dalam kelompok agamawan, karena biasanya pembenaran kelompok
laki-laki lahir dari dalil-dalil agama), kelompok aparat penegak hukum dan
kelompok korban akan lahir masukan-masukan terhadap RUU anti KDRT.
Sejak awal sosialisasi dan hingga saat ini kontroversi terhadap RUU anti
KDRT tetap ada, namun LBH APIK optimis bahwa kekuatan anti KDRT akan
semakin banyak dan RUU anti KDRT dapat menjadi sebuah UU. LBH APIK juga
menyadari bahwa akan ada kelompok-kelompok yang tidak setuju terhadap RUU
anti KDRT ini. Tapi hal itu tidak menyurutkan langkah LBH APIK, karena LBH
APIK bergerak atas kepentingan kelompok mayoritas yang memang membutuhkan.
www.pemantauperadilan.com 7
Delik
Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, misalnya kasus perkosaan, maka
penangannya harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat perkosaan merupakan
kasus yang sensitif. Sebelum melaporkan kasus perkosaan yang terjadi dalam rumah
tangga, maka terlebih dahulu harus ada pembicaraan dengan korban yang
bersangkutan. Artinya harus ada proses konseling lebih dulu. Apalagi jika perkosaan
itu telah berlangsung selama bertahun-tahun yang tentunya akan berdampak secara
psikologis kepada korban. Setelah perkosaan tersebut dilaporkan ke polisi tentu akan
ada yang namanya beban pembuktian. Polisi akan mengajukan surat untuk visum
agar korban diperiksa di Rumah Sakit untuk mengetahui apakah dengan perlakuan
yang sudah dialami korban telah mengakibatkan kerusakan pada alat vital vagina
korban. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual, yang dilihat tidak hanya kerusakan
dari alat vital korban saja, tapi juga dampak traumatis yang ditimbulkan terhadap
korban.
Selain itu perlu juga dipikirkan keselamatan korban (terutama jika korban
tinggal satu rumah dengan pelaku). Unutk itu LBH APIK menyediakan rumah aman
atau shelter kepada korban KDRT sehingga memungkinkan si korban atau saksi
untuk sementara waktu tinggal di situ sambil melakukan konseling terus menerus.
Pendirian rumah aman atau shelter ini didasari pertimbangan bahwa ketika kasus
tersebut dilaporkan dan kemudian ditindaklanjuti sampai diputus oleh pengadilan
bagi korban umumnya akan tetap meninggalkan persoalan-persoalan yang
menyangkut psikis yang harus diselesaikan. Selain rumah aman atau shelter yang
didirikan oleh LBH APIK, sejak tahun 2000 yang lalu juga kepolisian RI juga telah
membuka unit untuk kelompok perempuan dan anak korban kekerasan berupa
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang sudah terdapat di setiap tingkatan kepolisian
di 5 wilayah DKI Jakarta.
Delik, 21 April 2003
Narasumber:
Vony Reynata (Direktur LBH APIK Jakarta)
www.pemantauperadilan.com 8

Contenu connexe

Tendances

Ham kekerasan terhadap perempuan
Ham kekerasan terhadap perempuanHam kekerasan terhadap perempuan
Ham kekerasan terhadap perempuanRizki Gumilar
 
kecelaruan seksual
 kecelaruan seksual kecelaruan seksual
kecelaruan seksualcute anna
 
Presentation2 (elm)
Presentation2 (elm)Presentation2 (elm)
Presentation2 (elm)claomitz
 
review jurnal keganasan rumah tangga
review jurnal keganasan rumah tanggareview jurnal keganasan rumah tangga
review jurnal keganasan rumah tangganur fara
 
kesehsatan reproduksi
kesehsatan reproduksi kesehsatan reproduksi
kesehsatan reproduksi calvin riko
 
Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly
Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dollyKonflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly
Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dollydodysopril
 
Power point 3b ict umum
Power point 3b ict umumPower point 3b ict umum
Power point 3b ict umumnoraini267
 
seks bebas dan pergaulan bebas
seks bebas dan pergaulan bebasseks bebas dan pergaulan bebas
seks bebas dan pergaulan bebas-
 
Penderaan kanak kanak
Penderaan kanak kanakPenderaan kanak kanak
Penderaan kanak kanakArra Asri
 
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-genderOperator Warnet Vast Raha
 
Diskusi UI kesetaraan gender
Diskusi UI kesetaraan genderDiskusi UI kesetaraan gender
Diskusi UI kesetaraan genderMifta Muzaki
 
MAKALAH GENDER
MAKALAH GENDERMAKALAH GENDER
MAKALAH GENDERAna Sengga
 

Tendances (20)

Pencegahan kdrt
Pencegahan kdrtPencegahan kdrt
Pencegahan kdrt
 
Ham kekerasan terhadap perempuan
Ham kekerasan terhadap perempuanHam kekerasan terhadap perempuan
Ham kekerasan terhadap perempuan
 
Kdrt1
Kdrt1Kdrt1
Kdrt1
 
Simulasi kdrt
Simulasi kdrtSimulasi kdrt
Simulasi kdrt
 
kecelaruan seksual
 kecelaruan seksual kecelaruan seksual
kecelaruan seksual
 
Presentation2 (elm)
Presentation2 (elm)Presentation2 (elm)
Presentation2 (elm)
 
review jurnal keganasan rumah tangga
review jurnal keganasan rumah tanggareview jurnal keganasan rumah tangga
review jurnal keganasan rumah tangga
 
kesehsatan reproduksi
kesehsatan reproduksi kesehsatan reproduksi
kesehsatan reproduksi
 
Akta Keganasan Rumahtangga 1994
Akta Keganasan Rumahtangga 1994Akta Keganasan Rumahtangga 1994
Akta Keganasan Rumahtangga 1994
 
Kekerasan Dalam Pacaran
Kekerasan Dalam PacaranKekerasan Dalam Pacaran
Kekerasan Dalam Pacaran
 
Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly
Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dollyKonflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly
Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly
 
Orientasi seksual1
Orientasi seksual1Orientasi seksual1
Orientasi seksual1
 
Power point 3b ict umum
Power point 3b ict umumPower point 3b ict umum
Power point 3b ict umum
 
Penderaan
PenderaanPenderaan
Penderaan
 
Seks bebas
Seks bebasSeks bebas
Seks bebas
 
seks bebas dan pergaulan bebas
seks bebas dan pergaulan bebasseks bebas dan pergaulan bebas
seks bebas dan pergaulan bebas
 
Penderaan kanak kanak
Penderaan kanak kanakPenderaan kanak kanak
Penderaan kanak kanak
 
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
 
Diskusi UI kesetaraan gender
Diskusi UI kesetaraan genderDiskusi UI kesetaraan gender
Diskusi UI kesetaraan gender
 
MAKALAH GENDER
MAKALAH GENDERMAKALAH GENDER
MAKALAH GENDER
 

Similaire à 1 kekerasan-dalam-rumah-tangga

Bentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negaraBentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negaraAfni Zul
 
Latar Belakang Penghapusan Kekerasan Seksual
Latar Belakang Penghapusan Kekerasan SeksualLatar Belakang Penghapusan Kekerasan Seksual
Latar Belakang Penghapusan Kekerasan SeksualLestari Moerdijat
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016ekho109
 
LGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptx
LGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptxLGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptx
LGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptxantoniustedy
 
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdfBUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdfbungarhamasta
 
Advokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanAdvokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanGiosiaJeff
 
Urgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi
Urgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsiUrgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi
Urgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsiArif Sharon Simanjuntak
 
125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02
125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02
125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02Operator Warnet Vast Raha
 
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorMakalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorIka Nurrohmah
 
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...AndriKoswara1
 
Bangsa, Negara, dan Warga Negara
Bangsa, Negara, dan Warga NegaraBangsa, Negara, dan Warga Negara
Bangsa, Negara, dan Warga NegaraTissaMaharaniPutri
 
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsikorelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsiImond Imondt
 

Similaire à 1 kekerasan-dalam-rumah-tangga (20)

Bentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negaraBentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negara
 
Latar Belakang Penghapusan Kekerasan Seksual
Latar Belakang Penghapusan Kekerasan SeksualLatar Belakang Penghapusan Kekerasan Seksual
Latar Belakang Penghapusan Kekerasan Seksual
 
fdfgh
fdfghfdfgh
fdfgh
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
 
Lgbt
Lgbt Lgbt
Lgbt
 
Viktimologi
ViktimologiViktimologi
Viktimologi
 
LGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptx
LGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptxLGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptx
LGBT DAN PERSAMAAN HAK (19002).pptx
 
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdfBUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
 
PPT_KEL.4.pdf
PPT_KEL.4.pdfPPT_KEL.4.pdf
PPT_KEL.4.pdf
 
Advokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanAdvokasi Kebijakan
Advokasi Kebijakan
 
Urgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi
Urgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsiUrgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi
Urgensi bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi
 
125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02
125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02
125150201111069ikanurrohmahmakalahpkn 141011042328-conversion-gate02
 
RUBRIK FIGUR MAJALAH HIDAYATULLAH
RUBRIK FIGUR MAJALAH HIDAYATULLAHRUBRIK FIGUR MAJALAH HIDAYATULLAH
RUBRIK FIGUR MAJALAH HIDAYATULLAH
 
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorMakalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
 
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
 
Ppm iswi-kdrt
Ppm iswi-kdrtPpm iswi-kdrt
Ppm iswi-kdrt
 
ppt.pptx
ppt.pptxppt.pptx
ppt.pptx
 
Bangsa, Negara, dan Warga Negara
Bangsa, Negara, dan Warga NegaraBangsa, Negara, dan Warga Negara
Bangsa, Negara, dan Warga Negara
 
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSILANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
 
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsikorelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
 

1 kekerasan-dalam-rumah-tangga

  • 1. Delik KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, mutlak memerlukan perlindungan hukum. Saat ini RUU mengenai kekerasan dalam rumah tangga sedang dalam tahap penggodokan. Lahirnya RUU ini berawal dari inisiatif LBH Advokasi untuk Perempuan Indonesia dan Keadilan (APIK) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya yang tergabung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah disiapkan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog publik. Persiapan ini memang termasuk lama mengingat isu KDRT masih kurang dikenal oleh masyarakat dan diragukan oleh kalangan tertentu. Menurut LBH APIK tujuan dari RUU ini adalah untuk menghilangkan atau meminimalis tindak pidana KDRT. Dari fakta yang terjadi di lapangan, pihak yang sering menjadi korban dalam persoalan KDRT berjenis kelamin perempuan dan anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami peningkatan dari hari ke hari. Namun ironisnya penegakan hukum untuk pencapaian keadilan bagi si korban juga menunjukan angka yang berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut. Selain itu RUU anti KDRT juga bertujuan menjaga keutuhan rumah tangga, dimana keutuhan rumah tangga dapat terjadi jika setiap anggota keluarga menyadari hak dan kewajibannya masing-masing/tidak ada satu anggota keluarga yang bisa melakukan kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksudkan disini artinya posisi yang sama antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara istri dengan suami dan anak dengan orang tua dan tidak ada satu pihak yang merasa tersubordinat dengan pihak yang lain. Adalah hal yang tidak benar jika keberadaan RUU ini diartikan untuk mencabik-cabik atau meruntuhkan keluarga sehingga bercerai-berai. LBH APIK www.pemantauperadilan.com 1
  • 2. Delik menganggap bahwa isu RUU anti KDRT merupakan satu hal/kondisi yang perlu dicermati dan dikritisi, karena salah satu fungsi UU adalah menjadi satu pagar anggota masyarakat agar tidak semena-mena terhadap orang lain. Tidak dapat dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki RUU anti KDRT, mungkin akan semakin banyak orang terluka atau bahkan meninggal karena dianiaya dalam keluarganya dan akhirnya melahirkan generasi-generasi bangsa yang tidak sehat. RUU anti KDRT mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga dan bangsa yang sehat. Keberadaan RUU ini merupakan bentuk antisipasi yang sebenarnya agar masyarakat mengetahui bahwa negara tidak menginginkan, tidak menyetujui dan menghukum orang yang melakukan kekerasan. Konsep KDRT mungkin belum dikenal oleh masyarakat secara luas. Pengertian KDRT menurut RUU anti KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak kepada korban, seperti misalnya mengalami kerugian secara fisik atau bisa juga memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis. KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. Dengan pengertian domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam satu hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu. Jadi bisa saja tidak hanya hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah atau bahkan seorang pekerja rumah tangga menjadi pihak yang perlu dilindungi. Selama ini seringkali kita mendengar atau membaca di koran, tv atau radio bahwa pembantu sering menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga tersebut seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun pada prakteknya hal itu menjadi tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakuan- perlakuan kekerasan. Oleh karena itu RUU anti KDRT atau anti kekerasan domestik www.pemantauperadilan.com 2
  • 3. Delik dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami istri, tapi juga pihak lain. Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukan fakta yang valid. Persoalan KDRT banyak terjadi di keluarga, namun umumnya keluarga korban tidak mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan keluarga mereka layak untuk dibawa ke pengadilan, karena selama ini masyarakat menganggap bahwa persoalan-persoalan KDRT adalah persoalan yang sifatnya sangat pribadi dan hanya diselesaikan dalam lingkup rumah tangga saja. Salah satu konsekuensi meningkatnya jumlah korban KDRT (khususnya dari kelompok korban yang berstatus istri) sebenarnya sangat berakibat terhadap persoalan rumah tangga mereka sendiri. Jika kasus-kasus KDRT pada akhirnya menimbulkan dampak traumatic pada anggota keluarga yang lain dan meningkatkan angka kriminalitas maka hal itu akan semakin menguatkan perlunya intervensi negara melalui produk UU agar kelompok korban bisa mendapatkan keadilan dan pelaku ataupun calon pelaku tidak semakin merajalela. Selama ini KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk delik aduan. Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan) dan Pasal 356 KUHP (pemberatan) sama sekali tidak mensyaratkan adanya satu delik aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat penegak hukum) selalu menganggap jika suatu kasus berkaitan dengan keluarga maka selalu dinyatakan sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah sebuah kejahatan murni. Kalaupun misalnya di belakang hari nanti korban melakukan pencabutan aduan, seharusnya polisi bersikap tegas dengan menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu memang sebagai suatu bentuk kejahatan dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan. Hal ini memang menjadi kendala yang sangat umum sekali dalam persoalan KDRT, karena kelompok korban memang tidak bisa menyatakan secara berani bahwa ini adalah sebuah kejahatan yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. www.pemantauperadilan.com 3
  • 4. Delik Ketidakberanian korban sangat berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di Indonesia, yaitu budaya patriarki yang sangat kental yang seringkali melihat bahwa masalah KDRT bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan untuk menyelesaikan persoalan KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu disampaikan oleh aparat penegak hukum sendiri. Padahal aparat penegak hukum sebetulnya sangat mengetahui bahwa persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus direspon dengan hukum. KDRT memang tidak bisa dilepaskan secara murni sebagai satu bentuk kejahatan tanpa harus disandingkan dengan satu bentuk hubungan keluarga. Hal itu merupakan hal yang sangat dilematis dan hal itu juga disadari oleh korban, khususnya oleh kelompok istri yang misalnya datang ke LBH APIK. Para istri yang menjadi korban KDRT yang datang ke LBH APIK umumnya memang tidak bisa kemudian secara gagah berani mengatakan bahwa dirinya akan melaporkan suaminya. Hal itu membutuhkan satu proses konseling yang cukup lama. LBH APIK pun tidak bisa memaksakan hal itu. Artinya LBH APIK memang akan menyampaikan beberapa pilihan. Sebagai contoh, jika dia mau melakukan pelaporan maka LBH APIK akan menyampaikan konsekuensi dari setiap tindakan tersebut. Terkadang LBH APIK juga menyebutkan “jalur aman” menempuh jalur hukum perdata yaitu dengan mengajukan gugatan. Umumnya para korban tersebut memang memilih melakukan gugatan karena dianggapnya sebagai jalur yang tidak berkonflik dibandingkan dengan jalur pidana yang dampaknya lebih jauh (pelaku/suami korban kemungkinan akan dipidana penjara). Secara umum RUU KDRT banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Sebagai contoh dengan adanya RPK di kepolisian secara tidak langsung menjadikan polwan-polwan yang bertugas di RPK sangat mengetahui bagaimana kendala dan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti kasus KDRT. Dari pihak kejaksaan maupun kehakiman persoalannya juga tidak jauh berbeda, yaitu lebih kepada segi hukumnya. Terlebih lagi hakim, karena mempunyai kewenangan www.pemantauperadilan.com 4
  • 5. Delik yang sangat luas untuk memutuskan hukuman apa yang tepat untuk pelaku. Hal yang menjadi kendala disini adalah budaya patrilineal seperti yang sudah dijelaskan di atas, sehingga meskipun hukumnya sudah ada dan secara tegas melarang hal itu, namun pada kenyataannya ketika sampai di pengadilan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim hanya hukuman percobaan. Artinya secara tidak langsung tidak ada upaya dari aparat penegak hukum untuk menegakan hukum dengan maksimal, meskipun diakui bahwa dalam RUU anti KDRT masalah sanksi atau penghukuman tidak dilihat sebagai suatu balasan terhadap pelaku melainkan juga harus melihat pada manfaat yang diberikan kepada korban, karena dalam RUU anti KDRT korban tidak hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pertimbangan dalam penghukuman. RUU anti KDRT membagi ruang lingkup KDRT menjadi 3 bagian hubungan, yaitu pertama, hubungan garis keturunan darah (misalnya anak); kedua, hubungan suami istri; ketiga, hubungan orang yang bekerja di dalam lingkup dalam keluarga tersebut/tidak punya hubungan sama sekali. Dari hasil penelitian LBH APIK ditemukan bahwa KDRT dapat terjadi di segala tingkatan ekonomi. Kelompok yang rentan menjadi korban KDRT adalah istri, anak dan pembantu rumah tangga. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa siapa saja bisa sangat rentan mendapatkan kekerasan asalkan ia berjenis kelamin perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan suami mendapatkan perlakuan kekerasan dari istrinya. KDRT juga mungkin saja dilakukan oleh ibu kandung terhadap anak kandungnya sendiri. Hal itu juga telah diantisipasi dalam RUU KDRT, karena seperti telah dijelaskan di atas, ruang lingkup KDRT adalah kekerasan domestik. Artinya hubungan perkawinan yang tidak hanya dilihat dari segi hukum negara, tapi juga dari hukum adat atau agama (termasuk nikah dibawah tangan dan hidup bersama). Oleh karena itu yang dilindungi tidak hanya istri, tapi juga anak, pasangan hidup dan pembantu rumah tangga Dalam RUU anti KDRT kekerasan dibagi 4 macam, yaitu : www.pemantauperadilan.com 5
  • 6. Delik a. Kekerasan fisik; memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi dengan mudah dari hasil visum) b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan ekonomi (dalam KUHP disebut penelantaran orang-orang yang wajib ditolong); d. Kekerasan seksual (dalam KUHP disebut delik kesusilaan, namun di KUHP tidak dikenal kekerasan seksual terhadap istri); RUU anti KDRT mengenal kekerasan seksual/marital rape terhadap istri. Hal ini akan terlihat janggal karena kerangka yang dipakai adalah perkawinan sebagai satu bentuk yang melegitimasi apapun bentuk interaksi antara suami istri. Sebagai contoh “Apa benar dalam suatu hubungan suami istri itu ada perkosaan, karena kalau yang namanya istri itu kan hukumnya wajib melayani suami, jadi tidak ada yang namanya kekerasan, paksaan, karena memang harus”. Hal itulah yang sebenarnya menarik untuk kemudian dilihat kembali karena ternyata menimbulkan perbedaan-perbedaan. Sedangkan untuk pembuktian, pembuktian dalam RUU anti KDRT tidak hanya (mau) melihat pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Piadana (KUHAP). Oleh sebab itu RUU anti KDRT tidak hanya mengatur hukum materilnya saja, tapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal hal tertentu yang tidak diatur dalam RUU anti KDRT maka akan menggunakan KUHAP). RUU anti KDRT memungkinkan satu alat bukti (keterangan sanksi atau alat bukti lainnya) sebagai pembuktian yang dirasa cukup. Namun hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut karena masih mengundang perdebatan, terutama dari pihak aparat penegak hukum. Untuk itu perlu segera dicari jalan keluar terhadap masalah pembuktian ini di tengah keterbatasan alat bukti dengan tidak menghilangkan kaedah-kaedah hukum yang ada. www.pemantauperadilan.com 6
  • 7. Delik Hal lainnya yang terdapat dalam RUU anti KDRT adalah adanya saksi pendamping dan perintah perlindungan. Perintah perlindungan disini artinya seorang korban bisa mendapatkan satu bentuk perlindungan sampai kemudian pokok perkaranya atau laporannya ditindaklanjuti. Dalam perintah perlindungan terdapat larangan-larangan yang harus ditaati oleh pelaku, misalnya larangan untuk mendekati korban, larangan untuk menghubungi korban. Larangan-larangan itu merupakan hal yang baru dalam khazanah hukum Indonesia. Keberadaan RUU anti KDRT (yang nantinya diharapkan akan disahkan menjadi sebuah UU) akan menjadi tidak efektif jika tidak didukung oleh aparat penegak hukum, karena penegakan sebuah UU sangat tergantung dari perilaku aparat penegak hukum. Harapannya, setelah RUU anti KDRT disahkan menjadi UU, harus ada sosialisasi baik kepada masyarakat maupun kepada aparat penegak hukum. Dan sosialisasi ini juga telah dimulai sejak digulirkannya isu KDRT oleh LBH APIK dan Jangka PKTP. Sosialisasi yang telah dilaksanakan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP dimulai sejak tahun 1999. Sosialisasi dilakukan melalui seminar atau semiloka (seminar-lokakarya) terbuka (tidak terbatas kepada jenis kelamin perempuan saja). Dari seminar dan semiloka yang dihadiri oleh berbagai perwakilan kelompok yang berdekatan dengan isu KDRT, misalnya kelompok agamawan (kelompok laki-laki biasanya masuk dalam kelompok agamawan, karena biasanya pembenaran kelompok laki-laki lahir dari dalil-dalil agama), kelompok aparat penegak hukum dan kelompok korban akan lahir masukan-masukan terhadap RUU anti KDRT. Sejak awal sosialisasi dan hingga saat ini kontroversi terhadap RUU anti KDRT tetap ada, namun LBH APIK optimis bahwa kekuatan anti KDRT akan semakin banyak dan RUU anti KDRT dapat menjadi sebuah UU. LBH APIK juga menyadari bahwa akan ada kelompok-kelompok yang tidak setuju terhadap RUU anti KDRT ini. Tapi hal itu tidak menyurutkan langkah LBH APIK, karena LBH APIK bergerak atas kepentingan kelompok mayoritas yang memang membutuhkan. www.pemantauperadilan.com 7
  • 8. Delik Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, misalnya kasus perkosaan, maka penangannya harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat perkosaan merupakan kasus yang sensitif. Sebelum melaporkan kasus perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, maka terlebih dahulu harus ada pembicaraan dengan korban yang bersangkutan. Artinya harus ada proses konseling lebih dulu. Apalagi jika perkosaan itu telah berlangsung selama bertahun-tahun yang tentunya akan berdampak secara psikologis kepada korban. Setelah perkosaan tersebut dilaporkan ke polisi tentu akan ada yang namanya beban pembuktian. Polisi akan mengajukan surat untuk visum agar korban diperiksa di Rumah Sakit untuk mengetahui apakah dengan perlakuan yang sudah dialami korban telah mengakibatkan kerusakan pada alat vital vagina korban. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual, yang dilihat tidak hanya kerusakan dari alat vital korban saja, tapi juga dampak traumatis yang ditimbulkan terhadap korban. Selain itu perlu juga dipikirkan keselamatan korban (terutama jika korban tinggal satu rumah dengan pelaku). Unutk itu LBH APIK menyediakan rumah aman atau shelter kepada korban KDRT sehingga memungkinkan si korban atau saksi untuk sementara waktu tinggal di situ sambil melakukan konseling terus menerus. Pendirian rumah aman atau shelter ini didasari pertimbangan bahwa ketika kasus tersebut dilaporkan dan kemudian ditindaklanjuti sampai diputus oleh pengadilan bagi korban umumnya akan tetap meninggalkan persoalan-persoalan yang menyangkut psikis yang harus diselesaikan. Selain rumah aman atau shelter yang didirikan oleh LBH APIK, sejak tahun 2000 yang lalu juga kepolisian RI juga telah membuka unit untuk kelompok perempuan dan anak korban kekerasan berupa Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang sudah terdapat di setiap tingkatan kepolisian di 5 wilayah DKI Jakarta. Delik, 21 April 2003 Narasumber: Vony Reynata (Direktur LBH APIK Jakarta) www.pemantauperadilan.com 8