Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Hadits ahad
1. Hadits Ahad
MAKALAH
disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ulumul hadist
Dosen Pengampu: Bapak Danusiri
Oleh:
1. Ngatiyem (1703036008)
2. Syifa Syafira (1703036039)
3. M. Labib sh (1703036008)
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu hadis terdapat beberapa pembagian. Salah satunya yaitu pembagian
hadis berdasarkan jumlah perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis tersebut. Dan
pembagian hadis ini, para ulama membaginya menjadi dua, yaitu hadis Mutawatir dan
hadis ahad.
Dan pada hadis–hadis itu sendiri juga terdapat pembagian macam-macam
hadisnya lagi. Seperti pada hadis Mutawatir terdapat dua macam hadis, yaitu hadis
mutawatir lafzhi dan hadis mutawatir ma’nawi. Sedangkan pada hadis Ahad terbagi
menjadi tiga macam hadis, yaitu hadis ‘Aziz, hadis Gharib, Dan hadis Masyhur. Yang
mana ketiga macam hadis Ahad tersebut akan menjadi materi pembahasan kami pada
makalah ini.
B. Latar Belakang
1. Apa pengertian hadits ahad ?
2. Apa saja macam-macam hadits ahad ?
3. Bagaimana kedudukan hadits ahad ?
3. BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits Ahad
Al-ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan
demikian, khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah, banyak didefenisikan
para ulama, antara lain sebagai berikut : “Khabar yang jumlah perawinya tidak
mencapai batasan jumlah perawi mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat,
lima, dan seterusnya yang tiodak memberikan bahwa jumlah perawi tersebut tidak
sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.”
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis selain hadis mutawatir, atau
hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumber-sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zham dan tidakl sampai kepada
qhat’i dan yaqin.
Dapat dijelaskan bahwa disamping jumlah perawi hadis ahad tidak sampai kepada
jumlah perawi hadis mutawatir, kandungannya pun bersifat zhanny dan dan tidak
bersifat qhat’i.
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlah nya tidak sampai
kepada jumlah perawi hadis mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi
pertama sampai perawi terakhir.
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dari hadias ahad yang telah memenuhi
ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Al-Syafi’I dan Imam Ahmad
memakai hadis ahad bila syarat-syarat perawinya yang sahih terpenuhi. Hanua saja
Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqas dan adil bagi perawinya serta amaliyahnya
tidak menyalahi hadis yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang terkena
jilatan anjing dengan tuj8h kali basuhan yang salah satunya harus dicampur dengan
debu yang suci tidak digunakan,sebab perawinya yakni Abu Hurairah, tidak
4. mengamalkan . Sedangkan Imam Malikmenetapkan persyaratan bahwa perawi hadis
ahad tidak menyalahi amalan ahli madinah.
Sedangkan golongan Qodariyahan, Rhafidah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan
bahwa beramal; dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Al –juba’I dari
golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang.
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadi ahad sebagai dasar beramal,
Ibnu Al-Qayim mengatakan: “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan al-Qur’an.
Pertama , kesesiuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an;
Kedua, menjelaskan maksud al-Quran; dan Ketiga menetapkan hukum yan tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan
oleh Rasul yang wajib ditaati. Ada dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal
dengan hadis ahad adalah al-Qur’an, sunnah, dan ijma.
2. Macam-macam Hadis Ahad
a. Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa al-dzuyu sesuatu yang
sudah tersebar dan populer. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi,
antara lain :
Menurut ulama ushul : Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi
bilangannya tidak sampai pada bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir
setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.
Adapun juga mendifinisikan hadis mayshur secara ringkas, yaitu :” Hadis
yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak sampai
kepada hadis yang mutawatir” . hadis ini dinamakan masyhur karena telah
tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis
masyhur “segala hadis yang berat popular dalam masyarakat, sekalipun tidak
mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus sahih atau dha’if.” 1
1 Drs. Munzier Suparta, M.A, Ilmu hadis, (jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2003),hlm.
5. Contoh hadis Mashyur :
ِْضبَقِب َمْلِعْلا ُضِبْقَي ْنِكَلَو ِداَبِعْلا ْنِم ُهُع َِزتْنَي اًعاَزِتْنا َمْلِعْلا ُضِبْقَي ََل َ َّاَّلل َّنِإاََِإ َّتََ ِِاَََلُعْلا
واُّلَضَأَو واُّلَضَف ٍمْلِع ِْريَغِب ا َْوتْفَأَف واُلِئُسَف ًاَلَّهُج اًسوُِ ُر ُاسَّنال َذَخَّتا اًَِلاَع ِقْبُي ْمَل
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari
hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama
hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin
dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa
ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari, Muslim, At-Thabrani, dan
Ahmad dari empat orang sahabat).2
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan
ketenangan hati, dekat pada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi
yang menolaknya tidak dikatakan kafir. Hadis masyhur ini ada yang berstatus
sahih, hasan dan dha’if. Yang dimaksud dengan hadis masyhur sahih adalah hadis
masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih, baik pada sanad
maupun matanya, seperti hadis ibnu Umar.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis
masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai
sanad maupun matannya.
b. Hadis Ghair Masyhur
Hadis Ghair Masyur ini oleh ulama ahli hadis digolongkan menjadi Aziz dan
Gharib.
1. Hadis Aziz
Hadis Aziz berasal dari azza – ya izzu yang berarti la yakadu yujadu atau
qalla wa nadar ( sedikit atau jarang adanya) dan berasal dari azza ya azzu
berarti qawiyu (kuat).
2 http://alqolam.web.id/hadits-masyhur-diakses pada 14 mei 2018 pukul 2.39 WiB
6. Hadis aziz menurut istilah, antara lain didefinisikan sebagai berikut:
“Hadis yang peawinya tidak kurang dari dua orang da;lam semua tabaqat
sanad”. Lebih lanjut dijelaskan oleh Mahmud Al-Thahhan, bahwa sekalipun
dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada
masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah
perawinya hanya dua orang.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dikatakan
hadis aziz bukan saja diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat ,
yakni dari thabaqat pertama sampaithabaqat terakhir, selagi thabaqat didapati
dua orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai hadis aziz.
Contohnya, Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas
dan riwayat Bukhari dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
ِهِدِلاَو ْنِم ِهْيَلِإ َّبَحَأ َنوُكَأ ىَّتَح ،ْمُكُدَحَأ ُنِمُْؤي َالَنيِعَمْجَأ ِاسَّنالَو ِهِدَلَوَو
Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih ia cintainya
daripada bapaknya, anaknya, dan manusia seluruhnya. (HR. Bukhari, Muslim,
At-Thabrani, dan Ahmad dari empat orang sahabat).3
Hadits ini diriwayatkan dari Anas oleh Qatadah dan ‘Abdul Aziz bin
Shuhaib. Diriwayatkan dari Qatadah oleh Syu’bah dan Sa’id. Diriwayatkan
dari ‘Abdul Aziz bin Shuhaib oleh Isma’il bin ‘Ulliyah dan ‘Abdul Warits dan
diriwayatkan dari keduanya oleh banyak orang.
Hadis ahad yang shahih, hasan, dan dha’iftergantung kepada terpenuhi
atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan tentang hadis shahih, hasan,
dan dha’if.
2. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri atau al-ba’id an
aqaribihi (jauh dari kerabatnya). Ibn Hajar mendifinisikan hadis gharib
sebagai berikut: “ hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
3 http://alqolam.web.id/hadits-aziz-diakses pada 14 mei 2018 pukul 2.41
7. menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sand itu
terjadi.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalsh hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkan
tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya. Penyendirian perawi dalam
meroiwayatkan hadis itu bisa berkaitan dengsan personalianya, yakni bahwa
sifat atau keadaan perawi-perawi berbeda sifat dan keadaan perawi-perawi
laion yang juga meriwayatkan hadis itu.
Dilihat dari bentuk prnyendirian perawi, maka hadis ghorib digolongkan
menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi. Dikategorikan sebagai
gharib mutlak apabila penyendirian itu mengenai personalianya, sekalipun
penyendiriannya tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian
hadis mutlak ini harus berpangkal ditempat ashlu sanad, yakni tabi’in, bukan
sahabat.
Contoh hadis gharib mutlak antara lain adalah :
اَمَّنِإِتَّايِالنِب ُلاَمْعَ ْاْل
“Semua perbuatan tergantung niatnya.”
Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu menyendiri dalam meriwayatkan
hadits tersebut.
Menyendirinya perawi sahabat tersebut kadang berlanjut hingga akhir
sanad, kadang juga sejumlah perawi di bawahnya meriwayatkan dari perawi
sahabat yang menyendiri tersebut.4
Sedangkan hadis gharib nisbi adalah apabila penyendirian itu mengenai
sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian seorang rawiseperti ini,
bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai
tempat tinggal atau kota tertentu.
4 http://alqolam.web.id/hadits-gharib-diakses pada 14 mei 2018 pukul 2.43 WIB
8. Contoh hadits gharib nisbi, Hadits Malik dari az-Zuhri dari Anas radhiyallahu
‘anhu:
َُرفْغِمْلا ِهِسْأَر ىَلَعَو َةَّكَم َلَخَد َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُ َّاَّلل ىَّلَص النبي أن
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan
mengenakan topi baju besi di kepalanya.” HR. Bukhari.
Malik menyendiri dengan riwayat ini dari Az-Zuhri (maksudnya tidak ada
yang meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri kecuali hanya Malik, sementara
hadits tersebut punya banyak jalan lain selain dari az-Zuhri).5
Selain pembagian gharib seperti diatas, para ulama juga, para ulama
jugamembagi dua golongan, yakni ghorib pada sanaddan matan. Gharib pada
sanad saja. Yang dimaksud dengan gharib sanad dan matan adalah hadis yang
hanya diriwayatkan melalui satu jalur, seperti sabda Rasullullah SAW.
Sedangkan yang dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis yang
populer dan diriwayatkannya dari seorang sahabat yang lain yang tidak
populer.
Bila suatu hadis telah diketahui sanadnya gharib, maka matannya tidak
perlu diteliti lagi, sebsb keghariban pada sanad menjadikan hadis tersebut
berstatus gharib. Apabila matannya diketahui gharib, maka hadisnya pun
menjadi gharib pula.
3. Kedudukan Hadits Ahad
Para ahli berbeda pendapat mengenai hadits ahad ini, diantaranya adalah:
a. Segolongan ulama seperti Al-Qasayani sebagai ulama dhahiriyah dan Ibn
Daud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadits ahad.
b. Jumhur Ulama Ushul menetapkan bahwa hadist ahad memberikan faedah
dhan. Oleh karena itu hadist ahad wajib diamalkan sesudah diakui
keshahihannya.
c. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadist ahad diamalkan dalam segala
bidang.
5http://alqolam.web.id/hadits-gharib-diakses pada 14 mei 2018 pukul 2.43 WIB
9. d. Sebagian muhaqqiqih menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib diamalkan
dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak
digunakan dalam urusan aqidah.
e. Imam Syafi’I berpendapat bahwa hadits ahad tidak menghapuskan suatu
hukum dari hukum-hukum al-Qur’an.
f. Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibn Ali al- Zhahiri) tidak membolehkan
mentakhsiskan umum ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits ahad.
Selanjutnya status dan hukum hadits masyhur menjadi bagian dari hadits
ahad. Hukum hadits masyhur tidak ada hubungannya dengan sahih atau tidaknya
suatu hadits, karena diantara hadits masyhur terdapat hadits yang mempunyai
status shahih, hasan atau dhaif dan bahkan ada maudhu’ (palsu). Akan tetapi,
apabila suatu hadist masyhur tersebut berstatus shahih, maka hadits masyhur
tersebut hukumnya lebih dari pada hadist Aziz dan Gharib.
Dikalangan ulama Hanafiyah, hadits masyhur hukumnya adalah dzhann, yaitu
mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi, karena
kedudukannya tidak sampai pada derajat metawatir, maka tidaklah dihukumkan
kafir bagi orang yang menolak atau tidak beramal dengannya.
Selain hadits masyhur yang dikenal secara khusus dikalangan ulama hadits,
sebagaimana yang telah dikemukakan definisinya diatas dan disebut dengan
masyhur al-ishtilahi, juga terdapat hadist masyhur yang dikenal dikalangan ulama
lain selain ulama hadist dan dikalangan umat secara umum. Hadist masyhur
dalam bentuk yang terakhir ini disebut dengan masyhur gaira ishtilahi yang
mencakup hadits-hadits yang sanadnya terdiri dari satu orang periwayat atau
lebih pada setiap tingkatannya atau bahkan yang tidak mempunyai sanad sama
sekali.
Hadist masyhur dikalangan ahli hadits, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang perawi atau lebih. Contohnya adalah hadis yang berasal dari Anas r.a
dia berkata:
10. Artinya: “Muhammad ibn Al-Fadil menceritakan Muhammad ibn Ja’far
menceritakankepada kami an-Nadir ibn ‘Asy’at menceritakan bahwa Rasulullah
SAW bersabda: tidak akan masuk surge kecuali orang yang mempunyai rasa
kasih saying. Para sahabat bertanya “wahai Rasulullah, kami semua mempunyai
rasa kasih sayang. Beliau kemudian bersabda “(yang dimaksud) bukanlah kasih
sayang seorang diantara kamu terhadap dirinya sendiri saja, akan tetapi rasa
kasih sayang terhadap semua manusia. Dan tidak mempunyai rasa kasih sayang
terhadap semua manusia dan tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap
mereka kecuali Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari).
11. BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hadits ahad yakni hadits yang dilihat dari sisi penutur dan periwayatnya tidak
mencapai tinngkat mutawatir atau terkadang mendekati jumlah hadits mutawatir. Berbeda
dengan hadits mutawatir, hadist ahad mengalami pencanbangan. Ini dilator belakangi
oleh jumlah periwayat dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan
istilah hadist masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib.
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
perawii hadits tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah
yang dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat, kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
Hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi
hadits.
Dikalangan ulama Hanafiyah, hadits ahad hukumnya adalah zhanni, yaitu
mendekati yakin sehungga wajib beramal degannya. Akan tetapi karena kedudukannya
tidak sampai kepada derajat mutawatir, maka tidaklah hukumnya kafir bagi orang yang
menolaknya atau tidak beramal dengannya, menyangkut hal-hal yang bersifat umum,
Imam Syafi’I dan para ulama beramal selama sanadnya shahih.