Dokumen tersebut membahas tentang Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2012. Terdapat beberapa isu strategis yang diangkat dalam pembahasan RUU tersebut seperti penyederhanaan partai politik, peningkatan ambang batas suara, dan syarat bagi partai politik untuk mengikuti pemilu. Dokumen ini juga membandingkan sistem pemilu proporsional dengan sistem distrik dalam upaya penyederhanaan jumlah
UU Pemilu 2012: Penyederhanaan Partai Politik melalui Ambang Batas Perolehan Suara
1. UNDANG-UNDANG
PEMILU ANGGOTA
DPR, DPD & DPRD
2012
Oleh
Dr. HALILUL KHAIRI, M.Si
Dosen Imlu Pemerintahan IPDN, Kemendagri
Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas
Padjadjaran Bandung (2009)
Email: halilul@yahoo.com
Hp : 0811856657
2. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, & adil
dalam NKRI berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945
3. Metamorfosis UU 12/2003 ke 10/2008 dan……
Beberapa Isu-Isu Strategis pada Proses Pembahasan UU
Pemilu di DPR
4. Keinginan untuk penyederhanaan partai politik peserta pemilu,
5. Keinginan untuk menaikkan ET (Electoral Threshould),
6. Keinginan untuk menaikkan PT (Parlementary Threshould),
7. Syarat Parpol mengikuti Pemilu
4. Beberapa upaya yang dilakukan dalam penyederhanaan
Partai Politik
Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan sebagai
berikut: Ayat (1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi
ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma
lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi DPR. Sedangkan ayat (2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan
perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Usulan di RUU Pemilu 2,5 – 5 %
Di setujui pada UU Pemilu 3,5%
5. UU Pemilu saat ini yang disetujui:
Pasal 208
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang
batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5 % (tiga
koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan
kursi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
Pasal 209, ayat 1
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi
ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan
perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan.
6. Pada UU 10/2008 yang berlaku dipemilu 2009 lalu,
ambang batas tidak dikenal dalam penentuan kursi
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Jadi, apabila
sebelumnya seorang calon anggota DPRD dapat
memperoleh kursi ketika suaranya memenuhi Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP).
Sedangkan pada pemilu 2014 akan berubah. Seorang
caleg DPRD yang memenuhi BPP tidak akan mendapat
kursi apabila perolehan suara nasional partainya tidak
mencapai angka ambang batas yang ditentukan UU.
7. Urutan nama parpol, nomor urut parpol, jumlah
perolehan suara dan persentasenya, jumlah
perolehan kursi dan persentasenya (Tahun
2009):
1. Partai Demokrat (31) 21.703.137 suara (20,85%) 148 kursi (26,42%)
2. Partai Golkar (23) 15.037.757 suara (14,45%) 108 kursi (19,29%)
3. PDIP (28) 14.600.091 suara (14,03%) 93 kursi (16,61%)
4. PKS (8) 8.206.955 suara (7,88%) 59 kursi (10,54%)
5. PAN (9) 6.254.580 suara (6,01%) 42 kursi (7,50%)
6. PPP (24) 5.533.214 suara (5,32%) 39 kursi (6,96%)
7. PKB (13) 5.146.122 suara (4,94%) 30 kursi (5,36%)
8. Partai Gerindra (5) 4.646.406 suara (4,46%) 26 kursi (4,46%)
9. Partai Hanura (1) 3.922.870 suara (3,77%) 15 kursi (2,68%)
8. 10. PBB (27) 1.864.752 suara atau 1,79%
11. PDS (25) 1.541.592 suara atau 1,48%
12. PKNU (34) 1.527.593 suara atau 1,47%
13. PKPB (2) 1.461.182 suara atau 1,40%
14. PBR (29) 1.264.333 suara atau 1,21%
15. PPRN (4) 1.260.794 suara atau 1,21%
16. PKPI (7) 934.892 suara atau 0,90%
17. PDP (16) 896.660 suara atau 0,86%
18. Partai Barnas (6) 761.086 suara atau 0,73%
19. PPPI (3) 745.625 suara atau 0,72%
20. PDK (20) 671.244 suara atau 0,64%
21. Partai RepublikaN (21) 630.780 suara atau 0,61%
22. PPD (12) 550.581 suara atau 0,53% 31. PIS (33) 320.665 suara atau 0,31%
23. Partai Patriot (30) 547.351 suara atau 0,53% 32. PNI Marhaenisme (15) 316.752 suara atau 0,30%
24. PNBKI (26) 468.696 suara atau 0,45% 33. Partai Buruh (44) 265.203 suara atau 0,25%
25. Partai Kedaulatan (11) 437.121 suara atau 0,42% 34. PPIB (10) 197.371 suara atau 0,19%
26. PMB (18) 414.750 suara atau 0,40% 35. PPNUI (42) 146.779 suara atau 0,14%
27. PPI (14) 414.043 suara atau 0,40% 36. PSI (43) 140.551 suara atau 0,14%
28. PKP (17) 351.440 suara atau 0,34% 37. PPDI (19) 137.727 suara atau 0,13%
29. Partai Pelopor (22) 342.914 suara atau 0,33% 38. Partai Merdeka (41) 111.623 suara atau 0,11%
30. PKDI (32) 324.553 suara atau 0,31%
9. Usulan Fraksi-Fraksi di DPR saat penyusunan
RUU:
•Fraksi Partai Demokrat : 4% (empat perseratus)
4.Fraksi Partai Golkar : 5% (lima perseratus)
5.Fraksi PDI Perjuangan : 5% (lima perseratus)
6.Fraksi PKS : 3-4% (tiga sampai dengan
empat perseratus)
5.Fraksi PAN : 2,5% (dua koma lima perseratus)
6. Fraksi PPP : 2,5% ((dua koma lima perseratus)
7. Fraksi KB : 2,5% (dua koma lima perseratus)
8. Gerindra : 2,5% (dua koma lima perseratus)
9. F Hanura : 2,5% (dua koma lima perseratus)
10. Wacana
Alternatif solusi lain, yaitu:
Ambang batas parlemen ganda (parliamentary
threshold), yakni 5 persen untuk partai politik (parpol)
dan 7,5 persen untuk gabungan parpol. Penerapan
ambang batas ganda dianggap sebagai jawaban untuk
menyederhanakan sistem multipartai, sekaligus
meminimalkan suara hilang atau tak terpakai.
Di antara negara yang menerapkan
ambang batas ganda adalah
Rumania, Bulgaria, dan Hungaria.
11. Besaran Threshold di beberapa negara:
Belanda (0,7 persen), Denmark (1,6 persen), Italia (2
persen), Austria (2,6 persen), Yunani (3,3 persen),
Norwegia (4 persen), Swedia (4 persen), Belgia (4,8
persen), Jerman (5 persen), dan Finlandia (5,4
persen).
12. Alternatif lain
solusi penyederhanaan Parpol di Parlemen
Dengan cara memperkecil jumlah kursi di dapil, bukan
dengan mempertinggi ambang batas parlemen.
Terkait besaran kursi dapil, RUU Pemilu
inisiatif DPR mencantumkan 3-10 kursi,
sementara pemerintah mengusulkan satu
dapil dialokasikan minimal 3 -6 kursi
13. Upaya mendorong penyederhanaan partai politik dapat
dilakukan juga dengan menggunakan sistem distrik.
Dengan penerapan sistem distrik dapat mendorong ke arah
integrasi partai-partai politik dan mendorong penyederhanaan partai
tanpa harus melakukan paksaan;
Dalam sistem distrik, teritori sebuah negara dibagi menjadi
sejumlah distrik. Banyaknya jumlah distrik itu sebanyak jumlah
anggota parlemen yang akan dipilih. Setiap distrik akan dipilih satu
wakil rakyat. Oleh karena itu, sistem ini biasa disebut “single-
member constituency.”
Dalam sistem distrik berlaku prinsip the winner takes
all. Partai minoritas tidak akan pernah mendapatkan wakilnya.
Katakanlah, dalam sebuah distrik ada sepuluh partai yang ikut serta.
Tokoh dari Partai A hanya menang 25%, namun tokoh partai lain
memperoleh suara yang lebih kecil. Walau hanya mendapatkan suara
25% suara, distrik itu akan diwakili oleh tokoh partai A. Sembilan
tokoh lainnya akan tersingkir
14. Karakteristik Sistem Distrik
a. The first past the post / The winner take all
Sistem distrik didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan
geografis (distrik) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk
keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan
yang kira-kira sama jumlah penduduknya. Karena satu distrik
hanya berhak atas satu wakil maka calon yang memperoleh suara
pluralitas (suara terbanyak) dalam distriknya dapat menang. Hal ini
dinamakan The first past the post. Suara-suara yang mendukung
para calon lain yang kalah dianggap hilang dan tidak dapat dihitung
membantu partainya di distrik lain, betapa kecil pun selisih
kekalahannya. Sistem distrik ini merangsang partai kecil untuk
membubarkan diri atau menggabungkan diri dengan partai lain,
agar menjadi mayoritas.
15. a. Stembus Accord
Kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik hanya satu,
yang kemudian akan mendorong ke arah integrasi partai
yaitu partai-partai menyisihkan perbedaan-perbedaan
dan mengadakan kerjasama, sekurang-kurangnya
menjelang pemilu. Proses kerjasama ini terjadi sebelum
pemilu melalui apa yang disebut dengan Stembus Accord.
Dengan berkurangnya partai pada gilirannya akan
mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil
dan meningkatnya stabilitas nasional.
16. Sedangkan sistem penyederhanaan partai yang
digunakan saat ini adalah dengan sistem
proporsional
Sistem proporsional memiliki mekanisme
tersendiri untuk menyederhanakan jumlah
partai politik. Penyederhanaan partai politik
dalam rangka menghasilkan parlemen dan
pemerintahan yang efektif, dalam era
reformasi ini perundang-undangan
menerapkan Electoral Threshold pada
Pemilu 1999 dan 2004, dan terbukti dari 48
partai politik peserta Pemilu 1999 berkurang
menjadi 24 partai politik pada Pemilu 2004.
17. Pada pemilu 1999, Indonesia menerapkan electoral
threshold sebesar 2% dari suara sah nasional.
Peserta pemilu yang lolos berdasarkan perolehan suara ada enam
partai. Dengan demikian, hanya keenam partai yang berhak
mengikuti Pemilu 2004, yakni PDI P, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan
PBB.
Secara prosedural, partai-partai di luar keenam partai itu tidak
diperkenankan mengikuti Pemilu 2004. Tetapi, dalam praktiknya
tidak demikian, karena partai lama mengubah namanya atau
menambah satu kata di belakang nama partai sebelumnya. Artinya,
partai yang tidak memenuhi electoral threshold tetap ikut pemilu
berikutnya dengan karakter partai serta pengurus partainya tidak
18. Pemilu 2004 menerapkan angka electoral threshold menjadi
3% dari perolehan suara sah nasional. Hal ini dilakukan untuk
lebih memperketat partai-partai yang mengikuti Pemilu
berikutnya. Semangat dari peningkatan threshold yang
semakin besar yaitu untuk membangun sistem multipartai
sederhana dengan pendekatan yang lebih moderat.
Dengan threshold 3%, partai yang bisa mengikuti Pemilu
2009 hanya tujuh partai, yaitu Golkar, PDI P, PKB, PPP, PAN,
Partai Demokrat, dan PKS.
Tetapi faktanya di parlemen ada 17 partai. Hal ini yang
mengurangi keefektifan parlemen dalam bekerja karena
lambat. Artinya penerapan Electoral Threshold ternyata tidak
membuat partai mengerucut dan mendukung tata kelola
parlemen yang efektif .
19.
20. PERHITUNGAN SUARA KURSI
Dalam ilmu pemilu dikenal dua metode:
• pertama, metode kuota (yang punya dua varian,
yaitu kuota murni dan kuota Droop), dan:
• kedua, metode divisor (yang punya dua varian, yaitu
divisor D'hont dan divisor Webster).
Sejak Pemilu 1955, pemilu-pemilu Orde Baru, hingga
Pemilu 2009, formula perolehan kursi selalu
menggunakan metode kuota murni
21. Perhitungan dengan cara kuota
Yaitu dengan membagi perolehan suara masing-masing partai
politik dengan jumlah total suara, lalu dikalikan jumlah kursi yang
tersedia di daerah pemilihan. Hasil bagi dan kali ini biasanya
dalam bentuk pecahan atau desimal. Partai yang memperoleh
angka penuh, berarti dapat kursi penuh. Sedang kursi tersisa,
dibagikan kepada partai yang mempunyai pecahan terbanyak
secara berurutan.
Secara matematika, metode kuota murni ini cenderung
menguntungkan partai menengah dan merugikan partai besar dan
kecil. Suara partai besar tersedot untuk mendapatkan kursi penuh,
sedang sisa suaranya akan dibandingkan dengan suara partai yang
tidak mendapatkan kursi. Sedangkan partai kecil tidak
mendapatkan apa-apa karena sisa suaranya pasti lebih banyak dari
partai menengah.
22. Lanjutan Kuota Murni….
Dengan kata lain, jika kuota 1 kursi atau BPP adalah 100
suara, partai yang memiliki 160 suara mendapatkan 1
kursi, sama dengan partai yang memiliki 85 suara,
karena sisa suara partai kedua lebih besar daripada sisa
suara partai pertama. Itulah sebabnya metode kuota
murni tidak disukai oleh partai-partai besar.
23. Kuota Droop…
Sebagai alternatifnya muncul metode kuota Droop. Perbedaan
pokoknya adalah menentukan BPP ditambah jumlah kursi ditambah 1
(m+1), sehingga pada hitungan pertama partai besar tidak terlalu
dirugikan, bahkan malah selalu diuntungkan. Metode Droop ini jarang
digunakan, karena dianggap mencederai prinsip proporsionalitas.
Kuota Kursi dari Kursi Total
Partai Suara
Droop Kuota Penuh Sisa Kursi
A 42.000 2,94 2 1 3
B 31.000 2,17 2 0 2
C 15.000 1,50 1 0 1
D 12.000 0,84 0 0 0
TOTAL 100.000 5 1 6
24. Sebagai alternatif kedua (yang bertujuan tidak terlalu merugikan
partai besar) lahir metode divisor D'hondt dengan bilangan pembagi
pemilih 1, 2, 3, 4 dst. Cara kerja metode ini adalah sebagai berikut:
pertama, membagi perolehan suara setiap partai politik dengan
bilangan 1, 2, 3, 4 dst. Hasil bagi tersebut dirangking, dari yang tinggi
sampai yang rendah.
Alokasi D’hondt Total
Partai Suara
V/1 V/2 V/3 Kursi
A 42.000 42.000 (1) 21.000 (3) 14.000 (6) 3
B 31.000 31.000 (2) 15.500 (4) 10.333 2
C 15.000 15.000 (5) 7.500 1
D 12.000 12.000
Total 100.000
Secara matematika, metode tsb di atas ternyata menguntungkan
partai besar
Finlandia, Israel, Belanda, Portugis, Spanyol dan Swiss adalah
negara-negara yang menggunakan D’Hondt.
25. Karena itu muncullah metode divisor St Lague atau Webster. Cara
kerjanya sama dengan metode d'Hont, hanya bilangan
pembaginya saja yang beda. Jika d'Hont bilangan pembaginya 1,
2, 3, 4 dst; Webster menggunakan bilangan pembagi 1, 3, 5, 7, dst.
Alokasi St. Lague/Webster Total
Partai Suara
V/1 V/3 V/5 Kursi
A 42.000 42.000 (1) 14.000 (4) 8.400 2
B 31.000 31.000 (2) 10.333 (5) 6200 2
C 15.000 15.000 (3) 5.000 1
D 12.000 12.000 (6) 1
Total 100.000 6
Hasilnya memang lebih fair jika dibandingkan dengan d'Hont. Bahkan jika
dibandingkan dengan kuota murni pun hasilnya lebih fair. Dengan kata lain metode
divisor webster tidak mengandung bias terhadap partai besar maupun partai
menengah kecil. Itulah sebabnya metode ini banyak dipakai di negara-negara dunia
yang menggunakan sistem pemilu proporsional
Denmark, Norwegia dan Swedia adalah negara-negara yang menggunakan
varian St. Lague/Webster.
26.
27. Dengan mengacu pada pemikiran tersebut dapat
dikatakan sistem proporsional mempermudah
fragmentasi dan timbulnya partai-partai baru. Sedangkan
pada sistem distrik mendorong kearah integrasi partai-
partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam
setiap distrik pemilihan hanya satu.
28. • berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang
Partai Politik;
• memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; YL: 2/3
• memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima perseratus)
jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
• memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah
kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; YL: Tidak
Ada
• menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik
tingkat pusat;
• memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang
atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada
kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf
c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
• mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir
Pemilu;
• mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU;
dan
• menyerahkan nomor rekening atas nama partai politik. YL:
Tidak Ada