Dokumen tersebut membahas beberapa teori tentang budaya dan pendekatan penelitian budaya, yaitu: 1) Teori budaya sebagai sistem makna yang melandasi perilaku, 2) Teori fenomenologi yang melihat perilaku sebagai ekspresi makna internal, 3) Teori etnometodologi yang menganalisis ekspresi sehari-hari untuk memahami kerangka berpikir, dan 4) Teori interaksionisme simbolik yang menekankan bahwa tindakan dipengaruhi mak
1. 1. Teori tentang budaya:
a. Teori budaya yang memandang budaya sebagai suatu
sistem atau organisasi makna yang diyakini dan
menjadi dasar perilaku masyarakat yang berkaitan
dengan nilai baik – buruk, berharga – tidak
berharga, benar – salah.
b. Teori budaya yang berkaitan dengan adaptasi
masyarakat terhadap lingkungannya (budi dan daya)
yang berkaitan dengan teknologi.
Buadaya sbg sisitem makna meyakini bahwa
keberadaannya berlapis-lapis, apa yang tampak diluar itu
baru merupakan penggambaran eksplisit seperti halnya
cermin pada bbg budaya material. Dibalik lapisan luar
tersebut terdapat lapisan tengah yang berkaitaan dengan
nilai2 baik – buruk, benar -0 salah, dan berharha – tidak
berharga. Setelah lapisan tengah ada lapisan inti yang
pada dasarnya berupa kepercayaan atau anggapan2 dasar
tentang keberadaan manusia itu sendiri.
2. Karena budaya masyarakat menampakkan diri
secara berlapis, maka lapisan demi lapisan
perlu dibuka untuk memahaminya. Oleh karena
itu diperlukan pendekatan penelitian yang
bergerak tidak hanya dipermukaan (surface
behavior), tetapi menukik hingga ketingkat
paling dalam (tacid knowledge).
Peneliti budaya lazim mengatakan:
The ethnographer observers behavor, but goes
beyond it to inquire about the meaning of that
behavior.
The ethnographer see artifacts and natural
objects, but goes beyond them to discover what
meaning assign to chose object.
The ethnogapher observer and records emotional
states, but goes beyond them to discover the meaning
of fear, anxiety, anger, and other feeling.
3. 2. Teori fenomenologi:
Apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola
perilaku manusia sehari-hari hanyalah suatu gejala
atau fenomena dari dari apa yang tersembunyi di
kepala sang pelaku. Perilaku tersebut baru bisa
dipahami manakala dapat diuangkap apa yang
tersembunyi di dalam kepala tersebut. Realitas apa
yang dilakukan seseorang bersifat subyektif dan
maknawi dan bergantung pada
persepsi, pemahaman, pengertian dan anggapan2
seseorang. Disitulah letak kunci jawaban terhadap
apa yang terekspresi dalam perilaku.
4. 3. Teori etnometodologi:
Teori ini serupa dengan teori fenomenologi. Teori ini
berargumen bahwa ungkapan sehari-hari, isi percakapan
sehari-hari bisa dijadikaan indikasi bagaimana kerangka
berpikir beserta asumsi-asumsi mereka di dalam
memahami, menafsirkan, dan menyikapi berbagai hal yang
dihadapi.
Diaykini bahwa cara kerja ilmuan dalam melakukan
observasi dan menafsirkan sebuah fenomena berlangsung
dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, dan
itu dilakukan siapa pun juga, termasuk orang awam
sekalipun. Itu dimungkinkan oleh adanya basis
perbendaharaan metodologi yang berupa kerangka
pemikiran, asumsi, dalil, dan teori sehari-hari.
Basis perbendaharaan tsb akan muncul kepermukaan (sbg
acuan) di dalam
mengamati, menafsirkan, mengkonstruksikan, dan
menyikapi bbg hal yang mereka hadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
5. Sesuai pemikiran teori etnometodologi, maka
sangat mementingkan analisis percakapan
beserta ekspresi-ekspresi indeksikal yang
muncul ditingkat interaksi.
Karena itu untuk memahami apa yang
dikatakan informan perlu proses observasi
terhadap percakapan sehari-hari ditingkat
interkasi sehingga terpahami bagaimana
sesungguhnya susunan struktur dalam yang
menjadi kerangka pikir, dalil, teori serta
asumsi mereka di dalam
memahami, mengkonstruksi dan menyikapi
suatu hal.
6. 4. Teori interaksionisme simbolik:
Teori ini memiliki tiga premis utama:
a. Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar
makna yang diberikan kepada sesuatu itu.
b. Makna ttg sesuatu itu diperoleh, dibentuk dan
direvisi melalui proses interaksi dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Pemaknaan thd sesuatu dalam bertindak atau
berinteraksi tidaklah berlangsung
mekanistik, melainkan melibatkan proses
interpretasi yang bersifat situasional.
7. Atas dasar itu, tindakan manusia tidak dapat
disederhanaakan sbg akibat dari tuntutan struktur
sosial yang melekat pada diri seseorang seperti
status, peran, dsb.
Manusia bukanlah robot yang dapat difeintah
sekehendak yang memberi perintah karena dia akan
selalu berpikir atas dasar kesadaran, interpretasi dan
makna perilakunya.
Tindakan masyarakat tidaklah mekenistik.