Kebijakan publik adalah upaya pemerintah dalam mengatasi masalah publik dengan menggunakan sumber daya secara strategis. Bab ini menjelaskan konsep dasar kebijakan publik, aktor yang terlibat, tahapan penyusunan kebijakan publik, dan peran auditor dalam menganalisis kebijakan publik."
4.
Analisis Kebijakan Publik
Dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
dalam rangka Diklat Fungsional Auditor – Penjenjangan Auditor Madya
Edisi Pertama : Tahun 2014
Penyusun : Priyono Dwi Nugroho, Ak., M.Si., M.M.
Suwatno, Ak., M.Si.
Narasumber : Dr. Marno Kastowo, Ak., M.E.
Pereviu : Evan Evianto, Ak., M.E.
Penyunting : Kusmayawati
Penata Letak : Didik Hartadi, S.E.
Pusdiklatwas BPKP
Jl. Beringin II, Pandansari, Ciawi, Bogor 16720
Telp. (0251) 8249001 ‐ 8249003
Fax. (0251) 8248986 ‐ 8248987
Email : pusdiklat@bpkp.go.id
Website : http://pusdiklatwas.bpkp.go.id
e‐Learning : http://lms.bpkp.go.id
Dilarang keras mengutip, menjiplak, atau menggandakan sebagian atau
seluruh isi modul ini, serta memperjualbelikan tanpa izin tertulis dari
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
5.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k i
Kata Pengantar
Peran dan fungsi aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam rangka membantu
manajemen untuk mencapai tujuan organisasi dilaksanakan melalui pemberian jaminan
(assurance activities) dan layanan konsultansi (consulting activities) sesuai standar, sehingga
memberikan perbaikan efisiensi dan efektivitas atas tata kelola, manajemen risiko, dan
pengendalian intern organisasi. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengatur bahwa pelaksanaan audit intern di
lingkungan instansi pemerintah dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan yang telah memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor.
Hal tersebut selaras dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang
transparan dan akuntabel serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme pada berbagai aspek
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang dituangkan dalam Undang‐
Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Untuk menjaga tingkat profesionalisme aparat pengawasan, salah satu medianya adalah
pendidikan dan pelatihan (diklat) sertifikasi auditor yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap/perilaku auditor pada tingkat kompetensi
tertentu sesuai dengan perannya sesuai dengan keputusan bersama Kepala Pusat Pembinaan
Jabatan Fungsional Auditor dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor KEP‐82/JF/1/2014 dan Nomor KEP‐
168/DL/2/2014 tentang Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Auditor.
Guna mencapai tujuan di atas, sarana diklat berupa modul dan bahan ajar perlu disajikan
dengan sebaik mungkin. Evaluasi terhadap modul perlu dilakukan secara terus menerus untuk
menilai relevansi substansi modul terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Modul ini
ditujukan untuk memutakhirkan substansi modul agar sesuai dengan perkembangan profesi
auditor, dan dapat menjadi referensi yang lebih berguna bagi para peserta diklat sertifikasi
auditor.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusi atas terwujudnya modul ini.
Ciawi, November 2014
Kepala Pusdiklat Pengawasan BPKP
Nurdin, Ak., M.B.A.
7.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k iii
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................................... iii
Bab I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Kompetensi Dasar .................................................................................................... 1
C. Indikator Keberhasilan ............................................................................................. 1
D. Sistematika Modul ................................................................................................... 2
E. Metode Pembelajaran ............................................................................................. 2
Bab II ESENSI KEBIJAKAN PUBLIK DAN PERAN AUDITOR ....................................................... 3
A. Konsepsi Dasar Kebijakan Publik ............................................................................. 3
B. Aktor Dalam Kebijakan Publik .................................................................................. 8
C. Tahapan Penyusunan Kebijakan Publik ................................................................. 11
D. Peran Auditor ......................................................................................................... 15
Bab III ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ..................................................................................... 17
A. Proses Analisis Kebijakan Publik ............................................................................ 21
B. Kerangka Analisis Kebijakan Publik ........................................................................ 34
C. Teknik Analisis Kebijakan Publik ............................................................................ 36
Bab IV PENERAPAN SEDERHANA ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ............................................ 41
Daftar Pustaka ............................................................................................................................... 45
LAMPIRAN ...................................................................................................................................... 47
9.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 1
Bab I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan hasil berbagai penelitian dan pengalaman, ternyata hal terpenting agar tercapai
keberhasilan pemerintahan yang efektif selain faktor pemimpin, sistem politik yang berlaku,
sumber daya alam yang dimiliki, dan posisi strategis adalah kebijakan publik yang baik.
Kebijakan publik di Indonesia sampai dengan saat ini masih banyak diwarnai dengan
kepentingan publik terbatas yaitu kebijakan publik yang menguntungkan konstituen politik
semata ketimbang memperjuangkan kepentingan publik masyarakat luas. Selain itu, masih
banyak kebijakan publik yang tidak melalui proses analisis kebijakan sehingga berdampak pada
saling bertentangannya antara satu kebijakan yang dihasilkan dengan kebijakan lain yang sudah
berjalan.
Modul Analisis Kebijakan Publik ini disusun sebagai bahan pembelajaran bagi peserta
pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional auditor penjenjangan auditor madya dengan
jumlah 30 jam pelatihan (jamlat). Dengan mempelajari modul analisis kebijakan publik ini,
auditor madya diharapkan dapat memiliki pengetahuan yang lebih mendalam mengenai
kebijakan di sektor publik, terutama pengetahuan mengenai cara melakukan analisis suatu
kebijakan dan berbagai metode analisis kebijakan yang dapat diterapkan. Sehingga pada
akhirnya auditor madya diharapkan dapat melakukan penilaian secara benar dan tepat atas
suatu kebijakan publik.
B. KOMPETENSI DASAR
Kompetensi dasar dari modul ini adalah setelah mempelajari modul ini, peserta diklat
diharapkan mampu melakukan analisis kebijakan publik.
C. INDIKATOR KEBERHASILAN
Berdasarkan kompetensi dasar di atas, maka indikator keberhasilan yang hendak dicapai adalah
setelah mempelajari modul ini, peserta diklat diharapkan mampu:
10.
2 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
1. memiliki pengetahuan mengenai kebijakan sektor publik;
2. mampu menilai kebijakan publik/lintas sektoral.
D. SISTEMATIKA MODUL
Modul Analisis Kebijakan Publik disusun dengan kerangka bahasan sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 ESENSI KEBIJAKAN PUBLIK
Bab ini menguraikan tentang konsep dasar kebijakan publik, aktor yang terlibat
dalam kebijakan publik, dan tahapan penyusunan kebijakan publik.
BAB 3 ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Bab ini menguraikan tentang langkah‐langkah dalam melakukan analisis kebijakan
publik, kerangka pembatas kebijakan publik, dan teknik dalam menganalisis
kebijakan.
BAB 4 PENERAPAN SEDERHANA ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Bab ini menguraikan tentang penerapan analisis kebijakan publik secara sederhana
dengan menggunakan metode analisis stakeholder, analisis SWOT, analisis proses
hierarki, dan analisis biaya‐manfaat.
E. METODE PEMBELAJARAN
Penyampaian materi diklat menggunakan pendekatan pembelajaran orang dewasa dengan
metode sebagai berikut.
• Ceramah
• Curah pendapat
• Diskusi
• Latihan (Buku Kerja)
~
11.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 3
Bab II
ESENSI KEBIJAKAN PUBLIK
DAN PERAN AUDITOR
Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bab ini peserta diklat diharapkan mampu memahami
konsepsi dasar kebijakan publik, jenis‐ jenis kebijakan publik, aktor dalam kebijakan publik,
tahapan penyusunan kebijakan publik, dan peran auditor.
A. KONSEPSI DASAR KEBIJAKAN PUBLIK
1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak, kebijakan pemerintah
untuk program low cost and green car, kebijakan Walikota Surabaya untuk menutup “gang
dolly”, dan kebijakan Gubernur DKI Jakarta melarang sepeda motor melintas di Jalan
Sudirman – Thamrin adalah beberapa contoh kebijakan publik.
Para pakar mengembangkan berbagai definisi untuk menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kebijakan publik. Secara umum ada beberapa pengertian kebijakan publik, antara
lain sebagai berikut.
a. Ralph C. Chandler dan Jack C. Plano
Dalam bukunya The Public Administration Dictionary, Chandler dan Plano
mendenifisikan kebijakan publik sebagai berikut.
Public Policy is strategic use of resources to alleviate national problems or
governmental concerns.
atau dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan strategis terhadap
sumber daya untuk memecahkan masalah publik atau perhatian pemerintah.
12.
4 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
b. Thomas R. Dye
Dalam bukunya Understanding Public Policy, Thomas R. Dye mendefinisikan
kebijakan publik sebagai berikut.
Public policy is about what governments do, why they do it, and what
difference it makes, say, public policy is whatever governments choose to do or
not to do.
atau dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah tentang apa yang pemerintah
lakukan, alasan kenapa melakukan, dan perbedaan apa yang dihasilkan. Apapun
yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan termasuk dalam
definisi kebijakan publik.
c. William N. Dunn
Menurut William N. Dunn, kebijakan publik adalah rangkaian pilihan‐pilihan yang
saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada
bidang‐bidang yang menyangkut tugas kepemerintahan, seperti pertahanan,
keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas,
perkotaan, dan lain‐lain.
d. Chaizi Nasucha
Menurut Chaizi Nasucha, kebijakan publik adalah kewenangan pemerintah dalam
pembuatan suatu kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat
yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang
harmonis.
e. Carl Friedrich
Menurut Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
memberikan hambatan‐hambatan dan kesempatan‐kesempatan terhadap kebijakan
yang diusulkan untuk mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau
maksud tertentu.
13.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 5
f. James A. Anderson
Menurut James A. Anderson, kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah.
Berdasarkan berbagai definisi kebijakan publik di atas, kebijakan publik dapat diartikan
sebagai keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam menyikapi suatu masalah yang
menyangkut kepentingan masyarakat. Keputusan pemerintah tersebut bisa dengan cara
membuat suatu kebijakan maupun keputusan untuk tidak membuat kebijakan.
Karakteristik kebijakan publik berdasarkan pada definisinya adalah sebagai berikut.
a. Selalu mempunyai tujuan tertentu (pemecahan masalah) atau merupakan suatu
tindakan yang berorientasi tujuan.
b. Berisi tindakan‐tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.
c. Merupakan apa yang benar‐benar dilakukan oleh pemerintah.
d. Bersifat posistif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negatif dalam arti
keputusan itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.
e. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau perundang‐undangan yang bersifat
memaksa.
f. Fokus kebijakan publik adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
2. Jenis‐ Jenis Kebijakan Publik
Menurut James E. Anderson (1970), kebijakan publik dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa jenis yaitu:
a. Substantive and Procedural Policies
Substantive Policy
Suatu kebijakan dilihat dari substansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah.
Misalnya: kebijakan ketenagakerjaan, kebijakan ekonomi, dan kebijakan pendidikan
nasional.
14.
6 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Procedural Policy
Suatu kebijakan dilihat dari pihak‐pihak yang terlibat dalam perumusannya (policy
stakeholders). Sebagai contoh, pembuatan Undang‐undang Pendidikan Nasional,
meskipun secara fungsional yang berwenang membuatnya adalah Kementerian
Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, tetapi dalam pelaksanaan
pembuatannya, banyak instansi/organisasi lain yang terlibat, baik instansi/organisasi
pemerintah maupun organisasi nonpemerintah, yaitu antara lain DPR, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan
Tinggi, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Presiden yang mengesahkan
undang‐undang tersebut. Instansi‐instansi/organisasi‐organisasi yang terlibat
tersebut disebut policy stakeholders.
Contoh lainnya adalah penyusunan kebijakan transportasi nasional oleh
Kementerian Perhubungan, dalam pelaksanaanya harus melibatkan Kementerian
Perencanaan Pembangunan dan Bappenas, Kementerian Keuangan, dan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Selain dari kementerian,
pihak lain yang dimintai masukan adalah Organisasi Gabungan Angkutan Darat
(Organda) dan Masyarakat Transportasi Indonesia.
b. Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies
Distributive Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada
individu‐individu, kelompok‐kelompok, atau perusahan‐perusahaan.
Contoh: kebijakan pemberian beasiswa, kebijakan tax holiday bagi perusahaan
baru.
Redistributive Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan,
atau hak‐hak.
Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
15.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 7
Regulatory Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap
perbuatan/tindakan.
Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan senjata api.
c. Material Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/penyediaan sumber‐sumber
material yang nyata bagi penerimanya.
Contoh: kebijakan pembuatan rumah sederhana.
d. Public Goods and Private Goods Policies
Public Goods Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang‐barang/pelayanan‐
pelayanan oleh pemerintah, untuk kepentingan orang banyak.
Contoh: kebijakan tentang penyediaan jalan umum.
Private Goods Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang‐barang/pelayanan oleh
pihak swasta, untuk kepentingan individu‐individu (perorangan) di pasar bebas,
dengan imbalan biaya tertentu.
Contoh: kebijakan pengadaan barang‐barang/pelayanan untuk keperluan
perorangan, misalnya tempat hiburan, hotel, dan lain‐lain.
16.
8 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
B. AKTOR DALAM KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam setiap pembuatan suatu kebijakan tidak terlepas dengan apa yang biasa disebut aktor
kebijakan. Aktor kebijakan adalah para pihak yang terlibat dalam proses pembuatan suatu
kebijakan baik terlibat secara individual ataupun secara kelompok.
Menurut Howlet dan Ramesh (1995), aktor kebijakan terdiri atas lima kategori, yaitu:
1. Aparatur yang dipilih (elected official) yaitu berupa eksekutif dan legislatif.
2. Aparatur yang ditunjuk (appointed official), sebagai asisten birokrat, biasanya menjadi
kunci dasar dan tokoh sentral dalam proses kebijakan.
3. Kelompok‐kelompok kepentingan (interest group), pemerintah dan wakil rakyat di DPR/D
seringkali membutuhkan informasi yang disajikan oleh kelompok‐kelompok kepentingan
guna efektivitas pembuatan kebijakan.
4. Organisasi‐organisasi penelitian (research organization), berupa civitas akademika,
kelompok ahli, atau konsultan kebijakan.
5. Media massa (mass media), sebagai jaringan penghubung (media sosialisasi dan
komunikasi) yang menentukan antara negara dan masyarakat.
Berdasarkan pada model proses kebijakan, peran aktor sangat menentukan dalam
merumuskan, melaksanakan, dan mempertimbangkan konsekuensi kebijakan yang dibuatnya.
Para aktor kebijakan mempunyai karakteristik masing‐masing yang menunjukkan kekuatannya
mempengaruhi proses kebijakan. Misalnya, jika dicontohkan dengan kondisi Indonesia, maka
para aktor dan kekuatannya diperinci sebagai berikut.
1. Lembaga Kepresidenan. Lembaga ini terdiri atas presiden, wakil presiden, kabinet kerja,
serta pejabat teras lainnya di kantor kepresidenan. Lembaga kepresidenan sangat penting
dalam melakukan rekrutmen para policy maker yang berasal dari lingkaran eksekutif. Di
samping itu, lembaga ini mempunyai sumber daya yang kuat dalam bentuk dana yang
digunakan untuk pelaksanaan kebijakan program pemerintah, maupun dukungan personel
yang kuat untuk memegang atribut‐atribut yang mencerminkan kapasitas simbolik
lembaga kepresidenan.
17.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 9
2. Kepala daerah seperti gubernur/ bupati/ walikota beserta jajarannya.
3. Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/DPRD). Merupakan lembaga yang tidak bisa
diabaikan dalam proses kebijakan, karena lembaga ini adalah representasi dari rakyat yang
diwakili. Peran DPR/DPRD adalah menentukan sesuai atau tidaknya rancangan kebijakan
yang dibuat eksekutif. Suatu kebijakan yang dibuat oleh eksekutif harus mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
4. Birokrat. Merupakan lembaga penting dalam proses kebijakan disebabkan keahlian yang
mereka miliki, pengetahuan tentang institusi (sesuai dengan masa kerja), serta peran
pentingnya dalam implementasi kebijakan.
5. Lembaga Yudikatif. Merupakan lembaga yang berwenang melakukan ajudikasi pada
implementasi kebijakan dan pada gilirannya menjadi masukan untuk formulasi kebijakan.
6. Kelompok‐kelompok yang berkepentingan, berfungsi menyalurkan isu‐isu publik dalam
proses agenda setting. Fungsi tersebut semakin bertambah mengemuka ketika peran
partai politik menurun.
7. Media Massa. Merupakan aktor yang terlibat dalam semua tahap kebijakan karena
berfungsi sebagai komunikator antara pemerintah dan masyarakat. Media massa
mempunyai kekuatan yang khas, yaitu kemampuannya menjangkau audiens lebih luas
dibanding kelompok manapun. Kekhasan itu menjadikan media massa merupakan agen
yang efektif dalam membentuk opini publik. Selain itu, media massa juga berperan dalam
agenda setting, mendiseminasikan kebijakan, maupun dalam monitoring implementasi
kebijakan.
8. Kelompok intelektual dan non‐kampus, adalah aktor yang terlibat dalam proses kebijakan,
baik dalam agenda setting dan evaluasi, maupun dalam membentuk opini publik dengan
relatif objektif. Adakalanya mereka juga berperan dalam formulasi kebijakan ketika negara
menghendaki sumbangan pemikiran para teknokrat secara langsung maupun tidak
langsung dalam perencanaan pembangunan.
Aktor kebijakan yang menjadi fokus pembahasan hanyalah aktor dari sektor negara/pemerintah
yaitu mulai tingkatan pemerintahan desa sampai dengan pemerintahan pada tingkat nasional.
18.
10 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Aktor‐aktor kebijakan tersebut dapat diidentifikasi berdasarkan pada tahapan proses kebijakan
publik, sebagai berikut.
1. Tahap Penyusunan Agenda
Aktor pada tahap ini adalah para spesialis di bidang kebijakan, seperti misalnya para
birokrat, staf legislatif, akademisi, para ahli dalam kelompok‐kelompok kepentingan, dan
komunitas‐komunitas tertentu yang memiliki proposal.
2. Tahap Formulasi Kebijakan
Aktor pada tahap ini adalah birokrat, kantor kepresidenan, legislatif, dan kelompok
berkepentingan. Kajian terhadap aktor dalam formulasi kebijakan sangatlah penting. Baik
di negara maju maupun berkembang, para aktor merupakan penentu isi kebijakan dan
pemberi warna dinamika tahap‐tahap proses kebijakan.
3. Tahap Adopsi Kebijakan
Aktor pada tahap ini adalah legislatif dan eksekutif.
4. Tahap Implementasi Kebijakan
Dalam tahap implementasi, terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka bisa berasal
dari kalangan pemerintah maupun masyarakat, dan diidentifikasi berasal dari kalangan
birokrasi, legislatif, lembaga peradilan, kelompok kepentingan/penekan, dan organisasi
komunitas.
5. Tahap Evaluasi Kebijakan
Aktor pada tahap ini biasa disebut sebagai evaluator kebijakan. Evaluator kebijakan dapat
digolongkan dalam dua kelompok, yaitu evaluator internal dan eksternal. Evaluator
internal berasal dari lembaga legislatif dan eksekutif beserta cabang‐cabangnya
(birokrasi). Sedangkan evaluator eksternal terdiri dari lembaga‐lembaga penelitian privat,
media komunikasi massa, kelompok penekan, dan organisasi‐organisasi kepentingan
publik.
19.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 11
C. TAHAPAN PENYUSUNAN KEBIJAKAN PUBLIK
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
banyak proses maupun variabel yang harus dikaji.
Tahap‐tahap kebijakan publik menurut William Dunn dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih atau diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Sebelumnya masalah‐masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke
dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan
para perumus kebijakan. Di tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula
masalah karena alasan‐alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Dalam proses ini dibahas berbagai masalah publik dan ditentukan
prioritasnya. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik dan
menjadi prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi
sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan
diangkat dalam agenda pemerintah. Isu tentang kebijakan (policy issues) sering disebut
juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena
terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya
perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu
masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi agenda kebijakan.
Ada beberapa kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974;
Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986), di antaranya adalah:
a. isu telah mencapai titik kritis tertentu sehingga ketika diabaikan akan menjadi
ancaman yang serius;
20.
12 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
b. isu telah mencapai tingkat partikularitas tertentu dan berdampak dramatis;
c. isu menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat
manusia) dan mendapat dukungan media massa;
d. isu menjangkau dampak yang amat luas;
e. isu mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat;
f. isu menyangkut suatu persoalan terkini khususnya yang sulit dijelaskan, tetapi
mudah dirasakan kehadirannya.
Penyusunan agenda kebijakan sebaiknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi
kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan
tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi Kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah‐masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah
yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam
agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing‐masing alternatif bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
Formulasi kebijakan adalah tahap yang paling krusial karena keberhasilan tahap
selanjutnya tergantung pada keberhasilan tahap formulasi, begitupun kegagalan suatu
kebijakan dapat disebabkan ketidaksempurnaan tahap formulasi.
Formulasi kebijakan menurut Winarno (1989), dibagi menjadi dua kegiatan yaitu:
a. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus
dilakukan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang
dipilih.
b. Kegiatan kedua adalah mengarahkan bagaimana keputusan kebijakan dibuat, dalam
hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh pejabat atau lembaga
21.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 13
resmi untuk menyetujui, mengubah, atau menolak suatu alternatif kebijakan yang
dipilih.
Sejalan dengan pendapat Winarno, menurut Islamy (1991) formulasi kebijakan terbagi ke
dalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan
usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian kebijakan.
3. Adopsi/Legitimasi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,
pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.
Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga
negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa
tindakan pemerintah adalah sah.
Tahap adopsi merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan
stakeholders. Tahap ini menurut Effendi (2001), dilakukan setelah melalui proses
rekomendasi dengan langkah‐langkah sebagai berikut:
a. mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk
merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan teknik langkah terbaik
dalam upaya mencapai tujuan tertentu;
b. mengidentifikasi kriteria‐kriteria untuk menilai alternatif yang akan
direkomendasikan;
c. mengevaluasi alternatif‐alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria‐kriteria
yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar daripada efek
negatif yang timbul.
4. Implementasi Kebijakan
Program kebijakan hanya akan menjadi catatan elit semata, jika program tersebut tidak
diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan sebuah kebijakan yang telah diambil
22.
14 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh
badan‐badan administrasi maupun agen‐agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan
yang telah diambil dilaksanakan oleh unit‐unit administrasi yang memobilisasikan sumber
daya finansial dan manusia.
Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun
beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
Pada tahap implementasi, berbagai kegiatan diarahkan untuk merealisasikan program,
antara lain:
a. mengatur sumber daya, unit, dan metode untuk melaksanakan program;
b. menginterprestasikan/menerjemahkan bahasa/istilah dalam kebijakan ke rencana
atau petunjuk yang dapat diterima dan feasible;
c. menerapkan kebijakan yang telah diseleksi dalam rangka merealisasikan tujuan
kebijakan.
Tidak kalah penting dalam tahap ini adalah persiapan implementasi yaitu memikirkan dan
mengkalkulasi secara matang berbagai kemungkinan keberhasilan atau kegagalan,
termasuk hambatan atau peluang yang ada dan kemampuan organisasi atau institusi yang
diserahi tugas untuk melakukan program.
5. Adaptasi Kebijakan
Tahapan adaptasi kebijakan adalah tahapan di mana terjadi perubahan atau penyesuaian
suatu kebijakan karena adanya kondisi atau keadaan yang sebelumnya tidak diketahui.
6. Suksesi Kebijakan
Tahap suksesi kebijakan adalah tahapan di mana suatu kebijakan diputuskan untuk
dilanjutkan namun dengan tujuan atau target pencapaian yang baru.
23.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 15
7. Penghentian kebijakan
Tahap ini terjadi manakala suatu kebijakan dihentikan implementasinya karena berbagai
alasan.
8. Penilaian/Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat
sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik
pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, dalam hal ini memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran‐ukuran atau
kriteria‐kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih
dampak yang diinginkan.
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dan dampak.
Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh
proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalah‐masalah kebijakan, program‐program yang diusulkan, implementasi, maupun
tahap dampak kebijakan.
Evaluasi kebijakan dimaksudkan antara lain untuk mengetahui proses pembuatan
kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan, dan efektivitas dampak kebijakan.
Tahap ini selalu disertai prosedur analisis kebijakan, yang dimulai dengan perumusan
masalah, peramalan/prediksi, rekomendasi, pemantauan, serta evaluasi.
D. PERAN AUDITOR
Sesuai dengan standar audit APIP dan IIA, peran auditor intern dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis yaitu assurance dan consulting. Kegiatan assurance atau penjaminan adalah
pemeriksaan bukti‐bukti secara objektif untuk memberikan penilaian independen tentang
manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola. Yang termasuk dalam kegiatan
penjaminan adalah audit, reviu, pemantauan, dan evaluasi.
24.
16 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Kegiatan consulting atau konsultansi adalah pemberian saran terkait aktivitas organisasi di mana
sifat dan lingkup penugasan disepakati bersama untuk memberikan nilai tambah dan perbaikan
risiko, pengendalian, dan proses tata kelola organisasi. Yang termasuk dalam kegiatan ini adalah
asistensi, sosialisasi, dan konsultansi.
Dalam analisis kebijakan publik, auditor internal bisa melakukan dua jenis penugasan yaitu
assurance dan consulting. Bentuk peran auditor internal dalam keseluruhan proses penyusunan
kebijakan publik tergambar pada gambar berikut.
~
APIP
Assurance
Consulting
1. Evaluasi/Analisis Kebijakan
2. Investigasi Dampak Kebijakan
3. Audit atas Kebijakan
1. Memberikan konsultansi pada
seluruh tahapan kebijakan
publik
2. Memberikan konsultansi dalam
rangka menilai dampak
kebijakan
3. Permintaan lain dari aktor
kebijakan
25.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 17
Bab III
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat diharapkan mampu memahami
proses, kerangka, dan teknik analisis kebijakan publik.
Istilah evaluasi kebijakan publik lebih dikenal dibandingkan dengan analisis kebijakan publik.
Secara sederhana evaluasi kebijakan publik merupakan bagian dari proses penyusunan
kebijakan. Evaluasi dilakukan oleh pembuat kebijakan publik dan/atau tim yang terlibat dalam
proses kebijakan publik. Dengan demikian kerangka evaluasi mengikuti kerangka keilmuan
(asumsi‐asumsi teori dasar) yang dikembangkan dalam penyusunan kebijakan publik.
Sedangkan analisis kebijakan publik mempunyai pengertian yang lebih luas karena merupakan
pengkajian terhadap seluruh tahapan penyusunan kebijakan publik untuk memberikan solusi
pemecahan masalah. Pendekatan keilmuan dalam melakukan analisis sangat beragam, apakah
pendekatan ekonomik, politik, sosial, ataupun pendekatan lain dan gabungan dari teori tersebut
seperti ekonomi politik, sosial politik, dan lainnya. Pendekatan sangat tergantung dari latar
belakang analis kebijakan publik.
Analisis kebijakan publik didefinisikan beragam oleh pakar sesuai dengan pendekatan
kepakarannya. Weimer & Vining (1992:1) merumuskan analisis kebijakan publik sebagai nasihat
(advice) yang berorientasi pelanggan yang relevan dengan keputusan‐keputusan publik dan
didasarkan pada nilai‐nilai sosial. Pengertian lain diungkapkan oleh Dunn (1981:35) yang
menyatakan bahwa analisis kebijakan merupakan suatu ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai metode pengkajian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan
informasi yang relevan untuk kebijakan yang dapat digunakan dalam koridor politik guna
memecahkan permasalahan kebijakan publik. Pengertian dari Hamdi (2014:115) menyatakan
bahwa fokus dari analisis kebijakan adalah merumuskan berbagai alternatif dan memilih salah
satu di antaranya untuk merekomendasikan suatu kebijakan yang akan ditetapkan.
26.
18 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Dari pengertian‐pengertian yang disampaikan para ahli tersebut, ditarik kesimpulan bahwa
analisis kebijakan merupakan kajian yang berdasarkan pada berbagai ilmu dalam rangka
memberikan rekomendasi perbaikan atas proses penyusunan kebijakan.
Wiliam Dunn dalam buku terbarunya Public Policy Analisys 5th
Edition (2013), menyebutkan
perbedaan mendasar evaluasi dan analisis melalui gambar sebagai berikut.
Gambar 1
Sumber: Public Policy Analysis, Dunn:5th
Gambar 2
Sumber: Public Policy Analysis, Dunn:5th
Analisis kebijakan dilakukan
oleh staf yang terlatih dan
dilakukan pada informasi
untuk kebijakan, dokumentasi
kebijakan, komunikasi
kebijakan, dan proses
pembuatan kebijakan.
Dari penjelasan gambar
seorang analis akan melakukan
analisis pada seluruh tahapan
kebijakan.
Evaluasi kebijakan merupakan
proses dalam penyusunan
kebijakan.
Evaluasi dilakukan setelah
kebijakan diimplementasikan
dan untuk menguji apakah
problem dapat dipecahkan
atau tidak.
Di samping itu evaluasi
dilakukan setelah proses
monitoring pelaksanaan
kebijakan yang dipilih.
27.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 19
Perbedaan antara evaluasi kebijakan publik dengan analisis kebijakan publik dapat disarikan
lebih rinci sebagai berikut.
Uraian Evaluasi Analisis
1. Personel Dilakukan oleh staf/personel yang
terlibat dalam penyusunan
kebijakan
Tidak terbatas pada staf/personel
yang terlibat dalam penyusunan
kebijakan, seperti akademisi, pakar
kebijakan, NGO, dll.
2. Ruang Lingkup Ditentukan oleh pembuat
kebijakan
Ditentukan oleh analis kebijakan
3. Batasan keilmuan Hanya mencakup batasan‐batasan
yang diasumsikan dalam
penyusunan kebijakan
Tidak hanya mencakup batasan yg
diasumsikan dalam penyusunan
kebijakan namun bisa meluas
sesuai dengan minat analisnya
4. Waktu melaksanakan Dilakukan setelah kebijakan di
implementasikan
Dapat dilakukan pada seluruh fase
penyusunan kebijakan
5. Stakeholder Pembuat kebijakan dan sasaran
kebijakan
Pembuat kebijakan, sasaran
kebijakan, masyarakat luas.
Seorang/tim analis kebijakan atau personel yang melakukan analisis menurut Weimer & Vining
(Hamdi:2014) paling tidak harus memiliki lima keterampilan dasar sebagai berikut.
1. Kemampuan meletakkan masalah sosial yang dipersepsikan dalam konteks yang tepat.
2. Keterampilan teknis yang memungkinkannya untuk memprediksi dan mengevaluasi
konsekuensi dari berbagai kebijakan alternatif.
3. Kemampuan untuk mengomunikasikan secara efektif hasil analisisnya kepada masyarakat
dan para pembuat keputusan politik.
4. Kemampuan untuk memahami konteks politik dan kelembagaan tempat kebijakan
dilakukan, termasuk pandangan klien yang potensial dan penentangnya.
5. Memliki etika profesi untuk membimbing interaksinya dengan klien.
Jika melihat lima keterampilan dasar yang dibutuhkan oleh analis kebijakan publik maka auditor
madya pada APIP bisa dikategorikan memenuhi persyaratan tersebut. Di samping lima
keterampilan tersebut, seorang analis kebijakan harus memahami proses penyusunan
28.
20 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
kebijakan, aktor publik pembuat kebijakan, dan tujuan dilakukan kebijakan, yaitu pemecahan
masalah. Pemahaman tentang proses, aktor, dan tujuan kebijakan sudah didapat pada saat
menempuh sertifikasi auditor muda.
Analisis kebijakan, seperti dijelaskan sebelumnya, dapat dilakukan pada setiap tingkatan
perumusan kebijakan. Hamdi (2014:126) membagi menjadi empat tingkatan analisis kebijakan
yaitu:
1. Analisis Meta
Analisis meta mempunyai filosofi bahwa kebijakan berproses seperti metamorphosis
(metapora), yang penekanannya pada pendekatan penyusunan kebijakan dan bahasa yang
digunakan dalam kebijakan. Analisis ini dilakukan pada tahap penyusunan masalah.
2. Analisis Meso
Analisis meso adalah analisis terhadap definisi masalah, penetapan agenda, dan
pembentukan kebijakan. Analisis ini dilakukan secara menyeluruh terkait dengan definisi
masalah, penetapan agenda, pengambilan keputusan, serta implementasi kebijakan.
3. Analisis Keputusan
Analisis keputusan merupakan analisis terhadap proses pembuatan keputusan atas
alternatif‐alternatif kebijakan. Perhatian pokok adalah “siapa mendapat apa, kapan, dan
bagaimana”. Analisis ini dilakukan pada tahap pengambilan keputusan atas kebijakan.
4. Analisis Pelaksanaan
Analisis pelaksanaan merupakan analisis terhadap implementasi, evaluasi, dan dampak
dari suatu kebijakan. Analisis pelaksanaan berfokus pada tujuan yang ingin dicapai dari
sebuah kebijakan. Analisis dilakukan pada tahap evaluasi atau menilai hasil dari kebijakan.
Analisis ini merupakan pendekatan yang paling memungkinkan bagi APIP untuk
mengambil peran secara aktif, walaupun analisis yang lain tidak ditutup kemungkinannya
untuk dilakukan oleh APIP.
29.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 21
A. PROSES ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Proses analisis sangat tergantung pada latar belakang profesi dan keilmuan masing‐masing
analis. Bagi auditor tentunya tidak lepas dari profesinya sebagai auditor dalam melakukan
proses audit yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Para ahli kebijakan publik mempunyai berbagai pendapat tentang tahapan proses analisis
kebijakan. CV Patton dan DS Sawicki (1986) menyampaikan 6 (enam) langkah yaitu:
1. verifikasi, definisi, dan detail permasalahan;
2. tetapkan kriteria evaluasi;
3. identifikasi alternatif kebijakan‐kebijakan;
4. evaluasi kebijakan‐kebijakan;
5. sampaikan alernatif kebijakan yang dipilih;
6. monitor outcome dari kebijakan yang dipilih.
Kraft & Furlong (2007:98) menyatakan 5 (lima) langkah dalam melakukan analisis kebijakan
yaitu:
1. mendefinisikan dan menganalisis masalah;
2. merumuskan alternatif kebijakan;
3. membangun kriteria evaluasi;
4. menilai alternatif;
5. menarik kesimpulan.
Hamdi (2014:115) menyatakan bahwa proses analisis kebijakan terdiri dari 3 (tiga) tahapan
utama dan satu langkah berupa makalah yaitu :
1. perumusan masalah kebijakan;
2. perumusan alternatif kebijakan;
3. pemilihan alternatif kebijakan;
4. penyusunan makalah kebijakan (policy paper).
30.
22 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Peran terbaru auditor internal adalah assurance dan consulting. Dengan peran tersebut maka
APIP dapat diperankan dalam seluruh tahapan penyusunan kebijakan publik. Namun peran
tersebut dapat efektif jika sember daya yang tersedia khususnya sumber daya manusianya telah
mempunyai kompetensi sebagai seorang analis kebijakan. Dengan keterbatasan latar belakang
sumber daya manusia pada APIP yang kompetensi dasarnya adalah auditor, maka analisis
kebijakan dalam modul ini kami batasi pada analisis kebijakan pasca‐implementasi kebijakan,
yaitu dalam rangka membantu aktor publik (penyelenggara pemerintah pusat/daerah) dalam
memastikan tingkat efektivitas dan efisiensi implementasi kebijakan serta memberikan
rekomendasi/saran perbaikan.
Tahapan‐tahapan proses analisis yang disampaikan oleh para ahli kebijakan tersebut menjadi
referensi dan dipadukan dengan tahapan audit kinerja/operasional. Sehingga tahapan pokok
analisis kebijakannya terdiri dari:
1. persiapan analisis;
2. pemilihan kriteria dan teknik analisis;
3. penilaian pengendalian kebijakan;
4. pelaksanaan analisis;
5. pelaporan hasil analisis.
1. Persiapan Analisis
Auditor ketika berperan sebagai analis kebijakan pada tahap awal harus melakukan
perisiapan analisis yang mencakup hal‐hal berikut.
a. Mendapatkan dokumen kebijakan publik (undang‐undang, peraturan pemerintah,
keputusan presiden, keputusan menteri/ketua lembaga, peraturan daerah,
keputusan kepala daerah, dan keputusan‐keputusan lain yang dikeluarkan oleh
aktor publik) termasuk dokumen penyusunan kebijakan. Contoh:
Dasar hukum 3 in1 di Provinsi DKI Jakarta adalah Keputusan Gubernur Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4104/2003 Tanggal 23 Desember 2003.
Tujuan program ini adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas (kemacetan)
di jalur‐jalur tertentu dengan prinsip keadilan.
31.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 23
b. Memverifikasi, mendefinisikan, dan mendetilkan masalah yang akan dipecahkan
dengan kebijakan. Analis harus bisa mendefinisikan masalah yang diatasi dan definisi
kebijakan yang telah dipilih.
Contoh definisi masalah: Kepadatan lalu lintas (kemacetan) pada jalur jalan
tertentu sehingga dirasakan mengganggu.
Contoh definisi kebijakan: Penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan
kewajiban mengangkut paling sedikit 3 orang
penumpang per kendaraan pada ruas‐ruas jalan
tertentu di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
c. Membangun kerangka logis utama, yaitu pemecahan sebuah masalah melalui
kebijakan. Kerangka logis digambarkan sebagai berikut.
Gambar tersebut menunjukkan kerangka sederhana yaitu sebuah masalah di
identifikasi kemudian dipilih sebuah kebijakan hingga menghasilkan pemecahan
masalah. Bagi seorang auditor hal ini tidak menjadi masalah karena sudah terbiasa
menyusun temuan dan sudah memahami system blackbox atau dikenal dengan
input process output. Bangun model logic tersebut di atas dapat dibuat oleh
auditor berdasarkan dokumen‐dokumen dari aktor publik (pemerintah pusat atau
pemerintah daerah) pada saat menyusun kebijakan publik dan produk kebijakan
yang telah ditetapkan. Contoh sederhana, Pemerintah Provinsi DKI membuat
kebijakan three in one pada jalan tertentu, kebijakan ini mengharuskan setiap mobil
pribadi yang melintasi jalan tertentu dan waktu tertentu harus berisi minimal 3 (tiga)
orang termasuk pengemudi. Kebijakan ini bertujuan mengatasi kemacetan di jalan
tertentu dan pada waktu tertentu. Kerangka logis yang bisa disusun adalah sebagai
berikut.
32.
24 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
d. Pemahaman hubungan sebab‐akibat (causality), dari model logic yang telah
terbangun, maka auditor sebagai analis mulai mencari hubungan sebab akibat dari
masalah yang akan dipecahkan dengan kebijakan yang dibuat/diputuskan.
Pertanyaan mendasar bagi analis adalah “apakah masuk akal pengaruh dari
kebijakan tersebut dapat menyelesaikan masalah?”. Dalam membangun hubungan
sebab akibat maka para analis mencoba menjawab pertanyaan‐pertanyaan sebagai
berikut.
1) Apakah penyebab dari masalah yang timbul sudah teridentifikasi?
2) Apakah masalah yang ada disebabkan oleh tidak adanya kebijakan yang
mengatur?
3) Apakah kebijakan disusun berdasarkan inventarisasi masalah yang ada?
4) Apakah hasil yang diperkirakan dari sebuah kebijakan merupakan akibat
langsung dari kebijakan?
5) Apakah kebijakan yang dipilih mengatasi penyebab masalah?
Jika kelima pertanyaan tersebut terjawab dan jawabanya “ya”, maka hubungan
sebab akibat sudah dapat terbangun. Dalam praktiknya, auditor harus menelaah
dokumen‐dokumen kebijakan publik baik pada saat penyusunan, implementasi,
pemonitoran, dan evaluasi kebijakan yang dimiliki aktor publik. Contoh: lanjutan
kebijakan pembatasan penumpang atau dikenal dengan three in one yang dilakukan
oleh Pemda DKI, secara mendasar pertanyaan‐pertanyaan tersebut terjawab dengan
“ya”. Masalah yang timbul pada ruas jalan tertentu dan waktu tertentu dipadati
dengan mobil pribadi yang penumpangnya 1 (satu) orang sehingga menimbulkan
kemacetan. Kebijakan terebut diambil supaya kemacetan bisa diminimalkan. Pada
awalnya kebijakan tersebut cukup efektif, namun di kemudian hari berkurang
efektivitasnya karena timbul joki (orang yang menjadi penumpang dengan mendapat
bayaran), hal ini sesuai dengan komentar aktor publik saat itu.
Merdeka.com ‐ Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mengakui adanya
penyimpangan dalam penerapan sistem 3 in 1 yang dilakukan pada jam‐jam tertentu.
Menurutnya saat ini malah banyak orang yang memanfaatkan penerapan sistem
tersebut, misalnya seperti joki 3 in 1. "Orang joki‐nya segitu banyaknya, mau efektif
bagaimana," kata Jokowi di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (24/12).
33.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 25
Dalam membangun hubungan sebab‐akibat, auditor harus memperhitungkan time
frame yang sama dengan aktor publik pada saat penyusunan kebijakan, bukan pada
saat auditor ditugaskan melakukan analisis kebijakan publik. Hal ini bermanfaat
mengurangi bias yang terjadi karena pengambilan waktu yang berbeda dapat
menghasilkan hubungan sebab‐akibat yang tidak normal. Kondisi ini normal karena
dinamika publik yang terus bergerak dan kemungkinan adanya pengaruh negatif
yang tidak diperhitungkan pada saat perumusan kebijakan.
2. Pemilihan Kriteria dan Teknik Analisis
Pada tahap ini seorang analis kebijakan membangun kriteria analisis dan teknik analisis,
karena kalau tidak dibatasi maka akan melebar dan ranahnya menjadi tidak jelas,
terutama jika dikaitkan dengan keilmuan yang menjadi dasar pengukuran. Dalam dunia
audit, para auditor biasa membangun kriteria dan teknik audit yang akan diterapkan. Perlu
diingat, pilihan kriteria dan teknik analisis disampaikan dan didiskusikan kepada aktor
pembuat kebijakan sehingga tercapai kesamaan persepsi.
Pemilihan Kriteria
Pemilihan kriteria yaitu membangun dimensi yang akan digunakan sebagai alat ukur
dalam melakukan analisis kebijakan. Membangun kriteria bisa dari sisi ilmu ekonomi, ilmu
politik, dan ilmu sosial lainnya.
(Swinburn, Gill, & Kumanyika. 2005), we have broken down these two axes into six
analytical dimensions that influence decision‐making about public policies (Table 1):
effectiveness, unintended effects, equity, cost, feasibility, and acceptability.
Dibutuhkan dua sudut pandang dalam melakukan analisis yaitu berfokus pada pengaruh‐
pengaruh kebijakan yang dipelajari dan pada isu‐isu yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan. Dalam dimensi ilmu politik, terdapat enam dimensi dalam melakukan analisis
kebijakan yaitu tingkat efektivitas atau pengaruh yang diharapkan dalam pemecahan
masalah, pengaruh‐pengaruh yang tidak diinginkan, keadilan, biaya, fisibilitas, dan
aksesibilitas.
34.
26 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Tabel 1 Dimensi untuk analisis kebijakan publik
Pengaruh‐
pengaruh
(effects)
Tingkat efektivitas
(effectiveness)
Apa pengaruh kebijakan terhadap
masalah yang akan terselesaikan pada
kelompok masyarakat target?
Pengaruh‐pengaruh yg
tidak diinginkan
(unintended effects)
Apa pengaruh‐pengaruh yang tidak
diperkirakan dari kebijakan ini?
Keadilan (equity) Apa pengaruh dari kebijakan terhadap
masyarakat di luar masyarakat yang
ditargetkan?
Penerapan
(implementation)
Biaya (cost) Apa dan berapa biaya (keuangan) dari
kebijakan ini?
Kelayakan (feasibility) Apakah kebijakan ini layak secara teknis?
Tingkat penerimaan
(acceptability)
Para pemangku kepentingan melihat
apakah kebijakan diterima dalam tingkat
yang memadai?
Sumber: Institut National de Santé Publique Quebeq, diolah
Pengaruh‐pengaruh kebijakan merupakan fokus pertama dalam analisis kebijakan, yang
efektivitas kebijakannya diukur berdasarkan pengaruh kebijakan terhadap masalah yang
selama ini akan dipecahkan pada masyarakat target. Pengaruh‐pengaruh yang ditimbulkan
dari kebijakan diklasifikasikan kepada tiga pengaruh yaitu pengaruh penyelesaian masalah
publik (problem solving), pengaruh negatif/tidak diinginkan (unintended effects), dan
keadilan bagi masyarakat di luar target kebijakan. Pada fokus pengaruh‐pengaruh
kebijakan secara logis terbentuk kriteria optimal yaitu masalah terselesaikan, pengaruh
yang tidak diinginkan tidak timbul, dan masyarakat di luar target kebijakan merasa
diperlakukan secara adil. Dalam membangun kriteria ini, auditor selaku analis mendapat
data dari dokumen dan wawancara dengan penyusun kebijakan.
Fokus kedua dari analisis kebijakan publik adalah penerapan kebijakan yang terdiri dari
tiga dimensi yaitu biaya, kelayakan, dan tingkat aksesibilitas/penerimaan terhadap sebuah
kebijakan. Dimensi biaya dari sudut keuangan adalah berapa biaya yang dikeluarkan,
meliputi biaya apa saja yang timbul dari penerapan kebijakan baik biaya yang dikeluarkan
oleh pembuat kebijakan ataupun penerima kebijakan. Kriteria yang dibangun oleh analis
adalah biaya (rupiah) dari perumusan kebijakan sampai dengan implementasi dan
monitoring/evaluasi. Biasanya dari pengeluaran pemerintah selaku pembuat kebijakan.
35.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 27
Penelusuran dapat dilakukan dari dokumen anggaran pemerintah (APBN/D). Berapa
rupiah yang dianggarkan dan berapa rupiah yang telah direalisasikan. Kriteria berikutnya
yang harus disusun adalah terkait dengan kelayakan/fisibilitas dari kebijakan di mana
analis harus mengembangkan kriteria yaitu apakah kebijakan sudah melalui studi
kelayakan sebelum diterapkan dan studinya menyatakan bahwa kebijakan tersebut layak
diimplementasikan. Dimensi selanjutnya adalah aksesibilitas atau tingkat penerimaan dari
masyarakat target kebijakan di mana perlu dibangun kriteria bentuk/wujud penerimaan
dari masyarakat atas sebuah kebijakan. Contoh sederhana dari aksesibilitas dari
masyarakat adalah tidak adanya protes dari masyarakat di berbagai media dan
masyarakat antusias serta mendukung dengan mengikuti kebijakan yang diimplementasi.
Pengembangan kriteria untuk keenam dimensi yang dijelaskan di atas bukanlah
merupakan pedoman yang mengikat karena yang dijelaskan bersifat panduan praktis,
sehingga APIP boleh menambahkan sesuai dengan kebutuhan.
Teknik Analisis pada Tahapan Persiapan
Auditor selaku analis harus mempertimbangkan teknik analisis yang akan digunakan
dalam analisis sebuah kebijakan. Kesesuaian teknik analisis dengan jenis kebijakan yang
akan dianalisis harus diperhatikan supaya menghasilkan hasil yang optimal. Pemilihan
teknik analisis juga berpengaruh terhadap metode pengumpulan data pada tahap
pengumpulan data, baik menggunakan data primer ataupun data sekunder.
Teknik analisis pada dasarnya bersandar pada metode riset yang telah berlaku atau teruji
secara ilmiah dengan konsep dasar “let’s data talk” atau biarkan data yang berbicara
untuk menghindari subjektifitas. Pendekatan metode riset yang diperkenankan adalah
pendekatan kualitatif, kuantitatif, statistic probability, atau non‐probability. Sesuai dengan
definisi analisis kebijakan yang merupakan ilmu terapan di bidang sosial, maka
pendekatan dari berbagai ilmu tidak dipermasalahkan.
Beberapa teknik analisis kebijakan yang sudah lazim digunakan adalah:
a. analisis diskripsi
b. analisis isi (content analysis)
c. analisis stakeholder
36.
28 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
d. analisis SWOT (Stenght Weaknes Opportunities and Threats)
e. analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)
f. analisis CBA (Cost Benefid Analysis)
g. teknik analisis yang lain
Pemilihan teknik analisis sangat tergantung pada data yang tersedia dan pemahaman
auditor/analis tentang teknik analisis yang dipilih.
3. Penilaian Pengendalian kebijakan
Pembuat kebijakan harus melakukan pengendalian atas kebijakan. Auditor/analis
melakukan penilaian atas pengendalian yang dibangun oleh pembuat kebijakan, seperti
kapan dilakukan pemonitoran kebijakan, perbaikan dari hasil pemonitoran, dan tindakan
perbaikan yang diambil untuk memperbaiki atau mengoreksi kebijakan. Penilaian
pengendalian kebijakan dapat menggunakan kriteria‐kriteria SPIP sesuai dengan
PP 60/2008. Substansi pengendalian adalah tujuan dari kebijakan dapat tercapai, sehingga
dibutuhkan aktivitas‐aktivitas untuk menjamin tujuan bisa terselesaikan/tercapai.
4. Pelaksanaan Analisis
Pelaksanaan analisis merupakan rangkaian selanjutnya setelah melakukan persiapan dan
penilaian pengendalian di mana pada tahap ini auditor/analis memulai dengan
mengumpulkan data. Pengumpulan data sangat dipengaruhi oleh kerangka logis yang
dibangun dan metode pengumpulan datanya. Kerangka logis yang telah dibangun secara
sederhana pada tahap persiapan dikembangkan lagi menjadi lebih terperinci dengan
memasukkan dimensi pengaruh‐pengaruh. Contoh pengembangan kerangka logis yang
dibangun oleh analis ditampilkan pada gambar berikut.
37.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 29
Gambar: 1 Contoh skema logis kebijakan Pemberian label nutrisi
Label
nutrisi
Konsumen
membaca
Konsumen
paham Konsumen
yg
memahami
informasi
Membeli
makan yg
sehat
Melakukan
diet sehat Terjaga
dari
kegemuk
an
kebijakan
Pengaruh jangka menengah dari kebijakan
Pengaruh
jangka
panjang
kebijakan
yaitu
pemecahan
masalah
Dari gambar di atas kita bisa mempelajari kerangka logis kebijakan di bidang kesehatan.
Kebijakan tersebut adalah pemberian label nutrisi pada makanan‐makanan yang ditujukan
untuk pencegahan kegemukan. Dalam gambar terbaca ada pengaruh jangka menengah
seperti konsumen membaca, konsumen paham, konsumen yang memahami informasi,
konsumen mengubah perilakunya yaitu membeli makanan sehat atau melakukan diet.
Sedangkan pengaruh jangka panjang atau pengaruh akhir yang diharapkan adalah
masyarakat terjaga/terlindungi dari kegemukan.
Auditor/analis dalam rangka melakukan analisis kebijakan membutuhkan data dan
informasi. Oleh karena itu, auditor harus mengumpulkan data‐data dasar terlebih dahulu
baik dari masyarakat, pembuat kebijakan, pakar/ahli di bidangnya, ataupun stakeholder
lainnya. Metode pencarian data tercantum pada tabel 2. Data dan informasi yang
terkumpul disaring dan digunakan untuk menarik kesimpulan hasil analisis. Metode
mendapatkan data yang dipilih auditor selaku evaluator atau analis sebaiknya
dikomunikasikan kepada aktor pembuat kebijakan agar mendapatkan kesamaan
pandangan serta pemahaman bersama bagaimana data akan diambil dan diolah.
Tabel 2 Metode‐metode mendapatkan data
Uraian
Waktu yg
dibutuhkan
Kompetensi
khusus
Robustness
Keterkaitan
konteks
Refleksi
Individu
Mendapatkan
jawaban dari
pertanyaan
yang
disebarkan
Beberapa jam Tidak 1(satu) satu
sumber
dengan
pengetahuan
Ya
38.
30 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Uraian
Waktu yg
dibutuhkan
Kompetensi
khusus
Robustness
Keterkaitan
konteks
(survey,
quisenaire)
informal
Curah gagas
kelompok
Mendapatkan
jawaban dari
pertanyaan
yang sudah
diringkas
Dari beberapa
jam sampai
dengan
beberapa hari
Tidak Pengetahuan
informal tetapi
digabungkan
dengan
beberapa
sumber untuk
memperkaya
refleksi
keilmuan
Ya
Konsultasi
dengan pakar
Mengunakan
pertanyaan
yang sudah
diringkas
untuk
mendapatkan
jawaban dari
pakar?
Beberapa hari Tidak Pengetahuan
kepakaran
tetapi hanya
satu pakar
Tergantung
kepada pakar
memahami
permasalahan
secara
memadai
Proses
konsultansi
berbagai pihak
Mengundang
bersamaan
para
pemangku
kepentingan
terkait (para
pakar,
pembuat
keputusan,
tokoh
masyarkat).
Fasilitator
memberikan
pertanyaan‐
pertanyaan
yang telah
diringkas dan
disiapkan
Beberapa
minggu
Melakukan
fasilitasi atau
analisis atau
sintesis atas
data‐data yang
signifikan
Beberapa
keahlian
dibutuhkan
untuk
melakukan
interaksi dari
berbagai
perspektif
Ya
Reviu
kepustakaan
Pertanyaan‐
pertanyaan
yang sudah
diringkas dan
dibuat daftar
kemudian
Beberapa
bulan
Penelusuran
dokumentasi
untuk
dilakukan
analisis/
sintesis
Berbagai
sumber,
diperlukan
kredibilitas
publikasi
ilmiah, dan
Ya, apabila
data yang
digambarkan
dapat dipakai
dalam konteks
kebijakan. Di
39.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 31
Uraian
Waktu yg
dibutuhkan
Kompetensi
khusus
Robustness
Keterkaitan
konteks
dicarikan
jawaban
berdasarkan
referensi
kepustakaan
(laporan riset,
artikel ilmiah,
opini publik yg
di‐polling,
deklarasi
publik, dll.)
terhadap
sejumlah data
prosesnya
yang metodis
sisi lain data
yang didapat
bisa di‐
interpolasikan
untuk menarik
simpulan.
Melakukan
sintesis
pengetahuan
termasuk
konsultansi
berbagai pihak
Menggabung‐
kan studi
literatur
dengan proses
deliberasi
(meminta
pendapat
pemangku
kepentingan)
Beberapa
bulan
Penelusuran
dokumen.
Analasis
dan/atau
sintesis
sejumlah data
Berbagai
sumber,
diperlukan
kredibilitas
publikasi
ilmiah, dan
prosesnya
yang metodis
Ya, mengkuti
proses
deliberasi
Sumber: Institut national de santé publique, Quebec, diolah
Metode‐metode mendapatkan data tersebut merupakan dasar untuk membangun
kerangka logis dari sebuah kebijakan dan proses analisis untuk menarik kesimpulan.
5. Pelaporan Analisis
Pelaporan hasil analisis kebijakan berisi dua hal pokok yaitu simpulan dan saran/
rekomendasi perbaikan. Berbagai bentuk penyajian/penginformasian hasil analisis kepada
para pemangku kepentingan tidak bisa dijadikan standar pasti. Penyampaian bisa dalam
bentuk surat ataupun bentuk bab, namun penyampaian dalam bentuk bab lebih
diutamakan mengingat penarikan kesimpulan hasil analisis haruslah metodis dan ilmiah,
serta didukung data‐data yang valid dan robustness. Bentuk laporan analisis/evaluasi yang
saat ini disusun oleh BPKP adalah sebagai berikut.
40.
32 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Ringkasan Eksekutif
Daftar Isi
BAB I Simpulan dan Saran
A. Simpulan
B. Saran
BAB II Gambaran Umum
A. Latar Belakang
B. Maksud dan Tujuan
C. Ruang Lingkup
D. Output dan Outcome
E. Metodologi
1. Studi Literatur
2. Diskusi Internal (menentukan kriteria analisis dan pengumpulan
data)
3. Penyusunan draft laporan
4. Pemaparan dan Pembahasan
5. Penyusunan Laporan Final
BAB III Hasil Kajian
A. Hasil Telaah Isi
B. Hasil Uji Konsistensi
C. Hasil Uji dengan Referensi Kriteria
D. Identifikasi Tindak Lanjut
LAMPIRAN
Pelaporan hasil analisis/evaluasi yang disusun oleh BPKP disampaikan dalam bentuk
diskripsi atau narasi dengan didukung tabel‐tabel data/informasi. Pelaporan dalam bentuk
lain yaitu menampilkan simpulan‐simpulan yang berbentuk skor atas keenam dimensi
analisis. Cara pelaporan atau penginformasian simpulan dengan model skor lebih mudah
dipahami dan sederhana. Contoh pelaporan dengan bentuk pen‐skor‐an adalah pada
tabel 3. Penyajian hasil analisis ini dikembangkan oleh Institut National de Santé Publique
Quebec, Kanada.
41.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 33
Tabel 3 Presentasi menggunakan penskoran
Kebijakan
Tingkat
Efektivitas
Pengaruh2
yg tidak
diharapkan
Keadilan Biaya Fisibilitas
Aksepsibili
tas
Kebijakan A ++ ‐ +++ + ‐ ‐‐
Kebijakan B + + ‐ ‐ ++ +
Sumber: Institut National de Santé Publique Quebec, diolah.
Pembacaan dari hasil analisis tersebut adalah sebagai berikut.
a. Dimensi tingkat efektivitas, jika bernilai negatif (‐) mengartikan tidak efektif. Jika
makin banyak negatifnya, menunjukkan lebih besar ketidakefektifannya. Jika bernilai
(+) menunjukkan efektif. Semakin banyak tanda posistif menunjukkan tingkatan
efektif yang lebih tinggi.
b. Dimensi pengaruh yang tidak diharapkan, jika bernilai negatif (‐) mengartikan tidak
ada pengaruh yang tidak diharapkan. Jika bernilai (+) menunjukkan ada pengaruh
yang tidak diharapkan. Semakin banyak tanda posistif menunjukkan tingkatan
pengaruh yang tidak diharapkan makin besar.
c. Dimensi keadilan, jika bernilai negatif (‐) mengartikan tidak adil. Jika makin banyak
negatifnya, menunjukkan lebih besar ketidakadilan. Jika bernilai (+) menunjukkan
keadilan. Semakin banyak tanda posistif menunjukkan tingkatan keadilan yang lebih
tinggi;
d. Dimensi biaya, jika bernilai negatif (‐) mengartikan biaya yang dikeluarkan tidak
ekonomis. Jika makin banyak negatifnya, menunjukkan lebih besar
ketidakekonomisan. Jika bernilai (+) menunjukkan biaya ekonomis. Semakin banyak
tanda posistif menunjukkan tingkatan ekonomis yang lebih tinggi.
e. Dimensi kelayakan/fisibilitas, jika bernilai negatif (‐) mengartikan tidak layak. Jika
makin banyak negatifnya maka menunjukkan lebih besar ketidaklayakannya. Jika
bernilai (+) menunjukkan kelayakan. Semakin banyak tanda posistif menunjukkan
tingkatan kelayakan yang lebih tinggi.
f. Dimensi aksesibilitas atau tingkat penerimaan, jika bernilai negatif (‐) mengartikan
tidak diterima atau ditolak. Jika makin banyak negatifnya maka menunjukkan lebih
42.
34 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
besar penolakannya. Jika bernilai (+) menunjukkan aksesibilitas atau penerimaan.
Semakin banyak tanda posistif menunjukkan tingkatan penerimaan yang lebih tinggi.
Keenam dimensi dapat dinilai secara simultan untuk menghasilkan simpulan analisis yang
komprehensif, namun dalam praktiknya bisa dibagi menjadi dua yaitu fokus pada
pengaruh‐pengaruh saja atau fokus pada implementasi kebijakan.
B. KERANGKA ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Auditor sebagai analis kebijakan seringkali terjebak dalam beberapa perdebatan yang tidak
berujung karena kerangka besarnya terlalu luas. Hamdi (2014:127) menyatakan bahwa analisis
kebijakan tidak berlangsung secara acak dan juga tidak berlangsung dalam ruang yang hampa
nilai. Analis harus betul‐betul memahami latar belakang keilmuan dari pembuat kebijakan,
dengan demikian analisis kebijakan akan mengikuti analisis keilmuan tertentu. Menurut Parsons
(1995:32), kerangka keilmuan dalam melakukan analisis kebijakan adalah sebagai berikut.
1. Ekonomi Kesejahteraan (welfare economics)
Pendekatan ini berlandasan bahwa individu‐individu diharapkan mampu membuat
keputusan‐keputusan sosial melalui mekanisme sosial yang pada akhirnya menghasilkan
kesejahteraan. Dalam pendekatan ini, institusi politik selaku pembuat kebijakan bisa
melakukan intervensi ataupun menggantikan pasar.
Contoh 1: Ketika mendekati hari raya di mana harga melambung, maka pemerintah
melakukan operasi pasar supaya harga stabil.
Contoh 2: Dalam mekanisme pasar harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah
mengintervensi pasar dengan melakukan subsidi untuk bahan bakar tertentu.
Dalam kerangka kesejahteraan ekonomi, aktor publik berpikir bagaimana cara
yang efisien untuk mempengaruhi pasar agar masyarakat sejahtera.
2. Pilihan Publik (public choice)
Pilihan publik mempunyai logika dasar menyerahkan pilihan pada individu‐individu melalui
pasar untuk memilih mana yang mensejahterakan mereka. Pilihan publik juga berargumen
bahwa pemerintah harus dibatasi dalam urusan masyarakat, pemerintah berperan
43.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 35
melengkapi pasar dan menjaga hak properti. Namun pilihan publik juga punya tantangan
dimana aktor publik merupakan individu anggota publik sehingga dalam membuat
kebijakan akan memaksimalkan kesejahteraan dirinya yaitu dengan mendistorsi pasar.
Contoh: Dalam kebutuhan energi listrik masyarakat tidak punya pilihan selain harus
berlangganan/membeli listrik ke PT PLN.
3. Struktur Sosial (social structure)
Struktur sosial merupakan pendekatan ilmu sosiologi, antara lain terkait dengan
pembagian kekuasaan, organisasi publik, dan masyarakat yang berkelompok.
4. Pemrosesan Informasi (information processing)
Pemrosesan data menjadi informasi merupakan proses yang cukup panjang yang di
dalamnya ada hambatan‐hambatan. Dalam membuat kebijakan, hal ini juga terjadi pada
inventarisasi masalah‐masalah publik yang dimasukkan dalam agenda kebijakan,
pemilihan‐pemilihan keputusan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan yang
merupakan rangkaian proses informasi dengan segala dinamikanya. Pendekatan ini pada
hakikatnya mengungkapkan bagaimana individu berhubungan dengan organisasi untuk
membuat keputusan.
5. Proses Politik (politic process)
Proses politik yang harus diikuti dalam pembuatan kebijakan publik di mana logika
dasarnya adalah kepentingan politik, yang dominan tentu akan menerima manfaat yang
besar. Dengan mudah dilihat jika mesin politik didominasi warna politik tertentu, maka
kebijakan publik yang dipilih tentu dimaksimalkan untuk konstituen warna politik yang
berkuasa. Analis, dalam dimensi analisis kebijakan terkait dengan dimensi equity/keadilan
dan aksesibilitas atau pernerimaan dari masyarakat.
Kerangka di atas menjadi batas‐batas dalam melakukan analisis kebijakan agar tidak terjebak
pada analisis yang asal‐ asalan atau hampa nilai. Pemilihan kerangka sangat penting karena
berhubungan dengan teknik analisis yang akan diterapkan oleh auditor sebagai analis.
44.
36 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Contoh: Kebijakan Pemprov DKI yaitu pembatasan lalu lintas pada ruas jalan dan waktu
tertentu (kebijakan three in one). Kita diminta melakukan analisis atas kebijakan
tersebut di mana kita bisa memilih pendekatan pilihan publik, dengan
kecenderungan hasil bahwa publik menjadi tersandera karena tidak bisa lewat
dengan leluasa pada jalan tertentu. Namun, jika menggunakan pendekatan ekonomi
kesejahteraan, maka timbul kesejahteraan bersama yaitu jalan lancar dan sebagian
masyarakat bisa memiliki lapangan kerja sebagai joki. Intinya, para analis dalam
melakukan analisis harus memahami pendekatan keilmuan yang menjadi latar
belakang pembuatan kebijakan, walaupun sebagian besar kebijakan publik
merupakan ranah ilmu politik.
C. TEKNIK ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
1. Analisis Diskriptif Kualitatif
Analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap
data yang diperoleh sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna dibandingkan dengan
sekedar angka‐angka. Urutan langkahnya adalah pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dengan bagan dan narasi, kemudian penarikan kesimpulan.
2. Analisis Isi (content analysis)
Analisis isi adalah sebuah teknik yang digunakan untuk menganalisis dan memahami teks/
tulisan/media. Menurut Asa Burger (2000:184), prosedur melakukan analisis adalah
sebagai berikut.
a. Memutuskan untuk menemukan sesuatu dan menawarkan sebuah hipotesis.
Contoh: mengatasi kemacetan, hipotesisnya adalah kemacetan bisa dikurangi pada
ruas jalan tertentu.
b. Menjelaskan pesan media yang akan diteliti dan menjelaskan alasan riset. Contoh:
analisis isi terhadap Kep. Gub DKI No:4104/2003 tentang Penetapan Kawasan
Pengendalian Lalu Lintas dan Kewajiban Mengangkut Paling Sedikit 3 Orang
Penumpang Perkendaraan pada Ruas‐ruas Jalan Tertentu di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
45.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 37
c. Memberikan definisi operasional dari topik yang diteliti. Misalnya: kemacetan.
Analisis harus menjelaskan makna kemacetan secara jelas.
d. Menjelaskan penentuan populasi dan sampel dari sebuah pesan media.
e. Menjelaskan unit analisis dalam riset yang dilakukan.
f. Menjelaskan kategori untuk pengkodean materi teks/media.
g. Menentukan sistem pengkodean.
h. Menguji reliabilitas antar‐peneliti.
i. Menganalisis teks dengan sistem kode yang telah dibuat.
j. Mempresentasikan temuan riset dengan data kuantitatif (data numerik/statistik)
dan/atau data kualitatif (naratif).
Secara sederhana analisis isi dilakukan secara kualitatif dengan urutan langkah meliputi:
mendapatkan media teks (UU/perda/SK dan sebagainya), menyusun unit analisis (kata
atau frasa), membuat definisi operasional dari unit analisis, melakukan kategorisasi,
membuat pengkodean, dan menyimpulkan secara deskriptif hasil penelitiannya.
Contoh: Kita melakukan analisis isi KPTS GUBDKI No 4104/2003 tentang Pembatasan
Kendaraan Three in One. Unit analisis adalah frasa “mengatasi kemacetan”,
menyusun definisi operasional dari mengatasi kemacetan, yang dengan
sederhana tinggal dihitung berapa kali frasa tersebut muncul dalam SK
Gubernur, termasuk frasa lain yang mempunyai makna sama dengan
mengatasi kemacetan.
3. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder dilakukan oleh analis dengan mengidentifikasi seluruh stakeholder
yang terkait dengan kebijakan yang diterapkan. Media yang bisa digunakan adalah
wawancara, konsultasi/deliberasi, dan brainstorming. Dari stakeholder yang
teridentifikasi, didapatkan peran masing‐masing yang kemudian bisa ditarik kesimpulan
dari bukti‐bukti yang didapat. Contoh dari analisis stakeholder adalah pemetaan sebagai
terlihat di gambar 3.
46.
38 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Sumber: Iswanto, dkk,Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 2013
4. Analisis SWOT (Stenght Weaknes Opportunities and Threats)
Analisis SWOT dilakukan dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan
tantangan‐tantangan dari sebuah kebijakan. Analisis ini digunakan untuk menentukan
validitas bahwa pilihan kebijakan merupakan yang terbaik dan sesuai dengan kondisi yang
dihadapi.
5. Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)
Analisis proses hierarki lebih dikenal dengan pohon masalah. Analisis kebijakan ini dapat
melakukan identifikasi masalah dan faktor‐faktor penyebab masalah tersebut. Menurut
Hamdi (2014:130), secara ringkas prosedur AHP adalah sebagai berikut.
a. Gambarkan masalah yang akan dipecahkan sebagai sebuah hierarki yang berisi
tujuan pemecahan masalah, alternatif pemecahan, dan kriteria untuk menilai setiap
alternatif.
b. Tetapkan prioritas dari setiap elemen dalam hierarki dengan membuat keputusan‐
keputusan yang didasarkan pada perbandingan secara berpasangan dari unsur‐
unsur tersebut.
47.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 39
c. Sintesiskan semua putusan tersebut untuk menghasilkan seperangkat prioritas.
d. Periksa konsistensi.
e. Putuskan salah satu alternatif berdasar konsistensi yang terbaik.
6. Analisis CBA (Cost Benefit Analysis)
Analisis biaya manfaat secara sederhana membandingkan berapa biaya dari sebuah
kebijakan dengan manfaat yang bisa didapat dari penerapan kebijakan tersebut. Jika
manfaat lebih besar dari biaya, maka sebuah kebijakan dinyatakan layak. Analisis dalam
mendefinisikan biaya kebijakan harus mencakup biaya‐biaya yang tidak dikeluarkan secara
rupiah seperti biaya oportunitas, yaitu pendapatan yang tidak terealisasi karena tidak
dilakukan. Sedangkan manfaat selain berupa perhitungan moneter/rupiah juga jika terjadi
penghematan. Biaya dan manfaat yang mencakup seluruh sumber daya (manusia, uang,
waktu, dan material) dinilai dalam satuan moneter.
7. Teknik analisis yang lain
Perkembangan ilmu statistik, komputer, dan internet memungkinkan analisis‐analisis lain
digunakan oleh auditor sebagai analisis kebijakan. Auditor juga bisa mengombinasikan
bebarapa analisis sekaligus, misalnya studi kasus digabungkan dengan analisis stakeholder,
analisis CBA digabungkan dengan analisis hierarki, dan sebagainya.
Teknik‐teknik analisis tersebut dapat dibantu dengan alat statistik yang bersifat statistic
probability ataupun non‐probability. Analisis dengan statistic probability dapat diperoleh
dengan menggunakan aplikasi‐aplikasi yang tersedia seperti SPSS, Excell, minitab, eviews, dan
lainnya. Sedangkan nonprobability bisa menggunakan statistik deskriptif seperti menggunakan
mean, median, frekuensi, tabel silang, dan yang lainnya.
~
49.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 41
Bab IV
PENERAPAN SEDERHANA
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan peserta diklat mampu melakukan
analisis kebijakan publik secara sederhana.
Banyaknya pendekatan keilmuan dan teknik analisis bisa mengakibatkan kebingungan dalam
melakukan analisis/evaluasi kebijakan publik. Untuk memudahkan pemahaman para auditor,
berikut ini disampaikan beberapa contoh penerapan analisis kebijakan sebagai gambaran dan
benchmarking.
1. Kajian Undang‐Undang Nomor 28 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (LAP‐
058/D4.09/2009, Tanggal: 14 Desember 2009).
BPKP melakukan kajian Undang‐Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dengan maksud mendapatkan informasi sejauh mana ketentuan‐
ketentuan dalam undang‐undang tersebut telah menunjukkan adanya pengaturan yang
menyangkut area good governance, good government, dan clean government.
Urutan metodologi yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Telaah isi (content analysis)
b. Uji Konsistensi
c. Uji dengan Referensi Kriteria
d. Diskusi Internal
Penggunaan analisis isi dipadu dengan beberapa teknik analisis pelengkap menghasilkan
ringkasan simpulan dan saran sebagai berikut.
a. Undang‐Undang Nomor 28 tahun 2009 telah menegaskan bahwa peran perumusan
kebijakan perpajakan/retribusi daerah dipegang oleh pemerintah pusat, sedangkan
50.
42 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
pemerintah daerah sebagai pelaksana kebijakan hanya diarahkan pada fungsi
berikut.
1) Penetapan Peraturan Daerah
2) Pemungutan
3) Pengawasan pemungutan
b. Implementasi UU No 28 tahun 2009 masih memerlukan penataan kelembagaan
guna mengharmoniskan berbagai kebijakan dan mengintegrasikan berbagai tujuan/
kepentingan, baik antar‐strata pemerintahan maupun antar‐SKPD dalam pemda.
Saran yang dirumuskan adalah: BPKP agar memberikan surat atensi kepada Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri terkait hal‐hal sebagai berikut.
a. Hak dan kewenangan pemerintah pusat dan provinsi perlu dikaji kembali, dengan
konsekuensi adanya kemungkinan tuntutan pengaturan kembali mengenai
ketentuan perundangan yang ada. Hal tersebut diperlukan dalam kondisi yang
menyangkut dua wilayah.
b. Dalam implementasi Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 2009, khususnya dalam
pembuatan rancangan perda, hendaknya mempertimbangkan dilakukannya
penataan kelembagaan menyangkut pemberdayaan pihak terkait, termasuk peran
SKPD sektoral dan masyarakat lokal dalam perumusan kebijakan perpajakan daerah
dan retribusi daerah serta kewajaran‐kewajaran penetapan tarif.
Ranperda hendaknya dilengkapi mekanisme pengendalian berdasarkan SPIP (PP 60
Tahun 2008), yang antara lain dapat dibuat:
• Mekanisme saling uji
• Pembagian fungsi, antara lain: yang menetapkan tidak melakukan
pemungutan, yang memungut tidak melakukan pengeluaran berdasarkan hasil
pungutan, dan yang menetapkan dan memungut tidak melakukan
pengawasan.
51.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 43
2. Analisis untuk Penerapan Kebijakan: Analisis Stakeholder dalam Kebijakan Program
Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Kapahiang (Jurnal Kebijakan Kesehatan, Juni 2013).
Iswarno, Mubasysyir Hasanbasri, dan Lutfan Lazuardi, mahasiswa Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
melakukan penelitian tentang kebijakan program kesehatan ibu dan anak di Kabupaten
Kapahiang, Bengkulu. Hasil penelitian dimuat pada Jurnal Kebijakan Kesehatan Volume 2
bulan Juni 2013. Tujuan penelitian adalah mengetahui bagaimana komitmen politik
pemerintah daerah terhadap program KIA di Kabupaten Kapahiang.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, bersifat kualitatif dengan rancangan studi
kasus. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran dan penjelasan yang mendalam
mengenai permasalahan penelitian. Oleh karena itu, perhatian difokuskan pada masalah‐
masalah yang bersifat aktual dalam setting alamiah. Kebijakan program KIA merupakan
sebuah proses politik. Oleh sebab itu, peristiwa atau fenomena proses kebijakan tersebut
tidak dapat dimanipulasi dan memerlukan multisumber bukti untuk dapat mempelajarinya
yaitu melalui pendekatan studi kasus.
Metodologi yang digunakan adalah analisis stakeholder dari program KIA dan
pengumpulan data dilakukan survei terhadap para stakeholder. Setiap stakeholder
dipetakan berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh terhadap program KIA.
Kesimpulan
Komitmen politik untuk program KIA di Kabupaten Kepahiang masih terbilang rendah,
terbukti dengan belum adanya peraturan daerah, keputusan bupati, atau kepala dinas
yang secara khusus memberi perhatian terhadap upaya penurunan AKI dan AKB. Selain
itu, alokasi anggaran untuk program KIA yang bersumber dari dana APBD di Kabupaten
Kepahiang masih sangat minim, padahal program KIA merupakan program prioritas yang
semestinya mendapatkan alokasi anggaran yang cukup. Lagipula jika mengacu kepada
Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan
SPM dan Revisi Kepmenkes No 1457/2003 tentang SPM Bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota, maka program KIA adalah satu di antara urusan yang wajib dilaksanakan
oleh pemerintah daerah yaitu pelayanan kesehatan dasar.
52.
44 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
Saran
Perlu adanya upaya sosialisasi tentang SPM dan peraturan perundang‐undangan lainnya
yang terkait dengan kewenangan wajib bidang kesehatan yang menjadi urusan
pemerintah daerah untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran para pengambil
keputusan akan pentingnya program KIA. Selanjutnya menggalang dukungan dengan
melibatkan para politisi dan kelompok profesi serta berbagai kelompok kepentingan lain
untuk menyusun rancangan Perda atau setidaknya SK Bupati yang menjadi dasar hukum
yang mengikat semua pihak agar berperan dalam upaya peningkatan kesehatan dan
keselamatan ibu dan bayi. Mengoptimalkan kembali peran dan fungsi Tim Perencanaan
Dinas Kesehatan dan melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan (stakeholder)
dalam proses perencanaan dan penganggaran. Menjalin komunikasi, koordinasi, dan
sharing informasi secara intensif dengan merestrukturisasi tim pemecahan masalah
tingkat kabupaten (DTPS) dengan melibatkan Bappeda dan stakeholder penting lainnya.
~
53.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 45
Daftar Pustaka
Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Pancur
Siwah.
Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan. Edisi Kedua. Cetakan Keempat.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hamdi, Muchlis. 2014. Kebijakan Publik – Proses, Analisis, dan Partisipasi. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
LAN RI. 2008. Dasar‐dasar Administrasi Publik. Modul Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan
Tingkat IV. Jakarta: LAN RI.
Mustopadidjaja. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publik – Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi Kinerja. Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia kerjasama dengan Duta Pertiwi Foundation.
Sutopo dan Sugiyanto. 2001. Analisis Kebijakan Publik. Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
~
57.
A n a l i s i s K e b i j a k a n P u b l i k 49
Daftar Pertanyaan – Dimensi untuk menganalisis kebijakan publik
1. Efektivitas
a. Apakah dampak dari kebijakan publik yang diteliti (positif, netral, negatif) pada
masalah (bisa kesehatan, transportasi, kependudukan, dll.) yang ditargetkan?
b. Seberapa efektif kebijakan ini dalam hal efek jangka menengah?
c. Apakah logika intervensi kebijakan ini masuk akal?
d. Bagaimana konteks implementasi mempengaruhi efektivitas kebijakan ini?
e. Berapa banyak waktu yang diperlukan sebelum efek dapat diamati? Apakah efek
dari waktu ke waktu terus stabil/konstan?
2. Efek yang tidak diinginkan
a. Apakah kebijakan yang diteliti menghasilkan efek yang tidak diinginkan, apakah
positif atau negatif?
b. Bagaimana efek yang tidak diinginkan negatif dapat dikurangi?
3. Keadilan
a. Apakah dampak (baik disengaja maupun tidak) kebijakan yang diteliti pada
kelompok‐kelompok yang berbeda?
b. Apakah kebijakan ini membuat, memperkuat, atau menimbulkan kesenjangan sosial
yang benar dalam masalah (kesehatan, pendidikan, transportasi, dll.)?
4. Biaya
a. Berapa biaya keuangan dan keuntungan bagi pemerintah? Untuk aktor‐aktor lain
(industri, organisasi masyarakat, konsumen, pembayar pajak, dll.)?
b. Bagaimana biaya didistribusikan dari waktu ke waktu?
c. Sejauh mana biaya jelas/terukur?
d. Bagaimana biaya kebijakan yang diteliti dibandingkan dengan orang‐orang dari
kebijakan potensial lainnya, termasuk yang tidak bertindak?
e. Bagaimana efektivitas biaya‐kebijakan yang diteliti bagi pemerintah dan bagi
masyarakat?
58.
50 2 0 1 4 | P u s d i k l a t w a s B P K P
5. Kelayakan
a. Apakah manusia yang diperlukan, material, dan sumber daya teknologi tersedia?
b. Apakah kebijakan yang sedang dipelajari jatuh di bawah yurisdiksi hukum otoritas
yang ingin mengadopsinya? Apakah sesuai dengan peraturan yang ada?
c. Apakah kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari program percontohan/kebijakan
sebelumnya?
d. Dapatkah kebijakan ini dikelola oleh mekanisme yang sudah ada?
e. Apakah kewenangan untuk mempromosikan kebijakan ini berada pada otoritas yang
akan menerapkannya?
f. Jika tidak, berapa banyak pelaku yang berbeda terlibat dalam pelaksanaan kebijakan
ini? Apakah mereka secara efektif dipandu oleh promotor kebijakan itu? Apakah
mereka bekerja sama dengan baik?
g. Apakah para penentang kebijakan ini memiliki kemampuan untuk mengganggu
pelaksanaannya?
6. Akseptabilitas
a. Apakah aktor‐aktor publik yang akan terpengaruh oleh kebijakan publik
dipertimbangkan?
b. Apakah masalah yang menjadi target kebijakan ini dianggap sebagai masalah sosial
yang memerlukan intervensi? Apa reaksi stakeholder terhadap gagasan intervensi
untuk mengatasi masalah ini?
c. Bagaimana para pemangku kepentingan memikirkan masalah yang harus ditangani?
d. Bagaimana para pemangku kepentingan memikirkan kebijakan yang diusulkan?
Bagaimana sisi efektivitas, dampak yang tidak diinginkan, pemerataan, biaya, dan
kelayakannya? Bagaimana tingkat pemaksaan penerapannya?
e. Bagaimana para pemangku kepentingan memikirkan kondisi sekitar lingkungan
pelaksanaan kebijakan ini?
f. Dapat diterimakah kebijakan yang diterapkan selama periode pelaksanaannya?
~
~
59. KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 4104/2003
TENTANG
PENETAPAN KAWASAN PENGENDALIAN LALU LINTAS DAN KEWAJIBAN
MENGANGKUT PALING SEDIKIT 3 ORANG PENUMPANG
PERKENDARAAN PADA RUAS – RUAS JALAN TERTENTU DIPROPINSI
DAERAH
KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Menimbang : a. Bahwa berdasarkan pasal 50 ayat (1) huruf c angka 5 peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu lintas dan angkutan jalan, kereta
api, sungai dan Danau serta penyeberangan di Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta telah diatur pembatasan lalu lintas 3 in 1
b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan dalam rangka
mendukung pengoperasian busway, perlu menetapkan kembali
penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan kewajiban
mengangkut paling sedikit 3 orang penumpang per kendaraan pada
ruas – ruas jalan tertentu di propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dengan keputusan Gubernur
Mengingat : 1.Undang – undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan
2.Undang – undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah
3.Undang – undang Nomor 34 Tahun 1999 Tentang pemerintahan
daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta
4.Peraturan pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang prasarana dan
lalu lintas jalan
5.Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang kendaraan dan
pengemudi
6.Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom