Sistem peradilan tidak sepenuhnya berfungsi berhubung ada peraturan-peraturan yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya dan ada yang memerlukan sanksi untuk lebih menjamin kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya.
2. Sub bahasan materi kuliah ini akan
menimbulkan pertanyaan: Apakah sistem
peradilan Indonesia belum bebas dan mandiri,
sehingga perlu ditelaah? Kalau kita bicara
tentang " sistem peradilan" maka itu berarti
bahwa sistem peradilannya belum bebas dan
mandiri, tetapi perlu ditingkatkan agar bisa
bebas dan mandiri. Di sinipun dapat timbul
pertanyaan: Apakah benar bahwa sistem
peradilan Indonesia belum bebas dan mandiri?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
perlu diketahui dan didiskusikan hal-hal
sebagai berikut.
3. SISTEM PERADILAN
1. Sistem adalah suatu kesatuan yang
terdiri dari unsur-unsur yang berkaitan
erat satu sama lain, yang tidak
menghendaki adanya konflik di dalam
sistem itu, dan kalau terjadi konflik
maka konflik itu tidak akan dibiarkan
berlarut-larut, namun akan dipecahkan
oleh dan di dalam sistem itu sendiri.
4. 2. Sistem peradilan yang erat
hubungannya dengan sistem-sistem
lain dalam sistem hukum nasional,
sehingga dalam menilai atau
memantapkan sistem peradilan, kita
tidak boleh lepas dari sistem-sistem lain
dalam sistem hukum nasional.
5. 3. Sistem peradilan itu tidak berdiri sendiri dan
mengingat pula keadaan umum dewasa ini,
maka tidak dapat terlalu diharapkan
sepenuhnya hasil yang maksimal dari usaha
pemantapan sistem peradilan ini. Dalam
pembentukan undang-undang misalnya,
karena tidak terkoordinasi, karena tidak
memperhatikan sistem lain dalam sistem
hukum nasional, maka hasilnya tidak
memuaskan, karena isinya ada yang
bertentangan dengan undang-undang lain.
6. 4. Meskipun demikian keadaan peradilan kita
sudah cukup mengkhawatirkan untuk hanya
bertopang dagu bersikap pesimistis dan tidak
berbuat apa-apa.
Maka kita harus sangat arif dalam usaha kita
memantapkan sistem peradilan kita dengan
selalu memperhatikan sistem-sistem lain
dalam sistem hukum nasional. Kita harus
berfIkir dalam sistem dan tidak partial.
7. PERADILAN BEBAS
1. Kebebasan hakim merupakan asas utama
peradilan. Hal ini diatur dalam Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan: "Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia".
8. 2. Selanjutnya penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman diserahkan kepada badan-badan
peradilan, yang tugas pokoknya adalah untuk
menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, sedangkan pasal 4 ayat 3
mengatakan, bahwa segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain
di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang
9. 3. Jadi hakim bebas untuk dan dalam
memeriksa serta mengadili (bebas untuk
menilai pembuktian, bebas dalam
menemukan hukumnya, bebas dalam
mengambil keputusan) serta bebas dari
campur tangan pihak ekstra yudisiil.
10. Kebebasan hakim merupakan asas universal
yang terdapat di seluruh dunia, merupakan
dambaan semua bangsa. Kebebasan hakim ini
tidaklah mutlak Hal ini dapat dilihat secara
makro dan mikro:
a. Secara makro kebebasan hakim dibatasi oleh
sistem pemerintahan, sistem politik, sistem
ekonomi dan sebagainya .
b. Secara mikro di Indonesia kebebasan hakim
dibatasi oleh Pancasila, Undang-undang
Dasar, undang-undang, ketertiban umum,
kesusilaan, kepentingan atau kehendak para
pihak (dalam perkara perdata).
11. PROBLEMATIK PERADILAN
1. Hakim tidaklah bebas dengan pembatasan
seperti yang diketengahkan dimuka. Tidak
sedikit terjadi campur tangan dari pihak luar
kekuasaan kehakiman. Campur tangan dari
pihak ekstra yudisiil yang berupa tekanan-
tekanan, provokasi, surat sakti dan
sebagainya dalam memeriksa dan mengadili
suatu perkara, membuat hakim tidak tenang
dalam menjalankan tugasnya.
12. 2. Jaminan ketenangan atau keamanan bagi
hakim kiranya sangat diperlukan agar hakim
sungguh-sungguh dapat menjalankan
tugasnya dengan bebas tanpa dipengaruhi
pihak ekstra yudisiil berdasarkan hati
nuraninya dan keyakinannya. Ia harus
dijamin perlindungannya terhadap tekanan,
ancaman atau teror.
13. SANKSI DAN PENGHARGAAN
1. Diperlukan pengaturan mengenai sanksi lebih
lanjut terhadap campur tangan dari pihak
ekstra yudisiil. Larangan campur tangan tidak
hanya berlaku bagi pihak di luar kekuasaan
kehakiman saja, tetapi ketentuan larangan
campur tangan itu kiranya juga berlaku bagi
hakim, yang berarti bahwa hakim wajib
menolak campur tangan dari luar kekuasaan
kehakiman.
14. 2. Jaminan berupa rumah, kendaraan atau gaji
tinggi tidaklah cukup untuk menjamin
ketenangan menghadapi campur tangan
pihak ekstra yudisiil. Larangan campur
tangan saja kiranya belumlah cukup kalau
tidak disertai dengan sanksi, terutama bagi
hakim. Sanksi, terutama bagi hakim, dalam
hal ini secara tidak langsung akan melindungi
hakim terhadap campur tangan pihak luar
kekuasaan kehakiman, karena ia dapat
berlindung di belakang sanksi, untuk menolak
campur tangan.
15. 3. Dapat juga terjadi, bahwa pribadi hakim yang
bersangkutan memang sengaja mau
"dicampuri" atau dipengaruhi (suap). Hal ini
tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan
kepada hakim, karena peradilan merupakan
sistem yang melibatkan banyak pihak: hakim,
panitera, pengacara, para pihak, jaksa.
16. 4. Kalau tidak ada yang menawarkan (para
pencari keadilan, pengacara dan sebagainya)
tidak akan terjadi suap, kecuali apabila hakim
yang minta, itupun masih tergantung kepada
yang dimintai mau atau tidak. Baik atas
permintaan hakim maupun atas tawaran
pihak lain, kalau hakim akhirnya mau
menerimanya (disuap), kedua perbuatan itu
merupakan perbuatan tercela
17. 5. Teringat pada ungkapan dari Sidney Smith yang
sangat memprihatinkan mengingat keadaan
sekarang, yang berbunyi: Nations fall when
judges are injust, because there is nothing which
the multitude think worth defending. Betapa
besar dosa kita kalau hal ini nanti benar-benar
terjadi. Ini menyangkut integritas hakim yang
memerlukan peningkatan integritas sumber daya
manusia, yang dapat berupa pendidikan,
penataran, eksaminasi putusan, lebih selektif
dalam pengangkatan, promosi, evaluasi dan
mutasi hakim serta sanksi yang lebih berat
dalam hal terjadi pelanggaran oleh hakim.
18. 6. Untuk meningkatkan integritas, kecuali apa
yang telah dikemukakan di atas, perlu kiranya
meningkatkan juga kewaspadaan, aktivitas
pengawasan dan pengetahuan para
pengawas (hakim pengawas) serta secara
konsisten menindak setiap pelanggaran.
Jangan terlalu gegabah menganggap suatu
pelanggaran sebagai "hanya penyimpangan
prosedur" saja.
19. ASAS PERADILAN CEPAT
1. Speedy administration of justice atau
peradilan cepat selalu didambakan oleh
setiap pencari keadilan. Pada umumnya
setiap pencari keadilan menginginkan
penyelesaian perkara yang cepat dan tuntas
walaupun akhirnya dikalahkan dari pada
pemeriksaan yang bertele-tele, tertunda-
tunda, sekalipun akhirnya dimenangkan juga
perkaranya.
20. 2. Sudahlah wajar kalau para pencari keadilan
menghendaki penyelesaian perkara yang
cepat, kecuali ingin lekas tahu mengenai
kepastian (hukum) hak-haknya dalam suatu
perkara, pemeriksaan yang bertele-tele atau
tertunda-tunda berarti mengeluarkan banyak
beaya dan waktu. Ada ungkapan yang
berbunyi: justice delayed is justice denied.
Asas peradilan cepat ini diatur dalam
UndangUndang Kekuasaan Kehakiman .
21. PENYEBAB LAMBANNYA JALANNYA PERADILAN
1. Banyak penyebab lambannya jalannya peradilan
mengingat babwa sistem peradilan melibatkan banyak
pihak: hakim, panitera, para pihak, pengacara, jaksa
dan sebagainya. Hakim dapat menunda sidang karena
pelbagai alasan, karena sakit gigi, atas permintaan
para pihak, para pihak atau pengacaranya tidak
datang tanpa pemberitahuan atau pengacaranya
minta ditunda sidang dengan alasan ada sidang di
tempat lain dan pada umumnya itu semuanya
hanyalah bertujuan untuk mengulur -ulur waktu saja,
untuk "menunda eksekusi".
22. 2. Permohonan banding dan kasasi seringkali
hanyalah untuk mengulur-ulur waktu saja.
Barangkali tidak jauh dari kenyataan kalau
dikatakan bahwa (di Indonesia) perkara
perdata bukanlah perkara perdata kalau tidak
banding. Banding dan kasasi memang
merupakan upaya hukum memperoleh
putusan yang lebih tinggi.
23. 3. Akan tetapi kalau setiap perkara (perdata)
dimintakan banding berarti bahwa kesadaran
menurun karena permohoman banding hanya
digunakan untuk mengulur-ulur waktu saja, atau
putusannya tidak memuaskan karena tidak
bermutu. Dalam masalah banding di dalam
praktek seringkali tidak ditepati peraturannya,
terutama mengenai tenggang waktunya: ini
sudah menyangkut penyimpangan prosedur.
24. 4. Kedua hal tersebut di atas hakim harus
berani menegur pihak yang bersangkutan,
pengacara atau jaksa dan peraturan tentang
hukum acara harus lebih ketat dijalankan.
Berlarut-Iarutnya jalannya peradilan karena
sering ditunda-tunda dan juga proses
permohonan banding yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku mengurangi
kepercayaan para pencari keadilan kepada
pengadilan.
25. PEMUTAKHIRAN ADMINISTRASI PERADILAN
1. Untuk lebih memperlancar jalannya peradilan
perlu kiranya diadakan pemutakhiran
(memodernisasi) administrasi peradilan
seperti komputerisasi putusan dan arsip, alat
fotokopi dan sebagainya. Penyelesaian
perkara (terutama yang kondemnatoir) tidak
jarang yang tidak tuntas.
26. 2. Tidak tuntasnya penyelesaian perkara
disebabkan karena putusannya terlalu formal:
yuridis formal tepat, tetapi tidak dapat
dilaksanakan, sehingga tidak bermanfaat
terutama bagi yang berkepentingan. Putusan
semacam ini jelas tidak akan memuaskan
pihak yang dimenangkan karena kecuali tidak
dapat melaksanakan putusannya ia misalnya
harus mengajukan gugatan lagi.
27. 3. Di samping itu tidak jarang pula suatu
putusan tidak menyelesaikan perkara dengan
tuntas, akan tetapi justru menimbulkan
perkara baru. Yang dapat merupakan
penyebab di sini ialah kurangnya alat bukti
dan atau kurangnya penguasaan hukum
materiil dan hukum formil.
28. 4. Dalam hal ini hakim harus berani melakukan
penemuan hukum bebas, penemuan hukum
yang tidak hanya bersifat system oriented
saja tetapi juga problem oriented. Hukum
materiil dan hukum formil Pada umumnya di
dalam praktek orang mudah terjebak dalam
"sleur" atau rutinitas pekerjaan. .
29. 5. Tidak terkecuali dengan hakim, sehingga akhimya
yang dikuasai mengenai hukum materiil dan formil
hanyalah itu-itu saja atau bahkan tidak menguasai,
sehingga putusan-putusannya sering tidak bermutu.
Dalam menemukan hukumnya ajaran mengenai
penemuan hukum sering diabaikan atau tidak tahu,
bahkan sering menyimpang dari sistem hukum.
Sebagai contoh misalnya ada hakim yang minta agar
akta notaris itu dilegalisasi.
30. 6. Pertimbangan dalam putusan sering terlalu
langsung atau sumir. Selama ini untuk
kepentingan itu telah diadakan lokakarya-
Iokakarya oleh Mahkamah Agung. Di
samping lokakarya-Iokakarya perlu adanya
refreshing atau penyegaran dalam bentuk
pendidikan
31. KESIMPULAN
1. Sistem peradilan tidak sepenuhnya berfungsi
berhubung ada peraturan-peraturan yang
tidak dijalankan sebagaimana semestinya
dan ada yang memerlukan sanksi untuk lebih
menjamin kebebasan hakim dalam
menjalankan tugasnya.
32. 2. Kepercayaan masyarakat kepada peradilan
harus dipulihkan. Untuk memantapkan sistem
peradilan hakim perlu lebih dijamin
kebebasannya. Sumber daya manusianya
perlu ditingkatkan baik integritasnya maupun
penguasaan pengetahuannya (hukum
materiil maupun formil).
33. 3. Modernisasi administrasi peradilan akan lebih
memperlancar jalannya peradilan yang akan
menumbuhkan kembali kepercayaan kepada
peradilan