Hadis-hadis dalam dokumen tersebut menjelaskan larangan meminta jabatan kepemimpinan dan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Rasulullah melarang meminta jabatan karena akan membebani si pemimpin dan menyebutkan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang memerlukan kekuatan dan kepercayaan.
1. 1
Hukum Meminta Jabatan1
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasihat
kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallâhu ‘anhu:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta
kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau
akan ditolong (oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada
kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya
akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (Hadits Riwayat Al-
Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 184, hadits no. 6722; juz IX, hal.
79, hadits no. 7146; dan Muslim, Shahîh Muslim, juz V, hal. 86, hadits no.
4370 dan juz VI, hal. 5, hadits no. 4819, dari Abdurrahman bin Samurah r.a.)
Hadits ini juga diriwayatkan al-Imam al-Bukhari rahimahullâh dalam
Shahîh al-Bukhâriy dengan judul “Siapa yang Tidak Meminta Jabatan, Allah
subhanahu wa ta’ala Akan Menolongnya dalam Menjalankan Tugasnya” dan
“Siapa yang Meminta Jabatan Akan Diserahkan Kepadanya (Dengan Tidak
Mendapat Pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala dalam Menunaikan
Tugasnya).”
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahullâh dalam Shahîh
Muslim, yang diberi judul oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullâh “Bab
larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya.”
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat
dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallîhu ‘anhu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah,
tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku
tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu
adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan
penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan
apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Hadits
Riwayat Muslim dari Abu Dzar, Shahîh Muslim, juz VI, hal. 6, hadits no. 4823)
1
Dinarasikan kembali dengan beberapa penyelarasan dari tulisan Al-Ustadz
Abu Ishaq Muslim al-Atsari dalam http://asysyariah.com/hukum-meminta-jabatan/
2. 2
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai
untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau
memimpin dua orang2 dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan
harta anak yatim.” (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Dzar, Shahîh Muslim, juz
VI, hal. 7, hadits no. 4824)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullâh membawakan kedua hadits Abu
Dzar radhiyallâhu ‘anhu di atas dalam kitab beliau Riyâdhush Shâlihîn, bab
“Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan
jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan
ambisi terhadap jabatan.”
Kepemimpinan yang Diimpikan dan Diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan
impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah
subhanahu wa ta’ala. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang
rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan
harta) serta kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika
beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallâhu ‘anhu:
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Hadits Riwayat Al-
Bukhari dari Abu Hurairah r.a., Shahîh al-Bukhâriy, juz IX, hal. 79, hadits no.
7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya
untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan
dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia,
menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai,
kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
2
Terlebih lagi bila memimpin lebih dari dua orang. (Syarh Riyâdhush Shâlihîn,
juz II, hal. 472)
3. 3
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite
politik atau “calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan
politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota
dewan. Atau “sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar
miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya.
Bahkan yang ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang
dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut, atau
seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal
keinginannya meraih posisi tersebut. Nas’alullâh as-salâmah wal ‘âfiyah.
Al-Muhallab rahimahullâh berkata sebagaimana dinukilkan dalam
Fathul Bâri, juz XIII, hal. 135); “Ambisi untuk memeroleh jabatan
kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling
membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya
kemaluan-kemaluan wanita (yang itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh
Allah subhânahu wa ta’âlâ), dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di
permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak
akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
ۚ
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan
akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS al-
Qashash/28: 83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullâh dalam tafsirnya mengatakan,
“Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan
kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah,
disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’
(merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak
menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala
yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak zalim,
dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân
al-‘Azhîm, juz III, hal. 412)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh berkata, “Seseorang yang
meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan
manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan
yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan
mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk
meminta jabatan.” (Syarh Riyâdhush Shâlihîn, juz II, hal. 469)
4. 4
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian
berpikir tentang kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan
kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala dengan kepemimpinan yang
kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan
untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-
janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan
yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang
kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji
kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat
zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika
belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya
kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya,
mereka lantas memertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari
jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini
sungguh merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan
nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan
jabatan ini, sehingga Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggambarkan
kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu
dilepas di tengah segerombolan kambing.
Beliau bersabda:
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing
lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena
ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-
Tirmidzi dari Ka'ab bin Malik al-Anshari, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 588,
hadits no. 2376, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahîhul
Musnad, juz II, hal. 178)
Sifat Seorang Pemimpin
Di tengah gencarnya para elite politik menambang suara dalam rangka
memeroleh kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang
diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar radhiyallâhu
‘anhuma di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu
Dzar radhiyallâhu ‘anhu yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan
dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Dzar
radhiyallâhu ‘anhu, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah.”
5. 5
Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang
akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya.
Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan
kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat pada dirinya.
Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan kepadanya ia seorang yang
kuat. Sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana
adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasihat. Tidaklah berdosa orang
yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasihat,
bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh berkata, “Makna ucapan Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu adalah
beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat
lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi
tepercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang
didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia
menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi
mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun,
sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang
itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala, tidak
melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok
pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyâdhus Shâlihîn, juz II, hal. 472)
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan kepada Abu
Dzar radhiyallâhu ‘anhu bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanat.
Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan
amanah. Hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh
dengan dalil:
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash/28: 26)
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf ‘alaihissalam:
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan
tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (QS Yûsuf/12: 54)
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat Jibril dengan
menyatakan:
6. 6
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh
utusan yang mulia (Jibril), yang memunyai kekuatan, yang memunyai
kedudukan tinggi di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan
malaikat lagi dipercaya.” (QS at-Takwîr/81: 19-21)
Beliau rahimahullâh berkata, “Amanah itu kembalinya kepada rasa
takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menjual ayat-ayat Allah
subhanahu wa ta’ala dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada
manusia. Inilah tiga perangai yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan
terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
ۚ
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan
jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa
yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu
adalah orang-orang kafir.” (QS al-Mâidah/5: 44) [Lihat: As-Siyâsah asy-
Syar’iyyâh, hlm. 12—13]
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullâh menyebutkan beberapa sifat dari
seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:
ۖۖ
ۖ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman,
‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi imam (pemimpin) bagi
seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’.
Allah berfiman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim’.” (QS
al-Baqarah/2: 124)
Beliau berkata, “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini
untuk menyatakan seorang imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang
yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang
7. 7
dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (al-Jâmi’ li
Ahkâmil Qur’ân, juz II, hal. 74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan
di sini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang
lain bisa kami paparkan.
Nasihat bagi yang Sedang Berlomba Merebut Jabatan/Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin
berarti ia tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus
ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin
itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap
dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak
akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat.
Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-
nyiakan amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada
selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” (Hadits Riwayat Al-
Bukhari dari Abu Hurairah r.a., Shahîh al-Bukhâriy. juz VIII, hal. 129, hadits
no. 6496)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang
memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiyallâhu
‘anhu berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk
menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari
keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’.
Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya
dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (Hadits
Riwayat al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari, Shahîh al-Bukhâriy, juz IX, hal.
80, no. 7149)
8. 8
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku
jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada
dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada
Abdurrahman bin Samurah radhiyallâhu ‘anhu di atas, ”Bila engkau diberi
tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah subhanahu wa
ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan
kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak
akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Tidak
mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarh
Shahîh Muslim, 12/208, Fathul Bâri, 13/133, Nailul Authâr, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh berkata, “Sepantasnya bagi
seseorang tidak meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan
karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia
meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya, karena
jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata ketika mengomentari hadits
Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu, “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk
menjauhi kepemimpinan, terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk
menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan
penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia
tidak pantas dengan kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas namun tidak
berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala
menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan
menyesali kesia-siaan yang dilakukannya.
Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan bisa berlaku adil,
maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang sahih seperti hadits, ‘Ada tujuh golongan yang Allah
lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil.’
Juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil
nanti di sisi Allah subhanahu wa ta’ala (pada hari kiamat) berada di atas
mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum
muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu,
karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam memeringatkan darinya, demikian pula ulama.
Beberapa orang yang saleh dari kalangan pendahulu kita mereka menolak
tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima
akibat penolakan tersebut.” (Syarh Shahîh Muslim, juz XII, hal. 210—211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan
dalil permintaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam kepada penguasa Mesir:
ۖ
9. 9
“Yusf pun berkata: Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir), sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (QS Yûsuf/12:
55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ‘alaihissalâm ini bukan karena
ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena
keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara
umum, sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan,
amanah, dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisîr al-
Karîmirrahmân, hlm. 401)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullâh berkata, “Nabi Yusuf ‘alaihissalam
meminta demikian karena kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan
sebab adanya penjagaan dari Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dosa-dosa
mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa
ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena bisa jadi
meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf ‘alaihissalam pada waktu itu
dibolehkan.” (Nailul Authar, juz VIII, hal. 294)
Ketahuilah, wahai mereka yang sedang memerebutkan kursi jabatan
dan kepemimpinan sementara dia bukan orang yang pantas untuk
mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi
penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanat
sebagaimana mestinya.
Al-Qadhi al-Baidhawi rahimahullâh berkata, “Karena itu, tidak
sepantasnya orang yang berakal, bergembira, dan bersenang-senang dengan
kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bâri,
13/134)
Faedah Hadits
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh
diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya,
dan menempuh segala cara untuk bisa mendapatkannya.
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan
memangku jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika
diserahkan kepemimpinan, jabatan, dan kedudukan tersebut dalam
keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanat yang besar dan tanggung jawab yang
berat. Maka wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan
hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh
mengkhianati amanat tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan
penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan
kekuasaan tersebut. Sama saja, baik ia seorang pemimpin negara yang
adil, bendahara yang tepercaya, ataukah karyawan yang menguasai
bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan
tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
10. 10
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan
dengan semestinya, tidak memerhatikan hak orang-orang yang
dipimpin, dan tidak melakukan upaya optimal dalam memerbagus
urusan kepemimpinannya.
Wallâhu a‘lamu bish-shawâb.