1. Filosofi Pendidikan
Pendidikan dalam artian yang lebih filosofis berbeda dengan kegiatan pengajaran. Secara sederhana, pendidikan bisa
berarti usaha memaknai dan mewujudkan untuk mencapai potensi terbaik kehidupan manusia. Pendidikan lahir dan
berkembang secara alami dalam budaya hidup manusia . Kebersamaan mahasiswa dalam kemegahan kampus ITB, sebagai
lingkungan pendidikan, berpotensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menjadi agen budaya. Pendidikan dilahirkan
oleh semangat meningkatkan kualitas hidup. Dalam sejarah budaya kegiatan pendidikan mulai terlembaga kan melalui
Academia pertama kali dibentuk oleh Plato (abad 2 SM), dilanjutkan Lycheum oleh Arsistoteles (abad 1 SM) Perguan tinggi
besar pertama diselenggarakan di Maroko abad 10, dan Al-Azhar Mesir abad 11. Tradisi Universitas berkembang di Eropa
tahun 1300an. Ketika dunia terus berputar dan keseharian tetap berlangsung, manusia tetap mewarnai kemapanan-
kemapanan yang sedang terjadi melalui pencapaian pendidikan. Semua terdapat dalam perkembangan zaman. Sebagai sesuatu
yang identik dengan karakteristik manusia.
Mengenai keberlangsungan pendidikan, saat ini sering muncul perdebatan mengenai proses dan hasilnya. Dua hal
tersebut adalah hal yang sama pentingnya. Praktek perguruan tinggi sekarang sering dianggap hanya transfer ilmu dan transfer
teknologi. Ini berarti, pendidikan hanya berjalan dalam aspek kognitif dan psikomotorik peserta didik. Kemudian, masalah
yang muncul pendidikan hanya terasa sebagi beban dan tidak inspiratif. Agar terdapat kesadaran tentang apa yang dipelajari
dan dapat terbangun dalam pemahaman, kegiatan pendidikan harus dimulai secara afektif. Inilah yang membuat alumni
pendidikan menjadi berkarakter. Banyak filsuf yang fokus membahas pendidikan. Freire misalnya, ia mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha memanusiakan manusia. Pendidikan membuat seorang manusia memiliki kemampuan kritisan dan
kemampuan untuk memahami apa yang ada dalam realitas. Berbeda dengan Freire, Dewey mengannggap pendidikan
sebagai proses Transformasi Sosial ke arah yang lebih baik. Pendidikan menurutnya bukanlah tujuan, melainkan
perkembangan tanpa akhir, seperti hidup itu sendiri. Pendidikan menurutnya tidak berbicara mengenai angka, melainkan nilai.
 Di kampus, keinginan berkontribusi sama halnya dengan keinginan-keinganan lain. Dalam hal ini, Asumsi yang dipakai
adalah kita berkumpul disini dengan keinginan tertentu. Jika dirasa sebagai pilihan, tentu mungkin adanya penolakan terhadap
aktifitas kampus, termasuk karena ingin berkontribusi diluar kampus. Kita telah terbiasa dengan permintaan daya tawar
organisasi (baca: doping), yang sangat mengesankan berkegiatan untuk pamrih. Kita tidak menganggapnya sebagai kegiatan
yang bercita-cita. Mahasiswa belajar untuk berpandangan jauh kedepan dan mencoba untuk mengajukan sesuatu. Menjadi
â€organisâ dalam artian peka pada hal yang terlihat (terjadi) dan menyikapinya secara sehat. Dalam hal ini,mahasiswa adalah
intelektual, yang mempertanyakan segala kemapanan yang ada dan mau menguji pengetahuan/ keyakinan yang dipahami. Apa
yang perlu dipikirkan selanjutnya mengenai pemikiran seperti ini. Mari kita pertanyakan tentang kesadaran berorganisasi
seorang mahasiswa ITB untuk melakukan hal besar dalam mewujudkan nilai-nilai pendidikan. Tentunya dengan asumsi telah
terkumpulnya putra-putri terbaik bangsa disini. Itu juga kalau ITB tidak mau ketinggalan sebagai institusi pendidikan yang
memegang nilai-nilai pendidikan.
Kita adalah masyarakat kampus, insan akademis, dalam perguruan tinggi yang bertujuan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Untuk kehidupan yang lebih baik tentunya. Kita sering dirancukan dengan keprofesian dan ilmu pengetahuan.
Sekolah praktis menjadi penyedia tenaga kerja bagi kebutuhan industri. Dengan itu kita harus mengakui tidak peka akan
adanya catatan sejarah. Bentuk-bentuk keprofesian selalu berkembang, dan sayangnya harus kita akui peran kita adalah
sebagai pengekor. Perkembangan budaya hidup manusia telah mengalami banyak perkembangan, mulai kehidupan sosial
dengan agama sebagai sentral, agraris, industri sederhana, industri mesin berat, hingga komputerisasi. Selain sejarah kemajuan
peradaban masa lalu, boleh dibilang, kita tidak pernah menjadi yang terdepan. Ironisnya kita bahkan lupa untuk menggali
kejayaan masa lalu yang pernah kita capai. Pertimbangan-pertimbangan baru bermunculan mengenai kemungkinan adanya
perubahan kegiatan industri. Misalnya melalui analisa dampak lingkungan, dampak sosial terhadap hadirnya sebuah produk,
pertimbangan kesiapan masa mendatang, dan lain sebagainya. Dalam era energi baru dan komputerisasi teknologi industri
saat ini, entah bangsa mana yang akan mengajukan sesuatu yang akhirnya menciptakan bentuk-bentuk keprofesian. Bangsa
kita seperti telah lupa sedang berdiri dimana, apa yang telah dibangun, dan akan menuju kemana. Semoga ini adalah sebuah
pengungkapan yang berlebihan dan kenyataannya memang tidak seserius ini. Tapi yang pasti, sekolah seharusnya memberikan
hubungan yang dialogis dengan pihak industri mengenai bagaimana kegiatan industri harus berjalan dan bentuk-bentuk
keprofesian yang mengikutinya.
Sebuah fenomena menggambarkan sebuah realitas yang ada, dan kita diminta untuk kritis dalam memahaminya. Dengan
segala status keobjektifan dan keilmiahan yang ada pada kita, kita diminta berkapasitas untuk kekritisan tersebut. Akal sehat
kita tentu tidak hanya dipakai di ruangan kelas. Akan ada diskusi panjang dalam membahas apa yang terjadi. Sebuah pemikiran
dalam kepala akan menjadi diskursus yang pelik yang tak bisa lepas dan terbatasi oleh perangkat hidup manusia saat ini:
bahasa. Dan ini tidak menyenangkan. Setidaknya terhasil kebersamaan hidup dalam sebuah kebingungan yang tidak
terpedulikan. Banyak orang menyebutnya “dalam prinsip hitam dan putih, kita hidup dalam dunia serba abu-abuâ€. Dan
tak ada yang lebih diperlukan selain kesadaran, perhatian penuh, dan tentunya sikap taat asas. Kita tentu tidak ingin dan
2. menjadi bagian dari fenomena tragedy of common yang merupakan kemungkinan kondisi terburuk sebuah sistem. Seorang
terpelajar seharusnya mampu menjadi agen budaya dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, terukur, dan berkelanjutan.
Dengan terlalu banyak hal yang sudah dipaparkan, mungkin kita perlu merenung sejenak. Untuk kemudian
mendefinisikan, mengajukan sesuatu sambil membuka diri, dan mewujudkan iklim yang sehat dalam sebuah kemahasiswaan.
Ini sangat penting dalam pembentukan sebuah generasi. Sebuah generasi kritis yang menolak nilai lama yang terasa buruk,
dan mampu mengajukan nilai baru yang lebih progresif. Seperti yang dicita-citakan pendidikan: mewujudkan kehidupan
manusia yang lebih indah dan bermartabat. Dalam paradigma kemiskinan misalnya, kita tentu tidak akan menganggap
kemiskinan bukanlah gejala perubahan masyarakat dalam data-data dengan parameter tertentu. Manusia memiliki kehidupan
yang dengannya perlu penjaminan HAM. Pencapaiannya bukanlah berkurangnya angka kemiskinan, melainkan terpenuhinya
kebutuhan fisik dan mental setiap orang sehingga mampu produktif dan mewujudkan hidup yang bermartabat dan saling
mengisi. Ketika kita tidak yakin akan terselesaikannya sebuah masalah dengan baik, maka berpartisipasilah. Pendidikan dalam
kemahasiswaan sendiri meliputi: Educate - Organize – Tranform. Berbagai bentuk aktifitas mahasiswa didefinisikan kedalam
tiga hal tersebut. Terdapat proses bolak balik diantara ketiganya. Dimana pendidikan tidak hanya pelajaran teoritis dan
tuntunan praktis dalam mengolah skill, tetapi juga ketika mengolah kebersamaan (organize) dan juga mengajukan sesuatu
(transform).
Filosofi pendidikan
Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja
berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada
bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark
Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya. "Anggota keluarga mempunyai peran
pengajaran yang amat mendalam sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka walaupun pengajaran anggota keluarga
berjalan secara tidak resmi.
Landasan Filosofi Pendidikan (1)
Pendidikan merupakan topik yang senantiasa menarik untuk dikaji dan dikembangkan, baik secara teoritis dan praktis
maupun secara filosofis. Teori dan praktik dalam dunia pendidikan mengalami perkembangan seiring dengan semakin
meningkatnya peradaban manusia. Kalau dahulu pendidikan dapat berlangsung melalui interaksi antara manusia, di zaman
modern ini pendidikan dapat berlangsung melalui interaksi dengan teknologi. Dalam hal ini, ruang dan waktu seolah tidak lagi
menjadi pembatas dalam interaksi antara manusia termasuk dalam dunia pendidikan.
Realitas dalam abad ke-20, pendidikan seolah terjerembab dalam ketersesatan lembaga penyelenggara pendidikan yang
menggunakan pola pikir linier dan arogansi dalam memetakan masa depan (Harefa, 2000). Pendidikan terutama
diorientasikan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan dalam menjalankan tugas
professional dan tugas-tugas lain dalam kehidupan. Namun, Seiring gencarnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dunia pendidikan pun mengalami perkembangan yang pesat. Sebagaimana adanya, perkembangan dalam dunia pendidikan
terinspirasi melalui semakin meningkatnya kesadaran eksistensial praktisi dan pemikir pendidikan yakni hakekat diri sebagai
manusia.
Pendidikan sebagai ilmu bersifat multidimensional baik dari segi filsafat (epistemologis, aksiologis, dan ontologis)
maupun secara ilmiah. Teori yang dianut dalam sebuah praktek pendidikan sangat penting, karena pendidikan menyangkut
pembentukan generasi dan semestinya harus dapat dipertanggungjawabkan. Proses pendidikan merupakan upaya
mewujudkan nilai bagi peserta didik dan pendidik, sehingga unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan dapat
menghayati nilai-nilai agar mampu menata perilaku serta pribadi sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, dalam wacana
keindonesiaan pendidikan semestinya berakar dari konteks budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk
kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berubah. Menurut Kusuma (2007), hal ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan
tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral.
Menurut Wen (2003), di zaman yang berbeda-beda tuntutan terhadap talenta dan spesialisasi individu juga berbeda-
berbeda. Zaman agrikulutur menuntut orang bekerja keras dan mencari nafkah lewat kerja fisik, zaman industri menuntut
standarisasi dan tidak menekankan kualitas dan talenta individual, dan zaman internet adalah zamannya untuk membebaskan
kualitas-kualitas khusus individual yang seringkali tertindas di zaman industri. Oleh karena itu, seharusnya sifat dan kualitas
pendidikanpun berubah sesuai zaman dan harus diletakkan landasan bagi pendidikan beraspek multi.
Berbicara tentang landasan filosofis pendidikan berarti berkenaan dengan tujuan filosofis suatu praktik pendidikan
sebagai sebuah ilmu. Oleh karena itu, kajian yang dapat dilakukan untuk memahami landasan filosofis pendidikan adalah
dengan menggunakan pendekatan filsafat ilmu yang meliputi tiga bidang kajian yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi.
3. Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2005), landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan,
menyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang
kehidupan yang lebih baik dijalankan.
4.3. Penerapan Pendidikan Karakter yang Efektif di Indonesia Sekolah adalah tempat yang sangat strategis untuk pendidikan
karakter, karena anak-anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu, anak-anak menghabiskan
sebagian besar waktunya di sekolah sehingga apa yang didapattkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan
karakternya.
Dalam pendidikan karakter, terdapat tiga komponen penting yang harus ditekankan dalam membangun karakter yang
baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaaan tentang moral dan moral action atau
perbuatan bermoral. Implikasi dari ketiga komponen tersebut adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan
dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan sekaligus. Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dalam pembentukan karakter karena ketiganya saling melengkapi satu sama lain. Di Indonesia, pendidikan karakter
cenderung menekankan pada komponen moral knowing, sehingga siswa tahu mana perbuatan baik dan buruk. Namun, siswa
kurang memahami mengapa dia harus memilih yang baik atau tidak mempunyai keinginan kuat untuk melakukan tindakan
yang baik itu dalam kehidupan nyata. Jika salah satu dari ketiga komponen tersebut tidak terpenuhi, maka tidak akan terjamin
terbentuknya karakter kepribadian yang mantap dalam diri seseorang karena tidak adanya kesesuaian antara pikiran, kata dan
tindakan. Oleh karena itu, penting untuk menekankan ketiga komponen tersebut dalam sistem pendidikan karakter di
Indonesia.
Pendidikan karakter anak di Indonesia dapat berjalan efektif apabila dilakukan dengan pendekatan pendidikan terpadu
berbasiskan karakter yang yang menitikberatkan pada peran serta keluarga, sekolah dan lingkungan pergaulannya
dalam mempengaruhi perkembangan karakter anak. Pendidikan terpadu berbasisikan karakter ini dapat diterapkan
dengan berbagai hal berikut:
1. Mengembangkan kurikulum yang berbasis pada pengembangan karakter. Kurikulum ini diharapkan dapat menanamkan
nilai-nilai moral dan filosofi ilmu tiap mata ajaran melalui berbagai kegiatan seperti bermain, belajar langsung dari alam, diskusi
dan lainnya sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Untuk itu, peran guru sebagai pengajar dan
pendidik sangat vital untuk dapat memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai moral dan filosofi ilmu dari tiap-tiap mata
ajaran. Sebagai contoh adalah mata ajaran matematika. Mata ajaran ini dicap sebagai mata ajaran yang hanya untuk mengasah
otak dan berlatih berfikir logis. Namun sebenarnya matematika juga memiliki nilai moral seperti bertindak lurus sesuai aturan
yang berlaku yang tercemin dalam penerapan rumus hitung. Oleh karena itu, peran guru sangat diharapkan untuk dapat
memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak melaui penjelasan secara halus dan mudah dimengerti
oleh anak, pemberian soa-soal aplikatif yang berisi tentang cerita dan materi kebaikan beserta hubungannya dengan
matematika dan pendekatan lainnya.
2. Membangun sistem evaluasi pendidikan karakter yang aplikatif dan berkesinambungan. Sistem evaluasi ini tidak sebatas
hanya pada ujian tertulis namun juga pengevaluasian tentang aplikasinya di masyarakat seperti kejujuran pada guru, teman dan
orang tua, mematuhi peraturan sekolah dan keluarga, cara bersikap dan bertingkah terhadap lingkungan sekitar dan lain
sebagainya.
3. Membangun kerjasama dengan orang tua. Pendidikan karakter tidak juga hanya terbatas di sekolah namun yang terpenting
juga di dalam sebuah keluarga. Pihak sekolah dapat membantu mengarahkan pendidika karakter pada anak melalui orang tua
seperti memberikan pekerjaan rumah yang dapat dikerjakan bersama orang tua dan mengikutsertakan orang tua dalam
menilai perkembangan moral anaknya.
4. Membangun kepedulian antar teman. Hal ini merupakan salah satu metode untuk membentuk karakter seorang anak
terhadap teman atau orang lain di sekitarnya. Anak tidak hanya menjadi sasaran evaluasi tetapi juga dapat memberikan
evaluasi pada temannya, gurunya, maupun orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, guru diharapkan dapat secara tepat dan
tanggap mengarahkan dan membimbing evaluasi yang diberikan anak sehingga anak tidak hanya memberikan evaluasi tetapi
juga dapat menilai mana
yang patut dicontoh dan yang tidak. Pendekatan pendidikan terpadu berbasiskan karakter tentunya tidak sebatas pada
keempat metode di atas. Banyak cara-cara kreatif lainnya yang dapat ditempuh untuk mendidik karakter anak. Namun intinya
adalah bagaimana pendidikan yang diterapkan dapat membangun karakter anak secara efektif demi terrcapainya bangsa yang
maju dan beradab.