Dokumen tersebut membahas tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara umum. PBB adalah pajak yang dikenakan kepada pemilik tanah dan/atau bangunan. PBB dibedakan menjadi PBB-P3 untuk perkebunan, kehutanan dan pertambangan, serta PBB-P2 untuk perdesaan dan perkotaan. Objek pajaknya adalah tanah dan/atau bangunan, sedangkan subjek pajak dan wajib p
3. Pengertian Pajak menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
(sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 angka 1)
Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi
badan yang bersifat memaksa
Undang-Undang, dengan tidak
imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
4. BUMI
– bumi/bu·mi/ n menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah: 1 planet tempat manusia hidup;
dunia; jagat: 2 planet ke-3 dari matahari; 3
dunia; tanah:
BANGUNAN
– Bangunan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah barang yang merupakan bakal untuk
membangun rumah atau gedung dan sebagainya;
5. – Pengertian Pajak Bumi dan/atau Bangunan adalah Pajak Negara yang
dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
– Pajak Bumi dan/atau Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam
arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah
dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut
menentukan besarnya pajak.
– Jadi, Pajak Bumi dan/atau Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap
bumi atau tanah atau perairan dan/atau bangunan.
7. OBJEK PBB
Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 1994 adalah "Bumi
dan atau Bangunan"
• Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi
yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
• Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan,
tambang, dll.BUMI
• Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan atau perairan.
• Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha,
gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, dermaga, jalan
tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll.
BANGUNAN
8. Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB Pasal
3 UU Nomor 12 Tahun 1994
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan,
seperti masjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi dll.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan
yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan untuk perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri
Keuangan.
9. Pasal 3 ayat (2) UU No. 12 tahun 1994
Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 3 ayat (3) UU No. 12 tahun 1994
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.
8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Namun untuk
hal ini, NJOPTKP telah ditetapkan sebesar Rp12.000.000 sesuai dengan PMK
No. 23/PMK.03/2014.
Pasal 3 ayat (4) UU No. 12 tahun 1994
Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
10. PBB
PBB-P3 (Pajak Bumi
dan Bangunan
Perkebunan,
Perhutanan dan
Pertambangan)
dengan dasar hukum
UU No. 12 tahun 1985
sebagaimana telah
beberapa kali diubah
terakhir dengan UU
No. 12 tahun 1994
PBB-P2 (Pajak Bumi
dan Bangunan
Perdesaan dan
Perkotaan
dengan dasar hukum
UU No. 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
11. SUBJEK PAJAK DAN WAJIB
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
(Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1994 )
-Subjek Pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang
secara nyata:
-Wajib Pajak adalah subjek Pajak yang dikenakan
kewajiban membayar pajak.
mempunyai suatu hak
atas bumi, dan atau;
memperoleh manfaat
atas bumi, dan atau;
memiliki bangunan,
dan atau;
memperoleh manfaat
atas bangunan
12. SAAT TERUTANGNYA
PBB
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994
13. PASAL 6
(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak.
(2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
(3) Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-
rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari nilai
jual objek pajak.
(4) Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi
nasional.
14. PASAL 7
Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak.
PASAL 8
(1) Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut
keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari.
(3) Tempat pajak yang terhutang :
(4) untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
(5) untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
atau Kotamadya Daerah Tingkat II;
15. CARA PELUNASAN
PBB
Menurut Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun
1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994
16. PASAL 9
(1) Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan
mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh subjek
pajak.
(3) Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
17. PASAL 10
(1) Berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. apabila Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (2) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran;
b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek
Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
18. PASAL 10
(3) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar
25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
(4) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat
Pemberitahuan Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari selisih pajak yang terhutang.
19. PASAL 11
(1) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal
diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
(2) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya
Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
(3) Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat
jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan.
20. PASAL 11
(4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang
pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus
dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak
oleh wajib pajak.
(5) Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(6) Tata Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(1) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan yang selanjutnya disebut pajak
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
(3) Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
23. OBJEK
BPHTB
Menurut Pasal 2 Undang-
Undang No. 20 tahun 2000
yang menjadi objek pajak
adalah perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan.
24. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud meliputi:
a. Pemindahan hak karena :
1. jual beli;
2. tukarmenukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.
25. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud
adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.
26. Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 20 tahun 2000 Objek pajak
yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat
tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
27. Saat Terutangnya
Menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 20 tahun 2000, saat yang menentukan
pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, Pajak
yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
Berikut saat yang menentukan terutangnya pajak :
– jual beli : sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
– tukar menukar : sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
– hibah : sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
– waris : sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;
– pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
– pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
– lelang : sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
– putusan hakim : sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
– hibah wasiat : sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
– pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan
hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
– pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
– penggabungan usaha: sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
– peleburan usaha : sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
– pemekaran usaha : sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
– hadiah : sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
28. Cara Pelunasan BPHTB
1. BPHTB yang terutang harus dibayar/dilunasi pada saat terjadinya perolehan
hak, yaitu sama dengan saat terutangnya BPHTB
2. Wajib pajak wajib membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan
pada adanya surat ketetapan pajak. Sistem pemungutan BPHTB adalah self
assessment
3. BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan/atau Bank
BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
MenKeu dengan menggunakan Surat Setoran BPHTB
4. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar
29. Cara Pelunasan BPHTB
5. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kuramg Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan
data baru dan/atau data yang semula Belem terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang
teritang diterbitkannya SKBKBT.
6. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan BPHTB dan WP dikenakan sanksi berupa denda dan/atau
bunga apabila:
a. BPHTB yang terutang tidak atau kurang bayar
b. Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB sebagai akibat salah tulis
atau salah hitung
c. Pada saat WP memperoleh Surat Tagihan BPHTB jumlah yang harus dibayar oleh WP adalah sebesar BPHTB
terutang yang tidak atau kurang bayar dalam Surat Tagihan BPHTB ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebukan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan Sejak saat terutangnya BPHTB.
30. Keterangan PBB BPHTB
Subjek Pajak
-Orang atau badan yang secara nyata
mempunyai hak atas bumi, dan atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan
atau memiliki, menguasai, dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
-Subjek PBB yang dikenakan kewajiban
membayar PBB berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak yang berlaku
menjadi Wajib Pajak.
Orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan
kewajiban membayar BPHTB menurut
Undang-undang Pajak yang menjadi Wajib
Pajak.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Pemindahan Hak dan Pemberian Hak Baru
31. KETERANGAN PBB BPHTB
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan PBB adalah
Nilai Jual Objek Pajak (sales
value = NJOP), yaitu harga
rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar.
Bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP
ditentukan melalui
perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau
nilai perolehan baru, atau
Nilai Jual Objek Pajak
pengganti.
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).
Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih
rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP
PBB.
Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya
perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP
PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
33. Pengertian menurut Undang-undang Negara Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai
yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia
34. Dasar hukum
1. UU Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai
2. PP No. 24 tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea
Meterai
35. SUBJEK BEA MATERAI
Seseorang yang menghendaki mendapat manfaat
dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang
bersangkutan menentukan lain.
36. OBJEK BEA MATERAI
Objek Bea Meterai adalah dokumen.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya
Batas Pengenaan Harga Nominal Yang
Dikenakan Bea Meterai:
37. Pasal 2 ayat 1
Dokumen yang dikenakan bea meterai berdasarkan undang-undang nomor 13
tahun 1985 tentang Bea Meterai adalah
1) Dikenakan Bea Materai atas dokumen yang berbentuk :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) termasuk rangkaprangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; atau
4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
38. e. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep, dan cek yang harga
nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga
nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
2) Terhadap dokumen sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar
Rp 1,000 (seribu rupiah).
39. 3) Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp 1.000 (seribu rupiah) atas dokumen yang
akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu :
1. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya,
jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud
semula.
4)Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan
huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah)
tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan
tarif Rp 500,00 (lima ratus rupiah) dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp
40. Pasal 4
Tidak dikenakan bea meterai atas :
a. Dokumen yang berupa :
1) Surat penyimpanan barang;
2) Konosemen;
3) Surat angkutan penumpang dan barang;
4) Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1),
angka 2), dan angka 3);
5) Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6) Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengiriman;
7) Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud
dalam angka 1) sampai angka 6).
41. Pasal 4
Tidak dikenakan bea meterai atas :
b. Segala bentuk ijazah;
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja
serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu;
42. Pasal 4
Tidak dikenakan bea meterai atas :
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank;
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu
dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank;
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank,
koperasi, dan badan-badan dan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
h. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan jawatan pegadaian;
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
43. SAAT TERUTANG
Pihak yang terutang bea meterai, Bea meterai
terutang oleh pihak yang menerima atau
pihak yang mendapat manfaat dari dokumen,
kecuali pihak-pihak yang bersangkutan
menentukan lain.
44. Pasal 5
saat terhutang bea meterai ditentukan dalam hal :
a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat
dokumen itu diserahkan;
b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada
saat selesainya dokumen itu dibuat;
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat
digunakan di indonesia.
45. CARA PELUNASAN
PASAL 7
(1) bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai,
demikian pula pencetakan, pengurusan, penjualan serta penelitian
keabsahannya ditetapkan oleh menteri keuangan.
(2) bea meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :
a. Menggunakan benda meterai;
b. Menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh menteri
keuangan.
46. CARA PELUNASAN
PASAL 7
(3) meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan bea meterai.
(4) meterai tempel direkatkan di tempat di mana tanda tangan akan dibubuhkan.
(5) pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan dengan tinta atau sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada
diatas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
(6) jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian
di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
47. CARA PELUNASAN
PASAL 7
(7) kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
(8) jika isi dokumen yang dikenakan bea meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak ber-meterai.
(9) apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan
ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak
bermaterai
48. – Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek bea meterai tidak atau
kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi
sebesar 200% ( dua ratus persen ) dari bea meterai yang tidak atau kurang
bayar
– Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 10
harus melunasi bea meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian
kemudian.
49. – Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing
dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :
menerima mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang bea meterainya tidak atau
kurang bayar.
melekatkan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya
pada dokumen lain yang berkaitan.
membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang bea meterainya tidak
atau kurang dibayar.
memberikan keterangan atau catatan pada dokukmen yang tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tarif bea meterainya.
50. – Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan angka 12 dikenakan sangsi
administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
– Kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terhutang
menurut undang-undang bea meterai daluwarsa setelah lampau waktu 5
tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.