Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Ketersediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan pada Kawasan Kumuh. Desk Study
1. Sekretariat Pokja
AMPL
Studi literatur:
Penanganan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan di
Kawasan Kumuh Perkotaan
Dipersiapkan untuk: Oxfam
Diperiapkan oleh: Tim Sekretariat Pokja AMPL
15 Maret, 2009
Nomor Proposal: 002-03-2009
2. Daftar Isi
DAFTAR ISI 2
1 PENDAHULUAN 4
1.1 LATAR BELAKANG STUDI: KAWASAN KUMUH PERKOTAAN DI INDONESIA 4
1.2 TUJUAN STUDI 6
1.3 SASARAN STUDI 6
1.4 LINGKUP STUDI 7
1.5 KERANGKA KERJA LOGIS STUDI 7
1.6 METODOLOGI STUDI 8
1.7 SISTEMATIKA PEMBAHASAN STUDI 8
2 PENGERTIAN KAWASAN KUMUH, TIPOLOGI DAN PERMASALAHAN 10
2.1 PENGERTIAN KAWASAN KUMUH 10
2.2 TIPOLOGI KAWASAN KUMUH BERDASARKAN LOKASI DAN PERMASALAHANNYA 11
3 PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR BERDASARKAN TIPOLOGI
KAWASAN KUMUH 21
3.1 KEMBALI KE DASAR: MENGAPA AIR MINUM DAN SANITASI DASAR? 21
3.2 PERMASALAHAN UMUM AMPL DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN DI INDONESIA 22
3.2.1 AKSES TERHADAP AIR MINUM.......................................................................................................................22
3.2.2 AKSES TERHADAP SANITASI DASAR................................................................................................................23
3.2.3 PERILAKU HYGIENE.........................................................................................................................................24
3.3 DAMPAK BURUKNYA AKSES TERHADAP AIR MINUM DAN SANITASI DASAR SECARA UMUM BAGI WARGA DI
KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 25
3.4 KENDALA DALAM PENYEDIAAN AKSES AIR MINUM DAN SANITASI DASAR BAGI KAWASAN KUMUH
PERKOTAAN 27
3.5 PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR KAWASAN KUMUH PERKOTAAN BERDASARKAN
TIPOLOGINYA 29
3.5.1 LINGKUP KONDISI DAN PERMASALAHAN..........................................................................................................29
3.5.2 KONDISI DAN PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR PER TIPOLOGI...........................................30
4 UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH
PERKOTAAN 36
4.1 UPAYA PENANGANAN KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 37
4.1.1 MENEKAN ARUS URBANISASI..........................................................................................................................37
4.1.2 PENEGAKAN IMPLEMENTASI TATA RUANG......................................................................................................39
4.1.3 URBAN RENEWAL...........................................................................................................................................41
4.2 UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN (PROYEK DAN
PROGRAM) 43
4.2.1 SMALL SCALE WATER PROVIDER (PENYEDIAAN AIR MINUM SKALA KECIL).................................................43
4.2.2 KAMPUNG IMPROVEMENT PROGRAM (KIP)...................................................................................................46
4.2.3 NUSSP.........................................................................................................................................................52
4.2.4 SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (SANIMAS)..........................................................................................54
4.2.5 SULAWESI WATER, SANITATION, AND HYGIENE (SWASH) CARE............................................................59
4.2.6 ESP USAID : SAMBUNGAN RUMAH KOMUNAL............................................................................................64
4.2.7 MAKASSAR : SANITATION IMPROVEMENT PROJECT..........................................................................................66
4.2.8 PETOJO : USAID DAN MERCY CORPS...........................................................................................................69
4.2.9 JEMPIRING : SANIMAS – BALI FOKUS .............................................................................................................71
4.2.10 SURABAYA “GREEN AND CLEAN”..................................................................................................................73
4.2.11 PONTIANAK : PEMBANGUNAN TOREN DARI NUSSP...................................................................................76
4.3 KESIMPULAN 77
5 ALTERNATIF PENDEKATAN PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI
3. KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 82
5.1 MENGKAJI KEMBALI UPAYA TERDAHULU 82
5.1.1 KRITIK TERHADAP UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN
SAAT INI....................................................................................................................................................................82
5.1.2 ISU KRITIS TERKAIT PENDEKATAN PENANGANAN KAWASAN KUMUH PERKOTAAN.........................................85
5.2 ALTERNATIF PENDEKATAN PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH
PERKOTAAN 86
5.2.1 BEBERAPA ASPEK YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN..........................................................................................86
5.2.2 PENDEKATAN PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR KAWASAN KUMUH: MODEL ALTERNATIF.......87
5.3 SIMPULAN 95
3
4. 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Studi: Kawasan Kumuh Perkotaan di Indonesia
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyajikan potret yang cukup mengejutkan mengenai
kehidupan kota di Asia pada tahun 2010 dimana sebanyak 30 kota Asia akan memiliki
penduduk lebih besar dari 5 juta (sementara di Amerika Serikat hanya 2 dan 6 di
Eropa). Shanghai dan Bombay masing-masing akan dihuni oleh 20 juta penduduk.
Beijing, Dhaka, Jakarta, Manila, Tianjin, Calcutta dan Delhi akan dihuni oleh lebih
dari 15 juta. Tujuh dari 13 kota yang penduduknya lebih dari 10 juta berada di Asia.
Beberapa kota di Asia penduduknya berlipat dua setiap 10 sampai 15 tahun. Pada
tahun 2010, separuh atau 50 persen dari penduduk Cina akan hidup di kawasan
perkotaan. Hal ini berarti naik dari 28 persen pada tahun 1994.
Hingga tahun 2008 , jumlah warga tinggal di kota-kota besar mencapai lebih dari
separuh populasi dunia. Menurut UNFPA sekitar 3,3 milyar orang akan tinggal di
daerah perkotaan pada 2008. Angka tersebut diperkirakan akan tumbuh pesat, dengan
populasi urban dipastikan naik jadi 4,9 milyar orang dalam tahun 2030. Laporan
UNDP tahun 2004 menyebutkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2002 sebesar
217,1 juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat menjadi 250,4 juta jiwa pada tahun
2015. Tingkat pertumbuhan penduduk tahunan di era 1975 hingga 2002 sebesar 1,8
juta jiwa per tahun dan diperkirakan menjadi 1,1 juta jiwa per tahun dalam kurun
waktu 2002-2015. Populasi yang hidup diperkotaan sebesar 44,5 persen pada 2002
dan diperkirakan meningkat menjadi 57,8 persen pada 2015.
Ruang perkotaan yang semakin sempit seiring meningkatnya jumlah penduduk
merupakan fenomena yang umum kita temui di kota-kota di Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa, yang sebagian
besar terkonsentrasi dan tinggal di kota besar terutama di pulau Jawa. Kesenjangan
pembangunan yang terjadi antara kota dan desa, telah menjadi rahasia publik sebagai
pemicu laju tingkat urbanisasi yang sangat cepat terutama ke kota besar sebagai pusat
kegiatan perekonomian, industri, jasa dan perdagangan.
Angka urbanisasi yang cukup tinggi ini secara signifikan telah menyebabkan
4
5. tumbuhnya kawasan permukiman miskin dan kumuh baru di berbagai bagian wilayah
di perkotaan. Kecepatan laju urbanisasi yang tidak disertai dengan ketersediaan ruang,
prasarana dan sarana serta utilitas yang memadai, menyebabkan suatu kawasan
permukiman menerima beban yang melebihi kemampuan daya dukung
lingkungannya dan cenderung menjadi kumuh. Pada umumnya, kondisi permukiman
kumuh ini antara lain: (i) luas dan ukuran bangunan yang sangat sempit dengan
kondisi rata-rata yang tidak memenuhi kesehatan maupun standar kehidupan sosial
yang layak; (ii) kondisi bangunan rumah yang saling berhimpitan, sehingga rentan
dan rawan terhadap bahaya kebakaran; (iii) kurangnya suplai terhadap kebutuhan air
bersih dan sanitasi dasar; (iv) jaringan listrik yang tidak tertata dan terpasang secara
baik, aman dan memadai; (v) kondisi drainase yang sangat buruk; (vi) jalan
lingkungan yang tidak memadai; serta (vii) status lahan yang illegal.
Bermunculannya kawasan kumuh perkotaan kemudian memicu serangkaian
permasalahan baik secara fisik kawasan, lingkungan dan sosio-ekonomi penghuninya.
Hal ini menyebabkan perbaikan kondisi di kawasan kumuh perkotaan dari tahun ke
tahun seakan tidak kunjung tertangani. Bertemunya berbagai faktor sosial, ekonomi,
kesehatan, fisik, dan lain sebagainya, menjadikan dimensi permasalahan pada
kawasan kumuh perkotaan sedemikian kompleksnya sehingga diperlukan suatu
pendekatan yang terpadu oleh berbagai pihak terkait.
Dicanangkannya peningkatan kualitas kehidupan 100 juta masyarakat di permukiman
kumuh pada tahun 2020 sebagai salah satu target MDGs menjadi momentum untuk
kembali mengkaji berbagai pendekatan penanganan kawasan kumuh perkotaan
selama ini dan mencoba untuk merumuskan opsi pendekatan yang lebih efektif,
efisien dan terpadu. Berbagai opsi pendekatan tersebut ini sangat diperlukan untuk
manata ulang dan mensinergikan berbagai program yang telah dan akan dilaksanakan
oleh pemerintah untuk mencapai target MDGs sebagai milestone awal dari
pembangunan kawasan perkotaan yang terpadu. Pada tahun 2007, Direktur Jenderal
Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum menyatakan bahwa pihaknya bekerja sama
dengan 32 kabupaten kota melakukan pembenahan terhadap kawasan kumuh yang
terdapat di 397 kelurahan dengan luas cakupan 3.960 hektare. Dana yang dialokasikan
untuk membenahi kawasan kumuh di 32 kabupaten dan kota mencapai Rp 165,9
miliar. Ditargetkan, kawasan kumuh di lingkungan perkotaan yang dapat ditangani
5
6. sampai pada tahun 2010 mencapai 100 kota, untuk tahun 2015 mencapai 350 kota,
dan tahun 2030 seluruh kawasan kumuh perkotaan di Indonesia diperkirakan sudah
tertangani semuanya. Untuk melaksanakan program ini dana yang dialokasikan secara
keseluruhan besarnya mencapai Rp 1,2 triliun atau US$ 126 juta.
Alokasi dana yang sedemikian besar di satu sisi tentunya merupakan bentuk
komitmen pemerintah yang sudah sangat tinggi. Namun demikian, di sisi lain
merupakan beban terkait dengan penggunaan dana yang efektif. Seperti yang telah
disampaikan pada uraian sebelumnya, dengan alokasi dana yang demikian besar,
belum termasuk bantuan dari pihak luar, apakah pendekatan penanganan yang kita
miliki sudah cukup efektif dan efisien? Ataukah justru akan menjadi sia-sia?
Terkait dengan efektivitas dan efisiensi pendekatan penanganan kawasan kumuh
perkotaan di Indonesia, maka dirasakan perlunya studi yang dapat memberikan
tinjauan terhadap alternatif opsi pendekatan penanganan yang terpadu. Studi ini
merupakan salah satu studi yang mencoba menjawab kebutuhan tersebut. Mengingat
kompleksnya dimensi permasalahan di kawasan kumuh perkotaan, maka studi ini
akan dititikberatkan pada sektor air minum dan sanitasi.
1.2 Tujuan Studi
Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji dan merumuskan opsi alternatif pendekatan
penanganan air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh permukiman di perkotaan
yang efektif dan efisien.
1.3 Sasaran Studi
Untuk mencapai tujuan studi, maka terdapat beberapa sasaran di dalam studi ini:
1. Identifikasi kondisi, isu dan permasalahan kawasan kumuh permukiman di
perkotaan;
2. Identifikasi kondisi, isu dan permasalahan air minum dan sanitasi kawasan kumuh
permukiman di perkotaan;
3. Identifikasi ragam pendekatan penanganan air minum dan sanitasi kawasan
kumuh permukiman di perkotaan;
6
7. 4. Perumusan opsi alternatif pendekatan penanganan air minum dan sanitasi kawasan
kumuh permukiman perkotaan.
1.4 Lingkup Studi
Sebagai batasan dari studi, maka lingkup studi akan difokuskan pada pendekatan
penanganan kawasan kumuh permukiman perkotaan untuk sektor air minum dan
sanitasi dasar (jamban) di Indonesia. Namun demikian, studi ini juga akan
menekankan keterkaitannya dengan sektor lainnya, untuk memperlihatkan pentingnya
keterpaduan penanganan di kawasan kumuh perkotaan.
1.5 Kerangka Kerja Logis Studi
Metode
Tujuan Indikator Asumsi
Pengukuran
Tujuan
Mengkaji dan Jumlah opsi alternatif • Studi Kawasan kumuh
merumuskan opsi pendekatan penanganan literatur permukiman di Indonesia
alternatif pendekatan air minum dan sanitasi terdiri dari beberapa
penanganan air minum kawasan kumuh karakteristik dan
dan sanitasi kawasan permukiman di perkotaan pemerintah serta pelaku
kumuh permukiman di berdasarkan tipologi lainnya telah melakukan
perkotaan yang efektif karakteristik permukiman penanganan melalui
dan efisien kumuh beberapa pendekatan
berbeda
Keluaran
1. Tipologi • Jumlah kawasan • Studi Isu berbagai karakteristik
karakteristik dan kumuh permukiman literatur kawasan kumuh
isu/permasalahan di perkotaan yang terdokumentasi dengan
kawasan kumuh teridentifikasi baik dan dapat diakses
permukiman di • Ciri/karakteristik
perkotaan di kawasan kumuh
Indonesia permukiman di
perkotaan
• Kategori
isu/permasalahan
pada setiap jenis
kawasan kumuh
permukiman di
perkotaan
7
8. Metode
Tujuan Indikator Asumsi
Pengukuran
2. Kondisi air minum • Pemetaan isu dan • Studi Terdapat permasalahan
dan penyehatan permasalahan AMPL Literatur terkait dengan kondisi
lingkungan berdasarkan tipologi AMPL di kawasan kumuh
(AMPL) di kawasan karakteristik kawasan permukiman di perkotaan
kumuh permukiman kumuh
di perkotaan
berdasarkan
tipologi
karakteristiknya
3. Upaya eksisting • Pemetaan pelaku • Studi Berbagai upaya
penanganan penanganan kawasan literatur penanganan kawasan
kawasan kumuh kumuh perkotaan kumuh perkotaan
permukiman di • Pemetaan pendekatan terdokumentasi dan dapat
perkotaan penanganan kawasan diakses
berdasarkan kumuh
tipologi
karakteristik • Pemetaan lokasi
kawasan kumuh yang
sedang atau sudah
ditangani
4. Kajian dan rumusan Usulan opsi alternatif • Studi Prinsip dasar penanganan
opsi alternatif pendekatan penanganan literatur kawasan kumuh oleh
pendekatan kawasan kumuh pemerintah dan pemangku
penanganan permukiman di perkotaan kepentingan lainnya
kawasan kumuh tersedia
permukiman di
perkotaan
berdasarkan
tipologi
karakteristik
1.6 Metodologi Studi
Metodologi studi yang digunakan untuk menyusun studi ini adalah studi literatur yang
akan didukung dengan data sekunder dan analisis deskriptif.
1.7 Sistematika Pembahasan Studi
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup,
metodologi dan sistematika pembahasan studi air minum dan sanitasi
dasar di kawasan kumuh permukiman di perkotaan. Bab ini ditujukan
8
9. untuk memberikan pemahaman atas kerangka kerja logis yang akan
menjadi acuan bab-bab berikutnya dii dalam studi ini.
Bab 2 Pengertian Kawasan Kumuh, Tipologi dan Permasalahan
Bab ini menyajikan pengertian dan kondisi kawasan kumuh perkotaan
di Indonesia secara umum dan tipologinya berdasarkan karakteristik
lokasinya. Bab ini ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai
permasalahan kawasan kumuh permukiman berdasarkan karakteristik
lokasi.
Bab 3 Kondisi Air Minum Dan Sanitasi Dasar Kawasan Kumuh
Permukiman Perkotaan Berdasarkan Tipologi Karakteristik
Lokasi
Bab ini menjelaskan secara spesifik kondisi, isu dan permasalahan air
minum dan penyehatan lingkungan berdasarkan tipologi karakteristik
lokasinya. Bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai
dimensi persoalan air minum dan sanitasi dalam penanganan kawasan
kumuh permukiman perkotaan.
Bab 4 Upaya Pembangunan Air Minum dan Sanitasi Dasar di Kawasan
Kumuh Permukiman Perkotaan
Bab ini menjelaskan mengenai berbagai upaya yang telah dilakukan
oleh berbagai pemangku kepentingan terkait pembangunan air minum
dan sanitasi dasar di kawasan kumuh permukiman perkotaan. Bab ini
ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai model pendekatan
pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berdasarkan
beberapa aspek penting yang merupakan prinsip dasar penanganan air
minum dan penyehatan sanitasi dasar di kawasan kumuh permukiman
perkotaan.
Bab 5 Opsi Alternatif Pendekatan Pembangunan Air Minum dan
Sanitasi Dasar di Kawasan Kumuh Permukiman Perkotaan
Bab ini ditujukan untuk menganalisa berbagai pendekatan yang telah
dilakukan serta merumuskan opsi alternatif pendekatan pembangunan
air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh permukiman perkotaan
berdasarkan tipologi karakteristik lokasinya.
Bab 6 Penutup
9
10. 2 PENGERTIAN KAWASAN KUMUH, TIPOLOGI DAN PERMASALAHAN
Kawasan kumuh pada umumnya merupakan sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan
populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan
kumuh dapat ditemui di berbagai kota besar di dunia. Kawasan kumuh umumnya identik
dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, sarana dan prasarana yang tidak
memadai, rentan akan permasalahan sosial dan lain-lain. Namun demikian, kondisi kumuh
tidak dapat disamaratakan antara satu kawasan dengan kawasan lain, karena kumuh bersifat
spesifik dan sangat bergantung pada penyebab terjadinya kekumuhan. Dalam bab ini akan
dikemukakan tentang pengertian kawasan kumuh, kriteria kawasan kumuh, tipologi kawasan
kumuh serta permasalahannya.
2.1 Pengertian Kawasan Kumuh
Kawasan kumuh1 adalah sekelompok orang yang terdiri dari beberapa individu yang
sekurang-kurangnya mengalami satu atau lebih dari kondisi berikut ini : (i) kekurangan akses
kepada air bersih;(ii) kekurangan akes kepada sanitasi;(iii) minim luasan tempat tinggal
menyebabkan kawasan terlihat sangat padat (lebih dari tiga orang tinggal dalam satu
ruangan); (iv) struktur bangunan rumah yang tidak baik.
Selanjutnya definisi tersebut kemudian berkembang menjadi kriteria untuk mengetahu
apakah suatu kawasan dapat tergolong kumuh atau tidak, yaitu :
1. Kawasan dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi yaitu melebihi 150 jiwa
per hektar
2. Kepadatan bangunan rumah yang sangat tinggi
3. Tata letak bangunan yang tidak teratur
4. Peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
5. Kondisi bangunan rumah yang tidak sesuai dengan standar teknis dan kesehatan
6. Kondisi sarana umum dan sosial yang sangat minim atau tidak tersedia sama sekali
7. Tingkat kesehatan lingkungan yang sangat rendah
8. Tingkat kerawanan sosial yang sangat tinggi
Dari kedelapan kriteria tersebut di atas, ternyata kawasan kumuh juga mempunyai
1
UN HABITAT Global Urban Observatory, 2008
10
11. karakteristik yang berbeda terkait dengan permasalahannya pada saat dikaitkan dengan lokasi
dari kawasan kumuh tersebut. Kawasan kumuh di sekitar bantaran sungai akan mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan kawasan kumuh di bantaran rel kereta api. Dengan
demikian pola penanganannya akan mempunyai pola yang berbeda juga. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu identifikasi tipologi kawasan kumuh. berdasarkan lokasinya. Sub bab
berikut akan menguraikan tipologi kawasan kumuh berdasarkan lokasinya.
2.2 Tipologi Kawasan Kumuh Berdasarkan Lokasi dan Permasalahannya
Berdasarkan berbagai studi literatur yang telah dihimpun, tipologi kawasan kumuh
berdasarkan lokasinya dapat dibagi menjadi empat tipologi, yaitu: kawasan kumuh bantaran
sungai, kawasan kumuh pinggir pantai, kawasan kumuh pusat komersial dan kawasan kumuh
pingir rel kereta api. Walaupun secara umum kawasan kumuh tersebut mempunyai
permasalahan yang sama, namun dalam penanganannya, masing-masing kawasan kumuh
tersebut memerlukan pendekatan yang cukup spesifik. Beberapa hal yang berlaku umum di
semua tipologi kawasan kumuh adalah tingkat kepadatan, tata letak bangunan, jumlah
penduduk miskin, kerentanan terhadap kesehatan lingkungan dan kerawanan sosial. Namun
secara spesifik, beberapa hal/aspek yang membedakan permasalahan di kawasan kumuh
adalah kesesuaian peruntukan lahan, status kepemilikan lahan, mobilitas penduduk, mata
pencaharian, dan kondisi sarana/fasilitas umum dan sosial. Tabel berikut mencoba untuk
menguraikan beberapa perbedaan permasalahan yang spesifik antar kawasan kumuh yang
telah disebutkan di atas dengan berdasarkan hasil kajian yang sudah pernah dilakukan
dimasing-masing tipologi.
11
12. Matrik Tipologi Kawasan Kumuh Berdasarkan Lokasi
PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
Linear di sepanjang sungaiBiasanya merupakan Memusat pada satu titik
tetapi dengan tingkat perkampungan nelayan yang berdekatan
kepadatan yang berbeda, yang terletak di pinggir langsung dengan pusat
biasanya kawasan pinngiranpantai. Dalam penentuan komersial
batas wilayah di peta
sungai yang paling luas dan
Batas wilayah dan luas Luas wilayah tidak teridentifikasi
padat adalah yang paling terlihat membentuk
Kawasan Permukiman dengan jelas dalam bentuk
dekat dengan jalan utama, linear. (Usaha
Kumuh (Kajian pertumbuhan pemetaan khusus
kawasan strategis, dll. Perbaikan Permukiman
Kumuh di Petukangan permukiman ilegal
(Hasil Kajian Kawasan Utara-Jakarta Selatan kawasan komersial, KK
Kumuh di Pinggiran Sungai oleh Sri Kurniasih, Perencanaan Kota ITB
Deli, 2001) 2006) 2005)
Mengacu pada UU No.
27 Tahun 2007 tentang Menempati tanah ilegal
Tidak sesuai dengan
pengelolaan kawasan atau tidak sesuai dengan
peruntukan fungsi kawasan.
Kesesuaian peruntukan pesisir. Peruntukan peruntukan
lokasi kawasan (Sesuai dengan Inmendagri kawasan pesisir dengan Tidak sesuai dengan peruntukan
(Kajian pertumbuhan
permukiman kumuh No. 14 Tahun 1988 : Lokasi guna lahan perumahan fungsi kawasan
permukiman ilegal
dengan RDTRK/RUTRK Ruang Terbuka Hijau bisa masih dimungkinkan
kawasan komersial, KK
berada pada kawasan jalur sepanjang dipenuhi oleh
Perencanaan Kota ITB
sungai) aturan zonasi dengan
2005)
prinsip kegiatan pada
zonasi yang sama saling
12
13. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
bersinergis.
Menempati tanah dengan
status ilegal ( Peraturan
Menteri PU tentang Tidak memiliki surat
kawasan sempadan kepemilikan tanah
sungai : Sungai yang
mempunyai kedalaman Perencanaan Tidak memiliki surat
tidak lebih 3 (tiga) meter Permukiman Nelayan di kepemilikan tanah Tidak memiliki surat kepemilikan
Status kepemilikan lahan Pantai Timur Surabaya
sampai dengan 20 tanah
(duapuluh) meter, garis oleh Ratna Darmiwati,
sempadan ditetapkan Jurusan T. Arsitektur
sekurang-kurangnya 15 Universitas Merdeka
(lima belas) meter dihitung Surabaya, 2001
dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan).
Letak startegis biasanya
Biasanya permukiman
mendekati fasilitas-
kumuh di pinngiran sungai
fasilitas umum. 1. Letak startegis
ada karena letak sungai Letak tidak strategis karena
Letak/kedudukan lokasi tersebut yang cukup Perencanaan biasanya berdekatan dipinggiran rel kereta api rentan
kawasan kumuh strategis misalnya melintasi Permukiman Nelayan di dengan fasilitas- dengan bahaya kecelakaan kereta
pusat kota, jalan utama, dan Pantai Timur Surabaya fasilitas komersial. api dan suara bising.
dekat dengan permukiman oleh Ratna Darmiwati, 2. Harga tanah mahal
penduduk. Jurusan T. Arsitektur
Universitas Merdeka
13
14. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
(hasil pengamatan awal) Surabaya, 2001
Tingkat kepadatan
Konsentrasi penduduk penduduk tinggi
tinggi terutama untuk
sungai-sungai di perkotaanPerencanaan
Tingkat kepadatan besar. Permukiman Nelayan di Tingkat kepadatan Tingkat kepadatan penduduk
penduduk Pantai Timur Surabaya penduduk tinggi tinggi
(Hasil Kajian Kawasan oleh Ratna Darmiwati,
Kumuh di Pinggiran Sungai Jurusan T. Arsitektur
Deli, 2001) Universitas Merdeka
Surabaya, 2001
Tingkat ekonomi dan
pendidikan penduduk
Hampir setiap kawasan bervariasi, tetapi
kumuh pinggir sunagi didominasi penduduk
miskin Tingkat ekonomi dan
dihuni oleh 70% penduduk
pendidikan penduduk
miskin dan 30% penduduk Perencanaan Tingkat ekonomi dan pendidikan
Jumlah penduduk miskin berfariasi, tetapi
miskin sekali (hasil kajian Permukiman Nelayan di penduduk rendah
didominasi penduduk
BKKBN : Badan Pantai Timur Surabaya miskin
Koordinasi Kelarga oleh Ratna Darmiwati,
Berencana Nasional) Jurusan T. Arsitektur
Universitas Merdeka
Surabaya, 2001
14
15. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
Penduduk bekerja secara
serabutan mulai dari tukang Didominasi pekerjaan
parkir, buruh bangunan atau disektor informal
bahkan pemalak. Kalau pun
ada yang bekerja tetap,
Kegiatan usaha ekonomi biasanya penarik becak Perencanaan Didominasi pekerjaan Didominasi pekerjaan disektor
penduduk di sektor atau bekerja sebagai Permukiman Nelayan di disektor informal informal
informal penjahit di perusahaan Pantai Timur Surabaya
konveksi. oleh Ratna Darmiwati,
Jurusan T. Arsitektur
(Hasil Kajian Kawasan Universitas Merdeka
Kumuh di Pinggiran Sungai Surabaya, 2001
Deli, 2001)
Kepadatan tinggi dan
tidak teratur, dengan
Bangunan terlihat sangat sebagian besar tidak
padat hampir tanpa dilengkapi IMB
pembatas antar satu rumah Kepadatan tinggi
Kepadatan rumah / dan bangunan lainnya. (Perencanaan
sebagian tidak dilengkapi Kepada tantinggi dengan tidak
bangunan Permukiman Nelayan di
IMB sebagian dilengkapi dilengkapi IMB
(Hasil Kajian Kawasan Pantai Timur Surabaya
Kumuh di Pinggiran Sungai oleh Ratna Darmiwati,
Deli, 2001) Jurusan T. Arsitektur
Universitas Merdeka
Surabaya, 2001)
15
16. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
• Biasanya di bangun
bertingkat 2-4 lantai
karena sering nya
terjadi banjir dengan
konstruksi yang
Sebagian bentuknya seperti
kurang
rumah panggung
memperhitungkan
berkolong, menggunakan
keselamatan.
kayu atau beton penyangga
yang dicor dengan semen • Material bangunan
setinggi dua sampai tiga terbuat dari bahan
meter. Luas bangunannya papan dan padahal • Sebagian besar rumah
bervariasi. Ada berukuran sering terendam air berbentuk permanen. Sebagian besar kondisi rumah
Kondisi rumah tidak layak sehingga bisa • Sebagian besar tidak layak huni, konstruksi
huni 3 x 5 meter, 2,5 x 6 meter
dan lainnya. dikategorikan kondisir umah layak bangunan terbuat dari kayu dan
berbahaya. huni tetapi minim triplek.
• Sarana aksesibilitas tingkat kesehatan
yang ada berupa
Kajian kawasan jalan tanah selebar 6
permukiman kumuh di meter sebagai jalan
pinngiran Sungai Deli, utama
2001
Perencanaan
Permukiman Nelayan di
Pantai Timur Surabaya
oleh Ratna Darmiwati,
Jurusan T. Arsitektur
16
17. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
Universitas Merdeka
Surabaya, 2001)
Tata letak bangunan Tata letak bangunan Tata letak bangunan tidak teratur
Jarak antara satu rumah ke tidak teratur tidak teratur
rumah lain seperti tak ada dikarenakan
pembatasnya. Umumnya permukiman tumbuh
berhimpitan. Kalau pun secara incremental
berjarak hanyalah jalan (nataural tanpa adanya
setapak menghubungkan pengendalian secara
Kondisi tata letak antara rumah ke rumah. spatial)
rumah/bangunan
Perencanaan
Permukiman Nelayan di
Kajian Kawasan Pantai Timur Surabaya
Permukiman Kumuh di oleh Ratna Darmiwati,
Kawasan Pinggiran Sungai Jurusan T. Arsitektur
Cikapundung, 2008 Universitas Merdeka
Surabaya, 2001)
• Terdapat jalan • Beberapa sarana dan • Terdapat jalan • Tidak terdapat jalan
lingkungan yang sudah prasarana belum lingkungan yang lingkungan
Kondisi prasarana dan diperkeras. tersedia seperti sudah diperkeras. • Tidak terdapat saluran
sarana lingkungan • Kondisi drainase buruk saluran air bersih, • Kondisi drainase drainase
dantidak terawat saluran pembuangan buruk dan tidak • Tidak memiliki sarana
• Masyarakat sering air, pengelolaan terawat pengelolaan sampah
menggunakan sungai sampah. • Tingginya kepadatan • Tidak memiliki akses terhadap
17
18. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
penduduk
sebagai saluran • Saluran drainase menyebabkan
drainase tidak berfungsi tingginya timbulan
• Sungai yang sudah akibat sampah sampah,
terkontaminasi dengan • Sistem pembuangan kemungkinan tidak
limbah domestik sampah yang ada tertanganinya juga
menjadi sumber air adalah dengan tinggi.
bersih utama. menimbun lahan- • Akses air
• Akses air minum lahan kosong air bersih dan air minum,
minum/bersih
kurang. sehingga tampak konsumsi air didapatkan dari
kurang, dengan
• Sungai sebagai tempat kotor terutama bila kualitas air yang
fasilitas umum disekitarnya
pembuangan sampah. tergenang air pada atau membeli.
tidak bagus.
• Sungai sebagai saluran musim hujan • Tidak memiliki saluran
• Tidak memiliki
limbah cair dan padat limbah apapun.
saluran limbah cair,
domestik Perencanaan
saluran drainase
(Hasil Pengamatan awal Permukiman Nelayan di
digunakan juga
dan Kajian Kawasan Pantai Timur Surabaya
sebagai saluran
Permukiman Kumuh di oleh Ratna Darmiwati,
limbah cair.
Kawasan Pinggiran Jurusan T. Arsitektur
• Memiliki saluran
Sungai Cikapundung, Universitas Merdeka
limbah padat, septic
2008) Surabaya, 2001)
tank sendiri
18
19. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
• Rentan terhadap
penyebaran penyakit
menular akibat
kondisi lingkungan
yang buruk
• Rentan terhadap • Rentan terhadap
• Rawan terhadap penyebaran penyakit
penyebaran penyakit
bahaya abrasi laut
menular akibat kondisi menular akibat • Rentan terhadap penyebaran
lingkungan yang buruk • Rawan terhadap kondisi lingkungan penyakit menular akibat
Kerawanan kesehatan & bahaya gelombang yang buruk
• Rawan terhadap bahaya kondisi lingkungan yang
lingkungan dan angin laut • Rawan terhadap buruk
longsor dan banjir
bahaya kebakaran • Rawan kebakaran
(Hasil Kajian Perencanaan • Kualitas udara yang • Rawan penggusuran
Perencanaan
Kawasan Pinggiran Sungai kurang baik
Permukiman Nelayan di
Deli, 2001) • Rentan penggusuran
Pantai Timur Surabaya
oleh Ratna Darmiwati,
Jurusan T. Arsitektur
Universitas Merdeka
Surabaya, 2001)
Tergolong tinggi terkait • Tingkat kriminalitas • Tingkat kriminalitas
dengan tingginya jumlah tidak terlalu tinggi tinggi, karena • Tingkat kriminalitas
Kerawanan sosial (patologi penduduk yang berada pada karena biasanya himpitan dan tinggi,karena himpitan dan
sosial) usia (20 – 40 tahun) akan mereka yang tinggal persaingan ekonomi persaingan ekonomi
tetapi dengan keadaan adalah keluarga • Kurangnya kontrol • Kurangnya kontrol sosial
sosial tanpa pekerjaan. sendiri yang sudah sosial antara sesama antara sesama masyarakat.
turun temurun masyarakat.
19
20. PINGGIR PANTAI/
KRITERIA BANTARAN SUNGAI PUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
NELAYAN
(jumlah pendatang
(Hasil Kajian Perencanaan baru sangat sedikit)
Kawasan Pinggiran Sungai
Deli, 2001) Perencanaan
Permukiman Nelayan di
Pantai Timur Surabaya
oleh Ratna Darmiwati,
Jurusan T. Arsitektur
Universitas Merdeka
Surabaya, 2001)
20
21. 3 PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR
BERDASARKAN TIPOLOGI KAWASAN KUMUH
Salah satu permasalahan pelik yang timbul di kawasan kumuh perkotaan adalah
minimnya akses terhadap layanan air minum dan sanitasi dasar. Permasalahan air
minum dan sanitasi tidak hanya terbatas pada aspek fisik pelayanan saja, namun
permasalahan juga menyentuh berbagai aspek lainnya. Akibatnya, upaya untuk
menyediakan akses air minum dan sanitasi dasar pun tidak jarang menjadi terhambat.
Permasalahan air minum dan sanitasi dasar dapat berbeda berdasarkan karakteristik
lokasinya. Untuk itu, bab ini akan memaparkan permasalahan air minum dan sanitasi
dasar di masing-masing tipologi kawasan yang sudah dijabarkan pada bab
sebelumnya. Permasalahan-permasalahan AMPL tersebut akan ditinjau dari 5 aspek,
yaitu aspek kelembagaan, finansial, sosial, teknis dan lingkungan.
3.1 Kembali ke Dasar: Mengapa Air Minum dan Sanitasi Dasar?
Sebagaimana telah diketahui, permasalahan kawasan kumuh perkotaan adalah multi-
dimensi dan sangat kompleks. Namun demikian, dalam proses penanganan kawasan
kumuh, perlu disusun prioritas agar penanganannya sistematis. Terkait dengan hal ini,
maka prioritas penanganan harus melihat tingkat kerentanan penghuni kawasan
kumuh terhadap permasalahan yang ada, khususnya yang mempunyai dampak pada
adanya kemungkinan korban jiwa.
Salah satu permasalahan yang sangat terkait dengan tingkat kerentanan (vulnerability)
penghuni kawasan kumuh adalah permasalahan air minum dan sanitasi dasar. Air
minum dan sanitasi dasar merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang, tanpa
membedakan status sosial, suku, agama dan lain sebagainya. Ketersediaan akses
terhadap sarana AMPL bersifat mutlak dalam menunjang kehidupan semua orang.
Namun demikian seringkali permasalahan air minum dan sanitasi dasar ini menjadi
prioritas yang kesekian dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti jalan, listrik,
telekomunikasi dan sebagainya. Oleh karena itu, isu terkait air minum dan sanitasi
dasar di kawasan kumuh perlu diangkat sebagai fokus utama dalam studi ini.
21
22. 3.2 Permasalahan Umum AMPL di Kawasan Kumuh Perkotaan di Indonesia
3.2.1 Akses Terhadap Air Minum
Air merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Pentingnya air dalam meningkatkan
kesehatan dan penanggulangan kemiskinan telah diketahui sejak 100 tahun lalu
namun masih banyak penduduk dunia yang tidak terlayani (Mungkasa, 2005). Di
perkotaan, umumnya air bersih disediakan melalui suatu sistem penyediaan air
perpipaan yang terpusat. Namun cakupan pelayanan sistem tersebut pada umumnya
tidak menjangkau warga yang tinggal di kawasan kumuh. Penelitian oleh USAEP
(2002) mengenai akses air di kawasan kumuh perkotaan memberikan hasil sebagai
berikut:
a. Akibat tidak terkoneksi dengan penyedia air bersih, maka untuk memperoleh air
bersih, warga di kawasan kumuh perkotaan terpaksa harus membeli air dari para
penjaja air. Calaguas dan Roaf (2001) menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan
untuk membeli air dari biasanya berkisar 5 – 2.500% lebih besar dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkan oleh warga yang yang memperoleh air dari sistem
perpipaan kota. Selain itu, kontinuitas air pun tidak dapat dijamin. Terkadang para
penjaja air baru datang setelah warga menunggu berjam-jam, tidak menentu.
Warga pun harus mengantri untuk bisa membeli air. Selain itu, para penjaja air
biasanya menetap di satu lokasi tertentu yang letaknya jauh dari rumah, sehingga
warga yang membeli air harus menggotong jerigen atau tempat penampungan air
dari lokasi penjual ke rumahnya.
b. Tingkat konsumsi air dari warga yang tidak terkoneksi dengan sistem perpipaan
pada umumnya lebih kecil dibandingkan standar minimum kesehatan yang
berlaku, baik nasional maupun internasional. Konsumsi air minimum yang
memenuhi standar kesehatan nasional adalah 60 l/o/h, sementara standar
internasional adalah 100 l/o/h. Tabel 3.1 berikut ini menunjukkan besar konsumsi
air rata-rata dari kelompok masyarakat miskin di beberapa kota di Indonesia.
22
23. Tabel 3.1
Konsumsi Air Rata-rata Kelompok Masyarakat Miskin Perkotaan
di 3 Kota di Indonesia
No Kota Konsumsi air (l/o/h)
1 Semarang 16.92
2 Tangerang 8.07
3 Indramayu 10.16
Sumber: Final Report UPDATE Project, 2002
Studi yang dilakukan oleh ESP-USAID di beberapa kota di 8 provinsi di Indonesia
telah berhasil mengidentifikasi 4 sumber air bagi masyarakat berpenghasilan rendah
di perkotaan. Selain dari PDAM dan penjaja air, sumber air lain yang digunakan oleh
warga adalah sumur gali dan air permukaan seperti sungai. Satu contoh penggunaan
air sungai sebagai sumber air bagi keutuhan sehari-hari warga di daerah kumuh
perkotaan adalah seperti yang terjadi di kawasan kumuh di Gang Nibung, Kota
Samarinda yang lokasinya dekat dengan Sungai Karang Mumus. Warga masih
menggunakan air dari sungai Karang Mumus tersebut untuk kebutuhan sehari-hari,
meskipun kualitas air yang tersedia tidak memenuhi persyaratan kesehatan seperti
yang telah ditetapkan melalui Kepmenkes No 907 Tahun 2002.
Jaringan pipa sistem penyediaan air bersih kota terkadang melewati daerah kumuh
perkotaan. Namun, ironisnya, warga yang tinggal di daerah yang dilalui jaringan pipa
tersebut tidak dapat mengakses air perpipaan. Hal ini memicu kecemburuan warga
yang berujung pada penyambungan secara ilegal.
3.2.2 Akses Terhadap Sanitasi Dasar
Tidak hanya permasalahan dalam pelayanan air bersih, warga di kawasan kumuh
perkotaan pun memiliki masalah terkait akses terhadap fasilitas sanitasi yang
memadai. Beberapa permasalahan yang ditemukan tersebut antara lain:
a. Terbatasnya sarana jamban keluarga
Pada umumnya, sarana sanitasi berupa jamban keluarga tidak tersedia. Sarana
sanitasi yang tersedia biasanya berupa jamban komunal, yang jumlahnya pun
terbatas. Irie (2004) dalam penelitiannya di daerah Kiara Condong, Bandung,
menemukan bahwa 87% penduduk menggunakan sarana jamban komunal. Dalam
23
24. penelitian lain (Kurniawan, 2007) mengungkapkan bahwa di kawasan Sentiong, di
Kota bengkulu, hanya 25% penduduk yang memiliki WC.
b. Tidak adanya sistem penyaluran dan pengolahan air limbah yang memadai
Meskipun beberapa rumah tangga telah memiliki jamban, namun terkadang
kondisinya masih belum dapat dikatakan sebagai jamban yang sehat. Ada tiga
kriteria sebuah bangunan sarana sanitasi, yaitu: (i) bangunan dinding untuk
kenyamanan, psikologis dan keindahan; (ii) bangunan permukaan tanah
(landasan) untuk keamanan saaat buang air besar; dan (iii) bangunan bawah
sebagai tempat pembuangan tinja dan melokalisir serta mengubahnya menjadi
lumpur yang stabil.
Kondisi yang ditemukan di beberapa kawasan kumuh masih menunjukkan ketiga
kriteria jamban tersebut masih belum terpenuhi. Di Kiara Condong, Bandung,
hanya 47% yang mengolah limbah dari jamban dengan septic tank. Sisanya yaitu
sebesar 53% membuang limbahnya langsung ke badan air atau ke saluran (got)
yang ada (Irie, 2004). Selain itu, septic tank yang ada pun tidak dibangun dengan
benar. Upaya memutus alur kontaminasi tidak berfungsi dengan baik, karena
septic tank yang ada tidak ada penutup di bagian bawahnya, sehingga berpotensi
mencemari air tanah. Selain itu, lumpur dari septic tank juga dibuang langsung ke
sungai. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah domestik di daerah
kiara condong tidak berfungsi dengan baik.
Menurut Kurniawan (2007), di Kawasan Sentiong, Kota Bengkulu, dari jamban
yang ada, hanya 16% yang sudah memiliki septic tank, sisanya langsung
membuang limbahnya ke saluran drainase. Sementara di kawasan lain, yaitu di
Kota samarinda, di kawasan bantaran sungai Karang Mumus, tepatnya di gang
Nibung, hasil studi yang dilakukan Kertayasa menunjukkan bahwa limbah dari
jamban/WC masih dibuang langsung ke Sungai Karang Mumus.
3.2.3 Perilaku Hygiene
Kurangnya akses terhadap air minum dan sarana sanitasi bagi warga di kawasan
kumuh perkotaan berimplikasi pada perilaku hidup yang tidak sehat. Masih banyak
24
25. warga yang buang air besar secara terbuka. Sebagai contoh adalah pada dua lokasi
penelitian yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK)
Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana, yaitu Br. Belong Menak dan Gang
Angsa di Kota Denpasar. 80% dari responden menyatakan bahwa akibat tidak adanya
jamban keluarga, mereka memilih untuk buang air besar di sungai (Balipost online,
2007). Sementara 95% warga Kawasan Malabero, Kota Bengkulu, menyatakan
bahwa mereka membuang air limbah (termasuk tinja) langsung ke saluran drainase
atau ke laut (Kurniawan, 2007).
Sebuah studi mengenai praktek hygiene pernah dilakukan oleh ESP-USAID pada
tahun 2006 di beberapa lokasi, termasuk lokasi masyarakat berpenghasilan rendah di
kawasan urban. Ada dua macam praktek hygiene yang diteliti, yaitu cuci tangan pakai
sabun dan mencuci bahan makanan sebelum diolah. Hasil studi menunjukkan bahwa
cuci tangan merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh penduduk, terutama
setelah buang air besar dan membersihkan kotoran anak. Namun, pemakaian sabun
pada saat cuci tangan masih jarang dilakukan. Sementara itu, terkait dengan praktek
membersihkan bahan makanan sebelum diolah, hasil penelitian menunjukkan bahwa
masyarakat pada umumnya mencuci bahan-bahan makanan sebelum diolah, terutama
untuk jenis sayur-sayuran. Meskipun begitu, cara mencuci bahan makanan tersebut
masih memungkinkan bahan makanan untuk terkontaminasi, karena masyarakat tidak
mencuci dengan air yang mengalir, melainkan dengan menggunakan air yang
ditampung dalam wadah dan digunakan untuk beberapa bahan makanan.
3.3 Dampak Buruknya Akses terhadap Air Minum dan Sanitasi Dasar Secara
Umum Bagi Warga di Kawasan Kumuh Perkotaan
Ketidaktersediaan air bersih dan layanan sanitasi lingkungan akan membawa dampak
ke seluruh kelompok masyarakat, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan
kumuh perkotaan. Tanpa adanya tindakan untuk penanggulangan permasalahan
tersebut, maka akan sangat berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi penataan
kawasan kota dan timbulnya masalah kesehatan. Dengan demikian, masalah air
minum dan sanitasi dasar di kawasan kumuh pada akhirnya juga akan menjadi
masalah bersama.
25
26. Beberapa temuan yang diperoleh dari beberapa penelitian mengenai dampak dari
minimnya akses terhadap air bersih di kawasan kumuh perkotaan, yaitu:
a. Masyarakat di kawasan kumuh perkotaan harus mengeluarkan dana lebih besar
untuk memperoleh air bersih dibandingkan dengan warga yang memperoleh air
bersih dari penyedia air bersih. Sehingga kemudian, dalam satu bulan, warga
kawasan kumuh membelanjakan dana yang lebih besar untuk air dibandingkan
dengan warga yang terkoneksi dengan penyedia air bersih perpipaan. Bahkan,
pengeluaran untuk air mengambil porsi yang besar dibandingkan dengan total
pengeluaran sehari-harinya (USAEP, 2002).
b. Akibat dari tidak tersedianya air dengan kualitas yang memadai, maka warga di
kawasan kumuh perkotaan memiliki potensi besar untuk terjangkit penyakit
bawaan air, seperti diare, kolera dan penyakit kulit, yang mengharuskan mereka
mengeluarkan dana untuk obat dan perawatan medis, mengakibatkan anak-anak
tidak dapat sekolah, atau mengakibatkan orang dewasa kehilangan penghasilan
karena tidak dapat bekerja.
c. Jika lokasi kawasan dekat dengan sumber air, misalnya mata air, sumur, atau pipa
penyedia air bersih yang bocor, maka pengeluaran rumah tangga untuk air bisa
berkurang. Namun, bisa jadi pengeluaran tersebut teralokasikan kepada kebutuhan
lain seperti biaya pengobatan untuk penyakit kulit karena mandi dari air yang
sumbernya tercemar, atau untuk membayar denda (untuk sambungan ilegal), atau
biaya untuk membayar preman lokal sebagai jaminan untuk tetap bisa
menggunakan sambungan ilegal tersebut (Calaguas dan Roaf, 2001).
d. Sementara itu, akibat tidak tersedianya sarana sanitasi berupa jamban keluarga,
warga di kawasan kumuh perkotaan harus mengeluarkan dana lebih untuk
menggunakan jamban komunal atau lebih memilih untuk buang air besar secara
sembarangan yang pada akhirnya akan meningkatkan resiko penyakit bagi diri
pribadi dan kelompok masyarakat. Perilaku seperti ini pun menambah tingkat
kesulitan bagi warga daerah kumuh untuk memperoleh air bersih, karena potensi
pencemaran sumber air yang ditimbulkan. Tidak tersedianya layanan sanitasi yang
baik pun mengakibatkan kawasan kumuh berpotensi menjadi sarang bagi vektor
penyakit seperti lalat, nyamuk dan tikus.
26
27. e. Layanan sanitasi yang buruk juga berdampak signifikan bagi perempuan.
Keluarga yang dikepalai oleh seorang perempuan juga lebih dirugikan dengan
minimnya layanan sanitasi jika dibandingkan dengan keluarga yang dikepalai oleh
seorang laki-laki. Jika layanan sanitasi dan air bersih yang ada jauh dari jangkauan
dan mahal, maka waktu dan uang merekalah yang harus digunakan untuk bisa
memperoleh layanan tersebut.
3.4 Kendala Dalam Penyediaan Akses Air Minum dan Sanitasi Dasar Bagi
Kawasan Kumuh Perkotaan
Beberapa kendala dalam penyediaan layanan AMPL pada kelompok masyarakat
miskin perkotaan antara lain2:
a. Tidak adanya dukungan suara bagi warga miskin perkotaan.
Terdapat banyak persepsi yang salah mengenai kondisi masyarakat miskin
perkotaan.
b. Kendala administratif dan hukum (terutama masalah kepemilikan lahan)
Menurut Rolf dan Calaguas (2001), pada umumnya, penyedia air bersih tidak
melayani warga di lokasi yang tidak jelas kepemilikan lahannya. Beberapa alasan
yang muncul antara lain karena lahan tersebut tidak dialokasikan sebagai kawasan
permukiman, tidak dapat dijangkau, terlalu padat, serta berkembangnya
pandangan bahwa warga yang mendiami kawasan tersebut tidak mampu
membayar tarif layanan. Selain itu, jika penyedia memberikan layanan kepada
warga di kawasan tersebut, hal ini akan dilihat sebagai pemberian legitimasi
kepada warga untuk mendiami kawasan tersebut. Sehingga meskipun kebijakan
menyatakan bahwa pemerintah wajib untuk menyediakan air bagi seluruh warga,
pada prakteknya warga di kawasan permukiman kumuh yang umumnya tidak
memiliki hak legal atas tanah tidak dapat menjangkau pelayanan air bersih atau
sanitasi.
c. Ada beragam kepentingan pribadi/kelompok (penjaja air, kriminal, pemerintah
2
Diambil dari Guidance Notes on Services for The urban Poor: A Practical guide for Improving Water Supply and
Sanitation Services, WSP 2008
27
28. daerah yang korupsi, dan pengelola sarana memiliki kepentingan masing-masing
yang mungkin dapat menghalangi upaya penyediaan akses terhadap air bersih)
Warga di kawasan kumuh pada umumnya dianggap sebagai kelompok miskin
yang tidak mau dan tidak mampu membayar untuk pelayanan air bersih dan
sanitasi. Selain itu, kawasan permukiman kumuh dipandang sebagai kawasan
yang tidak aman, identik dengan tindakan kriminal. Pandangan-pangdangan
tersebut menjadikan kelompok masyarakat di kawasan permukiman kumuh sangat
jarang dilibatkan dalam proyek pembangunan. Meskipun demikian, pada saat
tertentu, misalnya menjelang pemilihan umum, warga di kawasan kumuh
dimanfaatkan untuk mendukung politikus maupun partai politik melalui janji-janji
penyediaan layanan dasar seperti penyediaan air secara gratis dan perbaikan
lingkungan.
d. Kendala keuangan
Biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa mengakses layanan air bersih dan
sanitasi bergantung pada legalitas dan kondisi lokal. Meskipun begitu, melalui
beberapa studi, sudah dapat dibuktikan bahwa masyarakat di kawasan
permukiman kumuh mengeluarkan dana lebih besar untuk bisa memperolah air
bersih dan mengakses sarana sanitasi dibandingkan dengan warga dengan
penghasilan lebih tinggi. Upaya subsidi yang diberikan berupa rendahnya harga
air, bagi sebagian penduduk miskin tidak bermanfaat karena mereka tidak
berlangganan air tetapi membeli dari penjaja keliling. Akibatnya manfaat subsidi
hanya dirasakan oleh pelanggan kelas menengah ke atas
e. Kendala infrastruktur dan teknis
Calagus dan Rolf (2001) menyebutkan faktor ini sebagai kondisi lokal (lokalitas).
Kondisi lokal ini seperti lokasi kawasan permukiman kumuh yang umumnya jauh
dari penyedia layanan atau berada di perbatasan kota mengakibatkan terbatasnya
layanan yang tersedia. Selain itu, faktor seperti kondisi jalan, kepadatan penduduk
dan ketersediaan lahan juga menjadi kendala dalam upaya penyediaan layanan
dasar, terutama dalam pilihan teknologi
28
29. 3.5 Permasalahan Air Minum dan Sanitasi Dasar Kawasan Kumuh Perkotaan
Berdasarkan Tipologinya
Walaupun secara umum permasalahan, dampak dan kendala air minum dan sanitasi
dasar dapat dijelaskan seperti pada bagian sebelumnya, namun jika kita mencoba
untuk melihat berdasarkan tipologi yang berhasil dipetakan pada bab sebelumnya,
maka isu dan permasalahan air minum dan sanitasi dasar akan sangat bervariasi sesuai
dengan spesifik lokasinya. Dalam menggali permasalahan air minum dan sanitasi
dasar, konteks lokasi akan sangat berpengaruh pada jenis permasalahan yang
mengemuka, dampaknya dan kendala yang menyebabkan lambatnya proses
penanganan kawasan kumuh perkotaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi
permasalahan air minum dan sanitasi dasar untuk setiap tipologinya.
3.5.1 Lingkup Kondisi dan Permasalahan
Sesuai dengan ruang lingkup dari studi ini, identifikasi isu dan masalah dibagi
menurut 2 komponen besar air minum dan sanitasi dasar, yaitu (i) air minum dan ii)
air limbah, khususnya tinja. Dari setiap komponen, penggalian kondisi dan
permasalahan akan di bagi ke dalam beberapa aspek, yaitu (i) kelembagaan; (ii)
sosial; (iii) finansial; (iv) teknologi; (v) lingkungan. Kelima aspek tersebut akan
menjadi kerangka dalam mengidentifikasi kondisi dan permaslahan air minum dan
sanitasi. Terkait dengan hal tersebut, maka masing-masing aspek harus secara jelas
dipahami lingkupnya. Berikut ini lingkup dari masing-masing aspek tersebut:
a. Kelembagaan;
Lingkup aspek kelembagaan meliputi potensi kelembagaan di tingkat masyarakat
dan pemerintah, kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat, serta
kebijakan dan regulasi yang mengatur pelayanan air minum dan sanitasi dasar.
b. Sosial
Lingkup aspek sosial meliputi kesadaran masyarakat terkait pentingnya
pelayanan air minum dan sanitasi dasar, perilaku kesehatan masyarakat, tingkat
insiden penyakit yang terkait dengan minimnya akses terhadap air minum dan
sanitasi dasar,
c. Finansial;
Lingkup aspek finansial meliputi prinsip cost recovery, dan kapasitas pembiayaan
29
30. air minum dan sanitasi dasar pemerintah.
d. Teknologi
Lingkup aspek teknologi meliputi ketersediaan sarana/teknologi yang sesuai
dengan kondisi wilayah (kriteria teknis) dan sesuai dengan kondisi sosial (kriteria
sosial/berbasis masyarakat)
e. PHBS dan Kesehatan
Lingkup aspek Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan kesehatan meliputi
perilaku masyarakat terkait dengan air minum dan sanitasi, serta permasalahan
kesehatany ang mungkin timbul pada masing-masing tipologi kawasan.
f. Lingkungan.
Lingkup aspek lingkungan meliputi daya dukung lingkungan
3.5.2 Kondisi dan Permasalahan Air Minum dan Sanitasi Dasar per Tipologi
Berdasarkan studi yang telah dilakukan di beberapa lokasi kawasan permukiman
kumuh, dapat disimpulkan bahwa umumnya permasalahan air minum dan sanitasi
dasar di kawasan kumuh perkotaan relatif serupa. Sarana air minum dan sanitasi dasar
yang memadai masih belum bisa dinikmati oleh warga masyarakat di kawasan
permukiman kumuh perkotaan. Kesadaran untuk berperilaku hidup bersih dan sehat
juga masih rendah, terutama di daerah yang memang sarana air minum dan
sanitasinya sangat sulit. Walupun kesadaran tersebut sudah mulai tumbuh, masyarakat
masih perlu dibina untuk bisa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat yang
benar.
Namun, secara spesifik, kondisi dan permasalahan air minum dan sanitasi dasar
sebenarnya akan sangat berlainan antara satu dengan yang lainnya jika dilihat pada
masing-masing aspek seperti yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya.
Sebagai contoh, struktur masyarakat dan mata pencaharian masyarakat (aspek sosial)
akan sangat mempengaruhi masalah kesiapan masyarakat dalam membentuk lembaga
untuk mengelola sarana air minum dan sanitasi yang mungkin sudah pernah
dibangun. Contoh lain adalah kondisi lingkungan yang (aspek lingkungan) yang
menyebabkan sulitnya memutuskan opsi teknologi yang dapat digunakan untuk
menjamin pelayanan air minum dan sanitasi dasar. Terkait dengan hal ini, maka perlu
diidentifikasi kondisi dan permaslahan air minum dan sanitasi dasar yang secara
30
31. spesifik membedakan antara tipologi sat dengan tipologi lainnya. Tabel berikut ini
menjelaskan perbedaan spefisik berdasarkan tipologinya.
31
32. Tabel 3.2.
Kondisi dan Permasalahan Komponen Air Minum dan Sanitasi Dasar Berdasarkan Tipologi Lokasinya
Kondisi dan permasalahan AMPL
Tipologi
No PHBS dan
Kawasan Kelembagaan Sosial Finansial Teknis Lingkungan
Kesehatan
33. 1 Kawasan Masyarakat • Butuh biaya SAB yang • Laut sebagai • Potensi intrusi
pinggir umumnya investasi yang tersedia berupa tempat air laut pada air
pantai homogen, misalnya besar untuk komunal / pembuangan air tanah tinggi
kelompok penyediaan hidran umum limbah • Muka air tanah
penduduk yang sarana air minum Minimnya domestik relatif dangkal
2 Kawasan
Kebijakan berprofesi sebagai dan sanitasi jamban keluarga (pencemaran air • Adanya sungai-
komersial •
pemerintah nelayan • Pemberlakuan Opsi teknologi laut) sungai bawah
tersedia namun retribusi untuk air limbah • Banyak timbul tanah di
implementasiny SABS berjalan komunal sangat berbagai beberapa
a sering cukup baik terbatas dan penyakit akibat lingkungan
terhambat • Pendapatan mahal rendahnya pesisir sebagai
terkait dengan masyarakat akses terhadap sumber air
kondisi pesisir ± Rp air bersih minum
eksisting 300.000,-/bulan penyakit kulit
kawasan dan diare
(kondisi fisik, • Merupakan Biasanya sudah ada • SAB yang ada Timbulnya
pembebasan daerah dengan retribusi yang berupa PDAM, pencemaran air
lahan, dsb) kelompok diberlakukan untuk kran umum dan tanah akibat limbah
masyarakat penggunaan SABS, sumur gali domestik
• Umumnya homogen namun • Hanya sebagian (khususnya tinja)
terdapat (berprofesi penerimaannya kecil memiliki masih belum
kelompok sebagai masih belum sarana jamban terkelola dengan
masyarakat, pedagang) mencukupi untuk dengan septic baik
namun belum • Umumnya biaya investasi SABS tank, akibat
menangani penduduk yang layak keterbatasan
penggunaan sebagian besar lahan
sarana air tidak menetap
bersih • Partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
lingkungan
umumnya
34. 3 Kawasan • Sebagian besar Ada sistem retribusi • Layanan Sumber air terbatas
terminal penduduk untuk SABS perpipaan
merupakan komunal (PDAM) dan
pendatang sumur gali
sehingga • Sarana sanitasi
penduduk berupa jamban
umumnya komunal
berasal etnis (belum tentu
dan daerah dilengkapi
• Berprofesi dengan septic
sebagai pekerja tank)
di sektor
informal
• Kesadaran
masyarakat
yang rendah
dalam
partisipasinya
untuk merawat
dan menjaga
kebersihan
fasilitas yang
dimiliki secara
pribadi maupun
secara umum
4 Kawasan Masyarakatnya • Merupakan • Sarana sanitasi • Kesadaran air sungai yang
bantaran lebih heterogen masyarakat layak belum mengenai tercemar juga
sungai (bekerja sebagai berpenghasilan ada, umumnya kebersihan diri dijadikan sumber
pedagang keliling, rendah masih berupa masih rendah air untuk kebutuhan
kuli bangunan, • Pada musim bilik di atas sehari-hari
buruh, dll) dan kemarau, harus sungai yang • Sungai sebagai
biasanya pekerjaan mengeluarkan jauh dari tempat tempat
35. musiman. dana lebih besar tinggal pembuangan air
untuk membeli • SAB komunal, limbah
air beberapa lokasi domestik
menunjukkan (pencemaran air
adanya SAB sungai)
individu seperti
pompa tangan,
bahkan PDAM
5 Kawasan • Masyarakatnya Pendapatan warga • SAB terbatas Kesadaran
bantaran rel lebih heterogen Rp • Sarana sanitasi mengenai
kereta api (bekerja sebagai 10.000-15.000/hari/K (MCK) belum kebersihan diri
pemulung, K. Sementara memadai masih rendah
lapak jual-beli pengeluaran Rp
barang bekas, 4.000-9.000/hari/KK
buruh pasar, hanya untuk air
pedagang kaki bersih, MCK dan
lima dan listrik
penarik becak)
36. 4 UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN
KUMUH PERKOTAAN
Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, permasalahan air minum dan sanitasi
dasar merupakan salah satu bagian dari berbagai permasalahan yang terjadi pada kawasan
kumuh perkotaan. Seperti halnya seluruh permasalahan yang ada pada kawasan kumuh
perkotaan, permasalahan air minum dan sanitasi dasar juga dapat diselesaikan dengan
pendekatan-pendekatan yang bersifat makro dalam konteks pencegahan munculnya kawasan-
kawasan kumuh diperkotaan besar di Indonesia dan pendekatan spesifik yang secara
langsung terkait dengan permasalahan air minum dan sanitasi dasar. Bab ini mencoba
memaparkan berbagai upaya baik dalam skala makro atau ketataruangan maupun upaya yang
terkait langsung dengan sektor air minum dan sanitasi dasar.
37. 4.1 Upaya Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan
4.1.1 Menekan Arus Urbanisasi
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, kawasan kumuh yang ada diperkotaan
khususnya kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dihuni oleh orang-orang
yang berasal dari luar daerah kota itu sendiri. Hal ini terjadi karena adanya proses
urbanisasi. Urbanisasi sendiri adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Urbanisasi saat ini menjadi masalah yang cukup serius bagi kita semua. Jumlah
peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan
jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan,
penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah sumber permasalahan yang ada
di perkotaan, termasuk munculnya kawasan kumuh (Sutjipto,2008).
Pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat akibat urbanisasi tidak diimbangi
dengan bertambahnya luas permukiman mendorong munculnya berbagai
permukiman kumuh yang ditempati oleh sebagian besar kaum urban. Sebagian besar
lahan permukiman kumuh ini ilegal dan biasanya terletak di daerah aliran sungai
(DAS) sehingga sangat mengganggu aliran sungai dan memicu banjir ketika musim
hujan tiba. Namun tidak tertutup kemungkinan juga kawasan kumuh kerap muncul
di daerah-daerah pusat perkotaan, daerah konservasi non-bantaran sungai, dan
lokasi-lokasi lainnya (World Bank, 2004).
Laju pertumbuhan urbanisasi cenderung melambat tapi tetap meningkat pada beberapa negara
diantaranya Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, proporsi penduduk perkotaan akan
mencapai 55 persen, meningkat dari sekitar 45 persen (2000). Sementara itu, pada tahun 2010
penduduk miskin perkotaan mencapai sekitar 47 persen dari total penduduk miskin Indonesia,
meningkat dari sekitar 38 persen pada tahun 2000 (Dasgupta, 2002 dalam Mungkasa, 2005).
Jakarta (tanpa Bodetabek) merupakan salah satu kota besar dunia yang penduduknya
diperkirakan akan mencapai di atas 10 juta jiwa pada tahun 2015 (World Bank, 2003 dalam
Mungkasa, 2005).
38. Sebagai gambaran lain, jumlah urbanisasi yang terjadi di Kota Bandung adalah
sebesar 150.000 orang selama tahun 2007 dari total jumlah penduduk sebesar 2,9
juta orang. Jumlah ini sama dengan 65% dari besarnya pertambahan penduduk kota
Bandung selama tahun 2007.3 Untuk DKI Jakarta sendiri, jumlah pendatang ilegal
memang tidak bisa dihitung secara presisi, namun berdasarkan data dari BPS tahun
2006, jumlah penduduk musiman yang terdapat di DKI Jakarta mencapai 2 juta
orang, atau mencapai 22% dari total penduduk. Penduduk musiman ini disinyalir
sebagai penduduk pendatang dari luar daerah yang mendiami kawasan-kawasan
kumuh di Jakarta, terutama Jakarta Utara.4
Sebagai akibat urbanisasi dan menurunnya kinerja perekonomian, banyak kota di
negara berkembang mengalami penambahan signifikan penduduk miskin. Sebagian
besar dari penduduk miskin berlokasi di permukiman liar dengan akses terbatas pada
air minum dan sanitasi yang terjangkau. Kondisi ini mengakibatkan tingginya
insiden penyakit terkait air, kehilangan pekerjaan dan kebanggaan, yang
kesemuanya mengarah pada penurunan kinerja perekonomian kota dan nasional.
Terdapat bukti bahwa perbaikan akses air minum dan sanitasi dapat mempunyai
dampak positif pada kesehatan, efisiensi dan produktifitas (Mungkasa, 2005).
Ada dua faktor warga melakukan migrasi. Pertama, faktor penarik migrasi, yaitu
prospek lapangan kerja di perkotaan yang cukup terbuka. Selain itu, mereka tergiur
oleh sukses yang diraih warga daerah asalnya yang migrasi ke kota meskipun tidak
sedikit yang pulang kampung gagal menaklukkan kehidupan kota.
Kedua, faktor pendorong migrasi di mana desa atau daerah asal orang-orang yang
bermigrasi ke kota sama sekali tidak memberikan jaminan perbaikan masa depan.
Desa tetap terbelakang dan taraf kehidupan masyarakatnya masih terkategori miskin
(Firman, 2004).
Terkait dengan permasalahan urbanisasi ini, pemerintah perlu memperhatikan 2 (dua) faktor
di atas yang menjadi penyebab dalam terjadinya arus migrasi penduduk dari desa ke kota.
3
Diambil dari www.mimbaropini.com “Lebaran dan Arus Urbanisasi”
4
Situs resmi Walikota Jakarta Pusat, www.jakartapusat.go.id. “Arus Urbanisasi Lebih
Tinggi dari Angka Kelahiran Penduduk”
39. Selama ini urbanisasi sudah menjadi isu yang sangat dipahami sebagai “biang keladi” dari
berbagai permasalahan yang muncul di perkotaan. Namun sebaliknya, permasalahan
urbanisasi ini juga masih menjadi permasalahan yang tak kunjung dapat diselesaikan. Jika
dilihat lebih jauh, apabila urbanisasi dapat ditekan pada angka yang lebih kecil tentunya
permasalahan-permasalahan yang timbul di perkotaan tidak menjadi rumit seperti yang
terjadi saat ini (Firman, 2004). Salah satu permasalahan yang juga dapat diredam melalui
penekanan arus urbanisasi adalah munculnya kawasan kumuh di perkotaan yang berarti juga
mengurangi munculnya lingkungan-lingkungan permukiman dengan kualitas sarana AMPL
yang mengkhawatirkan seperti yang ada saat ini.
4.1.2 Penegakan Implementasi Tata Ruang
Munculnya permukiman kumuh di kawasan perkotaan utamanya tersebar pada kawasan yang
pada dasarnya bukan sebagai peruntukannya, atau dengan kata lain ilegal berdasarkan tata
ruang. Permukiman kumuh ini pada umumnya terdapat pada kawasan non-budidaya yang
diperuntukkan sebagai kawasan konservasi, seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), daerah
sempadan rel kereta api, daerah sempadan pesisir pantai, Ruang Terbuka Hijau (RTH),
maupun daerah pusat komersial (Purboyo, 2000).
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kota telah diatur tata pemanfaatan ruang
yang bertujuan untuk optimalisasi ruang yang ada dan menciptakan keterkaitan antar kegiatan
yang ada di kota. RTRW disusun dengan pertimbangan kegiatan yang perlu berkembang
pada suatu kota disesuaikan dengan daya dukung kota itu sendiri (Sudrajat, 2004).
Seluruh kota besar di Indonesia telah memiliki RTRW Kota masing-masing yang di
dalamnya menjelasakan rencana peruntukan ruang di masing-masing zona ruang kota
tersebut. Seluruh RTRW Kota tidak ada yang mengakomodir kawasannya direncanakan
sebagai kawasan kumuh sehingga kawasan kumuh yang timbul saat ini mayoritas merupakan
kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, atau dengan kata lain ilegal berdasarkan
rencana tata ruang yang ada. Hal ini antara lain dikarenakan pemerintah daerah belum tegas
dalam mematuhi pemanfaatan ruang sesuai dengan yang telah direncanakan dalam RTRW
Kota yang ada.
Legislatif saat ini telah melahirkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang.
40. Salah satu pembaruan yang dilakukan pada aturan tentang tata ruang tersebut adalah pasal
tentang sanksi. Bila pada aturan lama sanksi bagi pelanggaran tata ruang hanya berupa sanksi
administratif, sementara pada aturan yang baru pelanggar tata ruang dikenai sanksi pidana.
Bahkan sanksi bisa dijatuhkan bagi pembuat kebijakan seperti pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan kebijakan yang dibuat terbukti merugikan masyarakat.
Dalam hal ini, seluruh rencana tata ruang yang ada pada RTRW harus dipatuhi oleh seluruh
stakeholder yang ada pada tingkat kota (Anas, 2008).
Melihat permasalahan yang ada diperkotaan ini, salah satu kesimpulan yang dapat diketahui
adalah bahwa hampir seluruh kota-kota di Indonesia masih belum mempunyai kemauan yang
kuat dalam melakukan law enforcement atau penegakan hukum terkait dengan implementasi
tata ruang yang ada. Pemerintah kota cenderung mengabaikan pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana yang ada, karena unsur pengawasan dan pengendalian dalam
penerapan tata ruang masih belum menjadi perhatian pemerintah kota (Daryoni, 2008).
Apabila seluruh Pemerintah Kota khususnya dinas terkait telah memiliki kesadaran dan
kemauan untuk melakukan penegakan hukum dalam hal implementasi tata ruang, tentunya
permasalahan munculnya permukiman-permukiman kumuh di perkotaan dapat ditanggulangi.
Beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Palembang, Malang dan Makassar
merupakan beberapa contoh kota yang sudah memulai penegakan hukum untuk
menyesuaikan pembangunan dengan tata ruang yang ada. Penggusuran Pedagang Kaki Lima
(PKL) dan pembongkaran permukiman-permukiman kumuh merupakan salah satu bentuk
nyata dari keberanian pemerintah kota dalam penegakan hukum tata ruang. Meskipun terlihat
sangat bertentangan dengan keberadaan masyarakat miskin, penggusuran ini merupakan
sebuah fenomena growing pain dari sebuah kota yang pada gilirannya akan memberikan
dampak positif pada pembangunan yang berkelanjutan (Danisworo, 2007).
Apabila pemerintah kota di Indonesia telah benar-benar memiliki RTRW yang mengacu pada
pembangunan berkelanjutan, serta memiliki kemauan untuk menerapkan pembangunan
berdasarkan rencana tata ruang yang ada, permasalahan munculnya permukiman-
permukiman kumuh diperkotaan dapat diredam semaksimal mungkin. Dengan berkurangnya
keberadaan kawasan kumuh diperkotaan berarti juga pengurangan masyarakat yang tinggal di
permukiman dengan kualitas lingkungan yang buruk, serta sarana AMPL yang jauh dari
memadai.
41. 4.1.3 Urban Renewal
Urban Renewal sering dikaitkan dengan penataan kembali suatu kawasan untuk mencapai
optimalisasi pemanfaatan setiap petak tanah perkotaan yang ada sesuai dengan fungsi yang
telah digariskan. Terkait dengan penataan kembali suatu kawasan, apabila diperlukan relokasi
penduduk (resettlement) maka harus dipersiapkan pula kawasan pengembangan permukiman
baru yang harus menganut prinsip ’berkeadilan’ bagi warga yang dipindahkan (Sudarpo,
2006).
Salah satu konsep penataan kembali suatu kawasan yang belakangan ini dilakukan
Pemerintah Kota adalah dengan melakukan pembangunan rumah susun atau lebih dikenal
dengan Rumah Susun Sederhana Sewa atau Rusunawa. Berdasalkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Departemen PU, sebagian besar rumah tangga pada lingkungan permukiman
kumuh di Kelapa Gading, Jakarta mengeluarkan uang sebesar Rp. 600.000 setiap bulannya
untuk membayar pungutan liar permukiman, membeli air, dan membayar listrik. Sedangkan
warga permukiman kumuh di Penjaringan Sari, Surabaya mengeluarkan Rp. 500.000 untuk
keperluan yang sama.
Hal di atas menujukkan bahwa pada dasarnya masyarakat permukiman kumuh memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan uang untuk mendapatkan permukiman yang lebih layak.
Salah satunya adalah permukiman yang berupa Rusunawa yang pembangunannya
menggunakan subsidi dari pemerintah dan secara prinsip juga memang diperuntukkan bagi
masyarakat yang tidak mampu. Di Jakarta, tarif rata-rata Rusunawa per bulan sebesar Rp.
400.000 hingga Rp. 500.000 dan ini berarti dapat dijangkau bagi masyarakat yang selama ini
membayar lebih hanya untuk tinggal di kawasan kumuh perkotaan.
Upaya pemerintah untuk menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa dan Milik, atau yang
biasa dikenal dengan Rusunawa bagi rakyatnya, tidaklah main-main. Pemerintah sangat
berharap pembangunan hunian vertikal bersubsidi ini dapat mengubah kebiasaan masyarakat
urban untuk tinggal di rumah susun. Adapun upaya pemerintah yaitu:
a. Dalam 2 tahun terkahir ini, industri properti di Indonesia memang terus mengalami
perkembangan tiada henti. Tetapi dari sekian banyak sub-sektor properti yang tumbuh,
hampir semua pihak sepakat bila program pemerintah membangun 1.000 Tower Rumah
42. Susun Sederhana adalah yang paling mencuri perhatian (Ningtyas, 2008).
b. Pembangunan superblok yang digawangi oleh para pengembang raksasa, sepertinya kalah
populer dan tenggelam oleh mega proyek yang digagas pemerintah itu. Selain
mengemban misi tersebut, dengan adanya 1.000 Tower Rumah Susun Sederhana juga
diharapkan menjadi trend setter atau membiasakan masyarakat kelas menengah ke bawah
perkotaan untuk tinggal di hunian vertikal. Untuk membangun mega proyek ini memang
tidak mudah. Selain menyiapkan seperangkat peraturan yang memudahkan keterlibatan
para pengembang swasta, pemerintah juga sudah menyiapkan insentif bertingkat dalam
bentuk subsidi uang muka dan subsidi selisih bunga (Ningtyas, 2008).
(Beberapa pembangunan Rusunawa di Jakarta Utara, Surabaya, dan Makassar)
Beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi pemerintah jika ingin menjadikan Rumah Susun
sebagai solusi bagi masyarakat golongan bawah adalah sebagai berikut:
1. Harga jual rumah susun dapat dijangkau oleh masyarakat golongan ekonomi menegah ke
bawah;
2. Apabila rumah susun yang dijual secara kredit kepada masyarakat mempuinyai bunga
yang kecil;
3. Rumah susun harus menyertakan ketersedian sarana-prasarana dasar bagi penghuninya;
4. Karena rumah susun diperuntukkan bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke
bawah maka pemerintah harus memberikan subsidi bagi pembangunan rumah susun
(Indriana, 2006).
Dengan adanya pembangunan Rusunawa, maka masyarakat yang tinggal di permukiman
43. kumuh akan memiliki alternatif untuk mendapatkan lingkungan permukiman yang lebih baik,
termasuk ketersediaan sarana dan prasarana AMPL. Dengan begitu masyarakat yang pada
awalnya “terpaksa” untuk tinggal di kawasan kumuh dapat beralih ke kepemilikan Rusunawa.
4.2 Upaya Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar di Kawasan Kumuh Perkotaan
(Proyek dan Program)
4.2.1 Small Scale Water Provider (Penyediaan Air Minum Skala Kecil)
Salah satu upaya penyediaan air minum pada kawasan perkotaan, termasuk kawasan kumuh
perkotaan, di beberapa kota di Indonesia adalah dengan penyediaan air minum skala kecil.
Sebagian besar penyediaan air minum skala kecil ini muncul dari masyarakat setempat
ataupun dari para pengusaha setempat.
Secara umum disepakati bahwa kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai penyedia air
minum skala kecil ketika (i) melaksanakan kegiatan dengan menggunakan pegawai dalam
jumlah kecil; (ii) melaksanakan kegiatan berdasar prinsip pemulihan biaya dan orientasi
keuntungan; (iii) menggunakan modal sendiri tanpa bantuan dari pemerintah dan LSM; (iv)
menyediakan air minum merupakan kegiatan utamanya (Conan, 2002 dalam Mungkasa,
2005).
Beberapa alasan maraknya penyedia air minum skala kecil khususnya kios air diantaranya
adalah (i) memungkinkan pengguna membeli dalam jumlah dan waktu yang sesuai
kemampuan mereka; (ii) memungkinkan biaya modal rendah per rumah tangga yang
terlayani; (iii) memungkinkan tingkat pemulihan biaya (cost recovery) perusahaan air minum
lebih baik karena penyedia air minum skala kecil membayar sesuai dengan yang
dipergunakannya. Dengan kata lain, kios air memberikan layanan fleksibel, sesuai kebutuhan
bagi penduduk miskin dengan memungkinkan mereka membeli dalam jumlah kecil sesuai
kemampuan. Penduduk miskin mendapat air dan perusahaan mendapat pengembalian biaya
(Gulyani dkk, 2005 dalam Mungkasa, 2005).
Beberapa tipe penyediaan air minum yang masuk dalam kategori penyediaan air minum skala
kecil dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1