Kolaborasi multi-pemangku kepentingan membutuhkan katalis untuk berjalan efektif. Dokumen menjelaskan enam katalis utama yaitu strategi bersama, kejelasan tujuan, inklusivitas luas, pertanggungjawaban yang disetujui, penyelenggaraan bersama, dan inovasi mudah diadaptasi. Katalis-katalis ini mencakup aspek-aspek seperti perencanaan bersama, keterlibatan seluruh pemangku
1. 1
Disarikan dari
Chapter 6 Stewarding Sustainability Transformations in Multi-stakeholder Collaboration.
Stewarding Sustainability Transformations. An Emerging Theori and Practice of SDG Implementation.
Petra Kuenkel. Springer, Scham, Swiss, 2019.
Memudahkan Upaya Kolaborasi Beragam Pemangku Kepentingan
Disarikan oleh Oswar Mungkasa
Kolaborasi beragam pemangku kepentingan (multi-stakeholder collaboration) adalah
upaya menyelesaikan masalah secara kolaboratif, atau mendorong perubahan secara bersama,
lintas masyarakat dan lembaga.
Tujuan dibalik inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan dapat mencakup topik
seperti pengembangan standar bagi produk dan konsumsi berkelanjutan, penyediaan barang
publik (seperti air), perbaikan pengelolaan sumberdaya alam, atau penyedian layanan sosial.
Selain itu, dapat berupa inisiatif jangka panjang maupun kemitraan jangka pendek dan berlokasi
dalam negeri atau antarnegara.
Proses bermitra antara beragam pemangku kepentingan umumnya berjalan lambat,
dengan beragam pemahaman tentang kolaborasi, biaya besar, dan kecenderungan mencontoh
solusi yang ada tanpa usaha atau upaya yang tidak efisien. Sebagai hasilnya, banyak kolaborasi
beragam pemangku kepentingan yang dipandang tidak efisien atau tidak efektif.
Namun, meskipun diragukan terkait keefektifannya, kolaborasi beragam pemangku
kepentingan telah menjadi hal umum. Tujuan bekerja kolaboratif lintas lembaga dan masyarakat
menuju dunia yang lebih berkelanjutan telah berubah perlahan menjadi agenda setiap negara
dari berbagai lembaga dan masyarakat. Khususnya terkait Agenda Global Tahun 2030, menjadi
penting untuk berhubungan dengan megatrends seperti perubahan iklim, kehilangan keragaman
hayati, atau lainya. Kolaborasi beragam pemangku kepentingan telah menjadi sebuah upaya
menanggapi tantangan rumit di masa depan.
Beragam pelaku mempunyai kepedulian yang berbeda, tidak terbiasa bekerjasama, tetapi
membutuhkan kesamaan sikap dalam menanggapi isu bersama. Pelaku yang terlibat dalam
kolaborasi bergantung satu sama lain. Pada waktu yang bersamaan, tidak hanya pelaku berbeda
kekuatan dan akses terhadap sumberdaya tetapi juga tingkat saling percaya yang rendah. Sistem
kolaborasi perlu dibangun dalam menanggapi keinginan individu membuat perubahan, konteks
dan budaya yang berkesesuaian, dan hubungannya dengan tujuan. Kepercayaan adalah mesin
perubahan transformatif.
Lingkungan yang bergejolak dan tantangan ragam dimensi membutuhkan solusi yang
tidak sederhana. Kolaborasi pemangku kepentingan, berdasar definisi, mencakup saling
bergantung satu sama lain, berbeda kekuatan dan konflik kepentingan. Biasanya bukan
menyangkut kompromi tetapi menyangkut upaya memperoleh solusi yang baik buat semua.
2. 2
Dipahami bersama bahwa upaya berkolaborasi tidak mudah untuk dijalankan sehingga
dibutuhkan katalis yang berfungsi memudahkan terwujudnya kolaborasi dari beragam pemangku
kepentingan tersebut. Setidaknya dikenali terdapat 6 (enam) katalis kolaborasi sebagai berikut.
Katalis Pertama. Strategi Bersama (Co-designed Strategy)
Inisiatif dimulai oleh sekelompok kecil orang atau organisasi yang visioner, kemudian
berkembang bertahap melibatkan lebih banyak organisasi. Tidak terdapat hirarki dalam
kemitraan beragam organisasi, namun kelompok awal perlu memimpin proses selanjutnya.
Pengembangan visi dan strategi merupakan proses bertahap dimulai oleh kelompok awal
yang selanjutnya berkembang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait. Tugas
kelompok inti/awal adalah menciptakan momentum, menguji resonansi seluruh tujuan terkait
dan mengembangkan strategi yang bergantung pada musyawarah dengan melibatkan banyak
pihak untuk menghasilkan kesepakatan rencana aksi.
Pemangku kepentingan berkeinginan terlibat ketika melihat gambaran besar, situasi
menguntungkan semua pihak, berbagi nilai, mempunyai alasan penting untuk bertindak, dan
ketika memahami kontribusinya terhadap perubahan. Rasa memiliki berkembang ketika tujuan
bermitra sesuai dan jelas bagi seluruh pemangku kepentingan dan memahami bahwa
kontribusinya bernilai dan merasa bertanggungjawab terhadap kemajuannya. Dukungan para
petinggi menjadi penting, dan mitra yang lebih mapan dapat memegang peran kunci pada upaya
peluncuran kemitraan dengan menyediakan dana kerjasama pada tahap awal.
Strategi bersama (Co-design strategy) memastikan bahwa dalam perjalanan waktu, seluruh
pemangku kepentingan menjalankan strategidan pelaksanaannya. Kejelasan tujuan, keterlibatan
manajemen pemangku kepentingan, dan bertanggungjawab terhadap hasil berkontribusi
terhadap keberhasilan strategi bersama.
Kejelasan Tujuan (Goal Clarity)
Kejelasan tujuan dihasilkan dari pengelolaan proses berkualitas tinggi. Dimulai dari
penelitian bersama terkait kondisi terkini oleh seluruh pemangku kepentingan, kemudian
berkembang menjadi visi bersama. Selanjutnya visi diterjemahkan menjadi tujuan.
Kejelasan tujuan adalah hasil dari sebuah proses (emerging process). Tujuan awal
mungkin disesuaikan berdasar pengalaman dan keahlian pemangku kepentingan lain.
Ketika tujuan sudah jelas, pemangku kepentingan membutuhkan kesepakatan bersama
terhadap dampak dan tonggak keberhasilan (milestones). Dukungan dari petinggi
organisasi, pimpinan lembaga kolaborasi atau politisi, dapat memperkuat pembentukan
tujuan dan pelaksanaannya.
Inklusifitas Luas (Broad Inclusivity)
Kolaborasi sewajarnya dibangun perlahan, dimulai dari kelompok inti dan kemudian
perlahan melibatkan lebih banyak pelaku, baik pemangku kepentingan yang lemah
maupun kuat sejak awal. Khususnya pihak yang kuat perlu dibuat tertarik, sementara
3. 3
yang lemah diperkuat agar suaranya dapat terdengar. Menjadi penting menetapkan
proses pembuatan keputusan termasuk juga organisasi tata kelola yang inklusif dan
mewakili beragam pemangku kepentingan.
Pertanggungjawaban yang disetujui (agreed accountability)
Ketika kolaborasi telah terbangun kemudian bergerak menuju pelaksanaan,
kesepakatan tentang kejelasan peran dan tanggungjawab menjadi penting sekali.
Bergerak dari visi kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaannya yang membuahkan hasil
membutuhkan kesepakatan terhadap tonggak keberhasilan dan hasil pemantauan. Hal ini
mencakup kesepakatan terhadap alokasi sumberdaya dan keterbukaan aliran dana. Pada
beberapa kejadian, inisiatif beragam pemangku kepentingan membutuhkan
pembentukan organisasi legal dalam upaya pelaksanaannya.
Katalis Kedua. Penyelenggaraan Bersama (Cooperative Delivery)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan memerlukan sistem kolaborasi kohesif di seputar
isu bersama. Dibutuhkan keterlibatan lebih banyak pihak untuk tujuan dan perubahan yang lebih
besar, tetapi juga dibutuhkan tujuan dan batasan kolaborasi yang jelas. Hal ini mendorong
pemangku kepentingan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar.
Kemitraan membutuhkan pendampingan, khususnya jika kreatifitas tingkat tinggi perlu
dipertahankan. Protokol, batasan, dan wilayah perlu diperhatikan, dan pendekatan terkait
konflik perlu disepakati. Para pelaku, khususnya dalam kelompok inti pemangku kepentingan,
yang menjalankan proses perubahan, membutuhkan keahlian dalam mendesain dan mengelola
proses.
Pemangku kepentingan ingin mengetahui apa yang diharapkan dan waktunya. Proses yang
handal berujung pada terbangunnya kepercayaan. Tantangan berupa korupsi atau lingkungan
yang bergejolak, perlu dikenali. Menjaga tujuan tetap terjaga agar pemangku kepentingan tetap
terhubung dengan aspirasi mereka, yang pada akhirnya memunculkan tekad, komitmen dan
ketekunan.
Kejelasan terhadap proses perencanaan, penyamaan strategi semua mitra, dan pengelolaan
proses secara profesional memperlihatkan kehandalan yang menjadikan mitra tetap terlibat.
Pada inisiatif yang lebih kompleks, sekretariat independen dengan staf profesional membantu
mengelola proses dan harapan.
Keterlibatan yang sungguh-sungguh memastikan terjaganya rasa memiliki terhadap proses
dan hasilnya. Hal ini perlu ditunjukkan dalam cara menangani kontribusi, pelaksanaan lokakarya,
dan berkomunikasi.
Kolaborasi memungkinkan penyelenggaraan bersama yang mengarahkan timbulnya
tanggungjawab bersama terhadap hasil dan kerja keras. Pengelolaan keterlibatan pemangku
kepentingan, pengembangan jejaring, dan memastikan orientasi hasil berkontribusi terhadap
keberhasilan kerjasama dan pelaksanaannya.
4. 4
Keterlibatan berkualitas (Quality Engagement)
Pengelolaan keterlibatan secara bertahap dipandang penting baik mitra utama
maupun pemangku kepentingan terkait. Kehandalan perencanaan dan proses
pelaksanaan berkontribusi terhadap peningkatan kepercayaan, yang merupakan
persyaratan pelaksanaan efektif. Pada inisiatif yang lebih rumit, proses ini perlu didukung
sekretariat.
Pengembangan Jejaring (Network Building)
Kolaborasi beragam pemangku kepentingan terjadi antara beragam lembaga.
Dibutuhkan lebih banyak perhatian dalam mengembangkan kohesi diantara mitra dan
pemangku kepentingan terkait. Pengembangan jejaring dipandang penting, antara
masyarakat dan pelaku sebagai perwakilan organisasinya. Dukungan lembaga dan politik
tingkat tinggi memudahkan terwujudnya dampak bersama, tetapi lebih penting
berjejaring diantara pemangku kepentingan utama.
Orientasi Hasil (Result Orientation)
Konsultasi dan dialog menjadi penting bagi kolaborasi beragam pemangku
kepentingan. Tetapi jika tetap “talking circles” (hanya bicara), para pelaku kehilangan
minat dan daya tahan. Orientasi berkelanjutan menuju hasil nyata dan hasil segera
menjaga keterlibatan dan inisiatif. Hal ini membutuhkan alokasi sumberdaya memadai
bagi pemangku kepentingan lintasorganisasi yang mendorong inisiatif kolaborasi,
termasuk sumberdaya keuangan bagi sekretariat.
Katalis Ketiga. Inovasi Mudah Diadaptasi (Adaptive innovation)
Pengetahuan, keahlian, sumberdaya pelengkap, dan informasi dibutuhkan, yang membantu
pemangku kepentingan dan mitra melihat keseluruhan isu dan konteks sosial politiknya.
Peningkatan kapasitas membantu memperkuat suara kelompok pemangku kepentingan
yang lemah dan memperbaiki kualitas kontribusinya. Mekanisme belajar bersama menjamin
akuntabilitas mitra dan memungkinkan evaluasi hasilnya untuk digabungkan segera ke langkah
selanjutnya.
Pada awalnya, sebagian besar upaya pemangku kepentingan terfokus pada penyelesaian
masalah daripada inovasi. Tetapi desain proses yang baik dan keterpaduan beragam keahlian,
akhirnya kadang mendorong peralihan ke pendekatan inovatif. Pendekatan inovatif,
keberagaman sumber dana, pendanaan berbasis hasil, insentif inovasi dapat mendukung
penemuan solusi inovatif.
Seringkali inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan mengembangkan prototipe
solusi. Kolaborasi memungkinkan inovasi yang mudah diadaptasi yang menjamin pendekatan
baru sebagai bagian dari penemuan solusi. Mendorong desain kreatif sebagaimana juga
pengelolaan pengetahuan yang memadai dan perencanaan yang mumpuni berkontribusi
terhadap cara baru yang dihasilkan secara bersama.
5. 5
Prototipe kreatif (Creative Prototyping)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan perlu membuka kesempatan bagi penemuan
solusi kreatif bersama, berikut cara, metodologi, atau pendekatan baru lainnya. Ketika
sistem kolaborasi telah tercipta, dimungkinkan untuk menjelajah keluar dari zona
nyaman. Konflik, sebagian besar dipicu oleh pemangku kepentingan kritis, sebaiknya
diperbolehkan sebab mendorong penyelesaian di luar kebiasaan.
Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management)
Inisiatif kolaborasi membutuhkan pengetahuan pemangku kepentingan bahkan
pengetahuan baru mendorong timbulnya ide baru. Pengalaman dan keahlian dari
berbagai pihak, wilayah, atau isu seringkali memberi pandangan baru bagi penyelesaian
masalah
Kelenturan Perencanaan (Planning Flexibility)
Inisiatif kolaborasi sebaiknya menghasilkan rencana yang fleksibel untuk menangkap
perubahan dan pandangan baru. Dibutuhkan mekanisme menggabungkan strategi baru
dan menghadirkan kesempatan atau berhadapan dengan krisis. Inisiatif pemangku
kepentingan yang lebih rumit membutuhkan mekanisme penanganan keluhan atau
menyetujui cara mengelola ketidaksepakatan.
Tabel
Enam Katalis Kolaborasi dan Usulan Langkah
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
1. Strategi Bersama
(Co-designed Strategy)
Memastikan dalam perjalanan waktu
seluruh pemangku kepentingan
menjalankan strategi dan
pelaksanaannya.
1.1 Kejelasan Tujuan (Goal Clarity)
- pengelolaan proses kejelasan tujuan
yang muncul
- pembedahan kondisi saat ini secara
bersama
- pengembangan visi secara bersama
- pengembangan teori perubahan
secara bersama
- pengembangan kesepakatan
terhadap dampak dan
tonggak/milestones secara bersama
- pengembangan dukungan tingkat
tinggi
1.2 Inklusifitas (Inclusivity)
- Pengembangan cara memperkuat
mitra yang lebih lemah
- pengambilan keputusan inklusif
6. 6
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
- pengembangan organisasi tata kelola
dan pengendali yang inklusif dan
mewakili semua
- pengembangan organisasi pengelola
yang sesuai
1.3 Pertanggungjawaban (Accountability)
- penetapan tanggungjawab dan peran
yang jelas
- penetapan prosedur
pertanggungjawaban
- penyepakatan bersama tentang
tonggak keberhasilan
- penyepakatan bersama tentang hasil
pemantauan dan struktur laporan
- pelaksanaan evaluasi bersama
- pengembangan keterbukaan
keuangan dan aturan memadai
- penyiapan aturan hukum memadai
2. Penyelenggaraan Bersama
(Cooperative Delivery)
Memastikan kerjasama antara pemangku
kepentingan dikelola baik dan saling
memperkuat
2.1 Pengelolaan Berkualitas
(Quality Engagement)
- pelibatan bertahap dari mitra utama
dan pemangku kepentingan terkait
- pengambilan keputusan terbuka
- proses perencanaan dan pelaksanaan
yang handal
- pemanfaatan dukungan
- pembentukan sekretariat
2.2 Pengembangan Jejaring
(Network Building)
- perhatian terhadap pengembangan
keterikatan yang memadai diantara
mitra dan pemangku kepentingan
yang terlibat
- pengembangan dukungan
kelembagaan dan politis tingkat tinggi
- pengembangan jejaring aksi antara
pemangku kepentingan kunci
- pembentukan struktur jejaring antara
organisasi mitra
- pengelolaan hubungan dengan
pengelola lembaga kolaborasi
2.3 Orientasi Hasil (Result Orientation)
7. 7
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
- pembentukan sekretariat atau
kelompok inti antarmitra yang
mapan, berfungsi baik dan
mempunyai mandat
- perhatian pada pelaksanaan bersama
- orientasi pada hasil awal dan nyata
- penyediaan alokasi sumberdaya
memadai
3. Inovasi Mudah Diadaptasi
(Adaptive innovation)
Memastikan pengembangan bersama
prototipe transformasi dan perhatian
pada kesempatan yang timbul
3.1 Prototipe Kreatif
(Creative Prototyping)
- pengelolaan proses kreasi bersama
- pencarian solusi bersama yang kreatif
- pembelajaran pengalaman dan cara
pandang dunia yang berbeda
- penciptaan mekanisme pembelajaran
bersama yang kreatif
- perencanaan yang fleksibel dan dapat
beradaptasi
- penyiapan menantang zona nyaman
3.2 Pengelolaan Pengetahuan
(Knowledge Management)
- penetapan keahlian dan pengalaman
yang menjadi tolok ukur
- pemaduan teknik dan keahlian
berkualitas tinggi
- pengkinian pengetahuan terus
menerus
- pengembangan dan perluasan
kapasitas kolaborasi
- pemaparan terhadap solusi dan
kecenderungan terkini
- pembangunan laboratorium inovasi
3.3 Kelenturan Perencanaan
(Planning Flexibility)
- pengembangan mekanisme adaptasi
strategi kegiatan secara bersama
- pengembangan mekanisme
pengaduan
- pengelolaan ketidaksepakatan dan
perkembangan tak terduga
- pemberian perhatian pada krisis
kesempatan yang timbul
8. 8
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
4. Komunikasi Dialogis
(Dialogic Communication)
Memastikan sistem komunikasi yang
menerima keberagaman dan keberadaan
jejaring
4.1 Dialog Terstruktur
(Structured Dialogue)
- pengelolaan pengembangan
kesepakatan dan pembentukan
tujuan bersama
- pengembangan komunikasi dan
dialog terstruktur berkualitas tinggi
- pengembangan aturan terbuka dari
komunikasi dalm dan di luar sistem
kolaborasi
- pengembangan partisipasi pemangku
kepentingan yang sahih
4.2 Tata Kelola (Governance)
- pemantapan sistem transformasi
kolaborasi beragam pelaku
- penyiapan susunan tata kelola yang
mencakup beragam pihak dan
kolaboratif
- pemanfaatan sumberdaya dan
pengetahuan yang saling melengkapi
- pengembangan rancangan
komunikasi yang memadukan
beragam pandangan
- pengakuan beragam kompetensi dan
sumberdaya pemangku kepentingan
- penyertaan beragam tingkatan
pemangku kepentingan
(lokal/nasional/internasional)
4.3 Mekanisme Pembelajaran
(Learning Mechanism)
- peninjauan bersama terhadap peran,
tujuan dan prosedur
- peninjauan proses dan strategi
bersama secara berkala
- pengembangan proses, hasil dan
pemantauan dampak secara bersama
- evaluasi dampak internal dan
eksternal
5. Dampak Kontekstual
(Contextual Impact)
Memastikan kesesuaian dan menyatunya
inisiatif
5.1 Pengelolaan Kontekstual
(Context Management)
- pengkinian berkala pengetahuan
terkait
- mempertimbangkan inisiatif sejenis
9. 9
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
- pemaduan terencana kegiatan lokal
dan global
- pengelolaan komunikasi antara mitra
lokal dan global
- pengembangan Meta-collaboration
dalam jejaring transformasi
5.2 Peningkatan Kapasitas
(Capacity Development)
- pengembangan kapasitas tertentu
- penguatan proses kompetensi dan
transformasi literasi seluruh pihak
terlibat
- pemberian dukungan bagi
pendekatan kolaboratif yang
menjangkau lembaga masing-masing
- penguatan pelaksanaan yang saling
melengkapi
- pemanfatan kekuatan dan keahlian
dari lembaga pemangku kepentingan
5.3 Perhatian pada Dampak
(Impact Focus)
- pemokusan pada manfaat bersama
- peninjauan strategi bersama secara
berkala
- pengembangan ukuran dampak
- penegasan kontribusi terhadap
sistem yang lebih besar
- pengembangan strategi perluasan
yang disepakati,
- perhatian pada strategi jangka
panjang
6. Nilai Bersama (Collective Value)
Memastikan pengaruh dan keterpaduan
kelompok pemangku kepentingan lebih
lemah yang berimbang
6.1 Pendekatan Penghargaan
(Appreciative Approach)
- pengakuan terhadap tujuan individu
- perhatian pada integritas dan harga
diri semua mitra
- perhatian dan penghargaan pada
kendala organisasi
- penghargaan terhadap kontribusi
mitra yang lebih lemah
6.2 Keseimbangan Kekuatan dan Pengaruh
(Balance of Power and Influence)
10. 10
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
- perhatian pada perbedaaan
kemampuan
- penguatan mitra yang lebih lemah
- penyusunan mekanisme melibatkan
kelompok pemangku kepentingan
yang lebih lemah
- pemokusan pada solusi menang-
menang
- pemberian advokasi pada kelompok
pemangku kepentingan yang lebih
lemah
6.3 Pemahaman Bersama
(Mutual Understanding)
- pemahaman memadai tentang misi,
pilihan cara bekerja, dan kendala
organisasi mitra
- pengembangan struktur organisasi
untuk mendengarkan suara
pemangku kepentingan yang
beragam
- pemaparan terhadap cara pandang
dunia, kondisi kehidupan dan kendala
kelompok berbeda
- peyusunan mekanisme rekonsiliasi
Sumber: Kuenkel, 2019.
Katalis Keempat. Komunikasi Dialogis (Dialogic Communication)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan mengembangkan sistem interaksi manusia yang
baru lintas sektor dan lembaga. Hal ini menciptakan hubungan antara masyarakat yang tidak
saling kenal dan biasanya tidak bekerjasama. Karenanya, pengelolaan proses komunikatif adalah
kunci dalam kolaborasi.
Kemajuan tidak dibangun dari meyakinkan orang lain untuk mengikuti tujuan, strategi, atau
rencana aksi yang telah ditetapkan, tetapi lebih pada keinginan merundingkan jalan menuju masa
depan. Proses ini membutuhkan standar minimum bagi keterlibatan mitra dalam proses dan
menetapkan bentuk tata kelola yang memungkinkan suara berbeda terwakili.
Perbedaan kekuatan tak terhindarkan. Namun jika kolaborasi bersifat inklusif, perimbangan
kekuatan seringkali bergeser. Komunikasi berkualitas dan dialog terstruktur baik membuat
inisiatif beragam pemangku kepentingan lebih dihargai. Hal ini tergantung pada seberapa baik
pemangku kepentingan mendengarkan dan keterbukaan komunikasi diantara pemangku
kepentingan dan masyarakat luas.
11. 11
Kepercayaan terbangun sejalan dengan dapat diterimanya rekomendasi, input,
pembelajaran dari para pemangku kepentingan. Kolaborasi memungkinkan komunikasi dialogis
yang memastikan bahwa para pelaku bergerak keluar dari kepentingan masing-masing dan
menuju dialog membangun yang menghasilkan solusi bersama.
Mendorong dialog terstruktur, menetapkan mekanisme tata kelola dan memastikan
pembelajaran bersama berkontribusi pada keberhasilan transformasi perbedaan menjadi solusi
bersama.
Dialog Terstruktur (Structured Dialogue).
Pengelolaan proses penetapan kesepakatan dan tujuan bersama merupakan bagian penting
dalam kolaborasi beragam pemangku kepentingan. Biasanya dalam bentuk lokakarya
evaluasi dan perencanaan atau pertemuan lebih besar.
Fasilitasi profesional dan masukan bagi strategi komunikasi bersama menjadi suatu
keniscayaan. Seluruh pendapat perlu didengar, kesepakatan didokumentasikan secara
terbuka, dan pemangku kepentingan perlu tetap dijaga keterlibatannya dalam seluruh
kegiatan.
Selanjutnya, ekosistem kolaborasi memerlukan pengaturan komunikasi terbuka dan
disetujui baik diantara pemangku kepentingan maupun dengan pihak luar.
Mekanisme Tata Kelola (Governance Mechanism).
Pengambilan keputusan, evaluasi proses, dan mekanisme penyelesaian konflik
membutuhkan semacam pengaturan tata kelola. Pada kolaborasi pemangku kepentingan
yang sederhana hanya dibutuhkan kesepakatan pengambilan keputusan. Tetapi pada
proses yang lebih rumit, dibutuhkan struktur formal seperti komite pengarah, lembaga
penasehat, dan prosedur penyelesaian konflik. Semua harus terwakili.
Mekanisme tata kelola memastikan bahwa keseluruhan pengetahuan dan sumberdaya
termanfaatkan dengan baik. Perbedaan pandangan dan keahlian dapat dimaklumi.
Inisiatif beragam pemangku kepentingan pada berbagai tingkatan baik lokal, nasional
maupun internasional membutuhkan mekanisme tata kelolanya masing-masing
dilengkapi prosedur pengelolaan keseluruhannya.
Pembelajaran Bersama (Collective Learning)
Pentingnya pembelajaran bersama kadang disepelekan dalam inisiatif beragam
pemangku kepentingan, ketika sebagian besar pelaku sedang sibuk dalam pelaksanaan.
Bentuknya dapat berupa evaluasi proses dan strategi bersama secara berkala dan dapat
menghasilkan kesepakatan bersama terhadap keluaran dan pemantauan dampak.
Di luar sistem pemantauan yang mencakup evaluasi dampak internal dan eksternal,
menjadi penting untuk menciptakan budaya belajar diantara pemangku kepentingan yang
terlibat.
12. 12
Katalis Kelima. Dampak Kontekstual (Contextual Impact)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan tidak hanya terfokus pada hasil nyata tetapi juga
sewajarnya pada keluasan dampak. Inisiatif kolaboratif memerlukan hasil yang jelas untuk
menjamin pemangku kepentingan tetap terlibat. Terdapat kemungkinan pemangku kepentingan
hanya terfokus pada hal tertentu saja.
Rencana sebaiknya mempertimbangkan keberadaan inisiatif sejenis lainnya sebagai
pelengkap. Dimungkinkan kolaborasi antara inisiatif pemangku kepentingan yang berbeda baik
yang relatif sama maupun yang saling bergantung satu sama lain. Dampak kontekstual menjamin
bahwa para pelaku berkesadaran pentingnya konteks yang lebih luas dan setiap inisiatif saling
melengkapi satu sama lain.
Pengelolaan Kontekstual (Context Management)
Inisiatif kolaborasi, khususnya pada tahap awal, penting mempunyai pengetahuan
tentang pendekatan pihak lain pada kegiatan yang sama maupun kegiatan pelengkap. Hal
ini membutuhkan pengetahuan terkini terkait insiatif lainnya melalui riset atau
pertukaran informasi. Pada inisiatif yang lebih rumit, pengelolaan kontekstual juga
mengacu pada keterpaduan kegiatan lokal dan global.
Peningkatan Kapasitas (Capacity Development)
Peluang keberhasilan inisiatif kolaborasi meningkat ketika seluruh pemangku
kepentingan terlibat dalam berbagi pengetahuan dan keahlian terkait beragam isu
sekaligus juga tetap terlibat dalam proses kolaborasi. Saling mendukung satu sama lain
terkait penguatan pengetahuan, dan peningkatan kapasitas pelaku kolaborasi, seringkali
diabaikan sebagai faktor pendukung keberhasilan.
Perhatian pada Dampak (Impact Focus)
Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan dipandang rumit dan seringkali
membutuhkan upaya yang sangat keras, oleh karena itu upaya yag dilakukan hanya
sepadan jika hasilnya memang berdampak nyata. Namun, dalam pengelolaan
pelaksanaan sehari-hari yang sering membutuhkan pencapaian konsensus yang
membutuhkan waktu lama, dampaknya seringkali kurang menjadi perhatian. Para
pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses tersebut perlu mengembalikan
perhatian terhadap dampak ke dalam agenda secara berkala. Hal ini dilakukan pada saat
evaluasi strategi atau kegiatan pembelajaran dan dibutuhkan lebih dari sekedar
pengukuran dampak tetapi juga kejelasan kontribusi terhadap sistem yang lebih besar.
Hal ini membantu pelaku untuk memahami dan menyetujui strategi jangka panjang.
Katalis Keenam. Nilai Bersama (Collective Value)
Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan dibangun berdasarkan meningkatnya
kesadaran akan tanggungjawab masa depan dan nilai bersama. Kesadaran ini berdasar pada
13. 13
pemikiran tentang keseimbangan pemanfaatan alam, kerusakan lingkungan, atau ketimpangan
sosial.
Inisiatif ini tidak akan berhasil tanpa empati yang memadai terhadap pemangku kepentingan
lainnya. Pertentangan karena perhatian yang berbeda membayangi kolaborasi beragam
pemangku kepetingan.
Mempertahankan keterlibatan pelaku dilakukan melalui desain proses yang mengakui
perbedaan dan memungkinkan para pelaku mengungkapkan perbedaan keinginan dan
kemampuan. Hal ini memudahkan timbulnya saling percaya yang merupakan pendorong
keberhasilan kolaborasi. Selain juga berkontribusi terhadap meningkatnya kesadaran adanya
saling ketergantungan antara kegiatan.
Pendekatan Penghargaan (Appreciative Approach)
Perhatian terhadap integritas dan harga diri seluruh mitra merupakan isu penting,
sebagai cara baru dalam bekerja bersama. Konflik dengan mudah dapat diselesaikan jika
terdapat saling menghargai satu sama lain. Termasuk kepedulian terhadap kendala yang
dihadapi oleh lembaga pemangku kepentingan yang terlibat.
Keseimbangan Kekuatan dan Pengaruh (Balancing Power and Influence)
Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan berkaitan dengan perbedaan
kekuatan. Mengabaikan atau memandang remeh perbedaan ini merusak hubungan
antara para pemangku kepentingan. Penguatan mitra yang lebih lemah, memastikan
suaranya dapat terdengar, sehingga dapat terwakili, dan berkontribusi terhadap hasil
kolaborasi, merupakan keniscayaan.
Pemahaman Bersama (Mutual Understanding)
Pemangku kepentingan dalam inisiatif kolaborasi memerlukan upaya keras untuk
memahami pandangan mitra terhadap isu tertentu. Hal ini tidak mudah, terutama
terdapat kemungkinan beberapa mitra terkungkung oleh pandangannya selama ini,
bahkan mempunyai pengalaman buruk dengan mitra lainnya, atau dimanfaatkan untuk
menyerang pemangku kepentingan lain. Sementara tidak terdapat kemungkinan
menghindari dilemma ini, keterbukaan dalam memahami pandangan pemangku
kepentingan lain menjadi suatu kebutuhan pembelajaran bagi semua. Ini membuat upaya
kolaborasi bersyarat. Keterpaparan pada situasi, cara pandang, dan kondisi tertentu dari
pemangku kepentingan lain membantu mempercepat terwujudnya pemahaman
bersama.
Tahapan Pengembangan Kolaborasi Beragam Pemangku Kepentingan
Secara umum terdapat 4 (empat) tahapan pengembangan kolaborasi yaitu (i) Tahap
Pertama berupa Penjelajahan dan Pelibatan Ekosistem Kolaborasi (Exploring and Engaging); (ii)
Tahap Kedua berupa Pengembangan dan Peresmian Ekosistem Kolaborasi (Building and
Formalizing); (iii) Tahap Ketiga berupa Pelaksanaan dan Evaluasi Kolaborasi (Implementing and
14. 14
Evaluating); (iv) Tahap Keempat berupa Pengembangan Lanjutan, Replikasi, atau Pelembagaan
Kolaborasi (Developing further Replicating or Institutionalizing).
Sumber: Kuenkel, 2011.
Tahap Pertama. Penjelajahan dan Pelibatan Ekosistem Kolaborasi
Tahapan pertama mempersiapkan sebuah sistem kelembagaan kolaborasi para pelaku
yang luwes, termasuk mencakup peningkatan kapasitas para pencetus terkait kandungan
isu. Hal ini menyangkut dukungan petinggi dalam proses perubahan, kepekaan kelompok
pemangku kepentingan terhadap perubahan, dan membantu pelaku kunci dengan dialog
dan peningkatan kompetensi sehingga mempunyai kemampuan mengatur kolaborasi secara
sistematis.
Pengelolaan hubungan, termasuk saling percaya, saling memahami, dan keterkaitan
dengan tujuan lebih besar adalah kunci utama pada tahap pertama. Diupayakan agar
kesulitan yang dihadapi nantinya tidak akan banyak seperti ketidaksepakatan tentang
mekanisme tata kelola, rencana pelaksanaan, atau prosedur pemantauan.
15. 15
Pembentukan organisasi atau strktur perwakilan tidak memperoleh banyak perhatian.
Fokusnya pada membangun laboratorium lapangan diantara berbagai pemangku
kepentingan.
Tahap ini merupakan awal pergeseran pola interaksi yang kurang berfungsi menjadi
pengaturan kembali hubungan yang menjadi dasar timbulnya fungsi ekosistem kolaborasi.
Perhatian utama pada pelibatan masyarakat dalam upaya perubahan seputar isu bersama
atau masalah yang ingin dipecahkan. Bahkan lebih penting bahwa pemangku kepentingan
dapat saling memahami termasuk cara pandang.
Pola interaksi yang timbul pada tahapan ini adalah
(i) Kelompok inti dengan keinginan kuat menyelesaikan masalah secara bersama-sama
(ii) Menguatnya resonansi perubahan diantara pemangku kepentingan
(iii) Meningkatnya pemahaman terhadap kendala situasi sekarang.
(iv) Pandangan terhadap masa depan yang akan berbeda diantara pemangku kepentingan
(v) Benih perubahan dalam bentuk kelompok inti yang merasa bertanggungjawab
terhadap inisiatif kolaborasi dan memahami konteks sepenuhnya
Tahap Kedua. Membangun dan Meresmikan Ekosistem Kolaborasi
Tahap kedua termasuk meresmikan bentuk konsultasi dan kerjasama diantara
pemangku kepentingan dan memastikan peran dan tanggungjawab pelaksanaan. Visi yang
ditetapkan pada tahap 1 diuji, disaring, dan disepakati oleh seluruh pelaku.
Tahap 2 seringkali memerlukan penelaahan bersama terhadap kenyataan terkini dan
visi, perubahan maksud atau kondisi masa depan. Kesepakatan, rencana dan struktur
sumberdaya manusia yang diperlukan ditetapkan. Jika struktur kurang ditekankan pada
tahap ini, misal melalui kepastian tujuan, perjanjian, peran, dan tanggungjawab, maka
peluang munculnya ekosistem kolaborasi menjadi hilang.
Pola hubungan yang muncul pada tahap ini sebagai berikut.
(i) Ekosistem kolaborasi pemangku kepentingan terkonsolidasi secara bertahap
(ii) Tujuan dan proses jelas termasuk mekanisme pembelajaran dan prosedur
pertanggungjawaban.
Tahap Ketiga. Pelaksanaan dan Evaluasi Kolaborasi.
Tahap ini terfokus pada penyelesaian. Kemajuan atau hasil dievaluasi. Pemangku
kepentingan melaksanakan kegiatan bersama atau berkoordinasi. Sebagian besar inisiatif
kolaborasi mencanangkan pertemuan pemangku kepentingan secara berkala dengan
agenda evaluasi kemajuan dan penyesuaian strategi pelaksanaan.
Pemantauan dan evaluasi serta mekanisme pembelajaran terus menerus perlu
dibiasakan sehingga penyesuaian strategi bersama-sama dapat dilakukan. Jika keduanya
baik struktur (misal rencana pelaksanaan, pemantauan dan struktur tata kelola, mekanisme
pembelajaran dan lainnya) dan proses (misal berbagi hasil, merayakan keberhasilan dan
16. 16
lainnya) tidak memperoleh perhatian pada tahap ini, pelaku cenderung berhenti, kehilangan
rasa memiliki, berhenti melaksanakan, mulai berkonflik, atau mulai bekerja sendiri-sendiri.
Keahlian pelaku kunci dalam mengelola keseimbangan dinamis antara komunikasi dan
penyampaian hasil bersama menjadikan proses kolaborasi yang rumit menjadi efektif
pelaksanaannya.
Pola hubungan yang muncul pada tahap ini sebagai berikut.
(i) Sebuah sistem kolaborasi pemangku kepentingan yang operasional berfungsi baik
(ii) Pembentukan identitas yang menghasilkan kembali keinginan bersama yang
menjadikan seluruh pemangku kepentingan merasa bagian dari gerakan perubahan
yang lebih besar
(iii) Rancangan proses yang membentuk ruang inovasi dan pembelajaran
(iv) Struktur dialog terpadu yang melayani tujuan berbeda seperti pembelajaran,
peninjauan kembali, inovasi dan evaluasi.
Tahap Empat. Pengembangan Lanjutan, Replikasi dan Pelembagaan Kolaborasi
Tahap 4 terkait upaya membawa inisiatif kolaborasi ke tahap selanjutnya, memperluas
atau mereplikasi kegiatannya, dan menghasilkan struktur tahan lama bagi perubahan yang
diharapkan. Termasuk faktor keberhasilan dan pembentukan masyarakat pembuat
perubahan.
Hal ini juga dapat mencakup kerjasama antara inisiatif kolaborasi beragam pemangku
kepentingan yang berbeda. Pada beberapa kejadian, dibutuhkan pengembangan struktur
keterlibatan pemangku kepentingan tahan lama dan struktur pengelolaan pengetahuan
yang memungkinkan pelaku kunci memindahkan pengalamannya ke inisiatif lainnya.
Keberhasilan perlu dirayakan, partisipasi dan kontribusi pemangku kepentingan
sewajarnya dihargai. Ketika inisiatif kolaborasi dikembangkan lebih jauh, pemangku
kepentingan baru perlu dimasukkan ke dalam proses, khususnya ketika pelaksanaan
perubahan diserahkan pada pihak ketiga.
Sebelumnya pihak yang tidak terlibat seharusnya dengan cepat memahami pentingnya
sebuah inisiatif dan dapat terhubung dengan tujuan lebih besar. Proses dari inisiatif yang
masih longgarke bentuk yang lebih resmi tidaklah mudah. Replikasi atau pelembagaan
sering membutuhkan strutur pengelolaan profesional. Perubahan peran dan struktur
pengambilan keputusan seharusnya menjadi lebih efisien. Struktur pengelola saat ini
membutuhkan legitimasi dan kredibilitas tambahan.
Pola interaksi yang muncul pada tahap ini sebagai berikut.
(i) Sebuah sistem kolaborasi pemangku kepentingan terpadu dengan struktur dan tata
kelola pemangku kepentingan tahan lama
(ii) Mekanisme pembaharuan dan inovasi
(iii) Sebuah sistem pelibatan pelaku di luar sistem kolaborasi yang awal
(iv) Sebuah catatan keberhasilan dan dampak
17. 17
Terkait proses kolaborasi,terdapat setidaknya 3 (tiga) model yaitu (i) ModelPerubahan
Dialogis/Dialogic Change Model (Kuenkel dkk, 2011); (ii) Siklus Kemitraan/Partnering Cycle
(Tennyson, 2011); (iii) Dampak Bersama/Collective Impact (Kania dan Kramer. 2011).
Selengkapnya pada Tabel berikut.
Tabel Model Proses Kolaborasi Beragam Pemangku Kepentingan
Model Perubahan Dialogis/
Dialogic Change Model
(Kuenkel dkk, 2011)
Siklus Kemitraan/
Partnering Cycle
(Tennyson, 2011)
Dampak Bersama/
Collective Impact
(Kania dan Kramer. 2011)
Tahap
I
Pengamatan dan pelibatan
(Exploring and Engaging)
Pelingkupan dan pengembangan
(Scoping and building)
Pengembangan ide dan dialog
(Generate ideas and dialogue)
- Memahami keadaan
- Memahami perbedaan
pandangan pemangku
kepentingan
- melibatkan dalam diskusi
persiapan
- meningkatkan kesiapan aksi
- mengembangkan kasus
- identifikasi tujuan dan visi
- penetapan lingkup
- perencanaan kegiatan
- melibatkan masyarakat
dalam diskusi
- identifikasi kesamaan nilai
- menyiapkan kelompok inti
yang akan mengawal
- membangun hubungan dan
saling percaya
Tahap
II
Pengembangan dan Peresmian
(building and formalizing)
Pengelolaan dan Pemeliharaan
(managing and maintaining)
Permulaan aksi
(initiate action)
- menetapkan tujuan dan
komitmen
- menyediakan sumberdaya
- menyepakati perjanjian
formal
- proses perencanaan
- pelaksanaan bersama
- tahapan pelaksanaan
- ditandai dengan upaya
mobilisasi, pelembagaan dan
penyediaan
- mengenali kampiun
- membentuk kelompok
lintas sektor
- memetakan lansekap
- memanfaatkan data bagi
pengembangan kasus
- memasilitasi masyarakat
yang tidak terjangkau
- analisis basis data
pengembangan isu
Tahap
III
Pelaksanaan dan Evaluasi
(implementing and evaluating)
Peninjauan kembali dan
Perbaikan
(reviewing and revising)
Pengaturan Dampak
(organize for impact)
- pelaksanaan kegiatan yang
disepakati
- mengembangkan contoh
kasus
- evaluasi kemajuan dan hasil
- kegiatan dinilai, ditinjau
kembali, dan jika
memungkinkan di perbaiki
- menbangun infrastruktur
(pendukung dan proses)
- mengembangkan agenda
umum (tujuan umum dan
strategi)
- melibarkan masyarakat dan
mengembangkan keinginan
masyarakat
- menetapkan ukuran
bersama (indikator, ukuran
dan pendekatan)
Tahap
IV
Pengembangan lebih jauh,
replikasi atau pelembagaan
(developing further, replicating
or institutionalizing)
Mempertahankan hasil
(sustaining outcomes)
Aksi dan Dampak
Berkelanjutan
(sustain action and impact)
18. 18
Model Perubahan Dialogis/
Dialogic Change Model
(Kuenkel dkk, 2011)
Siklus Kemitraan/
Partnering Cycle
(Tennyson, 2011)
Dampak Bersama/
Collective Impact
(Kania dan Kramer. 2011)
- meningkatkan dialog ke
tahap berikutnya
- memperbesar atau replikasi
kegiatan dialog
- menciptakan lembaga
bertahan lama untuk
perubahan
- mitra tetap bertahan
- kegiatan diperbesar
- menetapkan dan refine,
mendukung pelaksanaan
(penjajaran tujuan dan
strategi)
- mempertahankan
keterlibatan dan melakukan
advokasi
- mengumpulkan,
menelusuri, dan
menyampaikan laporan
(mempelajari dan
memperbaiki proses)
Sumber : Kuenkel, 2011.
Peran Pendukung Utama (Backbone Support) dalam Kolaborasi Beragam Pemangku
Kepentingan
Kolaborasi beragam pemangku kepentingan membutuhkan upaya yang tidak mudah.
Dibutuhkan dukungan dari pihak eksternal dalam melaksanakan tahapan kolaborasi. Saat ini
dikenal istilah backbone support,yaitu ketersediaan dan pemanfaatan sumberdaya manusia yang
independen untuk memberikan dukungan pengelolaan proses kolaborasi. Dukungan ini dapat
berupa pengembangan panduan penyusunan visi dan strategi, koordinasi pelaksanaan, atau
pengembangan mekanisme pembelajaran dan refleksi.
Tugas terpenting pendukung utama adalah merancang proses keterlibatan pemangku
kepentingan dan pelaksanaan kolaborasi. Sebuah organisasi yang berfungsi sebagai pendukung
utama kolaborasi setidaknya memahami prinsip kepemimpinan adaptif; mempunyai
kemampuan menarik perhatian mitra dan menciptakan perasaan mendesak; keahlian
menerapkan tekanan kepada pemangku kepentingan yang tidak berlebihan, mempunyai
kemampuan membingkai isu secara obyektif, dan kekuatan menengahi konflik diantara
pemangku kepentingan.
Seringkali, dukungan ini menjadi penengah bagi beragam keinginan pemangku kepentingan
yang kadangkala saling bertentangan. Dibutuhkan sikap netral, dan idealnya dibiayai pihak luar
yang independen atau dibiayai bersama dengan kesepakatan menghasilkan tujuan tertentu.
Bantuan terfokus pada proses pengelolaan berkualitas tinggi, pengembangan pembelajaran dan
evaluasi bersama, dan mobilisasi sumberdaya tambahan. Oleh karena itu, dukungan utama ini
mempunyai peran penting memperkuat kapasitas pelaku lintas organisasi untuk secara bersama-
sama mengawal proses transformasi.
Terdapat setidaknya 3 (tiga) bentuk dukungan utama yang dibutuhkan, yaitu (i) peran
percepatan (catalyst role), (ii) peran pengawalan (caretaker); dan (iii) peran peningkatan
kapasitas.
19. 19
Peran Percepatan (Catalyst Role)
Dukungan utama dapat berperan sebagai pemercepat kolaborasi beragam pemangku
kepentingan di seputar isu bersama. Inisiatif perubahan yang rumit, sebagai contoh,
pelaku SDGs yang beragam sering dipercepat oleh organisasi pendukung utama yang
melihat kemungkinan perubahan hanya dapat dilakukan oleh beragam pelaku.
Percepatan dapat difasilitasi oleh LSM, lembaga pembangunan, kantor pemerintah,
perusahaan atau koalisi. Organisasi ini tidak perlu bersikap netral terhadap tujuan atau
isu tertentu, namun seharusnya bersikap netral terhadap beragam pemangku
kepentingan dalam kolaborasi. Organisasi tersebut hanya akan memenuhi perannya
sebagai pendukung jika memperoleh dan mempertahankan kepercayaan dari seuruh
pemangku kepentingan yang terlibat.
Peran Pengawalan (Caretaker Role)
Dukungan utama sering berfungsi sebagai pengawal dan fasilitator proses. Upaya
kolaborasi dengan beragam pemangku kepentingan membutuhkan dukungan
profesional, dapat berbentuk sekretariat, untuk mengatur, mengelola, dan mendorong
pencapaian. Pendukung ini berperan dalam proses, komunikasi serta penyelenggaraan
lokakarya, kegiatan dan pertemuan. Perannya melampaui fasiiitasi, bahkan dalam kondisi
tertentu menjadi penyusun strategi proses perubahan. Hal ini penting tidak hanya pada
tahap permulaan namun bahkan sepanjang siklus ekosistem kolaborasi. Sering terjadi,
bentuk dukungan ini telah dimandatkan sejak awal.
Peran Peningkatan Kapasitas (Capacity-Building Role)
Dukungan utama dapat berfungsi sebagai pembangun kapasitas substansi dan
kompetensi proses. Upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan dapat diperkuat
jika para pelaku terkait mengembangkan pemahaman bersama terkait kerangka kerja
kolaborasi efektif dan prinsip pengelolaan proses kolaborasi yang rumit. Perlu dihindari
ketergantungan kepada organisasi pendukung utama dengan meningkatkan kemampuan
para pemangku kepentingan. Peningkatan kapasitas terpadu khususnya dalam tahap
persiapan dan pengembangan, dapat memperkuat kefektifan upaya pengawalan.
Terkadang penyandang dana memandang enteng keberadaan dukungan utama bagi
kefektifan inisiatif kolaborasi. Jika waktu yang disediakan tidak memadai bagi refleksi
bersama terhadap proses, dampak dan kualitas kolaborasi, dikhawatirkan proses
kolaborasi yang rumit dapat gagal.
Contoh Kasus : Pergeseran Pola Dysfunctional
Pada contoh kasus pertama berupa proses kolaborasi beragam pemangku kepentingan
jangka panjang pada tingkat internasional menargetkan keberlanjutan produksi kopi hijau.
Sementara contoh kasus kedua berupa proses kolaborasi jangka pendek untuk memperbaiki
struktur tata kelola pengelolaan sumberdaya air di kawasan kekeringan Tunisia.
20. 20
Contoh Global : Platform Kopi Global (the Global Coffee Platform)
The Global Coffee Platform (GCP) diresmikan Oktober 2016 yang merupakan
kerjasama inklusif beragam pemangku kepentingan dengan tujuan menghasilkan
kesatuan langkah kegiatan berkelanjutan dari beragam pemangku kepentingan baik
masyarakat, swasta, dan pemerintah dan pencapaian berkelanjutan kopi global
Kerjasama ini mendorong pendekatan bawah-atas yang melibatkan pemerintah dan
swasta pada negara produsen kopi untuk membangun kesamaan visi menghadapi
tantangan keberlanjutan dan membawa isu nasional ke agenda global bagi produksi kopi
berkelanjutan.
Tujuan akhir adalah memperbaiki kehidupan komunitas petani kopi seluruh dunia
dan menjaga kualitas lingkungan kawasan perkebunan kopi. Ini merupakan contoh yang
baik tentang tantangan global menjangkau beragam pelaku dan penyebab, dan gabungan
lokal dan global. Kerjasama ini menunjukkan proses mendunia dan sistem transformasi
kolaboratif, memanfaatkan satu produk dan melaksanakan SDG 12 tentang konsumsi dan
produksi berkelanjutan.
Sejarah kerjasama menunjukkan bahwa proses kolaborasi beragam pemangku
kepentingan yang dibangun secara bertahap dapat meningkatkan jangkauan, dampak dan
pertumbuhan kesadaran para pelaku terhadap kerumitan tantangan seperti produksi dan
pola konsumsi tidak berkelanjutan dari sistem kopi global. The Global Coffee Platform
merupakan penggabungan antara Program Kopi Berkelanjutan, didirikan tahun 2011, dan
the Common Code for Coffee Association (4C Association), didirikan tahun 2007.
Keanggotaan asosiasi terdiri dari industri kopi, petani kopi, dan LSM. Jumlah anggota
melampaui 300 tahun 2014 dari 21 negara mewakili 360.000 produsen kopi. Para anggota
menerapkan standar berkelanjutan yang dikembangkan melalui proses kolaborasi
beragam pemangku kepentingan. Bagian selanjutnya akan fokus pada pengembangan
Asosiasi 4C antara 2003 dan 2007.
Sejarah kerjasama menunjukkan bahwa proses kolaborasi beragam pemangku
kepentingan yang terbangun baik dapat meningkatkan jangkauan, dampak dan
menumbuhkan kesadaran seluruh pelaku tentang kerumitan tantangan sistem perkopian
global.
Pemangku kepentingan bergabung berdasar beragam alasan. Keinginan
meningkatkan kualitas dan keamanan suplai maupun memelihara reputasi mendorong
perusahaan besar untuk berpartisipasi. Beberapa perusahaan besar juga menyadari mulai
membesarnya tekanan konsumen terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Masyarakat mempertanyakan solusi jangka panjang terhadap sumberdaya
berkelanjutan dari suplai kopi. Produsen memperlihatkan perhatiannya pada keamanan
dan perbaikan pasar, terutama terkait dengan harga yang lebih baik.
21. 21
LSM bergabung dalam kolaborasi berdasar beragam alasan tergantung
anggotanya, terutama menyangkut kondisi kerja, penghidupan pekerja dan petani kopi
skala kecil. LSM berharap dapat berdialog dengan pemangku kepentingan lain khususnya
pebisnis untuk menjamin kelangsungan produksi.
Upaya menjadikan kolaborasi ini berhasil dan memungkinkan beragam pelaku
bekerja bersama, dibutuhkan keterampilan profesional baru. Hal ini mencakup rancangan
proses komunikasi berkualitas tinggi, dukungan efektif bagi kolaborasi diantara beragam
kelompok berbeda, pengembangan konsensus terhadap tujuan yang disepakati, dan
mediasi konflik yang baik.
Dukungan utama berupa petunjuk strategis, rancangan proses, fasilitasidialog dan
struktur kolaborasi disiapkan oleh sekretariat, yang beranggotakan staf permerintah dan
swasta. Didukung oleh pelaku industri kopi dan the German Development Cooperation.
Berikut tahapan kolaborasi mengikuti Model Perubahan Dialogis, yang terdiri dari
4 (empat) tahapan sebagai berikut.
Tahap Pertama : Pelibatan dan Pengamatan Kolaborasi the Global Coffee
Community
Tujuannya adalah merangkum ide kolaborasi bagi keberlanjutan produksi kopi
hijau melalui dialog, pemahaman konteks, dan memulai inisiatif keragaman
pemangku kepentingan dengan membentuk kelompok inti para pelaku yang terlibat.
Penekanannya pada pengembangan hubungan saling percaya, pengujian
peluang bekerja bersama, dan pembelajaran dari masa lalu. Hal ini mencakup analisis
kondisi, dan pelaku (termasuk pemetaan konflik) melalui dialog informal, dalam
rangka melibatkan pemangku kepentingan terkait yang dapat mendukung inisiatif.
Konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait membantu upaya identifikasi
isu utama dan memantapkan pemahaman yang lebih baik terhadap tantangan yang
dihadapi. Peluncuran inisiatif didahului oleh proses dialog lintas pelaku selama
setahun. Inisiatif berhasil mengumpulkan pendapat penting terutama terkait
kepemilikan, dan inklusifitas pemangku kepentingan. Hal ini membentuk pendekatan
komunitas dan struktur rancangan proses.
Strategi utama tahap pertama adalah menciptakan rasa memiliki baik terhadap
proses maupun substansi bagi sebanyak mungkin pelaku. Tim kecil lintas pelaku
bertemu, bertukar ide, dan menerima masukan dari masyarakat yang tertarik.
Pembicaraan informal menjadi sebuah forum penyaringan peluang memungsikan
kembali hubungan dalam rantai produk kopi. Sebagai hasilnya, sebuah jejaring pelaku
muncul bahkan sebelum peluncuran resmi inisiatif dan ide visioner juga mulai
bermunculan.
Rasa memiliki inisiatif muncul dari tiga pihak yaitu industri dan pedagang kopi,
asosiasi produsen, dan perwakilan LSM. Hal ini dapat terwujud dengan dukungan
utama dari sekretariat berupa fasilitasi komunikasi, pengembangan konsensus, dan
pengambilan keputusan efektif. Pendanaan pertemuan berasal dari swasta dan
pemerintah. Keseimbangan pendanaan merupakan hal penting bagi proses
pengembangan konsensus.
22. 22
Tabel Perbaikan Keefektifan Kolaborasi pada Tahap Pertama
Dimensi Aspek Percepatan Kolaborasi
Kemanusiaan
(humanity)
Empati
Pengembangan kemitraan
antara beragam pemangku
kepentingan kunci
Pemahaman Bersama
Para pencetus memahami
masalah, dan kendala dari
pemangku kepentingan
kunci, memudahkan saling
memahami
Kecerdasan
Bersama
(Collective
Intelligence)
Dialog berkualitas
Membangun resonansi
bagi inisiatif melalui
percakapan informal
dalam beberapa
konperensi terkait kopi.
Dialog Terstruktur
Pencetus memicu kelompok
informal kecil berdiskusi
tentang tujuan inisiatif
Keterlibatan
(engagement)
Proses Berkualitas
Membentuk kelompok inti
pelaku visioner dan
merancang keterlibatan
bertahap dari lebih banyak
pemangku kepentingan.
Membentuk dukungan
utama (backbone support)
Pengelolaan Keterlibatan
Pertemuan kelompok kecil
pencetus dan pemangku
kepentingan kunci
berorientasi masa depan
untuk membentuk
kelompok inti inisiatif.
Kemungkinan
masa depan
(Future
Possibilities)
Orientasi Masa Depan
Mencermati beragam
kemungkinan dan
persyaratan
pengembangannya
Kejelasan Tujuan
Iterasi pertama dari
skenario masa depan oleh
kelompok inti dan
pemangku kepentingan
lebih luas.
Inovasi
(innovation)
Ketangkasan
Menjadi lentur dalam
rancangan proses dan
pemanfaatan kesempatan
yang timbul.
Ketangkasan Perencanaan
Kelompokinti dan
pemangku kepentingan
kuncimengembangkan
strategi awal proyek yang
mengacu target, jangka
pendek, dan tidak kaku.
Keutuhan
(wholeness)
Kontekstual
Meneliti standar ceruk
pasar sekarang dalam
kaitan standar yang
diusulkan.
Kesesuaian Konteks
Sekretariat menganalisis
format dan keefektifan
standar ceruk pasar. Diskusi
pemikiran gabungan
Kontribusi Fokus Dampak
23. 23
Menjaga peluang dampak
visioner tetap tinggi dari
inisiatif terhadap
keberlanjutan agenda,
bahkan jika tidak terdapat
peta jalan menuju tujuan
yang tersedia saat ini.
Kelompok inti memperkuat
keterlibatan emosional dari
pemangku kepentingan
kunci dalam pembicaraan
informal, dengan selalu
mengacu pada peluang
insiatif berdampak lebih
besar
Sumber: Kuenkel, 2011.
Tahap 2 : Pemantapan Inisiatif 4C sebagai Ekosistem Kolaborasi
Tahap kedua dari inisiatif 4C diperuntukkan bagi perbaikan tujuan, memastikan
sumberdaya, menciptakan struktur inisiatif, dan menyetujui rencana aksi. Setelah
peluncuran resmi inisiatif, sebagian besar pemangku kepentingan telah merasa
sebagai bagian dari inisiatif. Kelompok pemegang mandat dipilih untuk menjaga
keseimbangan antara pelibatan kelompok kepentingan dan perwakilan resmi.
Kelompok kepentingan dibutuhkan untuk mendorong proses dan kelompok
perwakilan untuk kepentingan legitimasi.
Layanan dan keahlian substansi dari sekretariat tidak hanya memastikan
berlangsungnya pertemuan pengembangan konsensus, penyerasian pandangan, dan
kehandalan proses tetapi juga membantu memunculkan visi dan termasuk keahlian
yang diperlukan untuk menjelajahi seluruh kemungkinan solusi untuk
mengarusutamakan tantangan pasar kopi.
Hasilnya adalah kesepakatan rencana pelaksanaan, rencana alokasi dana
kontribusi industri kopi, dan pembagian peran dari pemangku kepentingan.
Kelompok Kerja Ahli memulai fokus pada aspek teknis dari standar. Tabel berikut
menggambarkan keterkaitan rencana kegiatan dengan katalis kolaborasi dan dimensi
the Collective Leadership Compass.
Tabel
Peningkatan Keefektifan Kolaborasi dalam Tahap 2
Dimensi Aspek Katalis Kolaborasi
Keterlibatan
(Engagement)
Proses Berkualitas
Pengembangan dan
penyepakatan peta jalan
pelaksanaan
Pengelolaan Keterlibatan
Sekretriat dan kelompok
inti menyelenggarakan
pertemuan besar
melibatkan pemangku
kepentingan kunci dan
pemangku kepentingan
lainnya untuk
24. 24
Dimensi Aspek Katalis Kolaborasi
menganalisis tantangan
saat ini dan bersepakat
tentang peta jalan tahun
pertama.
Keterhubungan
Menciptakan struktur
(perjanjian, membentuk
organisasi dan kelompok
kerja) yang memadai
untuk memastikan
kekompakan pemangku
kepentingan kolaborasi
Pengembangan Jejaring
Sekretariat
mengembangkan struktur
seperti prosedur
partisipasi dan kelompok
kerja bertema isu terkait
Aksi Bersama
Memastikan semua
pertemuan difokuskan
pada hasil kesepaktan
bersama
Orientasi Hasil
Sekretariat menyiapkan
rencana aksi terbuka; hasil
dari kelompok kerja
dievaluasi oleh seluruh
pemangku kepentingan
kunci.
Kecerdasan Bersama
(Collective Intelligence)
Dialog Berkualitas
Merancang bentuk
komunikasi yang
menjamin pertemuan
berkala pemangku
kepentingan
Dialog Terstruktur
Kesepakatan peta jalan
menunjukkan
perkembangan inisiatif
bertahap sesuai rangkaian
pertemuan pemangku
kepentingan.
Keragaman
Menjamin beragam
pandangan terdengar,
penghargaan terhadap
keragaman kontribusi
Inklusifitas
Sekretariat menjamin
memasilitasi dialog
terstruktur yang
mengumpulkan beragam
pandangan yang berbeda.
Kemanusiaan
(humanity)
Keseimbangan
Menciptakan
kesempatan bagi
interaksi informal dan
peserta saling mengenal
satu sama lain sebagai
masyarakat sepanjang
pertemuan
Keseimbangan Kekuatan
Sekretariat merencanakan
pertemuan informal pada
saat pertemuan
pemangku kepentingan
yang membantu pelaku
memahami perbedaan
pandangan, kendala dan
lainnya (misal kunjungan
25. 25
Dimensi Aspek Katalis Kolaborasi
lapangan ke kelompok
sasaran atau perusahaan)
Peluang Masa Depan
(Future Possibilities)
Orientasi Masa Depan
Menggambarkan masa
depan berbeda bersama
seluruh pemangku
kepentingan
Kejelasan Tujuan
Iterasi kedua dari skenario
masa depan bersama
seluruh pemangku
kepentingan kunci
Pemberdayaan
Membentuk komite
pengarah terdiri dari
seluruh kelompok
pemangku kepentingan
yang berfungsi sebagai
pengambil keputusan
dalam proses
pelaksanaan
Mekanisme Tata Kelola
Sekretariat mengatur
prosedur untuk
membentuk sebuah
komite pengarah.
Inovasi (Innovation) Kesempurnaan
Mengundang ahli
tentang isu standar
keberlanjutan, sertifikasi,
dan meningkatkan
kapasitas petani
Pengelolaan Pengetahuan
Sekretariat dan kelompok
inti mengundang ahli
memberi masukan dalam
pertemuan pemangku
kepentingan. Seluruh
pemangku kepentingan
berdiskusi tentang
pandangan dan urusan
terkait.
Keutuhan (Wholeness) Kontekstual
Secara berkala menilai
kembali analisis
pemangku kepentingan
dan keragaman pelaku
Kesesuaian Konteks
Kelompok inti dan
sekretariat menyelengga-
rakan analisis pemangku
kepentingan dan
konfliknya.
Kontribusi
Menjaga peluang
dampak visioner tetap
tinggi dari inisiatif
terhadap keberlanjutan
agenda, bahkan jika tidak
terdapat peta jalan
menuju tujuan yang
tersedia saat ini.
Fokus Dampak
Kelompok inti
memperkuat keterlibatan
emosional dari pemangku
kepentingan kunci dalam
pembicaraan informal,
dengan selalu mengacu
pada peluang insiatif
berdampak lebih besar
Sumber: Kuenkel, 2011.
26. 26
Tahap Ketiga : Pelaksanaan dan Evaluasi Tujuan Inisiatif 4C
Tahap ketiga menekankan pengembangan standar dan penyepakatan aturan
partisipasi bagi anggota baru. Pertemuan pemangku kepentingan tidak bebas konflik.
Saling tidak percaya tidak pernah benar-benar hilang, namun pemangku kepentingan
bertahan dalam kolaborasi dan bergerak menuju hasil nyata.
Diskusi dalam forum beragam pemangku kepentingan seringkali berkelindan
antara proses perundingan politis dan komunikasi pragmatis tentang kelayakan
kandungan isu tertentu. Tetapi setiap kali aspek politis mengemuka, para pelaku
memokuskan kembali pada aspek praktis. Peluang mempengaruhi pasar kopi global
membantu forum untuk mencapai hasil meskipun demikian besarnya rasa tidak
saling percaya satu sama lain. Cara pandang yang kaku berubah berkat terpapar cara
pandang lainnya, melalui pertemuan pribadi. Peserta bergerak dari sekedar
perwakilan organisasi, dan kualitas kerjasama menjadi lebih baik. Hal ini terwujud
dalam hasil nyata.
Terkadang konflik disebabkan oleh dominasi segelintir orang, kadang disebabkan
kekuatan sekelompok pemangku kepentingan yang membahayakan proses
pengembangan konsensus. Kadang juga sekelompok besar pemangku kepentingan
mengancam keluar dari proses kolaborasi. Namun setelah 2 (dua) tahun proses
kolaborasi berjalan, ekosistem kolaborasi telah menyatu. Keinginan bersama telah
menguat untuk mencegah perpecahan.
Untuk mencegah timbulnya konflik, sekretariat menyiapkan informasi selengkap
mungkin, mengundang ahli terkait isu tertentu dan memasilitasi proses pengambilan
keputusan. Pada tahap awal, setiap peluang konflik memperdalam perbedaan antara
pemangku kepentingan yang berbeda, tetapi dengan berjalannya waktu seluruh
pelaku memperoleh kemampuan berhadapan dengan konflik secara rasional dan
terhormat. Membangun saling percaya antara peserta yang tidak yakin dan pesimis
menjadi kunci keberhasilan.
Setelah 2 (dua) tahun, tata cara (code of conduct) produksi kopi hijau telah
disepakati, dan inisiatif kolaborasi mulai berfokus pada diseminasi standar dan
melibatkan komunitas lebih luas. Hal ini menjadi titik kritis, sementara pemangku
kepentingan baru perlu dilibatkan, rasa memiliki terhadap visi jangka panjang
diperlukan agar berakar diantara lebih banyak pemangku kepentingan dan
diperlukan cara inovatif agar produsen melaksanakan proses produksi ramah
lingkungan. Jejaring pelaku yang terlibat memasilitasi pelaksanaannya. Dikarenakan
strategi jejaring yang terbuka dan terpercaya, hasil kolaborasi dapat dilaksanakan
oleh banyak pelaku yang terlibat.
27. 27
Tahap Keempat : Pelembagaan Ekosistem Kolaborasi
Tahap keempat dimulai ketika pemangku kepentingan menyepakati untuk
membentuk sebuah LSM untuk menyiapkan struktur formal inisiatif masa depan.
Keanggotaan organisasi global ini – Asosiasi 4C – diperuntukkan bagi keberlanjutan
pelaksanaan bidang perkopian, terdiri dari pengusaha besar sampai petani kopi skala
kecil termasuk pendukungnya. Rancangan proses transformasi dan dialog menarik
banyak pihak mengikuti standar ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pembentukan keanggotaan organisasi menjadi langkah berikutnya. Pada awal
inisiatif 4C, tidak seorang pun berpikir kemungkinan membentuk organisasi seperti
ini. Idenya berkembang sejalan dengan perenungan terus menerus. Inisiatif mulai
berfokus pada hasil yang terukur, seperti jumlah perdagangan kopi yang mengikuti
aturan. Hal ini menarik anggota baru yang secara bertahap mempertimbangkan
konsep berkelanjutan lebih sesuai dengan bisnisnya.
Tidak semua langkah berjalan mulus. Meskipun inisiatif tetap menarik minat
anggota baru, tetapi selalu terdapat peserta yang merasa tidak memperoleh
manfaat. Menyampaikan pesan asosiasi 4C ke sebanyak mungkin pelaku dalam
komunitas kopi, sampai petani kopi, ternyata menghabiskan sumberdaya yang jauh
lebih banyak dari perkiraan. Ternyata sulit mengetahui perbedaan kritik dari pihak
yang ingin belajar maupun pesaing. Tetapi konsultasi dan dialog intensif memperoleh
hasil semakin banyak organisasi dan perorangan seluruh dunia bergabung dalam
inisiatif.
Beberapa tahun kemudian, menjadi makin jelas bahwa terdapat kegiatan sejenis
secara bersamaan pada skala global, sebagian melengkapi sebagian lagi
berseberangan dengan kegiatan asosiasi 4C. Asosiasi 4C dan the Global Coffee
Program ternyata mempunyai banyak anggota yang sama. Untuk mencegah
ketidakefektifan dan pengulangan upaya, disarankan berkolaborasi. Hal ini memberi
jalan penggabungan kedua tujuan organisasi kedalam sistem transformasi lebih besar
yang akan mempercepat dampak global.
Contoh Lokal : Forum Air Nebhana (the Nebhana Water Forum)
Tunisia menghadapi masalah kelangkaan air yang cukup parah. Sementara
pertumbuhan penduduk disertai dampak perubahan iklim telah menambah kebutuhan
air yang nyata.
Pemerintah Tunisia sedang menyusun strategi nasional Integrated Water Resource
Managemet (IWRM)/Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu yang bertujuan memperbaiki
pengelolaan air tanpa mengabaikan keberlanjutan ekosistem. Pelaksanaan strategi ini
membutuhkan gabungan inovasi dan kemampuan teknis melalui pendekatan partisipasi
pemangku kepentingan dan peningkatan kapasitas.
28. 28
Sampai tahun 2015, beragam pelaku tidak memberi perhatian terhadap kelangkaan
air di Provinsi Kairouan. Pelanggaran seperti sumur ilegal, atau pencurian air menjadi
kebiasaan tanpa tindakan hukum. Asosiasi Petani pun mengajukan keluhan tentang
keterbatasan air. The Collective Leadership Institute memperoleh tugas sebagai
pendukung utama bagi pelaku lokal mengembangkan strategi pengelolaan air dan
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Bentuknya adalah memasilitasi proses
kolaborasi antara beragam pemangku kepentingan untuk mengembangkan skema dialog
bertema pengelolaan air terpadu di kawasan uji coba. Upaya ini menjadi prototipe yang
dapat diperluas pada tingkat nasional.
Pada tahun 2016, setelah 1,5 tahun proses pelibatan beragam pemangku
kepentingan, forum air pertama kali berfungsi. Sekitar 300 pemangku kepentingan,
termasuk petani, asosiasi petani, instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, dan
LSM, turut berpartisipasi. Proses pelibatan yang intensif juga mencakup serangkaian
pertemuan kecil dengan beragam kelompok dan bertujuan merubah pola interaksi yang
tidak optimal antara petani, pemerintah, masyarakat dan LSM. Setelah proses ini,
diharapkan krisis air tertangani dan para pemangku kepentingan bekerja bersama.
Kebuntuan antara pemerintah dan petani dapat dicairkan dan bergeser menuju
pengelolaan sumberdaya air berorientasi masa depan.
Walaupun secara resmi pemerintah telah mendorong proses tata kelola partisipatif,
namun masih dibutuhkan waktu untuk penyesuaian. Para pegawai pemerintah masih
takut kehilangan kekuasaan, sementara petani dan masyarakat belum sepenuhnya
mempercayai pemerintah. Pada kondisi serumit ini, ide mengumpulkan pemangku
kepentingan yang berkonflik untuk menemukan solusi masalah kelangkaan air dipenuhi
kerumitan, tantangan, dan karakteristik paradox dari ketidakstabilan sistem sosial.
Setelah 1.5 tahun, dengan dukungan utama, ketidakberfungsian pola interaksi dapat
diselesaikan. Petani mulai berkeinginan bergabung dalam upaya penyelesaian masalah
dengan menyarankan penandatanganan kesepakatan pengelolaan sumberdaya air.
Secara bertahap kolaborasi berkembang dengan pemerintah, kelompok kerja mulai
membahas isu seperti irigasi, air minum, dan distribusi air. Proses bukan mengenai
menggerakkan petani melawan pemerintah, tetapi pendekatan bertahap untuk
membangun rasa percaya petani dan kemampuan pemerintah untuk berbagi peran
merancang masa depan. Akhirnya forum dialog terbentuk, semua pihak terlibat bahkan
dalam proses persiapannya. Ini merupakan proses bawah-atas yang rumit yang terhubung
dengan dukungan dan ijin dari pelaku proses atas-bawah.
Pendekatan utama adalah menciptakan pola terpisah terlebih dahulu berupa
interaksi diantara sesame petani dan diantara sesama pemerintah secara terpisah. Tahap
berikutnya baruah kedua kelompok bergabung membentuk pola interaksi yang baru.
Tujuannya adalah membentuk forum air sebagai tata kelola beragam pemangku
29. 29
kepentingan yang bertahan lama dalam memperkuat pemangku kepentingan untuk
melaksanakan bersama pengelolaan air terpadu, dan lebih berkelanjutan.
Sebelum forum terbentuk, kolaborasi beragam pemangku kepentingan melalui dua
tahap yaitu tahap pelibatan dan tahap pengembangan. Bagian berikut menjelaskan
tahapan dimaksud dengan mengungkapkan elemen kritis kolaborasi yang memungkinkan
pemangku kepentingan mengawal pola interaksi, mengurangi ketidakpercayaan, dan
menuju kolaborasi dan konsultasi terstruktur. The Collective Leadership Compass
dimanfaatkan sebagai perangkat diagnosa, perencanaan, dan refleksi oleh tim pendukung
utama.
Tahap Pertama : Pelibatan Pemangku Kepentingan dalam Kolaborasi Air
Tahap Pertama berfokus pada pemahaman kebutuhan, pandangan, dan
kepedulian beragam pemangku kepentingan. Di lain pihak, keempatan ini dapat
dimanfaatkn oleh pendukung utama untuk memahami kerumitan situasi dan
perbedaan pandangan pemangku kepentingan selin juga memungkinkan pemangku
kepentingan mengungkapkan pandangan tentang gambaran krisis. Pemangku
kepentingan utama adalah pemerintah daerh dan pengguna air.
Kepentingan petani beragam didasari oleh perbedaan luasan lahan, ketersediaan
air, jenis produk, dan lainnya. Pendukung utama membutuhkan waktu khusus untuk
sekedar mendengarkan tanpa menawarkan solusi. Dibutuhkan penyadaran awal
tentang keberagaman kondisi dan pandangan diantara para petani.
Secara bertahap, mulai dilakukan pergeseran dari sekedar mendengarkan menjadi
dialog paralel antara para petani dan antara pegawai pemerintah. Peningkatan
kapasitas pendekatan kolaborasi beragam pemangku kepentingan dilakukan terhadap
pegawai pemerintah untuk menjamin keberlanjutan pendekatan ini. Pemerintah dan
petani tidak bisa langsung menghadiri pertemuan bersama karena belum timbulnya
rasa saling percaya. Petani melihat dirinya sebagai korban, sementara pemerintah
menuduh petani sebagai pelanggar aturan.
Setelah 6 (enam) bulan pengguna air mulai menyadari pentingnya berubah sikap
dan bergabung dalam inisiatif, serta mengakui pentingnya kolaborasi dan dialog.
Pegawai pemerintah mulai menyadari bahwa sekedar menerapkan aturan, dan
prosedur baku tidak menghasilkan solusi. Seluruh pemangku kepentingan mulai
menyadari kegagalan interaksi. Upaya memberi perhatian penuh pada pemahaman
urusan, akhirnya berujung pada situasi para pihak mulai melihat situasi yang sama
dengan cara baru dan berbeda. Di sini titik awal mulainya pembahasan bersama.
Dukungan utama yang terus berlanjut, akhirnya pengguna air membentuk jejaring
100 orang, mewakili 400 petani. Selanjutnya 40 petani ditunjuk mewakili kelompoknya
berdiskusi dengan pegawai pemerintah. Keberadaan jejaring pengguna air yang baru
ini menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan. Untuk pertma kali, pengguna air
30. 30
menghadiri diskusi dengan pegawai pemerintah sebagai satu kelompok bersatu. Hal
ini mendorong pihak yang meragukan dari pihak pemerintah untuk segera bertindak.
Walaupun pada awalnya memicu ketakutan kehilangan kendali di pihak pemerintah.
Hal ini dapat terhindarkan melalui rancangan peningkatan kapasitas terkait pendektan
dialogis bagi perwakilan petani dan pemerintah. Lingkaran setan terpecahkan melalui
penciptaan peluang pertukaran informal yang merintis jalan pertemuan formal.
Tahap Kedua : Penetapan Sebuah Ekosistem Kolaborasi Air
Tahap kedua berfokus pada pengambilan keputusan bersama. Forum diskusi
kecil lintas pemangku kepentingan dibentuk. Secara bertahap, tingkat kepercayaan
meningkat, pelaku mulai saling mendengarkan dan tahap kolaborasi dimulai. Petani
menyarankan pengembangan piagam kesepakatan yang berisikan panduan bagi
seluruh pemangku kepentingan dan akan menjadi kesepakatan kerangka acuan bagi
pengelolaan sumberdaya air terpadu. Pemerintah mendorong pembentukan
kelompok kerja tematik. Pertemuan resmi mulai berkembang dan menghasilkan
rancangan piagam kesepakatan dan rekomendasi dari kelompok Kerja tematik.
Pada tahun 2016, Forum Air diluncurkan dan hasil Kelompok Kerja disampaikan
kepada masyarakat. Termasuk kesepakatan pengelolaan air terpadu, baik jangka
pendek maupun jangka menengah. Termasuk isu pengurangan kawasan irigasi,
31. 31
komitmen penanaman produk berkonsumsi rendah air, dan insentif keuangan bagi
petani yang menggunakan teknik irigasi hemat air.
Piagam kesepakatan yang dirancang bersama diresmikan melalui
penandatanganan kesepakatan didepan masyarakat. Sebuah Komite Koordinasi terdiri
dari perwakilan pemangku kepentingan ditetapkan, dan menerima mandat untuk
meneruskan kolaborasi dan memantau hasilnya.
Pembelajaran utama dari proses ini bahwa meningkatkan kapasitas kelompok
marjinal seperti petani pengguna air kemudian berbuah munculnya usulan yang
berkualitas. Bahkan ketika seharusnya urusan air banyak menyangkut aspek teknis.
Akhirnya, tanggapan pegawai pemerintah menjadi sangat baik ketika usulan petani
berkualitas.