2. Presipitasi
• Presipitasi : turunnya air dari atmosfer ke
permukaan bumi, yang bisa berupa hujan,
hujan salju, kabut, embun dan hujan es.
• Di daerah tropis, termasuk Indonesia,
yang memberikan sumbangan paling
besar adalah hujan, sehingga seringkali
hujanlah yang dianggap sebagai
presipitasi.
3. Istilah-istilah terkait dengan
presipitasi
1.Tebal hujan (rain depth) merupakan jumlah presipitasi yang
terjadi, dinyatakan sebagai tebal lapisan air di atas permukaan
tanah. Satuannnya mm atau inch.
2.Durasi hujan (duration of rainfall) adalah lamanya presipitasi
berlangsung. Satuannya menit atau jam
3.Intensitas hujan (rainfall intensity) adalah laju presipitasi/
kederasan hujan/intensitas hujan, merupakan kedalaman atau
ketinggian air yang jatuh per satuan waktu. Satuannya mm/menit,
mm/jam, atau inch/jam.
4.Frekuensi hujan (return periode).adalah banyak kejadian hujan
berlangsung, umumnya dinyatakan dengan periode ulang.
4. Mekanisme Hujan
Hujan terjadi karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang
lebih tinggi sebagai respon adanya perbedaan tekanan udara antara dua
tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut karena adanya
akumulasi uap air pada suhu rendah, maka terjadilah proses kondensasi dan
pada gilirannya massa air basah tersebut jatuh sebagai hujan. Disamping itu
hujan bisa juga terjadi akibat dari pertemuan antara dua massa air basah dan
panas. Mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan 3 faktor utama, yaitu:
1.Kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya
atmosfer menjadi jenuh.
2.Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air kecil di atmosfer.
3.Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan
waktu untuk kemudian jatuh ke permukaan tanah dan permukaan laut
(sebagai hujan) karena gravitasi bumi.
5. Pola Hujan
Berdasarkan intensitas dan model dari histogramnya, hujan dapat
diklasifikasikan menjadi 4 model hujan, yaitu:
1.Uniform patern, bentuk hujan dengan intensitas merata sepanjang
berlangsungnya hujan.
2.Advanced patern, hujan dengan intensitas terpusat di depan (awal hujan
berlangsung).
3.Intermediate patern, hujan dengan intensitas terpusat ditengah-tengah
berlangsungnya hujan
4.Delayed patern, hujan dengan intensitas terpusat di belakang (pada akhir
hujan berlangsung).
6. Tipe Hujan
• Hujan terjadi karena udara
basah yang naik ke atmosfer
mengalami pendinginan
sehingga terjadi proses
kondensasi.
• Naiknya udara ke atas dapat
terjadi secara siklonik,
orografik dan konvektif.
7. HUJAN KONVEKTIF
• Hujan jenis ini biasanya
terjadi sebagai hujan
dengan intensitas yang
tinggi, akibat massa udara
yang terangkat ke atas oleh
pemanasan lahan. Hujan
jenis ini biasanya terjadi di
daerah yang relatif luas dan
bergerak sesuai dengan
pergerakan angin.
Pembentukan hujan konvektif
8. HUJAN SIKLONIK
• Hujan jenis ini biasanya
terjadi karena udara lembab
panas terangkat ke atas
oleh lapisan udara yang
lebih dingin dan lebih rapat.
Penyebaran hujan jenis ini
sangat dipengaruhi oleh
landai pertemuan antara
udara panas dan dingin dan
biasanya merupakan hujan
dengan daerah penyebaran
terbatas dan dalam waktu
pendek.
Pembentukan hujan siklonik
9. HUJAN OROGRAFIK
• Hujan jenis ini terjadi karena massa udara lembab
terangkat ke atas oleh angin karena adanya
gunung/pegunungan. Udara lembab yang melintasi
daerah pegunungan akan naik dan mengalami
pendinginan, sehingga terbentuk awan dan hujan.
Pembentukan hujan orografik
10. Alat Pengukur Hujan
Alat ukur hujan dapat dibedakan menjadi 2
macam, yaitu penakar hujan biasa (manual
raingauge) dan penakar hujan otomatis
(automatic raingauge).
Data curah hujan dapat berupa data curah hujan
harian atau curah hujan pada periode waktu yang
lebih pendek, misal setiap menit. Data hujan tipe
pertama dapat diukur dengan penakar hujan
biasa terdiri dari bejana dan corong seluas 200
cm2
yang dipasang setinggi 120 cm dari
permukaan tanah. Data hujan untuk periode
pendek didapat dari alat penakar hujan otomatis
ARR (automatic rainfall recorder) yang dapat
merekam setiap kejadian hujan selama jangka
waktu tertentu. Berdasarkan mekanisme
perekaman data hujan ada tiga jenis ARR, yaitu
tipe weighing bucket, tipping bucket dan float.
13. ALAT PENAKAR HUJAN BIASA
Alat penakar hujan biasa terdiri dari corong dan
botol penampung yang berada di dalam suatu
tabung silinder. Hujan yang jatuh pada corong
akan tertampung di dalam tabung silinder,
kemudian kedalaman hujan di dapat dari
pengukuran volume air yang tertampung dan
luas corongnya. Curah hujan kurang dari 0,1
mm dicatat sebagai 0,0 mm, sedangkan jika
tidak ada hujan dicatat dengan garis (-).
16. PENAKAR HUJAN JENIS TIMBANGAN
• Tipe timbangan (weighing bucket) dapat
merekam jumlah kumulatif hujan secara
kontinyu. Alat ini tidak dilengkapi dengan
sistem pengurasan otomatik.
18. ALAT PENAKAR HUJAN JENIS TIMBA JUNGKIT
• Alat penakar hujan otomatis dengan tipping
bucket digunakan untuk pengukuran khusus.
• Air hujan yang tertampung ke dalam corong
akan diteruskan ke saringan kemudian
masuk ke dalam tipping bucket. Kapasitas
bucket ini didesain khusus setara dengan 0.5
mm, sehingga apabila tampungan air hujan
tercapai akan terjungkir (tipping) yang akan
diteruskan dengan proses perekaman.
19. ALAT PENAKAR HUJAN JENIS TIMBA JUNGKIT
Tipping bucket
Saringan
Pipa pembuang
20. Penakar hujan jenis pelampung
• Prinsip mekanisme kerja alat penakar hujan otomatis
tipe ketiga yaitu float adalah dengan memanfaatkan
gerakan naik pelampung dalam bejana akibat
tertampungnya curah hujan. Pelampung ini berhubungan
dengan sistem pena perekam di atas kertas berskala
yang menghasilkan grafik rekaman data hujan. Alat ini
dilengkapi dengan sistem pengurasan otomatis, yaitu
pada saat air hujan yang tertampung telah mencapai
kapasitas receivernya akan dikeluarkan dari bejana dan
pena akan kembali pada posisi dasar kertas rekaman
data hujan.
21. Penakar hujan jenis pelampung
Pelampung
Corong
Jam pencatat
Sifon
Kertas perekam
data hujan
22. Syarat teknis Penempatan dan
pemasangan alat pada stasiun hidrologi
• Penakar hujan ditempatkan pada lokasi sedemikian
sehingga kecepatan angin di tempat tersebut sekecil
mungkin dan terhindar dari pengaruh penangkapan air
hujan oleh benda lain di sekitar alat penakar hujan.
• Penempatan setasiun hujan hendaknya berjarak
minimum empat kali tinggi rintangan terdekat.
• Lokasi di suatu lereng yang miring ke satu arah
tertentu hendaknya dihindarkan.
• Penempatan corong penangkap hujan diusahakan
dapat menghindari pengaruh percikan curah hujan ke
dalam dan disekitar alat penakar sebaiknya ditanami
rumput atau berupa kerikil, bukan lantai beton atau
sejenisnya.
23.
24. Penentuan Hujan Kawasan/Hujan DAS
• Stasiun penakar hujan hanya memberikan
kedalaman (tinggi) hujan di titik di mana stasiun
tersebut berada, sehingga hujan pada suatu
luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran
tersebut.
• Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari
satu stasiun pengukuran yang ditempatkan
secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-
masing stasiun dapat tidak sama.
25. METODE
• Dalam analisis hidrologi sering diperlukan
untuk menentukan hujan rerata pada
daerah tersebut.
• Terdapat 3 metode :
– Aritmatik
– Poligon Thiessen
– Isohiet
26. 1. Metode rerata aritmatik (aljabar)
• Metode ini adalah metode yang paling sederhana. Pengukuran
dengan metode ini dilakukan dengan merata-ratakan hujan di
seluruh DAS. Stasiun hujan yang digunakan untuk menghitung
dengan metode ini adalah yang berada di dalam DAS, akan tetapi
stasiun yang berada di luar DAS dan jaraknya cukup berdekatan
masih bisa diperhitungkan. Metode aljabar ini memberikan hasil
yang tidak teliti, metode ini memberikan hasil yang cukup baik jika
penyebaran hujan merata, serta hujan tidak terlalu bervariasi.
• Hujan DAS dengan cara ini dapat diperoleh dengan persamaan:
• dengan:
p = hujan rerata di suatu DAS
pi = hujan di tiap-tiap stasiun
n = jumlah stasiun
n
p
p
n
i
i∑=
= 1
n
pppp
p n++++
=
.....321
27. Contoh Ilustrasi
n
pppp
p n++++
=
.....321
Hitung hujan rerata dengan
metode aljabar!
A = 22 mm
B = 28 mm C = 30 mm
D = 25 mm
3
CBA ppp
p
++
=
3
302822 ++
=p
mmp 67,26=
Jika stasiun D di luar DAS ikut
diperhitungkan maka: mmp 25,26
4
25302822
=
+++
=
28. 2. Metode Thiessen
• Metode ini digunakan untuk menghitung
bobot masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Metode ini
digunakan bila penyebaran hujan di
daerah yang ditinjau tidak merata.
29. PROSEDUR HITUNGAN METODE
POLIGON THIESSEN
Hitungan poligon Thiessen dilakukan dengan cara:
a. Stasiun hujan digambar pada peta daerah yang ditinjau.
b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis
lurus, sehingga akan didapatkan bentuk segitiga.
c. Tiap-tiap sisi segitiga dibuat garis berat sehingga saling
bertemu dan membentuk suatu poligon yang
mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan
yang dibentuk oleh poligon, sedangkan untuk stasiun
yang berada di dekat batas daerah, garis batas daerah
membentuk batas tertutup dari poligon.
d. Luas tiap poligon diukur, kemudian dikalikan dengan
kedalaman hujan di tiap poligon. Hasil jumlah hitungan
tersebut dibagi dengan total luas daerah yang ditinjau.
31. Prosedur hitungan ini dijelaskan pada
persamaan dan gambar berikut ini.
Dimana:
• P = curah hujan rata-rata,
• P1,..., Pn = curah hujan pada setiap setasiun,
• A1,..., An = luas yang dibatasi tiap poligon.
total
nn
A
PAPAPA
P
......... 2211 +++
=
n
nn
AAAA
PAPAPAPA
P
++++
++++
=
.....
..........
321
332211
32. A = 22 mm
B = 28 mm C = 30 mm
D = 25 mm
AA = 50 km2
AB = 53 km2
AC = 45 km2
x
x
Garis ini membagi sisi
segitiga menjadi 2
bagian sama panjang
(di tengah-tengah)
dan tegak lurus
terhadapnya.
Contoh Ilustrasi
Gambar tidak berskala, luas
bagian dan tinggi hujan hanya
merupakan perumpamaan
33. Hujan rerata cara Thiessen
total
nn
A
PAPAPA
P
......... 2211 +++
=
CBA
CCBBAA
AAA
PAPAPA
P
++
++
=
...
455350
30.4528.5322.50
++
++
=P
mm58,26
148
3934
==P
34. A = 22 mm
B = 28 mm
C = 30 mm
D = 25 mm
AA = 50 km2
AB = 37 km2
AC = 41 km2
AD = 20 km2
Poligon Thiessen dengan
melibatkan stasiun hujan D
yang berada di luar DAS
35. Hujan rerata cara Thiessen
total
nn
A
PAPAPA
P
......... 2211 +++
=
DCBA
DDCCBBAA
AAAA
PAPAPAPA
P
+++
+++
=
....
20413750
25.2030.4128.3722.50
+++
+++
=P
mm12,26
148
3866
==P
36.
37. 3. Metode Isohiet
• Pada prinsipnya isohiet adalah garis yang
menghubungkan titik-titik dengan
tinggi/kedalaman hujan yang sama,
Kesulitan dari penggunaan metode ini
adalah jika jumlah stasiun di dalam dan
sekitar DAS terlalu sedikit. Hal tersebut
akan mengakibatkan kesulitan dalam
menginterpolasi.
38. Metode pembuatan garis Isohiet
sebagai berikut:
• Pada peta yang ditinjau, digambarkan lokasi
daerah hujan dan kedalaman hujan.
• Di stasiun hujan yang saling berdampingan
dinilai kedalaman hujannya dan dibuat
interpolasinya. Kemudian hasil interpolasi yang
mewakili kedalaman hujan yang sama
dihubungkan satu sama lain.
• Luas daerah diantara 2 garis isohiet diukur
luasnya, dan dikalikan dengan nilai rerata di
kedua garis isohiet. Kemudian jumlah dari
hasil hitungan tersebut dibagi dengan total
luasan daerah yang ditinjau.
41. Hujan DAS menggunakan Isohiet dapat dihitung
dengan persamaan:
∑
∑=
++
= n
i
i
n
i
ii
i
A
II
A
p 1
1
2
n
nn
n
AAA
II
A
II
A
II
A
p
+++
+
++
+
+
+
=
+
.....
2
.....
22
21
132
2
21
1
Dengan:
p = hujan rerata kawasan
Ai = luasan dari titik i
Ii = garis isohiet ke i
42. 30
35
40 45
50
60
A = 18 B = 22
C = 36
D = 33
E = 41
F = 42
G = 65 I = 63
H = 49
A1 = 50 km2
A2 = 20 km2
A3 = 180
km2
A4 = 45 km2
A5 = 15 km2
A6 = 25 km2
I1
I2
I3
I4
I5
I6
Catatan: tinggi hujan dalam mm
43. Hujan DAS menggunakan Isohiet
n
nn
n
AAA
II
A
II
A
II
A
p
+++
+
++
+
+
+
=
+
.....
2
.....
22
21
132
2
21
1
654321
64
6
55
5
54
4
42
3
33
2
21
1
222222
AAAAAA
II
A
II
A
II
A
II
A
II
A
II
A
p
+++++
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
=
2515451802050
2
5050
25
2
6060
15
2
6045
45
2
4535
180
2
4040
20
2
3530
50
+++++
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
=p
mm20,42
335
5,137.14
==p