SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  51
PEDOMAN KONSELING<br />GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA <br />BAGI PETUGAS KESEHATAN<br />KEMENTERIAN KESEHATAN RI<br />2010<br />                                                            <br />                                                                                                <br />                                     <br />DAFTAR ISI:<br />Kata Sambutan<br />Prakata<br />Kata Pengatar<br />Bab 1. Pendahuluan<br />Latar belakang<br />Maksud dan Tujuan<br />Landasan Kebijakan & Hukum<br />Terminologi<br />Bab 2. Prinsip Dasar Konseling Gangguan Penggunaan NAPZA<br />2.1. Pengetahuan Dasar tentang Gangguan Penggunaan NAPZA<br />2.2. Pemahaman Proses Perubahan Perilaku pada Gangguan Penggunaan NAPZA<br />2.3. Asesmen dan Rencana Terapi<br />2.4. Kode Etik Konseling <br />Bab 3. Implementasi Konseling Gangguan Penggunaan NAPZA<br />3.1. Teknik Dasar Konseling<br />3.2. Meningkatkan Motivasi untuk Berubah<br />3.3. Melibatkan Keluarga/ Pasangan dalam Proses Konseling<br />3.4. Kambuh (relapses) dan Slips <br />Bab 4. Evaluasi Proses Konseling<br />4.1. Instrumen Evaluasi<br />4.2. Indikator Keberhasilan<br />Bab 5. Penutup<br />Daftar Referensi<br />Lampiran 1<br />Lampiran 2<br />KATA PENGANTAR<br />Buku pedoman ini disusun bagi petugas kesehatan yang memberikan layanan kepada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA, khususnya yang memberikan konseling. Namun demikian pedoman ini juga dapat dimanfaatkan bagi orang lain yang mempunyai minat untuk menolong sesama yang mengalami penderitaan akibat gangguan tersebut.<br />Sebagaimana dengan pedoman lain, dalam buku ini teori tidak dibahas secara luas dan mendalam, melainkan hanya yang diperlukan untuk lebih dapat memahami klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA.<br />Beberapa modalitas seperti 12 langkah dari Alcohol Anonymous (AA), Motivational Interviewing  (MI) hanya dibahas secara singkat sebab sudah dibahas dalam  Buku Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Ganggauan Penggunaan NAPZA berbasis Rumah Sakit yang juga diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.<br />Contoh formulir catatan medis klien juga tidak diberikan dalam pedoman ini karena juga sudah termuat dalam Buku Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan Penggunaan NAPZA. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi duplikasi dan demi keseragaman. Oleh karena itu, kedua buku pedoman  tersebut saling melengkapi dan harus digunakan bersama.<br />Dalam buku pedoman konseling ini dibahas tentang pengetahuan dasar Gangguan penggunaan NAPZA, asesmen dan rencana terapi, prinsip dasar konseling pada umumnya dan pada Gangguan penggunaan NAPZA, sebelum dibahas teknik dasar konseling untuk klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA.<br />Akhirnya dalam buku pedoman ini juga dibahas tentang peran keluarga, pasangan, dan orang signifikan lain, pencegahan terhadap kambuh (relapse) dan slips, evaluasi dan indikator keberhasilan.<br />Bab 1. PENDAHULUAN<br />Latar Belakang<br />Untuk memenuhi kebutuhan terapi dan rehabilitasi klien dengan Gangguan penggunaan  NAPZA, Direktorat Kesehatan Jiwa (namanya waktu itu) Kementerian Kesehatan RI pada tahun 1972 telah memberikan instruksi kepada Rumah Sakit Jiwa Pemerintah di seluruh Indonesia dan menganjurkan kepada semua Rumah Sakit Jiwa Swasta untuk menyediakan 10% dari kapasitas tempat tidurnya untuk kasus-kasus dengan Gangguan penggunaan NAPZA.<br />Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu masalah bio-psiko-sosio-kultural yang sangat kompleks. Terapi dan rehabilitasi Gangguan penggunaan NAPZA  harus bersifat holistik dengan memperhatikan faktor biologis, psikologis dan kepribadian, serta faktor sosio-kultural dalam arti yang luas ( termasuk spiritual, ekonomi, legal ).<br />Faktor biologis relatif mudah diatasi dengan pendekatan farmakologis, sedangkan faktor sosio-kultural seringkali sulit untuk dijangkau oleh berbagai upaya terapi dan rehabilitasi, sebab dibentuk oleh berbagai faktor, tidak saja klien itu sendiri, melainkan juga keluarga, keluarga besar, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah/pekerjaan, dan masyarakat secara lebih luas.   <br />Oleh karena itu program terapi dan rehabilitasi terutama ditujukan kepada individu klien, yaitu menjadikan klien menjadi lebih mampu menepis penggunaan NAPZA. Dalam konteks ini, peran terapi psikologis termasuk konseling memegang peran penting.<br />Dari evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ditemukan bahwa masyarakat kurang memanfaatkan pelayanan untuk Gangguan penggunaan NAPZA yang tersedia di Rumah Sakit Jiwa. Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan itu adalah antara lain:<br />Adanya stigma terhadap gangguan jiwa sehingga seorang klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA segan untuk berobat di Rumah Sakit Jiwa.<br />Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Jiwa tidak memenuhi kebutuhan klien. Beberapa Rumah Sakit Jiwa hanya memberikan pelayanan detoksifikasi saja sedangkan modalitas terapi lainnya serta kemampuan sumber daya manusia  yang ada masih  terbatas.<br />Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terkait dengan layanan Gangguan penggunaan NAPZA, diterbitkan buku Pedoman Konseling Gangguan penggunaan NAPZA bagi Petugas Kesehatan. Buku pedoman ini tak dapat dipisahkan dari dua buku lainnya, yaitu Buku Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan Penggunaan NAPZA, serta Buku Modul Pelatihan Konseling Gangguan penggunaan NAPZA bagi Petugas di Layanan Kesehatan Adiksi.<br />Maksud dan Tujuan<br />Maksud<br />Sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam memberikan konseling kepada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA<br />Tujuan<br />Meningkatkan kemampuan Petugas Kesehatan  dalam memberikan konseling kepada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA<br />Sasaran<br />Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum, Puskesmas, Balkesmas, Pusat Terapi Rumatan Metadon, LSM, Pusat Rehabilitasi, dan LAPAS.<br />Yang dimaksud dengan petugas kesehatan adalah: dokter, perawat, bidan, psikolog, pekerja sosial profesional, sarjana kesehatan masyarakat, konselor adiksi non profesional yang memenuhi syarat.<br />1.3. Landasan Hukum dan Kebijakan<br />Landasan Hukum <br />Penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA di Indonesia dilandasi oleh peraturan perundang-undangan.<br />Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana<br />( Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Lembaran<br />      Negara Nomor 3209 );<br />Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan<br />( Lembaran Negara  Tahun 2009 Nomor 144 );<br />Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika ( Lem-<br />Baran Negara Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara<br /> Nomor 3671 );<br />Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi<br />Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap<br />Narkotika dan Psikotropika ( United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances ( Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 17, Tamnbahan Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3673 )<br />Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 143 )<br />Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />3848 )<br />Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika<br />         Nasional<br />Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ XI/2005 ten-<br />tang Tata Kerja Kementerian Kesehatan sebagaimana telah diubah<br />dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/<br />2007<br />Kebijakan<br />Kebijakan Kementerian Kesehatan RI dalam Penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA adalah berdasarkan :<br />Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 486/Menkes/SK/IV/ 2007 tentang Kebijakan dan Rencana Strategis Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA)    <br />Terminologi<br />Asertif           : memperlihatkan sifat ( kepribadian ) yang kuat dan percaya<br />                        diri ( Oxford Advance Learner’s Dictionary ).<br />Aversi (Aversion) : rasa tidak suka yang sangat kuat (Oxford Advance Learner’s Dictionary)<br />Gangguan Penggunaan NAPZA (Zat): penggunaan NAPZA (zat) yang bersifat patologis paling sedikit  telah berlangsung 1 bulan sehingga menimbulkan hendaya fungsi sosial dan / atau pekerjaan (PPDGJ II).<br />Intoksikasi Akut: suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan<br />                               NAPZA sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi<br />                               kognitif, persepsi, afektif atau perilaku, atau fungsi dan respon<br />                               psikofisiologis lainnya ( PPDGJ III )<br />Kognisi: proses mendapatkan, mengolah dan menggunakan pengetahuan atau informasi yang diperoleh karena fungsi intelek (Synopsis of Psychiatry, Sadock & Sadock ).<br />Konselor adiksi non profesional: petugas dengan pendidikan minimal SMA, berpengalaman kerja pada layanan adiksi NAPZA selama minimal 1 tahun, memiliki latar belakang pelatihan di bidang adiksi NAPZA serta mendapat rekomendasi dari Pimpinan Lembaga.<br />Napza: akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain.<br />Narkotika: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri  dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU RI  No 35 tahun 2009 tentang Narkotika).<br />Pelatihan  asertif : melatih klien menjadi individu yang  mampu menang-<br />                              gapi situasi sosial secara memadai, mampu menyatakan<br />                              pendapatnya dengan cara yang  sesuai dengan nilai dan<br />                              norma, serta mampu dalam usaha mencapai tujuan.<br />                              ( Synopsis of Psychiatry, Saddock & Sadock ). <br />Pembanjiran (Flooding): suatu teknik terapi perilaku dengan cara  klien dipaksa tanpa dapat menghindar, untuk menghadapi  situasi yang tidak nyaman (kecemasan, ketakutan) secara bertubi-tubi (karena itu disebut pembanjiran) dengan tujuan menghilangkan rasa tidak nyaman itu karena sudah terbiasa secara terpaksa mengalaminya secara bertubi-tubi (Terapi untuk mengubah Tingkah Laku , W.M.Roan)<br />Petugas kesehatan: dokter, perawat, bidan, psikolog, pekerja sosial profesional, sarjana kesehatan masyarakat, konselor adiksi non profesional yang memenuhi syarat.<br />Psikotropika: zat atau obat alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat  psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada  aktivitas mental dan perilaku (UU RI Nomor 5 Tahun  1997 tentang Psikotropika).<br />Reaksi Alergi :    adalah suatu reaksi yang tak diinginkan sebagai akibat terjadi-<br />                              nya sensitisasi ( menjadi sensitif )  sebelumnya terhadap suatu <br />                              jenis zat  atau zat lain yang struktur kimiawinya mirip. Reaksi<br />                              alergi dimediasi oleh sistem imun ( kekebalan ). Contoh:<br />                              seorang pertama kalinya mendapat  obat penisilin tidak terjadi<br />                              reaksi yang tak diinginkan, tetapi pada pemberian kedua atau<br />                              lebih kalinya timbul reaksi yang tak diinginkan. ( Goodman &<br />                              Gillman ’s  The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th.Ed. )<br />Reaksi Idiosinkratik : adalah suatu reaksi abnormal yang aneh ( peculiar ) pada<br />                                      seseorang. Reaksi idiosinkratik dapat berupa reaksi sangat<br />                                      peka. Contoh : orang yang  mukanya menjadi merah<br />                                      karena minum alkohol dalam jumlah sangat sedikit yang<br />                                      mana pada kebanyakan orang tidak akan menimbulkan <br />                                      reaksi demikian. Sebaliknya ada orang yang memerlukan <br />                                      dosis obat bius sebelum dioperasi dalam  jumlah yang lebih<br />                                      besar daripada kebanyakan orang ( bukan karena toleransi )<br />                                      ( Goodman & Gillman’s The Pharmacological Basis of<br />                                      Therapeutics, 11th. Ed ) <br />Teori belajar kognitif:  berfokus pada  pemahaman  tentang hubungan sebab dan akibat, antara perbuatan dan konsekuensi dari perbuatan itu, serta pemahaman tentang  dirinya dan lingkungannya (Synopsis of Psychiatry, Sadock & Sadock).<br />Terapi aversif : suatu metode terapi behavioral dengan memberikan stimulus<br />                         yang menimbulkan rasa tidak menyenangkan yang kuat ( sti-<br />                         mulus itu bisa fisikal, kemikal,elektrikal atau sosial )<br />                         ( Synopasis of Psychiatry, Sadock & Sadock ).<br /> <br />Terapi Kognitif: berdasarkan  teori bahwa perasaan dan perilaku seseorang terbentuk sebagian besar  atas dasar bagaimana ia membentuk  dan mempersepsi dunia sekitarnya (Synopsis of Psychiatry, Sadock & Sadock).<br />                               <br />Zat Adiktif: zat yang bila dipakai secara teratur, sering, dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi). Contoh : alkohol, nikotin, kafein. (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif , Satya Joewana, EGC, 2003 ). <br />Bab 2.  PRINSIP DASAR KONSELING GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA<br />Pengetahuan  Dasar tentang Gangguan penggunaan NAPZA<br />Sepanjang tercatat dalam sejarah manusia, NAPZA dipuja karena manfaatnya bagi manusia tetapi sekaligus dikutuk karena efek buruk yang diakibatkannya.<br />NAPZA  alami sudah dikenal manusia sejak  lebih dari  lima ribu tahun Sebelum Masehi ( opium di Asia Kecil, ganja di China, daun koka di Amerika Selatan , alkohol di Mesir dan Persia ). NAPZA sintetik dan semisintetik baru dikenal dalam sejarah sekitar satu sampai  dua abad yang lalu ( barbiturat, 1903; benzodiazepin, 1957).<br />Beberapa masalah yang dianggap berkaitan dengan penggunaan NAPZA  lebih sering  didasarkan nilai-nilai atau norma-norma  dan persepsi  masyarakat  tenang penggunaan NAPZA dan pengguna NAPZA daripada   atas dasar sifat-sfat farmakologis NAPZA. Hanya dengan memahami  cara kerja NAPZA dan  manfaat NAPZA  seseorang dapat membedakan mana  perilaku yang diakibatkan penngunaan NAPZA dan mana yang disebabkan karena sebab lain misalnya adanya gangguan jiwa atau fakor etnik, kultural, usia, atau faktor perkembangan.<br />Ada beberapa alasan mengapa seseorang yang bekerja dalam bidang yang terkait dengan Gangguan penggunaan NAPZA  harus paham tentang farmakologi, yaitu untuk  memfasilitasi komunikasi,  menjalin rapport dan empati terhadap klien, memberikan konsultasi dan merujuk ke profesi lain, serta supaya pengetahuannya selalu diperbarui agar tidak tertinggal. <br />Faktor-faktor yang memengaruhi efek suatu NAPZA.<br />Efek suatu NAPZA  adalah hasil interaksi yang sangat kompleks dari  banyak faktor, yaitu <br />sifat-sifat farmakologis yang khas dari NAPZA itu sendiri,<br />kondisi fisik pengguna,<br />kondisi psikologis pengguna,<br />lingkungan sosio-kultural di mana NAPZA itu dikonsumsi.<br />Sifat-sifat farmakologis yang khas  setiap jenis NAPZA<br />NAPZA adalah  zat  yang memengaruhi struktur atau fungsi  beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya ( Ray & Ksir, 1999 ).<br />Melihat batasan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa batasan tersebut berlaku juga  untuk obat-obat yang tidak termasuk NAPZA seperti antibiotika, antitoksin, vitamin, mineral, bahkan air dan udara.<br />Air, udara dan makanan adalah esensial bagi manusia sehingga tidak digolongkan sebagai obat. Namun dapat diingat bahwa oksigen dapat diberikan untuk revitalisasi kepada atlit yang keletihan  atau klien dengan gangguan  pernafasan.  Sebaliknya , bumbu masak dan  penyedap makanan dapat memengaruhi tekanan darah, faal jantung, retensi air dan reaksi alergik.<br />Demikian pula dengan vitamin dan mineral yang dianggap sebagai mikronutrien yang diperlukan manusia, dapat  menimbulkan keracunan atau  perubahan struktur atau faal tubuh. Beberapa jenis obat yang tidak tergolong NAPZA dan tidak biasa disalahgunakan, tetapi mengandung risiko  bila digunakan secara berlebihan oleh orang yang rentan.<br />Kesimpulannya ialah bahwa NAPZA maupun obat yang tidak tergolong NAPZA  bukan sesuatu yang baik maupun buruk. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA dan obat non-NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain  apa  dikonsumsi.<br />Dosis<br />Pada umumnya, NAPZA mempunyai efek majemuk. Efek yang mana dan seberapa kuat efek tersebut  sebagian bergantung pada seberapa banyak NAPZA itu dikonsumsi. Pada dosis rendah alkohol dapat menyebabkan santai dan disinhibisi, merangsang rasa lapar sedangkan pada dosis tinggi  dapat menyebabkan letih dan mual. Untuk setiap jenis NAPZA terdapat dosis minimal ( ambang ) di mana di bawah dosis tersebut tidak akan menimbulkan gejala atau efek yang dapat diamati. Makin tinggi di atas dosis minimal makin kuat efek yang ditimbulkan oleh suatu NAPZA. Efek maksimal suatu NAPZA ditentukan oleh kemampuan fisiologis pengguna.<br />Dosis minimal ( dosis ambang ) dan dosis maksimal  bagi setiap efek dari satu jenis NAPZA tidak sama. Dosis minimal efek A dan dosis minimal untuk efek B dari satu NAPZA tidak selalu sama. Lamanya berlangsung efek A dan efek B juga tidak sama. Jadi para pengguna NAPZA akan mengalami  efek yang berbeda secara kualitatif maupun kuantitatif dari jenis NAPZA yang sama<br />Kategori Efek- efek  NAPZA<br />Efek majemuk NAPZA dapat dikategorikan menjadi<br />1. efek yang diinginkan, yaitu efek yang menjadi alasan NAPZA itu dikon-<br />    sumsi. Untuk tujuan pengobatan, efek tersebut dinamakan efek terapeutik.<br />2. efek lainnya  dinamakan  reaksi yang tak diinginkan ( adverse drug react-<br />    ion ). Reaksi yang tak diinginkan  dan dapat dipastikan bakal terjadi, da-<br />    pat diduga, dan sering terjadi disebut efek samping. Dari perspektif klien,<br />    efek samping  belum tentu dipandang sebagai efek yang tak diinginkan.<br />Ada  obat yang mempunyai dua efek atau lebih secara bersamaan, misalnya<br />aspirin dapat menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan demam.<br />Reaksi alergik berbeda dengan efek samping. Efek alergik  lebih jarang terjadi dibandingkan efek samping dan tidak bisa diduga terlebih dulu terjadinya. <br />Reaksi idiosinkratik  sangat jarang terjadi, tak dapat diantisipasi sebelumnya dan tidak dapat dipercaya pasti terjadi.<br />Efek toksik terjadi karena mengonsumsi obat dalam dosis yang mematikan ( dosis letal ) atau mendekati dosis yang mematikan, sering disebut sebagai keadaan kelebihan dosis.<br />Contoh: efek terapeutik morfin adalah menghilangkan rasa nyeri, efek sampingnya adalah mual, efek alergiknya adalah gatal-gatal di kulit, reaksi idiosinkratiknya adalah terjadi eksitasi  atau stimulasi, dan efek toksiknya adalah hambatan pada pernafasan, koma, dan kematian.<br />Potensi<br />Potensi adalah sejumlah obat yang diperlukan untuk menghasilkan efek tertentu. Makin poten suatu obat makin kecil jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu efek tertentu. Alkohol adalah obat yang relatif kurang poten karena dibutuhkan beberapa gram untuk menimbulkan gejala yang dapat diamati pada peminumnya. Sebaliknya LSD adalah zat yang sangat poten sebab hanya dibutuhkan beberapa mikrogram untuk menimbulkan gejala pada pemakainya.<br />Potensi  obat ditentukan oleh afinitas dan efikasi  obat tersebut. Afinitas adalah kemampuan obat untuk melekatkan diri atau mengikatkan diri pada reseptor atau tempat bekerjanya obat tersebut. Reseptor dapat diibaratkan sebagai lubang kunci yang terdapat pada dinding sel ( dalam hal NAPZA  adalah sel saraf atau neuron ). Reseptor  menerima dan memberi respon terhadap struktur kimiawi  spesifik  yang dapat diibaratkan sebagai sebuah kunci. Obat dengan afinitas yang lebih tinggi akan terikat dengan baik dengan reseptornya<br />Efikasi adalah kekuatan stimulasi obat terhadap reseptor. Obat dengan efikasi tinggi menstiumulasi reseptor dengan kuat. Agar suatu obat berkhasiat, obat tersebut harus mempunyai afinitas dan efikasi.<br />Rasio Terapeutik atau Batas Aman<br />Rasio terapeutik adalah hubungan antara dosis letal ( mematikan ) dan dosis efektif. Dosis Efektif ( DE ) adalah dosis yang diperlukan untuk menghasilkan efek tertentu dalam proporsi tertentu dalam populasi. DE50 artinya dosis  yang efektif pada 50% populasi. DL50 adalah dosis yang menyebabkan kematian pada 50% populasi. Rasio DL dan DE memberikan gambaran  seberapa aman suatu obat. Rasio ini disebut Rasio Terapeutik atau Batas Aman suatu obat. Dosis Letal beberapa jenis NAPZA belum dapat ditentukan. Oleh karena itu belum dapat ditentukan rasio terapeutiknya.<br />Komposisi<br />Preparat obat  biasanya mengandung beberapa  bahan lain selain  bahan obat itu sendiri ( yang berkhasiat ), yaitu bahan perekat, bahan pengisi sehingga volumenya cukup besar sehingga pantas menjadi berbentuk obat, pelarut, pewarna, penyalut, dan pemberi rasa. Bahan-baan inaktif ini biasanya tidak menimbulkan efek apapun kepada pengguna, akan tetapi dapat saja terjadi reaksi alergik. Oleh karena itu obat yang sama yang diproduksi oleh pembuat obat yang berbeda dengan bahan inaktif yang berbeda dapat memberi efek yang berbeda. Obat yang beredar di pasar gelap ( ilegal ) sangat bervariasi dalam hal kuantitas, kualitas maupun kemurniannya.<br />Ekuivalensi Obat<br />Ekuivalensi Obat adalah cara  bagaimana dua atau lebih obat dapat dibandingkan satu terhadap yang lain. Ada 3 cara untuk membandingkan ekuivalensi obat.<br />Ekuivalensi kimiawi :  artinya bagian aktif  dan / atau inaktif dua preparat obat secara kimiawi identik<br />Ekuivalensi biologik : disebut juga bioavailabilitas, yaitu  dua jenis preparat obat memberikan bahan aktif dalam jumlah yang sama.<br />Ekuivalensi klinikal : yaitu   bila efek klinis yang dapat diamati sama.<br />Frekuensi Penggunaan<br />Seberapa sering seseorang mengonsumsi obat sangat penting implikasinya terhadap efek yang dihasilkan oleh obat tersebut.<br />Bila obat terlalu sering dikonsumsi maka  akan terjadi perubahan fisiolgis maupun psikologis yang lebih besar juga. Jadi  kondisi pengguna yang telah  berubah  akibat penggunaan yang sering dalam suatu kurun waktu akan mengalami efek obat yang berubah juga.<br />Masalah lain akibat penggunaan obat yang terlalu sering ialah terjadi penumpukan ( kumulasi ) hasil sampingan metabolisme obat tersebut.<br />Cara Pemberian Obat<br />Ada banyak cara mengosumsi obat. Ada 3 cara yang sering yaitu  ditelan, disuntikkan dan dihirup ( inhalasi ).<br />Cara obat dikonsumsi akan memengaruhi kapan obat mulai memperlihatkan efeknya ( onset ), tercapainya puncak efek dan lamanya efek obat tersebut berlangsung ( durasi ).<br />Obat yang dikonsumsi melalui mulut membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 15 menit sebelum efeknya terlihat. Bisa juga membutuhkan waktu lebih dari 15 menit bergantung  makanan yang ada dalam perut dan komposisi obat yang ditelan. Obat yang ditelan biasanya lebih lambat mulai  bekerja dibandingkan dengan cara suntikan atau inhalasi.<br />Interaksi Obat<br />Apabila dua atau lebih macam obat dikonsumsi dalam waktu yang berdekatan, dapat terjadi efek kumulatif yaitu makin kuatnya efek obat tersebut dan lebih lama bekerjanya.<br />Ada 3 jenis interaksi obat<br />Tipe aditif : bila kombinasi dua macam obat atau lebih  akan meningkatkan intensitas dan durasi kerjanya dibandingkan  intensitas dan durasi masing- masing obat, contoh: alkohol dan benzodiazepin.<br />Tipe sinergistik :  bila interaksi obat tidak diharapkan. Pengetahuan tentang masing-masing obat tidak dapat memprediksi  efek resultan  dari kombinasi obat tersebut, contoh: amfetamin dan heroin.<br />Tipe antagonis: bila efek masing-masing obat dalam kombinasi saling melemahkan efek masing –masing obat, contoh: depresan dan stimulan.<br />Peran Faal Tubuh Pengguna Obat<br />Fungsi faal tubuh sering memengaruhi efek obat. Penting untuk memahami  cara tubuh manusia  menanggapi dan memroses obat dalam tubuhnya.Tidak ada dua orang yang merasakan efek obat yang persis sama. Setiap orang juga akan mengalami efek obat yang berbeda dalam waktu yang berbeda.<br />Farmakokinetik mempelajari proses faal apa yang berlangsung dalam tubuh terhadap adanya obat. Proses itu meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat<br />Farmakodinamik mempelajari  bagaimana dan di mana obat bekerja dalam tubuh sehingga memberikan efek tertentu. Dalam hal NAPZA bekerjanya  adalah pada sistem saraf<br />Faktor-faktor yang memengaruhi efek NAPZA<br />Efek NAPZA terhadap pengguna tidak hanya bergantung pada dosis, cara menggunakan dan kemurnian NAPZA tersebut, tetapi juga bergantung pada banyak faktor yang terdapat pada pengguna.<br />Umur.  Berat badan bervariasi menurut umur. Bayi dan kanak-kanak serta lanjut usia berat badan kurang dibandingkan dengan usia remaja dan dewasa. Kondisi berbagai organ tubuh berbeda pada berbagai tingkatan umur. Pada bayi dan kanak-kanak beberpa organ belum  berfungsi penuh. Sebaliknya pada lanjut usia banyak organ telah mengalami kemunduran fungsi seperti jantung, paru, ginjal. Fungsi susunan saraf juga berbeda pada berbagai tingkatan umur.<br />Jender. Badan laki-laki pada umumnya lebih berat daripada badan perempuan.  Proporsi lemak pada perempuan relatif lebih besar  sedangkan proporsi berat otot lebih besar pada laki-laki. Demikian pula hormon kelamin laki-laki berbeda dengan hormon kelamin perempuan.<br />Berat Badan. Berat badan sering sebagai indikator  perbandingan banyaknya lemak dan zat putih telur dalam tubuh seseorang, volume darah dan fungsi kardiovaskuler.<br />Etnis.  Komposisi kimiawi darah  sering berbeda pada etnis yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan susunan makanan sehari-hari. <br />Asupan Gizi. Agar tubuh dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan asupan makanan seimbang yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Metabolisme NAPZA atau obat lain dan makanan membutuhkan ensim yang terbentuk dari asupan makanan tersebut. Kemampuan metabolisme setiap individu tidak sama.<br />Interaksi Makanan dan NAPZA. Ada beberapa jenis NAPZA yang dapat berinteraksi dengan makanan sehingga mengurangi atau meningkatkan khasiat NAPZA tersebut, contoh: alkohol akan mengurangi absorpsi Vitamin B1 dan B6, sehingga akan dibutuhkan asupan yang lebih banyak. <br />Karakteristik Psikologis Pengguna NAPZA<br />Efek suatu NAPZA terhadap pengguna yang diakibatkan karena karakteristik kimiawi NAPZA itu disebut  efek spesifik. Efek NAPZA yang diakibatkan karena variabel psikologis dan sosiokultural disebut efek non spesifik. Kadang-kadang efek non spesifik lebih kuat daripada efek spesifik.<br />Ada 4 variabel psikologis yang utama: pengalaman sebelumnya dengan NAPZA, harapan  akan NAPZA tersebut,  suasana perasaan, dan aktivitas yang akan dilakukan<br />Pengalaman sebelumnya dengan NAPZA.   <br />Menggunakan NAPZA pertama kali sering menyebabkan panik, sebab pengguna belum mengenal efek NAPZA tersebut. Orang yang baru pertama kali mengguna NAPZA sering kali belum tahu efek apa sebenarnya yang ia cari atau kehendaki dan efek mana yang menyenangkan. Pengguna yang sudah berpengalaman tahu bahwa efek itu hanya sementara dan akan menghilang dengan sendirinya. Ia sudah dapat menyesuaikan dengan sensasi, kognisi dan perasaan  yang dialami sehingga ia tidak panik dan jarang mengalami pengalaman yang tidak enak ( bad trip ). Keadaan ini disebut toleransi behavioral.<br />Toleransi Silang terjadi bila seseorang sudah toleran terhadap satu jenis NAPZA juga  toleran terhadap NAPZA lain yang sejenis atau yang mempunyai khasiat farmakologis mirip, misalnya toleransi silang antara alkohol dan barbiturat.<br />Reverse Tolerance  terjadi bila penggunaan NAPZA makin lama makin  sedikit untuk memperoleh khasiat yang sama misalnya pada ganja. Hal ini disebabkan adanya kumulasi zat aktif  ganja ( tetrahidrokanabinol ). <br />Toleransi Cepat terjadi pada alkohol. Intoksikasi alkohol lebih cepat terjadi pada  saat BAL ( Blood Alcohol Level ) meningkat daripada  saat BAL turun.<br />Harapan yang ingin dicapai<br />Harapan yang ingin dicapai terhadap efek suatu NAPZA bersumber dari beberapa faktor: pengalaman menggunakan NAPZA tersebut, adanya teman-teman atau seorang diri, dan informasi yang diketahui tentang NAPZA tersebut.<br />Hal tersebut mirip dengan pemberian plasebo. Efek plasebo bergantung  dari cara menggunakannya, informasi yang diberikan tentang plasebo itu,bahkan ujudnya ( warna, ukuran, rasa ).<br />Suasana Perasaan<br />Hukum Wilder menyebutkan bahwa efek suatu obat tidak dapat melampaui kapabilitas pengguna, baik ditinjau dari segi perilaku, emosi maupun kognisi.<br />Oleh karena itu efek NAPZA bergantung pada perasaan semula ( inisial ) sebelum menggunakan NAPZA, bahkan menurut Hukum Wilder malah bisa terjadi efek sebaliknya ( contoh: metilfenidat , suatu stimulan  yang sangat efektif mengendalikan anak hiperkinetik.<br />Aktivitas yang ingin dilakukan<br />Aktivitas apa yang ingin dilakukan oleh pengguna NAPZA saat di bawah pengaruh NAPZA memengaruhi efek NAPZA.  NAPZA lebih banyak mengganggu aktivitas yang bersifat rumit, abstrak, dan yang baru saja dipelajari, atau perilaku bermotivasi lemah. Contoh: Seorang pelajar yang menggunakan Napza akan mengalami kesulitan menyerap pelajaran. Napza tidak banyak mengganggu aktivitas yang sederhana, konkret, telah dipelajari dengan baik, atau perilaku dengan motivasi tinggi. Contoh: Seorang pengamen pemalu memperoleh keberanian untuk mengamen setelah menggunakan Napza. <br />Lingkungan Sosiokultural<br />Efek NAPZA berbeda bila digunakan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain untuk tujuan pengobatan dibandingkan bila digunakan di tempat hiburan dalam suasana pesta.<br />Kehadiran orang (-orang ) lain dan perilakunya memengaruhi efek NAPZA terhadap penggunanya. Kehadiran orang-orang lain akan menentukan suasana apakah suasana bahagia atau sedih. Jadi akan menentukan suasana perasaan  dan irama emosi di tempat itu. Pengguna belajar aturan dan ritual menggunakan NAPZA dari orang lain. Perilaku orang-orang lain di sekitarnya akan menjadi standar perilaku yang akan menjadi pembanding terhadap perilaku pengguna NAPZA itu. Orang-orang lain itu akan menjadi pemandu dan intepreter  untuk membantu seorang pengguna NAPZA mengidentifikasi, menenetukan dan menilai  efek-efek suatu NAPZA. Orang lain di sekitar pengguna NAPZA akan  mendukung atau mencela  perilaku yang pantas atau tidak pantas akibat menggunakan NAPZA.<br />2.2. Pemahaman Proses Perubahan Perilaku pada Gangguan Penggu-<br />       naan NAPZA.<br />Perubahan perilaku akibat langsung penggunaan NAPZA.<br />NAPZA tergolong zat psikoaktif, yaitu zat yang bila dikonsumsi akan menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, kognisi, persepsi dan kesadaran pada orang yang mengonsumsinya. Perubahan perilaku itu bergantung pada jenis NAPZA,  tetapi juga pada pengalaman menggunakan NAPZA sebelumnya, harapan pengguna akan efek obat tersebut, suasana perasaan sebelum memakai, fungsi NAPZA tersebut serta lingkungan sosio-kultural seperti yang telah diuraikan  sebelumnya.<br />Perubahan perilaku akibat tak langsung  penggunaan NAPZA.<br />Bila penggunaan NAPZA sampai pada taraf ketergantungan, maka kebutuhan NAPZA harus dipenuhi sebab bila tidak dipenuhi akan timbul gejala putus NAPZA. Karena terjadinya toleransi, maka kebutuhan NAPZA tersebut makin lama makin banyak sehingga dibutuhkan biaya yang bertambah besar. Kebutuhan ini mendorong kepada perbuatan kriminal. Karena sering mengalami intoksikasi akibat NAPZA , pengguna akan mengalami kemunduran dalam studinya maupun prestasi di dalam pekerjaannya dengan akibat dapat dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaannya. Oleh karena menganggur, kemungkinan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma,nilai dan hukum bisa terjadi.<br />Dual Diagnosis.<br />Menurut penelitian di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan banyak tempat lain, Gangguan penggunaan NAPZA sering terdapat bersama  gangguan jiwa lain seperti Gangguan cemas, Gangguan suasana perasaan dan gangguan psikotik yang sudah ada sebelum ia menggunakan NAPZA. Adanya gangguan-gangguan ini juga akan menyebabkan perubahan perilaku pada pengguna NAPZA, bahkan sudah ada sebelum ia menggunakan NAPZA.<br />Proses pemulihan<br />Pemulihan dari Gangguan penggunaan NAPZA  adalah suatu proses yang panjang dan bukannya  suatu  peristiwa yang terjadi seketika.<br />Pada penyakit asma bronkiale  sesak nafas dapat sembuh seketika setelah klien diberi pengobatan untuk asma bronkiale ( walaupun bisa kambuh ). Penyakit radang usus buntu sembuh  dalam waktu beberapa hari setelah menjalani operasi dan tidak akan kambuh kembali.<br />Prochasca, Di Clemente & Norcross ( 1992 ) menyebutkan adanya  5 tahapan dalam proses penyembuhan Gangguan penggunaan NAPZA:<br />Tahap 1 adalah tahap pra kontemplasi. Pada tahap ini pengguna NAPZA  belum berniat berhenti mengguanakan NAPZA. Merenungkan untuk berhenti sekalipun belum ada. Ia masih bersikap tak peduli terhadap nasehat atau penyuluhan.<br />Tahap 2. adalah tahap kontemplasi. Pada tahap ini pengguna NAPZA mulai merenungkan jalan hidupnya selama ini, sebelum maupun setelah mempunyai kebiasaan menggunakan NAPZA. Ia mulai membandingkan<br />dirinya dengan teman-emannya yang sudah lebih berhasil dalam hidupnya maupun yang telah meninggal dunia akibat kelebihan dosis maupun kecelakaan. Ia mulai  menimbang-nimbang untung dan ruginya bila terus menggunakan NAPZA atau berhenti menggunakannya.<br />Tahap3 adalah tahap persiapan. Pada tahap ini pengguna NAPZA mulai mempersiapkan diri untuk berhenti menggunakan NAPZA. Ia mulai bertanya teman-temannya yang sudah pernah menjalani terapi. Fasilitas terapi mana yang baik, apa saja yang dilakukan di fasilitas terapi, apakah dikurung, , apakah menngalami asa nyeri atau rasa tidak nyaman lainnya.<br />Tahap 4 adalah tahap bertindak. Ia akan datang ke fasilitas terapi dan rehabilitasi serta menjalani proses terapi dan rehabilitasi.<br />Tahap 5  adalah tahap rumatan. Pada tahap ini perhatian dipusatkan agar pengguna tidak slips atau kambuh kembali.<br />Tahapan ini perlu diketahui oleh konselor sehingga pada saat konseling apa yang dibicarakan sesuai dengan tahapan tersebut. Pada tahap prakontemplasi belum perlu dibicarakan tentang fasilitas dan modalitas terapi. Pembahasan masih terbatas tentang kondisi pengguna saat ini dan situasi yang dihadapi pengguna saat ini serta kondisi dan situasi yang bagaimana yang ingin dicapai oleh pengguna.<br />Pada tahap kontemplasi  dapat dibahas tentang untung dan ruginya  bila pengguna terus menggunakan atau berhenti menggunakan NAPZA dan belum saatnya bicara secara rinci tenang modalitas terapi.<br />Pada tahap preparasi mulai dibicarakan tentang berbagai fasilitas terapi dan rehabiitasi serta  modalitas terapi yang ada.<br />Tahap bertindak. Pada tahap ini  dilakukan evaluasi lengkap terhadap klien, diagnosis ditetapkan dan rencana terapi dibuat dan dilaksanakan.<br />Pada tahap  rumatan dibahas kondisi  apa saja dan lingkungan  yang mungkin bersifat kondusif terjadinya kekambuhan.<br />2-3.Asesmen dan Rencana Terapi<br />Gangguan penggunaan NAPZA adalah masalah yang sangat kompleks dan penyebab seseorang menggunakan NAPZA ditentukan oleh banyak faktor.<br />Masalahnya tidak sesederhana  seperti pendapat bahwa abstinensia sama dengan sehat dan tidak abstinensia sama dengan sakit. Abstinensia saja tidak akan membawa perubahan dalam segi kehidupan yang lain dari klien.<br />Setiap klien harus mendapatkan terapi secara individual dan berbeda ( eklektik ) karena mereka mempunyai masalah yang berbeda-beda. Ada beberapa pola penggunaan NAPZA, yaitu penggunaan yang bersifat coba-coba untuk memenuhi rasa ingin tahu ( experimental use ), untuk bersosialisasi misalnya hanya menggunakan pada saat pesta atau resepsi ( recreational or social use ), untuk mengatasi rasa tidak nyaman seperti keadaan tertekan ( distress ),ansietas, depresi ( situational use  ), atau salah-guna ( misuse ) misalnya untuk mengatasi sulit tidur dengan minuman alkohol, penggunaan yang begitu berat sehngga terjadi dampak negatif terhadap kesehatan jasmani,mental dan kehidupan sosialnya ( abuse )  bahkan sampai kepada ketergantungan ( compulsive use, dependent  ).<br />Berdasarkan semua pertimbangan di atas, sebelum menetapkan diagnosis dan terapi serta rehabilitasi, perlu dilakukan asesmen yang teliti dan menyeluruh.<br />Untuk memahami masalah penggunaan NAPZA, konselor perlu mengerti tentang klien, untuk itu perlu dilakukan wawancara komprehensif dan bila mungkin tes psikologi. Dengan demikian tidak memberikan kesan pada klien bahwa   rencana terapi hanya didasarkan pada wawancara awal  yang hanya berlangsung sepintas.<br />Riwayat Penggunaan NAPZA<br />Pengumpulan data tentang klien diawali dengan wawancara yang komprehensif.<br />Wawancara itu meliputi:<br />Siapa yang merujuk<br />Keluhan utama klien<br />Riwayat masalah ( penyakit ) sekarang<br />Riwayat penggunaan dan penyalahgunaan NAPZA<br />Situasi Kehidupan<br />Lingkungan tempat tinggal<br />Perkawinan <br />Anak-anak<br />Kehidupan sosial<br />Peran saat ini dalam keluarga<br />Riwayat keluarga<br />Saudara kandung<br />Orangtua dan/atau anggota keluarga lain<br />Disiplin dalam keluarga<br />Bagaimana dan di mana klien dibesarkan<br />Latar belakang agama  dan kehidupan beragama<br />Riwayat pekerjaan  klien, saudara kandung, orangtua dan pasangan hidupnya<br />Riwayat  berurusan dengan penegak hukum<br />Riwayat kehidupan seksual<br />Status mental (lihat buku pedoman penatalaksanaan medik)<br />     12. Persepsi<br />           (1) Halusinasi<br />           (2)Ilusi<br />13. Daya ingat<br />Daya ingat jangka panjang<br />Daya ingat jangka pendek<br />Daya ingat seketika<br />Fungsi intelektual umum<br />(1). Pengetahuan umum<br />(2). Kemampuan berpikir dan menilai (Reasoning dan Judgment)<br />(3). Berhitung<br />     15. Tilikan <br />Contoh formulir riwayat penggunaan NAPZA dapat dilihat pada Lampiran 2. <br />Asesmen Perilaku<br />Setelah formulir riwayat penggunaan NAPZA dilengkapi, selanjutnya konselor melakukan asesmen perilaku dan analisis fungsional.<br />Melalui asesmen perilaku konselor akan mengetahui penyebab dari dan  konsekuensi klien menggunakan  NAPZA. Melalui asesmen perilaku dan analisis fungsional, konselor juga akan mengetahui apa yang mendorong dan apa yang menjauhkan klien dari penggunaan NAPZA. Melalui analisis fungsional, konselor juga akan mengetahui kapan, dimana, dengan siapa, bagaimana dan mengapa klien menggunakan NAPZA. Dengan asesmen perilaku dan analisis fungsional, konselor dapat merencanakan terapi sesuai dengan yang dibutuhkan klien.<br />Asesmen  perilaku dan analisis fungsional dilakukan secara verbal oleh konselor yang harus sensitif dan terarah. <br />Instrumen untuk asesmen<br />Asesmen yang dibahas dalam buku pedoman ini adalah yang mudah diperoleh, dapat dipercaya, sahih, mudah dilaksanakan dan diberi skor, praktis, sesuai untuk  klinik, dan sesuai dengan kebutuhan di negara kita saat ini.<br />Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk asesmen:<br />Addiction Severity Index (ASI)<br />Alcohol Smoking Substance Use Involvement Screening and Test (ASSIST)<br />Cutdown, Annoyed, Guilty, and Eye Opener (CAGE)<br />Informasi lebih lanjut tentang instrumen-instrumen di atas dapat diperoleh pada  website WHO International www.who.int<br />Diagnosis<br />Indonesia mempunyai buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ( PPDGJ ) edisi III. Oleh karena itu dianjurkan dalam menetapkan diagnosis Gangguan penggunaan NAPZA  supaya berpedoman pada PPDGJ III. <br />Dalam semua buku pedoman  berkaitan dengan NAPZA  yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI telah disepakati untuk secara konsisten menggunakan termnologi Gangguan penggunaan NAPZA demi alasan praktis.<br />Di dalam PPDGJ III, gangguan jiwa yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA dikelompokkan dalam satu kelompok dengan nama Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif <br />Rencana Terapi<br />Rencana terapi merupakan  salah satu bekal untuk berhasilnya suatu terapi<br />Rencana terapi sangat diperlukan karena:<br />memberikan  satu struktur di mana konselor maupun klien berperan,<br />ekspektasi yang ingin dicapai oleh klien menjadi jelas,<br />bila terjadi kesalah fahaman dengan mudah dapat diselesaikan,<br />memungkinkan konselor maupun klien untuk menetapkan tujuan konseling secara spesifik sesuai dengan tahapan perilaku klien<br />mempermudah monitoring dan evaluasi kemajuan terapi<br />Rencana terapi dapat digunakan untuk sasaran jangka pendek selama 3-6 bulan dan sasaran jangka panjang ( untuk masalah yang dapat diselesaikan  sampai waktu  1 tahun dan mungkin perlu monitoring terus menerus  selama hidup klien ).<br />Menetapkan sasaran jangka pendek dan jangka panjang dipengaruhi oleh<br />luasnya dan beratnya masalah yang dihadapi klien<br />motivasi klien<br />setting<br />proyeksi jangka waktu terapi<br />pilihan klien bersama konselor<br />kerja sama  dengan figur signifikan (orang bermakna dalam hidup klien)<br />Pada konseling klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA seringkali  kondisi gawat perlu mendapatkan prioritas utama untuk diatasi, misalnya  klien yang ketergantungan alkohol harus mendapatkan terapi detoksifikasi lebih dulu sebelum mengikuti terapi yang lain. Klien dengan percobaan bunuh diri harus diatasi terlebih dulu depresinya.Klien yang  psikotik harus diobati terlebih dulu sehingga gejala dapat dikuasai.<br />Klien yang motivasinya kurang untuk berhenti menggunakan NAPZA  dan tidak patuh dalam terapi sebaiknya diberi tugas yang sederhana sehingga dapat diselesaikan dengan mudah dan dalam waktu singkat. Keberhasilan ini akan meningkatkan rasa percaya diri klien. Hal ini dapat meningkatkan motivasi klien untuk meneruskan terapi dan meningkatkan hasil terapi<br />Beberapa modalitas terapi hanya bisa diberikan dalam unit rawat inap ( misalnya detoksifikasi alkohol ). Terapi desensitisasi dan  klien yang harus bekerja dapat diberikan di fasilitas rawat jalan.<br />Topik masalah yang akan dibahas dalam konseling harus dibicarakan bersama antara klien dan konselor untuk disepakati. Keterlibatan  keluarga atau orang lain yang  signifikan dalam kehidupan klien sangat penting karena dapat menjadi terapis naluriah misalnya menolong klien, memberikan imbauan , memberi dukungan dan semangat, atau sebaliknya bisa menjadi penghambat terapi misalnya menghukum klien.<br />2.4. Kode Etik Konseling & Konfidensialitas<br />Masalah Etik<br />Di dalam konseling klien diharapkan bersifat terbuka dan jujur  terhadap konselor yang akan memberi pertolongan psiklogis yang bersifat  terapeutik.<br />Sebaliknya konselor harus bisa  dipercaya dapat menyimpan semua informasi yang diperoleh dari klien  dalam konseling. Seorang konselor juga terikat pada etika konseling.<br />Konselor tidak boleh mengambil keuntungan semata-mata dari pekerjaannya sebagai konselor. Etika tidak hanya berarti taat kepada aturan tetapi juga kepada suara hati nurani. Konselor sering dalam posisi yang lebih berkuasa dan karenanya tidak boleh menyalahgunakan kedudukannya demi prestasi, ambisi atau kepentingan pribadi. Konselor juga harus berhati-hati dalam membicarakan klien dengan pihak ketiga walaupun semata-mata untuk kebaikan klien. Konseling lewat media komunikasi sebaiknya dihindarkan<br />Bila konselor menilai  klien tidak memperoleh manfaat dari konseling atau terapi  ia harus mengakhiri konseling dan merujuk ke profesi lain atau konselor lain  yang lebih sesuai untuk klien. Bila ternyata klien yang diberi konseling di luar kompetensinya, misalnya klien psikotik ( dual diagnosis ) konselor harus merujuk ke profesi lain yang sesuai. Untuk merujuk klien harus dipilih profesi atau konselor lain yang lebih kompeten atau ke fasilitas yang sesuai dengan yang diperlukan klien. Tidaklah etis merujuk ke fasilitas berdasarkan  kepentingan atau keuntungan pribadi. Kadang-kadang terjadi ketidak-sesuaian atau bahkan bertentangan  antara anjuran menurut peraturan perundang-undangan dan  pertimbangan etis. Perlu selalu dingat bahwa  tanggung jawab utama seorang konselor adalah menolong klien secara profesional.<br />Konfidensialitas<br />Menjaga konfidensialitas dalam bidang Gangguan penggunaan NAPZA sering menimbulkan masalah sebab adanya undang-undang berkaitan dengan penggunaan NAPZA yang sangat kompleks dan membingungkan. <br />Walaupun sudah terdapat pedoman etika profesi, sering kali di lapangan terdapat kasus yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan pedoman etika profesi yang telah ada. Bila terdapat kasus demikian, konselor sebaiknya membahasnya bersama konselor lain atau profesi lain yang  menjadi rekan kerja ( dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog ), atasan langsung atau pimpinan institusi di mana konselor itu bekerja. Bila perlu, berkonsultasi dengan pengacara yang ditetapkan oleh pimpinan institusi.<br />Surat Pernyataan Persetujuan ( Informed Consent )<br />Segala informasi yang diperoleh konselor tentang klien dalam konseling yang seharusnya disimpan sebagai rahasia profesi dapat diungkapkan kepada pihak ketiga jika ada surat pernyataan persetujuan ( informed Consent ) dari klien. Pihak yang sudah mendapat informasi yang diungkapkan tersebut tidak boleh mengungkapkan kepada pihak lain ( pihak ke empat ).<br />Harus dipertimbangkan bahwa  informasi yang  telah diungkapkan bisa disalahgunakan untuk tujuan lain baik oleh pihak ketiga maupun oleh klien sendiri. Hal yang harus di tuliskan sedapat mungkin sesuai dengan tujuannya. Keterangan yang dibutuhkan oleh atasan klien atau pihak yang menanggung biaya pengobatan biasanya hanya meliputi diagnosis, perkiraan lama perawatan dan jenis layanan yang diterima klien, Konselor harus mempertimbangkan bahwa pengungkapan tersebut dapat merugikan klien. Dalam hal yang berkaitan dengan masalah hukum sebaiknya dimintakan pendapat pengacara. <br />Dalam surat persetujuan tersebut harus tercantum<br />nama institusi / program yang mengungkapkan rahasia <br />nama institusi /orang yang menerima informasi yang diungkapkan<br />nama dan identitas klien<br />maksud dan untuk keperluan apa pengungkapan<br />pernyataan klien boleh membatalkan persetujuan pengungkapan tersebut setiap saat.<br />tanggal, kejadian atau kondisi di mana pengungkapan tersebut tidak berlaku lagi<br />tanda tangan klien atau orang yang diberi kuasa<br />tanggal surat pernyataan itu di tanda tangani<br />BAB 3. IMPLEMENTASI KONSELING GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA<br />Untuk mengimplementasikan konseling Gangguan penggunaan NAPZA seorang konselor harus mempunyai kompetensi tertentu, baik dalam ranah pengetahuan ( knowledge ) , ketrampilan ( skill ) maupun sikap ( attitude ).<br />Konselor untuk Gangguan penggunaan NAPZA ( konselor adiksi )  bisa seorang konselor profesional, konselor sekolah, dokter, perawat, psikolog, pekerja sosial, guru bimbingan dan konseling, atau ulama  ( transdisipliner ) yang telah terlatih untuk tujuan itu.<br />Konselor adiksi  harus mempunyai landasan sebagai berikut.<br />memahami adiksi ( Gangguan penggunaan NAPZA )<br />pengetahuan tentang terapi<br />penerapan dalam praktek<br />kesiapan profesional<br /> <br />Untuk memiliki keempat landasan tersebut, seoang konselor harus menguasai:<br />evaluasi klinis<br />rencana terapi<br />rujukan<br />edukasi terhadap klien, keluarga, dan masyarakat<br />dokumentasi<br />koordinasi layanan<br />tanggung jawab profesional dan etikal<br />Konseling<br />3.1.  Teknik Dasar Konseling<br />Konseling adalah proses pemberian pertolongan secara psikologis oleh seseorang yang terlatih untuk itu. Konseling bukan pertolongan medis, finansial maupun sosial.<br />Ketrampilan dasar seorang konselor<br />Seorang konselor bidang apapun harus memilki ketrampilan dasar sebagai berikut:<br />mampu memperhatikan klien dengan baik,<br />menfasilitasi klien untuk mengungkapkan masalahnya,<br />mengikuti arus pemikiran klien dengan sabar<br />menanggapi klien dengan baik<br />memperjelas apa yang disampaikan oleh klien<br />menggali informasi dari klien<br />menilai pandangan klien terhadap masalah yang dihadapi<br />mampu memahami dan menganalisis masalah klien<br />melihat klien sebagai manusia seutuhnya<br />menyadari potensi yang ada pada klien<br />menumbuhkan kemauan untuk berkembang pada klien<br />menunjukkan tantangan yang dihadapi klien<br />memahami latar belakang sosial, budaya, dan agama klien<br />menyadari nilai-nilai dibalik ungkapan-ungkapan verbal klien<br />dapat menguasai emosinya sendiri<br />Tahapan pada proses konseling<br />Egan membagi proses konseling dalam 3 tahap:<br />Tahap eksplorasi<br />Pada tahap eksplorasi konselor membentuk rapport yang baik, mengumpulkan informasi yang diperlukan, identifikasi dan klarifikasi masalah klien.<br />Tahap intepretasi<br />Pada tahap intepretasi konselor melakukan asesmen terhadap masalah klien dan menetapkan kembali permasalahannya secara profesional.<br />Tahap  menentukan tujuan dan  bertindak<br />Pada tahap ini konselor bersama klien menentukan sasaran yang ingin dicapai dan merencanakan terapi.<br />Menguasai teori konseling dasar<br />Tujuan konseling adalah  membantu klien untuk lebih memahami cara mengekspresikan perasaannya, cara berpikirnya serta persepsi tentang diri dan lingkungannya sehingga  klien diharapkan menjadi lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapi secara lebih efisien dan efektif serta lebih adaptif.<br />Setiap klien mempunyai sifat yang unik dan masalah yang dihadapi juga berbeda-beda. Oleh karena itu seorang konselor sebaiknya menguasai berbagai teori konseling dasar yang akan digunakan sebagai alat dalam memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan klien ( ibarat memiliki kunci pas dengan berbagai ukuran untuk mur yang ukurannya juga berbeda-beda ).<br />Misalnya klien depresi membutuhkan terapi kognitif, klien panik membutuhkan terapi relaksasi, klien fobia membutuhkan terapi desensitisasi, klien Gangguan penggunaan NAPZA membutuhkan terapi kognitif behavioral, dan masalah hubungan suami istri membutuhkan konseling dengan pendekatan  analisis transaktional.  <br />Kekuatan konseling bergantung pada 2 faktor yang  sangat erat hubungannya.<br />Kemampuan konselor untuk memfasilitasi konseling<br />Strategi yang dipilih untuk menciptakan  suasana  yang positif untuk melakukan eksplorasi dan perubahan.<br />Kemampuan memfasilitasi<br />Kemampuan memfasilitasi untuk melakukan eksplorasi dan terjadinya perubahan pada klien  meliputi kemampuan untuk  berempati, ketulusan untuk menolong, selalu siap, kehangatan, menghargai klien, dan peka akan budaya klien.<br />Empati.<br />Empati adalah kemampuan untuk menghayati perasaan, pikiran dan sikap orang lain ( dalam hal ini klien ). Dengan empati tidak berarti bahwa konselor akan mengalami perasaan, pikiran dan sikap seperti klien, melainkan menunjukkan bahwa konselor mendapat gambaran yang jelas tentang situasi yang dihadapi  klien. Jadi empati menunjukkan kepedulian konselor bukan simpati. Empati sangat penting pada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA, sebab klien biasanya bersikap ambivalen antara berhenti menggunakan atau terus menggunakan NAPZA. Konselor dengan berempati dapat membantu klien untuk  mengenali perasaannya terhadap sisi positif maupun sisi negatif dari penggunaan NAPZA.<br />Ketulusan<br />Dengan sikap yang tulus konselor  akan tetap menjadi dirinya sendiri dan menghindari bersikap berpura-pura dan tidak mengambil sikap defensif.<br />Klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA sering dianggap tidak jujur dan manipulatif. Bila konselor mempunyai anggapan yang demikian, maka sulit untuk bersikap tulus.  Ketulusan ini penting untuk mempertahankan klien dalam terapi.<br />Immediacy (Responsif)<br />Immediacy melibatkan perasaan-perasaan yang sesungguhnya antara konselor dan klien saat itu dan di tempat itu ( now and here ). Idealnya konselor dan klien  berbagi rasa apa yang terjadi di antara mereka secara terbuka dan jujur. Cara ini akan memfokuskan klien kepada kenyataan dan menjaga supaya konseling tetap berada pada jalur yang benar.<br />Kehangatan<br />Kehangatan berkaitan dengan ketulusan. Kehangatan diperlihatkan secara non-verbal, misalnya tersenyum atau menganggukkan kepala. Kehangatan menunjukkan bahwa konselor juga manusia dan hal ini akan meningkatkan kemanusiaan klien. Klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA membutuhkan bahwa dirinya diterima dengan kehangatan dan dihargai, sebab selama ini ia kurang dapat diterima dalam masyarakat atau keluarganya.<br />Dihargai<br />Klien harus dihargai sebagai individu yang mampu  mengatasi persoalan yang dihadapinya. Mereka  cukup mampu   dan bebas menentukan pilihannya sendiri, termasuk pilihan untuk mengikuti terapi atau tidak.<br />Kepekaan terhadap latar belakang budaya klien<br />Konselor harus menunjukkan bahwa ia  memperhatikan latar belakang budaya klien. Klien harus diyakinkan bahwa walaupun konselor berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, hal tersebut tidak akan menghalangi tercapainya hubungan yang baik dalam konseling. <br />Strategi untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk terjadinya perubahan.<br />Bila relasi dalam konseling antara klien dan konselor telah terbentuk, konselor harus memusatkan perhatiannya untuk mendatangkan situasi yang memberi rasa aman  kepada klien sehingga klien dapat didorong  untuk terbuka. Kemampuan untuk membangun komunikasi dan mendengarkan dengan cermat pada fase ini adalah sangat penting.<br />Pertanyaan terbuka.<br />Konselor mendorong klien untuk menceriterakan masalahnya lebih  lanjut dan lebih  mendalam dengan mengajukan pertanyaan terbuka yang eksploratif.<br />Misalnya:   “ Dapatkah anda berceritera lebih lanjut tentang pekerjaan anda ?.... Atau:   “….Anda dapat menceriterakan masalah itu lebih lanjut,,,,,” <br />Pernyataan ulang<br />Konselor mengulang pernyataan klien  dengan lebih jelas. Pernyataan ini akan memperkuat ikatan terapeutik. Klien akan merasa bahwa konselor memperhatikan dan peduli  terhadap dirinya. Contoh:  “ semua menganggap bahwa kebiasaan saya minum minuman keras adalah suatu masalah. Ada baiknya kalau bicara dengan orangtua saya, mereka yang punya masalah bukan saya…. “<br />Tanggapan konselor:….” Nampaknya anda kurang senang  akan semua tekanan yang ditujukan kepada anda dan bahwa anda kurang yakin kiranya anda mempunyai masalah. Seandainya saya bertemu dengan orangtua anda , bagaimana kiranya pertemuan itu dapat menolong anda ? “<br />Refleksi<br />Refleksi akan menfasilitasi komunikasi dan memberi rasa aman kepada klien dan bahwa ia diperhatikan sehingga memperkuat relasi dalam konseling.<br />Contoh:<br />Klien : “ Setiap kali saya memikirkan kebiasaan saya minum, rasanya saya ingin menyendiri dan menangis. Kadang-kadang terpikir oleh saya bahwa lebih mudah saya minum terus, mungkin saya akan cepat mati “<br />Konselor : “ Kedengarannya anda sangat malu terhadap kebiasaan minum anda. Anda nampaknya tidak punya harapan dan sangat sedih “<br />Mendorong klien untuk berani mulai  berbicara.<br />Mengajukan pertanyaan dapat memperjelas kebutuhan, perasaan dan keyakinan klien sehingga dapat menambah wawasan berpikir, kemajuan terapi dan pemahaman diri. Pertanyaan bertubi - tubi tidak baik bagi proses terapi. Jangan mengajukan pertanyaan untuk mengisi waktu. Pertanyaan yang baik adalah dengan kata tanya  “ apa” atau “ bagaimana “. Pertanyaan dengan kata tanya “ mengapa “ menyiratkan salah- benar sehingga dapat memicu timbulnya mekanisme defensi intelektualisasi, rasionalisasi atau penyangkalan. Bandingkan ketiga pertanyaan di bawah ini:<br />Konselor: “ Apa yang menyebabkan minum alkohol  itu penting bagi anda ?”<br />Konselor : “ Bagaimana perasaan anda karena  biasa minum ? “<br />Konselor : “ Mengapa anda minum? “<br />Hening<br />Beberapa konselor berpendapat bahwa hening adalah tabu dalam konseling. Hal tersebut tidak benar. Konselor harus bisa merasa nyaman dengan hening tetapi konselor harus menggunakan hening secara tepat. Diam dapat  memberi kesempatan untuk introspeksi dan terjadinya kecemasan yang bersifat terapeutik. Keadaan ini dapat mendorong  klien untuk melangkah lebih lanjut menghadapi tahap terapi yang sulit dan menyakitkan.<br />Restrukturisasi kognitif<br />Ketika klien telah banyak menceriterakan tentang dirinya, konselor dapat mulai meningkatkan  komunikasi dengan klien pada tingkat yang lebih dalam. Dengan restrukturisasi kognitif klien dilatih untuk  menyampaikan ide dan keyakinan  dengan cara yang lebih sesuai dengan kenyataan daripada  fantasi.<br />Contoh :  “ Saya tidak dapat berubah “ menjadi “ Saya tidak mau berubah “<br />                “ Semua orang tidak suka saya” menjadi “ Beberapa orang tidak<br />                   suka saya “<br />Untuk mengembangkan restrukturisasi kognitif, klien dilatih  untuk mengajukan pertanyaan-pertanyan sebagai berikut:<br />Apakah saya berpikir berdasarkan realitas atau angan-angan ?<br />Apakah pikiran saya dalam situasi ini untuk  membantu saya  melindungi kehidupan saya atau kesehatan saya ?<br />Apakah pikiran saya ini dapat menolong atau menghambat  saya untuk mencapai sasaran jangka pendek maupun panjang ?<br />Apakah pikiran saya itu akan membantu saya menghindari konflik  dengan orang lain ?<br />Apakah pikiran saya membantu saya merasakan emosi seperti yang saya inginkan ?<br />Konfrontasi<br />Konfrontasi merupakan alat penting untuk mendorong klien untuk maju, tetapi hanya  akan efektif bila  terbentuk relasi terapeutik yang solid dan bila klien telah siap menghadapinya. Dalam keadaan ini, konfrontasi hanya dilakukan bila  terdapat ketidak- sesuaian  antara kata dan apa yang mereka alami, antara apa yang dikatakan klien kemarin dan yang dikatakan sekarang, apa yang dikatakan beda dari yang dilakukan. Ada 5 tipe konfrontasi:<br />Konfrontasi eksperiensial: konfrontasi ini terjadi kalau klien mengatakan sesuatu tetapi konselor menangkapnya  bahwa mereka tidak merasakan  apa yang dikatakan klien.<br />Konfrontasi kekuatan : terjadi bila klien menyatakan lemah dan tidak berdaya tetapi konselor memberi dorongan dengan menunjukkan  kenyataan bahwa apa yang klien nyatakan tidak sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya.<br />Konfrontasi kelemahan : terjadi bila  klien menyangkal  adanya perasaan sakit hati dan bersikap seolah-olah ia tidak terpengaruh oleh hal yang menyebabkan perasaan sakit hati itu. Konselor akan mendorong klien untuk meninggalkan penyangkalan itu dan mengakui keadaan yang sebenarnya.<br />Konfrontasi  aksi : terjadi bila klien memperlihatkan perilaku tak berdaya melaksanakan suatu tugas dan konselor mendorong klien untuk menyelesaikan tugas tersebut.<br />Konfrontasi faktual : terjadi bila konselor mengoreksi  mitos atau fakta tidak benar yang dikemukakan klien.<br />Mengenali dan Mengatasi Situasi Risiko Tinggi <br />Bila klien dan konselor mengetahui situasi yang rawan untuk menggunakan NAPZA, maka klien dengan bantuan  konselor dapat menyusun rencana untuk menghadapi situasi tersebut. Ada lima domain  situasi ( Carroll, 1998 ) :<br />Sosial : misalnya  dengan siapa klien menghabiskan waktunya, dengan siapa ia menggunakan NAPZA, bagaimana hubungan  mereka.<br />Lingkungan : misalnya  waktu dan tempat khusus menggunakan NAPZA.<br />Emosional : adanya perasaan hati negatif maupun positif  yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA<br />Kognitif : pikiran yang timbul setiap kali sebelum menggunakan NAPZA.<br />Jasmani : keadaan jasmani dan sensasi  pada indra ( perabaan, pendengaran, dll ) sebelum menggunakan NAPZA.     <br />Latihan Relaksasi Otot <br />Latihan Relaksasi Otot berguna pada  keadaan cemas dan ketegangan. Pada Gangguan pengunaan NAPZA  relaksasi  berguna untuk mengatasi ansietas ( dual diagnosis ), mempermudah tidur, mengatasi kecemasan yang biasanya muncul sebelum kambuh, atau meredakan ketegangan pada situasi emosional atau sosial. Cara ini mudah dilaksanakan dan setelah dilatih klien dapat melakukan sendiri. Lamanya sekitar 30-60 menit. <br />Latihan Ketrampilan<br />Ketrampilan hidup adalah mutlak diperlukan untuk perubahan perilaku pada Gangguan  penggunaan NAPZA. Dengan memiliki ketrampilan hidup klien dapat mengatasi situasi  yang kondusif kepada penggunaan NAPZA. Dengan memilki ketrampilan hidup klien juga akan lebih berhasil mencapai  tujuan terapi, Ketrampilan intra- dan inter-personal juga akan meningkatkan kemampuannya  mempertahankan pola hidupnya yang baru.<br />Carlson dan Lewis  membagi ketrampilan hidup yang bermanfaat bagi klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA sebagai berikut  :<br />asertif<br />ketrampilan sosial<br />pengedalian diri terhadap perilaku<br />menemukan alternatif dari menggunakan NAPZA<br />penyelesaian masalah<br />mengatasi emosi<br />menejemen stres.<br />Menolak NAPZA dengan bersikap asertif<br />Ketrampilan untuk menolak NAPZA meliputi  ketrampilan  untuk<br />meminta pertolongan<br />memberi instruksi<br />menyakinkan orang lain<br />mengenal perasaan sendiri<br />mengekspresikan perasaan<br />menghadapi kemarahan orang lain<br />mengatasi perasan takut<br />mampu mengendalikan diri<br /> mampu membela haknya<br /> menanggapi godaan<br /> menghindari bermasalah dengan orang lain<br /> tidak melibatkan diri dalam perkelahian<br />mengatasi rasa malu<br />mengatasi  perasaan ditinggalkan<br />menanggapi bujukan<br />menghadapi kegagalan<br />menghadapi dakwaan<br />siap menghadapi pembicaraan yang sulit<br />menghadapi tekanan kelompok<br />membuat keputusan<br />Memilih alternatif<br />Setelah terbiasa menggunakan NAPZA dalam waktu yang lama, ketika tidak menggunakan lagi klien merasa kehilangan sesuatu dan tersisa waktu luang. Untuk mengisi waktu luang itu sebaiknya tersedia bermacam-macam kegiatan. Klien memilih satu atau dua kegiatan yang sesuai untuk klien. Untuk memulai suatu kebiasaan baru tidak selalu mudah. Dalam hal ini konselor mendorong klien untuk memulai. Setelah mencoba satu kali, selanjutnya biasanya akan berjalan lancar.<br />Mengatasi emosi<br />Penggunaan NAPZA cenderung menutupi emosinya. Oleh karena itu ketika klien berada pada awal penyembuhan, sukar mengenali emosinya.<br />Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengatasi emosi adalah mengenalinya terlebih dulu. Setelah itu klien harus  belajar menerima emosi itu. Langkah selanjutnya adalah mengubah emosi itu melalui pendekatan kognitif.  Misalnya ”saya harus tidak mempunyai perasaan ini” menjadi “tidak apa saya mempunyai emosi ini sejauh saya tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain “ Langkah selanjutnya adalah meentukan perilaku apa saja yang bisa mengatasi emosi itu  teapi tidak merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Selanjutnya ia menetapkan perilaku mana yang akan dipilih dan dilaksanakan.<br />Mengatasi Stres<br />Tidak jarang klien menggunakan NAPZA untuk mengatasi stres. Oleh karena itu kemampuan mengatasi stres adalah penting bagi klien yang berhenti menggunakan NAPZA.<br />Orang dapat mengatsi stres dengan mengubah cara berpikir dari yang bersifat negatif ke cara berpikir positif. Orang juga dapat mengatasi stres dengan  mengubah respon terhadap stres misalnya dengan latihan relaksasi otot. Demikian pula orang dapat mengatasi stres dengan mengubah lingkungan<br />12 Langkah<br />12 langkah bukan sebuah terapi melainkan membantu  eks-klien dalam fase rehabilitasi untuk tetap bebas dari NAPZA melalui suatu kegiatan kelompok dengan mendorong setiap anggota mengembangkan diri dengan menilik diri sendiri dan  memperhatikan masalah yang diakibatkan oleh NAPZA ( alkohol untuk Alcohol Anonymous, narkotika- dalam hal ini opioida- untuk Narcotics Anonymous, kokain untuk Cocaine Anonymous ). Pada dasarnya ini adalah suatu kelompok Tolong-Diri, bersifat nirlaba, tersebar di seluruh dunia, tidak berafiliasi dengan  agama atau lembaga, dengan struktur organisasi yang sangat minimal dan tidak memberi hukuman atau mengucilkan  anggotanya. Keterangan mengenai 12 langkah dapat dilihat pada buku Pedoman Layanan Terapi dan Rehabiltasi komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit.<br />Pemecahan Masalah<br />Perkembangan ego seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA sering kali tidak  sebagaimana diharapkan sehingga mudah bimbang dan sulit mengambil keputusan yang bijak. Oleh karena itu juga menjadi mudah mengikuti pendapat, saran atau bujukan orang lain. Memecahkan masalah mengikuti tahapan sebagai berikut:<br />S-tate your problem<br />O-utline your response<br />L- ist your alternatives<br />V- iew the consequencies<br />E- valuate your result.<br />Langkah-langkah yang dilakukan oleh konselor adalah:<br />mengklarifikasi masalah yang dihadapi klien bersama klien<br />mendorong dan membantu klien untuk menghasilkan pilihan<br />membantu klien menganalis pilihan yang ada secara kritis<br />menolong klien untuk memlih pilihan yang terbaik<br />membantu klien mengembangkan  rencana tindakan<br />membantu klien untuk mengevaluasi hasil pilihannya,<br />3.2. MENINGKATKAN MOTIVASI UNTUK BERUBAH<br />Motivasi adalah semua faktor yang membangkitkan, mempertahankan dan mengarahkan perilaku seseorang. Manusia tidak akan menerapkan apa yang telah mereka pelajari bila apa yang telah dipelajari ketika  dilaksanakan tidak mendatangkan imbalan atau  mempunyai nilai bagi dirinya. <br />Wawancara motivasional ( motivational Inteviewing, MI ) mendorong terjadinya perubahan pada klien dengan menghindari pemberian label dan menekankan bahwa  pengambilan keputusan ada di tangan klien. Konselor mengumpulkan data secara lengkap dan teliti serta berbagi data itu kepada klien. Selanjutnya  terserah bagaimana klien akan menggunakan data tersebut. Bila dalam wawancara konselor memberi label “ pecandu “ kepada klien atau konselor memberi kesan bahwa semua masalah yang dihadapi klien adalah akibat penggunaan NAPZA maka akan timbul sikap defensive pada klien. Dalam melaksanakan MI fase yang paling sulit untuk merubah perilaku klien adalah tahap kontemplasi mengingat ambivalensi klien sangat kuat sehingga diperlukan langkah berikut yakni Motivational Enhancement Therapy (MET )  <br />( Lihat Buku Pedoman Penanggulangan Gangguan Penggunaan NAPZA, Kemenkes RI ).<br />3.3. MELIBATKAN KELUARGA / PASANGAN DALAM PROSES KONSELING <br />Dalam kenyataan, tidak ada klien dengan Gangguan penggunan NAPZA memperoleh efek terapi yang efektif tanpa memperhatikan interaksi  sosialnya. Dalam hal ini peran keluarga adalah yang paling penting.<br />Konselor harus memperhatikan dinamika dalam keluarga klien. Keluarga itu sendiri mungkin menjadi sasaran  untuk perubahan.<br />Konselor harus mempunyai seperangkat kompetensi untuk melibatkan keluarga dalam terapi.<br />memahami karakteristik dan dinamika keluarga, pasangan, atau orang bermakna lainnya.<br />Pengetahuan :<br />Dinamika yang berkaitan dengan penggunaan, penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA dalam keluarga, dengan pasangan atau orang bermakna  lain.<br />Dampak  pola interaksi pada perilaku menggunakan NAPZA.<br />Dampak penggunaan NAPZA berkaitan dengan budaya. terhadap keluarga,pasangan, atau orang bermakna lain.<br />Teori sistem dan dinamika ( keluarga ).<br />Tanda-tanda dan pola kekerasan dalam rumah tangga.<br />Dampak perilaku menggunaan NAPZA terhadap pola interaksi.<br />       Ketrampilan:<br />a. mengenali interaksi  dalam keluarga yang nampaknya akan     memengaruhi pemulihan.<br />b. mengenali peran orang-orang bermakna  dalam sistem sosial<br />   klien.<br />c. menerima faktor perbedaan kultural dalam keluarga yang<br />   memengaruhi karakteristik dan dinamika  keluarga, pasangan<br />   atau orang signifikan lain.<br />         Sikap<br /> a. mengenali perilaku non konstruktif keluarga sebagai isu dalam<br />    sistem<br /> b. menerima bahwa  interaksi sistemik berperan pada perilaku<br />    menggunakan NAPZA.<br />menerima faktor budaya  beragam yang memengaruhi dinamika<br />     keluarga, pasangan atau orang bermakna lain.<br />Membiasakan  dan  menempatkan penggunaan diagnosis dan intervensi keluarga, pasangan, atau orang bermakna lain secara tepat.<br />Pengetahuan:<br />Strategi intervensi untuk sistem pada berbagai tingkat perkembangan masalah<br />Strategi  intervensi yang sesuai untuk perilaku kekerasan<br />Hukum yang berkaitan dengan tindak kekerasan<br />Strategi intervensi keluarga yang tidak bertentangan dengan budaya<br />Instrumen  asesmen yang tersedia dan sesuai untuk keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya.<br />           Ketrampilan:<br />                             a, menerapkan instrumen asesmen keluarga, pasangan dan<br />                                 orang bermakna lainnya.<br />                             b. menerapkan strategi yang sesuai dengan budaya,<br />           Sikap:<br />menghargai klien sebagai individu dan bagian dari keluarga sebagai sebuah sistem. <br />menerima keanekaragaman dalam keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya.<br />Selanjutnya konselor juga mampu memfasilitasi keterikatan anggota keluarga yang terpilih, pasangan dan orang bermakna lainnya  dalam terapi dan proses penyembuhan.<br />Konselor juga membantu keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya untuk mengadopsi strategi perilaku yang akan mempertahankan  pemulihan  dan mempertahankan hubungan baik dengan orang lain.<br />Konselor juga membantu keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya untuk mengerti interaksi antara  sistem keluarga dan perilaku menggunakan NAPZA.<br />Tahapan dalam Pemulihan Keluarga.<br />Keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda pada setiap tahap pemulihan.  Bepko dan Krestan ( 1985 ) menyebutkan ada 3 tahap  dalam terapi.<br />Tahap pertama yaitu  mencapai keadaan bebas NAPZA: pada tahap ini keseimbangan digoyahkan sehingga memungkinkan terjadinya perubahan.<br />Tahap kedua adalah menyesuaikan dengan keadaan bebas NAPZA. Keluarga, pasangan, atau orang bermakna lainnya berusaha  menyeimbangkan kembali sistem.<br />Tahap ketiga adalah mempertahankan bebas NAPZA jangka panjang, di mana terjadi keseimbangan kembali dalam sistem.<br />Proses pemulihan keluarga  merupakan suatu proses bukan suatu kejadian sesaat seperti perubahan pada klien ( Prochaska ). Tidak semua anggota keluarga mempunyai kecepatan perubahan yang sama. Konselor harus menolong setiap anggota keluarga sesuai dengan tahapnya masing-masing anggota keluarga tersebut.<br />Konselor membantu keluarga  bersama-sama  dengan teman-teman  mendesak klien untuk menjalani terapi di suatu pusat terapi. Cara ini tidak membawa hasil dan ada kalanya bahkan berakibat buruk.<br />Cara yang lebih baik dan lebih berhasil adalah dengan cara melepas kelekatan ( disengagement ). Keluarga dapat mulai melakukan perubahan tanpa melibatkan klien. Konselor mendorong anggota keluarga lain untuk berubah dengan tujuan  perkembangan diri yang lebih baik dan demi kesehatannya sendiri.<br />Pengaruh pada Anak<br />Dampak Gangguan penggunaan NAPZA pada dinamika dalam keluarga dapat berdampak buruk kepada anak-anak.<br />Konseling untuk anak-anak yang masih tinggal serumah dengan orangtuanya yang mengalami Gangguan penggunaan NAPZA  bertujuan utama untuk memberi dukungan dan membantu klien  dapat  mengembangkan ketrampilan agar supaya mampu  mengasuh anaknya dengan baik, sekarang maupun di kemudian hari. Diharapkan anak tidak menghadapi situasi tidak menentu dan terhindar dari masalah emosional yang kronis.<br />Anak dari keluarga yang mengalami disfungsi bisa menjadi pahlawan keluarga ( mengambil alih  tugas yang mestinya menjadi tanggung jawab orang dewasa ), menjadi kambing hitam keluarga ( dianggap tukang bikin masalah dan menarik perhatian keluarga ), anak yang hilang (kurang diperhatikan dan  lebih banyak  berada di “ belakang “  ), atau menjadi maskot (  menjadi pusat perhatian untuk mengalihkan perhatian dari masalah klien sehingga dapat meredakan ketegangan ).<br />Anak yang sudah remaja dari seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA  tidak banyak yang bertingkah. Kebanyakan dari remaja itu  memendam perasaannya,  dan berbuat sebaik mungkin untuk beradaptasi dan  bertahan tinggal dengan keluarga. Akan tetapi sikap yang demikian itu membawa akibat kurang percaya diri, kesepian, perasaan bersalah dan malu, sedih sehingga perlu pengawasan, kurang asertif, putus asa untuk memperoleh kebahagiaan, dan sangat peka terhadap kritik.<br />                                               <br />Kekambuhan ( Relapse ).<br />Kambuh adalah  penggunaan kembali NAPZA ke pola yang lama setelah  periode abstinensia. Kambuh adalah salah satu masalah besar yang dihadapi oleh klien maupun konselor.<br />Seseorang bisa saja kembali menggunakan NAPZA tanpa harus kembali pada polanya yang lama (tidak kembali ke jenis zat semula atau dengan frekuensi yang jarang). Apabila ia sesekali menggunakan lagi disebut Slips, apabila ia berulang kali menggunakan disebut Lapses.<br />Faktor-faktor determinan pada kekambuhan<br />Klien dengan bantuan konselor mengidentikasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan slips atau kambuh<br />Situasi dengan risiko tinggi: yaitu situasi yang mengancam kemampuan mengendalikan diri, misalnya masuk ke ruang di mana kawan-kawan sedang mengonsumsi NAPZA, melalui jalan dimana ia dulu membeli NAPZA.<br />Pikiran dan sikap : misalnya pada awal pemulihan, klien merasa senang  dan yakin bahwa tidak akan ada masalah di masa yang akan datang. Ketika ia menghadapi suatu masalah ia belum siap menghadapinya. Juga sering terjadi bahwa klien merasa yakin dapat menghadapi situasi rawan  kambuh.<br />Strategi Pencegahan terhadap Kekambuhan<br />Prevensi terhadap kemungkinan kambuh merupakan pendekatan berspek-<br />trum luas, melibatkan prosedur intervensi spesifik untuk menghindari atau membatasi slips dan kambuh serta menjaga keseimbangan hidup. Prevensi terhadap kambuh sudah diberikan pada saat klien masih menjalani terapi. <br />Strategi untuk Menyingkirkan Risiko<br />1. Monitoring diri sendiri<br />    Monitoring diri adalah alat pertama yang diajarkan dalam pelatihan. <br />    Klien membuat catatan kapan, dimana dan mengapa keinginan untuk<br />    menggunakan NAPZA muncul. Klien lalu dilatih cara  mengatasi<br />   situasi tersebut.<br />2. Metode Pengamatan Langsung<br />    Kepada klien diberikan daftar lengkap berbagai situasi rawan kambuh<br />    dan diminta untuk  memberikan  urutan situasi dari yang paling rawan<br />    sampai yang paling kurang rawan.<br />3. Ketrampilan mengatasi situasi rawan kambuh.<br />    Setelah klien mengenali situasi rawan,klien dilatih untuk mengatasinya.<br />Ada situasi yang harus dihindarkan dan ada situasi yang harus dapat diatasi, misalnya dengan latihan relaksasi, latihan asertif, cara berkomunikasi yang tepat,  dan menejemen stres. Contoh menejemen stres :<br />Hanya mengerjakan satu  kegiatan atau pekerjaan  setiap saat<br />Menghilangkan ketegangan fisik ( relaksasi )<br />Belajar untuk tidak menjadi perfeksionis<br />Humor<br />Mencari bantuan orang lain yang benar<br />Sediakan waktu untuk bersendirian<br />Miliki  hobi atau kegiatan yang tidak berkaitan dengan NAPZA<br />Jangan bersikap kaku melainkan moderat<br />Makan dan tidur yang baik<br />Menyeimbangkan pengeluaran dan manfaatnya bagi hidup<br />4. Meningkatkan Efikasi Diri<br />    Latihan untuk meningkatkan efikasi diri dilakukan  dengan cara<br />    imajinasi, dimana klien diminta untuk membayangkan situasi rawan<br />    kambuh dan bagaimana klien mengatasinya.<br />5. Kontrak Perilaku<br />    Surat kontrak perilaku ditanda tangani oleh klien dan konselor di atas<br />    meterai, dibuat sesederhana mungkin, tidak bersifat menghakimi atau<br />    menghukum. Isinya menyatakan bahwa slips bukanlah suatu ke-<br />    gagalan dan bahwa klien mempunyai kemampuan untuk mencegah slips lagi.   Bila terjadi slips/lapses ia akan segera menghubungi konselor atau<br />    institusi  atau fasilitas terapi / rehabilitasi.<br />    Klien juga diberi buku saku yang memuat tip yang sederhana dan lugas.<br />     <br />6. Membangun kembali  struktur kognisi<br />    Bila klien sudah kambuh, maka digunakan restrukturisasi kognitif, yaitu<br />    klien dilatih untuk mengembangkan sikap mental positif. Klien dilatih<br />    untuk berpikir secara obyektif, rasional dan adil.<br />Strategi Intervensi Komprehensif<br />Strategi Pengendalian Diri Komprehensif digunakan untuk memperkuat kembali usaha pencegahan kambuh dan memungkinkan klien untuk<br />menghindari sama sekali situasi berisiko tinggi yang diakibatkan oleh pola hidup yang tak seimbang.<br />Mengusahakan pola hidup yang seimbang<br />Proses kambuh biasanya dimulai dengan pola hidup yang tak seimbang Pola hidup tak seimbang ini mengakibatkan stres  atau hal-hal yang negatif pada klien. Pengendalian diri secara umum bertujuan meningkatkan semaksimal mungkin kemampuan klien untuk mengatasi stres dan mengatasi situasi risiko tinggi,yaitu dengan meningkatkan efikasi diri, mengusahakan keseimbangan antara kerja dan rekreasi, kebahagiaan dan kesedihan, kesakitan dan kenikmatan. Klien dianjuran untuk mempunyai waktu untuk bersantai, hobi yang tidak mengandung stres,  dan banyak waktu untuk diri sendiri. Juga dapat dianjurkan untuk menjadi adiksi terhadap hal-hal yang positif seperti  jogging, meditasi, menyulam, dan lain-lain. Aktivitas ini bila dipadukan dengan pola hidup sehat akan mencapai  keseimbangan hidup.<br />Memenuhi  Kepuasan yang Adaptif<br />Bila orang mengalami frustrasi dalam pola hidup yang tidak seimbang, seringkali orang itu mencari kepuasan sebagai imbalannya. Pada program pencegahan kambuh  dengan memberi kepuasan yang  berakibat baik dan bukannya memberi efek yang buruk. Klien dapat  mengikuti olah raga seperti futsal, main bola, main biliar, basket, mendaki gunung, berlibur, berenang, nonton film, berjalan sepanjang pantai dan sebagainya.<br />Menghindari Dorongan dan  Rasa Keinginan yang Kuat.<br />Klien harus menghindari tempat atau situasi di mana akan memicu timbulnya dorongan dan keinginan kuat untuk menggunakan NAPZA. Misalnya jalan   di depan sebuah bar, melewati gang di mana biasa terjadi jual beli NAPZA ilegal, mencium bau ganja dan sebagainya.   <br />BAB 4. PENCATATAN & EVALUASI PROSES KONSELING<br />PENCATATAN <br />Pencatatan proses konseling pada Gangguan penggunaan NAPZA tidaklah berbeda dengan pencatatan proses konseling lainnya. Agar dapat menjadi landasan bertindak bagi petugas kesehatan, hendaknya pencatatan dilakukan pada catatan / rekam medis. Format pencatatan sederhana, meliputi nomor rekam medis, nama klien, tanggal konseling, konselor, kemudian diikuti  pencatatan proses konseling. Pencatatan hendaknya tidak dibuat dalam bentuk kolom agar memudahkan konselor untuk menuliskan apapun yang dirasakannya penting. <br />Pencatatan proses konseling umumnya dilakukan pada saat proses konseling tersebut berjalan. Beberapa konselor merasakan hal ini sebagai sesuatu yang mengganggu dan tidak perlu untuk dilakukan karena dapat mengganggu proses konseling itu sendiri. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, terutama bila konselor begitu fokus untuk menulis dan ’mengabaikan’ keberadaan klien. Namun demikian, melakukan penundaan pencatatan seringkali justru kehilangan kata-kata kunci klien yang penting untuk dijadikan landasan pengembangan proses konseling. Untuk itu disarankan untuk tetap membuat catatan selagi proses konseling berlangsung. Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan agar pencatatan berjalan efisien:<br />Tuliskanlah hanya kata-kata kunci klien: hal-hal yang ’ditekankan’ oleh klien, baik melalui kata yang diulang-ulang, intonasi suara, isyarat non-verbal, maupun yang berkaitan dengan isu yang sedang dibahas. <br />Tuliskanlah hasil pengamatan atas perilaku non-verbal klien: apakah ekspresi emosi sesuai dengan apa yang diucapkannya?<br />Segera setelah selesai konseling, lengkapilah catatan dengan hal-hal yang dirasakan perlu untuk ditambahkan <br />Pencatatan proses konseling terdiri dari dua hal: pencatatan awal dan pencatatan lanjutan. Pencatatan awal umumnya merupakan bagian dari proses asesmen klien Gangguan penggunaan NAPZA pada umumnya (lihat rincian domain asesmen pada sub bab 4.2 di bawah ini). Informasi yang diperoleh pada saat proses konseling umumnya dapat melengkapi pengisian domain-domain yang ada. Sebaliknya, proses konseling juga dapat dimulai dari informasi yang diperoleh dari proses asesmen. Pencatatan awal mencakup masalah utama yang dihadapi klien serta masalah-masalah lain yang terkait dengan masalah utama. Pencatatan lanjutan umumnya hanya mencakup pada masalah utama yang dibahas pada sesi konseling yang berlangsung, sekalipun tidak menutup kemungkinan untuk juga mencatat hal-hal penting lainnya. <br />INSTRUMEN EVALUASI<br />Ada dua jenis evaluasi program, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses bertujuan untuk mengetahui apakah layanan berjalan sebagaimana diharapkan. Evaluasi hasil adalah untuk mengetahui apakah layanan yang diberikan telah memenuhi keinginan klien atau komunitas. <br />Evaluasi proses dapat dilaksanakan dengan menciptakan sistem informasi menejemen terpadu yang meliputi:<br />Informasi tentang komunitas: meliputi data demografik, karakteristik sosial ekonomi dari klien.<br />Informasi tentang klien:  meliputi masalah yang dikeluhkan klien, riwayat penyakit, jenis layanan yang diterima, lamanya pelayanan, latar belakang keluarga dan sosial ekonomi, pekerjaan, tingkat kepuasan, dan hasil layanan.<br />Informasi tentang layanan: meliputi jenis layanan apa saja yang ada pada institusi tersebut, jumlah klien yang dilayani, jumlah klien yang mulai ikut konseling dan yang selesai mengikuti program konseling dalam kurun waktu tertentu<br />Informasi tentang staf: termasuk lama waktu yang dibutuhkan seorang staf dalam memberikan layanan, volume layanan konselor (misal: jumlah klien yang dilayani).<br />Informasi tentang biaya: termasuk biaya seluruh kegiatan institusi, biaya setiap jenis layanan yang harus dibayar klien<br />Evaluasi hasil pada gangguan penggunaan NAPZA menghadapi beberapa masalah, yaitu pengukuran hasil dengan kriteria yang terlalu sempit dan tidak sensitif, sulit menemui klien, kurang akuratnya laporan yang dibuat oleh klien sendiri<br />Penilaian dengan kriteria yang sempit adalah penilaian berdasarkan klien masih menggunakan NAPZA atau sama sekali tidak menggunakan NAPZA. Pandangan multivariat terhadap Gangguan penggunaan NAPZA menghasilkan metode evaluasi hasil dengan kriteria tambahan dengan menanyakan hal hal dibawah ini dalam kurun waktu tiga puluh hari terakhir:<br />Apakah klien menyelesaikan program konseling atau tidak.<br />Berapa kali  klien   masuk pusat rehabilitasi.<br />Jeda waktu terjadinya kematian sejak atau setelah  mengikuti program<br />Kesehatan jasmani: berapa lama klien menderita  masalah medik, berapa lama minum obat yang diberikan  oleh dokter, lama perawatan di rumah sakit.<br />Perilaku menggunakan NAPZA: berapa hari klien dalam keadaan abstinensia tanpa bantuan obat.<br />Penggunaan NAPZA lain: berapa lama ia abstinensia atau tidak abstinensia dari NAPZA lain itu.<br />Masalah hukum: berapa kali klien ditahan  berkaitan maupun tidak berkaitan dengan  penggunaan NAPZA<br />Masalah pekerjaan: bagaimana status kepegawaiannya, jumlah hari klien bekerja.<br />Fungsi keluarga/sosial : seberapa memuaskan  hubungan interpersonal  dan mutu waktu senggangnya<br />Emosi: apakah klien mempunyai keluhan psikitris<br />Beberapa instrumen yang bisa dipakai untuk evaluasi hasil adalah:<br />WHO Quality of Life<br />Addiction Severity Index; dan lain-lain<br />INDIKATOR KEBERHASILAN<br />Sebelum menetapkan indikator keberhasilan, lebih dulu perlu disepakati hal yang dimaksud dengan “ keberhasilan “ dalam konseling klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA. Apabila yang dimaksud dengan “ keberhasilan “ adalah  klien sama sekali tidak menggunakan NAPZA, maka klien berarti tidak menggunakan semua jenis NAPZA termasuk tembakau ,kopi, dan alkohol.<br />Perlu diingat kembali bahwa yang dimaksud dengan Ganguan penggunaan NAPZA adalah pola penggunaan NAPZA yang mengakibatkan gangguan pada kesehatan serta fungsi sosial  dan  okupasional, termasuk masalah ekonomi, sosial, dan hukum.<br />Seorang yang  biasa minum kopi, menghisap rokok tembakau atau minum minuman beralkohol tanpa mengalami akibat pada kesehatan dan tidak mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tidak dapat digolongkan gangguan penggunaan NAPZA. Seorang yang menghisap  ganja, mengonsumsi ecstasy, atau minum obat tidur bukan atas nasehat dan resep dokter adalah ilegal dan dapat berurusan dengan penegak hukum.<br />Oleh karena itu indikator keberhasilan pada konseling klien dengan gangguan penggunaan NAPZA  didasarkan kepada perubahan perilaku dari yang maladaptif menjadi adaptif dan tidak menderita gangguan pada kesehatannya atau penyakit yang ( terlanjur ) diderita  mendapat pengobatan. <br />Emosi : stabil, dapat mengekspresikan perasaannya secara wajar.<br />Perilaku:   dapat mengendalikan perilaku dengan baik dan tidak memperlihatkan perilaku yang maladaptif<br />Kognisi : dapat berpikir secara rasional dan  realistis<br />Persepsi : tidak mengalami gangguan persepsi, dapat memperspsi diri dan lingkungannya dengan baik<br />Hubungan interpersonal : memuaskan bagi dirinya dan orang lain<br />Fungsi sosial: dapat belajar dengan baik jika masih menempuh pendidikan dan dapat bekerja dengan prestasi yang baik bila sudah bekerja.<br />Fungsi keluarga: dapat menunaikan tugasnya sebagai anggota keluarga ( sebagai suami,sebagai istri, sebagai orangtua atau sebagai anak )<br />Tidak terlibat masalah hukum yang berkaitan dengan NAPZA<br />Pola hidup yang baik, teratur dan seimbang: makanan yang sehat dan cukup, istirahat dan tidur yang cukup dan teratur, rekreasi yang sehat<br />Semuanya ini terdapat dalam WHO – QOL dan dapat diakses melalui www.who.int<br />BAB  5.  PENUTUP<br />Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu gangguan jiwa yang kronis dengan angka kekambuhan yang tinggi. Proses penyembuhannya  tidak lineair, melainkan melalui beberapa tahap ( Prochaska )  dan seringkali mengalami  perjalanan mundur dan maju dari tahap satu ke tahap yang lain.<br />Peran konselor adalah membantu klien melalui tahapan tadi  sebaik mungkin supaya sesedikit mungkin mengalami perjalanan mundur.<br />Pada dasarnya konseling adalah membantu klien mengalami perubahan perilaku dari yang maladaptif menjadi adaptif. Sasaran konseling  untuk mengubah perilaku klien seringkali kurang disadari oleh petugas kesehatan, klien maupun keluarga klien. Mereka lebih mengharapkan perubahan  dari menggunakan NAPZA menjadi tidak menggunakan NAPZA sama sekali.<br />Mempelajari perilaku seseorang tidak cukup hanya mempelajari orang itu sendiri, melainkan juga lingkungan di mana orang itu berada. Oleh karena itu untuk mengubah perilaku seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA perlu melibatkan lingkungannya terutama orangtua, pasangan, dan orang bermakna lainnya.<br />Oleh karena Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan yang sering  kambuh, maka  penting untuk  mencegah kekambuhan.<br />Peran konselor tidak selesai setelah klien selesai menjalani terapi, tetapi tetap berperan dalam pencegahan kambuh yaitu memperkuat kembali klien agar tetap bertahan untuk tidak kembali kepada perilaku semula. Biasanya konseling untuk menguatkan kembali secara berkala  setelah terapi berakhir.<br /> <br />DAFTAR REFERENSI<br />Addiction Counseling, Competencies, TAP 21, US Department of Health<br />   And Human Services, 2008.<br />Gangguan Mental dan Perilaku Akbat Penggunaan Zat Psikoaktif,<br />   Joewana.S, EGC, Edisi 2, 2005.<br />Mastering Counselling Theory, Ray Colledge, Palgrave Macmillan, 2002.<br />Substance Abuse Counseling, Lewis, J.A., Dana, R.Q., Blevins G.A;<br />   Brooks/Cole, 3rd ed. 2002.<br />Substance Abuse, Informations for School Counselors, Social Workers,<br />   Therapists and Counselors; Fisher, G.L. , Harrison, T.C., Allyn & Bacon, <br />   1997.<br />Synopsis of Psychiatry, Sadock B.J., & Sadock,V.A. Lippincott, Williams &<br />   Wilkins, 10th ed.  2009<br />Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therepeutics, 11th. ed<br />   <br />Lampiran 1<br />ASESMEN AWAL PERILAKU DAN ANALISIS FUNGSIONAL<br />                                                               Nama Konselor…………………..<br />Tanggal………………………….         Nomor Rekam Medik....................<br />I. Biodata Klien<br />   Nama…………………………..        Jenis Kelamin:……………………<br />   Umur:………………………….        Status Perkawinan:………………..<br />   Agama:…………………………       Suku Bangsa:……………………..<br />   Alamat: …………………………………………………………………..<br />   No Telepon Rumah:………………..  No HP…………………………….<br />   Riwayat pengobatan sebelumnya ( rawat jalan dan rawat inap ) untuk<br />   Gangguan penggunaan NAPZA  dan gangguan psikiatrik lain:………….<br />   ……………………………………………………………………………<br />   ……………………………………………………………………………<br />   …………………………………………………………………………….<br />II. Masalah yang dihadapi ( frekuensi, intensitas, lamanya, tidak wajar, tidak<br />     Pada tempatnya )<br />Perilaku yang berlebihan:……………………………………….<br />…………………………………………………………………..<br />Perilaku yang kurang…………………………………………….<br />…………………………………………………………………...<br />III. Kemampuan dan Kekuatan ( saat ini maupun yang terbaik di masa lalu )<br />      A. Rapi……………………………………………………………….<br />            ………………………………………………………………………...<br />      B. Ketrampilan menolong diri sndiri:……………………………………..<br />      C. Ketrampilan sosial ( termasuk konversasi, rekreasi, dan persahabatan )<br />           ………………………………………………………………………….<br />      D. Pendidikan & Latihan Vokasional<br />           ………………………………………………………………………….<br />IV. Analisis Fungsional  terhadap Masalah<br />A. Apa konsekuensi positif maupun negatif daripada permasalahan yang<br />     dihadapi klien saat ini ?<br />     …………………………………………………………………………<br />     …………………………………………………………………………<br />     …………………………………………………………………………<br />     …………………………………………………………………………<br />     …………………………………………………………………………<br />Siapa atau apa yang membujuk atau memaksa klien  berobat ?<br />……………………………………………………………………………………………………………………………………………………..<br />Siapa yang memperkuat masalah klien dengan simpati, pertolongan, perhatian, atau reaksi emosional ?<br />……………………………………………………………………………………………………………………………………………………<br />      3. Apa yang akan terjadi bila masalah itu diabaikan ?............................... <br />          ………………………………………………………………………….<br />          ………………………………………………………………………….<br />          Menjadi lebih jarang ?............................................................................<br />          …………………………………………………………………………..<br />      4. Apa keuntungan bagi klien bila masalah itu disingkirkan ?..................<br />          ………………………………………………………………………… .<br />          …………………………………………………………………………..<br />B. Pemicu yang determinan apa atau kondisi atau setting  yang menyebab-<br />     kan terjadinya masalah ?...............................................................................<br />     ……………………………………………………………………………...<br />Di mana ?.................................................................................................<br />Kapan ?....................................................................................................<br />Dengan siapa?.........................................................................................<br />C. Kesamaan dari apa yang diuraikan klien dan   apa yang dilihat oleh<br />     pengamat-pengamat lain ?..........................................................................<br />     ……………………………………………………………………………..<br />     …………………………………………………………………………….<br />V. Survei faktor-faktor pendorong. Pastikan untuk melakukan asesmen tentang kesamaan antara apa yang klien katakan dan yang anda serta orang signifikan lain amati<br />A. Orang. Dengan siapa klien menghabiskan waktu terbanyak ( keluarga,<br />     sanak keluarga, teman, sejawat kerja ) ?<br />     1……………………………..         4……………………………………<br />     2…………………………….          5……………………………………<br />     3……………………………...        6…………………………………….<br />     Klien lebih suka menghabiskan waktu  dengan siapa ?<br />     1……………………………………3……………………………………<br />     2……………………………………4……………………………………      <br />B. Tempat. Di mana klien menghabiskan waktunya terbanyak ?<br />     ( kamar tidur, dapur, halaman rumah, mobil, kerja, toko, musola, dsb ?)<br />     1…………………………………...4………………………………….<br />     2……………………………………5………………………………….<br />     3……………………………………6………………………………….<br />    Di mana klien lebih suka menghabiskan waktunya ?<br />     1……………………………………3………………………………….<br />     2……………………………………4………………………………….<br />C. Benda. Klien menghabiskan  waktunya terbanyak dengan  barang apa ?<br />     ( buku, hobi, tembakau, makanan,minuman, pakaian,milik favorit)<br />     1……………………………………5………………………………<br />     2……………………………………6………………………………<br />     3……………………………………7………………………………<br />    4…………………………………….8………………………………..<br />    Klien ingin mempunyai akses paling mudah dengan benda atau makanan<br />    apa?<br />    1…………………………………….3…………………………………..<br />    2…………………………………….4…………………………………..<br />D. Aktivitas. Aktivitas apa  yang dijalani  paling sering dan paling lama oleh <br />     klien ? ( bekerja,merokok, olah raga, nonton TV, mendengarkan musik, <br />     menari, tidur siang, bersendirian, mengemudi kendaraan,  membaca ) ?<br />     1……………………………………..5……………………………………<br />     2……………………………………..6…………………………………….  <br />     3……………………………………. 7……………………………………<br />     4……………………………………. 8…………………………………….<br />     Aktivitas apa yang klien ingin tingkatkan ?<br />     1……………………………………3……………………………………<br />     2……………………………………4…………………………………….<br />E. Penguat negatif. Stimulus dan kejadian apa yang  menyenangkan klien ?<br />    ( orang, zat, situasi, aktivitas, isolasi sosial)?<br />    1……………………………………..4………………………………….<br />    2……………………………………..5………………………………….<br />    3……………………………………..6………………………………….<br />F. Hukuman. S
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA
PEDOMAN KONSELING NAPZA

Contenu connexe

Tendances

Kak kaji banding
Kak kaji bandingKak kaji banding
Kak kaji bandingWidhi Arka
 
Rangkuman akreditasi FKTP / puskesmas
Rangkuman akreditasi FKTP / puskesmasRangkuman akreditasi FKTP / puskesmas
Rangkuman akreditasi FKTP / puskesmasZakiah dr
 
Konsep perilaku kesehatan
Konsep perilaku kesehatanKonsep perilaku kesehatan
Konsep perilaku kesehatanom_wiez
 
Makalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RS
Makalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RSMakalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RS
Makalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RSPENDIDIKAN & KESEHATAN
 
Sistem informasi rumah sakit dan simpus
Sistem informasi rumah sakit dan simpusSistem informasi rumah sakit dan simpus
Sistem informasi rumah sakit dan simpusHeru Supanji
 
Konsep dasar kesehatan masyarakat
Konsep dasar kesehatan masyarakatKonsep dasar kesehatan masyarakat
Konsep dasar kesehatan masyarakatUFDK
 
12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatan12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatanAgus Candra
 
penilaian surveilans kesehatan masyarakat
penilaian surveilans kesehatan masyarakatpenilaian surveilans kesehatan masyarakat
penilaian surveilans kesehatan masyarakataderianofrianti
 
Kb 1 advokasi dalam promosi kesehatan
Kb 1 advokasi dalam  promosi kesehatanKb 1 advokasi dalam  promosi kesehatan
Kb 1 advokasi dalam promosi kesehatanpjj_kemenkes
 
352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docx
352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docx352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docx
352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docxindra178180
 
Manajemen puskesmas
Manajemen puskesmas Manajemen puskesmas
Manajemen puskesmas renjanaera
 
pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01
pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01
pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01Amphie Yuurisman
 
Permenkes no. 27 tahun 2017 ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...
Permenkes no. 27 tahun 2017  ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...Permenkes no. 27 tahun 2017  ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...
Permenkes no. 27 tahun 2017 ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...Adelina Hutauruk
 
288902850-Sop-Audit-Internal.doc
288902850-Sop-Audit-Internal.doc288902850-Sop-Audit-Internal.doc
288902850-Sop-Audit-Internal.docervitasuzanti
 
Laporan kegiatan surveilans
Laporan kegiatan surveilansLaporan kegiatan surveilans
Laporan kegiatan surveilansedy irawan
 

Tendances (20)

Kak kaji banding
Kak kaji bandingKak kaji banding
Kak kaji banding
 
Rangkuman akreditasi FKTP / puskesmas
Rangkuman akreditasi FKTP / puskesmasRangkuman akreditasi FKTP / puskesmas
Rangkuman akreditasi FKTP / puskesmas
 
Konsep perilaku kesehatan
Konsep perilaku kesehatanKonsep perilaku kesehatan
Konsep perilaku kesehatan
 
Makalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RS
Makalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RSMakalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RS
Makalah SOP/ Protap Pelayanan di Puskesmas / RS
 
Posyandu
PosyanduPosyandu
Posyandu
 
Sistem informasi rumah sakit dan simpus
Sistem informasi rumah sakit dan simpusSistem informasi rumah sakit dan simpus
Sistem informasi rumah sakit dan simpus
 
Konsep dasar kesehatan masyarakat
Konsep dasar kesehatan masyarakatKonsep dasar kesehatan masyarakat
Konsep dasar kesehatan masyarakat
 
12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatan12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatan
 
penilaian surveilans kesehatan masyarakat
penilaian surveilans kesehatan masyarakatpenilaian surveilans kesehatan masyarakat
penilaian surveilans kesehatan masyarakat
 
Kb 1 advokasi dalam promosi kesehatan
Kb 1 advokasi dalam  promosi kesehatanKb 1 advokasi dalam  promosi kesehatan
Kb 1 advokasi dalam promosi kesehatan
 
Bab 3 UKP.pptx
Bab 3 UKP.pptxBab 3 UKP.pptx
Bab 3 UKP.pptx
 
352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docx
352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docx352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docx
352927146-Identifikasi-Area-Beresiko.docx
 
Manajemen puskesmas
Manajemen puskesmas Manajemen puskesmas
Manajemen puskesmas
 
Sop rs
Sop rsSop rs
Sop rs
 
pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01
pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01
pedoman konseling adiksi napza 100622051249-phpapp01
 
Permenkes no. 27 tahun 2017 ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...
Permenkes no. 27 tahun 2017  ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...Permenkes no. 27 tahun 2017  ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...
Permenkes no. 27 tahun 2017 ttg Pedoman Ppencegahan dan Pengendalian Infeksi...
 
288902850-Sop-Audit-Internal.doc
288902850-Sop-Audit-Internal.doc288902850-Sop-Audit-Internal.doc
288902850-Sop-Audit-Internal.doc
 
Pertemuan ke 2
Pertemuan ke  2Pertemuan ke  2
Pertemuan ke 2
 
Laporan kegiatan surveilans
Laporan kegiatan surveilansLaporan kegiatan surveilans
Laporan kegiatan surveilans
 
Kader kesehatan jiwa
Kader kesehatan jiwaKader kesehatan jiwa
Kader kesehatan jiwa
 

En vedette

12 langkah & 12 tradisi NA
12 langkah & 12 tradisi NA12 langkah & 12 tradisi NA
12 langkah & 12 tradisi NAMusa Hutauruk
 
Pendekatan konseling keluarga pada pengguna napza
Pendekatan konseling keluarga pada pengguna napzaPendekatan konseling keluarga pada pengguna napza
Pendekatan konseling keluarga pada pengguna napzaPersonal
 
Bentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluarga
Bentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluargaBentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluarga
Bentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluargaMusa Hutauruk
 
Relapse prevention brief warning signs(indonesian)
Relapse prevention brief warning signs(indonesian)Relapse prevention brief warning signs(indonesian)
Relapse prevention brief warning signs(indonesian)Musa Hutauruk
 
Mengenal senjata si pecandu
Mengenal senjata si pecanduMengenal senjata si pecandu
Mengenal senjata si pecanduMusa Hutauruk
 
Aspek klinis narkotika
Aspek klinis narkotikaAspek klinis narkotika
Aspek klinis narkotikaPersonal
 
Pelaksanaan program pemulihan
Pelaksanaan program pemulihanPelaksanaan program pemulihan
Pelaksanaan program pemulihanNor Saroni
 
Contoh Curiculum Vitae
Contoh Curiculum VitaeContoh Curiculum Vitae
Contoh Curiculum VitaeBang Yadhi
 
Mi 1 masalah narkotika global dan kebijakan revisi 2015 -direktur
Mi   1 masalah narkotika global  dan kebijakan revisi  2015   -direkturMi   1 masalah narkotika global  dan kebijakan revisi  2015   -direktur
Mi 1 masalah narkotika global dan kebijakan revisi 2015 -direkturYunita Indrani
 
Impact of k 12 Higher Education Summit
Impact of k 12 Higher Education SummitImpact of k 12 Higher Education Summit
Impact of k 12 Higher Education SummitJonathan Sadueste Ng
 
Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)
Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)
Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)Wulan Yulian
 
Kode Etik Konselor
Kode Etik KonselorKode Etik Konselor
Kode Etik KonselorArda Disini
 
asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2
 asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2 asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2
asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2Damsen Husen
 
KB 2 Konseling dan Kelaikan Medik
KB 2 Konseling dan Kelaikan MedikKB 2 Konseling dan Kelaikan Medik
KB 2 Konseling dan Kelaikan Medikpjj_kemenkes
 
Alat pemahaman individu non tes
Alat pemahaman individu non tesAlat pemahaman individu non tes
Alat pemahaman individu non tesbutterflow
 

En vedette (20)

12 langkah & 12 tradisi NA
12 langkah & 12 tradisi NA12 langkah & 12 tradisi NA
12 langkah & 12 tradisi NA
 
Pendekatan konseling keluarga pada pengguna napza
Pendekatan konseling keluarga pada pengguna napzaPendekatan konseling keluarga pada pengguna napza
Pendekatan konseling keluarga pada pengguna napza
 
Bentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluarga
Bentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluargaBentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluarga
Bentuk dukungan bagi pengguna napza dan keluarga
 
Relapse prevention brief warning signs(indonesian)
Relapse prevention brief warning signs(indonesian)Relapse prevention brief warning signs(indonesian)
Relapse prevention brief warning signs(indonesian)
 
Mengenal senjata si pecandu
Mengenal senjata si pecanduMengenal senjata si pecandu
Mengenal senjata si pecandu
 
Program after care
Program after careProgram after care
Program after care
 
Aspek klinis narkotika
Aspek klinis narkotikaAspek klinis narkotika
Aspek klinis narkotika
 
Pelaksanaan program pemulihan
Pelaksanaan program pemulihanPelaksanaan program pemulihan
Pelaksanaan program pemulihan
 
Contoh Curiculum Vitae
Contoh Curiculum VitaeContoh Curiculum Vitae
Contoh Curiculum Vitae
 
Cv susan eriani muhammadiyah
Cv susan eriani muhammadiyahCv susan eriani muhammadiyah
Cv susan eriani muhammadiyah
 
12 Concepts Anonymous
12 Concepts Anonymous12 Concepts Anonymous
12 Concepts Anonymous
 
Mi 1 masalah narkotika global dan kebijakan revisi 2015 -direktur
Mi   1 masalah narkotika global  dan kebijakan revisi  2015   -direkturMi   1 masalah narkotika global  dan kebijakan revisi  2015   -direktur
Mi 1 masalah narkotika global dan kebijakan revisi 2015 -direktur
 
Farmakologi arv
Farmakologi arvFarmakologi arv
Farmakologi arv
 
Impact of k 12 Higher Education Summit
Impact of k 12 Higher Education SummitImpact of k 12 Higher Education Summit
Impact of k 12 Higher Education Summit
 
Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)
Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)
Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)
 
Kode Etik Konselor
Kode Etik KonselorKode Etik Konselor
Kode Etik Konselor
 
asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2
 asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2 asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2
asuhan-keperawatan-pada-klien-pre-dan-post-operasi-sistem-pernafasan 2
 
KB 2 Konseling dan Kelaikan Medik
KB 2 Konseling dan Kelaikan MedikKB 2 Konseling dan Kelaikan Medik
KB 2 Konseling dan Kelaikan Medik
 
Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...
Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...
Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...
 
Alat pemahaman individu non tes
Alat pemahaman individu non tesAlat pemahaman individu non tes
Alat pemahaman individu non tes
 

Similaire à PEDOMAN KONSELING NAPZA

Kepmen kes no420 narkoba
Kepmen kes no420 narkobaKepmen kes no420 narkoba
Kepmen kes no420 narkobacubeg
 
1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptx
1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptx1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptx
1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptxssuser1a94271
 
3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.ppt
3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.ppt3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.ppt
3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.pptssuserc9e926
 
Proses keperawatan jiwa
Proses keperawatan jiwaProses keperawatan jiwa
Proses keperawatan jiwaAmalia Senja
 
Ppt. mall praktek
Ppt. mall praktekPpt. mall praktek
Ppt. mall praktekMelda RD
 
Kb 1 penyalahgunaan zat
Kb 1   penyalahgunaan zat Kb 1   penyalahgunaan zat
Kb 1 penyalahgunaan zat pjj_kemenkes
 
ETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptx
ETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptxETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptx
ETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptxssuser2d0575
 
Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...
Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...
Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...AntiNarkoba.com
 
NAPZA.pptx
NAPZA.pptxNAPZA.pptx
NAPZA.pptxOcha33
 
Kesehatan jiwa masyarakat.
Kesehatan jiwa masyarakat.Kesehatan jiwa masyarakat.
Kesehatan jiwa masyarakat.rian92
 
Seminar hasil hikom ysf 1
Seminar hasil hikom ysf 1Seminar hasil hikom ysf 1
Seminar hasil hikom ysf 1Ah Yusuf
 
Palliative care psikoterapi kelompok 6
Palliative care psikoterapi kelompok 6Palliative care psikoterapi kelompok 6
Palliative care psikoterapi kelompok 6Shim Cheong
 
M5 kb3 kesehatan jiwa
M5 kb3   kesehatan jiwaM5 kb3   kesehatan jiwa
M5 kb3 kesehatan jiwappghybrid4
 
Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)
Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)
Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)Lestari Moerdijat
 

Similaire à PEDOMAN KONSELING NAPZA (20)

Kebijakan penanggulangan napza
Kebijakan penanggulangan napzaKebijakan penanggulangan napza
Kebijakan penanggulangan napza
 
PEDOMAN NAPZA.docx
PEDOMAN NAPZA.docxPEDOMAN NAPZA.docx
PEDOMAN NAPZA.docx
 
Kepmen kes no420 narkoba
Kepmen kes no420 narkobaKepmen kes no420 narkoba
Kepmen kes no420 narkoba
 
1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptx
1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptx1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptx
1.KASIE BNN_REHAB NAPZA 2021.pptx
 
Eva jadi
Eva jadiEva jadi
Eva jadi
 
3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.ppt
3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.ppt3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.ppt
3.1Peran Perawat dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa.ppt
 
Makalah psikofarmaka
Makalah psikofarmakaMakalah psikofarmaka
Makalah psikofarmaka
 
Proses keperawatan jiwa
Proses keperawatan jiwaProses keperawatan jiwa
Proses keperawatan jiwa
 
Ppt. mall praktek
Ppt. mall praktekPpt. mall praktek
Ppt. mall praktek
 
Kb 1 penyalahgunaan zat
Kb 1   penyalahgunaan zat Kb 1   penyalahgunaan zat
Kb 1 penyalahgunaan zat
 
Penatalaksanaan ot
Penatalaksanaan otPenatalaksanaan ot
Penatalaksanaan ot
 
ETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptx
ETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptxETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptx
ETIOLOGI DAN FRAMAKOLOGI DADAH DISALAHGUNA.pptx
 
Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...
Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...
Potret efektifitas rehabilitasi penyalahgunaan narkotika di lembaga permasyar...
 
NAPZA.pptx
NAPZA.pptxNAPZA.pptx
NAPZA.pptx
 
Kesehatan jiwa masyarakat.
Kesehatan jiwa masyarakat.Kesehatan jiwa masyarakat.
Kesehatan jiwa masyarakat.
 
Seminar hasil hikom ysf 1
Seminar hasil hikom ysf 1Seminar hasil hikom ysf 1
Seminar hasil hikom ysf 1
 
Palliative care psikoterapi kelompok 6
Palliative care psikoterapi kelompok 6Palliative care psikoterapi kelompok 6
Palliative care psikoterapi kelompok 6
 
M5 kb3 kesehatan jiwa
M5 kb3   kesehatan jiwaM5 kb3   kesehatan jiwa
M5 kb3 kesehatan jiwa
 
Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)
Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)
Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zat Adiktif)
 
tugas sosio
tugas sosiotugas sosio
tugas sosio
 

Plus de Personal

Corona care klinik djamoe martha tilaar
Corona care klinik djamoe martha tilaarCorona care klinik djamoe martha tilaar
Corona care klinik djamoe martha tilaarPersonal
 
Klinik ptrm rsud kota bekasi
Klinik ptrm rsud kota bekasiKlinik ptrm rsud kota bekasi
Klinik ptrm rsud kota bekasiPersonal
 
Aids Ppt 1195824031242960 5
Aids Ppt 1195824031242960 5Aids Ppt 1195824031242960 5
Aids Ppt 1195824031242960 5Personal
 
Hiv life cycle_fs_en
Hiv life cycle_fs_enHiv life cycle_fs_en
Hiv life cycle_fs_enPersonal
 
Anti retroviral therapy
Anti retroviral therapyAnti retroviral therapy
Anti retroviral therapyPersonal
 
Anti retroviral therapy
Anti retroviral therapyAnti retroviral therapy
Anti retroviral therapyPersonal
 

Plus de Personal (6)

Corona care klinik djamoe martha tilaar
Corona care klinik djamoe martha tilaarCorona care klinik djamoe martha tilaar
Corona care klinik djamoe martha tilaar
 
Klinik ptrm rsud kota bekasi
Klinik ptrm rsud kota bekasiKlinik ptrm rsud kota bekasi
Klinik ptrm rsud kota bekasi
 
Aids Ppt 1195824031242960 5
Aids Ppt 1195824031242960 5Aids Ppt 1195824031242960 5
Aids Ppt 1195824031242960 5
 
Hiv life cycle_fs_en
Hiv life cycle_fs_enHiv life cycle_fs_en
Hiv life cycle_fs_en
 
Anti retroviral therapy
Anti retroviral therapyAnti retroviral therapy
Anti retroviral therapy
 
Anti retroviral therapy
Anti retroviral therapyAnti retroviral therapy
Anti retroviral therapy
 

PEDOMAN KONSELING NAPZA

  • 1. PEDOMAN KONSELING<br />GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA <br />BAGI PETUGAS KESEHATAN<br />KEMENTERIAN KESEHATAN RI<br />2010<br /> <br /> <br /> <br />DAFTAR ISI:<br />Kata Sambutan<br />Prakata<br />Kata Pengatar<br />Bab 1. Pendahuluan<br />Latar belakang<br />Maksud dan Tujuan<br />Landasan Kebijakan & Hukum<br />Terminologi<br />Bab 2. Prinsip Dasar Konseling Gangguan Penggunaan NAPZA<br />2.1. Pengetahuan Dasar tentang Gangguan Penggunaan NAPZA<br />2.2. Pemahaman Proses Perubahan Perilaku pada Gangguan Penggunaan NAPZA<br />2.3. Asesmen dan Rencana Terapi<br />2.4. Kode Etik Konseling <br />Bab 3. Implementasi Konseling Gangguan Penggunaan NAPZA<br />3.1. Teknik Dasar Konseling<br />3.2. Meningkatkan Motivasi untuk Berubah<br />3.3. Melibatkan Keluarga/ Pasangan dalam Proses Konseling<br />3.4. Kambuh (relapses) dan Slips <br />Bab 4. Evaluasi Proses Konseling<br />4.1. Instrumen Evaluasi<br />4.2. Indikator Keberhasilan<br />Bab 5. Penutup<br />Daftar Referensi<br />Lampiran 1<br />Lampiran 2<br />KATA PENGANTAR<br />Buku pedoman ini disusun bagi petugas kesehatan yang memberikan layanan kepada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA, khususnya yang memberikan konseling. Namun demikian pedoman ini juga dapat dimanfaatkan bagi orang lain yang mempunyai minat untuk menolong sesama yang mengalami penderitaan akibat gangguan tersebut.<br />Sebagaimana dengan pedoman lain, dalam buku ini teori tidak dibahas secara luas dan mendalam, melainkan hanya yang diperlukan untuk lebih dapat memahami klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA.<br />Beberapa modalitas seperti 12 langkah dari Alcohol Anonymous (AA), Motivational Interviewing (MI) hanya dibahas secara singkat sebab sudah dibahas dalam Buku Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Ganggauan Penggunaan NAPZA berbasis Rumah Sakit yang juga diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.<br />Contoh formulir catatan medis klien juga tidak diberikan dalam pedoman ini karena juga sudah termuat dalam Buku Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan Penggunaan NAPZA. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi duplikasi dan demi keseragaman. Oleh karena itu, kedua buku pedoman tersebut saling melengkapi dan harus digunakan bersama.<br />Dalam buku pedoman konseling ini dibahas tentang pengetahuan dasar Gangguan penggunaan NAPZA, asesmen dan rencana terapi, prinsip dasar konseling pada umumnya dan pada Gangguan penggunaan NAPZA, sebelum dibahas teknik dasar konseling untuk klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA.<br />Akhirnya dalam buku pedoman ini juga dibahas tentang peran keluarga, pasangan, dan orang signifikan lain, pencegahan terhadap kambuh (relapse) dan slips, evaluasi dan indikator keberhasilan.<br />Bab 1. PENDAHULUAN<br />Latar Belakang<br />Untuk memenuhi kebutuhan terapi dan rehabilitasi klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA, Direktorat Kesehatan Jiwa (namanya waktu itu) Kementerian Kesehatan RI pada tahun 1972 telah memberikan instruksi kepada Rumah Sakit Jiwa Pemerintah di seluruh Indonesia dan menganjurkan kepada semua Rumah Sakit Jiwa Swasta untuk menyediakan 10% dari kapasitas tempat tidurnya untuk kasus-kasus dengan Gangguan penggunaan NAPZA.<br />Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu masalah bio-psiko-sosio-kultural yang sangat kompleks. Terapi dan rehabilitasi Gangguan penggunaan NAPZA harus bersifat holistik dengan memperhatikan faktor biologis, psikologis dan kepribadian, serta faktor sosio-kultural dalam arti yang luas ( termasuk spiritual, ekonomi, legal ).<br />Faktor biologis relatif mudah diatasi dengan pendekatan farmakologis, sedangkan faktor sosio-kultural seringkali sulit untuk dijangkau oleh berbagai upaya terapi dan rehabilitasi, sebab dibentuk oleh berbagai faktor, tidak saja klien itu sendiri, melainkan juga keluarga, keluarga besar, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah/pekerjaan, dan masyarakat secara lebih luas. <br />Oleh karena itu program terapi dan rehabilitasi terutama ditujukan kepada individu klien, yaitu menjadikan klien menjadi lebih mampu menepis penggunaan NAPZA. Dalam konteks ini, peran terapi psikologis termasuk konseling memegang peran penting.<br />Dari evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ditemukan bahwa masyarakat kurang memanfaatkan pelayanan untuk Gangguan penggunaan NAPZA yang tersedia di Rumah Sakit Jiwa. Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan itu adalah antara lain:<br />Adanya stigma terhadap gangguan jiwa sehingga seorang klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA segan untuk berobat di Rumah Sakit Jiwa.<br />Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Jiwa tidak memenuhi kebutuhan klien. Beberapa Rumah Sakit Jiwa hanya memberikan pelayanan detoksifikasi saja sedangkan modalitas terapi lainnya serta kemampuan sumber daya manusia yang ada masih terbatas.<br />Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terkait dengan layanan Gangguan penggunaan NAPZA, diterbitkan buku Pedoman Konseling Gangguan penggunaan NAPZA bagi Petugas Kesehatan. Buku pedoman ini tak dapat dipisahkan dari dua buku lainnya, yaitu Buku Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan Penggunaan NAPZA, serta Buku Modul Pelatihan Konseling Gangguan penggunaan NAPZA bagi Petugas di Layanan Kesehatan Adiksi.<br />Maksud dan Tujuan<br />Maksud<br />Sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam memberikan konseling kepada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA<br />Tujuan<br />Meningkatkan kemampuan Petugas Kesehatan dalam memberikan konseling kepada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA<br />Sasaran<br />Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum, Puskesmas, Balkesmas, Pusat Terapi Rumatan Metadon, LSM, Pusat Rehabilitasi, dan LAPAS.<br />Yang dimaksud dengan petugas kesehatan adalah: dokter, perawat, bidan, psikolog, pekerja sosial profesional, sarjana kesehatan masyarakat, konselor adiksi non profesional yang memenuhi syarat.<br />1.3. Landasan Hukum dan Kebijakan<br />Landasan Hukum <br />Penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA di Indonesia dilandasi oleh peraturan perundang-undangan.<br />Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana<br />( Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Lembaran<br /> Negara Nomor 3209 );<br />Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan<br />( Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144 );<br />Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika ( Lem-<br />Baran Negara Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara<br /> Nomor 3671 );<br />Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi<br />Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap<br />Narkotika dan Psikotropika ( United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances ( Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 17, Tamnbahan Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3673 )<br />Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 143 )<br />Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />3848 )<br />Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika<br /> Nasional<br />Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ XI/2005 ten-<br />tang Tata Kerja Kementerian Kesehatan sebagaimana telah diubah<br />dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/<br />2007<br />Kebijakan<br />Kebijakan Kementerian Kesehatan RI dalam Penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA adalah berdasarkan :<br />Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 486/Menkes/SK/IV/ 2007 tentang Kebijakan dan Rencana Strategis Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) <br />Terminologi<br />Asertif : memperlihatkan sifat ( kepribadian ) yang kuat dan percaya<br /> diri ( Oxford Advance Learner’s Dictionary ).<br />Aversi (Aversion) : rasa tidak suka yang sangat kuat (Oxford Advance Learner’s Dictionary)<br />Gangguan Penggunaan NAPZA (Zat): penggunaan NAPZA (zat) yang bersifat patologis paling sedikit telah berlangsung 1 bulan sehingga menimbulkan hendaya fungsi sosial dan / atau pekerjaan (PPDGJ II).<br />Intoksikasi Akut: suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan<br /> NAPZA sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi<br /> kognitif, persepsi, afektif atau perilaku, atau fungsi dan respon<br /> psikofisiologis lainnya ( PPDGJ III )<br />Kognisi: proses mendapatkan, mengolah dan menggunakan pengetahuan atau informasi yang diperoleh karena fungsi intelek (Synopsis of Psychiatry, Sadock & Sadock ).<br />Konselor adiksi non profesional: petugas dengan pendidikan minimal SMA, berpengalaman kerja pada layanan adiksi NAPZA selama minimal 1 tahun, memiliki latar belakang pelatihan di bidang adiksi NAPZA serta mendapat rekomendasi dari Pimpinan Lembaga.<br />Napza: akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain.<br />Narkotika: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU RI No 35 tahun 2009 tentang Narkotika).<br />Pelatihan asertif : melatih klien menjadi individu yang mampu menang-<br /> gapi situasi sosial secara memadai, mampu menyatakan<br /> pendapatnya dengan cara yang sesuai dengan nilai dan<br /> norma, serta mampu dalam usaha mencapai tujuan.<br /> ( Synopsis of Psychiatry, Saddock & Sadock ). <br />Pembanjiran (Flooding): suatu teknik terapi perilaku dengan cara klien dipaksa tanpa dapat menghindar, untuk menghadapi situasi yang tidak nyaman (kecemasan, ketakutan) secara bertubi-tubi (karena itu disebut pembanjiran) dengan tujuan menghilangkan rasa tidak nyaman itu karena sudah terbiasa secara terpaksa mengalaminya secara bertubi-tubi (Terapi untuk mengubah Tingkah Laku , W.M.Roan)<br />Petugas kesehatan: dokter, perawat, bidan, psikolog, pekerja sosial profesional, sarjana kesehatan masyarakat, konselor adiksi non profesional yang memenuhi syarat.<br />Psikotropika: zat atau obat alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika).<br />Reaksi Alergi : adalah suatu reaksi yang tak diinginkan sebagai akibat terjadi-<br /> nya sensitisasi ( menjadi sensitif ) sebelumnya terhadap suatu <br /> jenis zat atau zat lain yang struktur kimiawinya mirip. Reaksi<br /> alergi dimediasi oleh sistem imun ( kekebalan ). Contoh:<br /> seorang pertama kalinya mendapat obat penisilin tidak terjadi<br /> reaksi yang tak diinginkan, tetapi pada pemberian kedua atau<br /> lebih kalinya timbul reaksi yang tak diinginkan. ( Goodman &<br /> Gillman ’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th.Ed. )<br />Reaksi Idiosinkratik : adalah suatu reaksi abnormal yang aneh ( peculiar ) pada<br /> seseorang. Reaksi idiosinkratik dapat berupa reaksi sangat<br /> peka. Contoh : orang yang mukanya menjadi merah<br /> karena minum alkohol dalam jumlah sangat sedikit yang<br /> mana pada kebanyakan orang tidak akan menimbulkan <br /> reaksi demikian. Sebaliknya ada orang yang memerlukan <br /> dosis obat bius sebelum dioperasi dalam jumlah yang lebih<br /> besar daripada kebanyakan orang ( bukan karena toleransi )<br /> ( Goodman & Gillman’s The Pharmacological Basis of<br /> Therapeutics, 11th. Ed ) <br />Teori belajar kognitif: berfokus pada pemahaman tentang hubungan sebab dan akibat, antara perbuatan dan konsekuensi dari perbuatan itu, serta pemahaman tentang dirinya dan lingkungannya (Synopsis of Psychiatry, Sadock & Sadock).<br />Terapi aversif : suatu metode terapi behavioral dengan memberikan stimulus<br /> yang menimbulkan rasa tidak menyenangkan yang kuat ( sti-<br /> mulus itu bisa fisikal, kemikal,elektrikal atau sosial )<br /> ( Synopasis of Psychiatry, Sadock & Sadock ).<br /> <br />Terapi Kognitif: berdasarkan teori bahwa perasaan dan perilaku seseorang terbentuk sebagian besar atas dasar bagaimana ia membentuk dan mempersepsi dunia sekitarnya (Synopsis of Psychiatry, Sadock & Sadock).<br /> <br />Zat Adiktif: zat yang bila dipakai secara teratur, sering, dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi). Contoh : alkohol, nikotin, kafein. (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif , Satya Joewana, EGC, 2003 ). <br />Bab 2. PRINSIP DASAR KONSELING GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA<br />Pengetahuan Dasar tentang Gangguan penggunaan NAPZA<br />Sepanjang tercatat dalam sejarah manusia, NAPZA dipuja karena manfaatnya bagi manusia tetapi sekaligus dikutuk karena efek buruk yang diakibatkannya.<br />NAPZA alami sudah dikenal manusia sejak lebih dari lima ribu tahun Sebelum Masehi ( opium di Asia Kecil, ganja di China, daun koka di Amerika Selatan , alkohol di Mesir dan Persia ). NAPZA sintetik dan semisintetik baru dikenal dalam sejarah sekitar satu sampai dua abad yang lalu ( barbiturat, 1903; benzodiazepin, 1957).<br />Beberapa masalah yang dianggap berkaitan dengan penggunaan NAPZA lebih sering didasarkan nilai-nilai atau norma-norma dan persepsi masyarakat tenang penggunaan NAPZA dan pengguna NAPZA daripada atas dasar sifat-sfat farmakologis NAPZA. Hanya dengan memahami cara kerja NAPZA dan manfaat NAPZA seseorang dapat membedakan mana perilaku yang diakibatkan penngunaan NAPZA dan mana yang disebabkan karena sebab lain misalnya adanya gangguan jiwa atau fakor etnik, kultural, usia, atau faktor perkembangan.<br />Ada beberapa alasan mengapa seseorang yang bekerja dalam bidang yang terkait dengan Gangguan penggunaan NAPZA harus paham tentang farmakologi, yaitu untuk memfasilitasi komunikasi, menjalin rapport dan empati terhadap klien, memberikan konsultasi dan merujuk ke profesi lain, serta supaya pengetahuannya selalu diperbarui agar tidak tertinggal. <br />Faktor-faktor yang memengaruhi efek suatu NAPZA.<br />Efek suatu NAPZA adalah hasil interaksi yang sangat kompleks dari banyak faktor, yaitu <br />sifat-sifat farmakologis yang khas dari NAPZA itu sendiri,<br />kondisi fisik pengguna,<br />kondisi psikologis pengguna,<br />lingkungan sosio-kultural di mana NAPZA itu dikonsumsi.<br />Sifat-sifat farmakologis yang khas setiap jenis NAPZA<br />NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya ( Ray & Ksir, 1999 ).<br />Melihat batasan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa batasan tersebut berlaku juga untuk obat-obat yang tidak termasuk NAPZA seperti antibiotika, antitoksin, vitamin, mineral, bahkan air dan udara.<br />Air, udara dan makanan adalah esensial bagi manusia sehingga tidak digolongkan sebagai obat. Namun dapat diingat bahwa oksigen dapat diberikan untuk revitalisasi kepada atlit yang keletihan atau klien dengan gangguan pernafasan. Sebaliknya , bumbu masak dan penyedap makanan dapat memengaruhi tekanan darah, faal jantung, retensi air dan reaksi alergik.<br />Demikian pula dengan vitamin dan mineral yang dianggap sebagai mikronutrien yang diperlukan manusia, dapat menimbulkan keracunan atau perubahan struktur atau faal tubuh. Beberapa jenis obat yang tidak tergolong NAPZA dan tidak biasa disalahgunakan, tetapi mengandung risiko bila digunakan secara berlebihan oleh orang yang rentan.<br />Kesimpulannya ialah bahwa NAPZA maupun obat yang tidak tergolong NAPZA bukan sesuatu yang baik maupun buruk. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA dan obat non-NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain apa dikonsumsi.<br />Dosis<br />Pada umumnya, NAPZA mempunyai efek majemuk. Efek yang mana dan seberapa kuat efek tersebut sebagian bergantung pada seberapa banyak NAPZA itu dikonsumsi. Pada dosis rendah alkohol dapat menyebabkan santai dan disinhibisi, merangsang rasa lapar sedangkan pada dosis tinggi dapat menyebabkan letih dan mual. Untuk setiap jenis NAPZA terdapat dosis minimal ( ambang ) di mana di bawah dosis tersebut tidak akan menimbulkan gejala atau efek yang dapat diamati. Makin tinggi di atas dosis minimal makin kuat efek yang ditimbulkan oleh suatu NAPZA. Efek maksimal suatu NAPZA ditentukan oleh kemampuan fisiologis pengguna.<br />Dosis minimal ( dosis ambang ) dan dosis maksimal bagi setiap efek dari satu jenis NAPZA tidak sama. Dosis minimal efek A dan dosis minimal untuk efek B dari satu NAPZA tidak selalu sama. Lamanya berlangsung efek A dan efek B juga tidak sama. Jadi para pengguna NAPZA akan mengalami efek yang berbeda secara kualitatif maupun kuantitatif dari jenis NAPZA yang sama<br />Kategori Efek- efek NAPZA<br />Efek majemuk NAPZA dapat dikategorikan menjadi<br />1. efek yang diinginkan, yaitu efek yang menjadi alasan NAPZA itu dikon-<br /> sumsi. Untuk tujuan pengobatan, efek tersebut dinamakan efek terapeutik.<br />2. efek lainnya dinamakan reaksi yang tak diinginkan ( adverse drug react-<br /> ion ). Reaksi yang tak diinginkan dan dapat dipastikan bakal terjadi, da-<br /> pat diduga, dan sering terjadi disebut efek samping. Dari perspektif klien,<br /> efek samping belum tentu dipandang sebagai efek yang tak diinginkan.<br />Ada obat yang mempunyai dua efek atau lebih secara bersamaan, misalnya<br />aspirin dapat menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan demam.<br />Reaksi alergik berbeda dengan efek samping. Efek alergik lebih jarang terjadi dibandingkan efek samping dan tidak bisa diduga terlebih dulu terjadinya. <br />Reaksi idiosinkratik sangat jarang terjadi, tak dapat diantisipasi sebelumnya dan tidak dapat dipercaya pasti terjadi.<br />Efek toksik terjadi karena mengonsumsi obat dalam dosis yang mematikan ( dosis letal ) atau mendekati dosis yang mematikan, sering disebut sebagai keadaan kelebihan dosis.<br />Contoh: efek terapeutik morfin adalah menghilangkan rasa nyeri, efek sampingnya adalah mual, efek alergiknya adalah gatal-gatal di kulit, reaksi idiosinkratiknya adalah terjadi eksitasi atau stimulasi, dan efek toksiknya adalah hambatan pada pernafasan, koma, dan kematian.<br />Potensi<br />Potensi adalah sejumlah obat yang diperlukan untuk menghasilkan efek tertentu. Makin poten suatu obat makin kecil jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu efek tertentu. Alkohol adalah obat yang relatif kurang poten karena dibutuhkan beberapa gram untuk menimbulkan gejala yang dapat diamati pada peminumnya. Sebaliknya LSD adalah zat yang sangat poten sebab hanya dibutuhkan beberapa mikrogram untuk menimbulkan gejala pada pemakainya.<br />Potensi obat ditentukan oleh afinitas dan efikasi obat tersebut. Afinitas adalah kemampuan obat untuk melekatkan diri atau mengikatkan diri pada reseptor atau tempat bekerjanya obat tersebut. Reseptor dapat diibaratkan sebagai lubang kunci yang terdapat pada dinding sel ( dalam hal NAPZA adalah sel saraf atau neuron ). Reseptor menerima dan memberi respon terhadap struktur kimiawi spesifik yang dapat diibaratkan sebagai sebuah kunci. Obat dengan afinitas yang lebih tinggi akan terikat dengan baik dengan reseptornya<br />Efikasi adalah kekuatan stimulasi obat terhadap reseptor. Obat dengan efikasi tinggi menstiumulasi reseptor dengan kuat. Agar suatu obat berkhasiat, obat tersebut harus mempunyai afinitas dan efikasi.<br />Rasio Terapeutik atau Batas Aman<br />Rasio terapeutik adalah hubungan antara dosis letal ( mematikan ) dan dosis efektif. Dosis Efektif ( DE ) adalah dosis yang diperlukan untuk menghasilkan efek tertentu dalam proporsi tertentu dalam populasi. DE50 artinya dosis yang efektif pada 50% populasi. DL50 adalah dosis yang menyebabkan kematian pada 50% populasi. Rasio DL dan DE memberikan gambaran seberapa aman suatu obat. Rasio ini disebut Rasio Terapeutik atau Batas Aman suatu obat. Dosis Letal beberapa jenis NAPZA belum dapat ditentukan. Oleh karena itu belum dapat ditentukan rasio terapeutiknya.<br />Komposisi<br />Preparat obat biasanya mengandung beberapa bahan lain selain bahan obat itu sendiri ( yang berkhasiat ), yaitu bahan perekat, bahan pengisi sehingga volumenya cukup besar sehingga pantas menjadi berbentuk obat, pelarut, pewarna, penyalut, dan pemberi rasa. Bahan-baan inaktif ini biasanya tidak menimbulkan efek apapun kepada pengguna, akan tetapi dapat saja terjadi reaksi alergik. Oleh karena itu obat yang sama yang diproduksi oleh pembuat obat yang berbeda dengan bahan inaktif yang berbeda dapat memberi efek yang berbeda. Obat yang beredar di pasar gelap ( ilegal ) sangat bervariasi dalam hal kuantitas, kualitas maupun kemurniannya.<br />Ekuivalensi Obat<br />Ekuivalensi Obat adalah cara bagaimana dua atau lebih obat dapat dibandingkan satu terhadap yang lain. Ada 3 cara untuk membandingkan ekuivalensi obat.<br />Ekuivalensi kimiawi : artinya bagian aktif dan / atau inaktif dua preparat obat secara kimiawi identik<br />Ekuivalensi biologik : disebut juga bioavailabilitas, yaitu dua jenis preparat obat memberikan bahan aktif dalam jumlah yang sama.<br />Ekuivalensi klinikal : yaitu bila efek klinis yang dapat diamati sama.<br />Frekuensi Penggunaan<br />Seberapa sering seseorang mengonsumsi obat sangat penting implikasinya terhadap efek yang dihasilkan oleh obat tersebut.<br />Bila obat terlalu sering dikonsumsi maka akan terjadi perubahan fisiolgis maupun psikologis yang lebih besar juga. Jadi kondisi pengguna yang telah berubah akibat penggunaan yang sering dalam suatu kurun waktu akan mengalami efek obat yang berubah juga.<br />Masalah lain akibat penggunaan obat yang terlalu sering ialah terjadi penumpukan ( kumulasi ) hasil sampingan metabolisme obat tersebut.<br />Cara Pemberian Obat<br />Ada banyak cara mengosumsi obat. Ada 3 cara yang sering yaitu ditelan, disuntikkan dan dihirup ( inhalasi ).<br />Cara obat dikonsumsi akan memengaruhi kapan obat mulai memperlihatkan efeknya ( onset ), tercapainya puncak efek dan lamanya efek obat tersebut berlangsung ( durasi ).<br />Obat yang dikonsumsi melalui mulut membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 15 menit sebelum efeknya terlihat. Bisa juga membutuhkan waktu lebih dari 15 menit bergantung makanan yang ada dalam perut dan komposisi obat yang ditelan. Obat yang ditelan biasanya lebih lambat mulai bekerja dibandingkan dengan cara suntikan atau inhalasi.<br />Interaksi Obat<br />Apabila dua atau lebih macam obat dikonsumsi dalam waktu yang berdekatan, dapat terjadi efek kumulatif yaitu makin kuatnya efek obat tersebut dan lebih lama bekerjanya.<br />Ada 3 jenis interaksi obat<br />Tipe aditif : bila kombinasi dua macam obat atau lebih akan meningkatkan intensitas dan durasi kerjanya dibandingkan intensitas dan durasi masing- masing obat, contoh: alkohol dan benzodiazepin.<br />Tipe sinergistik : bila interaksi obat tidak diharapkan. Pengetahuan tentang masing-masing obat tidak dapat memprediksi efek resultan dari kombinasi obat tersebut, contoh: amfetamin dan heroin.<br />Tipe antagonis: bila efek masing-masing obat dalam kombinasi saling melemahkan efek masing –masing obat, contoh: depresan dan stimulan.<br />Peran Faal Tubuh Pengguna Obat<br />Fungsi faal tubuh sering memengaruhi efek obat. Penting untuk memahami cara tubuh manusia menanggapi dan memroses obat dalam tubuhnya.Tidak ada dua orang yang merasakan efek obat yang persis sama. Setiap orang juga akan mengalami efek obat yang berbeda dalam waktu yang berbeda.<br />Farmakokinetik mempelajari proses faal apa yang berlangsung dalam tubuh terhadap adanya obat. Proses itu meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat<br />Farmakodinamik mempelajari bagaimana dan di mana obat bekerja dalam tubuh sehingga memberikan efek tertentu. Dalam hal NAPZA bekerjanya adalah pada sistem saraf<br />Faktor-faktor yang memengaruhi efek NAPZA<br />Efek NAPZA terhadap pengguna tidak hanya bergantung pada dosis, cara menggunakan dan kemurnian NAPZA tersebut, tetapi juga bergantung pada banyak faktor yang terdapat pada pengguna.<br />Umur. Berat badan bervariasi menurut umur. Bayi dan kanak-kanak serta lanjut usia berat badan kurang dibandingkan dengan usia remaja dan dewasa. Kondisi berbagai organ tubuh berbeda pada berbagai tingkatan umur. Pada bayi dan kanak-kanak beberpa organ belum berfungsi penuh. Sebaliknya pada lanjut usia banyak organ telah mengalami kemunduran fungsi seperti jantung, paru, ginjal. Fungsi susunan saraf juga berbeda pada berbagai tingkatan umur.<br />Jender. Badan laki-laki pada umumnya lebih berat daripada badan perempuan. Proporsi lemak pada perempuan relatif lebih besar sedangkan proporsi berat otot lebih besar pada laki-laki. Demikian pula hormon kelamin laki-laki berbeda dengan hormon kelamin perempuan.<br />Berat Badan. Berat badan sering sebagai indikator perbandingan banyaknya lemak dan zat putih telur dalam tubuh seseorang, volume darah dan fungsi kardiovaskuler.<br />Etnis. Komposisi kimiawi darah sering berbeda pada etnis yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan susunan makanan sehari-hari. <br />Asupan Gizi. Agar tubuh dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan asupan makanan seimbang yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Metabolisme NAPZA atau obat lain dan makanan membutuhkan ensim yang terbentuk dari asupan makanan tersebut. Kemampuan metabolisme setiap individu tidak sama.<br />Interaksi Makanan dan NAPZA. Ada beberapa jenis NAPZA yang dapat berinteraksi dengan makanan sehingga mengurangi atau meningkatkan khasiat NAPZA tersebut, contoh: alkohol akan mengurangi absorpsi Vitamin B1 dan B6, sehingga akan dibutuhkan asupan yang lebih banyak. <br />Karakteristik Psikologis Pengguna NAPZA<br />Efek suatu NAPZA terhadap pengguna yang diakibatkan karena karakteristik kimiawi NAPZA itu disebut efek spesifik. Efek NAPZA yang diakibatkan karena variabel psikologis dan sosiokultural disebut efek non spesifik. Kadang-kadang efek non spesifik lebih kuat daripada efek spesifik.<br />Ada 4 variabel psikologis yang utama: pengalaman sebelumnya dengan NAPZA, harapan akan NAPZA tersebut, suasana perasaan, dan aktivitas yang akan dilakukan<br />Pengalaman sebelumnya dengan NAPZA. <br />Menggunakan NAPZA pertama kali sering menyebabkan panik, sebab pengguna belum mengenal efek NAPZA tersebut. Orang yang baru pertama kali mengguna NAPZA sering kali belum tahu efek apa sebenarnya yang ia cari atau kehendaki dan efek mana yang menyenangkan. Pengguna yang sudah berpengalaman tahu bahwa efek itu hanya sementara dan akan menghilang dengan sendirinya. Ia sudah dapat menyesuaikan dengan sensasi, kognisi dan perasaan yang dialami sehingga ia tidak panik dan jarang mengalami pengalaman yang tidak enak ( bad trip ). Keadaan ini disebut toleransi behavioral.<br />Toleransi Silang terjadi bila seseorang sudah toleran terhadap satu jenis NAPZA juga toleran terhadap NAPZA lain yang sejenis atau yang mempunyai khasiat farmakologis mirip, misalnya toleransi silang antara alkohol dan barbiturat.<br />Reverse Tolerance terjadi bila penggunaan NAPZA makin lama makin sedikit untuk memperoleh khasiat yang sama misalnya pada ganja. Hal ini disebabkan adanya kumulasi zat aktif ganja ( tetrahidrokanabinol ). <br />Toleransi Cepat terjadi pada alkohol. Intoksikasi alkohol lebih cepat terjadi pada saat BAL ( Blood Alcohol Level ) meningkat daripada saat BAL turun.<br />Harapan yang ingin dicapai<br />Harapan yang ingin dicapai terhadap efek suatu NAPZA bersumber dari beberapa faktor: pengalaman menggunakan NAPZA tersebut, adanya teman-teman atau seorang diri, dan informasi yang diketahui tentang NAPZA tersebut.<br />Hal tersebut mirip dengan pemberian plasebo. Efek plasebo bergantung dari cara menggunakannya, informasi yang diberikan tentang plasebo itu,bahkan ujudnya ( warna, ukuran, rasa ).<br />Suasana Perasaan<br />Hukum Wilder menyebutkan bahwa efek suatu obat tidak dapat melampaui kapabilitas pengguna, baik ditinjau dari segi perilaku, emosi maupun kognisi.<br />Oleh karena itu efek NAPZA bergantung pada perasaan semula ( inisial ) sebelum menggunakan NAPZA, bahkan menurut Hukum Wilder malah bisa terjadi efek sebaliknya ( contoh: metilfenidat , suatu stimulan yang sangat efektif mengendalikan anak hiperkinetik.<br />Aktivitas yang ingin dilakukan<br />Aktivitas apa yang ingin dilakukan oleh pengguna NAPZA saat di bawah pengaruh NAPZA memengaruhi efek NAPZA. NAPZA lebih banyak mengganggu aktivitas yang bersifat rumit, abstrak, dan yang baru saja dipelajari, atau perilaku bermotivasi lemah. Contoh: Seorang pelajar yang menggunakan Napza akan mengalami kesulitan menyerap pelajaran. Napza tidak banyak mengganggu aktivitas yang sederhana, konkret, telah dipelajari dengan baik, atau perilaku dengan motivasi tinggi. Contoh: Seorang pengamen pemalu memperoleh keberanian untuk mengamen setelah menggunakan Napza. <br />Lingkungan Sosiokultural<br />Efek NAPZA berbeda bila digunakan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain untuk tujuan pengobatan dibandingkan bila digunakan di tempat hiburan dalam suasana pesta.<br />Kehadiran orang (-orang ) lain dan perilakunya memengaruhi efek NAPZA terhadap penggunanya. Kehadiran orang-orang lain akan menentukan suasana apakah suasana bahagia atau sedih. Jadi akan menentukan suasana perasaan dan irama emosi di tempat itu. Pengguna belajar aturan dan ritual menggunakan NAPZA dari orang lain. Perilaku orang-orang lain di sekitarnya akan menjadi standar perilaku yang akan menjadi pembanding terhadap perilaku pengguna NAPZA itu. Orang-orang lain itu akan menjadi pemandu dan intepreter untuk membantu seorang pengguna NAPZA mengidentifikasi, menenetukan dan menilai efek-efek suatu NAPZA. Orang lain di sekitar pengguna NAPZA akan mendukung atau mencela perilaku yang pantas atau tidak pantas akibat menggunakan NAPZA.<br />2.2. Pemahaman Proses Perubahan Perilaku pada Gangguan Penggu-<br /> naan NAPZA.<br />Perubahan perilaku akibat langsung penggunaan NAPZA.<br />NAPZA tergolong zat psikoaktif, yaitu zat yang bila dikonsumsi akan menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, kognisi, persepsi dan kesadaran pada orang yang mengonsumsinya. Perubahan perilaku itu bergantung pada jenis NAPZA, tetapi juga pada pengalaman menggunakan NAPZA sebelumnya, harapan pengguna akan efek obat tersebut, suasana perasaan sebelum memakai, fungsi NAPZA tersebut serta lingkungan sosio-kultural seperti yang telah diuraikan sebelumnya.<br />Perubahan perilaku akibat tak langsung penggunaan NAPZA.<br />Bila penggunaan NAPZA sampai pada taraf ketergantungan, maka kebutuhan NAPZA harus dipenuhi sebab bila tidak dipenuhi akan timbul gejala putus NAPZA. Karena terjadinya toleransi, maka kebutuhan NAPZA tersebut makin lama makin banyak sehingga dibutuhkan biaya yang bertambah besar. Kebutuhan ini mendorong kepada perbuatan kriminal. Karena sering mengalami intoksikasi akibat NAPZA , pengguna akan mengalami kemunduran dalam studinya maupun prestasi di dalam pekerjaannya dengan akibat dapat dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaannya. Oleh karena menganggur, kemungkinan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma,nilai dan hukum bisa terjadi.<br />Dual Diagnosis.<br />Menurut penelitian di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan banyak tempat lain, Gangguan penggunaan NAPZA sering terdapat bersama gangguan jiwa lain seperti Gangguan cemas, Gangguan suasana perasaan dan gangguan psikotik yang sudah ada sebelum ia menggunakan NAPZA. Adanya gangguan-gangguan ini juga akan menyebabkan perubahan perilaku pada pengguna NAPZA, bahkan sudah ada sebelum ia menggunakan NAPZA.<br />Proses pemulihan<br />Pemulihan dari Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu proses yang panjang dan bukannya suatu peristiwa yang terjadi seketika.<br />Pada penyakit asma bronkiale sesak nafas dapat sembuh seketika setelah klien diberi pengobatan untuk asma bronkiale ( walaupun bisa kambuh ). Penyakit radang usus buntu sembuh dalam waktu beberapa hari setelah menjalani operasi dan tidak akan kambuh kembali.<br />Prochasca, Di Clemente & Norcross ( 1992 ) menyebutkan adanya 5 tahapan dalam proses penyembuhan Gangguan penggunaan NAPZA:<br />Tahap 1 adalah tahap pra kontemplasi. Pada tahap ini pengguna NAPZA belum berniat berhenti mengguanakan NAPZA. Merenungkan untuk berhenti sekalipun belum ada. Ia masih bersikap tak peduli terhadap nasehat atau penyuluhan.<br />Tahap 2. adalah tahap kontemplasi. Pada tahap ini pengguna NAPZA mulai merenungkan jalan hidupnya selama ini, sebelum maupun setelah mempunyai kebiasaan menggunakan NAPZA. Ia mulai membandingkan<br />dirinya dengan teman-emannya yang sudah lebih berhasil dalam hidupnya maupun yang telah meninggal dunia akibat kelebihan dosis maupun kecelakaan. Ia mulai menimbang-nimbang untung dan ruginya bila terus menggunakan NAPZA atau berhenti menggunakannya.<br />Tahap3 adalah tahap persiapan. Pada tahap ini pengguna NAPZA mulai mempersiapkan diri untuk berhenti menggunakan NAPZA. Ia mulai bertanya teman-temannya yang sudah pernah menjalani terapi. Fasilitas terapi mana yang baik, apa saja yang dilakukan di fasilitas terapi, apakah dikurung, , apakah menngalami asa nyeri atau rasa tidak nyaman lainnya.<br />Tahap 4 adalah tahap bertindak. Ia akan datang ke fasilitas terapi dan rehabilitasi serta menjalani proses terapi dan rehabilitasi.<br />Tahap 5 adalah tahap rumatan. Pada tahap ini perhatian dipusatkan agar pengguna tidak slips atau kambuh kembali.<br />Tahapan ini perlu diketahui oleh konselor sehingga pada saat konseling apa yang dibicarakan sesuai dengan tahapan tersebut. Pada tahap prakontemplasi belum perlu dibicarakan tentang fasilitas dan modalitas terapi. Pembahasan masih terbatas tentang kondisi pengguna saat ini dan situasi yang dihadapi pengguna saat ini serta kondisi dan situasi yang bagaimana yang ingin dicapai oleh pengguna.<br />Pada tahap kontemplasi dapat dibahas tentang untung dan ruginya bila pengguna terus menggunakan atau berhenti menggunakan NAPZA dan belum saatnya bicara secara rinci tenang modalitas terapi.<br />Pada tahap preparasi mulai dibicarakan tentang berbagai fasilitas terapi dan rehabiitasi serta modalitas terapi yang ada.<br />Tahap bertindak. Pada tahap ini dilakukan evaluasi lengkap terhadap klien, diagnosis ditetapkan dan rencana terapi dibuat dan dilaksanakan.<br />Pada tahap rumatan dibahas kondisi apa saja dan lingkungan yang mungkin bersifat kondusif terjadinya kekambuhan.<br />2-3.Asesmen dan Rencana Terapi<br />Gangguan penggunaan NAPZA adalah masalah yang sangat kompleks dan penyebab seseorang menggunakan NAPZA ditentukan oleh banyak faktor.<br />Masalahnya tidak sesederhana seperti pendapat bahwa abstinensia sama dengan sehat dan tidak abstinensia sama dengan sakit. Abstinensia saja tidak akan membawa perubahan dalam segi kehidupan yang lain dari klien.<br />Setiap klien harus mendapatkan terapi secara individual dan berbeda ( eklektik ) karena mereka mempunyai masalah yang berbeda-beda. Ada beberapa pola penggunaan NAPZA, yaitu penggunaan yang bersifat coba-coba untuk memenuhi rasa ingin tahu ( experimental use ), untuk bersosialisasi misalnya hanya menggunakan pada saat pesta atau resepsi ( recreational or social use ), untuk mengatasi rasa tidak nyaman seperti keadaan tertekan ( distress ),ansietas, depresi ( situational use ), atau salah-guna ( misuse ) misalnya untuk mengatasi sulit tidur dengan minuman alkohol, penggunaan yang begitu berat sehngga terjadi dampak negatif terhadap kesehatan jasmani,mental dan kehidupan sosialnya ( abuse ) bahkan sampai kepada ketergantungan ( compulsive use, dependent ).<br />Berdasarkan semua pertimbangan di atas, sebelum menetapkan diagnosis dan terapi serta rehabilitasi, perlu dilakukan asesmen yang teliti dan menyeluruh.<br />Untuk memahami masalah penggunaan NAPZA, konselor perlu mengerti tentang klien, untuk itu perlu dilakukan wawancara komprehensif dan bila mungkin tes psikologi. Dengan demikian tidak memberikan kesan pada klien bahwa rencana terapi hanya didasarkan pada wawancara awal yang hanya berlangsung sepintas.<br />Riwayat Penggunaan NAPZA<br />Pengumpulan data tentang klien diawali dengan wawancara yang komprehensif.<br />Wawancara itu meliputi:<br />Siapa yang merujuk<br />Keluhan utama klien<br />Riwayat masalah ( penyakit ) sekarang<br />Riwayat penggunaan dan penyalahgunaan NAPZA<br />Situasi Kehidupan<br />Lingkungan tempat tinggal<br />Perkawinan <br />Anak-anak<br />Kehidupan sosial<br />Peran saat ini dalam keluarga<br />Riwayat keluarga<br />Saudara kandung<br />Orangtua dan/atau anggota keluarga lain<br />Disiplin dalam keluarga<br />Bagaimana dan di mana klien dibesarkan<br />Latar belakang agama dan kehidupan beragama<br />Riwayat pekerjaan klien, saudara kandung, orangtua dan pasangan hidupnya<br />Riwayat berurusan dengan penegak hukum<br />Riwayat kehidupan seksual<br />Status mental (lihat buku pedoman penatalaksanaan medik)<br /> 12. Persepsi<br /> (1) Halusinasi<br /> (2)Ilusi<br />13. Daya ingat<br />Daya ingat jangka panjang<br />Daya ingat jangka pendek<br />Daya ingat seketika<br />Fungsi intelektual umum<br />(1). Pengetahuan umum<br />(2). Kemampuan berpikir dan menilai (Reasoning dan Judgment)<br />(3). Berhitung<br /> 15. Tilikan <br />Contoh formulir riwayat penggunaan NAPZA dapat dilihat pada Lampiran 2. <br />Asesmen Perilaku<br />Setelah formulir riwayat penggunaan NAPZA dilengkapi, selanjutnya konselor melakukan asesmen perilaku dan analisis fungsional.<br />Melalui asesmen perilaku konselor akan mengetahui penyebab dari dan konsekuensi klien menggunakan NAPZA. Melalui asesmen perilaku dan analisis fungsional, konselor juga akan mengetahui apa yang mendorong dan apa yang menjauhkan klien dari penggunaan NAPZA. Melalui analisis fungsional, konselor juga akan mengetahui kapan, dimana, dengan siapa, bagaimana dan mengapa klien menggunakan NAPZA. Dengan asesmen perilaku dan analisis fungsional, konselor dapat merencanakan terapi sesuai dengan yang dibutuhkan klien.<br />Asesmen perilaku dan analisis fungsional dilakukan secara verbal oleh konselor yang harus sensitif dan terarah. <br />Instrumen untuk asesmen<br />Asesmen yang dibahas dalam buku pedoman ini adalah yang mudah diperoleh, dapat dipercaya, sahih, mudah dilaksanakan dan diberi skor, praktis, sesuai untuk klinik, dan sesuai dengan kebutuhan di negara kita saat ini.<br />Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk asesmen:<br />Addiction Severity Index (ASI)<br />Alcohol Smoking Substance Use Involvement Screening and Test (ASSIST)<br />Cutdown, Annoyed, Guilty, and Eye Opener (CAGE)<br />Informasi lebih lanjut tentang instrumen-instrumen di atas dapat diperoleh pada website WHO International www.who.int<br />Diagnosis<br />Indonesia mempunyai buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ( PPDGJ ) edisi III. Oleh karena itu dianjurkan dalam menetapkan diagnosis Gangguan penggunaan NAPZA supaya berpedoman pada PPDGJ III. <br />Dalam semua buku pedoman berkaitan dengan NAPZA yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI telah disepakati untuk secara konsisten menggunakan termnologi Gangguan penggunaan NAPZA demi alasan praktis.<br />Di dalam PPDGJ III, gangguan jiwa yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA dikelompokkan dalam satu kelompok dengan nama Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif <br />Rencana Terapi<br />Rencana terapi merupakan salah satu bekal untuk berhasilnya suatu terapi<br />Rencana terapi sangat diperlukan karena:<br />memberikan satu struktur di mana konselor maupun klien berperan,<br />ekspektasi yang ingin dicapai oleh klien menjadi jelas,<br />bila terjadi kesalah fahaman dengan mudah dapat diselesaikan,<br />memungkinkan konselor maupun klien untuk menetapkan tujuan konseling secara spesifik sesuai dengan tahapan perilaku klien<br />mempermudah monitoring dan evaluasi kemajuan terapi<br />Rencana terapi dapat digunakan untuk sasaran jangka pendek selama 3-6 bulan dan sasaran jangka panjang ( untuk masalah yang dapat diselesaikan sampai waktu 1 tahun dan mungkin perlu monitoring terus menerus selama hidup klien ).<br />Menetapkan sasaran jangka pendek dan jangka panjang dipengaruhi oleh<br />luasnya dan beratnya masalah yang dihadapi klien<br />motivasi klien<br />setting<br />proyeksi jangka waktu terapi<br />pilihan klien bersama konselor<br />kerja sama dengan figur signifikan (orang bermakna dalam hidup klien)<br />Pada konseling klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA seringkali kondisi gawat perlu mendapatkan prioritas utama untuk diatasi, misalnya klien yang ketergantungan alkohol harus mendapatkan terapi detoksifikasi lebih dulu sebelum mengikuti terapi yang lain. Klien dengan percobaan bunuh diri harus diatasi terlebih dulu depresinya.Klien yang psikotik harus diobati terlebih dulu sehingga gejala dapat dikuasai.<br />Klien yang motivasinya kurang untuk berhenti menggunakan NAPZA dan tidak patuh dalam terapi sebaiknya diberi tugas yang sederhana sehingga dapat diselesaikan dengan mudah dan dalam waktu singkat. Keberhasilan ini akan meningkatkan rasa percaya diri klien. Hal ini dapat meningkatkan motivasi klien untuk meneruskan terapi dan meningkatkan hasil terapi<br />Beberapa modalitas terapi hanya bisa diberikan dalam unit rawat inap ( misalnya detoksifikasi alkohol ). Terapi desensitisasi dan klien yang harus bekerja dapat diberikan di fasilitas rawat jalan.<br />Topik masalah yang akan dibahas dalam konseling harus dibicarakan bersama antara klien dan konselor untuk disepakati. Keterlibatan keluarga atau orang lain yang signifikan dalam kehidupan klien sangat penting karena dapat menjadi terapis naluriah misalnya menolong klien, memberikan imbauan , memberi dukungan dan semangat, atau sebaliknya bisa menjadi penghambat terapi misalnya menghukum klien.<br />2.4. Kode Etik Konseling & Konfidensialitas<br />Masalah Etik<br />Di dalam konseling klien diharapkan bersifat terbuka dan jujur terhadap konselor yang akan memberi pertolongan psiklogis yang bersifat terapeutik.<br />Sebaliknya konselor harus bisa dipercaya dapat menyimpan semua informasi yang diperoleh dari klien dalam konseling. Seorang konselor juga terikat pada etika konseling.<br />Konselor tidak boleh mengambil keuntungan semata-mata dari pekerjaannya sebagai konselor. Etika tidak hanya berarti taat kepada aturan tetapi juga kepada suara hati nurani. Konselor sering dalam posisi yang lebih berkuasa dan karenanya tidak boleh menyalahgunakan kedudukannya demi prestasi, ambisi atau kepentingan pribadi. Konselor juga harus berhati-hati dalam membicarakan klien dengan pihak ketiga walaupun semata-mata untuk kebaikan klien. Konseling lewat media komunikasi sebaiknya dihindarkan<br />Bila konselor menilai klien tidak memperoleh manfaat dari konseling atau terapi ia harus mengakhiri konseling dan merujuk ke profesi lain atau konselor lain yang lebih sesuai untuk klien. Bila ternyata klien yang diberi konseling di luar kompetensinya, misalnya klien psikotik ( dual diagnosis ) konselor harus merujuk ke profesi lain yang sesuai. Untuk merujuk klien harus dipilih profesi atau konselor lain yang lebih kompeten atau ke fasilitas yang sesuai dengan yang diperlukan klien. Tidaklah etis merujuk ke fasilitas berdasarkan kepentingan atau keuntungan pribadi. Kadang-kadang terjadi ketidak-sesuaian atau bahkan bertentangan antara anjuran menurut peraturan perundang-undangan dan pertimbangan etis. Perlu selalu dingat bahwa tanggung jawab utama seorang konselor adalah menolong klien secara profesional.<br />Konfidensialitas<br />Menjaga konfidensialitas dalam bidang Gangguan penggunaan NAPZA sering menimbulkan masalah sebab adanya undang-undang berkaitan dengan penggunaan NAPZA yang sangat kompleks dan membingungkan. <br />Walaupun sudah terdapat pedoman etika profesi, sering kali di lapangan terdapat kasus yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan pedoman etika profesi yang telah ada. Bila terdapat kasus demikian, konselor sebaiknya membahasnya bersama konselor lain atau profesi lain yang menjadi rekan kerja ( dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog ), atasan langsung atau pimpinan institusi di mana konselor itu bekerja. Bila perlu, berkonsultasi dengan pengacara yang ditetapkan oleh pimpinan institusi.<br />Surat Pernyataan Persetujuan ( Informed Consent )<br />Segala informasi yang diperoleh konselor tentang klien dalam konseling yang seharusnya disimpan sebagai rahasia profesi dapat diungkapkan kepada pihak ketiga jika ada surat pernyataan persetujuan ( informed Consent ) dari klien. Pihak yang sudah mendapat informasi yang diungkapkan tersebut tidak boleh mengungkapkan kepada pihak lain ( pihak ke empat ).<br />Harus dipertimbangkan bahwa informasi yang telah diungkapkan bisa disalahgunakan untuk tujuan lain baik oleh pihak ketiga maupun oleh klien sendiri. Hal yang harus di tuliskan sedapat mungkin sesuai dengan tujuannya. Keterangan yang dibutuhkan oleh atasan klien atau pihak yang menanggung biaya pengobatan biasanya hanya meliputi diagnosis, perkiraan lama perawatan dan jenis layanan yang diterima klien, Konselor harus mempertimbangkan bahwa pengungkapan tersebut dapat merugikan klien. Dalam hal yang berkaitan dengan masalah hukum sebaiknya dimintakan pendapat pengacara. <br />Dalam surat persetujuan tersebut harus tercantum<br />nama institusi / program yang mengungkapkan rahasia <br />nama institusi /orang yang menerima informasi yang diungkapkan<br />nama dan identitas klien<br />maksud dan untuk keperluan apa pengungkapan<br />pernyataan klien boleh membatalkan persetujuan pengungkapan tersebut setiap saat.<br />tanggal, kejadian atau kondisi di mana pengungkapan tersebut tidak berlaku lagi<br />tanda tangan klien atau orang yang diberi kuasa<br />tanggal surat pernyataan itu di tanda tangani<br />BAB 3. IMPLEMENTASI KONSELING GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA<br />Untuk mengimplementasikan konseling Gangguan penggunaan NAPZA seorang konselor harus mempunyai kompetensi tertentu, baik dalam ranah pengetahuan ( knowledge ) , ketrampilan ( skill ) maupun sikap ( attitude ).<br />Konselor untuk Gangguan penggunaan NAPZA ( konselor adiksi ) bisa seorang konselor profesional, konselor sekolah, dokter, perawat, psikolog, pekerja sosial, guru bimbingan dan konseling, atau ulama ( transdisipliner ) yang telah terlatih untuk tujuan itu.<br />Konselor adiksi harus mempunyai landasan sebagai berikut.<br />memahami adiksi ( Gangguan penggunaan NAPZA )<br />pengetahuan tentang terapi<br />penerapan dalam praktek<br />kesiapan profesional<br /> <br />Untuk memiliki keempat landasan tersebut, seoang konselor harus menguasai:<br />evaluasi klinis<br />rencana terapi<br />rujukan<br />edukasi terhadap klien, keluarga, dan masyarakat<br />dokumentasi<br />koordinasi layanan<br />tanggung jawab profesional dan etikal<br />Konseling<br />3.1. Teknik Dasar Konseling<br />Konseling adalah proses pemberian pertolongan secara psikologis oleh seseorang yang terlatih untuk itu. Konseling bukan pertolongan medis, finansial maupun sosial.<br />Ketrampilan dasar seorang konselor<br />Seorang konselor bidang apapun harus memilki ketrampilan dasar sebagai berikut:<br />mampu memperhatikan klien dengan baik,<br />menfasilitasi klien untuk mengungkapkan masalahnya,<br />mengikuti arus pemikiran klien dengan sabar<br />menanggapi klien dengan baik<br />memperjelas apa yang disampaikan oleh klien<br />menggali informasi dari klien<br />menilai pandangan klien terhadap masalah yang dihadapi<br />mampu memahami dan menganalisis masalah klien<br />melihat klien sebagai manusia seutuhnya<br />menyadari potensi yang ada pada klien<br />menumbuhkan kemauan untuk berkembang pada klien<br />menunjukkan tantangan yang dihadapi klien<br />memahami latar belakang sosial, budaya, dan agama klien<br />menyadari nilai-nilai dibalik ungkapan-ungkapan verbal klien<br />dapat menguasai emosinya sendiri<br />Tahapan pada proses konseling<br />Egan membagi proses konseling dalam 3 tahap:<br />Tahap eksplorasi<br />Pada tahap eksplorasi konselor membentuk rapport yang baik, mengumpulkan informasi yang diperlukan, identifikasi dan klarifikasi masalah klien.<br />Tahap intepretasi<br />Pada tahap intepretasi konselor melakukan asesmen terhadap masalah klien dan menetapkan kembali permasalahannya secara profesional.<br />Tahap menentukan tujuan dan bertindak<br />Pada tahap ini konselor bersama klien menentukan sasaran yang ingin dicapai dan merencanakan terapi.<br />Menguasai teori konseling dasar<br />Tujuan konseling adalah membantu klien untuk lebih memahami cara mengekspresikan perasaannya, cara berpikirnya serta persepsi tentang diri dan lingkungannya sehingga klien diharapkan menjadi lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapi secara lebih efisien dan efektif serta lebih adaptif.<br />Setiap klien mempunyai sifat yang unik dan masalah yang dihadapi juga berbeda-beda. Oleh karena itu seorang konselor sebaiknya menguasai berbagai teori konseling dasar yang akan digunakan sebagai alat dalam memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan klien ( ibarat memiliki kunci pas dengan berbagai ukuran untuk mur yang ukurannya juga berbeda-beda ).<br />Misalnya klien depresi membutuhkan terapi kognitif, klien panik membutuhkan terapi relaksasi, klien fobia membutuhkan terapi desensitisasi, klien Gangguan penggunaan NAPZA membutuhkan terapi kognitif behavioral, dan masalah hubungan suami istri membutuhkan konseling dengan pendekatan analisis transaktional. <br />Kekuatan konseling bergantung pada 2 faktor yang sangat erat hubungannya.<br />Kemampuan konselor untuk memfasilitasi konseling<br />Strategi yang dipilih untuk menciptakan suasana yang positif untuk melakukan eksplorasi dan perubahan.<br />Kemampuan memfasilitasi<br />Kemampuan memfasilitasi untuk melakukan eksplorasi dan terjadinya perubahan pada klien meliputi kemampuan untuk berempati, ketulusan untuk menolong, selalu siap, kehangatan, menghargai klien, dan peka akan budaya klien.<br />Empati.<br />Empati adalah kemampuan untuk menghayati perasaan, pikiran dan sikap orang lain ( dalam hal ini klien ). Dengan empati tidak berarti bahwa konselor akan mengalami perasaan, pikiran dan sikap seperti klien, melainkan menunjukkan bahwa konselor mendapat gambaran yang jelas tentang situasi yang dihadapi klien. Jadi empati menunjukkan kepedulian konselor bukan simpati. Empati sangat penting pada klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA, sebab klien biasanya bersikap ambivalen antara berhenti menggunakan atau terus menggunakan NAPZA. Konselor dengan berempati dapat membantu klien untuk mengenali perasaannya terhadap sisi positif maupun sisi negatif dari penggunaan NAPZA.<br />Ketulusan<br />Dengan sikap yang tulus konselor akan tetap menjadi dirinya sendiri dan menghindari bersikap berpura-pura dan tidak mengambil sikap defensif.<br />Klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA sering dianggap tidak jujur dan manipulatif. Bila konselor mempunyai anggapan yang demikian, maka sulit untuk bersikap tulus. Ketulusan ini penting untuk mempertahankan klien dalam terapi.<br />Immediacy (Responsif)<br />Immediacy melibatkan perasaan-perasaan yang sesungguhnya antara konselor dan klien saat itu dan di tempat itu ( now and here ). Idealnya konselor dan klien berbagi rasa apa yang terjadi di antara mereka secara terbuka dan jujur. Cara ini akan memfokuskan klien kepada kenyataan dan menjaga supaya konseling tetap berada pada jalur yang benar.<br />Kehangatan<br />Kehangatan berkaitan dengan ketulusan. Kehangatan diperlihatkan secara non-verbal, misalnya tersenyum atau menganggukkan kepala. Kehangatan menunjukkan bahwa konselor juga manusia dan hal ini akan meningkatkan kemanusiaan klien. Klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA membutuhkan bahwa dirinya diterima dengan kehangatan dan dihargai, sebab selama ini ia kurang dapat diterima dalam masyarakat atau keluarganya.<br />Dihargai<br />Klien harus dihargai sebagai individu yang mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya. Mereka cukup mampu dan bebas menentukan pilihannya sendiri, termasuk pilihan untuk mengikuti terapi atau tidak.<br />Kepekaan terhadap latar belakang budaya klien<br />Konselor harus menunjukkan bahwa ia memperhatikan latar belakang budaya klien. Klien harus diyakinkan bahwa walaupun konselor berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, hal tersebut tidak akan menghalangi tercapainya hubungan yang baik dalam konseling. <br />Strategi untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk terjadinya perubahan.<br />Bila relasi dalam konseling antara klien dan konselor telah terbentuk, konselor harus memusatkan perhatiannya untuk mendatangkan situasi yang memberi rasa aman kepada klien sehingga klien dapat didorong untuk terbuka. Kemampuan untuk membangun komunikasi dan mendengarkan dengan cermat pada fase ini adalah sangat penting.<br />Pertanyaan terbuka.<br />Konselor mendorong klien untuk menceriterakan masalahnya lebih lanjut dan lebih mendalam dengan mengajukan pertanyaan terbuka yang eksploratif.<br />Misalnya: “ Dapatkah anda berceritera lebih lanjut tentang pekerjaan anda ?.... Atau: “….Anda dapat menceriterakan masalah itu lebih lanjut,,,,,” <br />Pernyataan ulang<br />Konselor mengulang pernyataan klien dengan lebih jelas. Pernyataan ini akan memperkuat ikatan terapeutik. Klien akan merasa bahwa konselor memperhatikan dan peduli terhadap dirinya. Contoh: “ semua menganggap bahwa kebiasaan saya minum minuman keras adalah suatu masalah. Ada baiknya kalau bicara dengan orangtua saya, mereka yang punya masalah bukan saya…. “<br />Tanggapan konselor:….” Nampaknya anda kurang senang akan semua tekanan yang ditujukan kepada anda dan bahwa anda kurang yakin kiranya anda mempunyai masalah. Seandainya saya bertemu dengan orangtua anda , bagaimana kiranya pertemuan itu dapat menolong anda ? “<br />Refleksi<br />Refleksi akan menfasilitasi komunikasi dan memberi rasa aman kepada klien dan bahwa ia diperhatikan sehingga memperkuat relasi dalam konseling.<br />Contoh:<br />Klien : “ Setiap kali saya memikirkan kebiasaan saya minum, rasanya saya ingin menyendiri dan menangis. Kadang-kadang terpikir oleh saya bahwa lebih mudah saya minum terus, mungkin saya akan cepat mati “<br />Konselor : “ Kedengarannya anda sangat malu terhadap kebiasaan minum anda. Anda nampaknya tidak punya harapan dan sangat sedih “<br />Mendorong klien untuk berani mulai berbicara.<br />Mengajukan pertanyaan dapat memperjelas kebutuhan, perasaan dan keyakinan klien sehingga dapat menambah wawasan berpikir, kemajuan terapi dan pemahaman diri. Pertanyaan bertubi - tubi tidak baik bagi proses terapi. Jangan mengajukan pertanyaan untuk mengisi waktu. Pertanyaan yang baik adalah dengan kata tanya “ apa” atau “ bagaimana “. Pertanyaan dengan kata tanya “ mengapa “ menyiratkan salah- benar sehingga dapat memicu timbulnya mekanisme defensi intelektualisasi, rasionalisasi atau penyangkalan. Bandingkan ketiga pertanyaan di bawah ini:<br />Konselor: “ Apa yang menyebabkan minum alkohol itu penting bagi anda ?”<br />Konselor : “ Bagaimana perasaan anda karena biasa minum ? “<br />Konselor : “ Mengapa anda minum? “<br />Hening<br />Beberapa konselor berpendapat bahwa hening adalah tabu dalam konseling. Hal tersebut tidak benar. Konselor harus bisa merasa nyaman dengan hening tetapi konselor harus menggunakan hening secara tepat. Diam dapat memberi kesempatan untuk introspeksi dan terjadinya kecemasan yang bersifat terapeutik. Keadaan ini dapat mendorong klien untuk melangkah lebih lanjut menghadapi tahap terapi yang sulit dan menyakitkan.<br />Restrukturisasi kognitif<br />Ketika klien telah banyak menceriterakan tentang dirinya, konselor dapat mulai meningkatkan komunikasi dengan klien pada tingkat yang lebih dalam. Dengan restrukturisasi kognitif klien dilatih untuk menyampaikan ide dan keyakinan dengan cara yang lebih sesuai dengan kenyataan daripada fantasi.<br />Contoh : “ Saya tidak dapat berubah “ menjadi “ Saya tidak mau berubah “<br /> “ Semua orang tidak suka saya” menjadi “ Beberapa orang tidak<br /> suka saya “<br />Untuk mengembangkan restrukturisasi kognitif, klien dilatih untuk mengajukan pertanyaan-pertanyan sebagai berikut:<br />Apakah saya berpikir berdasarkan realitas atau angan-angan ?<br />Apakah pikiran saya dalam situasi ini untuk membantu saya melindungi kehidupan saya atau kesehatan saya ?<br />Apakah pikiran saya ini dapat menolong atau menghambat saya untuk mencapai sasaran jangka pendek maupun panjang ?<br />Apakah pikiran saya itu akan membantu saya menghindari konflik dengan orang lain ?<br />Apakah pikiran saya membantu saya merasakan emosi seperti yang saya inginkan ?<br />Konfrontasi<br />Konfrontasi merupakan alat penting untuk mendorong klien untuk maju, tetapi hanya akan efektif bila terbentuk relasi terapeutik yang solid dan bila klien telah siap menghadapinya. Dalam keadaan ini, konfrontasi hanya dilakukan bila terdapat ketidak- sesuaian antara kata dan apa yang mereka alami, antara apa yang dikatakan klien kemarin dan yang dikatakan sekarang, apa yang dikatakan beda dari yang dilakukan. Ada 5 tipe konfrontasi:<br />Konfrontasi eksperiensial: konfrontasi ini terjadi kalau klien mengatakan sesuatu tetapi konselor menangkapnya bahwa mereka tidak merasakan apa yang dikatakan klien.<br />Konfrontasi kekuatan : terjadi bila klien menyatakan lemah dan tidak berdaya tetapi konselor memberi dorongan dengan menunjukkan kenyataan bahwa apa yang klien nyatakan tidak sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya.<br />Konfrontasi kelemahan : terjadi bila klien menyangkal adanya perasaan sakit hati dan bersikap seolah-olah ia tidak terpengaruh oleh hal yang menyebabkan perasaan sakit hati itu. Konselor akan mendorong klien untuk meninggalkan penyangkalan itu dan mengakui keadaan yang sebenarnya.<br />Konfrontasi aksi : terjadi bila klien memperlihatkan perilaku tak berdaya melaksanakan suatu tugas dan konselor mendorong klien untuk menyelesaikan tugas tersebut.<br />Konfrontasi faktual : terjadi bila konselor mengoreksi mitos atau fakta tidak benar yang dikemukakan klien.<br />Mengenali dan Mengatasi Situasi Risiko Tinggi <br />Bila klien dan konselor mengetahui situasi yang rawan untuk menggunakan NAPZA, maka klien dengan bantuan konselor dapat menyusun rencana untuk menghadapi situasi tersebut. Ada lima domain situasi ( Carroll, 1998 ) :<br />Sosial : misalnya dengan siapa klien menghabiskan waktunya, dengan siapa ia menggunakan NAPZA, bagaimana hubungan mereka.<br />Lingkungan : misalnya waktu dan tempat khusus menggunakan NAPZA.<br />Emosional : adanya perasaan hati negatif maupun positif yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA<br />Kognitif : pikiran yang timbul setiap kali sebelum menggunakan NAPZA.<br />Jasmani : keadaan jasmani dan sensasi pada indra ( perabaan, pendengaran, dll ) sebelum menggunakan NAPZA. <br />Latihan Relaksasi Otot <br />Latihan Relaksasi Otot berguna pada keadaan cemas dan ketegangan. Pada Gangguan pengunaan NAPZA relaksasi berguna untuk mengatasi ansietas ( dual diagnosis ), mempermudah tidur, mengatasi kecemasan yang biasanya muncul sebelum kambuh, atau meredakan ketegangan pada situasi emosional atau sosial. Cara ini mudah dilaksanakan dan setelah dilatih klien dapat melakukan sendiri. Lamanya sekitar 30-60 menit. <br />Latihan Ketrampilan<br />Ketrampilan hidup adalah mutlak diperlukan untuk perubahan perilaku pada Gangguan penggunaan NAPZA. Dengan memiliki ketrampilan hidup klien dapat mengatasi situasi yang kondusif kepada penggunaan NAPZA. Dengan memilki ketrampilan hidup klien juga akan lebih berhasil mencapai tujuan terapi, Ketrampilan intra- dan inter-personal juga akan meningkatkan kemampuannya mempertahankan pola hidupnya yang baru.<br />Carlson dan Lewis membagi ketrampilan hidup yang bermanfaat bagi klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA sebagai berikut :<br />asertif<br />ketrampilan sosial<br />pengedalian diri terhadap perilaku<br />menemukan alternatif dari menggunakan NAPZA<br />penyelesaian masalah<br />mengatasi emosi<br />menejemen stres.<br />Menolak NAPZA dengan bersikap asertif<br />Ketrampilan untuk menolak NAPZA meliputi ketrampilan untuk<br />meminta pertolongan<br />memberi instruksi<br />menyakinkan orang lain<br />mengenal perasaan sendiri<br />mengekspresikan perasaan<br />menghadapi kemarahan orang lain<br />mengatasi perasan takut<br />mampu mengendalikan diri<br /> mampu membela haknya<br /> menanggapi godaan<br /> menghindari bermasalah dengan orang lain<br /> tidak melibatkan diri dalam perkelahian<br />mengatasi rasa malu<br />mengatasi perasaan ditinggalkan<br />menanggapi bujukan<br />menghadapi kegagalan<br />menghadapi dakwaan<br />siap menghadapi pembicaraan yang sulit<br />menghadapi tekanan kelompok<br />membuat keputusan<br />Memilih alternatif<br />Setelah terbiasa menggunakan NAPZA dalam waktu yang lama, ketika tidak menggunakan lagi klien merasa kehilangan sesuatu dan tersisa waktu luang. Untuk mengisi waktu luang itu sebaiknya tersedia bermacam-macam kegiatan. Klien memilih satu atau dua kegiatan yang sesuai untuk klien. Untuk memulai suatu kebiasaan baru tidak selalu mudah. Dalam hal ini konselor mendorong klien untuk memulai. Setelah mencoba satu kali, selanjutnya biasanya akan berjalan lancar.<br />Mengatasi emosi<br />Penggunaan NAPZA cenderung menutupi emosinya. Oleh karena itu ketika klien berada pada awal penyembuhan, sukar mengenali emosinya.<br />Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengatasi emosi adalah mengenalinya terlebih dulu. Setelah itu klien harus belajar menerima emosi itu. Langkah selanjutnya adalah mengubah emosi itu melalui pendekatan kognitif. Misalnya ”saya harus tidak mempunyai perasaan ini” menjadi “tidak apa saya mempunyai emosi ini sejauh saya tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain “ Langkah selanjutnya adalah meentukan perilaku apa saja yang bisa mengatasi emosi itu teapi tidak merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Selanjutnya ia menetapkan perilaku mana yang akan dipilih dan dilaksanakan.<br />Mengatasi Stres<br />Tidak jarang klien menggunakan NAPZA untuk mengatasi stres. Oleh karena itu kemampuan mengatasi stres adalah penting bagi klien yang berhenti menggunakan NAPZA.<br />Orang dapat mengatsi stres dengan mengubah cara berpikir dari yang bersifat negatif ke cara berpikir positif. Orang juga dapat mengatasi stres dengan mengubah respon terhadap stres misalnya dengan latihan relaksasi otot. Demikian pula orang dapat mengatasi stres dengan mengubah lingkungan<br />12 Langkah<br />12 langkah bukan sebuah terapi melainkan membantu eks-klien dalam fase rehabilitasi untuk tetap bebas dari NAPZA melalui suatu kegiatan kelompok dengan mendorong setiap anggota mengembangkan diri dengan menilik diri sendiri dan memperhatikan masalah yang diakibatkan oleh NAPZA ( alkohol untuk Alcohol Anonymous, narkotika- dalam hal ini opioida- untuk Narcotics Anonymous, kokain untuk Cocaine Anonymous ). Pada dasarnya ini adalah suatu kelompok Tolong-Diri, bersifat nirlaba, tersebar di seluruh dunia, tidak berafiliasi dengan agama atau lembaga, dengan struktur organisasi yang sangat minimal dan tidak memberi hukuman atau mengucilkan anggotanya. Keterangan mengenai 12 langkah dapat dilihat pada buku Pedoman Layanan Terapi dan Rehabiltasi komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit.<br />Pemecahan Masalah<br />Perkembangan ego seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA sering kali tidak sebagaimana diharapkan sehingga mudah bimbang dan sulit mengambil keputusan yang bijak. Oleh karena itu juga menjadi mudah mengikuti pendapat, saran atau bujukan orang lain. Memecahkan masalah mengikuti tahapan sebagai berikut:<br />S-tate your problem<br />O-utline your response<br />L- ist your alternatives<br />V- iew the consequencies<br />E- valuate your result.<br />Langkah-langkah yang dilakukan oleh konselor adalah:<br />mengklarifikasi masalah yang dihadapi klien bersama klien<br />mendorong dan membantu klien untuk menghasilkan pilihan<br />membantu klien menganalis pilihan yang ada secara kritis<br />menolong klien untuk memlih pilihan yang terbaik<br />membantu klien mengembangkan rencana tindakan<br />membantu klien untuk mengevaluasi hasil pilihannya,<br />3.2. MENINGKATKAN MOTIVASI UNTUK BERUBAH<br />Motivasi adalah semua faktor yang membangkitkan, mempertahankan dan mengarahkan perilaku seseorang. Manusia tidak akan menerapkan apa yang telah mereka pelajari bila apa yang telah dipelajari ketika dilaksanakan tidak mendatangkan imbalan atau mempunyai nilai bagi dirinya. <br />Wawancara motivasional ( motivational Inteviewing, MI ) mendorong terjadinya perubahan pada klien dengan menghindari pemberian label dan menekankan bahwa pengambilan keputusan ada di tangan klien. Konselor mengumpulkan data secara lengkap dan teliti serta berbagi data itu kepada klien. Selanjutnya terserah bagaimana klien akan menggunakan data tersebut. Bila dalam wawancara konselor memberi label “ pecandu “ kepada klien atau konselor memberi kesan bahwa semua masalah yang dihadapi klien adalah akibat penggunaan NAPZA maka akan timbul sikap defensive pada klien. Dalam melaksanakan MI fase yang paling sulit untuk merubah perilaku klien adalah tahap kontemplasi mengingat ambivalensi klien sangat kuat sehingga diperlukan langkah berikut yakni Motivational Enhancement Therapy (MET ) <br />( Lihat Buku Pedoman Penanggulangan Gangguan Penggunaan NAPZA, Kemenkes RI ).<br />3.3. MELIBATKAN KELUARGA / PASANGAN DALAM PROSES KONSELING <br />Dalam kenyataan, tidak ada klien dengan Gangguan penggunan NAPZA memperoleh efek terapi yang efektif tanpa memperhatikan interaksi sosialnya. Dalam hal ini peran keluarga adalah yang paling penting.<br />Konselor harus memperhatikan dinamika dalam keluarga klien. Keluarga itu sendiri mungkin menjadi sasaran untuk perubahan.<br />Konselor harus mempunyai seperangkat kompetensi untuk melibatkan keluarga dalam terapi.<br />memahami karakteristik dan dinamika keluarga, pasangan, atau orang bermakna lainnya.<br />Pengetahuan :<br />Dinamika yang berkaitan dengan penggunaan, penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA dalam keluarga, dengan pasangan atau orang bermakna lain.<br />Dampak pola interaksi pada perilaku menggunakan NAPZA.<br />Dampak penggunaan NAPZA berkaitan dengan budaya. terhadap keluarga,pasangan, atau orang bermakna lain.<br />Teori sistem dan dinamika ( keluarga ).<br />Tanda-tanda dan pola kekerasan dalam rumah tangga.<br />Dampak perilaku menggunaan NAPZA terhadap pola interaksi.<br /> Ketrampilan:<br />a. mengenali interaksi dalam keluarga yang nampaknya akan memengaruhi pemulihan.<br />b. mengenali peran orang-orang bermakna dalam sistem sosial<br /> klien.<br />c. menerima faktor perbedaan kultural dalam keluarga yang<br /> memengaruhi karakteristik dan dinamika keluarga, pasangan<br /> atau orang signifikan lain.<br /> Sikap<br /> a. mengenali perilaku non konstruktif keluarga sebagai isu dalam<br /> sistem<br /> b. menerima bahwa interaksi sistemik berperan pada perilaku<br /> menggunakan NAPZA.<br />menerima faktor budaya beragam yang memengaruhi dinamika<br /> keluarga, pasangan atau orang bermakna lain.<br />Membiasakan dan menempatkan penggunaan diagnosis dan intervensi keluarga, pasangan, atau orang bermakna lain secara tepat.<br />Pengetahuan:<br />Strategi intervensi untuk sistem pada berbagai tingkat perkembangan masalah<br />Strategi intervensi yang sesuai untuk perilaku kekerasan<br />Hukum yang berkaitan dengan tindak kekerasan<br />Strategi intervensi keluarga yang tidak bertentangan dengan budaya<br />Instrumen asesmen yang tersedia dan sesuai untuk keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya.<br /> Ketrampilan:<br /> a, menerapkan instrumen asesmen keluarga, pasangan dan<br /> orang bermakna lainnya.<br /> b. menerapkan strategi yang sesuai dengan budaya,<br /> Sikap:<br />menghargai klien sebagai individu dan bagian dari keluarga sebagai sebuah sistem. <br />menerima keanekaragaman dalam keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya.<br />Selanjutnya konselor juga mampu memfasilitasi keterikatan anggota keluarga yang terpilih, pasangan dan orang bermakna lainnya dalam terapi dan proses penyembuhan.<br />Konselor juga membantu keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya untuk mengadopsi strategi perilaku yang akan mempertahankan pemulihan dan mempertahankan hubungan baik dengan orang lain.<br />Konselor juga membantu keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya untuk mengerti interaksi antara sistem keluarga dan perilaku menggunakan NAPZA.<br />Tahapan dalam Pemulihan Keluarga.<br />Keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda pada setiap tahap pemulihan. Bepko dan Krestan ( 1985 ) menyebutkan ada 3 tahap dalam terapi.<br />Tahap pertama yaitu mencapai keadaan bebas NAPZA: pada tahap ini keseimbangan digoyahkan sehingga memungkinkan terjadinya perubahan.<br />Tahap kedua adalah menyesuaikan dengan keadaan bebas NAPZA. Keluarga, pasangan, atau orang bermakna lainnya berusaha menyeimbangkan kembali sistem.<br />Tahap ketiga adalah mempertahankan bebas NAPZA jangka panjang, di mana terjadi keseimbangan kembali dalam sistem.<br />Proses pemulihan keluarga merupakan suatu proses bukan suatu kejadian sesaat seperti perubahan pada klien ( Prochaska ). Tidak semua anggota keluarga mempunyai kecepatan perubahan yang sama. Konselor harus menolong setiap anggota keluarga sesuai dengan tahapnya masing-masing anggota keluarga tersebut.<br />Konselor membantu keluarga bersama-sama dengan teman-teman mendesak klien untuk menjalani terapi di suatu pusat terapi. Cara ini tidak membawa hasil dan ada kalanya bahkan berakibat buruk.<br />Cara yang lebih baik dan lebih berhasil adalah dengan cara melepas kelekatan ( disengagement ). Keluarga dapat mulai melakukan perubahan tanpa melibatkan klien. Konselor mendorong anggota keluarga lain untuk berubah dengan tujuan perkembangan diri yang lebih baik dan demi kesehatannya sendiri.<br />Pengaruh pada Anak<br />Dampak Gangguan penggunaan NAPZA pada dinamika dalam keluarga dapat berdampak buruk kepada anak-anak.<br />Konseling untuk anak-anak yang masih tinggal serumah dengan orangtuanya yang mengalami Gangguan penggunaan NAPZA bertujuan utama untuk memberi dukungan dan membantu klien dapat mengembangkan ketrampilan agar supaya mampu mengasuh anaknya dengan baik, sekarang maupun di kemudian hari. Diharapkan anak tidak menghadapi situasi tidak menentu dan terhindar dari masalah emosional yang kronis.<br />Anak dari keluarga yang mengalami disfungsi bisa menjadi pahlawan keluarga ( mengambil alih tugas yang mestinya menjadi tanggung jawab orang dewasa ), menjadi kambing hitam keluarga ( dianggap tukang bikin masalah dan menarik perhatian keluarga ), anak yang hilang (kurang diperhatikan dan lebih banyak berada di “ belakang “ ), atau menjadi maskot ( menjadi pusat perhatian untuk mengalihkan perhatian dari masalah klien sehingga dapat meredakan ketegangan ).<br />Anak yang sudah remaja dari seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA tidak banyak yang bertingkah. Kebanyakan dari remaja itu memendam perasaannya, dan berbuat sebaik mungkin untuk beradaptasi dan bertahan tinggal dengan keluarga. Akan tetapi sikap yang demikian itu membawa akibat kurang percaya diri, kesepian, perasaan bersalah dan malu, sedih sehingga perlu pengawasan, kurang asertif, putus asa untuk memperoleh kebahagiaan, dan sangat peka terhadap kritik.<br /> <br />Kekambuhan ( Relapse ).<br />Kambuh adalah penggunaan kembali NAPZA ke pola yang lama setelah periode abstinensia. Kambuh adalah salah satu masalah besar yang dihadapi oleh klien maupun konselor.<br />Seseorang bisa saja kembali menggunakan NAPZA tanpa harus kembali pada polanya yang lama (tidak kembali ke jenis zat semula atau dengan frekuensi yang jarang). Apabila ia sesekali menggunakan lagi disebut Slips, apabila ia berulang kali menggunakan disebut Lapses.<br />Faktor-faktor determinan pada kekambuhan<br />Klien dengan bantuan konselor mengidentikasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan slips atau kambuh<br />Situasi dengan risiko tinggi: yaitu situasi yang mengancam kemampuan mengendalikan diri, misalnya masuk ke ruang di mana kawan-kawan sedang mengonsumsi NAPZA, melalui jalan dimana ia dulu membeli NAPZA.<br />Pikiran dan sikap : misalnya pada awal pemulihan, klien merasa senang dan yakin bahwa tidak akan ada masalah di masa yang akan datang. Ketika ia menghadapi suatu masalah ia belum siap menghadapinya. Juga sering terjadi bahwa klien merasa yakin dapat menghadapi situasi rawan kambuh.<br />Strategi Pencegahan terhadap Kekambuhan<br />Prevensi terhadap kemungkinan kambuh merupakan pendekatan berspek-<br />trum luas, melibatkan prosedur intervensi spesifik untuk menghindari atau membatasi slips dan kambuh serta menjaga keseimbangan hidup. Prevensi terhadap kambuh sudah diberikan pada saat klien masih menjalani terapi. <br />Strategi untuk Menyingkirkan Risiko<br />1. Monitoring diri sendiri<br /> Monitoring diri adalah alat pertama yang diajarkan dalam pelatihan. <br /> Klien membuat catatan kapan, dimana dan mengapa keinginan untuk<br /> menggunakan NAPZA muncul. Klien lalu dilatih cara mengatasi<br /> situasi tersebut.<br />2. Metode Pengamatan Langsung<br /> Kepada klien diberikan daftar lengkap berbagai situasi rawan kambuh<br /> dan diminta untuk memberikan urutan situasi dari yang paling rawan<br /> sampai yang paling kurang rawan.<br />3. Ketrampilan mengatasi situasi rawan kambuh.<br /> Setelah klien mengenali situasi rawan,klien dilatih untuk mengatasinya.<br />Ada situasi yang harus dihindarkan dan ada situasi yang harus dapat diatasi, misalnya dengan latihan relaksasi, latihan asertif, cara berkomunikasi yang tepat, dan menejemen stres. Contoh menejemen stres :<br />Hanya mengerjakan satu kegiatan atau pekerjaan setiap saat<br />Menghilangkan ketegangan fisik ( relaksasi )<br />Belajar untuk tidak menjadi perfeksionis<br />Humor<br />Mencari bantuan orang lain yang benar<br />Sediakan waktu untuk bersendirian<br />Miliki hobi atau kegiatan yang tidak berkaitan dengan NAPZA<br />Jangan bersikap kaku melainkan moderat<br />Makan dan tidur yang baik<br />Menyeimbangkan pengeluaran dan manfaatnya bagi hidup<br />4. Meningkatkan Efikasi Diri<br /> Latihan untuk meningkatkan efikasi diri dilakukan dengan cara<br /> imajinasi, dimana klien diminta untuk membayangkan situasi rawan<br /> kambuh dan bagaimana klien mengatasinya.<br />5. Kontrak Perilaku<br /> Surat kontrak perilaku ditanda tangani oleh klien dan konselor di atas<br /> meterai, dibuat sesederhana mungkin, tidak bersifat menghakimi atau<br /> menghukum. Isinya menyatakan bahwa slips bukanlah suatu ke-<br /> gagalan dan bahwa klien mempunyai kemampuan untuk mencegah slips lagi. Bila terjadi slips/lapses ia akan segera menghubungi konselor atau<br /> institusi atau fasilitas terapi / rehabilitasi.<br /> Klien juga diberi buku saku yang memuat tip yang sederhana dan lugas.<br /> <br />6. Membangun kembali struktur kognisi<br /> Bila klien sudah kambuh, maka digunakan restrukturisasi kognitif, yaitu<br /> klien dilatih untuk mengembangkan sikap mental positif. Klien dilatih<br /> untuk berpikir secara obyektif, rasional dan adil.<br />Strategi Intervensi Komprehensif<br />Strategi Pengendalian Diri Komprehensif digunakan untuk memperkuat kembali usaha pencegahan kambuh dan memungkinkan klien untuk<br />menghindari sama sekali situasi berisiko tinggi yang diakibatkan oleh pola hidup yang tak seimbang.<br />Mengusahakan pola hidup yang seimbang<br />Proses kambuh biasanya dimulai dengan pola hidup yang tak seimbang Pola hidup tak seimbang ini mengakibatkan stres atau hal-hal yang negatif pada klien. Pengendalian diri secara umum bertujuan meningkatkan semaksimal mungkin kemampuan klien untuk mengatasi stres dan mengatasi situasi risiko tinggi,yaitu dengan meningkatkan efikasi diri, mengusahakan keseimbangan antara kerja dan rekreasi, kebahagiaan dan kesedihan, kesakitan dan kenikmatan. Klien dianjuran untuk mempunyai waktu untuk bersantai, hobi yang tidak mengandung stres, dan banyak waktu untuk diri sendiri. Juga dapat dianjurkan untuk menjadi adiksi terhadap hal-hal yang positif seperti jogging, meditasi, menyulam, dan lain-lain. Aktivitas ini bila dipadukan dengan pola hidup sehat akan mencapai keseimbangan hidup.<br />Memenuhi Kepuasan yang Adaptif<br />Bila orang mengalami frustrasi dalam pola hidup yang tidak seimbang, seringkali orang itu mencari kepuasan sebagai imbalannya. Pada program pencegahan kambuh dengan memberi kepuasan yang berakibat baik dan bukannya memberi efek yang buruk. Klien dapat mengikuti olah raga seperti futsal, main bola, main biliar, basket, mendaki gunung, berlibur, berenang, nonton film, berjalan sepanjang pantai dan sebagainya.<br />Menghindari Dorongan dan Rasa Keinginan yang Kuat.<br />Klien harus menghindari tempat atau situasi di mana akan memicu timbulnya dorongan dan keinginan kuat untuk menggunakan NAPZA. Misalnya jalan di depan sebuah bar, melewati gang di mana biasa terjadi jual beli NAPZA ilegal, mencium bau ganja dan sebagainya. <br />BAB 4. PENCATATAN & EVALUASI PROSES KONSELING<br />PENCATATAN <br />Pencatatan proses konseling pada Gangguan penggunaan NAPZA tidaklah berbeda dengan pencatatan proses konseling lainnya. Agar dapat menjadi landasan bertindak bagi petugas kesehatan, hendaknya pencatatan dilakukan pada catatan / rekam medis. Format pencatatan sederhana, meliputi nomor rekam medis, nama klien, tanggal konseling, konselor, kemudian diikuti pencatatan proses konseling. Pencatatan hendaknya tidak dibuat dalam bentuk kolom agar memudahkan konselor untuk menuliskan apapun yang dirasakannya penting. <br />Pencatatan proses konseling umumnya dilakukan pada saat proses konseling tersebut berjalan. Beberapa konselor merasakan hal ini sebagai sesuatu yang mengganggu dan tidak perlu untuk dilakukan karena dapat mengganggu proses konseling itu sendiri. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, terutama bila konselor begitu fokus untuk menulis dan ’mengabaikan’ keberadaan klien. Namun demikian, melakukan penundaan pencatatan seringkali justru kehilangan kata-kata kunci klien yang penting untuk dijadikan landasan pengembangan proses konseling. Untuk itu disarankan untuk tetap membuat catatan selagi proses konseling berlangsung. Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan agar pencatatan berjalan efisien:<br />Tuliskanlah hanya kata-kata kunci klien: hal-hal yang ’ditekankan’ oleh klien, baik melalui kata yang diulang-ulang, intonasi suara, isyarat non-verbal, maupun yang berkaitan dengan isu yang sedang dibahas. <br />Tuliskanlah hasil pengamatan atas perilaku non-verbal klien: apakah ekspresi emosi sesuai dengan apa yang diucapkannya?<br />Segera setelah selesai konseling, lengkapilah catatan dengan hal-hal yang dirasakan perlu untuk ditambahkan <br />Pencatatan proses konseling terdiri dari dua hal: pencatatan awal dan pencatatan lanjutan. Pencatatan awal umumnya merupakan bagian dari proses asesmen klien Gangguan penggunaan NAPZA pada umumnya (lihat rincian domain asesmen pada sub bab 4.2 di bawah ini). Informasi yang diperoleh pada saat proses konseling umumnya dapat melengkapi pengisian domain-domain yang ada. Sebaliknya, proses konseling juga dapat dimulai dari informasi yang diperoleh dari proses asesmen. Pencatatan awal mencakup masalah utama yang dihadapi klien serta masalah-masalah lain yang terkait dengan masalah utama. Pencatatan lanjutan umumnya hanya mencakup pada masalah utama yang dibahas pada sesi konseling yang berlangsung, sekalipun tidak menutup kemungkinan untuk juga mencatat hal-hal penting lainnya. <br />INSTRUMEN EVALUASI<br />Ada dua jenis evaluasi program, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses bertujuan untuk mengetahui apakah layanan berjalan sebagaimana diharapkan. Evaluasi hasil adalah untuk mengetahui apakah layanan yang diberikan telah memenuhi keinginan klien atau komunitas. <br />Evaluasi proses dapat dilaksanakan dengan menciptakan sistem informasi menejemen terpadu yang meliputi:<br />Informasi tentang komunitas: meliputi data demografik, karakteristik sosial ekonomi dari klien.<br />Informasi tentang klien: meliputi masalah yang dikeluhkan klien, riwayat penyakit, jenis layanan yang diterima, lamanya pelayanan, latar belakang keluarga dan sosial ekonomi, pekerjaan, tingkat kepuasan, dan hasil layanan.<br />Informasi tentang layanan: meliputi jenis layanan apa saja yang ada pada institusi tersebut, jumlah klien yang dilayani, jumlah klien yang mulai ikut konseling dan yang selesai mengikuti program konseling dalam kurun waktu tertentu<br />Informasi tentang staf: termasuk lama waktu yang dibutuhkan seorang staf dalam memberikan layanan, volume layanan konselor (misal: jumlah klien yang dilayani).<br />Informasi tentang biaya: termasuk biaya seluruh kegiatan institusi, biaya setiap jenis layanan yang harus dibayar klien<br />Evaluasi hasil pada gangguan penggunaan NAPZA menghadapi beberapa masalah, yaitu pengukuran hasil dengan kriteria yang terlalu sempit dan tidak sensitif, sulit menemui klien, kurang akuratnya laporan yang dibuat oleh klien sendiri<br />Penilaian dengan kriteria yang sempit adalah penilaian berdasarkan klien masih menggunakan NAPZA atau sama sekali tidak menggunakan NAPZA. Pandangan multivariat terhadap Gangguan penggunaan NAPZA menghasilkan metode evaluasi hasil dengan kriteria tambahan dengan menanyakan hal hal dibawah ini dalam kurun waktu tiga puluh hari terakhir:<br />Apakah klien menyelesaikan program konseling atau tidak.<br />Berapa kali klien masuk pusat rehabilitasi.<br />Jeda waktu terjadinya kematian sejak atau setelah mengikuti program<br />Kesehatan jasmani: berapa lama klien menderita masalah medik, berapa lama minum obat yang diberikan oleh dokter, lama perawatan di rumah sakit.<br />Perilaku menggunakan NAPZA: berapa hari klien dalam keadaan abstinensia tanpa bantuan obat.<br />Penggunaan NAPZA lain: berapa lama ia abstinensia atau tidak abstinensia dari NAPZA lain itu.<br />Masalah hukum: berapa kali klien ditahan berkaitan maupun tidak berkaitan dengan penggunaan NAPZA<br />Masalah pekerjaan: bagaimana status kepegawaiannya, jumlah hari klien bekerja.<br />Fungsi keluarga/sosial : seberapa memuaskan hubungan interpersonal dan mutu waktu senggangnya<br />Emosi: apakah klien mempunyai keluhan psikitris<br />Beberapa instrumen yang bisa dipakai untuk evaluasi hasil adalah:<br />WHO Quality of Life<br />Addiction Severity Index; dan lain-lain<br />INDIKATOR KEBERHASILAN<br />Sebelum menetapkan indikator keberhasilan, lebih dulu perlu disepakati hal yang dimaksud dengan “ keberhasilan “ dalam konseling klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA. Apabila yang dimaksud dengan “ keberhasilan “ adalah klien sama sekali tidak menggunakan NAPZA, maka klien berarti tidak menggunakan semua jenis NAPZA termasuk tembakau ,kopi, dan alkohol.<br />Perlu diingat kembali bahwa yang dimaksud dengan Ganguan penggunaan NAPZA adalah pola penggunaan NAPZA yang mengakibatkan gangguan pada kesehatan serta fungsi sosial dan okupasional, termasuk masalah ekonomi, sosial, dan hukum.<br />Seorang yang biasa minum kopi, menghisap rokok tembakau atau minum minuman beralkohol tanpa mengalami akibat pada kesehatan dan tidak mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tidak dapat digolongkan gangguan penggunaan NAPZA. Seorang yang menghisap ganja, mengonsumsi ecstasy, atau minum obat tidur bukan atas nasehat dan resep dokter adalah ilegal dan dapat berurusan dengan penegak hukum.<br />Oleh karena itu indikator keberhasilan pada konseling klien dengan gangguan penggunaan NAPZA didasarkan kepada perubahan perilaku dari yang maladaptif menjadi adaptif dan tidak menderita gangguan pada kesehatannya atau penyakit yang ( terlanjur ) diderita mendapat pengobatan. <br />Emosi : stabil, dapat mengekspresikan perasaannya secara wajar.<br />Perilaku: dapat mengendalikan perilaku dengan baik dan tidak memperlihatkan perilaku yang maladaptif<br />Kognisi : dapat berpikir secara rasional dan realistis<br />Persepsi : tidak mengalami gangguan persepsi, dapat memperspsi diri dan lingkungannya dengan baik<br />Hubungan interpersonal : memuaskan bagi dirinya dan orang lain<br />Fungsi sosial: dapat belajar dengan baik jika masih menempuh pendidikan dan dapat bekerja dengan prestasi yang baik bila sudah bekerja.<br />Fungsi keluarga: dapat menunaikan tugasnya sebagai anggota keluarga ( sebagai suami,sebagai istri, sebagai orangtua atau sebagai anak )<br />Tidak terlibat masalah hukum yang berkaitan dengan NAPZA<br />Pola hidup yang baik, teratur dan seimbang: makanan yang sehat dan cukup, istirahat dan tidur yang cukup dan teratur, rekreasi yang sehat<br />Semuanya ini terdapat dalam WHO – QOL dan dapat diakses melalui www.who.int<br />BAB 5. PENUTUP<br />Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu gangguan jiwa yang kronis dengan angka kekambuhan yang tinggi. Proses penyembuhannya tidak lineair, melainkan melalui beberapa tahap ( Prochaska ) dan seringkali mengalami perjalanan mundur dan maju dari tahap satu ke tahap yang lain.<br />Peran konselor adalah membantu klien melalui tahapan tadi sebaik mungkin supaya sesedikit mungkin mengalami perjalanan mundur.<br />Pada dasarnya konseling adalah membantu klien mengalami perubahan perilaku dari yang maladaptif menjadi adaptif. Sasaran konseling untuk mengubah perilaku klien seringkali kurang disadari oleh petugas kesehatan, klien maupun keluarga klien. Mereka lebih mengharapkan perubahan dari menggunakan NAPZA menjadi tidak menggunakan NAPZA sama sekali.<br />Mempelajari perilaku seseorang tidak cukup hanya mempelajari orang itu sendiri, melainkan juga lingkungan di mana orang itu berada. Oleh karena itu untuk mengubah perilaku seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA perlu melibatkan lingkungannya terutama orangtua, pasangan, dan orang bermakna lainnya.<br />Oleh karena Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan yang sering kambuh, maka penting untuk mencegah kekambuhan.<br />Peran konselor tidak selesai setelah klien selesai menjalani terapi, tetapi tetap berperan dalam pencegahan kambuh yaitu memperkuat kembali klien agar tetap bertahan untuk tidak kembali kepada perilaku semula. Biasanya konseling untuk menguatkan kembali secara berkala setelah terapi berakhir.<br /> <br />DAFTAR REFERENSI<br />Addiction Counseling, Competencies, TAP 21, US Department of Health<br /> And Human Services, 2008.<br />Gangguan Mental dan Perilaku Akbat Penggunaan Zat Psikoaktif,<br /> Joewana.S, EGC, Edisi 2, 2005.<br />Mastering Counselling Theory, Ray Colledge, Palgrave Macmillan, 2002.<br />Substance Abuse Counseling, Lewis, J.A., Dana, R.Q., Blevins G.A;<br /> Brooks/Cole, 3rd ed. 2002.<br />Substance Abuse, Informations for School Counselors, Social Workers,<br /> Therapists and Counselors; Fisher, G.L. , Harrison, T.C., Allyn & Bacon, <br /> 1997.<br />Synopsis of Psychiatry, Sadock B.J., & Sadock,V.A. Lippincott, Williams &<br /> Wilkins, 10th ed. 2009<br />Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therepeutics, 11th. ed<br /> <br />Lampiran 1<br />ASESMEN AWAL PERILAKU DAN ANALISIS FUNGSIONAL<br /> Nama Konselor…………………..<br />Tanggal…………………………. Nomor Rekam Medik....................<br />I. Biodata Klien<br /> Nama………………………….. Jenis Kelamin:……………………<br /> Umur:…………………………. Status Perkawinan:………………..<br /> Agama:………………………… Suku Bangsa:……………………..<br /> Alamat: …………………………………………………………………..<br /> No Telepon Rumah:……………….. No HP…………………………….<br /> Riwayat pengobatan sebelumnya ( rawat jalan dan rawat inap ) untuk<br /> Gangguan penggunaan NAPZA dan gangguan psikiatrik lain:………….<br /> ……………………………………………………………………………<br /> ……………………………………………………………………………<br /> …………………………………………………………………………….<br />II. Masalah yang dihadapi ( frekuensi, intensitas, lamanya, tidak wajar, tidak<br /> Pada tempatnya )<br />Perilaku yang berlebihan:……………………………………….<br />…………………………………………………………………..<br />Perilaku yang kurang…………………………………………….<br />…………………………………………………………………...<br />III. Kemampuan dan Kekuatan ( saat ini maupun yang terbaik di masa lalu )<br /> A. Rapi……………………………………………………………….<br /> ………………………………………………………………………...<br /> B. Ketrampilan menolong diri sndiri:……………………………………..<br /> C. Ketrampilan sosial ( termasuk konversasi, rekreasi, dan persahabatan )<br /> ………………………………………………………………………….<br /> D. Pendidikan & Latihan Vokasional<br /> ………………………………………………………………………….<br />IV. Analisis Fungsional terhadap Masalah<br />A. Apa konsekuensi positif maupun negatif daripada permasalahan yang<br /> dihadapi klien saat ini ?<br /> …………………………………………………………………………<br /> …………………………………………………………………………<br /> …………………………………………………………………………<br /> …………………………………………………………………………<br /> …………………………………………………………………………<br />Siapa atau apa yang membujuk atau memaksa klien berobat ?<br />……………………………………………………………………………………………………………………………………………………..<br />Siapa yang memperkuat masalah klien dengan simpati, pertolongan, perhatian, atau reaksi emosional ?<br />……………………………………………………………………………………………………………………………………………………<br /> 3. Apa yang akan terjadi bila masalah itu diabaikan ?............................... <br /> ………………………………………………………………………….<br /> ………………………………………………………………………….<br /> Menjadi lebih jarang ?............................................................................<br /> …………………………………………………………………………..<br /> 4. Apa keuntungan bagi klien bila masalah itu disingkirkan ?..................<br /> ………………………………………………………………………… .<br /> …………………………………………………………………………..<br />B. Pemicu yang determinan apa atau kondisi atau setting yang menyebab-<br /> kan terjadinya masalah ?...............................................................................<br /> ……………………………………………………………………………...<br />Di mana ?.................................................................................................<br />Kapan ?....................................................................................................<br />Dengan siapa?.........................................................................................<br />C. Kesamaan dari apa yang diuraikan klien dan apa yang dilihat oleh<br /> pengamat-pengamat lain ?..........................................................................<br /> ……………………………………………………………………………..<br /> …………………………………………………………………………….<br />V. Survei faktor-faktor pendorong. Pastikan untuk melakukan asesmen tentang kesamaan antara apa yang klien katakan dan yang anda serta orang signifikan lain amati<br />A. Orang. Dengan siapa klien menghabiskan waktu terbanyak ( keluarga,<br /> sanak keluarga, teman, sejawat kerja ) ?<br /> 1…………………………….. 4……………………………………<br /> 2……………………………. 5……………………………………<br /> 3……………………………... 6…………………………………….<br /> Klien lebih suka menghabiskan waktu dengan siapa ?<br /> 1……………………………………3……………………………………<br /> 2……………………………………4…………………………………… <br />B. Tempat. Di mana klien menghabiskan waktunya terbanyak ?<br /> ( kamar tidur, dapur, halaman rumah, mobil, kerja, toko, musola, dsb ?)<br /> 1…………………………………...4………………………………….<br /> 2……………………………………5………………………………….<br /> 3……………………………………6………………………………….<br /> Di mana klien lebih suka menghabiskan waktunya ?<br /> 1……………………………………3………………………………….<br /> 2……………………………………4………………………………….<br />C. Benda. Klien menghabiskan waktunya terbanyak dengan barang apa ?<br /> ( buku, hobi, tembakau, makanan,minuman, pakaian,milik favorit)<br /> 1……………………………………5………………………………<br /> 2……………………………………6………………………………<br /> 3……………………………………7………………………………<br /> 4…………………………………….8………………………………..<br /> Klien ingin mempunyai akses paling mudah dengan benda atau makanan<br /> apa?<br /> 1…………………………………….3…………………………………..<br /> 2…………………………………….4…………………………………..<br />D. Aktivitas. Aktivitas apa yang dijalani paling sering dan paling lama oleh <br /> klien ? ( bekerja,merokok, olah raga, nonton TV, mendengarkan musik, <br /> menari, tidur siang, bersendirian, mengemudi kendaraan, membaca ) ?<br /> 1……………………………………..5……………………………………<br /> 2……………………………………..6……………………………………. <br /> 3……………………………………. 7……………………………………<br /> 4……………………………………. 8…………………………………….<br /> Aktivitas apa yang klien ingin tingkatkan ?<br /> 1……………………………………3……………………………………<br /> 2……………………………………4…………………………………….<br />E. Penguat negatif. Stimulus dan kejadian apa yang menyenangkan klien ?<br /> ( orang, zat, situasi, aktivitas, isolasi sosial)?<br /> 1……………………………………..4………………………………….<br /> 2……………………………………..5………………………………….<br /> 3……………………………………..6………………………………….<br />F. Hukuman. S