SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  115
Télécharger pour lire hors ligne
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 115
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 115
I
erita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar
menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan
dapat menikmati hari-hari seterusnya, apabila disadarinya
betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di Banyubiru.
Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan
yang seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis
pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup
perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu
hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya
Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang
berprihatin.
Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa
Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunungkidul
merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis
sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar.
Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak
pernah mereka sangka-sangka akan terjadi.
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran,
“Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri
benar-benar hilang?”
“Ya. Semua orang menganggap demikian,” sahut Bantaran.
“Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak
diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi.
“Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata
tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki-
laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri
sedang hendak mencuci pakaiannya.”
“Bukan main,” desis Mahesa Jenar. “Widuri adalah seorang
gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka
orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”
B
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 115
Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat
dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah juga
didengarnya di Banyubiru.
Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing
hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi gelisah
karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada
Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan
wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah
sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia
sedang berpikir dan berduka karena hilangnya Widuri ataukah ia
sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu-
tunggunya itu akan mengalami gangguan pula.
Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat
berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran kemudian
menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar
memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya
Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya.
Arya Salaka adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam
oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat anak itu
ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya.
Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat
memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak yang
kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk
kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang
mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya
memang menuntut demikian. Kini, setelah pekerjaan itu selesai,
apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah persoalan
yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa
depan.
Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati
muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan,
maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa depannya
pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 115
Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu beristirahat
bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa
Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa
Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu,
dan ia mengharap mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui
dan mengertinya pula.
Namun karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika
dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya yang suram.
Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada Mahesa Jenar.
Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya
dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya
Salaka menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya?
Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu pun
berkata pula, “Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang
dibawa oleh Bantaran?”
Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara
Wilis samasekali tidak mengangkat wajahnya. Namun meskipun
demikian gadis itu menjawab, “Kasihan anak itu.”
“Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut
Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya menganggukkan kepalanya. Dan
ia tidak lagi berkata apa-apa.
Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati
dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang
dikehendaki, katanya, “Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus
diketemukan.”
“Ya,” sahut Rara Wilis.
Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa
itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat dilupakan.
Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya.
Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanakannya yang jujur
kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 115
dengan anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah
maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang dalam di
dalam hatinya.
Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang sangat
penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang diharapkannya akan
segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu,
terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan
segera datang.
Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada
mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus dikatakannya.
Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran
perasaan tentang hilangnya Endang Widuri.
Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata, “Wilis,
apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru
untuk membantu mencari anak yang hilang itu?”
Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan
berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan lagi
untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Rara Wilis tidak segera
dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya,
namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu
diucapkan. Dan sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang
dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh daripadanya.
Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang dinantikan itu
telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba tertutup
kembali.
Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa.
Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia mengenal laki-laki
itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada tanggungjawab atas
kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada
keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat
mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 115
telah menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan samasekali
bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa
Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan
Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami
ketakutan dan kecemasan selama ia berada di tangan orang yang
tidak dikenal itu. Lalu siapa? Orang yang menculiknya itu? Orang
itu samasekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi
itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah
dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti.
Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia
tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis itu.
Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu,
namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak
dapat disembunyikan.
“Rara Wilis,” desis Mahesa Jenar kemudian, “Aku harap kau
dapat mengerti.”
Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan
demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya
dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya, “Apakah aku tidak
dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi Kakang?”
Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah
yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu. Karena itu
maka segera ia berkata, “Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau
menyetujuinya?”
Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya
Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.
Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab. “Kakang,
aku samasekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan
kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku.
Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak
menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 115
Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap
kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku sendiri.”
Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap
wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam mata yang
buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya pandangan
matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang tidak
terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang
disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti
sebuah lagu yang rawan.
Sesaat mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa
Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak. Perlahan-lahan ia
berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam sikapnya. Tetapi
ia tidak menangis.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata, “Wilis. Aku dapat
mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti
perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup
dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati
ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang-
guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka
kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang samasekali
tidak bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku
berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali terakhir.”
“Jangan berjanji kakang,” potong Rara Wilis. “Aku tidak ingin
mendengar janji apa pun darimu. Marilah kita jalani jalan kita
dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu-
satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang
akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing,
janji yang tersimpan di dalam hati itu.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah orang yang
mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia tidak
pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 115
menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu
dipenuhinya. Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini
ia telah mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji
pribadi.
Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk
pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan yang
sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya.
Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri.
Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi
ia mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya.
Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi ia
kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum
memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup.
Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.
Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati
cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan Rara Wilis
sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat keturunannya
tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan
keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang
keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada
cucunya dan kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa
Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta, “Aku
turut dengan angger ke Banyubiru.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis
terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula dengan
wajah yang suram. “Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak
tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku
ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti
usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha
mencari, maka semakin cepatlah cucu Widuri itu akan
diketemukan. Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun
akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 115
Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa
Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih karena keadaan.
Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak saja
hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat
penyelesaian.
Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. “Aku juga
ikut kakang.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu
maka dengan serta merta ia berkata, “Jangan. Jangan Wilis.”
“Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di
Gunungkidul ini.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki
Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap persoalan
kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun menundukkan
wajahnya.
Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu pun
menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah mereka ketika
terdengar suara di belakang, “Kakang Demang, kuda Kakang telah
disiapkan.”
“Baik,” sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda. “Aku
akan pergi ke banjar sebentar.”
Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah
dinding dan hilang ke pendapa.
Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu,
mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda. Mereka
telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga yang bahagia.
Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia
melihat kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin
kesepian. “Apakah aku menjadi cemburu.” katanya di dalam hati.
“atau iri hati?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 115
Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. “Kakang, aku
akan ikut ke Banyubiru.”
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak
mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai
seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawan-
lawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun-
penyamun, namun ia pernah juga merasakan duka derita hidup
kekeluargaan. Orang tua itu pernah melihat anaknya menjadi
korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang perempuan
yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh
suaminya yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar,
seorang laki-laki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri,
karena ia merasa kehilangan isterinya. Meskipun kemudian
ternyata bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo.
Karena itu, orang tua itu mengerti perasaan yang tersimpan di
dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia menjawab, “Angger
Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah Wilis ikut serta
ke Banyubiru.”
“Hem,” desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. “Apakah arti
perjalanan ke Gunungkidul ini?”
Pertanyaan itu pun terdengar pula di dalam hati Rara Wilis dan
Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai jawabannya.
“Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan
kepentingan pribadinya untuk panggilan rasa keadilannya yang
tersentuh. Penculikan atas Endang Widuri adalah kejahatan. Dan
Mahesa Jenar ingin melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam
batas-batas kemampuan yang ada padanya.”
Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa menerima
permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap
kedatangannya ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan yang
menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa yang dinanti-
nantikannya bersama Rara Wilis.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 115
Demikianlah maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah sebuah
rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul. Meskipun
Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan itu menjadi
kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu
pergi. Beberapa orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di
Banyubiru. Bahkan Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu
dahulu tidak dibawanya sekali sehingga dengan demikian, maka
tidak ada kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi beberapa orang
yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang gadis
di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai pertanyaan
di dalam hati mereka.
Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan Alas
ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar berkata, “Ki
Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu nanti
yang menaikimu.”
Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu
tertawa. “Mudah- mudahan,” jawabnya.
Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan
Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di daerah
yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah mimpi saja.
Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya.
Bahwa suatu ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti
akan lebih indah lagi.
Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah
Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada Mahesa Jenar
dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka melihat Demang
Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri disamping Rati
isterinya. Mereka melambaikan tangan mereka sambil tersenyum.
Tetapi senyum itu seakan-akan samasekali tidak ditujukan kepada
mereka. Senyum itu adalah senyum kebahagiaan mereka sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 115
Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu tampak kepucat-
pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena itu, maka
segera ia masuk kembali ke halaman.
Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa,
masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, “Apakah Nyai Demang
itu sakit?”
Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng.
“Ia tidak sakit,” jawabnya.
“Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada
dipembaringannya.”
“Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.”
“Oh,” Mahesa Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja ia
telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu sekali ia menarik
nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya wajahnya,
memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah-
merahan karena tanah yang liat. Dikejauhan dilihatnya bukit-bukit
kapur yang kering. Namun di arah yang lain tampaklah sawah-
sawah yang menghijau segar. Gunungkidul adalah suatu daerah
yang bercampur baur.
Ketika kemudian mereka telah melintasi perbatasan induk
Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki Sentanu kini
bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di atas punggung
kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan
katanya perlahan-lahan, “Marilah, mumpung masih pagi.”
Bantaran yang berkuda dipaling depan, mempercepat kudanya
pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di atas tanah yang
kering. Debu yang putih mengepul tinggi di udara, menakbiri
daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya
sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian
dalamnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 115
Kini mereka menghadapi jalan yang terbentang memanjang.
Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira panjangnya, membelit
lereng-lereng bukit, menghujam lurah-lurah dan mendaki tebing.
Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk yang menjorok
dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan
dari dalam tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan-
jalan yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang
berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka.
Pada saat mereka datang dan pada saat mereka meninggalkan
daerah yang baru sebentar saja disinggahi sepanjang hidupnya.
Betapa pun panjang jalan yang harus ditempuh itu, namun
setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti sebuah benang
yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu akhirnya
akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya jurang
dan ngarai, ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat, padang-
padang rumput dan dilampauinya jarak yang memisahkan
Gunungkidul dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek.
Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu, setelah
mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka kemudian
melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakan- akan terbentang
di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di hadapan mereka.
Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya
menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang sudah
dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalan-jalan kota
Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya.
Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak
tentang kemampuan diri sendiri. Namun dengan demikian, mereka
dapat menikmati hasil usaha mereka itu. Dan mereka akan dapat
mewariskan hasil jerih payahnya kepada anak cucu mereka.
Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya. Baru
beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun kedatangannya di
Banyubiru kali ini seolah-olah benar-benar seperti orang baru.
Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru yang ditinggalkannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 115
beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia. Banyubiru
bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang
tidak wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit,
tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi daerah di
lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir yang menyimpan berbagai
persoalan.
Ketika Mahesa Jenar melampaui daerah-daerah perbatasan
kota, dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga. Gardu-
gardu perondan kini telah dipenuhi lagi oleh orang-orang yang
sedang bertugas seperti dalam saat-saat Banyubiru sedang
berperang. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi
kemungkinan orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru
atau sengaja membawa Widuri keluar untuk disembunyikan.
Namun penjaga-penjaga itu seakan-akan samasekali tidak berarti.
Widuri masih belum diketemukan, seperti lenyap ditelan lereng-
lereng bukit.
Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, “Apakah kau
sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?”
Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Masih belum ada
tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.”
Bantaran tidak berkata lagi. Mereka berpacu semakin kencang,
seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada itu Mahesa Jenar
berkata kepada Bantaran. “Bagaimana?”
“Gelap,” sahut Bantaran.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia dapat
berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir kegelapan itu,
sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah yang dapat
dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga
dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis di antara ratusan
orang Banyubiru sendiri, termasuk orang-orang seperti Ki Ageng
Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng Sora Dipayana pula,
Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 115
bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih
mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal semua
ruang di dalam rumah mereka sendiri, seperti mereka mengenal
halaman mereka sendiri. Mereka mengenal setiap penduduk
Banyubiru seperti mereka mengenal istri dan anak-anak mereka
sendiri.
Dan ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan Endang
Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti. Tetapi betapa ia
menjadi bimbang akan usahanya, namun ia tidak akan dapat
berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat, apakah
berhasil apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat
dipecahkannya. Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi
sebelum ia berbuat sesuatu.
Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan yang
menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah
terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan
dirabanya.
Rombongan itu pun meluncur di antara sawah-sawah dan
ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit Telamaya itu.
Namun terasa pula, seakan-akan batang- batang padi yang
tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau di ladang-ladang
memandangi rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan-
akan mereka samasekali membisu atas kedatangan itu. Bahkan
seakan-akan batang-batang padi dan palawija itu telah
menyembunyikan rahasia yang tak boleh diketahui oleh Mahesa
Jenar dan rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang
hilang itu telah disembunyikan pula disana.
Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang petani
memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya satu-satu
di antara mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula untuk
menemukan gadis yang hilang itu.” Tetapi kembali mulut-mulut
mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan
mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 115
Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi tebing
bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng Gajah
Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu bertanya dengan
serta merta. “Bantaran telah kembali?”
“Ya,” jawab orang itu.
“Sendiri?”
“Tidak. Beberapa orang itu bersamanya.”
“Paman Mahesa Jenar” desis Arya Salaka. Karena itu segera ia
menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu. Tiba-tiba timbullah
kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang selama ini
hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke
punggung kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu
sudah sedemikian dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka
melihat rombongan itu masuk ke halaman.
Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya
segera berloncatan turun. Arya Salaka yang melihat Mahesa Jenar,
tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia berlari kepadanya dan
seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya
itu pun segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis.
“Selamat datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya
paman tidak datang ke Banyubiru.”
Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata,
“Aku ikut prihatin Arya.”
“Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan
datang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa disambut
langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan
bahkan Ki Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di
antara mereka berdiri dengan pandangan yang kosong Kebo
Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 115
Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan penuh
gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang menentukan jalan
perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka
kepada Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh
harapan memenuhi pendapa itu. Ucapan selamat datang yang
tulus dan sapa atas keselamatannya dengan penuh kesungguhan,
seakan-akan mereka telah bertahun- tahun berpisah.
Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin
merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya. Seakan-akan
Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena
berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat itu dirinya telah menjadi
pusat perhatian dan bahkan seakan-akan menjadi tempat untuk
mengadukan nasib mereka.
Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya, ketika
ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu menundukkan
wajahnya sembil bermain-main dengan ujung kainnya. Dalam
kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan
Mahesa Jenar itu terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara
Wilis. Sebagai seorang gadis ia merasa, bahwa kali ini ia
samasekali tidak diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang
ingat bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain beberapa sapa dan
subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian perhatian
mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang telah
menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang pun lagi yang
menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke Banyubiru.
Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu
itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu
kepadanya. Mahesa Jenar pun tidak lagi ingat akan kehadirannya.
Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya
mengatasi gelora di dalam hatinya itu. “Ach, aku terlalu
mementingkan diriku sendiri. Di sini, Banyubiru kini, sedang
dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat
pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup untuk melupakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 115
persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau?
Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?”
Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis berhasil mengatasi
kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia samasekali tidak
dapat turut bercakap-cakap dengan orang-orang lain seperti
masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun
seakan-akan tak ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun
hanya untuk berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi
mengeluh, bahwa percakapan mereka hanya semata-mata
berkisar kepada persoalan Widuri yang hilang itu.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan
kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara Wilis.
Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya kepada Ki Ageng
Gajah Sora, “Ki Ageng, apakah Nyai ada di rumah.”
“Oh, ada. Ada,” sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak segera
mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga Mahesa Jenar itu pun
berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, ternyata Nyai Ageng ada pula di
belakang. Barangkali kau akan dapat membantunya.”
“Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja
di sini.”
Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa
Jenar masih juga mengingat dirinya.
Karena itu segera ia menyahut, “Baiklah kakang. Lebih baik
aku ke belakang.”
Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia
bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan dirinya dari
kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya Widuri, meskipun
ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap gadis yang
nakal itu. “Gadis itu harus diketemukan,” desisnya seorang diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 115
II
Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak bahan
yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya Salaka
berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di dengarnya pula
dari mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana
seorang laki-laki telah mencukungnya menghilang ke dalam
semak-semak.
Persoalan itu menjadi semakin rumit di dalam hati Mahesa
Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan nasib Endang
Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun dapat mengerti
pula, kenapa demikian. Tetapi yang mengherankan Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha sungguh-
sungguh untuk mencari anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa
hari Endang Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo
Kanigara itu masih saja berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri
namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang
malam hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah
berada di biliknya pula.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat menanyakannya langsung
kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang pertanyaan itu
sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha untuk
menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya.
Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar.
Ketika hampir semua orang berputus asa, maka terjadilah
suatu peristiwa yang membakar kemarahan rakyat Banyubiru.
Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang
berkepanjangan.
Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru, maka tiba-
tiba salah sebuah gardu peronda pada malam hari melihat sesosok
tubuh yang menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika orang itu
disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu cepat-cepat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 115
berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan
membiarkannya pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah
orang itu dan apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar
tidak mau mendekat, bahkan ketika beberapa orang berusaha
mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari.
Dengan sigapnya para peronda itu mengejarnya. Beberapa
orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga orang yang
mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat.
“Siapakah kau?” desak penjaga itu.
Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orang-orang
yang berdiri mengelilinginya. Lima orang.
“Siapa?” desak penjaga itu.
Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya,
“Apakah kepentinganmu dengan namaku?”
Para penjaga itu benar-benar keheranan sehingga sesaat
mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang diantaranya
bertanya pula. “Ki Sanak. Kami adalah para peronda dari
Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk mengetahui, setiap
orang yang berada didalam wilayah perondaan kami. Karena itu,
maka katakanlah siapakah Ki Sanak dan apakah keperluan Ki
Sanak.”
Kembali para penjaga itu terkejut. Orang yang tak mereka
kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Baiklah kalau kau
ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.”
Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing bagi
mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula.
“Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di
malam hari begini?”
“Tidak apa-apa,” jawab orang yang ternyata bernama Karebet
itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 115
“Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?”
“Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?”
Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Sehingga kemudian
salah seorang membentak, “Jangan mempersulit pekerjaan kami.
Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau berkunjung ke salah
seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau kunjungi
itu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak
pinggang dan berkata lantang, “Jangan ganggu aku. Biarlah aku
berbuat sesuka hatiku.”
“Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan
dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini ada
peraturan-peraturan yang harus ditaati.”
“Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak.”
“Jangan berkeras kepala, Karebet,” bentak seorang penjaga
yang kehilangan kesabaran. “Kau mencoba memancing
kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.”
“Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.”
“Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami.
Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan itu.”
“Tidak ada peraturan yang dapat mengikat aku,” sahut Karebet
lantang. “Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan yang tak berarti.
Aturan bagiku adalah keduabelah tangan dan keduabelah kakiku,
pedang dilambungku dan taruhannya adalah nyawaku.”
Para penjaga itu benar-benar menjadi heran. Apakah orang itu
orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun menilik sikapnya,
maka orang itu benar-benar berbahaya bagi mereka, sehingga
karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 115
Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula,
“He, apakah yang akan kalian lakukan?”
“Kami hanya sekadar melakukan kewajiban kami, Ki Sanak
harus menyebutkan nama yang sebenarnya, keperluan yang
sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya. Kalau
tidak, kami terpaksa menangkapmu dan membawa kerumah
Kepala Daerah Tanah Perdikan ini.”
Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, “Apakah kalian
berkata sebenarnya?”
“Tentu.”
“Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa
peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan kakiku serta
pedang dilambungku.”
Para penjaga itu serentak bergerak maju. Tetapi Karebetpun
sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai dengan sebuah
serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka. Tangannya
bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima
penjaga itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa
langkah dan terbanting jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan
dan berusaha dengan tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa
punggungnya menjadi sakit, sehingga karena itu, maka tenaganya
sudah jauh berkurang.
Keempat kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Segera
mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata mereka
berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh dan
mengagumkan. Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat
banyak. Mas Karebet itu mampu bergerak secepat burung sikatan,
dan menyambar-nyambar dengan garangnya, seperti burung
rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan yang tiada
taranya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 115
Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan seorang lagi yang
telah hampir tak berdaya itu pun samasekali bukan pengecut.
Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak
dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka
kini sedang melakukan tugas mereka, sehingga bagaimana pun
juga, mereka berjuang sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka
mereka pun pasti masih akan tetap bertempur.
Sehingga dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin
seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk meninggalkan
perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada mereka yang
masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet
itu meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting
pula beberapa langkah sehingga kemudian jatuh berguling di
tanah.
Alangkah marahnya para peronda itu. Namun tidak banyaklah
yang dapat mereka lakukan selain mencoba bertahan atas
serangan-serangan Karebet yang sedemikian lincahnya.
Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu demi
satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk bangun
kembali.Punggung-punggung mereka terasa menjadi nyeri, dan
dada mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun mereka berusaha,
namun tenaga mereka benar-benar terbatas jauh di bawah
kemampuan Mas Karebet itu.
Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir tidak
berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk berdiri, namun
mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak ditempatnya. Sekali-
kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir mereka
tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri.
Karebet itu berdiri bertolak pinggang. Ditatapnya wajah para
peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia tertawa
nyaring. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “He, katakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 115
sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati
peraturanmu?”
Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun
penuh ketegasan. “Ya.”
Tetapi kembali terdengar suara Karebet itu tertawa
berkepanjangan. Katanya pula, “Sekarang kau lihat, bahwa
peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah
tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku
akan tunduk kepada kalian.”
“Mungkin kau mampu mengalahkan kami” sahut salah seorang
peronda itu, “Tetapi kau tak akan mampu menghapus peraturan
yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali ini dapat
menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak
untuk selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan,
mentaati peraturan yang berlaku di Banyubiru atau pergi
meninggalkan Banyubiru.”
“Omong kosong,” sahut Karebet. “Kau tidak mau mengakui
kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada
persoalan yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini.
Hati kalian akan menjadi lapang. Dan kalian akan segera
melupakannya.”
“Tidak,” sahut peronda yang lain. “Kami tidak akan dapat
melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat meloloskan
diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak akan
terulang kembali.”
Karebet itu pun tertawa pula. “Kalian adalah laskar yang baik,”
katanya, “Selagi kalian berhadapan dengan maut pun kalian masih
tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena itu maka Banyubiru
menjadi kuat.”
“Jangan terlalu sombong.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 115
“Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau pun
berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak mempunyai tempat
tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak terikat pada
peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa saja
yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.”
“He,” para peronda itu terkejut seperti disengat labah-labah
biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun mereka
melangkah pula maju sambil berkata. “Apakah yang kau katakan
tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau
maksudkan?”
“Ya,” sahut Karebet. “Gadis yang hilang itu telah aku ambil.”
“Setan,” terdengar salah seorang peronda itu mengumpat.
“Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.”
“Apakah kau ingin bertempur lagi?”
“Kami belum benar-benar kau lumpuhkan,” sahut peronda itu.
Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan pedang itu
pun kini telah berada di dalam genggamannya. Kawan-kawannya
pun segera menarik senjata-senjata mereka pula. Berkata pula
peronda itu, “Kami tidak bisa mempergunakan senjata kami
apabila tidak terpaksa. Kini kami melihat, bahwa seandainya kami
melukai dan bahkan apabila terpaksa membunuhmu, bukan salah
kami. Kami tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang
damai seperti sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang
tidak bisa pula.”
Karebet mundur selangkah. Katanya, “Jangan menjadi gila
karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan senjata.
Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai
pada kemungkinan dilukai dengan pedang pula.”
“Kami berpijak pada kewajiban kami.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 115
“Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru
yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita hindarkan pertempuran
ini?”
“Hanya ada satu kemungkinan,” sahut peronda itu. “Serahkan
Endang Widuri.”
“Syaratmu terlalu berat.”
“Tidak ada syarat yang lain.”
“Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang pula.”
Sebelum para peronda itu menjawab, maka Karebet itu pun
telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang tidak
terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para
peronda itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata. “Kalian sudah tidak
dapat berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu
mengayunkan pedang?”
Para peronda itu tidak menjawab. Kembali mereka mendesak
maju. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka melihat tiba-
tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar pedangnya.
Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka
dengan getar kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka
melihat duabilah pedang dari kelima pedang itu telah terlempar
jatuh.
“Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet.
Mereka menjadi semakin marah. Dengan serta mereka ketiga
kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet tidak
melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata, “Kalian terlalu
payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun,
maka kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang
akan kalian lakukan kemudian?”
Para peronda itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat
dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi berlari-larian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 115
mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di antara
batu padas di lereng bukit Telamaya itu.
Akhirnya, para peronda itupun berhenti dengans endirinya.
Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang di tangannya,
namun mereka benar-benar menjadi bingung melawan seorang
anak muda yang aneh itu.
“He para peronda yang baik,” berkata Karebet itu kemudian.
“Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan menjadi pingsan
karenanya. Lebih baik kalian kembali ke rumah Daerah Tanah
Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya, bahwa Endang Widuri
yang hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal dari
daerah Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku
sembunyikan. Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik,
maka Baginda Sultan Trenggana akan berburu di hutan Prawata.
Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan kepada Baginda untuk
puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya Salaka tidak
merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah ia
datang dengan pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya
akan aku sambut dengan gembira. Sebenarnya aku adalah Lurah
Wira Tamtama yang terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk
mengamankan perbuatanku ini.”
Para peronda mendengar kata-kata itu dengan tubuh yang
gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan kecewa.
Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu
melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah
Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa,
apakah kekuatan itu sudah seharusnya dipergunakan untuk
melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian,
maka Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai
seorang Wira Tamtama?
Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-
apa. Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat
diatas sebuah batu padas sambil menengadahkan dadanya. “Inilah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 115
Karebet yang teguh timbul. He para peronda, sampaikanlah kata-
kataku kepada Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra
Birawa. Nah, selamat malam, aku tunggu anak muda itu di hutan
Prawata nanti pada saat purnama naik. Sebagai Kebo-Danu
Banyubiru yang perkasa.”
Bukan main marah para
peronda itu, sehingga salah
seorang dari padanya yang
tidak tahan lagi mendengar
kesombongan Karebet itu
dengan serta merta melontar-
kan pedangnya. Tetapi dengan
tawa yang menyakitkan hati,
pedang itu disentuh oleh Mas
Karebet dengan pedangnya
pula. Suara gemerincing di
lereng bukit itu, memberi-
tahukan bahwa pedang yang
dilontarkan itu terlempar jatuh
ke dalam lereng yang terjal.
“Lihatlah bulan yang
hampir bulat di langit.
Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda
bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.”
Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu, maka bayangan
anak muda yang berdiri di atas batu karang itu seakan-akan
melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu masih
berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak
menemukan lagi. Jejaknya pun tidak.
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda itu.
Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang hilang.
Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya.
Kini tiba-tiba mereka mendengar langsung, bahwa gadis itu telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 115
dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet. Dengan suara
parau peronda itu berkata, “Pantas. Kalau bukan anak muda itu,
maka sudah pasti Endang Widuri tidak akan berhasil
dikalahkannya. Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur
melampaui kita masing-masing. Bahkan kita berlima sekaligus.”
Yang lain-lain menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka
tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman. Tiba-tiba
mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka dengar
itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan
mereka. Karena itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan
kembali ke gardu mereka. Menceriterakan kepada kawan-kawan
mereka yang mendengarkan dengan penuh keheranan dan
kekaguman.
“Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng,” berkata peronda itu.
“Kenapa kalian tidak memberi tahukan kepada kami? Mungkin
kami akan dapat membantu menangkap orang itu, apabila kami
datang bersama-sama.”
“Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.”
Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan
dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para penjaga
di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan serta merta
mereka bertanya, “Ada apa digardumu?”
“Penting sekali,” jawab yang ditanya. “Kami menghadap Ki
Ageng.”
“Malam-malam begini? Tidak besok pagi?”
“Terlalu penting.”
“Soal apa?”
“Gadis yang hilang itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 115
“He,” penjaga itu terkejut. “Kau menemukannya.”
“Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng.”
“Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?”
“Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa
sekali.”
“Oh,” penjaga itu pun sadar, bahwa ia harus membangunkan
Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia pergi ke samping rumah
dan perlahan-lahan mengetuk dinding ditentang pembaringan Ki
Ageng.
“Siapa?” terdengar sapa dari dalam.
“Kami, para penjaga Ki Ageng.”
“Ada apa?”
“Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang hilang
itu.”
“He,” Ki Ageng Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat dari
pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu mendengar
pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya langkah tergesa-
gesa keluar dari dalam biliknya.
Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki
Ageng muncul di ambang pintu.
“Siapa yang membangunkan aku?”
Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga
dari sana ia menjawab, “Aku Ki Ageng.”
“Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang
gadis itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 115
Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima orang peronda
yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki Ageng Gajah
Sora pun segera menerima mereka.
“Penting sekali?” bertanya Ki Ageng.
“Ya, Ki Ageng,” jawab salah seorang dari mereka.
“Apakah kalian menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng.
“Ya,” jawab peronda itu.
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
berkatalah ia kepada penjaga rumahnya, “Bangunkan tamu-tamu
kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.”
Para penjaga itu pun segera membangunkan tamu-tamu Ki
Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok rumah
itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka.
Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi
suatu pertemuan yang lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng
Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas,
Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Kebo Kanigara beserta
beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk dengan dada berdebar-
debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara
parau sambil mengusap matanya yang masih agak kemerah-
merahan. “Cepat, katakan, apa yang kau lihat.”
Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar pula
setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang dikaguminya
itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang. Bagaimanakah
seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya
kata-kata Mas Karebet itu. “Suruhlah ia datang segelar sapapan.”
Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan mengembang.
Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah saktinya
dengan Mas Karebet.
“He. Kenapa kau malah tertidur,” bentak Arya Salaka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 115
Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak.
Aku tidak tertidur.”
“Katakanlah.”
Salah seorang dari peronda itu pun kemudian mulai dengan
ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan. Dan diketahui
kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah yang menculik
Endang Widuri.
“Hem,” geram Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat
menangkapnya.”
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang
itu?” desak Arya tidak sabar.
“Orang itu menyebut namanya”
“He,” bukan main terkejut Arya Salaka, dan bahkan semua
yang ada di pendapa itu “Orang itu berani menyebut namanya,”
suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada taranya.
Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa.
Bahkan ia menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya
kepada diri sendiri. “Siapakah nama orang itu?”
Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu.
Apakah nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka akan sia-
sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu nama sebenarnya
sekalipun, apakah orang-orang yang berada di pendapa ini telah
pernah mengenalnya?
Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi
jengkel, sehingga ia berteriak, “Siapa namanya he?”
Kembali peronda itu terkejut, dan dengan serta merta pula ia
mengucapkan nama itu, katanya, “Ia menyebut namanya sendiri
Karebet.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 115
“Karebet,” tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama itu
dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan
mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. “Karebet kau
bilang.”
Peronda itu mengangguk. “Ya”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi pendapa. Benar-
benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil Endang Widuri
adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah
mendengar nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa
pun. Tetapi Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak
berpaling ke arah Kebo Kanigara. Dan terdengar Mahesa Jenar
menggeram perlahan, “Karebet.”
“Paman,” tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak. “Paman Kebo
Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat curang itu
justru Karebet. Kenapa?”
Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju. Dengan sabarnya
ia berkata, “Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit. Marilah kita
berbicara dengan hati yang lapang.”
“Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo
Kanigara?”
“Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu Kebo
Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula. “Tetapi
ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.”
“Oh,” Arya Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa akan
pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan wajahnya. Endang
Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga dengan demikian,
maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah
daripada dirinya.
Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah
yang suram ia berkata, “Ya. Karebet adalah kemenakanku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 115
Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah
menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati mereka
yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.
Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka
gemetar, “Sekarang dimanakah Karebet itu?”
“Anak muda itu telah menghilang.”
“Hem,” Arya Salaka menggeram penuh kemarahan. “Apakah
kita akan dapat menemukannya?”
“Ya,” sahut peronda itu.
“He. Apakah yang kau katakan,” Arya Salaka menjadi
semakin gelisah. “Kau katakan bahwa ada kemungkinan untuk
menemukannya?”
“Ya,” sahut orang itu. “Bahkan orang itu mengharap
kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.”
“Gila,” teriak Arya. “Atau kaukah yang gila itu?”
“Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik,
Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan Prawata.”
“Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang
Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,”
“Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu,” sahut orang itu.
“Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.”
“Itu sudah kau katakan.”
“Ya, ya,” peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya maka
kata-katanya menjadi kurang teratur. “Diperburuan itu, maka
Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk
puteranda Pangeran Timur.”
“Kau berkata sebenarnya?” potong Arya tergagap.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 115
“Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya Arya
Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak merelakannya,
maka dipersilakan ia datang dengan pasukan segelar sapapan.
Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya
dengan senang hati.”
“Begitu katanya?” teriak Arya.
“Ya.”
Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil
mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak, “Dimana kau
temui Karebet itu?”
“Diperbatasan, di Sendang Muncul.”
Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari ke
belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun Mahesa
Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal tabiat anak itu,
segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil
kudanya. Karena itu maka keduanya hampir bersamaan
memanggilnya, “Arya. Arya Salaka.”
Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke
kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana
kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian
terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki
Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor
kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah
Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai
hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi
Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka
masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang
aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar-
benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan.
Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku
dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 115
bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di
halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah
tarian yang pedih.
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada
sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang
di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia
menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan
matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya,
namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga
semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya.
Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar
seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya yang dapat
menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau
apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada
dikepalanya hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet,
seorang yang pernah dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul
dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab.
“Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat demikian”
desah Arya Salaka didalam hatinya. “Tetapi, apapun yang pernah
terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun
bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang
Karang Tunggal tidak saja berkata terus terang dan
membicarakannya dengan orang tua-tua.”
Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya semakin
meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu
sampai di perbatasan arah Sendang Muncul.
Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang
sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak-
serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana-
sini.
Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya. Dengan
nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung hitam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 115
diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul-
gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak
mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah
pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas
dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati
yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu.
Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya
kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi yang dicarinya
tidak diketemukannya.
Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan
kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke atas batu karang
sambil berteriak keras-keras, “He Karebet. Jangan menunggu
Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita selesaikan
persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan
perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet....”
Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing
pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di
lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti.
Tak seorang pun yang menyahut.
Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia berteriak,
“Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan
diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai
jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan.
Karebet....”
Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik
angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk. Helai-helai
daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab oleh
embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan
angin.
Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara
telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu adalah
orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 115
Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu
karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung
pepohonan. Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam.
Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah Rawa Pening,
masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat.
“Arya,” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu.
Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga
mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya baik-baik,
melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara gurunya.
Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas batu
karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya
belum juga dapat ditenangkannya.
“Arya,” suara itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan
oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar berpengaruh
padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya di
dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas
punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.
“Arya,” kali ini ia mendengar suara ayahnya. “Turunlah.”
Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan
matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap di balik
pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia berkata
nyaring. “Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera
bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.”
“Sabarlah Arya,” desis Mahesa Jenar. “Turunlah, marilah kita
bicarakan soalmu ini.”
Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat
berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu karang itu
tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang
hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.
“Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa
Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 115
Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang
duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam malam
yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu.
Selain, tegang.
“Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.
Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang
tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.
“Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya.
Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia
menuju kekudanya.
“Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,”
berkata ayahnya mendesak.
Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan
segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah dan tanggapan
yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati yang
kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan
lesunya ia mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya.
Rumah yang seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari
tempat ini.
Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora.
Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan melarikannya.
Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang
semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam.
Tetapi dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga
kalinya.
Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia
tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia mempercepat
langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan
sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda
dibelakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 115
Mereka seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat
erat-erat di atas punggung kuda.
III
Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang pertama,
menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar telah
dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman. Dengan tergesa-
gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya.
“Akan kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”
“Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.
“Oh” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun
betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam kesibukan yang
semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan kembali
ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula. “Apakah ada
sesuatu keperluan yang mendesak?”
KI Ageng Lembu Sora lah yang kini memandang Mahesa Jenar
dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa yang akan
dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab juga,
“Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak
akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya
Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.”
“He,” Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar
petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan yang
berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar
karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa.
Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-
sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan
berkata, “Ki Ageng apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng
Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana pula?”
“Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil
mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan pula?
Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 115
lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan
Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa
waktu lampau. Apakah sekarang, aku harus membiarkan
kehormatan Arya Salaka diinjak-injak orang lain?”
“Hem,” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora
masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun dalam
persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu
untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini
Ki Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang
dahulu pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban
untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu maka
Mahesa Jenar itu pun berkata, “Baiklah aku mencoba menemui
kakang Gajah Sora”.
Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan
pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak
sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan
Karebet? Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya untuk
segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang yang paling
dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat
purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka
sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru.
Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah
Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya bersama-sama
dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah
membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau
belati panjang yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh.
Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi mereka,
maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk
bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah
gurunya yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat.
Tanpa disengaja ia menundukkan wajahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 115
“Kakang,” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora.
“Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya pendek.
“Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya
tentang keputusan Arya Salaka.”
Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?”
bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon-
pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Sekali-
kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang
bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula.
Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab.
Namun kemudian terdengar suaranya serak. “Ya. Apa boleh buat.”
Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa kerut-
kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sudahkah
kakang mempertimbangkannya masak-masak.”
Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya.
Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan. Apakah
gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?”
Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya.
Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan
jantungnya. “Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?”
Pertanyaan itu timbul pula didalam hatinya. Tetapi ketika
dipandanginya wajah anaknya yang merah padam, timbul pula
kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang dengan gigih
telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia
dibawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 115
Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa Jenar
itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka, katanya,
“Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira
dapat terjadi dengan keputusan itu?”
Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di
dalam hatinya memaksakan menjawab, “Tak ada pilihan lain
paman.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, “Apakah kau telah
mencobanya?”
Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, “Apa yang dapat
dicoba?”
“Arya,” berkata Mahesa Jenar. “Dalam persoalan ini masih
harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata
Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya
menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas
kehendak sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau
apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa.
Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan
masih ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.”
“Tidak paman,” jawab Arya tegas. Mahesa Jenar terkejut
mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian
kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus. “Sudah
jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk
Pangeran Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah
Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya
diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan
penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal
itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman,
seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan
merasa dihinakan.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 115
bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena
penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa
Karebet itu sengaja memancing kemarahan Arya Salaka?
Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya bahwa
hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar pun
dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian,
ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang
lalu. Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra,
hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka
menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada
saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang.
Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat
mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak ingin
kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti,
bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu
bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus
menyaksikan pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan
Demak. Beberapa tahun yang lampau ia berusaha mati-matian
untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang timbul
karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan
yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten,
meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal
itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan
ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting
adalah gairah bagi masa depannya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi
belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun kemudian
pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk
menyiapkan laskarnya.
Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk
merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang pernah
dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan
ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 115
tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada saat itu ia tidak dapat
berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran panji-panji Gula Kelapa
diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang melambangkan
kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan
persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan
anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu.
Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti
yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini
tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian.
Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk
menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk kembali ke
Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka
memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya,
mengambil Endang Widuri untuk puteranya.
Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng Gajah
Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan
niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah
Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana. Namun
Arya Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri
dengan segala akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-
olah Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya di
Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari tangan
golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan
kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian
dalam kemarahan Arya Salaka itu.
Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya
Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya
dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih
berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu.
Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya
setiap persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang
berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 115
sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya. Menemui
Kebo Kanigara seorang diri.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya
Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang
disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran
Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa
ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya
Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang
disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran
Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa
ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.
“Terima kasih kakang,” sahut Mahesa Jenar sambil duduk
dipembaringan Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu
yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan bercakap-cakap.
Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang paling
ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat
bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan
yang sama. Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber
kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh.
Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya.
Mereka berdua tidak segera menyadari apakah sebabnya dari
kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara
mereka yang kurang sewajarnya.
Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka Mahesa
Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya, “Kakang.
Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang
akan membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan
Karebet?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 115
Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam
di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya jengkerik
seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan dapat
dijumpainya.
Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku
akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka,
Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Semua
berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang
tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang
Kebo Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan
segera datang dan membantu Arya Salaka pula.”
Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan
punggungnya menjadi basah oleh keringat.
“Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia
mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah
Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa
Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat
demikian sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapinya. Namun menilik kata-kata Karebet, maka Baginda
pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan mungkin
kesatuan-kesatuan yang lain”.
Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin
banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar Mahesa
Jenar berkata, “Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua
pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap
menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan
tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan
menjadi korban. Tetapi kalau Baginda tidak mempersiapkan
dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa. Baginda akan
terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 115
Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang
baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”
“Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya
perlahan-lahan dan parau. “Aku sudah menyangka bahwa hal-hal
yang demikian dapat terjadi.”
“Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat
membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah
sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya
bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk
mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi
tegang.
Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah Mahesa
Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata. “Bagaimanakah
sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan
itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara “aku sedang bersedih
karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak dapat berpikir,
jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh untuk menemukannya.
Apabila kemudian kita ketahui bahwa anak itu dibawa oleh Karebet
dan akan dibawanya ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada
pilihan lain dari pada datang merebutnya.”
“Dengan kekerasan?”
“Kalau itu kemungkinan satu-satunya.”
“Kakang,” berkata Mahesa Jenar ber-sungguh-sungguh,
“Kakang masih mempunyai kesempatan untuk menghindarkan
pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo Kanigara putera
Pangeran Handayaningrat. Bukankah kakang Kebo Kanigara dapat
menghadap Baginda dan menjelaskan persoalannya kepada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 115
Baginda? Dan bukankah kakang berhak untuk mengambil puteri
kakang itu sendiri?”
“Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah seorang yang keras
hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda, maka tak
seorang pun akan dapat merubahnya.”
“Tetapi Karebet itu adalah kemanakan kakang. Karebet
sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah
kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan Widuri itu
kepada kakang?”
“Karebet memang takut kepadaku, Mahesa Jenar. Namun
ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu kekuatan yanq
akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia berani berbuat
sedemikian atas Widuri itu.”
“Tetapi, bukankah Karebet itu dapat berbuat lain dari yang
dilakukannya itu? Mungkin ia dapat datang kepada kakang Kebo
Kanigara dan minta kepada kakang untuk menghadap Baginda,
sedang Baginda akan dapat langsung mengambil Widuri dari
kakang Kebo Kanigara. Dan apakah keuntungan Karebet dengan
menghinakan Arya Salaka dan menantangnya untuk mengambil
Widuri di hutan Prawata nanti pada saat Purnama naik?”
Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan kembali Mahesa Jenar
berkata, “Apakah karena Karebet ingin melihat pertumpahan darah
di antara sesama rakyat Demak atau barangkali Karebet ingin
menunjukkan kejantanannya di hadapan Sultan Trenggana? Atau
apa?”
“Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar.”
“Kakang, baiklah aku berterus terang. Apakah kakang cukup
berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak yang kakang
kasihi selama ini? Apakah kakang cukup menunjukkan usaha untuk
menemukannya sampai saat ini ? Kakang, sekali lagi, baiklah aku
berterus terang, supaya tidak terjadi salah tangkap dari segala
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 115
perbuatan kakang itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan
Widuri dari kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya
Salaka dengan alat Karebet itu?”
“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara
tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya menundukkan
wajahnya. Diluar malam menjadi semakin kelam. Dan malam yang
kelam itu benar-benar mendebarkan.
Di antara gemerisik angin malam, kembali terdengar suara
Mahesa Jenar yang berat “Kakang. Maafkanlah. aku kakang, tetapi
sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaan-pertanyaan itu di
hatiku. Lebih daripada yang telah aku katakan, kakang.
Sebenarnya aku tidak dapat mengerti, kenapa kakang masih saja
bersikap acuh tak acuh atas hilangnya Widuri.”
Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah yang tiba-tiba
menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan terdengar ia
bergumam, “Mahesa Jenar, apakah kau berprasanqka buruk
terhadapku?”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Bahkan terjadilah
beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut kata-kata Kebo
Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi sedemikian
bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi berpikir wajar.
Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat menjadi sedemikian
kehilangan segala macam pertimbangan? Betapa ia menyayangi
anaknya itu, namun sudah pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap
dalam keseimbangan. Ia pasti akan berusaha mencari anaknya.
lebih dari yang telah dilakukannya sekarang. Tidaklah mungkin
kalau Kebo Kanigara hanya akan sekedar menunggu bantuan Arya
Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan yang
akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena
anak puterinya yang hilang dibawa oleh Karebet, “Aneh” gumam
Mahesa Jenar di dalam dirinya. Sehingga karena itulah maka ia
menjawab pertanyaan Kebo Kanigara “Kakang, sebenarnyalah aku
menjadi sangat heran. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 115
kakang lakukan. Namun dalam tangkapan perasaanku, kakang
telah berbuat diluar kewajaran.”
“Hem,” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “Apakah
yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?”
“Menyelesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa
memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa memungkinkan
kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”
“Apakah aku mampu berbuat demikian?”
“Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Kakang tentu mampu.
Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan
memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-
benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat
menjelaskan persoalannya.”
“Sulit bagiku Mahesa Jenar.”
“Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula. “Maafkan
aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah
sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka?
Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca
antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak
sampai hati memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?”
“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan kau katakan
itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir
sebaik-baiknya.”
“Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbul-kan
berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang sengaja
memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk
menyelesaikan persoalan ini.”
“Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 115
“Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku
dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang Kebo
Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan
Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga
kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat,
apalagi dengan terusirnya Karebet dari istana Demak?”
Wajah Kebo Kanigara itu
tiba-tiba menjadi suram.
Demikian suramnya sehingga
Mahesa Jenar terhenti dengan
sendirinya. Ia mengharap
Kebo Kanigara membela diri
dan menyatakan alasan-alasan
yang sebenarnya. Tetapi Kebo
Kanigara itu berkata, “Sampai
hati kau menuduh aku
demikian Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar pun kini
terdiam sesaat. Hatinya
menjadi sedemikian risaunya
sehingga terpaksa ia mengeluh
pula, “Alangkah rumitnya
persoalan kali ini. Kakang, jadi
kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat
penyelesaian menurut caranya?”
Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa benar
pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya. Hati
yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini
bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat.
Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab, “Untuk
sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang
lain.”
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Contenu connexe

Similaire à 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 

Similaire à 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja (20)

12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
 
Suling Naga_Kho Ping Hoo
Suling Naga_Kho Ping HooSuling Naga_Kho Ping Hoo
Suling Naga_Kho Ping Hoo
 
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
 

Dernier

Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
ssupi412
 
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Jual Obat Aborsi Apotik Jual Obat Cytotec Di Sorong
 

Dernier (13)

Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang TerbaruKisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
 
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
 
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAWIDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
 
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto CuanSakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
 
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
 
Lim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala Terpercaya
Lim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala TerpercayaLim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala Terpercaya
Lim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala Terpercaya
 
tugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdftugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdf
 
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
 
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin TerpercayaPapilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
 
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
 
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
 
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot BesarBAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
 
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
 

29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 115
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 115 I erita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan dapat menikmati hari-hari seterusnya, apabila disadarinya betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di Banyubiru. Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan yang seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang berprihatin. Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunungkidul merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar. Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah mereka sangka-sangka akan terjadi. Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran, “Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri benar-benar hilang?” “Ya. Semua orang menganggap demikian,” sahut Bantaran. “Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi. “Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki- laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya.” “Bukan main,” desis Mahesa Jenar. “Widuri adalah seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.” B
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 115 Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah juga didengarnya di Banyubiru. Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia sedang berpikir dan berduka karena hilangnya Widuri ataukah ia sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu- tunggunya itu akan mengalami gangguan pula. Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran kemudian menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya. Arya Salaka adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat anak itu ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya. Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak yang kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya memang menuntut demikian. Kini, setelah pekerjaan itu selesai, apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah persoalan yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa depan. Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan, maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa depannya pula.
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 115 Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu beristirahat bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu, dan ia mengharap mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui dan mengertinya pula. Namun karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya yang suram. Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada Mahesa Jenar. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya Salaka menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya? Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata pula, “Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang dibawa oleh Bantaran?” Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara Wilis samasekali tidak mengangkat wajahnya. Namun meskipun demikian gadis itu menjawab, “Kasihan anak itu.” “Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya menganggukkan kepalanya. Dan ia tidak lagi berkata apa-apa. Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang dikehendaki, katanya, “Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus diketemukan.” “Ya,” sahut Rara Wilis. Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat dilupakan. Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya. Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanakannya yang jujur kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 115 dengan anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang dalam di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang sangat penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang diharapkannya akan segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu, terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan segera datang. Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus dikatakannya. Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran perasaan tentang hilangnya Endang Widuri. Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata, “Wilis, apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari anak yang hilang itu?” Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan lagi untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya, namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu diucapkan. Dan sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh daripadanya. Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang dinantikan itu telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba tertutup kembali. Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa. Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia mengenal laki-laki itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada tanggungjawab atas kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 115 telah menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan samasekali bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami ketakutan dan kecemasan selama ia berada di tangan orang yang tidak dikenal itu. Lalu siapa? Orang yang menculiknya itu? Orang itu samasekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti. Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar. Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis itu. Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu, namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak dapat disembunyikan. “Rara Wilis,” desis Mahesa Jenar kemudian, “Aku harap kau dapat mengerti.” Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya, “Apakah aku tidak dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi Kakang?” Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu. Karena itu maka segera ia berkata, “Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau menyetujuinya?” Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya. Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab. “Kakang, aku samasekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku. Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang.
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 115 Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku sendiri.” Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam mata yang buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang tidak terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti sebuah lagu yang rawan. Sesaat mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak. Perlahan-lahan ia berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam sikapnya. Tetapi ia tidak menangis. Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata, “Wilis. Aku dapat mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang- guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang samasekali tidak bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali terakhir.” “Jangan berjanji kakang,” potong Rara Wilis. “Aku tidak ingin mendengar janji apa pun darimu. Marilah kita jalani jalan kita dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu- satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing, janji yang tersimpan di dalam hati itu.” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah orang yang mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia tidak pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 115 menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu dipenuhinya. Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini ia telah mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji pribadi. Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan yang sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya. Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri. Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi ia mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya. Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi ia kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup. Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan. Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan Rara Wilis sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat keturunannya tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada cucunya dan kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta, “Aku turut dengan angger ke Banyubiru.” Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula dengan wajah yang suram. “Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha mencari, maka semakin cepatlah cucu Widuri itu akan diketemukan. Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 115 Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih karena keadaan. Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak saja hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat penyelesaian. Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. “Aku juga ikut kakang.” Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu maka dengan serta merta ia berkata, “Jangan. Jangan Wilis.” “Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di Gunungkidul ini.” Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap persoalan kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun menundukkan wajahnya. Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu pun menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah mereka ketika terdengar suara di belakang, “Kakang Demang, kuda Kakang telah disiapkan.” “Baik,” sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda. “Aku akan pergi ke banjar sebentar.” Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah dinding dan hilang ke pendapa. Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu, mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda. Mereka telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga yang bahagia. Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia melihat kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin kesepian. “Apakah aku menjadi cemburu.” katanya di dalam hati. “atau iri hati?”
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 115 Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. “Kakang, aku akan ikut ke Banyubiru.” Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawan- lawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun- penyamun, namun ia pernah juga merasakan duka derita hidup kekeluargaan. Orang tua itu pernah melihat anaknya menjadi korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang perempuan yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh suaminya yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar, seorang laki-laki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri, karena ia merasa kehilangan isterinya. Meskipun kemudian ternyata bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo. Karena itu, orang tua itu mengerti perasaan yang tersimpan di dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia menjawab, “Angger Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah Wilis ikut serta ke Banyubiru.” “Hem,” desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. “Apakah arti perjalanan ke Gunungkidul ini?” Pertanyaan itu pun terdengar pula di dalam hati Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai jawabannya. “Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan kepentingan pribadinya untuk panggilan rasa keadilannya yang tersentuh. Penculikan atas Endang Widuri adalah kejahatan. Dan Mahesa Jenar ingin melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam batas-batas kemampuan yang ada padanya.” Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa menerima permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap kedatangannya ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan yang menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa yang dinanti- nantikannya bersama Rara Wilis.
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 115 Demikianlah maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah sebuah rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul. Meskipun Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan itu menjadi kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu pergi. Beberapa orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di Banyubiru. Bahkan Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu dahulu tidak dibawanya sekali sehingga dengan demikian, maka tidak ada kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi beberapa orang yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang gadis di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai pertanyaan di dalam hati mereka. Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan Alas ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar berkata, “Ki Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu nanti yang menaikimu.” Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu tertawa. “Mudah- mudahan,” jawabnya. Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di daerah yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah mimpi saja. Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Bahwa suatu ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti akan lebih indah lagi. Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka melihat Demang Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri disamping Rati isterinya. Mereka melambaikan tangan mereka sambil tersenyum. Tetapi senyum itu seakan-akan samasekali tidak ditujukan kepada mereka. Senyum itu adalah senyum kebahagiaan mereka sendiri.
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 115 Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu tampak kepucat- pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena itu, maka segera ia masuk kembali ke halaman. Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa, masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, “Apakah Nyai Demang itu sakit?” Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng. “Ia tidak sakit,” jawabnya. “Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada dipembaringannya.” “Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.” “Oh,” Mahesa Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja ia telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya wajahnya, memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah- merahan karena tanah yang liat. Dikejauhan dilihatnya bukit-bukit kapur yang kering. Namun di arah yang lain tampaklah sawah- sawah yang menghijau segar. Gunungkidul adalah suatu daerah yang bercampur baur. Ketika kemudian mereka telah melintasi perbatasan induk Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki Sentanu kini bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di atas punggung kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan katanya perlahan-lahan, “Marilah, mumpung masih pagi.” Bantaran yang berkuda dipaling depan, mempercepat kudanya pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di atas tanah yang kering. Debu yang putih mengepul tinggi di udara, menakbiri daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian dalamnya.
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 115 Kini mereka menghadapi jalan yang terbentang memanjang. Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira panjangnya, membelit lereng-lereng bukit, menghujam lurah-lurah dan mendaki tebing. Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk yang menjorok dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan dari dalam tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan- jalan yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka. Pada saat mereka datang dan pada saat mereka meninggalkan daerah yang baru sebentar saja disinggahi sepanjang hidupnya. Betapa pun panjang jalan yang harus ditempuh itu, namun setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti sebuah benang yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu akhirnya akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya jurang dan ngarai, ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat, padang- padang rumput dan dilampauinya jarak yang memisahkan Gunungkidul dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek. Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu, setelah mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka kemudian melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakan- akan terbentang di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di hadapan mereka. Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang sudah dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalan-jalan kota Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya. Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak tentang kemampuan diri sendiri. Namun dengan demikian, mereka dapat menikmati hasil usaha mereka itu. Dan mereka akan dapat mewariskan hasil jerih payahnya kepada anak cucu mereka. Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya. Baru beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun kedatangannya di Banyubiru kali ini seolah-olah benar-benar seperti orang baru. Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru yang ditinggalkannya
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 115 beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia. Banyubiru bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang tidak wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit, tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi daerah di lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir yang menyimpan berbagai persoalan. Ketika Mahesa Jenar melampaui daerah-daerah perbatasan kota, dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga. Gardu- gardu perondan kini telah dipenuhi lagi oleh orang-orang yang sedang bertugas seperti dalam saat-saat Banyubiru sedang berperang. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi kemungkinan orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru atau sengaja membawa Widuri keluar untuk disembunyikan. Namun penjaga-penjaga itu seakan-akan samasekali tidak berarti. Widuri masih belum diketemukan, seperti lenyap ditelan lereng- lereng bukit. Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, “Apakah kau sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?” Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Masih belum ada tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.” Bantaran tidak berkata lagi. Mereka berpacu semakin kencang, seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada itu Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran. “Bagaimana?” “Gelap,” sahut Bantaran. Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia dapat berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir kegelapan itu, sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah yang dapat dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis di antara ratusan orang Banyubiru sendiri, termasuk orang-orang seperti Ki Ageng Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng Sora Dipayana pula, Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 115 bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal semua ruang di dalam rumah mereka sendiri, seperti mereka mengenal halaman mereka sendiri. Mereka mengenal setiap penduduk Banyubiru seperti mereka mengenal istri dan anak-anak mereka sendiri. Dan ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan Endang Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti. Tetapi betapa ia menjadi bimbang akan usahanya, namun ia tidak akan dapat berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat, apakah berhasil apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat dipecahkannya. Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi sebelum ia berbuat sesuatu. Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan yang menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan dirabanya. Rombongan itu pun meluncur di antara sawah-sawah dan ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit Telamaya itu. Namun terasa pula, seakan-akan batang- batang padi yang tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau di ladang-ladang memandangi rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan- akan mereka samasekali membisu atas kedatangan itu. Bahkan seakan-akan batang-batang padi dan palawija itu telah menyembunyikan rahasia yang tak boleh diketahui oleh Mahesa Jenar dan rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang hilang itu telah disembunyikan pula disana. Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang petani memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya satu-satu di antara mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula untuk menemukan gadis yang hilang itu.” Tetapi kembali mulut-mulut mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan mereka.
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 115 Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi tebing bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng Gajah Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu bertanya dengan serta merta. “Bantaran telah kembali?” “Ya,” jawab orang itu. “Sendiri?” “Tidak. Beberapa orang itu bersamanya.” “Paman Mahesa Jenar” desis Arya Salaka. Karena itu segera ia menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu. Tiba-tiba timbullah kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang selama ini hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke punggung kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu sudah sedemikian dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka melihat rombongan itu masuk ke halaman. Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya segera berloncatan turun. Arya Salaka yang melihat Mahesa Jenar, tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia berlari kepadanya dan seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya itu pun segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis. “Selamat datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya paman tidak datang ke Banyubiru.” Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata, “Aku ikut prihatin Arya.” “Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan datang.” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa disambut langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan bahkan Ki Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di antara mereka berdiri dengan pandangan yang kosong Kebo Kanigara.
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 115 Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan penuh gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang menentukan jalan perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka kepada Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh harapan memenuhi pendapa itu. Ucapan selamat datang yang tulus dan sapa atas keselamatannya dengan penuh kesungguhan, seakan-akan mereka telah bertahun- tahun berpisah. Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya. Seakan-akan Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat itu dirinya telah menjadi pusat perhatian dan bahkan seakan-akan menjadi tempat untuk mengadukan nasib mereka. Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya, ketika ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu menundukkan wajahnya sembil bermain-main dengan ujung kainnya. Dalam kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan Mahesa Jenar itu terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara Wilis. Sebagai seorang gadis ia merasa, bahwa kali ini ia samasekali tidak diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang ingat bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain beberapa sapa dan subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian perhatian mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang telah menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang pun lagi yang menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke Banyubiru. Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu kepadanya. Mahesa Jenar pun tidak lagi ingat akan kehadirannya. Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya mengatasi gelora di dalam hatinya itu. “Ach, aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Di sini, Banyubiru kini, sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup untuk melupakan
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 115 persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau? Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?” Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis berhasil mengatasi kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia samasekali tidak dapat turut bercakap-cakap dengan orang-orang lain seperti masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun seakan-akan tak ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun hanya untuk berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi mengeluh, bahwa percakapan mereka hanya semata-mata berkisar kepada persoalan Widuri yang hilang itu. Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara Wilis. Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, “Ki Ageng, apakah Nyai ada di rumah.” “Oh, ada. Ada,” sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak segera mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga Mahesa Jenar itu pun berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, ternyata Nyai Ageng ada pula di belakang. Barangkali kau akan dapat membantunya.” “Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja di sini.” Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa Jenar masih juga mengingat dirinya. Karena itu segera ia menyahut, “Baiklah kakang. Lebih baik aku ke belakang.” Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan dirinya dari kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya Widuri, meskipun ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap gadis yang nakal itu. “Gadis itu harus diketemukan,” desisnya seorang diri.
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 115 II Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak bahan yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya Salaka berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di dengarnya pula dari mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana seorang laki-laki telah mencukungnya menghilang ke dalam semak-semak. Persoalan itu menjadi semakin rumit di dalam hati Mahesa Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan nasib Endang Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun dapat mengerti pula, kenapa demikian. Tetapi yang mengherankan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha sungguh- sungguh untuk mencari anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa hari Endang Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo Kanigara itu masih saja berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang malam hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah berada di biliknya pula. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat menanyakannya langsung kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang pertanyaan itu sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha untuk menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya. Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar. Ketika hampir semua orang berputus asa, maka terjadilah suatu peristiwa yang membakar kemarahan rakyat Banyubiru. Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang berkepanjangan. Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru, maka tiba- tiba salah sebuah gardu peronda pada malam hari melihat sesosok tubuh yang menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika orang itu disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu cepat-cepat
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 115 berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan membiarkannya pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah orang itu dan apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar tidak mau mendekat, bahkan ketika beberapa orang berusaha mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari. Dengan sigapnya para peronda itu mengejarnya. Beberapa orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga orang yang mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat. “Siapakah kau?” desak penjaga itu. Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orang-orang yang berdiri mengelilinginya. Lima orang. “Siapa?” desak penjaga itu. Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya, “Apakah kepentinganmu dengan namaku?” Para penjaga itu benar-benar keheranan sehingga sesaat mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang diantaranya bertanya pula. “Ki Sanak. Kami adalah para peronda dari Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk mengetahui, setiap orang yang berada didalam wilayah perondaan kami. Karena itu, maka katakanlah siapakah Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak.” Kembali para penjaga itu terkejut. Orang yang tak mereka kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Baiklah kalau kau ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.” Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing bagi mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula. “Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di malam hari begini?” “Tidak apa-apa,” jawab orang yang ternyata bernama Karebet itu.
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 115 “Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?” “Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?” Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Sehingga kemudian salah seorang membentak, “Jangan mempersulit pekerjaan kami. Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau berkunjung ke salah seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau kunjungi itu.” Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak pinggang dan berkata lantang, “Jangan ganggu aku. Biarlah aku berbuat sesuka hatiku.” “Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini ada peraturan-peraturan yang harus ditaati.” “Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak.” “Jangan berkeras kepala, Karebet,” bentak seorang penjaga yang kehilangan kesabaran. “Kau mencoba memancing kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.” “Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.” “Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami. Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan itu.” “Tidak ada peraturan yang dapat mengikat aku,” sahut Karebet lantang. “Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan yang tak berarti. Aturan bagiku adalah keduabelah tangan dan keduabelah kakiku, pedang dilambungku dan taruhannya adalah nyawaku.” Para penjaga itu benar-benar menjadi heran. Apakah orang itu orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar berbahaya bagi mereka, sehingga karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 115 Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula, “He, apakah yang akan kalian lakukan?” “Kami hanya sekadar melakukan kewajiban kami, Ki Sanak harus menyebutkan nama yang sebenarnya, keperluan yang sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya. Kalau tidak, kami terpaksa menangkapmu dan membawa kerumah Kepala Daerah Tanah Perdikan ini.” Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, “Apakah kalian berkata sebenarnya?” “Tentu.” “Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan kakiku serta pedang dilambungku.” Para penjaga itu serentak bergerak maju. Tetapi Karebetpun sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai dengan sebuah serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka. Tangannya bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima penjaga itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa langkah dan terbanting jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan dan berusaha dengan tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa punggungnya menjadi sakit, sehingga karena itu, maka tenaganya sudah jauh berkurang. Keempat kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata mereka berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh dan mengagumkan. Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat banyak. Mas Karebet itu mampu bergerak secepat burung sikatan, dan menyambar-nyambar dengan garangnya, seperti burung rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan yang tiada taranya.
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 115 Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan seorang lagi yang telah hampir tak berdaya itu pun samasekali bukan pengecut. Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka kini sedang melakukan tugas mereka, sehingga bagaimana pun juga, mereka berjuang sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka mereka pun pasti masih akan tetap bertempur. Sehingga dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk meninggalkan perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada mereka yang masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet itu meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting pula beberapa langkah sehingga kemudian jatuh berguling di tanah. Alangkah marahnya para peronda itu. Namun tidak banyaklah yang dapat mereka lakukan selain mencoba bertahan atas serangan-serangan Karebet yang sedemikian lincahnya. Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu demi satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk bangun kembali.Punggung-punggung mereka terasa menjadi nyeri, dan dada mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun mereka berusaha, namun tenaga mereka benar-benar terbatas jauh di bawah kemampuan Mas Karebet itu. Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir tidak berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk berdiri, namun mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak ditempatnya. Sekali- kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir mereka tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri. Karebet itu berdiri bertolak pinggang. Ditatapnya wajah para peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia tertawa nyaring. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “He, katakan
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 115 sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati peraturanmu?” Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun penuh ketegasan. “Ya.” Tetapi kembali terdengar suara Karebet itu tertawa berkepanjangan. Katanya pula, “Sekarang kau lihat, bahwa peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku akan tunduk kepada kalian.” “Mungkin kau mampu mengalahkan kami” sahut salah seorang peronda itu, “Tetapi kau tak akan mampu menghapus peraturan yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali ini dapat menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak untuk selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan, mentaati peraturan yang berlaku di Banyubiru atau pergi meninggalkan Banyubiru.” “Omong kosong,” sahut Karebet. “Kau tidak mau mengakui kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada persoalan yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini. Hati kalian akan menjadi lapang. Dan kalian akan segera melupakannya.” “Tidak,” sahut peronda yang lain. “Kami tidak akan dapat melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat meloloskan diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak akan terulang kembali.” Karebet itu pun tertawa pula. “Kalian adalah laskar yang baik,” katanya, “Selagi kalian berhadapan dengan maut pun kalian masih tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena itu maka Banyubiru menjadi kuat.” “Jangan terlalu sombong.”
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 115 “Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau pun berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak mempunyai tempat tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak terikat pada peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa saja yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.” “He,” para peronda itu terkejut seperti disengat labah-labah biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun mereka melangkah pula maju sambil berkata. “Apakah yang kau katakan tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau maksudkan?” “Ya,” sahut Karebet. “Gadis yang hilang itu telah aku ambil.” “Setan,” terdengar salah seorang peronda itu mengumpat. “Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.” “Apakah kau ingin bertempur lagi?” “Kami belum benar-benar kau lumpuhkan,” sahut peronda itu. Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan pedang itu pun kini telah berada di dalam genggamannya. Kawan-kawannya pun segera menarik senjata-senjata mereka pula. Berkata pula peronda itu, “Kami tidak bisa mempergunakan senjata kami apabila tidak terpaksa. Kini kami melihat, bahwa seandainya kami melukai dan bahkan apabila terpaksa membunuhmu, bukan salah kami. Kami tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang damai seperti sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang tidak bisa pula.” Karebet mundur selangkah. Katanya, “Jangan menjadi gila karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan senjata. Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai pada kemungkinan dilukai dengan pedang pula.” “Kami berpijak pada kewajiban kami.”
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 115 “Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita hindarkan pertempuran ini?” “Hanya ada satu kemungkinan,” sahut peronda itu. “Serahkan Endang Widuri.” “Syaratmu terlalu berat.” “Tidak ada syarat yang lain.” “Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang pula.” Sebelum para peronda itu menjawab, maka Karebet itu pun telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang tidak terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para peronda itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata. “Kalian sudah tidak dapat berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu mengayunkan pedang?” Para peronda itu tidak menjawab. Kembali mereka mendesak maju. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka melihat tiba- tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka dengan getar kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka melihat duabilah pedang dari kelima pedang itu telah terlempar jatuh. “Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet. Mereka menjadi semakin marah. Dengan serta mereka ketiga kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet tidak melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata, “Kalian terlalu payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun, maka kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang akan kalian lakukan kemudian?” Para peronda itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi berlari-larian
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 115 mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di antara batu padas di lereng bukit Telamaya itu. Akhirnya, para peronda itupun berhenti dengans endirinya. Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang di tangannya, namun mereka benar-benar menjadi bingung melawan seorang anak muda yang aneh itu. “He para peronda yang baik,” berkata Karebet itu kemudian. “Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan menjadi pingsan karenanya. Lebih baik kalian kembali ke rumah Daerah Tanah Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya, bahwa Endang Widuri yang hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal dari daerah Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku sembunyikan. Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik, maka Baginda Sultan Trenggana akan berburu di hutan Prawata. Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan kepada Baginda untuk puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya Salaka tidak merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah ia datang dengan pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya akan aku sambut dengan gembira. Sebenarnya aku adalah Lurah Wira Tamtama yang terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk mengamankan perbuatanku ini.” Para peronda mendengar kata-kata itu dengan tubuh yang gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan kecewa. Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa, apakah kekuatan itu sudah seharusnya dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian, maka Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Wira Tamtama? Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa- apa. Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat diatas sebuah batu padas sambil menengadahkan dadanya. “Inilah
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 115 Karebet yang teguh timbul. He para peronda, sampaikanlah kata- kataku kepada Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra Birawa. Nah, selamat malam, aku tunggu anak muda itu di hutan Prawata nanti pada saat purnama naik. Sebagai Kebo-Danu Banyubiru yang perkasa.” Bukan main marah para peronda itu, sehingga salah seorang dari padanya yang tidak tahan lagi mendengar kesombongan Karebet itu dengan serta merta melontar- kan pedangnya. Tetapi dengan tawa yang menyakitkan hati, pedang itu disentuh oleh Mas Karebet dengan pedangnya pula. Suara gemerincing di lereng bukit itu, memberi- tahukan bahwa pedang yang dilontarkan itu terlempar jatuh ke dalam lereng yang terjal. “Lihatlah bulan yang hampir bulat di langit. Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.” Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu, maka bayangan anak muda yang berdiri di atas batu karang itu seakan-akan melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu masih berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak menemukan lagi. Jejaknya pun tidak. Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda itu. Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang hilang. Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya. Kini tiba-tiba mereka mendengar langsung, bahwa gadis itu telah
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 115 dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet. Dengan suara parau peronda itu berkata, “Pantas. Kalau bukan anak muda itu, maka sudah pasti Endang Widuri tidak akan berhasil dikalahkannya. Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur melampaui kita masing-masing. Bahkan kita berlima sekaligus.” Yang lain-lain menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman. Tiba-tiba mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka dengar itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan mereka. Karena itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan kembali ke gardu mereka. Menceriterakan kepada kawan-kawan mereka yang mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman. “Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng,” berkata peronda itu. “Kenapa kalian tidak memberi tahukan kepada kami? Mungkin kami akan dapat membantu menangkap orang itu, apabila kami datang bersama-sama.” “Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.” Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para penjaga di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan serta merta mereka bertanya, “Ada apa digardumu?” “Penting sekali,” jawab yang ditanya. “Kami menghadap Ki Ageng.” “Malam-malam begini? Tidak besok pagi?” “Terlalu penting.” “Soal apa?” “Gadis yang hilang itu.”
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 115 “He,” penjaga itu terkejut. “Kau menemukannya.” “Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng.” “Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?” “Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa sekali.” “Oh,” penjaga itu pun sadar, bahwa ia harus membangunkan Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia pergi ke samping rumah dan perlahan-lahan mengetuk dinding ditentang pembaringan Ki Ageng. “Siapa?” terdengar sapa dari dalam. “Kami, para penjaga Ki Ageng.” “Ada apa?” “Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang hilang itu.” “He,” Ki Ageng Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat dari pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu mendengar pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya langkah tergesa- gesa keluar dari dalam biliknya. Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki Ageng muncul di ambang pintu. “Siapa yang membangunkan aku?” Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga dari sana ia menjawab, “Aku Ki Ageng.” “Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang gadis itu.”
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 115 Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima orang peronda yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki Ageng Gajah Sora pun segera menerima mereka. “Penting sekali?” bertanya Ki Ageng. “Ya, Ki Ageng,” jawab salah seorang dari mereka. “Apakah kalian menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng. “Ya,” jawab peronda itu. Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Kemudian berkatalah ia kepada penjaga rumahnya, “Bangunkan tamu-tamu kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.” Para penjaga itu pun segera membangunkan tamu-tamu Ki Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok rumah itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka. Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi suatu pertemuan yang lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Kebo Kanigara beserta beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk dengan dada berdebar- debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara parau sambil mengusap matanya yang masih agak kemerah- merahan. “Cepat, katakan, apa yang kau lihat.” Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar pula setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang dikaguminya itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang. Bagaimanakah seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya kata-kata Mas Karebet itu. “Suruhlah ia datang segelar sapapan.” Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan mengembang. Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah saktinya dengan Mas Karebet. “He. Kenapa kau malah tertidur,” bentak Arya Salaka.
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 115 Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak. Aku tidak tertidur.” “Katakanlah.” Salah seorang dari peronda itu pun kemudian mulai dengan ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan. Dan diketahui kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah yang menculik Endang Widuri. “Hem,” geram Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat menangkapnya.” “Tidak,” jawabnya. “Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang itu?” desak Arya tidak sabar. “Orang itu menyebut namanya” “He,” bukan main terkejut Arya Salaka, dan bahkan semua yang ada di pendapa itu “Orang itu berani menyebut namanya,” suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada taranya. Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa. Bahkan ia menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya kepada diri sendiri. “Siapakah nama orang itu?” Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka akan sia- sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu nama sebenarnya sekalipun, apakah orang-orang yang berada di pendapa ini telah pernah mengenalnya? Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi jengkel, sehingga ia berteriak, “Siapa namanya he?” Kembali peronda itu terkejut, dan dengan serta merta pula ia mengucapkan nama itu, katanya, “Ia menyebut namanya sendiri Karebet.”
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 115 “Karebet,” tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama itu dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. “Karebet kau bilang.” Peronda itu mengangguk. “Ya” Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi pendapa. Benar- benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil Endang Widuri adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah mendengar nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa pun. Tetapi Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak berpaling ke arah Kebo Kanigara. Dan terdengar Mahesa Jenar menggeram perlahan, “Karebet.” “Paman,” tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak. “Paman Kebo Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat curang itu justru Karebet. Kenapa?” Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju. Dengan sabarnya ia berkata, “Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit. Marilah kita berbicara dengan hati yang lapang.” “Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo Kanigara?” “Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu Kebo Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula. “Tetapi ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.” “Oh,” Arya Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa akan pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan wajahnya. Endang Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga dengan demikian, maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah daripada dirinya. Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah yang suram ia berkata, “Ya. Karebet adalah kemenakanku.”
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 115 Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati mereka yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini. Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka gemetar, “Sekarang dimanakah Karebet itu?” “Anak muda itu telah menghilang.” “Hem,” Arya Salaka menggeram penuh kemarahan. “Apakah kita akan dapat menemukannya?” “Ya,” sahut peronda itu. “He. Apakah yang kau katakan,” Arya Salaka menjadi semakin gelisah. “Kau katakan bahwa ada kemungkinan untuk menemukannya?” “Ya,” sahut orang itu. “Bahkan orang itu mengharap kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.” “Gila,” teriak Arya. “Atau kaukah yang gila itu?” “Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik, Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan Prawata.” “Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,” “Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu,” sahut orang itu. “Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.” “Itu sudah kau katakan.” “Ya, ya,” peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya maka kata-katanya menjadi kurang teratur. “Diperburuan itu, maka Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk puteranda Pangeran Timur.” “Kau berkata sebenarnya?” potong Arya tergagap.
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 115 “Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya Arya Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak merelakannya, maka dipersilakan ia datang dengan pasukan segelar sapapan. Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya dengan senang hati.” “Begitu katanya?” teriak Arya. “Ya.” Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak, “Dimana kau temui Karebet itu?” “Diperbatasan, di Sendang Muncul.” Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari ke belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun Mahesa Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal tabiat anak itu, segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil kudanya. Karena itu maka keduanya hampir bersamaan memanggilnya, “Arya. Arya Salaka.” Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar- benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan. Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 115 bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah tarian yang pedih. Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya, namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya. Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya yang dapat menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada dikepalanya hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet, seorang yang pernah dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab. “Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat demikian” desah Arya Salaka didalam hatinya. “Tetapi, apapun yang pernah terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang Karang Tunggal tidak saja berkata terus terang dan membicarakannya dengan orang tua-tua.” Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya semakin meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai di perbatasan arah Sendang Muncul. Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak- serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana- sini. Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung hitam
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 115 diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul- gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu. Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi yang dicarinya tidak diketemukannya. Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke atas batu karang sambil berteriak keras-keras, “He Karebet. Jangan menunggu Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita selesaikan persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet....” Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti. Tak seorang pun yang menyahut. Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia berteriak, “Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan. Karebet....” Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk. Helai-helai daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab oleh embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan angin. Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu adalah orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain.
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 115 Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung pepohonan. Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam. Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah Rawa Pening, masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat. “Arya,” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu. Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya baik-baik, melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara gurunya. Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas batu karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya belum juga dapat ditenangkannya. “Arya,” suara itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar berpengaruh padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya di dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora. “Arya,” kali ini ia mendengar suara ayahnya. “Turunlah.” Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap di balik pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia berkata nyaring. “Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.” “Sabarlah Arya,” desis Mahesa Jenar. “Turunlah, marilah kita bicarakan soalmu ini.” Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu karang itu tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun. “Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa Jenar.
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 115 Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam malam yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu. Selain, tegang. “Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar. Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang tempat-tempat yang gelap disekelilingnya. “Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya. Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia menuju kekudanya. “Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,” berkata ayahnya mendesak. Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah dan tanggapan yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati yang kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan lesunya ia mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya. Rumah yang seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari tempat ini. Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora. Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan melarikannya. Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam. Tetapi dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga kalinya. Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia mempercepat langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda dibelakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka.
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 115 Mereka seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat erat-erat di atas punggung kuda. III Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang pertama, menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar telah dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman. Dengan tergesa- gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya. “Akan kemanakah Ki Ageng sepagi ini?” “Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora. “Oh” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam kesibukan yang semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan kembali ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula. “Apakah ada sesuatu keperluan yang mendesak?” KI Ageng Lembu Sora lah yang kini memandang Mahesa Jenar dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab juga, “Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.” “He,” Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan yang berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh- sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan berkata, “Ki Ageng apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana pula?” “Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan pula? Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 115 lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa waktu lampau. Apakah sekarang, aku harus membiarkan kehormatan Arya Salaka diinjak-injak orang lain?” “Hem,” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun dalam persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini Ki Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang dahulu pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu maka Mahesa Jenar itu pun berkata, “Baiklah aku mencoba menemui kakang Gajah Sora”. Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan Karebet? Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang yang paling dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru. Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya bersama-sama dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh. Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi mereka, maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah gurunya yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat. Tanpa disengaja ia menundukkan wajahnya.
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 115 “Kakang,” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.” Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya pendek. “Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya tentang keputusan Arya Salaka.” Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?” bertanya Mahesa Jenar kemudian. Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon- pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Sekali- kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula. Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Namun kemudian terdengar suaranya serak. “Ya. Apa boleh buat.” Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa kerut- kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sudahkah kakang mempertimbangkannya masak-masak.” Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan. Apakah gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?” Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya. Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan jantungnya. “Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?” Pertanyaan itu timbul pula didalam hatinya. Tetapi ketika dipandanginya wajah anaknya yang merah padam, timbul pula kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang dengan gigih telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia dibawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri?
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 115 Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa Jenar itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka, katanya, “Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira dapat terjadi dengan keputusan itu?” Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di dalam hatinya memaksakan menjawab, “Tak ada pilihan lain paman.” Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, “Apakah kau telah mencobanya?” Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, “Apa yang dapat dicoba?” “Arya,” berkata Mahesa Jenar. “Dalam persoalan ini masih harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas kehendak sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa. Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan masih ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.” “Tidak paman,” jawab Arya tegas. Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus. “Sudah jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk Pangeran Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman, seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan merasa dihinakan.” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata,
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 115 bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa Karebet itu sengaja memancing kemarahan Arya Salaka? Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya bahwa hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar pun dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian, ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang lalu. Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra, hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang. Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak ingin kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti, bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus menyaksikan pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan Demak. Beberapa tahun yang lampau ia berusaha mati-matian untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang timbul karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting adalah gairah bagi masa depannya. Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun kemudian pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk menyiapkan laskarnya. Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang pernah dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 115 tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada saat itu ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran panji-panji Gula Kelapa diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang melambangkan kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu. Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian. Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk kembali ke Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya, mengambil Endang Widuri untuk puteranya. Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana. Namun Arya Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri dengan segala akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah- olah Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya di Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari tangan golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian dalam kemarahan Arya Salaka itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu. Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya setiap persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 115 sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya. Menemui Kebo Kanigara seorang diri. Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu. Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu. “Terima kasih kakang,” sahut Mahesa Jenar sambil duduk dipembaringan Kebo Kanigara. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan bercakap-cakap. Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang paling ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan yang sama. Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh. Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya. Mereka berdua tidak segera menyadari apakah sebabnya dari kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara mereka yang kurang sewajarnya. Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka Mahesa Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya, “Kakang. Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang akan membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan Karebet?”
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 115 Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya jengkerik seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan dapat dijumpainya. Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka, Mahesa Jenar.” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Semua berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang Kebo Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan segera datang dan membantu Arya Salaka pula.” Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan punggungnya menjadi basah oleh keringat. “Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat demikian sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun menilik kata-kata Karebet, maka Baginda pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan mungkin kesatuan-kesatuan yang lain”. Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar Mahesa Jenar berkata, “Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan menjadi korban. Tetapi kalau Baginda tidak mempersiapkan dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa. Baginda akan terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 115 Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.” “Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya perlahan-lahan dan parau. “Aku sudah menyangka bahwa hal-hal yang demikian dapat terjadi.” “Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi tegang. Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah Mahesa Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata. “Bagaimanakah sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan itu?” “Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara “aku sedang bersedih karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak dapat berpikir, jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh untuk menemukannya. Apabila kemudian kita ketahui bahwa anak itu dibawa oleh Karebet dan akan dibawanya ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada pilihan lain dari pada datang merebutnya.” “Dengan kekerasan?” “Kalau itu kemungkinan satu-satunya.” “Kakang,” berkata Mahesa Jenar ber-sungguh-sungguh, “Kakang masih mempunyai kesempatan untuk menghindarkan pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo Kanigara putera Pangeran Handayaningrat. Bukankah kakang Kebo Kanigara dapat menghadap Baginda dan menjelaskan persoalannya kepada
  • 49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 115 Baginda? Dan bukankah kakang berhak untuk mengambil puteri kakang itu sendiri?” “Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah seorang yang keras hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda, maka tak seorang pun akan dapat merubahnya.” “Tetapi Karebet itu adalah kemanakan kakang. Karebet sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan Widuri itu kepada kakang?” “Karebet memang takut kepadaku, Mahesa Jenar. Namun ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu kekuatan yanq akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia berani berbuat sedemikian atas Widuri itu.” “Tetapi, bukankah Karebet itu dapat berbuat lain dari yang dilakukannya itu? Mungkin ia dapat datang kepada kakang Kebo Kanigara dan minta kepada kakang untuk menghadap Baginda, sedang Baginda akan dapat langsung mengambil Widuri dari kakang Kebo Kanigara. Dan apakah keuntungan Karebet dengan menghinakan Arya Salaka dan menantangnya untuk mengambil Widuri di hutan Prawata nanti pada saat Purnama naik?” Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan kembali Mahesa Jenar berkata, “Apakah karena Karebet ingin melihat pertumpahan darah di antara sesama rakyat Demak atau barangkali Karebet ingin menunjukkan kejantanannya di hadapan Sultan Trenggana? Atau apa?” “Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar.” “Kakang, baiklah aku berterus terang. Apakah kakang cukup berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak yang kakang kasihi selama ini? Apakah kakang cukup menunjukkan usaha untuk menemukannya sampai saat ini ? Kakang, sekali lagi, baiklah aku berterus terang, supaya tidak terjadi salah tangkap dari segala
  • 50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 115 perbuatan kakang itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan Widuri dari kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya Salaka dengan alat Karebet itu?” “Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya menundukkan wajahnya. Diluar malam menjadi semakin kelam. Dan malam yang kelam itu benar-benar mendebarkan. Di antara gemerisik angin malam, kembali terdengar suara Mahesa Jenar yang berat “Kakang. Maafkanlah. aku kakang, tetapi sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaan-pertanyaan itu di hatiku. Lebih daripada yang telah aku katakan, kakang. Sebenarnya aku tidak dapat mengerti, kenapa kakang masih saja bersikap acuh tak acuh atas hilangnya Widuri.” Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah yang tiba-tiba menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, “Mahesa Jenar, apakah kau berprasanqka buruk terhadapku?” Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Bahkan terjadilah beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut kata-kata Kebo Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi sedemikian bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi berpikir wajar. Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat menjadi sedemikian kehilangan segala macam pertimbangan? Betapa ia menyayangi anaknya itu, namun sudah pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap dalam keseimbangan. Ia pasti akan berusaha mencari anaknya. lebih dari yang telah dilakukannya sekarang. Tidaklah mungkin kalau Kebo Kanigara hanya akan sekedar menunggu bantuan Arya Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan yang akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena anak puterinya yang hilang dibawa oleh Karebet, “Aneh” gumam Mahesa Jenar di dalam dirinya. Sehingga karena itulah maka ia menjawab pertanyaan Kebo Kanigara “Kakang, sebenarnyalah aku menjadi sangat heran. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah
  • 51. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 115 kakang lakukan. Namun dalam tangkapan perasaanku, kakang telah berbuat diluar kewajaran.” “Hem,” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “Apakah yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?” “Menyelesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa memungkinkan kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.” “Apakah aku mampu berbuat demikian?” “Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Kakang tentu mampu. Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar- benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat menjelaskan persoalannya.” “Sulit bagiku Mahesa Jenar.” “Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula. “Maafkan aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka? Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak sampai hati memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?” “Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan kau katakan itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir sebaik-baiknya.” “Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbul-kan berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang sengaja memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk menyelesaikan persoalan ini.” “Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”
  • 52. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 115 “Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang Kebo Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat, apalagi dengan terusirnya Karebet dari istana Demak?” Wajah Kebo Kanigara itu tiba-tiba menjadi suram. Demikian suramnya sehingga Mahesa Jenar terhenti dengan sendirinya. Ia mengharap Kebo Kanigara membela diri dan menyatakan alasan-alasan yang sebenarnya. Tetapi Kebo Kanigara itu berkata, “Sampai hati kau menuduh aku demikian Mahesa Jenar?” Mahesa Jenar pun kini terdiam sesaat. Hatinya menjadi sedemikian risaunya sehingga terpaksa ia mengeluh pula, “Alangkah rumitnya persoalan kali ini. Kakang, jadi kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat penyelesaian menurut caranya?” Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa benar pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya. Hati yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat. Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab, “Untuk sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang lain.”