Dokumen tersebut membahas strategi untuk meningkatkan rendemen industri gula nasional, termasuk penataan varietas tebu yang unggul, penyediaan bibit yang sehat dan murni, serta optimalisasi proses pengolahan tebu menjadi gula."
1. KONSEP PENINGKATAN RENDEMEN UNTUK MENDUKUNG
PROGRAM AKSELERASI INDUSTRI GULA NASIONAL
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)
isri@telkom.net
ABSTRAK
Penurunan produksi gula sejak deregulasi industri gula tahun 1992 (Undang-
Undang Budidaya Tanaman) dan dipertajam sejak 1998 (demonopolisasi Bulog) perlu
dicegah dengan meningkatkan daya saing industri gula. Pemerintah bersama industri
gula mulai tahun 2002 melaksanakan program akselerasi peningkatan produktivitas
gula nasional. Sasaran yang dicapai adalah produksi gula sekitar 3 juta ton pada tahun
2007.
Peningkatan produksi dapat dilaksanakan dengan peningkatan areal (dan
kapasitas PG) beserta produktivitasnya. Sementara itu peningkatan produktivitas
dapat dillaksanakan dengan peningkatan tebu/ha dan rendemen. Peningkatan
produktivitas melalui rendemen mempunyai keunggulan tertentu yaitu tidak
diperlukannya peningkatan kapasitas giling dan tidak diperlukannya peningkatan biaya
tebang angkut serta dapat mengurangi biaya prosesing gula tiap kilogram gula.
Pada prinsipnya peningkatan rendemen dilaksanakan dengan cara
meningkatkan gula yang dapat diperoleh pada tebu di meja giling dan menurunkan
kehilangan gula selama prosesing tebu menjadi gula. Secara konvensional untuk
meningkatkan gula yang dapat diperah dilaksanakan melalui penataan varietas,
penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan
air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal
giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisa
kemasakan, penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat.
Untuk mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik maka diperlukan optimasi
kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling dan mengurangi kehilangan gula di
stasiun gilingan dan pengolahan.
Namun peningkatan rendemen secara konvensional menghadapi kendala
sistem bagi hasil, sistem transfer tebu, penentuan kualitas tebu, variabilitas petani dan
kebijakan yang kurang kondusif. Agar peningkatan rendemen dapat terlaksana maka
kendala-kendala tersebut perlu direduksi sehingga cara konvensional tersebut dapat
berjalan secara efektif dan efisien.
Agar peningkatan rendemen dapat terlaksana maka diperlukan perubahan
dalam sistem bagi hasil yang menghargai prestasi petani dan prestasi PG. Dalam hal ini
diperlukan perubahan formula (bukan besaran) bagi hasil dan metoda pengukuran
kualitas tebu yang akurat. Sistem ini perlu didukung oleh konsolidasi lahan PG,
pembentukan sistem blok, kebijakan harga yang wajar dan stabil dan penyediaan dana
untuk usahatani secara cukup dan tepat waktu.
Kata Kunci : Rendemen, gula yang dapat diperoleh, kehilangan gula, usahatani tebu
prosesing gula, bagi hasil.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008)
2. I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga
mencapai titik nadir sebesar 1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun
2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional
mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton. Defisit yang
sangat besar tersebut dapat dicukupi oleh masuknya gula impor dengan mudah dan
harga yang kompetitif, walaupun pendapatan petani terancam menurun karena daya
saing produk gula lokal lemah. Penurunan produktivitas selama 27 tahun (1975-2002)
terutama dicerminkan penurunan rendemen, sementara produktivitas tanaman
alternatif mengalami kenaikan (lihat Lampiran 1 dan 2). Agar tebu memiliki daya saing
terhadap tanaman alternatif, maka kinerjanya harus ditingkatkan agar mendapatkan
hasil yang mendekati potensi hasil dengan penerapan baku teknis pengelolaan
usahatani dan prosesing gula.
Di sisi lain pemerintah melalui Menteri Pertanian di berbagai pertemuan
menyatakan dan mencanangkan bahwa tahun 2007 nanti Indonesia akan swasembada
gula. Konsekuensi dari pernyataan tersebut adalah bahwa insan industri gula harus
melakukan kerja keras, berkinerja baik dan melakukan inovasi-inovasi guna
mendukung statemen tersebut dan pada akhirnya dapat meningkatkan produksi gula,
meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan pabrik gula.
Pada prinsipnya peningkatan produksi gula dapat dilaksanakan dengan perluasan
areal, peningkatan bobot tebu perhektar dan peningkatan rendemen. Pilihan untuk
peningkatan produksi yang lebih unggul tampaknya adalah peningkatan rendemen,
karena kinerja rendemen selama kurang lebih 27 tahun masih berada di bawah potensi
yang sebenarnya. Bahkan kinerja rendemen selama lima tahun terakhir hampir hanya
separo dari yang pernah dicapai sebelum tahun 1975. Karena itu peningkatan
rendemen hanya mengembalikan kinerjanya seperti waktu lalu.
Peningkatan rendemen akan meningkatkan produktivitas (produksi) tanpa perlu
meningkatkan kapasitas pabrik gula. Peningkatan kapasitas pabrik berarti peningkatan
biaya bagi industri gula yang pada saat sekarang barangkali tidak direkomendasikan
untuk melaksanakan investasi peningkatan kapasitas pabrik. Sebagai contoh, dengan
kapasitias giling total seluruh pabrik gula di Indonesia lebih dari 170 ribu ton tebu per
hari pada saat ini dan menggiling tebu lebih dari 25 juta ton hanya mampu
menghasilkan hablur sebesar 1,7 juta ton. Hal ini berarti bahwa produktivitas hablur
hanya sekitar 5,01 ton per hektar karena kisaran rendemen rata-rata hanya sebesar
6,9 % saja. Oleh karena itu dengan total kapasitas pabrik yang relatif tetap serta
bahan baku digiling yang juga relatif tetap, jika rendemen rata-rata dapat dinaikkan
menjadi 8 % maka potensi hablur yang akan dihasilkan mencapai lebih dari 2 juta ton,
dan ini berarti dengan luas areal yang relatif tetap produktivitas hablur meningkat
menjadi sekitar 6 ton per hektar. Program akselerasi yang akan didukung dengan
berbagai terobosan teknologi menargetkan produktivitas hablur sebesar 8 ton per
hektar. Ini berarti apabila kenaikan produksi hanya bertumpu pada kenaikan
rendemen, maka rendemen rata-rata harus ditingkatkan paling tidak menjadi sekitar
11%.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 2
3. Peningkatan kinerja rendemen lebih dari 4 poin ini merupakan pekerjaan berat
(meskipun pernah dicapai di waktu lalu) yang memerlukan dukungan semua pihak
yang terkait dengan kegiatan produksi gula. Program akselerasi sedapat mungkin
mengarah pada intensifikasi lahan sawah yang produktif dan berpengairan teknis yang
secara historis merupakan basis produksi pabrik gula. Meskipun demikian pengawalan
budidaya tebu di lahan tegal masih dapat dilaksanakan melalui penyediaan teknologi
yang sesuai. Dengan intensifnya pengelolaan tebu di lahan historis tersebut, maka hal
ini berpotensi menekan biaya tebang-muat-angkut karena jarak kebun historis ke
pabrik dekat. Peningkatan rendemen selain dapat menurunkan biaya tebang-muat-
angkut juga dapat menurunkan biaya prosesing gula, karena dengan efisiensi yang
sama hablur yang dihasilkan semakin banyak.
B. TUJUAN
Tujuan disajikannya uraian ini adalah untuk penyusunan konsep upaya
peningkatan rendemen secara komprehensif, dan menjadi pedoman praktisi dalam
rangka mendukung program akselerasi peningkatan produktivitas industri gula
nasional.
II. STRATEGI PENINGKATAN RENDEMEN
Kinerja rendemen di Jawa selama lima tahun terakhir sangat rendah yaitu rata-
rata 6,25 % selama 1998-2002. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan
keragaannya rata-rata lima tahun (1970-1974), sebelum program TRI yaitu 10,16 %.
Bahkan jauh lebih rendah daripada rekor yang pernah dicapai di Jawa yaitu 12,46 %
pada tahun 1935. Hal ini berarti telah tersedia teknologi untuk meningkatkan
rendemen. Adapun kinerja rendemen saat ini rendah adalah merupakan akibat dari
tidak diterapkannya secara baik teknologi yang tersedia.
Sejak diberlakukannya Inpres No. 9 tahun 1975, terjadilah disintegrasi vertical
yang mengakibatkan perubahan kelembagaan dalam sistem produksi gula. Perubahan
kelembagaan tersebut mengakibatkan berkurangnya insentif dalam meningkatkan
rendemen bagi petani maupun pabrik gula. Dengan kelembagaan yang baru baik
petani maupun pabrik gula terkendala dalam menerapkan teknologi untuk
meningkatkan rendemen. Karena itu alternatif baru untuk meningkatkan rendemen
adalah meminimalisir kendala agar teknologi yang tersedia dapat diterapkan pada
kelembagaan yang ada sekarang secara efektif.
III. KONSEPSI UMUM
A. PENATAAN VARIETAS DAN PEMBIBITAN
1. Penataan Varietas
Terdapat kecenderungan bahwa dalam penetapan dan pemilihan varietas yang
ditanam serta dikembangkan belum atau bahkan tidak mendasarkan kepada proses
seleksi dan adaptasi yang baik serta pembibitan yang terencana. Jumlah varietas
dalam satu wilayah menjadi tidak terencana, kemurnian varietas di kebun dan
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 3
4. kesehatan tanaman tampaknya kurang mendapat perhatian. Padahal dengan
pemakaian bibit yang murni dan bermutu akan mampu meningkatkan produksi sebesar
19%, dengan peningkatan penerimaan pendapatan hampir dua kali tambahan biaya
pengadaan bibit tersebut (Nahdodin, 1993).
Penataan varietas dimulai dari perbaikan mutu bibit atas varietas unggul yang
akan dikembangkan. Rekomendasi varietas pada prinsipnya harus telah melalui kajian
adaptasi yang meliputi kegiatan-kegiatan orientasi (ORVAR) dan adaptasi serta
demonstrasi plot atau yang populer dikenal dengan warung tebu (WARTEB).
Pada proses pengembangannya, melalui temu lapang WARTEB para praktisi dan
petani dilibatkan dalam memilih dan menetapkan varietas-varietas mana yang disukai
untuk ditanam. Secara simultan penyediaan bibit atas varietas-varietas unggul yang
ada pada WARTEB juga disiapkan, sehingga permintaan bibit atas varietas yang dipilih
oleh praktisi telah tersedia dengan cukup.
Mengingat arti pentingnya bibit dalam menunjang peningkatan produktivitas,
maka penyelenggaraan kebun bibit yang benar dan terencana harus dipersiapkan
dengan baik agar diperoleh mutu (kebenaran varietas, kemurnian dan kesehatan) bibit
yang baik.
2. Penyediaan Bibit Sehat
Mutu bibit dinilai dari kesehatan dan kemurnian varietasnya. Sehat artinya bebas
dari serangan hama dan penyakit, khususnya harus bebas dari penyakit-penyakit
sistemik, seperti penyakit pembuluh (RSD), mosaik, blendok (leaf scald), dan luka api
(smut). Murni artinya bebas dari campuran varietas lain.
Dalam rangka penyediaan bibit sehat, P3GI telah memperkenalkan metode
perawatan air panas yang secara nyata terbukti mampu mengendalikan penyakit
pembuluh (Anonim, 1977; Handojo, 1982). Perawatan air panas pada bibit berhasil
menurunkan tingkat serangan penyakit pembuluh dari 15% menjadi 1% di Columbia
(Mirzawan dan Samoedi, 1995).
Pemakaian bibit yang sehat selalu harus diikuti dengan pemakaian pisau potong
bibit yang dioles disinfektan, seperti 20% lysol atau 70% alkohol. Setiap penanaman
tanaman baru (PC) selalu digunakan bibit yang sehat, baik berasal dari perawatan air
panas maupun dari mikropropagasi.
3. Kemurnian Varietas
Optimalisasi bibit dari varietas yang murni akan menghasilkan tingkat
pertumbuhan dan kemasakan yang seragam. Kemurnian suatu varietas di tebu giling
dimulai dari kemurnian varietas di tingkat bibit. Oleh karena itu seleksi kemurnian
varietas pada setiap tingkatan penangkaran bibit harus dilakukan.
Untuk dapat melakukan pemurnian varietas tebu, maka teknik-teknik
pencandraan varietas perlu dipelajari oleh petugas pelaksana di lapangan. Dengan
mengenal karakter morfologi setiap varietas, maka upaya membuang campuran
varietas lain pada tahap kebun bibit dapat dilakukan secara dini sehingga kemurnian
bibit untuk tanaman tebu giling dapat dijamin.
Produktivitas hasil yang baik selalu berawal dari sumber bahan tanam yang baik.
Oleh karena itu penyediaan bibit dengan pengelolaan yang baik sangat diperlukan.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 4
5. 4. Masa Tanam dan Kesesuaian Penyediaan Bibit
Tebu yang ditanam pada awal musim kemarau (pola A, yaitu Mei-Agustus di
belahan Selatan khatulistiwa) menunjukkan tingkat produksi tebu dan hablur gula yang
lebih tinggi dibandingkan tebu yang ditanam pada awal musim penghujan (pola B,
yaitu Oktober-Nopember). Oleh karena itu prioritas okupasi lahan yang siap tanam
pola A harus diperluas. Keadaan ini menuntut ketersediaan air irigasi yang cukup
(termasuk kesiapan pompanisasi) untuk mencukupi kebutuhan air pada awal-awal
pertumbuhan tanaman pola A.
Sinkronisasi dengan masa tanam pola A tersebut, maka penanaman KBD harus
sudah disiapkan pada bulan Nopember-Pebruari, KBI pada bulan April-Juli, KBN pada
bulan September-Nopember dan KBP pada bulan Pebruari-April (yaitu penjenjangan 6-
8 bulan sebelumnya). Masa tanam bibit hendaknya disesuaikan dengan kategori umur
kemasakannya sedemikian hingga masa tanaman baru (PC) tersedia bibit seperti
kategori kemasakannya. Menyitir tulisan Sugiyarta (1994 ) bahwa kategori kemasakan
tebu terkait dengan lama tanaman tebu yang telah berumur fisiologi dewasa (lebih dari
9 bulan) mengalami kondisi lengas tanah rendah (kurang dari 50% kapasitas lapang)
dan menunjukkan tingkat kecepatan masaknya, yaitu awal (Mei-Juni), tengah (Juli-
Agustus) dan lambat (setelah September). Sedangkan umur tebu dipanen menentukan
hasil tebu yang diperoleh. Tebu yang sama masak awal ditanam pada bulan Mei dan
bulan Agustus akan siap ditebang pada bulan Mei-Juni dimana tanaman Mei telah
berumur 12-13 bulan, sedang tanaman Agustus baru berumur 9-10 bulan. Tanaman
tebu yang dipanen pada umur 12-13 bulan akan memberikan hasil tebu lebih tinggi
dibandingkan tanaman yang dipanen pada umur 9-10 bulan. Oleh karena itu
perencanaan tanam suatu varietas harus selalu disesuaikan dengan rencana tebang
yang mengacu kepada kategori kemasakannya sehingga diperoleh hasil tebu dan
tingkat rendemen yang tinggi.
Agar lebih memudahkan koordinasi dan pengawasan dalam penyelenggaraan
kebun bibit, maka tanaman KBP sebaiknya dilakukan secara tersentral di suatu PG.
Sedangkan KBN, KBI dan KBD telah tersebar di masing-masing PG/wilayah. Pola tanam
KBD hamparan sangat membantu memudahkan dalam distribusi bibit ke kebun
tanaman baru (PC).
B. WAKTU TANAM DAN PENGATURAN KEBUTUHAN AIR
1. Waktu Tanam
Mengingat bahwa masa tanam tepat adalah merupakan salah satu kunci
keberhasilan dalam budidaya tebu maka harus diupayakan agar tanam dilakukan tepat
waktu. Terjadinya kelambatan saat tanam akan berdampak secara signifikan terhadap
penurunan produktivitas. Oleh sebab itu, apabila ada 2 pilihan yaitu pengolahan lahan
prima atau segera tanam karena telah terlambat tanam maka pilihannya harus jatuh
pada tanam segera. Sementara itu perbaikan kualitas pengolahan tanah dilakukan
secara bertahap sejalan dengan perkembangan umur dan fase pertumbuhan tebu,
serta kondisi lingkungannya.
2. Pengaturan Kebutuhan Air
Sebagai tanaman asli (origin plant) dari daerah tropika basah, tebu digolongkan
ke dalam tanaman yang memerlukan air dalam jumlah banyak namun peka terhadap
kondisi lingkungan tumbuh yang berdrainase jelek. Tanaman ini relatif toleran
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 5
6. terhadap cekaman air (water stress) sehingga pada daerah dengan curah hujan sekitar
1000 mm/th tebu masih mampu bertahan.
Selain masa tanam yang tepat dan tercukupinya makanan, faktor lain yang
menjamin keberhasilan budidaya tebu yaitu air dapat dikendalikan. Dalam arti bila
terjadi defisit air tanaman tebu dapat diberi tambahan air pengairan, demikian
sebaliknya apabila terjadi kelebihan air dapat dipatus. Williams dan Joseph (1976)
menyatakan bahwa tebu (umur 24 bulan) yang kebutuhan airnya tercukupi mampu
menghasilkan gula 12-14 t/acre, sedangkan tebu yang kekurangan air perolehan
gulanya hanya 8 t/acre. Cambpell (1967) menyatakan bahwa untuk menghasilkan 1 kg
tebu atau setara dengan 0,1 kg gula diperlukan sekitar 100 kg air; sedangkan Hunsigi
(1993) menyatakan bahwa untuk memproduksi 1 g berat tebu (segar), 1 g berat
kering dan 1 g gula, diperlukan air berturut-turut sebesar 50 - 60, 135 - 150, dan 1000
- 2000 g air.
Jumlah kebutuhan air sejalan dengan umur tanaman tebu sangat bervariasi
tergantung pada fase pertumbuhan dan lingkungan tumbuhnya (agroekologi). Secara
garis besar fase pertumbuhan tebu dibagi menjadi 4, yaitu: (1) perkecambahan (0-5
mg), (2) pertunasan (5 mg-3,5 bulan), (3) pertumbuhan cepat (3,5 – 9 bulan), dan (4)
pamasakan batang (≥ 9 bulan). Puncak kebutuhan air pada tanaman tebu terjadi pada
fase pertumbuhan cepat, yaitu mencapai 0,75 - 0,85 cm air / hari.
C. PEMUPUKAN BERIMBANG KAITANNYA DENGAN RENDEMEN
1. Pemupukan
Normal Borlaug seorang ilmuwan pemulia gandum, penerima Nobel Peace Prize
tahun 1970 mengatakan bahwa varietas unggul baru yang menghasilkan produksi
tinggi merupakan katalisator, sedangkan pemupukan merupakan bahan bakar dari
keberhasilan revolusi hijau (Hignett, 1982). Dari pernyataan tersebut jelas bahwa
pemupukan merupakan salah satu kunci pokok dari revolusi hijau, yang selama ini
banyak (tidak semua) diyakini telah dapat menyelesaikan masalah kekurangan pangan.
Di negara berkembang (termasuk Indonesia) pelaksanaan pemupukan (yang
merupakan kunci pokok revolusi hijau) pada kenyataannya lebih mementingkan N,
agar cepat memacu produksi dibandingkan hara yang lain, seperti P, K, S, Ca dan hara
mikro yang lain. Praktek pemupukan yang demikian akan menimbulkan ketimpangan
neraca hara di dalam tanah, yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas
tanah. Produktivitas tanah yang menurun akibat ketimpangan neraca hara, pada
saatnya tidak saja akan menurunkan hasil panen, namun juga menurunkan kualitas
hasil panen, misal kadar protein untuk padi dan rendemen untuk tebu.
2. Pemupukan Berimbang
Secara sederhana dapat diterangkan bahwa pemupukan berimbang pada
dasarnya memberikan pupuk kepada tanah sesuai dengan yang diperlukan oleh
tanaman, dengan mempertimbangkan kemampuan tanah dalam penyediaan hara, baik
berasal dari hara asli tanah ataupun dari hara residu pupuk, untuk dapat menghasilkan
panen yang optimal. Oleh karena itu (tanpa harus menafikan hasil penelitian
pemupukan), analisis tanah untuk mengetahui tahana (status) hara di dalam tanah
merupakan hal yang penting dalam pemupukan berimbang. Ada dua hal penting
dalam pemupukan berimbang yaitu : (1) hara yang diberikan kepada tanah melalui
pupuk tidak terbatas pada hara N, P, K saja, tetapi mencakup semua hara makro dan
mikro esensial yang lain, dan (2) macam hara dan takaran yang diberikan melalui
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 6
7. pupuk tergantung tahana hara di dalam tanah. Dengan pemupukan berimbang
diharapkan ketimpangan neraca hara di dalam tanah dapat dihindari.
Dalam praktek budidaya tebu memang sudah sejak lama mengaplikasikan pupuk
N, P, dan K, namun keputusan pemberian hara N, P, dan K tersebut kebanyakan tidak
mempertimbangkan tahana hara di dalam tanah. Oleh karena itu saran takaran pupuk
seringkali bersifat umum, tidak spesifik lokasi, sehingga tingkat efisiensi pemupukan
menjadi rendah. Pencapaian tingkat efisiensi pemupukan yang rendah selain
disebabkan takaran pupuk yang bersifat umum, juga mungkin dikarenakan sudah
terjadi kekahatan hara mikro di lahan pertanaman tebu. Kekahatan hara mikro dapat
terjadi karena selama ini terjadi pengurasan hara mikro yang terus menerus melalui
hasil panen, tanpa ada usaha pengembalian melalui pupuk mikro, terjadi perubahan
reaksi tanah sehingga hara mikro menjadi tidak tersedia, dan dapat juga terjadi karena
antagonisme dengan hara yang lain.
Harus diakui bahwa perhatian akan hara mikro masih sangat rendah, tidak saja
terjadi pada para pekebun yang berpengetahuan nisbi rendah, tetapi juga terjadi pada
para penentu kebijakan yang berpengetahuan nisbi lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat
dari kebijakan untuk memproduksi pupuk buatan anorganik yang hanya mengandung
hara makro saja.
Ada 4 hara esensial mikro yang ditengarai mulai menjadi masalah (terjadi
kekahatan) pada lahan pertanaman tebu di Jawa yaitu : Fe, Zn, Cu, dan B. Besi
dibutuhkan dalam sintesis kloropil dan protein. Oleh karena kloropil merupakan bahan
yang terlibat di dalam proses fotosintesa, maka akibat akhir dari kekahatan Fe akan
dapat menurunkan kadar gula di dalam tebu. Hara Zn ikut berperan untuk
mengaktifkan ensim sucrose synthetase, ini berarti Zn ikut menentukan kadar gula
yang dapat diperoleh. Kekahatan Zn juga akan menyebabkan penundaan saat
kemasakan. Peranan Cu dan B yang berhubungan dengan kadar gula adalah
keterlibatannya dalam proses metabolisme karbohidrat. dan transportasi gula melalui
membran (Kabata-Pendias & Pendias, 1992; dan Romheld & Marsner, 1991).
Dari uraian diatas bahwa praktek pemupukan berimbang sudah saatnya untuk
dilakukan agar kualitas dan kuantitas hasil produksi dapat ditingkatkan.
D. PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK PUCUK DAN BATANG
Serangan hama merupakan kendala dalam peningkatan produktivitas tebu.
Berbagai upaya pengendalian dilakukan untuk menyelamatkan produksi, sehingga
tingkat serangan hama tetap dibawah ambang yang secara ekonomi, tidak merugikan.
Penggerek pucuk dan batang merupakan hama-hama utama di beberapa pabrik
gula khususnya di Jawa dan Sumatera. Hama penggerek pucuk Triporyza nivella
intacta menyerang tunas umur 2 minggu hingga saat tebang. Pucuk tebu yang
terserang akan mati atau membentuk siwilan. Hama penggerek yang menyerang
batang tebu adalah Proceras sacchariphagus (penggerek bergaris), Chilo auricilia
(penggerek berkilat), eucosma scistaceana (penggerek abu-abu), Chilotraea
infuscatella (penggerek kuning), Sesamia inferens (penggerek jambon) dan
Pragmataesia castanea (penggerek raksasa).
Kerugian akibat serangan penggerek berupa batang-batang yang mati tidak
dapat digiling dan penurunan bobot tebu atau rendemen akibat kerusakan pada ruas-
ruas batang. Kerugian gula akibat serangan penggerek pucuk ditentukan oleh jarak
waktu antara saat penyerangan dan saat tebang. Menurut Wiriotmodjo (1970),
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 7
8. kehilangan rendemen dapat mencapai 50 % jika menyerang tanaman tebu umur 4-5
bulan dan 4-15 % pada tebu yang berumur 10 bulan. Hasil pengamatan
Wirioatmodjo (1973), pada tingkat serangan ruas sebesar 20 %, penurunan hasil gula
dapat mencapai 10 %. Beberapa tahun terakhir tingkat serangan penggerek batang di
kebun cukup rendah, hanya beberapa pabrik gula di Jawa Barat yang tingkat
serangannya mencapai 30-45 % (Pramono dkk, 1999)
Pengendalian hama penggerek dengan cara mekanis dan kimiawi semakin mahal
dan sulit dilakukan. Oleh karena itu pengendalian secara terpadu (PHT) merupakan
alternatif yang terbaik. Namun demikian PHT yang lebih relevan untuk jangka
menengah maupun panjang bila menekankan pada pengendalian secara hayati.
Dalam aspek pengendalian hayati yang dilakukan selama ini masih jauh dari harapan
(Pramono,1995;1996). Oleh karena itu dalam rangka mengamankan produktivitas
tebu, maka pembenahan dan pengelolaan setiap aspek yang terkait dengan
pengendalian hayati perlu ditata ulang, sehingga parasit yang dikembangkan lebih
efektif dan mampu mengamankan potensi produksi tebu pada tahun-tahun
mendatang.
E. PENYAKIT PEMBULUH DAN LUKA API
1. Penyakit Pembuluh
Penyakit Pembuluh Ratoon Stunting Disease disebabkan oleh bakteri Leifsonia /
Clavibacter xyli subsp. xyli (Evtushenko et al., 2000). Penyakit tersebut telah tersebar
di seluruh pertanaman tebu di Indonesia, persen serangan berkisar antara 10 – 100 %
dengan persen kerugian sebesar 10 % atau lebih pada lahan sawah (Handojo dkk,
1975; Handojo dan Siswojo,1981) dan dapat mencapai 50 % pada lahan kering,
keprasan pertama, varietas N 17 di Pongola, Afrika Selatan (Anonim, 1994), sedangkan
perbandingan lahan sawah : lahan kering di Indonesia saat ini adalah 20 : 80. Kondisi
ini kemungkinan akan memperbesar kerugian akibat serangan penyakit pembuluh di
Indonesia.
Pengendalian penyakit Pembuluh dengan perawatan air panas 50° C selama 2
jam terhadap bibit tebu dapat mengembalikan hasil yang hilang sebesar lebih kurang
10 %, tetapi kendala yang dihadapi adalah ketiadaan tangki air panas di pabrik gula-
pabrik gula. Alternatif pengendalian yang lain adalah penggunaan varietas tahan
berdasarkan jumlah populasi bakteri dalam nira batang tebu sakit (Gillaspie dkk. cit.
Davis dkk, 1988). Koike dkk. (1982) menambahkan bahwa tanaman yang peka
terhadap penyakit pembuluh mempunyai kerapatan populasi bakteri yang paling tinggi.
2. Penyakit Luka Api
Penyakit Luka Api yang disebabkan oleh jamur Ustilago scitaminea Sydow
merupakan penyakit penting di Indonesia. Sejak ledakannya pada tahun 1979,
penyakit ini kemudian menyebar ke kebun-kebun tebu di Jawa, Sumatera dan Sulawesi
(Putra dkk, 1993). Dari survei yang pernah dilakukan di areal perkebunan tebu di Jawa
Barat, serangannya mencapai ± 40 % (Lamadji dkk, 1993).
Dampak kerugian hasil bagi industri gula sulit dikuantifikasi secara pasti (Villalon,
1983). Survei pendahuluan menunjukkan bahwa kebun yang terserang 2 % dari
jumlah batangnya akan mengalami penurunan hasil sampai 5 % (Villalon dan Warfield,
1988). Penelitian di Brazilia menyimpulkan bahwa setiap persen serangan
menimbulkan kerugian hasil 0,67 % (Anonim, 1993). Kerugian besar akan terjadi bila
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 8
9. digunakan varietas peka, bibit sakit, tanaman keprasan dari kebun sakit dan apabila
terjadi infeksi pada awal pertumbuhan (Handojo, 1982).
F. PENENTUAN AWAL GILING
Penentuan awal giling merupakan upaya efisiensi usaha industri gula, dalam
menekan kerugian akibat penyimpangan masa giling, disamping itu sangat berarti bagi
PG yang menganut sistem manajemen tunggal. Ada beberapa metode dalam
menentukan awal giling yakni :
1. Awal Giling Diletakkan Sepanjang Musim Kemarau
Pada PG dengan bahan baku tebu yang biasanya berlebih akan tetapi masa
giling terlalu panjang terkait dengan kapasitas giling yang dimiliki, maka penentuan
awal giling menjadi tidak mempunyai pilihan lain. Artinya, giling harus diletakkan
sejak awal musim kemarau hingga akhir musim kemarau. Dengan demikian tidak
lagi memperhatikan kaidah-kaidah untuk menentukan secara tepat kapan awal
giling dapat dimulai. Oleh karena jumlah hari giling melebihi jumlah hari dalam
musim kemarau maka seluruh hari dalam musim kemarau itu dimanfaatkan
sebagai hari menggiling tebu.
2. Memanfaatkan Data Analisis Pendahuluan (Faktor Kemasakan/FK atau
Kuosien Kemasakan/KP)
Faktor kemasakan (FK) diperoleh dari analisis tiga bagian (atas-tengah-bawah)
batang tebu dalam suatu analisis pendahuluan. FK diperoleh dari selisih dalam
perhitungan rendemen atas dibagi rendemen bawah dikalikan 100. Secara teoritis
angka ini akan bergerak dari angka 100 menuju ke angka 0. Makin kecil angka FK
tersebut maka tebu dinyatakan semakin masak. Setiap PG mempunyai kurva
jalannya FK yang berlainan. Untuk menentukan kapan FK itu optimum biasanya
harus dihubungkan dengan kapan rendemen itu maksimum. Untuk itu dapat
didekati dengan cara membuat kurva jalannya rendemen tebu rata-rata dengan
FK. Kurva dari FK tersebut pada prinsipnya mirip dengan kurva yang
menghubungkan jalannya rendemen dengan selisih rendemen ‘bawah-atas’.
Angka-angka ini dapat diperoleh dari pengalaman beberapa tahun sebelumnya di
suatu PG.
Demikian pula perhitungan berdasarkan data KP. Hanya permulaannya tidak
dihitung dari ronde pertama namun dari ronde ke-3. Hasilnya tidak persis sama,
namun untuk penentuan awal giling secara final harus ditempuh dengan
melakukan kompromi terhadap hasil yang diperoleh.
3. Penentuan Awal Giling Berdasarkan Kurva Rendemen Rata-rata
Data rendemen per periode dari tahun ke tahun yang mempunyai persamaan
sifat jalannya musim dihimpun dan dirata-ratakan. Data disusun dalam bentuk
kurva kuadratis kemudian dicari titik maksimumnya sehingga diperoleh hasil
maksimum. Sebelumnya kurva tersebut harus diuji terlebih dahulu apakah memang
sudah paling cocok untuk kumpulan data tersebut. Cara ini dapat dipergunakan
pada daerah-daerah yang sudah mempunyai data rendemen per periode yang
akurat. Sudah barang tentu jumlah bahan baku tebu juga sudah ditaksasi terlebih
dahulu sehingga berdasar kurva tersebut awal giling dapat ditentukan secara
ekstrapolasi atau interpolasi.
4. Penentuan Awal Giling Dimulai dengan Pengaturan Masa Tanam,
Varietas dan Kategori Tanaman
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 9
10. Pengaturan masa tanam, varietas dan kategori tanaman dapat membantu
menentukan permulaan giling yang tepat. Cara ini setiap tahun harus diperbaharui.
Konsekuensi dari cara ini adalah bahwa tiap tahun harus dilakukan pengamatan
varietas tebu yang ditanam terutama dalam hal sifat varietas tersebut misalnya
masak awal, masak tengah ataukah masak lambat. Apakah sifat-sifat tersebut akan
tetap sama pada tebu keprasan pertama, kedua dan seterusnya. Lebih jauh, akan
lebih baik lagi apabila komponen faktor tersebut dapat dipasangkan pada ciri-ciri
wilayah tertentu. Oleh karena itu, cara ini juga memerlukan data wilayah seperti
peta tinjau tanah, peta pemupukan, peta berat tanah dan lain sebagainya.
G. TEBANG, MUAT DAN ANGKUT
Kegiatan tebang muat angkut (TMA) adalah kegiatan yang sangat komplek,
karena bukan saja merupakan rangkaian dari tiga kegiatan yang saling mempengaruhi,
tapi juga karena sangat ketat dibatasi oleh waktu. Apabila terjadi kendala di salah satu
kegiatan, maka kegiatan lainnya akan terganggu. Seluruh kegiatan pertanaman akan
ditentukan hasilnya dalam kegiatan TMA, bahkan hasil kinerja perusahaan akan
ditampilkan dari kegiatan TMA. Kinerja manajemen seolah-olah dipertaruhkan dalam
kegiatan ini.
Secara garis besar tujuan dari TMA adalah mendapatkan tebu giling yang masak
segar bersih (MSB) sebanyak-banyaknya sejak ditebang hingga digiling dalam tempo
secepatnya.
Kehilangan Rendemen dan Bobot Tebu
Tujuan TMA menyelamatkan tebu MSB sebanyak-banyaknya, namun hasil
pengamatan di sebuah pabrik gula di Jawa seperti diilustrasikan pada Gambar 1
menunjukkan penurunan % pol tebu bisa mencapai 6.0 poin dalam perjalanannya
mulai dari kebun, di cane yard atau emplasemen dan terakhir di pabrik. Dari kebun ke
cane yard atau emplasemen mencapai 2.5 %, sedangkan dari cane yard atau
emplasemen hingga ke luar dari proses pabrik mencapai 3.5 %. Belum lagi jika
memperhitungkan penurunan bobot tebunya.
Kehilangan % pol tebu dari kebun ke cane yard umumnya disebabkan
penundaan giling. Tebu di lasahan terlalu lama, akibat terlambatnya angkutan atau
produktivitas tebangan kurang, akibat hujan atau sebab-sebab lain.
Tabel 1., menunjukkan bahwa penundaan giling menjadi porsi terbesar
peranannya dalam menurunkan bobot tebu (95 %), nilai nira NPP (85 %), bobot kristal
(72 %) dan menaikkan kadar gula reduksi (99 %). Sementara klaras memiliki porsi
besar (98 %) dalam menurunkan kadar nira tebu.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 10
11. 12 % POL TEBU
10
8
6
10.5
4 8.0
2 4.5
0
KEBUN CANE YARD PABRIK
Gambar 1. Perjalanan % pol tebu dari kebun ke pabrik di salah satu pabrik gula di
Jawa
Tabel 1. Peran lama penundaan giling, jumlah klaras dan pucuk terhadap
penurunan bobot tebu, kadar nira tebu, nilai nira NPP, bobot kristal dan kenaikan gula
reduksi dalam NPP
Nilai Peran Lama Peran Peran
No. Penuruan Penurunan Penundaan Jumlah Jumlah
(point) Giling (%) Klaras (%) Pucuk (%)
1 Bobot tebu 7.73 95 3 2
2 Kadar nira tebu 8.35 2 98
3 Nilai nira NPP 7.93 85 12 3
4 Bobot kristal 72
5 Kenaikan kadar 4.04 99
gula reduksi dalam
NPP
Jika diurut ke belakang, penundaan giling terjadi karena tebu lama di lasahan
dan atau lama di emplasemen atau cane yard. Lamanya tebu di lasahan umumnya
karena menunggu tebu terkumpul dulu cukup banyak untuk diangkut, atau karena
menunggu alat angkut. Tebu tebangan yang lama menunggu terkumpul untuk
diangkut disebabkan jumlah tenaga TMA yang tidak mencukupi kebutuhan. Tebu
yang lama di emplasemen atau cane yard disebabkan pabrik mengalami kerusakan
sehingga tebu harus tertunda giling, dapat menyebabkan penurunan pol tebu dan
kesulitan proses pengolahannya.
Dari pengamatan di beberapa PG juga menunjukkan bahwa kendala dalam
kegiatan TMA, hampir selalu sama, yakni berkurangnya jumlah tenaga tebang muat
angkut pada waktu tertentu dan kerusakan di pabrik serta kebakaran tebu yang tidak
terkendali.
H. ANALISA KEMASAKAN
Mochtar (1994) menyebutkan beberapa kriteria bagi tebu yang dinyatakan tebu:
masak, segar bersih (MSB) adalah sebagai berikut :
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 11
12. 1. Tebu dikatakan masak, apabila secara visual daun tebu sebagian besar mengering,
kecuali pucuknya. Untuk tebu yang mudah mengelentek ( self trashing), sebagian
besar daunnya rontok, baik karena mengelentek sendiri ataupun dikelentek.
Secara kimiawi, kadar gula (pol, brix, HK, rend) bagian bawah dan atas hampir
sama. Kadar gula reduksinya rendah (biasanya dibawah 0,5 %). Kadar P2O5 tinggi
(> 250 ppm). Tebu dikatakan sudah masak jika faktor kemasakan < 25
2. Tebu dikatakan bersih apabila tidak/sedikit mengandung kotoran non tebu a.l.:
daun,pucuk, klaras, sogolan,tanah, dan benda lain yang bersabut/tidak bersabut.
Komposisi nira yang berasal dari tebu bersih adalah bila HK niranya tinggi (diatas
80 %), kadar gula reduksi rendah < 0,5 %, kadar amilumnya rendah < 100 ppm
dan kadar tanahnya rendah < 2,5 % bahan kering.
3. Tebu segar secara visual bekas potonganya masih basah (tidak kering),batangnya
tidak keriput dan tidak berjamur. Sedang secara kimiawi HK niranya tinggi (jauh di
atas 80 %), kadar gula reduksinya rendah ( < 0,5 %), kadar dextran rendah (<
0,02 % bx) dan pH nya normal (5,4- 5,8)
Analisa Kemasakan Tebu
Untuk mengetahui apakah tebu yang ditanam di suatu kebun itu sudah
waktunya untuk ditebang atau belum, tidak cukup hanya dilihat dari tanda-tanda
fisiknya yakni daunnya yang sudah hampir mengering semua serta sebagian besar
sudah menglentek, sebab tanda-tanda tersebut bisa jadi disebabkan oleh hal lain
seperti akibat kekeringan. Cara yang umum dilakukan adalah dengan melakukan
analisa kemasakan atau sering disebut analisa gilingan contoh atau analisa gilingan
kecil atau analisa pendahuluan.
Perlu diperhatikan bahwa hasil analisis kemasakan tidak boleh dikaitkan dengan
tinggi rendahnya rendemen efektif hasil gilingan besar, karena sample/contoh/cuplikan
yang diambil tidak mewakili seluruh/sebagian kebun misalnya satu petak tebang.
Tata cara pelaksanaan analisa kemasakan khususnya pada kebun yang dikelola secara
Reynoso dan kondisi pertumbuhannya homogen ialah (1) menentukan petak maupun
juringan contoh, (2) kemudian dari juringan-juringan contoh tersebut ditentukan letak
batang contoh,dimana batang-batang tersebut akan diambil/ditebang pada setiap
periode/rondenya. Yang penting baik juringan maupun batang contoh haruslah
mewakili kondisi pertanaman dari seluruh areal tersebut. Selanjutnya (3) melakukan
analisa yakni dengan langkah-langkah menglentek daun, menghitung, menimbang dan
mengukur batang serta menghitung jumlah ruasnya (4) memotong tiap batang
menjadi 3 bagian (bawah, tengah dan atas/BTA) yang sama panjang, masing-masing
ditimbang,dibelah, dihitung jumlah ruasnya, serangan hama (khususnya penggerek
batang dan bakteriosis), keadaan “voos” (gabes) atau adanya lubang di tengah
batang. (5) tiap kelompok bagian batang tersebut digiling di gilingan kecil dengan
faktor perah diusahakan mencapai 60 %. (6) dari nira tersebut dengan peralatan
laboratorium dapat diperoleh nilai brix dan pol dan dapat dihitung Nilai nira (NN) dan
Hasil bagi Kemurnian (HK).
Dari analisa beberapa ronde dapat diketahui secara tepat keadaan/faktor
kemasakan (FK), kemungkinan/kosien peningkatan (KP) dan keadaan/kosien daya
tahannya (KDT) dengan rumus-rumus sebagai berikut.
Rendemen B – Rendemen A
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 12
13. F.K. = ———————————————- x 100 %
Rendemen B
Rendemen (a.a.)
K.P. = ———————————- x 100 % , dimana
Rendemen ( a.a.-2)
Keterangan :
Rendemen a.a adalah rendemen rata-rata hasil analisa akhir, sedang Rendemen a.a.-2
rendemen rata-rata hasil analisa akhir dua ronde sebelumnya.
H.K. (B) (a.a)
K.D.T. = ————————— x 100 %, dimana
H.K. (B) (a.a.-2)
H.K. (B) (a.a.) adalah hasil bagi kemurnian batang bawah rata-rata analisa akhir
sementara H.K. (B). (a.a.-2) rata-rata analisa dua ronde sebelumnya.
Tjokrodirdjo (1999) menyatakan karena jalannya FK dari 100 menuju 0, maka
tebu dikatakan masak ketika FK mendekati angka 0. Mochtar (1994) menyebut angka
FK ideal dimana tebu layak untuk ditebang adalah sekitar 25. Kosien peningkatan
sebaliknya berjalan dari 0 sampai > 100. Jika FK > 100% , rendemen tersebut masih
bisa meningkat, namun bila sudah menurun dibawah 100 berarti rendemen sudah
menurun. Demikian juga KDT apabila = 100% atau lebih sedikit, kondisi tebu
(terhadap kemasakannya) masih dapat ditahan untuk sementara. Bila sudah < 100%
menandakan sudah terjadi perombakan gula menjadi bukan gula yang disebabkan oleh
terlalu masak, seyogyanya tebu segera ditebang.
Penentuan kemasakan tebu dengan cara analisa tiga bagian seperti diuraikan di
atas terasa rumit dan memerlukan tenaga, waktu dan kecermatan, yang berarti juga
menambah beban biaya pengelolaan tebu. Belum lagi karena setiap rondenya ada
batang-batang yang perlu dikorbankan ditebang untuk dianalisa, menyebabkan pemilik
kebun sering keberatan dilakukan analisa tersebut. Barangkali karena kerumitan dan
adanya korbanan batang-batang yang harus ditebang maka analisa kemasakan tidak
dilaksanakan sepenuhnya di beberapa PG.
Ditinjau dari kondisi tanaman tebu dilapangan saat ini, tampaknya agak sulit
mencapai persyaratan untuk dilaksanakan analisa tersebut. Boleh dikata sangat langka
pertanaman dalam suatu hamparan yang relatif homogen, baik varietasnya, masa
tanamnya, kategori tanamannya, penyediaan airnya, kondisi batang biasanya juga
sangat heterogen seperti banyak yang roboh, doyong, mati sogolan dll. Kondisi seperti
itu terutama terlihat pada tebu rakyat, khususnya TRB. Dengan kondisi yang tidak
homogen tentu saja sample yang diambil sering kurang mewakili dan menyebabkan
penyimpangan data kemasakannya.
Analisa kemasakan saat ini masih dilakukan, namun tujuannya hanya sekedar
memenuhi prosedur. Analisa belum tentu dilakukan dalam 10 ronde, di beberapa PG
umumnya hanya 8 ronde. Biasanya analisa dihentikan apabila FK sudah mencapai
sekitar 35-40%.
I. MENEKAN KEHILANGAN GULA DI PABRIK
Proses produksi gula di pabrik dilakukan melalui beberapa tahapan tertentu
dimulai dari penimbangan dan pengumpanan tebu di meja tebu, pemerahan nira di
stasiun gilingan, pemurnian nira, penguapan, kristalisasi, sentrifugalisasi, pengeringan
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 13
14. dan akhirnya pengepakan gula. Sebelum dilakukan upaya menekan kehilangan gula
di pabrik, maka perlu diketahui terlebih dahulu pos-pos kehilangan yang mungkin
terjadi di pabrik. Secara garis besar terdapat 3 katagori kehilangan gula, yaitu : (1)
Kehilangan diketahui, (2) Kehilangan tak diketahui dan (3) Kehilangan tersembunyi.
Kehilangan diketahui adalah kehilangan gula yang terjadi dalam proses pabrikasi,
yang jumlahnya diketahui karena terukur. Sebagai contoh: kehilangan dalam ampas,
blotong dan tetes. Kehilangan dalam tetes merupakan kehilangan terbesar dalam
proses pembuatan gula, namun sebagian gula yang hilang masih dapat dikembalikan
melalui nilai jual tetes. Kehilangan gula dalam ampas merupakan kehilangan besar
kedua karena jumlahnya (bobot ampas) besar, yaitu ampas % tebu sekitar 30-40 %.
Kehilangan tak diketahui adalah kehilangan yang jumlahnya tak terukur
walaupun penyebabnya diketahui. Menurut penyebabnya, kehilangan tak diketahui
dibedakan menjadi : (1) Kehilangan mekanis yaitu kehilangan yang terjadi karena,
secara fisik gula keluar dari sistem proses pabrikasi, misalnya karena tumpah/luber,
percikan dan lain-lain. (2) Kehilangan khemis yaitu karena, sukrosa berubah menjadi
senyawa lain akibat hidrolisis atau dekomposisi. (3) Kehilangan semu, bukan
kehilangan sebenarnya, namun terjadi karena kesalahan dalam penimbangan , analisis
atau estimasi produk antara.
Kehilangan tersembunyi lebih banyak terjadi di sektor tebang angkut, misalnya:
penebangan tebu yang belum masak, kerusakan tebu (cane deterioration), inversi dan
lain-lain. Kehilangan ini jarang diperhitungkan orang, namun menurut beberapa hasil
penelitian angkanya berkisar antara 10-25 % sukrosa yang tersedia dalam batang
tebu.
1. Kapasitas Giling dan Kelancaran Giling
Pabrik gula beroperasi secara kontinyu 24 jam per hari selama kurang lebih 150
hari. Menjaga kelancaran giling pada kapasitas yang optimal merupakan keharusan
dalam menjaga agar kehilangan gula di pabrik minimal. Prasyarat ini memang berat
karena kondisi peralatan sebagian besar PG memprihatinkan, terbukti selama 5
tahun terakhir jam berhenti giling dalam pabrik sebagian besar karena kerusakan
alat. Kerusakan alat tersebut sebagian besar karena peralatan yang sudah tua,
disamping rendahnya kualitas pemeliharaan dan bahan alat yang sebagian lain karena
kemungkinan kesalahan pengoperasian.
Gangguan pada kelancaran giling, yang pasti berakibat pada rendahnya
pencapaian kapasitas giling. Disamping menyebabkan terjadinya pemborosan
pemakaian energi dan tingginya kehilangan gula karena kerusakan sukrosa. Terutama
pada bahan-bahan yang kadar brix nya rendah seperti: nira mentah, nira encer, nira
tapis dan lain-lain. Semakin lama jam berhenti, semakin boros dan mahal pemakaian
energinya, serta semakin besar pula kehilangan gula yang terjadi. Oleh karena itu
kelancaran giling harus dijaga dengan meminimalkan jam berhenti giling. Minimalisasi
jam berhenti dilakukan dengan memelihara kondisi peralatan, agar layak beroperasi
dan melakukan pengawasan pengoperasiannya sebaik mungkin.
a. Stasiun Gilingan dan Stasiun Pembangkit Energi
Stasiun ini menggunakan banyak komponen mekanis yang bergerak mechanical
movable parts, serta bekerja pada tegangan/beban tinggi. Komponen bergerak
merupakan sumber keausan dan harganya relatif mahal, semuanya itu pada akhirnya
bermuara pada tingginya biaya pemeliharaan peralatan. Pada era setelah terjadinya
krisis moneter, akibat biaya pemeliharaan yang melambung tinggi, banyak peralatan
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 14
15. terpaksa dipelihara “secukupnya”. Tentu saja kondisi ini sangat beresiko terhadap
kemungkinan terjadinya jam berhenti giling. Pihak pabrik sangat menyadari bahwa,
langkah menurunkan kualitas pemeliharaan peralatan bukan merupakan pilihan yang
tepat. Penekanan biaya pemeliharaan peralatan yang dilakukan, pada umumnya harus
dibayar lebih mahal pada saat giling berlangsung, yaitu berupa: jam berhenti giling,
pemborosan pemakaian energi dan turunnya efisiensi (meningkatnya kehilangan gula
yang terjadi). Tetapi pilihan yang tersedia memang tidak banyak, sehingga semuanya
itupun ternyata harus terjadi.
Selanjutnya apabila diamati data jam berhenti giling % jam giling, terjadi
lonjakan yang cukup signifikan dari era sebelum krisis moneter (sebelum tahun giling
1997) dibandingkan era sesudahnya. Rerata jam berhenti giling B (karena sebab di
dalam pabrik) melonjak dari ± 5% menjadi ± 10% dan yang lebih memprihatinkan
lagi, stasiun gilingan merupakan penyebab nomor satu terjadinya jam berhenti giling.
Beberapa kasus kerusakan yang sering dijumpai, diantaranya: (1) Rantai krepyak
putus, karena aus akibat gesekan pada beban tinggi. (2) As rol gilingan putus, karena
sebenarnya sudah terjadi micro crack pada as-nya tetapi penggantinya belum tersedia.
(3) Kebocoran pada sistem hidrolik, karena packing-packing sudah aus perlu
penggantian. (4) Dan lain-lain.
Berbeda dengan stasiun gilingan, stasiun pembangkit energi banyak
menggunakan komponen statis yang bekerja pada suhu tinggi, serta harganya juga
relatif mahal. Aksi panas pada suhu tinggi mempercepat kerusakan komponen
peralatan, melalui aksi oksidasi (korosi). Dengan alasan yang sama seperti pada
stasiun gilingan, tingginya biaya pemeliharaan peralatan sekali lagi memaksa pihak
pabrik harus melaksanakan pemeliharaan “secukupnya” di stasiun pembangkit energi.
Dampaknya tentu saja mudah diduga, yaitu tingginya jam berhenti giling akibat
kerusakan peralatan yang berulang-ulang. Beberapa informasi menyatakan bahwa,
stasiun pembangkit energi merupakan penyebab nomor dua terjadinya jam berhenti
giling. Beberapa kasus kerusakan yang sering terjadi, diantaranya: (1) Kerusakan
blade/sudu pada induced maupun forced draft fan, akibat keausan yang terjadi karena
kontaknya blade/sudu dengan gas panas yang banyak mengandung emisi abrasif. (2)
Kebocoran pada pipa-pipa air, karena aus terkena abrasi gas panas, maupun overheat
karena pengerakan. (3) Kebocoran pada pipa-pipa air-preheater, karena korosi. (4)
Dan lain-lain.
b. Stasiun Pengolahan
Kendala yang dialami pada peralatan di stasiun pengolahan tidak sama antara
PG satu dengan lainnya, namun demikian dapat dikemukakan beberapa peralatan
yang biasanya menjadi kendala di stasiun pengolahan.
Untuk mentransfer bahan olah dari satu tempat ke tempat yang lain, dilakukan antara
lain menggunakan pompa. Sering kali terjadi, transfer bahan terhambat karena
kerusakan pompa. Apabila terjadinya pada saat dan tempat yang kritis, dapat
menyebabkan terjadinya jam berhenti giling. Kerusakan pompa sering terjadi karena
pemeliharaannya yang kurang optimal, keausan, atau sebab-sebab lain.
Sistem vakum di PG sangat diperlukan di stasiun penguapan, pan masak penapis
vakum dan lain-lain. Hambatan pada sistem vakum menyebabkan proses penguapan,
masak dan penapisan terganggu. Selanjutnya dapat berakibat pada peningkatan
kehilangan gula. Hambatan ini dapat terjadi karena kerusakan pompa udara, atau
pompa air injeksi, atau karena kekurangan air injeksi. Sebagai dampak kekeringan
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 15
16. pada 2 tahun terakhir ini, masalah kekurangan air injeksi menjadi masalah yang
potensial di pabrik gula.
Stasiun pemurnian pada umumnya mengalami hambatan apabila mengolah tebu
yang bermutu rendah, misalnya: tebu kotor, atau tebu yang berdekstran. Indikasinya
adalah nira encernya keruh, nira kotornya sulit ditapis dan kapasitas clarifier menurun.
Akibatnya terjadi kesulitan dalam mengolah lanjut nira encer, kehilangan gula di
blotong juga meningkat, sehingga kapasitas giling menurun.
Hambatan di stasiun kristalisasi masakan akhir dan stasiun sentrifugal seringkali
terjadi, terutama apabila mengolah tebu yang bermutu rendah. Waktu yang
diperlukan untuk kristalisasi meningkat, demikian pula untuk sentrifugalisasi masakan
akhir. Akibatnya terjadi kelambatan proses pengolahan atau penurunan kapasitas
giling.
2. Kehilangan Gula di Stasiun Gilingan
Kehilangan gula di stasiun gilingan hanya melalui satu pintu, yaitu gula terbawa
ampas. Besarnya kehilangan ini pada umumnya diukur dengan besaran: ekstraksi
(HPB., HPG.) dan kadar pol ampas. Secara makro, besarnya kehilangan gula di ampas
sangat dipengaruhi oleh: intensitas pencacahan tebu, intensitas imbibisi dan intensitas
pemerahan dari tandem gilingan. Semakin intensif pencacahan, imbibisi dan
pemerahan, dilakukan, semakin tinggi pula ekstraksi yang dicapai dan semakin rendah
kadar pol ampasnya (kehilangan gulanya).
Walaupun kualitas tebu giling cenderung menurun dari waktu ke waktu, kinerja
stasiun gilingan masih cenderung konstan. Hal ini terjadi karena, dalam kurun waktu
yang sama telah terjadi peningkatan teknologi peralatan yang lebih efisien di stasiun
gilingan. Alat Pencacah Tebu (APT) jenis crusher telah hampir punah ditinggalkan.
Sebagai gantinya mulai digunakan: pisau tebu, unigrator, shredder, atau kombinasi
dari ketiganya. Dengan demikian, memungkinkan dilakukannya pencacahan tebu lebih
intensif. Tandem gilingan juga telah mengaplikasi teknologi peralatan yang lebih
efisien, diantaranya: Donnelly chute, self setting mill, pressure feeder, atau
kombinasinya. Sehingga memungkinkan dilakukannya pemerahan mekanis yang lebih
intensif. Disamping itu sejalan dengan tuntutan efisiensi, PG mulai melengkapi dirinya
dengan unit evaporator yang tangguh. Sehingga memungkinkan dilaksanakannya
imbibisi yang lebih intensif. Hasil Pemerahan Brix (HPB) yang dicapai relatif konstan,
akan tetapi kadar pol ampasnya (kehilangan gulanya) justru lebih rendah.
Walaupun secara rerata, kinerja stasiun gilingan relatif konstan dari waktu ke
waktu, tetapi PG-PG yang kinerjanya di bawah rata-rata, kondisinya cukup
memprihatinkan. Banyak kendala, baik di sektor peralatannya maupun di sektor
operasionalnya. Keterbatasan dalam pemeliharaan peralatan akan menyebabkan: giling
tidak lancar dan peralatan tidak dapat bekerja optimum. Dampaknya target kapasitas
giling tidak tercapai dan terjadi inefisiensi. Dibeberapa PG peralatan stasiun gilingannya
tidak dalam kesetimbangan spesifikasi teknik yang harmonis. Ketidak setimbangan ini
akan berdampak pada tidak optimumnya kinerja stasiun gilingan yang bersangkutan.
Misalnya pencacahan tebu sudah intensif, pemerahan mekanis juga sudah intensif,
tetapi apabila imbibisinya tidak optimum, maka kinerja yang dicapai pastilah tidak
optimum. Usia peralatan yang sudah tua juga berkontribusi terhadap terjadinya
inefisiensi. Hasil uji kinerja yang dilakukan menunjukkan bahwa, PG-PG ini ekstraksi
gilingannya (HPB) rendah dan kadar pol ampasnya (kehilangan gulanya) tinggi,
dibanding rata-rata Indonesia.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 16
17. 3. Kehilangan Gula di Stasiun Pengolahan
Kehilangan gula di stasiun pengolahan yang sudah pasti terjadi di stasiun
pemurnian, terbawa oleh blotong dan di stasiun akhir terbawa oleh tetes. Karena
kehilangan di pos tersebut terukur maka dengan mudah dapat diawasi. Kehilangan
lain yang terjadi di stasiun pengolahan dan sulit dikontrol kualitasnya adalah
kehilangan tak diketahui, baik akibat mekanis maupun khemis. Semua kehilangan yang
terjadi di stasiun pengolahan dinyatakan/diindikasikan dengan tingkat efisiensi, baik
menggunakan BHR (boiling house recovery) maupun yang biasa digunakan di industri
gula Indonesia, yaitu WR (Winter Rendement).
Tingkat efisiensi stasiun pengolahan, yang dinyatakan dengan WR, dari PG-PG
sebelum tahun 1975 berkisar antara 96-98% untuk PG sulfitasi. Namun pada tahun
pasca Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) angka tersebut sulit dicapai, walaupun yang
dilaporkan masih berkisar antara 96-98%. Kesulitan untuk mencapai tingkat efisiensi
yang tinggi, selain karena mutu tebu giling yang rendah, juga akibat dari peralatan
PG pada umumnya yang sudah usang. Sehingga mengalami banyak hambatan untuk
beroperasi pada kondisi sesuai dengan yang ditetapkan dalam Standard Operating
Procedure (SOP). Dari hasil audit proses pengolahan di PG-PG beberapa tahun terakhir
ini, ternyata kebanyakan angka WR yang dicapai lebih rendah dari 90%. Inilah
kenyataan yang ada, sehingga untuk meningkatkan efisiensi (WR) maka kehilangan
gula di stasiun pengolahan harus ditekan sampai minimal.
Kehilangan gula di stasiun pemurnian, yang terbawa dalam blotong, pada era
sebelum TRI relatip lebih besar dari era pasca TRI. Hal ini disebabkan karena adanya
aplikasi/lompatan teknologi penapisan menggunakan Rotary Vacuum Filter (RVF).
Menggunakan teknologi ini, kadar pol blotong bisa ditekan sampai mencapai 1%,
dibandingkan era sebelum aplikasi paling rendah 2%. Oleh karena itu untuk menekan
kehilangan gula di blotong maka pengoperasian RFV harus optimal.
Kehilangan gula di tetes dapat ditekan dengan menjaga HK tetes rendah (<
30%), melalui pemerahan masakan akhir yang optimal. Sedangkan kehilangan tak
diketahui dapat diminimalisasi dengan menjaga kelancaran giling pada kapasitas
optimal dan pengoperasian giling sesuai dengan SOP.
IV. KENDALA PENINGKATAN RENDEMEN
Disintegrasi vertikal dalam pengelolaan produksi gula mengakibatkan munculnya
kelembagaan yang membuat perilaku pengelola produksi (petani dan pabrik gula)
cenderung kurang mempunyai insentif dalam meningkatkan rendemen. Kelembagaan-
kelembagaan tersebut antara lain : (a) sistem bagi hasil, (b) transfer tebu, (c)
penentuan kualitas tebu, (d) variabilitas petani dan (e) pendukung.
1. Sistem Bagi Hasil
Sistem bagi hasil mengatur perolehan (income) antara pabrik gula dan petani
berdasarkan formula tertentu yaitu 66 % untuk petani dan 34 % untuk pabrik gula.
Berdasarkan formula ini masing-masing pelaku akan cenderung tidak bersedia
menambah biaya untuk meningkatkan rendemen karena apabila PG meningkatkan
efisiensi teknisnya hasilnya akan dinikmati oleh PG hanya sebesar 34 %. Sementara
itu apabila petani meningkatkan rendemen petani, hasil yang akan dinikmatinya 66 %.
Karena itu pabrik gula akan melaksanakan upaya yang sub optimal (ditinjau dari
peningkatan rendemen) dalam hal pemeliharaan dan investasi pabrik, pengelolaan
laboratorium parasit untuk pengendalian hama dan penyediaan bibit yang berkualitas.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 17
18. Sementara itu petani cenderung melakukan kegiatan yang cenderung sub optimal
dalam penyediaan air, penyediaan bibit, penyediaan pupuk, pemeberantasan hama
dan tebang muat angkut. Dengan perilaku kegiatan sub optimal maka rendemen
setelah program TRI diberlakukan merosot tajam.
2. Transfer Tebu
Karena tebu dihasilkan oleh petani dan prosesing dilaksanakan pebrik gula maka
ada phenomena transfer tebu dari petani ke pabrik gula. Transfer tebu ini menjadi
masalah karena jumlah petani banyak dan pabrik gula juga banyak. Untuk tebu rakyat
mandiri (TRM), petani bebas mentransfer tebu kemana saja (PG mana saja). Hal ini
berimplikasi pada adanya perdagangan tebu antar wilayah.
Adanya sifat pabrik gula yang mempunyai economics of size, pabrik gula
cenderung akan mengoptimalkan jumlah tebu. Karena masing-masing pabrik gula
ingin mengarah pada size yang optimal maka terjadi perebutan tebu yang akan
ditransfer ke PG. Perilaku ini akan mengabaikan penentuan aturan teknis penentuan
awal giling sehingga pabrik gula tidak menempatkan masa giling pada masa giling
yang optimal. Karena pabrik gula cenderung memperawal masa giling dengan
kalkulasi asal biaya variabel prosesing masih dapat ditutupi dari pendapatan bagi hasil
tiap ton tebu. Akibatnya rendemen masa giling menjadi lebih rendah dari potensinya.
3. Penentuan Kualitas Tebu
Secara riil jumlah gula yang dihasilkan dalam satu ton tebu tergantung dari
kualitas tebu. Unsur-unsur kualitas tebu adalah jumlah pol dalam nira, kemurnian nira
dan jumlah nira dalam tebu. Pengukuran kualitas tebu saat ini mengandung
kelemahan-kelemahan seperti: pengukuran hanya menyangkut jumlah pol dalam nira,
kemurnian nira, dan kurang akurat dalam arti tercampur antara tebu yang berkualitas
baik dan berkualitas jelek. Karena hasil pengukuran kualitas tebu berdampak terhadap
perolehan petani, maka kelemahan dalam pengukuran kualitas tebu menjadikan petani
menghadapi ketidakpastian dalam upaya meningkatkan rendemen. Petani cenderung
mengabaikan upaya untuk meningkatkan rendemen terutama dalam hal: penyediaan
varietas (memilih bobot), pemupukan (tidak berimbang), serta tebang angkut dan
muat.
4. Variabilitas Petani
Kemampuan dan ketrampilan petani sangat bervariasi. Hal ini menimbulkan
variabilitas yang tinggi dalam hal performa usahatani. Kualitas kebun masing-masing
petani sangat bervariasi. Karena pada umumnya penguasaan lahan sempit maka
variabilitas kualitas kebun tebu pada satu pabrik sangat tinggi. Hal ini akan
menyulitkan dalam melaksanakan analisa kemasakan dan penentuan awal giling,
dengan kualitas kebun bervariasi bahkan tegakan tebu dalam satu kebun tebu sangat
heterogen maka contoh yang diambil akan semakin banyak yang berakibat mahalnya
biaya analisis. Namun apabila analisis tidak dilaksanakan maka jaminan tebu yang
ditebang pada kemasakan optimum tidak ada dan penentuan awal giling yang
optimum tidak dapat dilakukan. Hal-hal tersebut tentu akan membuat upaya
peningkatan rendemen menjadi sulit dilaksanakan.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 18
19. 5. Pendukung
Faktor pendukung yang utama dalam produksi tebu adalah harga gula dan
penyediaan dana. Harga gula sangat menentukan bagi perilaku produsen. Instabilitas
harga akan dianggap oleh produsen sebagai ketidakpastian yang akan mendiscourge
penerapan teknologi yang dapat meningkatkan produksi (termasuk rendemen).
Apabila harga tidak stabil maka produsen akan cenderung menerapkan teknologi yang
bersifat low input dan tidak bersedia berinvestasi karena takut uang yang
diinvestasikan tidak kembali. Sementara itu ketidakpastian akan cenderung
meningkatkan biaya modal. Dalam keadaan tidak pasti perbankan akan meningkatkan
suku bunga. Apabila bunga tinggi maka produsen akan cenderung menggunakan low
input untuk menekan biaya dan bunga. Perilaku tersebut jelas akan berdampak tidak
diterapkannya teknologi umum untuk peningkatan rendemen.
V. KONSEP ALTERNATIF
Seperti disebutkan dimuka bahwa penurunan rendemen terjadi sebagai akibat
terjadinya disintegrasi vertikal dalam produksi gula yang menyebabkan konsep umum
terkendala pelaksanaannya. Di depan telah disebutkan adanya lima kendala yang
menghambat upaya peningkatan rendemen yaitu sistem bagi hasil, transfer tebu,
penentuan kualitas tebu, variabilitas usahatani dan faktor pendukung. Konsep
alternatif adalah bagaimana upaya mengatasi kendala tersebut diatas agar konsep
umum dapat dilaksanakan dengan lancar.
1. Perubahan Sistem Bagi Hasil
Pada makalah ini ditekankan pentingnya hubungan antara biaya yang
dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Dalam sistem bagi hasil hubungan antara
biaya dan manfaat yang diperoleh petani dan atau PG sering tercampur. Apabila
petani mengeluarkan biaya untuk meningkatkan rendemen, manfaat dinikmati oleh PG
dan petani. Demikian pula apabila mengeluarkan biaya untuk meningkatkan rendemen
maka manfaatnya dinikmati oleh petani dan PG. Hal demikian cenderung menimbulkan
perilaku masing-masing ingin agar fihak lain yang mengeluarkan biaya. Perilaku
demikian perlu dihentikan dengan cara merubah sistem bagi hasil menjadi suatu
sistem pembayaran sedemikian rupa apabila petani mengeluarkan biaya untuk
meningkatkan rendemen maka manfaatnya hanya dinikmati petani. Sebaliknya apabila
PG mengeluarkan biaya maka manfaatnya hanya dinikmati PG. Agar hal tersebut
diatas dapat terealisasikan maka rendemen perlu dikomposisi menjadi indikator yang
menunjukkan prestasi petani dan indikator yang menunjukkan prestasi PG. Apabila
indicator prestasi petani adalah gula yang dapat diperoleh dari tebu (recoverable
sugar=RS) dan indikator prestasi PG adalah efisiensi teknis PG (overall recovery=OR)
maka rendemen merupakan perkalian dan OR. Dengan demikian sistem bagi hasil PG
dan petani perlu diubah dengan mengacu pada prestasi petani (RS) dan prestasi PG
(OR). Perubahan sistem bagi hasil ini diharapkan dapat mengubah perilaku petani dan
PG sehingga keduanya menerapkan teknologi untuk meningkatkan rendemen.
2. Konsolidasi Lahan Pabrik Gula
Konsolidasi lahan pabrik gula dimaksudkan agar masing PG mengembangkan
wilayah kerjanya untuk mencapai optimum size pada radius yang optimum (< 30 km
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 19
20. ?). Konsolidasi ini berdampak pada dua hal yaitu memudahkan monitoring intern dan
menghilangkan perdagangan tebu antar wilayah. Pentingnya monitoring wilayah untuk
memudahkan pemantauan penerpana teknologi yang dapat meningkatkan rendemen.
Sementara itu hilangnya perdagangan tebu antar wilayah akan memudahkan
penentuan awal giling pabrik gula sehingga selama masa giling rendemen pabrik gula
optimal.
3. Pembentukan Sistem Blok
Kendala utama dalam peningkatan rendemen adalah pengukuran rendemen yang
kurang akurat. Pengukuran rendemen yang kurang akurat disebabkan oleh kapasitas
giling yang besar, front tebang yang banyak dan variabilitas yang tinggi dari usahatani
tebu. Karena itu tidak akuratnya pengukuran rendemen dapat dilakukan dengan
mengurangi front tebangan dan pengurangan front tebangan dapat dilakukan apabila
kebun tebu relatif homogen dan agar kebun tebu homogen, perlu dilaksanakan
pembentukan sistem blok.
a. Sistem blok
Selama ini pertanaman tebu terpencar di banyak lokasi dengan luasan sempit
(terutama di TR) dalam hal umur, varietas dan kategori yang berbeda-beda. Kondisi
demikian mengakibatkan kegiatan penebangan dan pertanaman juga terpencar dalam
banyak front sehingga mengakibatkan mobilitas alsin menjadi tinggi transportasi bahan
dan hasil tebangan, efektifitas kontrol berkurang dan pasok tebu ke pabrik mengalami
hambatan. Kondisi demikian tentu saja tidak efisien, karena mengkonsumsi tenaga,
biaya dan waktu yang lebih tinggi. Padahal dalam penebangan dan pertanaman tebu
setiap kegiatannya dibatasi waktu, tenaga maupun biaya. Seperti telah disebutkan di
atas, berkurangnya jumlah tenaga tebang muat angkut pada saat-saat tertentu dan
kerusakkan di pabrik serta kebakaran tebu yang tidak terkendali boleh dikatakan
terjadi dari tahun ke tahun.
Dengan kondisi seperti disebutkan di atas, mengakibatkan pembukaan lahan
baru untuk PC terlambat. Umumnya tebu diteruskan ke tanaman keprasan, sehingga
pembukaan lahan untuk PC juga terbatas. Kondisi demikian berulang terus dari tahun
ke tahun dan makin menambah kompleknya kegiatan TMA. Makin komplek kegiatan
TMA, makin besar peluang terjadinya penurunan rendemen dan bobot tebu yang pada
akhirnya menghambat upaya akselerasi produksi gula.
Upaya telah banyak dilakukan oleh PG untuk mengatasi kerugian-kerugian
tersebut, baik dalam perencanaannya, persiapannya dan operasionalnya. Bagi PG
kegiatan TMA sudah merupakan kegiatan rutin dari tahun ke tahun, bukan hal baru
dan PG telah berpengalaman. Namun dalam perjalanan kegiatan TMA masalah seperti
disebutkan di atas selalu terjadi. Hal ini berarti ada sistem yang masih harus dikaji
dan diperbaiki, dan dari pengamatan, kiranya sistim blok akan sangat membantu
secara berkelanjutan dalam mengefisienkan kegiatan TMA dan sekaligus menekan
kerugian akibat turunnya rendemen dan bobot tebu.
Sistem blok adalah pengaturan tanaman tebu dalam blok-blok kebun dengan
luasan tertentu dalam kondisi umur yang sama, varietas yang sama dan kategori yang
sama. Penerapan sistem blok akan lebih efisien dalam berbagai kegiatan, sejak
tanaman hingga tebang karena setiap kegiatan terkonsentrasi, tidak terpencar di
banyak lokasi dengan luasan sempit. Blok tebangan akan sangat menghemat gerak
alat mesin dan alat angkut karena mobilitasnya dapat ditekan, kontrol lebih efektif,
demikian juga kegiatan pertanaman lainnya. Penebangan dapat dilakukan dengan
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 20
21. jumlah front yang lebih sedikit dari biasanya dan dapat dilakukan pada kondisi
kemasakan yang relatif sama.
b. Konsep Pembentukan Sistem Blok
Pembentukan blok-blok tanaman tidak bisa dilakukan sekaligus, karena dalam
kenyataannya kondisi tebu di suatu lokasi sudah dalam kondisi sangat bervariasi baik
dalam umur, varietas maupun kategori. Penyusunannya dilakukan bertahap dari tahun
ke tahun dan itupun pada tahap berikutnya mesti ada penyusunan ulang atau revisi
karena belum tentu hasilnya sudah sesuai dengan rencana.
Tahun pertama perlu ada sosialisasi kepada petani partisipatif, dalam arti petani-petani
tebu yang benar-benar menjadikan PG sebagai partnernya. Kemudian menyusun blok-
blok tebangan dengan mempertimbangkan lokasi, kepemilikan kelompok tani, dan
umur tebu, untuk menekan korbanan seminimal mungkin. Dalam kegiatan ini akan
ada pengorbanan terutama karena ada tebu yang ditebang pada umur yang belum
optimal. Tebangan awal diprioritaskan pada varietas masak awal walaupun mungkin
tidak tercapai karena sudah terlanjur tersebar dengan luasan kecil-kecil hampir di
seluruh peloksok kebun.
Tahun kedua melanjutkan sosialisasi kepada petani-petani partisipatif. Kemudian
menyusun kembali blok-blok tebangan dengan mempertimbangkan lokasi, kepemilikan
kelompok tani, varietas dan umur tebu. Dalam tahun kedua beberapa kegiatan diulang
karena biasanya hasil pada tahun pertama tidak semulus yang diharapkan.
Tahun ketiga sama seperti tahun sebelumnya, namun dalam penyusunan blok-
blok tebangan pertimbangannya ditambah dengan pertimbangan kategori. Dalam
tahun ketiga beberapa kegiatan diulang karena biasanya hasil pada tahun pertama dan
kedua masih ada yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Blok-blok tebangan
yang disusun setiap tahun akan menjadi blok-blok kebun yang akan dipelihara
keberadaannya.
Konsep penyusunan sistem blok dapat lebih mudah terlaksana jika dukungan
petani partisipatif tetap konsisten, pengembalian lahan sesuai dengan rencana dan
dukungan alsintan memadai.
c. Aplikasi Sistem Blok di Pabrik Gula
Beberapa PG swasta telah menerapkan sistem blok dan berhasil dengan baik.
Namun beberapa PG yang memiliki HGU kurang berhasil karena hambatan pada
ketersediaan alsintan. Tidak cukupnya ketersediaan alsintan akan menghambat
akselerasi pembukaan lahan untuk PC, sehingga kebun-kebun yang sudah terlambat
dibuka, diteruskan dalam kategori keprasan berikutnya. Oleh karena kondisi ini terjadi
dari tahun ke tahun, maka pembentukan blok-blok kebun sulit terlaksana.
Di PG lahan TR, kondisi yang menjadi masalah dalam penyusunan blok-blok
kebun adalah tidak seragamnya waktu penyerahan lahan dan adanya beda
kepentingan di antara pemilik lahan. Namun sebuah PG memiliki peluang banyak
untuk berhasil karena dukungan dari petani-petani partisipatif.
Memperhatikan hal tersebut, maka bantuan pemerintah kepada PG dalam bentuk
alsintan akan sangat membantu pada kelancaran penyusunan sistem blok. Lahan TR
akan sangat memungkinkan jika para petani penjadi petani partisipatif dalam arti
memiliki komitmen dengan PG sebagai partner dalam bisnisnya.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 21
22. 4. Kebijakan Pendukung
Kebijakan penting untuk peningkatan rendemen adalah stabilisasi harga dan
penyediaan dana untuk kredit usahatani. Kebijakan harga yang wajar dan stabil akan
mencourage produsen untuk menerapkan teknologi untuk meningkatkan rendemen
seperti penyediaan bibit bermutu, penyediaan air, penyediaan pupuk berimbang,
pengendalian hama dan penyakit dan pelaksanaan TMA yang manis, baik, masak,
bersih dan segar. Namun penerapan teknologi membutuhkan biaya yang oleh
sebagian besar petani tidak tersedia sehingga diperlukan penyediaan dana secara
kredit.
VI. KESIMPULAN
1. Telah tersedia teknologi konvensional untuk meningkatkan rendemen. Teknologi
tersebut telah dipraktekan oleh pabrik gula terutama pada era sistem sewa.
2. Dengan diberlakukannya Inpres No. 9 tahun 1975 yang dikenal dengan program
TRI, penerapan teknologi untuk meningkatkan rendemen menghadapi kendala
kelembagaan sehingga setelah program TRI, kinerja rendemen menurun tajam.
3. Konsep pendekatan peningkatan rendemen bertumpu pada minimalisasi kendala
kelembagaan yang menghambat penerapan teknologi yang ada untuk
menghasilkan pendekatan alternatif. Pendekatan alternatif tersebut adalah
perubahan formula bagi hasil ( bukan besarnya porsi) yang didukung oleh
konsolidasi lahan tingkat PG, pembentukan sistem blok, kebijakan harga yang
wajar dan stabil dan penyediaan kredit usahatani yang cukup dan tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achadian E. M. dan D. Pramono. 2000. Upaya peningkatan produktivitas dan
kualitas dalam pembiakan Trichogamma di laboratorium. Berita P3GI,
Pasuruan, 27 : 26-33.
2. Anonim. 1993. Central de Tecnologia Copersucar. Annual report 1992/1993. Brazil.
3. Anonim. 1994. South African Sugar Association Experiment Station. Annual Report
1993-1994: hal. 25.
4. Anonim. 1997. Tangki Air Panas perawat bibit tebu. P3GI Pasuruan.
5. Cambpell, R.B. 1967. Sugarcane, Dalam : Hagan R.M., H.R. Haise, J.W. Edminser
(Eds.). Irrigation of Agricultural Lands, ASA Monograph 11, Wisconsin, USA:
649-654.
6. Darmawan, T. 1998. Upaya maksimal meraih efisiensi tinggi dalam kegiatan
tebang muat angkut di pabrik gula di Jawa. Majalah Gula Indonesia. XXIII/I:
41-45.
7. Darmawan, T., A. Rasyid, M. Mochtar dan E. Premono. 2000. Upaya meraih laba
dengan cara menekan kehilangan tebu dan meningkatkan rendemen selama
tebang giling. Gula Indonesia Vol XXV/1. IKAGI, P3GI. Pasuruan.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 22
23. 8. Davis M.J., dan Bailey, R.A. 2000. Ratoon stunting in A guide to sugarcane dieases.
P. Rott, R.A. Bailey, J.C. Comstock, B.J. Croft, dan A.s. Saumtally (Eds.).
CIRAD-ISSCT: 49-54.
9. Davis M.J., J.L. Dean dan N.A. Harrison. 1988. Quantitative variability of
Clavibacter xyli subsp. Xyli population in sugarcane cultivars differing in
resistance to ratoon stunting disease. Phytopathology. 78 : 462-468.
10. Djojosoewardho, Apoen S. 1990. Menduga kemasakan tebu. Himpunan Diktat
Latihan Penentuan Rendemen Tebu, Angkatan XI, P3GI Pasuruan. 11 hal.
11. Evtushenko, L.I., Dorofeeva, L.V., Subbotin, S.A., Cole J.R., dan Tiedje, J.M.,
2000. Leifsonia poae gen. Nov., sp. Nov., isolated from nematode galls on
Poa annua and reclassification of’Corynebacterium aquaticum’ Leifson 1962
as Leifsonia aquatica (ex Leifson 1962) gen., Nov., nom. Rev., comb. Nov.
and C. xyli Davis et al. 1984 with two subspecies as Leifsonia xyli (Davis et
al. 1984) gen. Nov., comb. Nov. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. 50:371-380.
12. Han Lioe Hong. 1961. Penggerek-penggerek batang. Berita-berita dari
perusahaan-perusahaan gula di Indonesia , (2) : 2-31.
13. Handojo, H. 1982. Penyakit tebu di Indonesia. BP3G Pasuruan. 189 hal.
14. Handojo, H., dan Siswojo. 1981. Kerugian yang disebabkan penyakit pembuluh
dan mosaik. Majalah Perusahaan Gula XVII (1): 1-5.
15. Handojo, H., Siswojo dan Lastri Legowo. 1975. Perawatan air panas terhadap
bibit tebu. Majalah Perusahaan Gula XI (1/2): 46-52.
16. Hignett, T. P. 1982. Fertilizer and our food. Dalam White, W.C. & D.N. Collins
(eds.) The fertilizer handbook. P. 4-21. The Fertilizer Institute. Washington
D.C.
17. Hunsigi, G. 1993. Production of sugarcane; Theory and practice. Adv. Series in
Agric. Sci. 21. Springer-Verlag, Berlin. 245 hal.
18. Ibrahim, H.M., dan H. Mashudi. 1993. Permasalahan panen dan pasca panen PG-
PG PT Perkebunan XXXII (Persero). Pros. Pertemuan Teknis Tengah
Tahunan I. P3GI, Pasuruan. 22 hal.
19. Kabata-Pendias, A. dan H. Pendias. 1992. Trace element in soil and plants. CRC
Press. Boca Raton Ann Arbor, London.
20. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru, van Hoeve,
Jakarta : 594-596.
21. Koike, H., A.G. Gillaspie Jr. dan G.T.A. Benda. 1982. Cane yilds respons to
ratoon stunting disease. Int. Sugar Jour. 84: 131-133.
22. Lamadji, S., H. Budhisantoso dan Suwarno. 1993. Evaluasi ketahanan plasma
nutfah tebu terhadap penyakit luka api. Kongres Peripi, Jakarta.
23. Mirzawan dan D. Samoedi. 1995. Upaya pencarian varietas unggul dan
perlindungan tanaman. Laporan Hasil Konggres ISSCT XXII Columbia. Komisi
Biologi. Pros. Pert. Teknis. P3GI Pasuruan.
24. Mochtar, M. 2000. Laporan kunjungan ke PG Jatitujuh P3GI, Pasuruan. 4 hal.
25. Mochtar H. M. 1994. Upaya mendapatkan tebu masak, segar dan bersih (MSB),
Paket Kupat. P3GI 1994. 3 hal.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 23
24. 26. Nahdodin. 1993. Penyediaan bibit tebu berkualitas, permasalahan dan
penanggulangannya. Gula Indonesia. XVIII (3) : 39-41.
27. Putra L. K., Irawan, Suwarno dan Lastri Legowo. 1993. Penyakit luka api:
Penyakit peringkat pertama yang mengancam pertanaman tebu di
Indonesia. Kongres PFI XII. Yogyakarta.
28. Romheld, V. dan H. Marschner. 1991. Fuction of micronutrients in plants. Dalam
Mickelson, S.H. (ed.) Micronutrients in agriculture : 297-328. SSSA, Inc,
Madison, USA.
29. Santosa, A. dan T. Darmawan. 1999. Perbaikan kegiatan tebang muat angkut di
PT. PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh. Diskusi Teknis Tebang Angkut, 26 April
1999 di Pasuruan.
30. Sugiyarta, Eka. 1994. Strategi perakitan tebu unggul dan pengertian kemasakan
tebu. Pros. Pert. Teknis. P3GI Pasuruan.
31. Tjokrodirjo, H. S. 1999. Taksasi Produksi. Pelatihan petugas Lit. Bang PG PTPN XI
(Persero) Angkatan II 9-14 Agustus 1999. P3GI 1999. 22 hal.
32. Villalon, B. 1983. Reaction of sugarcane cultivar to inoculation with smut Ustilago
scitaminea Sydow in South Texas, TAES Progress Report.
33. Villalon, B. dan W.C. Warfield. 1988. Evaluation of sugarcane hybrids of resistance
to smut, 1981-1982. TAES Miscellaneus Publ.: 1-8.
34. Williams, C.N. dan K. T. Joseph. 1976. Climate, Soil and Crop Production in the
Humid Tropics, Oxford in Asia College Texs. 177 hal.
35. Wirioatmodjo, B. 1970. Hama Tebu. BP3G, Pasuruan : 11-19.
36. Wirioatmodjo, B. 1973. Abrief report of sugarcane pests at present and its control
Berita no. 1/1973. BP3G, Pasuruan, 18 hal.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 24
26. Lampiran 2. Pertumbuhan Produktivitas Usahatani Tebu dan Usahatani
Alternatif di Jawa (1975-2002)
Komoditas Pertumbuhan (%)
I. Tebu (ton hablur/ha): 1975-1977
1. Tebu Sendiri (Pabrik) -2,63
2. Tebu Rakyat 11,54
II. Tebu (ton hablur/ha): 1978-2002
1. Tebu Sendiri (Pabrik)
a. Sawah
- Tanaman I -2,16
- Keprasan -2,26
b. Tegalan
- Tanaman I -1,07
- Keprasan -4,44
2. Tebu Rakyat
a. Sawah
- Tanaman I -1,72
- Keprasan -1,56
b. Tegalan
- Tanaman I -2,12
- Keprasan -2,40
III. Tanaman Alternatif: 1975-2002
1. Padi sawah 0,79
2. Padi gogo 2,16
3. Jagung 3,43
4. Ketela pohon 1,83
5. Ketela rambat 1,27
6. Kacang tanah 1,17
7. Kedelai 2,02
Sumber:
Statistik Produksi Gula, P3GI Pasuruan, berbagai tahun edisi, diolah. Indikator
Pertanian, BPS Jakarta, bebagai tahun edisi, diolah.
Penurunan produktivitas tebu ditandai dengan angka negatif pada tingkat
pertumbuhan produktivitas selama kurun waktu tersebut sedangkan kenaikan
produktivitas tanaman alternatif ditandai dengan angka positif. Penurunan
produktivitas ini mencerminkan penurunan rendemen selama kurun waktu tersebut.
Agar tebu tetap memiliki daya saing dengan tanaman alternatif, maka kinerja tanaman
tebu harus diperbaiki.
Konsep Peningkatan Rendemen (P3GI, 2008) 26