Présentation Lifesize lors du Waycom Business Meeting du 11/06/15 au Peninsula
PErang rasa eksotis
1. MINGGU 3 MEI 201520
T
angan Chef Mandif M.
Warokka sibuk meremas-
remas pipilan jagung
dengan tepung terigu.
Pemilik restoran Teatro
Gastroteque Bali itu menaruh
beberapa bulir jagung pada
tangannya dan sedikit demi
sedikit menambahkan tepung.Dia
ingin membuat perkedel jagung
tanpa adonan telur. Bagaimana
bisa? “Saya ingin menggunakan
air dari jagung manis ini untuk
membentuk adonan perkedel,”
kata dia.
Lama-kelamaan butiran jagung
manis itu hancur dan adonannya
kalis. Lalu adonan itu bisa
dibentuk menjadi bulatan serta
diberi sedikit garam. Mandif pun
mencemplungkan dua bulatan
perkedel jagung—dibuat di
hadapan para undangan yang
hadir di restoran Oasis, Jakarta
Pusat, Selasa, 21 April 2015—itu
ke dalam wajan berisi minyak
panas.
Ada letupan-letupan kecil yang
terdengar dari penggorengan.
“Teksturnya memang jadi sedikit
puffy,” Mandif menjelaskan.
Sebagai sentuhan akhir, dia
lalu menambahkan bagian
kuning telur puyuh goreng pada
bagian perkedel. Ada pula saus
sambal di bagian bawahnya
untuk melekatkan pada piring.
Aromanya? Hmmm....
Atraksi tadi adalah pembuka
dalam “Appreciation Grows
DinnerHenessy”,yangmerupakan
hajatan perdana produsen cognac
Hennessy di Jakarta.Acara serupa
sebelumnya sudah pernah digelar
di berbagai kota dunia dengan
muatan lelang amal, kuliner,
sajian musik, dan tentu cognac—
brandy yang terbuat dari anggur
pilihan dari daerah Cognac di
Prancis—sebagai teman minum.
Mereka yang diundang hari itu
adalah warga kelas wahid Ibu
Kota sekaligus sahabat Hennessy.
DarikonduktorAddieM.S.hingga
desainer Era Soekamto dan Luwi
Saluadji, semuanya duduk rapi di
enam meja jamuan panjang yang
disediakan malam itu.
Masakan Indonesia oleh
Chef Mandif disajikan secara
rijstaffel ala Oasis dan menjadi
pasangan cognac yang terus-
menerus dituangkan. Istilah
rijstaffel merujuk pada cara
menghidangkan nasi secara
berurutan dengan sajian berbagai
macam lauk asal Nusantara.
Masing-masing dipegang satu
pelayan. Ini merupakan cara
makan yang populer di era
kolonial dan diperkenalkan
kembali di Oasis sejak 1976.“Satu
dari sedikit restoran yang masih
mempertahankan rijstaffel yang
unik,dan saya bangga bisa berada
di sini,” kata Mandif. Malam
itu, cognac disajikan dengan es,
dingin, atau dalam suhu ruang,
tergantung menunya.Cita rasanya
tentu bisa berbeda-beda sesuai
dengan suguhan makanan.
Cognac yang digunakan dalam
pairing ini adalah Hennessy
X.O alias extra old. Untuk
mendapatkan predikat X.O bagi
cognac, satu campuran anggur—
khusus untuk Hennessy—90
persen anggur yang digunakan
merupakan varietas anggur
putih Saint-Emillion. Ini harus
mengalami fermentasi minimal
enam tahun.“Sedangkan
Henessy X.O dibuat dari puluhan
campuran anggur dengan usia
minimal di atas 10 tahun,” kata
Duta Hennessy, Jean Michel-
Cochet, yang memandu acara
pairing.
Itu sebabnya, Henessy X.O
punya aroma yang sangat
kompleks. Ada aroma kulit dan
kayuoakyangmunculdarianggur
yang sudah tua. Dan juga sedikit
aroma buah serta bunga yang
segar dari campuran fermentasi
anggur yang lebih muda. “Tapi,
secara keseluruhan, rasanya
memang sedikit maskulin. Cocok
untuk menu Indonesia yang kaya
rempah ataupun untuk teman
cerutu,”kata Michel-Cochet.
Kami tidak bisa langsung
menikmati perkedel jagung yang
harumnya sudah memancing
selera makan di awal perjamuan
itu. Kerupuk udang, rempeyek
teri, rempeyek kacang, dan
emping disajikan lebih dulu. Satu
keranjang kecil kerupuk dengan
cepat ludes dari masing-masing
meja. Aroma amis kerupuk udang
yang tercium saat dikunyah justru
membuat citarasa cognac—yang
disajikan dengan es untuk
bermacam kerupuk—menjadi
lebih kuat. Rasa sepat, sedikit
pahit, dan aroma kulit muncul
seusai mengunyah kerupuk yang
gurih.
Hidangan kedua yang muncul
malam itu adalah sosis Solo.
“This is not a regular sosis Solo,”
kata Yos Kusuma, salah satu
undangan yang hadir malam itu.
Yos merujuk pada tampilan dadar
gulung yang diisi dengan ragout
daging itu. Sekilas memang mirip
sushi ketimbang sosis Solo.
Chef Mandif menaruh potongan
paprika berwarna merah dan
kuning yang diiris memanjang,
plus irisan zucchini hijau untuk
membungkus sosis Solo. Kurang
dari dua menit, penganan yang
ditata di atas piring persegi itu
tandas. Rasanya sedikit gurih
berpadu dengan rasa pedas dari
paprika. Ini memancing sedikit
Bagaimana rasanya jika cita rasa kompleks cognac dipasangkan dengan
masakan Indonesia yang berempah dalam jamuan makan malam? Salah
satu mungkin harus mengalah.
Subkhan
subkhan@tempo.co.id
Menikmati
Perang
Rasa Eksotis
FOTO-FOTO: TEMPO/NURDIANSAH
Chef Mandif M. Warokka
Para tamu undangan mendengarkan penjelasan dari Chef Mandif M. Warokka.
2. rasa manis dari cognac dengan es
yang menjadi pasangan menu itu.
Lalu giliran soto Banjar beraksi.
Soto ini berisi potongan daging
ayam, irisan kol, bihun, dan
irisan telur dalam kuah kuning
tanpa santan. Sayangnya, saat
dicecap, rasanya terlampau asin.
Tapi tenang saja, Chef Mandif
juga menyediakan sejumput
sambal, kecap, dan jeruk nipis
sebagai pelengkap. Perpaduan
rasa asin, pedas, dan asam jeruk
memunculkan paduan yang
janggal dengan cognac yang
didinginkan pada suhu sekitar 7
derajat Celsius. Ada aroma amis
khas kulit, sedikit masam, dan
pahit bersamaan. Paduan ini
cocok untuk merangsang selera
makan sebelum melangkah ke
menu utama.
Hidangan yang ditunggu-
tunggumalamitudisuguhkanoleh
tujuh wanita yang mengenakan
pakaian daerah dari berbagai
macam provinsi. Masing-masing
secara berurutan membawa
mangkuk dan hidangan berupa
nasi putih dan merah; perkedel
jagung; iga bakar wagyu tokusen;
sate ayam; sambal goreng udang;
janganan Sala; yakni
rebusan bermacam
sayur mirip gado-gado dengan
saus santan dipadu cabai, kemiri,
dan air asam jawa; serta tahu
goreng.
Di masa kolonial, barisan
pelayan rijstaffel—biasanya
disebut “jongos” yang berarti
pemuda—bisa mencapai 40
hingga 60 orang. Yang paling
masyhur adalah rijstaffel di Hotel
Des Indes Jakarta ataupun Savoy
HomannBandung.Masing-masing
jongos membawa menu berbeda.
Termasuk sambal, acar, hingga
kerupuk. Untungnya, tidak ada
40 macam hidangan malam itu.
Soalnya, ada ratusan tamu yang
menanti sajian utama mereka di
bangku masing-masing.
Piring hidangan utama malam
itu pun kini penuh oleh macam-
macam menu. Ini menarik karena
berbagai cita rasa muncul di sana,
dari sate ayam berlumur bumbu
kacang hingga sambal goreng
udang yang pedas manis. Paduan
hidangan utama serta minuman
yang juga komplek menghasilkan
cita rasa yang bermacam-macam.
Mengunyah nasi, janganan Sala
yang pedas, dan iga bakar yang
manis serta cognac memunculkan
cita rasa rempah yang lebih kuat.
Padahal sebenarnya Chef Mandif
sangat pelit menaruh rempah
dalam seluruh hidangannya.
Mandif punya alasan untuk
tidakberlebihanmenggelontorkan
rempah-rempah. “Saya justru
ingin rasa bahan bakunya yang
keluar,”kata dia. Mandif memberi
contoh makanan Jepang, yang
sebenarnya sederhana tapi proses
pengolahannya sangat kompleks,
karena punya penekanan pada
pemilihan bahan baku. Itu
sebabnya, Mandif tidak menaruh
bawang putih ataupun kemiri
pada perkedel bikinannya.
Pilihan tersebut tentu berisiko
untuk mereka yang terbiasa
menggempur lidahnya dengan
makanan bertabur rempah. Bisa
jadi, sebagian di antara mereka
yang hadir malam itu merasa
asing dengan masakan Indonesia
yang kurang “menggigit” dari
Mandif. Meskipun demikian,
cognac ternyata paduan yang
menyenangkan untuk sajian
Mandif.
Jamuan malam itu ditutup
dengan es puter yang tidak
terlampau manis. Saat dipadukan
dengan cognac dalam suhu kamar,
muncul rasa manis buah-buahan
seperti cherry.
Sebenarnya, sebelum es puter
dihidangkan, sebagian besar
bangku yang tersusun rapi dalam
barisan meja panjang mulai
kosong. Padahal, saat itu, soprano
Isyana Sarasvati baru saja mulai
bernyanyi. Ke manakah mereka?
Rupanya, sebagian besar tamu
tidak bisa menahan hasrat
mengisapcerutu.Inisesuaidengan
perkataan seorang tamu saat
mencicipi Henessy X.O sebelum
makan malam.“Kalau kamu coba
untuk sedikit mengaduk lidah
kamu saat meminum cognac,
pasti akan menemukan rasa yang
berbeda,” kata seorang tamu
wanita kepada Tempo. Dia benar.
Rasanya sedikit “nyetrum” dan
terasa segar. Jauh berbeda dengan
jika cognac itu hanya ditenggak
perlahan-lahan. “Cocok sekali
untuk teman cerutu,”kata dia.
Bagi sebagian undangan,
cerutu sepertinya memang jodoh
sejati cognac, selain hidangan
Indonesia. •
21Kuliner
ChefMandifM.Warokka
Mandiff, 35 tahun, merupakan
salah satu chef terkemuka di
Indonesia untuk fine dining. Dia
merupakan chef tamu tetap untuk
beberapa restoran ternama di
dunia. Sebut saja Eisvogel—
restoran dengan bintang
Michelin—di Hotel Bierkenhof,
dan La Salle Restaurant di
Schols Elmau Resort. Keduanya
terletak di Jerman. Dia juga
pernah menjadi juri tamu di acara
bakat Master Chef Indonesia.
Majalah gaya hidup pria DA MAN
memasukkannya dalam The
Hot List—daftar pria Indonesia
berprestasi—pada 2014.
Cognac
Sebutan cognac sebenarnya
hanya berlaku untuk
brandy—minuman beralkohol
yang diproduksi dari distilasi
anggur—yang menggunakan
anggur dari daerah Cognac,
Prancis. Jika menggunakan
anggur produksi daerah lain,
sebutannya berganti menjadi
brandy. Cognac punya kadar
alkohol 35 sampai 60 persen.
Warnanya keemasan dengan
aroma yang kompleks. Cognac
biasanya diproduksi dengan
menggunakan pot tembaga yang
besar dan mengalami fermentasi
setidaknya dua tahun dalam tong
dari kayu oak. Selain Henessy,
ada tiga pemain cognac utama
yang mendominasi. Mereka
adalah Martell, Remy Martin, dan
Courvoisier. Empat label cognac
ini memasok lebih dari 90 persen
pasokan cognac Amerika Serikat.
Tentu ini karena sebutan cognac
hanya diberikan secara terbatas.
Rijstaffel
Ini merupakan istilah Belanda
untuk hidangan dengan nasi.
Konon, mereka terilhami oleh
konsep hidangan ala Sumatera
Barat—mirip seperti warung
Padang masa kini—dan
mengadopsinya menjadi sebuah
simbol kuliner eksotik pada era
1920-1930-an. Itu sebabnya,
menu yang disajikan dalam
rijstaffel sangat beragam. Tidak
cuma Jawa, melainkan kalau
bisa mewakili seluruh Indonesia.
Selain di Oasis, di Jakarta ada
juga restoran Tugu Kuntskring
yang menyuguhkan rijstaffel ala
Betawi.
Rijstaffel Serving
Main course Es Puter
Main Course