2. Adil Berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di
tengah-tengah, jujur, lurus, dan tulus. Secara
terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas
dari diskriminasi, ketidakjujuran. Dengan demikian
orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan
standar hukum baik hukum agama, hukum positif
(hukum negara), maupun hukum sosial (hukum adat)
yang berlaku. Dalam Al Quran, kata ‘adl disebut juga
dengan qisth (QS Al Hujurat:9)
3. Sebagian ulama berpendapat bahwa: “Orang yang adil itu
ialah orang yang jika marah, kemarahannya itu tidak
menjerumuskannya kepada kebatilan. Dan apabila ia
senang, kesenangannya itu tidak mengeluarkannya dari
kebenaran."
Mengapa Islam menganggap sikap adil itu penting? Salah
satu tujuan utama Islam adalah membentuk masyarakat
yang menyelamatkan; yang membawah rahmat pada
seluruh alam –rahmatan lil alamin (QS Al Anbiya’:107).
Ayat ini memiliki sejumlah konsekuensi bagi seorang
muslim:
4. Pertama, seorang muslim harus bersikap adil dan jujur
pada diri sendiri, kerabat dekat , kaya dan miskin. Hal ini
terutama terkait dengan masalah hukum (QS An Nisaa’:135
Penilaian, kesaksian dan keputusan hukum hendaknya
berdasar pada kebenaran walaupun kepada diri sendiri,
saat di mana berperilaku adil terasa berat dan sulit.
Kedua, keadilan adalah milik seluruh umat manusia tanpa
memandang suku, agama, status jabatan ataupun strata
sosial. Oleh karena itu, seorang muslim wajib menegakkan
keadilan hukum dalam posisi apapun dia berada; baik
sebagai hakim, jaksa, polisi maupun saksi.
5. Ketiga, di bidang yang selain persoalan hukum,
keadilan bermakna bahwa seorang muslim harus
dapat membuat penilaian obyektif dan kritis kepada
siapapun. Mengakui adanya kebenaran, kebaikan dan
hal-hal positif yang dimiliki kalangan lain yang
berbeda agama, suku dan bangsa dan dengan lapang
dada membuka diri untuk belajar (QS Yusuf: 109) serta
dengan bijaksana memandang kelemahan dan sisi-sisi
negatif mereka. Pada saat yang sama, seorang muslim
dengan tanpa ragu mengkritisi tradisi atau perilaku
negatif yang dilakukan umat Islam.
6. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa seorang individu
muslim yang berperilaku adil akan memiliki citra dan reputasi
yang baik serta integritas yang tinggi di hadapan manusia dan
Tuhan-nya. Karena, sifat dan perilaku adil merupakan salah satu
perintah Allah (Qs Asy-Syura 42:15) dan secara explisit mendapat
pujian (QS Al-A’raf: 159).
Perilaku adil, sebagaimana disinggung di muka, merupakan salah
satu tiket untuk mendapat kepercayaan orang; untuk
mendapatkan reputasi yang baik. Karena dengan reputasi yang
baik itulah kita akan memiliki otoritas untuk berbagi dan
menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dengan
orang lain (QS Ali-Imran:104). Tanpa itu, kebaikan apapun yang
kita bagi dan sampaikan hanya akan masuk ke telinga kiri dan
keluar melalui telinga kanan. Karena, perilaku adil itu identik
dengan konsistensi antara perilaku dan perkataan (QS As Saff:
3).
7. Keadilan intelektual (al-‘adl al-fikri).
Yaitu pemikiran seseorang yang berani menyatakan bahwa
sesuatu sebagai kebenaran atau kesalahan yang secara
objektif karena memang benar atau salah, bukan karena
pertimbangan subjektif dan tendensial lain.
Keadilan terhadap diri sendiri.
Menegakkan keadilan pada diri sendiri itu hendaklah
berani mengakui kesalahan dirinya sendiri dan bersedia
menerima akibat daripada kesalahan tersebut. Keadilan
pada diri sendiri itu dapat dipelihara apabila seseorang itu
mempunyai ilmu tentang yang benar (hak) dan yang salah
(batil).
8. Adil kepada orang lain.
Keadilan kepada orang lain artinya menyempurnakan hak mereka
dan melaksanakan hukum secara saksama antara mereka,
membela orang yang teraniaya dan menghukum orang yang
bersalah. Ini berdasarkan ayat Al-Quran An Nahl Ayat 90,
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran. Sabda Nabi : “(hakim) itu ada tiga jenis ;
dua daripadanya masuk ke Neraka dan satu daripadanya masuk
ke Syurga. Lelaki (hakim) yang tahu perkara yang benar, lalu ia
menghukum berlandaskan kebenaran tersebut, maka ia masuk ke
Syurga. Dan lelaki (hakim) yang tidak tahu perkara yang benar,
lalu ia menjalankan hukuman atas kejahilannya, maka ia masuk
ke Neraka.”
9. Berlaku adil kepada makhluk lain.
Artinya dapat menempatkan pada tempat yang sesuai, misalnya
adil pada binatang, harus menempatkannya pada tempat yang
layak menurut kebiasaan binatang tersebut. Jika memelihara
binatang harus disediakan tempat dan maka nannya yang
memadai. Jika binatang itu akan dimanfaatkan untuk kendaraan
atau usaha pertanian, hendaknya dengan cara yang wajar, jangan
member beban yang malampaui batas. demikian pua jika
hendak dimakan, maka hendaklah disembelih dengan cara yang
telah ditentukan oleh ajaran agama, dengan cara yang baik yang
tidak menimbulkan kesakitan bagi binatang itu. Menjaga
kelestarian lingkungan juga termasuk berbuat adil kepada
makhluk lain.
Bentuk lain adil adalah Tawazun (keseimbangan) meliputi
fisik, akal, dan ruhani. Sabda Nabi yang artinya: “Berlaku
adillah walaupun ke atas diri kamu (sendiri).”
10. Berlaku Adil Kepada Allah
Sebagai mahluk ciptaanya dengan teguh kita harus
melaksanakan apa yang diwaji bkan kepada kita
sehingga benar benar allah sebagai tuhan kita, Untuk
mewujudkan keadilan kita kepad allah maka kita wajib
beriman kepada allah, tidak meyekutukanya dengan
sesuatu yang lain. Mengimani Nabi Muhammad SAW
sebagai utusanya, menjunjung tinggi petunjuk dan
kebenaran daripadanya yaitu mengimani alquran
sebagai wahyu allah, menaati ketentuanya yaitu
melaksanakan perintahnya dan menjauhi laranganya.
11. Berlaku adil memerlukan kejelian dan ketajaman, di
samping mutlak adanya mizan (standar) yang
dipergunakan untuk menilai keadilan atau kezaliman
seseorang. Mizan keadilan dalam Islam adalah Al Qur’an.
Firman Allah :
Artinya: “Allah-lah yang menurunkan kitab dengan
membawa kebenaran dan menurunkan neraca (keadilan)”
(QS. Asy-Syuraa: 17)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat
dan berbagai manfaat bagi manusia”.(QS.Al-Hadiid: 25)
12. Rasyid Ridla, dalam Tafsir al Manar menjelaskan ayat ini dengan
mengatakan :
“Sebaik-baik orang adalah orang yang bisa berhenti dari
kezaliman dan permusuhan dengan hidayah Al Qur’an, kemudian
orang yang berhenti dari kezaliman karena kekuasaan
(penguasa) dan yang paling buruk adalah orang yang tidak bisa
diterapi kecuali dengan kekerasan. Inilah yang dimaksudkan
dengan al Hadid (besi)”.
Kesalihan dunia ini hanya bisa ditegakkan dengan Al Qur’an
yang telah mengharamkan kezaliman dan pengrusakan-pengrusakan
lainnya. Sehingga manusia menjauhi kezaliman itu
karena rasa takutnya kepada murka Allah di dunia dan akhirat,
di samping untuk mengharapkan balasan/ganjaran dunia
akhirat. Kemudian dengan keadilan hukum yang ditegakkan
penguasa untuk membuat jera umat manusia dari dosa.
13. a. Terciptanya rasa aman, tenang dan tentram dalam
jiwa dan ada rasa khawatir kepada orang lain, karena tidak
pernah melakukan perbuatan yang merugikan atau
menyakiti orang lain.
b. Membentuk pribadi yang dapat melaksanakan
kewajiban dengan baik, taat dan patuh kepada Allah SWT,
melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya.
c. Menciptakan ketenteraman dan kerukunan hidup,
hubungan yang harmonis dan tertib dengan orang lain.
d. Dalam memanfaatkan alam sekitar untuk
kemasyalatan dan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat
14. Hadits ke – 1:
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu
berkata: Bersabda Rasulullah Shalallahu‘alaihi
wassalam: Sesungguhnya mereka-mereka yang berbuat
adil di sisi Allah Ta’ala, kelak mereka akan berada di
atas mimbar dari cahaya, dari tangan kanan Allah
ArRahman ‘Azza wa Jalla. Dan kedua tangan Allah
Ta’ala adalah kanan. Mereka adalah orang-orang yang
adil dalam menghukumi sesuatu bahkan terhadap
keluarga mereka sendiri, juga terhadap orang-orang
yang mereka pimpin. (Hr. Imam Muslim)
15. Hadits ke – 2:
مَ نْ كَانَْ لَهْ ا مرَأَتَا نْ فَمَالَْ إ لَى إ حدَا همَا جَاءَْ يَ ومَْ ال قيَامَ ةْ وَ شْقُّهْ مَائ لْ
Artinya: “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada
salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian
tubuhnya miring.”
Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2133), an-Nasa’i
(2/157), Tirmidzi (1/213), ad-Darimi (2/143), Ibnu Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah
(2/66/7), Ibnul Jarud (no. 722), Ibnu Hibban (no. 1307), al-Hakim (2/186), al-
Baihaqi (7/297), ath-Thayalisi (no. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur
Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari an-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin
Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma
Hadits ke – 3:
Dalam memutuskan perkara, keadilan mesti menjadi landasan berpijak. Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, bersabda:
إ ذَا حَكَ مت مْ فَا ع دل وا
Artinya: “Apabila kalian memutuskan hukum maka bersikaplah adil!”
(Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [no. 469])