Dokumen tersebut membahas etika dalam periklanan dan menggunakan dua contoh kasus, yaitu persaingan antara operator seluler Kartu As dan XL serta manipulasi oleh produk kecantikan. Dokumen ini juga menjelaskan fungsi dan prinsip-prinsip periklanan menurut etika bisnis.
1. ETIKA BISNIS
PERIKLANAN DAN ETIKA
Dosen Pengampu :
Erman Denny Arfianto, S.E., M.M.
Eisha Lataruva, SE.,MM
Disusun Oleh :
Sopyan 12010110120015
Alifia Palokoto 12010110120062
Dito Surya Wijaya 12010110120130
Gilang Prasidya Jati 12010110130184
Yesica Yulian Adicondro 12010111130160
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2012/2013
2. A.LATAR BELAKANG
Latar belakang dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai kewajiban kami pada
mata kuliah etika bisnis dan sebagai bentuk pembelajaran bagi mahasiswa untuk menambah
pengetahuan mengenai topik ini. Objek yang disajikan sudah jelas adalah mengenai kasus –
kasus periklanan dan etika yang merupakan bagian dari permasalahan dalam etika bisnis
diantara pelaku bisnis. Cara pengumpulan data yang penulis pakai adalah mengumpulkan
data – data dari buku acuan dan sumber-sumber dari website-website yang ada di internet dan
tentunya berhubungan dengan objek yang dipilih.
B.CONTOH KASUS
Contoh yang kami ambil adalah mengenai kasus –kasus masalah etika bisnis menyangkut
periklanan yaitu : Persaingan yang dilakukan antar operator seluler Kartu As (Simpati) dan
XL dan juga Manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk kecantikan.
PERSAINGAN YANG DILAKUKAN ANTAR OPERATOR SELULAR KARTU AS
(SIMPATI) DAN XL
Beberapa tahun lalu, sebuah iklan Kartu AS yang diiklankan oleh Sule di televisi. Dalam
iklan tersebut, ia tampil seolah-olah sedang diwawancarai oleh wartawan. Kemudian ia
selanjutnya berkomentar, ”Saya kapok dibohongin sama anak kecil,” ujar Sule yang disambut
dengan tertawa para wartawan, dalam penampilan iklannya.
Padahal dalam iklan yang memakai Sule sebagai model langsung teringat iklan Kartu XL
yang juga dibintangi Sule juga bersama Baim dan Putri Titian. Terjadilah dialog antara Sule
dan Baim. “Gimana Im, Om Sule ganteng khan?” tanya Sule. “Jelek!” jawab Baim
memperlihatkan muka polosnya. Kemudian Sule memberikan dua buah makanan kepada
Baim dengan harapan Baim akan mengatakan ‘Sule ganteng’. Namun Baim masih menjawab
apa ada seperti jawaban sebelumnya. “Dari pertama, Om Sule itu jelek. Dari pertama kalau
Rp. 25,- XL, murahnya beneran.” jawab Baim lagi, dan seterusnya.
Satu orang muncul dalam dua penampilan iklan yang merupakan satu produk sejenis yang
saling bersaing, dalam waktu yang hampir bersamaan. Jeda waktu aku menonton penampilan
Sule dalam iklan di XL dan AS tidak terlalu jauh bahkan hanya dalam hitungan hari. Ada
sebagian orang yang berpendapat apa yang dilakukan oleh Sule tidak etis dalam dunia
periklanan. Mereka menyoroti peran Sule yang menjadi ‘kutu loncat’ ala tokoh parpol yang
secara cepat berpindah kepada pelaku iklan lain yang merupakan kompetitornya. Sebagian
lain berpendapat, sah-sah aja.
Namun pada prinsipnya, sebuah tayangan iklan di televisi (khususnya) harus patuh pada
aturan-aturan perundang-undangan yang bersifat mengikat serta taat dan tunduk pada tata
krama iklan yang sifatnya memang tidak mengikat. Beberapa peraturan perundang-undangan
yang menghimpun pengaturan dan peraturan tentang dunia iklan di Indonesia yang bersifat
mengikat antara lain adalah peraturan sebagai berikut:
• UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
• UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
• UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran
• UU No. 7 tahun 1996
• PP No. 69 tahun 1999
3. • Kepmenkes No. (rancangan) tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia
• PP No. 81 tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
• PP No.38 tahun 2000 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
• Kepmenkes No. 368/MEN.KES/SK/IV/1994 Tentang Pedoman Periklanan Obat
Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan, Rumah
Tangga, Makanan, dan Minuman.
Selain taat dan patuh pada aturan perundang-undangan di atas, pelaku iklan juga diminta
menghormati tata krama yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Ketaatan
terhadap EPI diamanahkan dalam ketentuan “Lembaga penyiaran wajib berpedoman pada
Etika Pariwara Indonesia.” (Pasal 29 ayat (1) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran).
Lembaga penyiaran dalam menyiarkan siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan
masyarakat wajib mematuhi waktu siar dan persentase yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. (Pasal 29 ayat (2) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran).
Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan
yang dikeluarkan oleh KPI. (Pasal 46 ayat (4) UU Penyiaran).
Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari
lembaga yang berwenang. (Pasal 47 UU Penyiaran).
Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI. (Pasal 48 ayat
(1) UU Penyiaran).
Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang
tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau
tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. (Pasal 1 ayat (15) Peraturan
KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran)
Siaran iklan niaga dilarang melakukan (Pasal 46 ayat (3) UU Penyiaran):
a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau
kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain,
ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain
b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama;
dan/atau
e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Selanjutnya, mengenai pengaturan Etika Pariwara Indonesia (EPI). Intinya, mengenai kasus
Sule yang menjadi bintang iklan pada dua produk kompetitor, aku tidak melihatnya sebagai
sebuah pelanggaran kode etika pariwara Indonesia (EPI).
Namun demikian, yang patut dipersoalkan bukanlah pada peran Sule yang tampil di dua iklan
produk sejenis, tetapi pada materi iklan yang saling menyindir dan menjelekkan. Dalam salah
satu prinsip etika yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh
merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.”
4. Di sinilah yang sebenarnya patut dijadikan sebagai objek pembicaraan dan diskusi.
Sebagaimana banyak diketahui, iklan-iklan antar produk kartu seluler di Indonesia selama ini
kerap saling sindir dan merendahkan produk kompetitornya.
Contoh Perang Iklan XL vs Telkomsel di billboard Medan
Di dalam EPI juga diberikan beberapa prinsip tentang keterlibatan anak-anak di bawah umur
-apalagi Balita- seperti antara lain:
• Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak
layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
• Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan adegan yang
berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
• Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan
suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
• Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek
(pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk
mengabulkan permintaan anakanak mereka akan produk terkait (lihat halaman
34 EPI).
1. Fungsi Periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan
calon pembeli. Dalam proses komunikasi tersebut iklan menyampaikan sebuah
‘pesan’. Dengan demikian kesan yang terlihat pada periklanan terutama bermaksud
memberi informasi yang tujuannya untuk memperkenalkan sebuah produk atau jasa.
Dalam periklanan dapat dibedakan dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif.
Dunia bisnis sering berbicara tentang periklanan bahwa fungsinya yang utama adalah
menyediakan informasi. Sedangkan dalam dunia konsumen (khususnya mereka yang
lebih kritis) periklanan terutama dilihat sebagai usaha promosi. Namun pada
kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Tetapi ada iklan dimana
unsur informasi paling dominan, disamping iklan dimana unsur promosi paling
mencolok. Iklan tentang sebuah produk baru biasanya mempunyai unsur informasi
yang kuat.
Dalam iklan yang dilakukan oleh operator selular antara kartu As dan XL dapat
terlihat bahwa adanya model yang sama dalam dua iklan yang memiliki produk
berbeda. Pada iklan XL model yang digunakan adalah para selebritis yang sedang
naik daun dan salah satunya adalah pelawak Sule yang akhirnya ditarik oleh
manajemen Kartu As untuk menjadi model produknya. Dalam iklan Kartu As tersebut
Sule mengatakan bahwa dirinya telah kapok dibohongi anak kecil yang dalam iklan
5. kartu XL, Sule melakukan percakapan dengan selebriti kecil yang mengatakan bahwa
Kartu XL ‘beneran murahnya’. Maka para penikmat iklan yang juga calon konsumen
akan dengan mudah tertarik dengan iklan yang seolah-olah menyindir produk lain.
Dan karena model yang digunakan adalah pelawak, maka sebagian penonton
menganggap hal teresbut sebagai sesuatu yang menghibur.
Sehingga tercampurnya unsur informatif dan persuasif dalam periklanan membuat
penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks, karena sebagian penonton juga
akan berpendapat hal yang dilakukan dalam iklan tersebut etis atau tidak karena
menggunakan model yang sama dalam rentang waktu beberapa hari saja. Seandainya
iklan semata-mata informatif atau persuasif, tugas etika disini bisa menjadi lebih
mudah. Tapi pada kenyataanya tidak selalu demikian, dengan akibat bahwa etika
harus bernuansa dalam menghadapi aspek-aspek etis dari periklanan.
2. Periklanan dan Kebenaran
Kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan dan bahkan menipu publik.
Periklanan hampir apriori disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Tentu saja,
pembohongan, penyesatan dan penipuan merupakan perbuatan yang – sekurang-
kurangnya prima facie – tidak etis. Berbohong dapat diartikan dengan mengatakan
sesuatu yang tidak benar, dan setidak-tidaknya ada dua unsur yang perlu ditambah.
Pertama, unsur kesengajaan. Berbohong selalu berimplikasi pengandaian bahwa si
pembicara sendiri tidak percaya akan kebenaran dari apa yang dikatakannya. Kedua,
supaya mengatakan sesuatu yang tidak benar bisa didefinisikan sebagai berbohong,
jika seseorang dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar tetapi ia sama
sekali tidak bermaksud supaya orang lain percaya, ia tidak berbohong. Dan hal itu
dapat terjadi misalnya dengan orang bercanda. Dalam bersenda gurau, orang sering
mengatakan sesuatu yang tidak benar, bukan supaya orang lain percaya, melainkan
supaya meraka tertawa.
Jika kita ingin mengevaluasi moralitas periklanan, perlu diperhatikan secara khusus
unsur ‘maksud’ dalam perbuatan berbohong. Misalnya dalam kasus ‘perang’ operator
yang dibahas sebelumnya. Disaat model telah dikontrak oleh operator lain, ia berkata
pada pers di iklan tersebut bahwa telah kapok dengan produk di iklan sebelumnya,
dan hal tersebut disambut gelak tawa dari pers kemudian ditimpali dengan tawa
‘mengejek’ dari model.
Disamping itu iklan juga mempunyai unsur promosi. Iklan merayu konsumen dengan
mengiming-imingi calon pembeli. Karena itu bahasa iklan menggunakan retorika
tersendiri. Misalnya saja iklan operator Kartu As yang menggunakan ‘kalimat’ yang
akhirnya mampu diingat banyak orang, seperti “Kiimii” atau “Aku ngga punya
pulsaa” dengan nada yang khas atau operator XL yang saat ini sedang gencar-
gencarnya mempromosikan kalimat bernada humor seperti “Ciyus?” atau “Miapah?”.
Bahasa iklan yang seperti itu membuat penonton selalu teringat dan akhirnya
digunakan masyarakat sebagai bahasa yang mampu menghibur, dan hal tersebut
tentunya cukup menguntungkan operator kartu selular tersebut. Mengapa? Secara
tidak langsung, kalimat yang digunakan banyak orang tersebut setidaknya akan
mengingatkan mereka tentang darimana kalimat yang mereka ucapkan itu berasal,
kemudian mereka akan menemukan produk dengan ‘kalimat’ yang sering mereka
ucapkan.
3. Manipulasi dengan Periklanan
Manipulasi yang dimaksudkan disini adalah mempengaruhi kemauan orang lain
sedemikian rupa, sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu yang
sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri. Karena dimanipulasi, seseorang
6. mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ”ditanamkan” dalam
dirinya dari luar, tidak hanya dimanipulasi bahkan iklan dapat mempengaruhi
konsumen dengan memanfaatkan faktor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks.
Disini perilaku konsumen di pengaruhi tapi tidak dimanipulasi. Kebebasan konsumen
tidak dihilangkan, jarang terdapat masalah etis, lebih banyak bisa muncul masalah
selera rendah (bad taste). Misalnya saja kasus yang terjadi pada sejumlah produsen
kecantikan memanfaatkan wajah model ayu untuk iklan. Demi merangsang minat
konsumen, tak jarang mereka nekat melakukan manipulasi wajah sang model yang
seolah cantik sempurna berkat produk yang dipasarkan.
Seperti iklan NatureLuxe Mousse Mascara, yang mengklaim dapat melentikkan dan
menambah volume bulu mata hingga dua kali kondisi normal. Iklan itu menampilkan
model berparas ayu dengan penampilan bulu mata sesuai klaim. Mereka yang melihat
iklan tersebut mungkin akan mengira penampilan mata sang model berkat NatureLuxe
Mousse Mascara. Nyatanya, di sisi bawah iklan tersebut tertera pernyataan dalam
boks kecil bahwa bulu mata sang model yang tercipta dalam gambar hasil permainan
digital Photoshop.
Kemudian iklan krim antipenuaan Lancome yang dibintangi Julia Roberts dan iklan
krim penutup noda Maybelline dengan model Christy Turlington. Produsen yang
bernaung di bawah nama besar L'Oreal itu menampilan wajah 'palsu' Julia Roberts
dalam iklan dua halaman di sejumlah majalah. Tim iklan nekat melakukan koreksi
digital sedemikian rupa untuk menghilangkan keriput, yang sebenarnya tampak nyata
di wajah sang bintang. Sementara tim iklan Maybelline sengaja melakukan
manipulasi dengan menyekat-nyekat bagian wajah sang bintang dengan maksud
menunjukkan perbandingan antara bagian yang memakai dan tidak memakai produk
itu. Bagian yang memakai produk dibuat mulus, sedangkan yang tidak memakai
terlihat keriput.
Melihat hal tersebut Menteri Kesetaraan Inggris, Lynne Featherstone, meminta
produsen untuk jujur dalam mengiklankan produknya. Maka dalam kasus ini dapat
terlihat bahwa produsen memanfaatkan teknologi yang ada untuk memanipulasi dan
mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk yang diiklankan. Namun dalam
hal ini bukanlah masalah selera yang telah dijelaskan sebelumnya, namun lebih
kepada perilaku menyimpang yang dilakukan produsen yang cenderung tidak
mencermikan realitas dan kejujuran.
4. Pengontrolan terhadap Iklan
Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi
merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang
dapat mengimbangi kerawanan tersebut.
a. Kontrol oleh pemerintah
7. Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kesetaraan Inggris pada produk
kecantikan yang beredar di negaranya dimana antara model yang digunakan
pada iklan tersebut kurang sesuai dengan wajah aslinya. Dan di Indonesia
sendiri beberapa Undang-Undang telah ditetapkan untuk melindungi
konsumen terhadap beberapa produk yang menyalahi aturan, diantaranya telah
terdapat iklan tentang makanan dan obat yang diawasi oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
b. Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan
adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan yang biasanya
hal tersebut dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma
dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya
oleh asosiasi biro-biro periklanan. Di Indonesia sendiri terdapat Tata krama
dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang
dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia),
ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), ASPINDO
(Asosiasi Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), GPBSI (Gabungan
Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan
Televisi Republik Indonesia). Sedang di Amerika terdapat National
Advertising Review Board (NARB) yang disponsori oleh American
Association of Advertising Agencies, American Advertising Federation,
Association of National Advertisers, dan Council of Better Bussines Bureaus.
Tujuannya adalah pengaturan diri oleh para pengiklan. NARB ini menyelidiki
semua keluhan tentang periklanan dan memberitahukan hasilnya kepada
instansi yang mengajukan keluhannya, dan kegiatan ini diumumkan juga
setiap bulan melalui sebuah press release.
c. Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus ikut serta dalam mengawasi mutu etis periklanan.
Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam
menetralisasiefek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan
menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, diantaranya yang terdapat di
Indonesia (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian
Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen di Semarang).
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui
pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih
positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan
penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan
tersebut bisa diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat, sebuah majalah, atau lain-lain. Di Indonesia sendiri kita
mempunyai Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh
“Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia”. Dan apresiasi tersebut dapat
memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan lain untuk dapat berkreasi
secara lebih baik.
5. Penilaian Etis terhadap Iklan
8. Suatu penilaian yang diberikan terhadap adanya iklan tidak lepas dari pemikiran
moral. Dalam hal ini prinsip-prinsip etis ternyata tidak cukup untuk umenilai
moralitas sebuah iklan karena didalam penerapannya banyak faktor lain yang ikut
berperan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan tersebut
menjadi tidak baik juga. Dalam kasus iklan operator seluler, penonton dapat
menarik kesimpulan dari iklan tersebut bahwa Sule selaku model dalam iklan
sebelumnya merasa kapok atau mungkin tidak puas dengan fitur-fitur yang ada di
produk sebelumnya, kemudian ia berpindah ke produk sekarang yang menurutnya
jauh lebih memuaskan. Sehingga maksud dari pengiklan dapat diterima dengan
jelas oleh para penonton walau dengan pengangkapan yang berbeda, karena
sebagian penonton akan berpikir bahwa produk yang baru dengan model Sule
bermaksut untuk menjatuhkan produk sebelumnya.
2. Isi iklan
Isi iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan, dan
tidak bermoral. Dalam persaingan yang dilakukan antar operator seluler Kartu As
(Simpati) dan XL, sebagian besar penonton akan menganggap hal tersebut sebagai
sebuah lelucon karena model utamanya merupakan seorang pelawak, sehingga isi
dari iklan tersebut akan mudah ditangkat. Begitu pula dengan manipulasi yang
dilakukan oleh beberapa produk kecantikan, terlihat bahwa hal tersebut dapat
mempengaruhi pemikiran penonton karena model yang ditampilkan terlihat
‘sempurna’ dengan produk dan perlengkapan make up yang digunakan dari
produk yang diiklankan.
3. Keadaan publik yang tertuju
Secara umum bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai potensi besar untuk
mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan memamerkan
sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal ini merupakan
aspek etis yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang ditandai
kesenjangan sosial yang besar seperti Indonesia. Keuntungan perusahaan menjadi
tujuan utama bagi para pengiklan untuk melalukan promosi, namun di sisi lain
televisi sebagai media utama yang banyak digunakan para pengiklan adalah media
yang tidak gampang dikendalikan dari luar, ditambah dengan adanya televisi dan
parabola. Mungkin tidak realistis juga untuk mengharapkan bisa melarang
periklanan di TV secara total. Tetapi bahaya ditingkatkannya kecemburuan sosial
tidak pernah boleh dilupakan. Hal ini ternyata seringkali masih kurang disadari
oleh televisi swasta.
4. Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi tersebut
orang telah terbiasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan
main yang disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang seringkali tidak dapat
dipisahkan dari etis yang menandai masyarakat tersebut. Misalnya saja yang
terjadi di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun
lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya. Dalam
refleksi etika tentang periklanan rupanya tidak mungkin dihindarkan suatu nada
relativistis.
9. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai maslah periklanan dan etika bisnis, dapat penulis kemukakan
beberapa kesimpulan yakni :
1. Hubungan antara etika dan periklanan sangat erat kaitannya dengan pola kebiasaan
masyarakat yang terpengaruh dari macam periklanan yang disajikan.
2. periklanan merupakan pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa
yang dijual, dipasang di dalam media massa (surat kabar atau majalah) atau
ditempat umum.
3. Periklanan dan Etika Bisnis merupakan penerapan prinsip-prinsip etika yang umum
pada suatu wilayah perilaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan
bisnis, terutama yang diterapkan pada media periklanan.
4. Di Indonesia khususnya terdapat permasalahan-permasalahan dalam dunia
periklanan terutama menyangkut iklan yang tidak mendidik, iklan yang cenderung
menyidir produk lain.
B. SARAN
Berdasarkan uraian mengenai periklanan dan etika bisnis dapat penulis kemukakan beberapa
saran antara lain sebagai berikut :
1. Sebaiknya pemerintah menerapkan peraturan atau perundangan yang secara tegas
mengatur segala yang berkaitan dengan etika dan periklanan
2. Produsen seharusnya tidak hanya memikirkan untuk mendapat keuntungan yang
maksimal tanpa melihat dari kepentingan produsen untuk mendapatkan sesuatu
yang lebih dari sekedar produk yang diiklankan.
3. Pemerintah serta masyarakat berperan aktif dalam menyaring serta sebagai kontrol
sosial bagi pengiklanan produk-produk yang menyimpang bahkan bila telah keluar
dari jalur etika yang semestinya.
10. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai maslah periklanan dan etika bisnis, dapat penulis kemukakan
beberapa kesimpulan yakni :
1. Hubungan antara etika dan periklanan sangat erat kaitannya dengan pola kebiasaan
masyarakat yang terpengaruh dari macam periklanan yang disajikan.
2. periklanan merupakan pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa
yang dijual, dipasang di dalam media massa (surat kabar atau majalah) atau
ditempat umum.
3. Periklanan dan Etika Bisnis merupakan penerapan prinsip-prinsip etika yang umum
pada suatu wilayah perilaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan
bisnis, terutama yang diterapkan pada media periklanan.
4. Di Indonesia khususnya terdapat permasalahan-permasalahan dalam dunia
periklanan terutama menyangkut iklan yang tidak mendidik, iklan yang cenderung
menyidir produk lain.
B. SARAN
Berdasarkan uraian mengenai periklanan dan etika bisnis dapat penulis kemukakan beberapa
saran antara lain sebagai berikut :
1. Sebaiknya pemerintah menerapkan peraturan atau perundangan yang secara tegas
mengatur segala yang berkaitan dengan etika dan periklanan
2. Produsen seharusnya tidak hanya memikirkan untuk mendapat keuntungan yang
maksimal tanpa melihat dari kepentingan produsen untuk mendapatkan sesuatu
yang lebih dari sekedar produk yang diiklankan.
3. Pemerintah serta masyarakat berperan aktif dalam menyaring serta sebagai kontrol
sosial bagi pengiklanan produk-produk yang menyimpang bahkan bila telah keluar
dari jalur etika yang semestinya.