Teks tersebut merupakan bagian dari bab 2 kajian pustaka yang membahas tentang landasan teori dan manajemen pesantren. Teks ini menjelaskan pentingnya landasan teori dalam penelitian, konsep-konsep yang relevan, dan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengendalian. Teks ini juga mendefinisikan pengertian manajemen pesantren, pondok pesantren, dan unsur-unsurnya.
1. 11
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Setelah masalah penelitian dirumuskan, maka langkah kedua dalam proses
penelitian adalah mencari teori, konsep dan generalisasi hasil penelitian yang
dapat dijadikan sebagai landasan teori untuk pelaksanaan penelitian. Menurut
Suryabrata (dalam Sugiyono, 2006 : 55) menyatakan bahwa : “Landasan teori ini
perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh dan bukan
sekedar perbuatan coba-coba. Adanya landasan teori ini merupakan ciri bahwa
penelitian ini merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data.
Berdasarkan definisi di atas, dikemukakan oleh Sugiyono (2006 : 55) bahwa
1) Teori itu berkenaan dengan konsep, asumsi dan generalisasi yang logis, 2)
Berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku yang
memiliki keteraturan, 3) Sebagai stimultan dan panduan untuk mengembangkan
pengetahuan.
Konsep digunakan untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang
hendak diteliti. Konsep ini dapat menyederhanakan pemikiran dengan
menggunakan suatu istilah untuk beberapa kejadian yang saling berkaitan. Untuk
lebih jelasnya Singarimbun dan Effendi (1989:34) mengemukakan bahwa:
“Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar
generalisasi dan sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan kelompok atau individu
tertentu”. Jadi peranan konsep dalam penelitian sangat penting karena
menghubungkan dunia observasi dengan dunia teori atau antara abstraksi dengan
realita. Untuk itu konsep perlu didefinisikan secara tepat sehingga tidak terjadi
kesalahan pengukuran.
2.1.2 Manajemen Pesantren
a. Pengertian Manajemen
Secara etimologi, manajemen (bahasa Inggris) berasal dari kata to
manage, dalam Webster’s New cooleglate Dictionary, kata manage dijelaskan
berasal dari bahasa Itali “Managlo” dari kata “Managlare” yang selanjutnya kata
2. 12
ini berasal dari bahasa Latin Manus yang berarti tangan (Hand). Kata manage
dalam kamus tersebut diberi arti : membimbing dan mengawasi, memperlakukan
dengan seksama, mengurus perniagaan atau urusan-urusan, mencapai urusan
tertentu (Sukarna, 1993)
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi mengenai manajemen,
diantaranya yang dikemukakan oleh George R. Terry, manajemen adalah suatu
proses atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu
kelompok orang-orang kearah tujuan organisasi atau maksud yang nyata. (George
R, Terry, 2000)
Manajemen dalam pendidikan mutlak diperlukan, karena merupakan
variabel terpenting untuk mengelola sebuah lembaga pendidikan. Manajemen
yang baik akan membuat sebuah perbedaan mutu sekolah dan mutu peserta
didiknya. Kemudian aspek utama manajemen sebagaimana diungkapkan ‘Everard
dan morris adalah meyusun arah, tujuan dan sasaran’. Orientasi cita-cita yang
jelas merupakan pusat bagi pendekatan-pendekatan teoritis dalam manajemen
pendidikan.
b. Fungsi-fungsi manajemen
Setelah mendefinisikan manajemen yang pada dasarnya mempunyai empat
kerangka: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian.
Kegiatan tersebut dinamakan sebagai proses manajemen. Kata proses
ditambahkan untuk mengartikan kegiatan yang dilakukan dengan cara sistematis
dan kegiatan tersebut dilakukan oleh manajer/pimpinan pada semua tingkat
Keempat kerangka tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini. tanda panah
tebal menunjukkan urutan kegiatan secara teoritis, dimulai dari perencanaan,
kemudian diakhiri oleh pengendalian, yang kemudian berputar lagi kembali ke
perencanaan. Tanda panah terputus-putus menunjukkan urutan yang lebih
realistis, yang terjadi di praktek manajemen (Mamduh M, Hanafi, 1997)
Dalam beberapa literature, terdapat perbedaan selain dalam hal langka-
langkah tersebut terdapat pula perbedaan dalam menamakannya sebagai proses
manajemen. Akan tetapi hal ini diperjelas oleh Nanang Fattah (2004) yang
3. 13
mengatakan bahwa dalam proses manajemen terlibat fungsi-fungsi pokok yang
ditampilkan oleh seorang manajer/pimpinan, yaitu: Perencanaan (Planning),
Pengorganisasian (Organizing), Kepemimpinan (Leading), dan Pengawasan
(Controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai proses merencana,
mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala
aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
The Liang Gie (1993:61) menamakan langkah-langkah tersebut sebagai
fungsi-fungsi manajemen yang meliputi: perencanaan (planning), pembuatan
keputusan (Decision making), pembimbing (directing), pengkoordinasian
(coordinating), pengontrolan (controlling) dan penyempurnaan (improving).
Menurut Geroge R. Terry dalam bukunya Principles of Manajement mengatakan
bahwa fungsi-fungsi manajemen meliputi: perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), menggerakkan (actuating), mengawasi
(controlling).(Siagian, 2000:45)
Terlepas dari banyaknya pendapat mengenai pembagian fungsi manajemen
seperti di atas, pada penelitian ini penulis menggunakan empat fungsi yaitu:
perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pengendalian/pengawasan.
1) Perencanaan (planning)
Dalam sebuah organisasi atau lembaga apapun bentuk dan namanya,
sebelum melangkah untuk mencapai tujuan, maka terlebih dahulu adanya
perencanaan. Perencanan dalam sebuah lembaga adalah sangat esensial, karena
dalam kenyataannya. perencanaan memegang peranan penting dibandingkan
dengan fungsi-fungsi yang lainnya.Perencanaan berarti kegiatan menetapkan
tujuan organisasi dan memilih cara yang terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengambilan keputusan merupakan bagian dari perencanaan yang berarti
menentukan atau memilih alternatif pencapaian tujuan dari beberapa alternatif
yang ada. Pemilihan dari sejumlah alternatif tentang penetapan prosedur
pencapaian, serta perkiraan sumber yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan
tersebut. (Habafi, 2004:51). Yang dimaksud dengan sumber meliputi sumber
manusia, material, uang, dan waktu. Dalam perencanaan, kita mengenal beberapa
tahap, yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) perumusan masalah, (3) penetapan
4. 14
tujuan, (4) identifikasi alternatif, (5) pemilihan alternatif, dan (6) kolaborasi
alternatif (Suryosubroto, 2004). Perencanaan pendidikan dapat dibedakan dalam
beberapa kategori menurut: (1) jangkauan waktunya, (2) besarannya, (3)
pendekatan, serta (4) pelakunya.
Menurut jangkauan waktunya, perencanaan dalam lembaga pendidikan
dapat dibagi menjadi: perencanaan jangka pendek yakni perencanaan tahunan
atau perencanaan yang dibuat untuk dilaksanakan dalam waktu kurang dari 5
tahun sering disebut sebagai rencana operasional. Perencanaan jangka
menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk jangka waktu pelaksanaan 5 – 10
tahun. Perencanaan ini penjabaran dari rencana jangka panjang, tetapi sudah
lebih bersifat operasional. Dan terakhir perencanaan jangka panjang yaitu
perencanaan yang dibuat untuk jangka waktu 10 – 25 tahun. Pembagian waktu
ini bersifat kira-kira, dan tiap ahli dapat saja memberikan batas yang berlainan.
Jadi pemenggalan waktu ini hanya merupakan ancar-ancar.
Menurut pelakunya perencanaan dapat dibedakan atas perencanaan
individual, yang dilakukan guru secara sendiri-sendiri, perencanaan kelompok,
dan perencanaan lembaga yaitu perencanaan yang berlaku dan dibuat oleh
pesantren (Suryosubroto, 2004:15).
2) Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian diartikan sebagai kegiatan membagi tugas- tugas kepada
orang yang terlibat dalam kerja sama pendidikan. Karena tugas-tugas ini
demikian banyak dan tidak dapat diselesaikan oleh satu orang saja, maka tugas-
tugas ini dibagi untuk dikerjakan masing-masing anggota organisasi
(Suryosubroto, 2004:20)
Istilah organisasi mempunyai dua pengertian umum. Pertama, organisasi
diartikan sebagai suatu lembaga atau kelompok fungsional, misalnya, sebuah
sekolah, pesantren, sebuah perkumpulan, badan-badan pemerintah. Kedua
merujuk pada proses pengorganisasian yaitu bagaimana pekerjaan diatur dan
dialokasikan diantara para anggota, sehingga tujuan organisasi itu dapat tercapai
secara efektif (Suryosubroto, 2004:17).
Jadi pengorganisasian di pesantren dapat
5. 15
didefinisikan sebagai keseluruhan proses untuk memilih dan memilah orang-orang
(ustadz dan personil pesantren lainnya) serta mengalokasikan sarana dan
prasarana untuk menunjang tugas orang-orang dalam rangka mencapai tujuan
pesantren secara efektif dan efisien.
3) Fungsi pengkoordinasian
Pengkoordinasian mengandung makna menjaga agar tugas- tugas yang
telah dibagi itu tidak dikerjakan menurut kehendak yang mengerjakan saja, tetapi
menurut aturan sehingga menyumbang terhadap pencapaian tujuan.
Pengkoordinasian menurut The Liang Gie (1983:216) merupakan rangkaian
aktivitas menghubungkan, menyatu padukan dan menyelaraskan orang- orang
dan pekerjaannya sehingga semuanya berlangsung secara tertib dan seirama
menuju kearah tercapainya tujuan tanpa terjadi kekacauan, percekcokan,
kekembaran kerja atau kekosongan kerja.
Berdasarkan pengertian ini dapat ditegaskan bahwa pengkoordinasian
dalam satuan pendidikan adalah “mempersatukan rangkaian aktivitas
penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran orang- orang dan pekerjaannya
sehingga semuanya berlangsung secara tertib kearah tercapainya maksud yang
telah ditetapkan”. Koordinasi harus dapat meningkatkan kerjasama antar pejabat
dan anggota organisasi semaksimal mungkin pada tataran kantor didepartemen
pendidikan, pada tataran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kemudian
koordinasi pada tingkat satuan pendidikan. Koordinasi pada tiap tataran ini
adalah meningkatkan kerja sama antara Menteri, Direktur Jenderal, Gubernur,
Bupati/Walikota dalam memberikan pelayanan pada satuan pendidikan, serta
kepala sekolah, guru, konselor, supervisor, dan petugas sekolah lainnya dalam
kegiatan sekolah dan pelajaran sebagai kegiatan inti satuan pendidikan.
4) Pengendalian/Pengawasan (Controlling)
Pengendalian (Pengawasan) atau controlling adalah bagian terakhir dari
fungsi manajemen. Fungsi manajemen yang dikendalikan adalah perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian itu sendiri. Kasus-kasus yang
6. 16
banyak terjadi dalam organisasi adalah akibat masih lemahnya pengendalian
sehingga terjadilah berbagai penyimpangan antara yang direncanakan dengan
yang dilaksanakan.
Pengendalian ialah proses pemantauan, penilaian dan pelaporan rencana
atas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan untuk tidakan korektif guna
penyempurnaan lebih lanjut. Beda pengendalian dengan pengawasan adalah pada
wewenang daripengembang kedua istilah tersebut. Pengendalian memiliki
wewenang turun tangan yang tidak dimiliki pengawas. Pengawas hanya sebatas
memberi saran, sedangkan tindak lanjutnya dilakukan oleh pengendali. Jadi,
pengendalian lebih luas dari pada pengawasan. Dalam penerapannya
dipemerintahan, kedua istilah itu sering tumpang-tindih (overlapping).
Pengawasan sebagai tugas disebut supervisi pendidikan yang dilakukan oleh
pengawas sekolah ke sekolah-sekolah yang menjadi tugasnya. Kepala sekolah
juga berperan sebagai supervisor di sekolah yang dipimpinnya. Di lingkungan
pemerintahan, lebih banyak dipakai istilah pengawasan dan pengendalian
(wasdal) (Usman, 2004:51). Pada dasarnya rencana dan pelaksanaan merupakan
satu kesatuan tindakan, walaupun hal ini jarang terjadi. Pengawasan diperlukan
untuk melihat sejauh mana hasil tercapai.
c. Pengertian Pondok Pesantren
Terminologi pesantren mengindikasikan bahwa secara cultural pesantren
lahir dari budaya Indonesia, dengan melihat bahwa pesantren yang berasal dari
bahasa Jawa, dari kata “Cantrik” yang berarti seorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana guru ini pergi menetap. Kemudian terminologi pesantren
lebih popular dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren,
pondok berasal dari bahasa Arab “funduk” yang berarti hotel, asrama, rumah,
dan tempat tinggal sederhana (Hasbullah, 2002)
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tertua ditanah air. Ia
diperkirakan sudah ada sejak negeri ini belum merdeka. Secara etimologis, kata
pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok
dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para
7. 17
santri. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di
depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18).
Dengan demikian, pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri.
Agaknya, pemakaian kata pesantren untuk menamai lembaga tradisional
pengajaran agama Islam ini terkait erat dengan proses diduga kuat dikembangkan
berasal dari petani (Azra, 1995:259). Namun, dalam pandangan Nurcholish
Madjid, pesantren tidak hanya dianggap sebagai identik dengan makna
keislaman, akan tetapi juga dianggap memiliki makna keaslian Indonesia
(indigenous) (Madjid, 1997:3).
Sekarang di seluruh nusantara terdapat ribuan lembaga pendidikan Islam
yang dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatera Barat, dan
Pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu
membentuk berbagai macam dan jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren
di Jawa dapat dilihat dari segiilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola
kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-
unsur pondok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren, yaitu kiai,
masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen
unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan
lainnya.
Asal terbentuknya sebuah pesantren secara pasti hingga kini masih sulit
untuk diungkapkan. Yang dapat dilakukan hanyalah menduga-duga dengan
melihat ciri-ciri dan pengaruhnya dalam kehidupan keagamaan pada masyarakat
Jawa. Para akademisi lebih banyak menghubungkan kehadiran pesantren dengan
kelompok- kelompok organisasi terekat pada awal-awal sejarah Islam di
Nusantara. Para Kiai pimpinan terekat melazimkan kepada para pengikutnya
untuk melakukan suluk selama 40 hari dalam setiap tahunnya dalam ruangan-
ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang bersebelahan
dengan masjid, di samping melakukan amalan-amalan terekat, ditempat ini
dilakukan pula pengajaran kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu-ilmu
keislaman: fikih, tauhid, dan tasawuf (Dhofier, 1994 : 34 ). Dari kegiatan sejenis
inilah, nampaknya yang dikemudian hari melahirkan sejumlah pesantren dengan
8. 18
corak dominan pada kecenderungan penguasaan syariah dan terekat, sehingga
perkataan ”kiai” lebih lazim dari penyebutan ”ulama” untuk memberi julukan
pada para pengajarnya. Dengan demikian, pengakuan suatu lingkungan
masyarakat tertentu terhadap kelebihan di bidang ilmu agama dan kesalehan kiai
menjadi faktor pendukung tumbuhnya pesantren di masa lalu.
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem
sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau
wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut,
setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai atau
pembantu kiai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-
murid yang telah menguasai pembacaan Qur’an yang pada kenyataannya
merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah
paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di
pesantren (Dhofier, 1994 28).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk
menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada dipesantren. Akhir-akhir ini,
pondok pesantren mempunyai kecenderungan- kecenderungan baru dalam rangka
renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan
yang bisa dilihat dipesantren modern diantaranya mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan diluar dirinya, diversifikasi
program dan kegiatan dipesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat
berfungsi sebagi pusat pengembangan masyarakat
d. Sistim Pendidikan Pesantren
Sistem pendidikan menurut Mastuhu (1995:234) adalah totalitas interaksi
dari seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu, dan
saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang
telah menjadi cita-cita bersama para pelakunya. Kerja sama antar pelaku ini
didasari, dijiwai, digerakkan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai- nilai luhur
yang dijunjung tinggi oleh mereka. Unsur-unsur suatu sistem pendidikan selain
9. 19
terdiri atas para pelaku yang merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur-
unsur anorganik lainnya, berupa dana, sarana dan alat-alat pendidikan lainnya,
baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan
unsur-unsur dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Unsur-unsur asasi pendidikan adalah: (1) pendidikan: Islam, sebab Islam
adalah satu-satunya agama yang benar dan sempurna serta dapat
menyelamatkan umat manusia dunia dan di akhirat. Karena sistem pendidikan
pondok pesantren merupakan bagian (sub sistem) saja dari pendidikan Islam,
maka asasnyapun adalah Islam; (2) tujuan: tujuan akhir (ultimate goal),
merupakan tujuan akhir dari tujuan setiap muslim yaitu mencapai ridho Allah,
dan tujuan umum(institusional) ialah sama dengan tujuan diciptakannya umat
manusia di dunia ini, yaitu mengabdi kepada Allah, dan tujuan khusus (kurikuler)
adalah sesuai dengan fungsi didirikannya lembaga pendidikan pondok pesantren
berfungsi untuk melahirkan calon ulama dan ahli agama; subjek didik adalah
para ulama dan ustadz. Para ustadz berfungsi sebagai pembantu para ulama,
harus memiliki sifat-sifat sebagaimana para ulama, agar di pondok pesantren itu
terwujud satu kepemimpinan yang utuh; objek didik pada pondok pesantren
adalah para santri, materi pendidikan pada pondok pesantren yang paling besar
dan dominan adalah ilmu-ilmu agama Islam; metode pendidikan pada pondok
pesantren: metode uswah hasanah, dialog (tanya jawab), weton,
sorogan/bandongan, muhawarah, mudzakarah; alat pendidikan, dan waktu.
Sistem pendidikan pesantren juga terdiri atas unsur-unsur dan nilai-nilai
yang merupakan satu kesatuan. Kualitas dari dinamika suatu sistim pendidikan
pesantren sangat tergantung pada kualitas para pengasuhnya dan bobot
interaksi antara unsur dan pelaku pesantren yang ada. an pada dasarnya setiap
lembaga pendidikan selalu menghendaki agar kualitas dan kuantitas berjalan
seiring dan seimbang, sehingga tidak mengalami permasalahan yang
krusialUntuk menghindari hal tersebut dibutuhkan kesiapan pesantren28
baik di
sisi internal maupun eksternal.
10. 20
b. Elemen-elemen Pesantren
Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa
elemen dasar yang selalu ada didalamnya. Ada lima elemen pesantrenantara satu
dengan lainnya tidak bias dipisahkan. Ketiga elemen tersebut meliputi kiayi,
santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik, atau yang sering
disebut dengan kitab kuning. (Haedari, dkk, 2004:54)
1) Kyai
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial
bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Jawa dan
Madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa,
sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan masyarakat. Istilah
kiayi ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.
Sementara di Jawa Barat digunakan istilah”Ajengan”, di Aceh dengan tengku,
sedangkan di Sumatera Utara dinamakan Buya.
2) Pondok
Pondok atau tempat tinggal para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren
yang membedakannya dengan sistem pendidikan yang lainnya yang
berkembang di kebanyakan wilayah Islam Negara-negara lain.
3) Masjid
Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren, pada umumnya yang
pertama-tama menjadi prioritas adalah masjid. Masjid dianggap sebagai
symbol yang tidak terpisahkan dari pesantren. Masjid tidak hanya sebagai
praktek ritual ibadah, tetapi juga tempat pengajaran kitab-kitab kuning.
4) Santri
Santri adalah siswa atau murid yang belajar dipesantren. Seorang ulama bias
disebut kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren
tersebut untuk mempelajari ilmu-ilmu agamaIslammelalui kitab-kitab kuning.
Oleh karena itu, eksistensi biasanya juga berkaitan dengan adanya santri
dipesantrennya.
5) Mengajar Kitab Kuning
Berasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab- kitab klasik,
11. 21
khususnyakaranagn-karangan madzhab Sayfiiyyah . pengajaran kitab-kitab
kuningberbahsa arab dan tanpa harakat atau sering disebut kitab Gundul
merupakan satu-satunyametode yang secara formal diajarkan dalam komunitas
pesantrendi Indonesia. Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok
peantren salaf, khalaf, modern, dan takhasus Al-Qur’an.
c. Pola-Pola Manajemen Pesantren
Pertama, Pesantren pola I yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
pesantren yang masih terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum
zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Ciri-ciri dari Pesantren Pola
I adalah Pertama, pengkajian kitab-kitab klasik semata-mata. Kedua, memakai
metode sorogan, wetonan, dan hafalan di dalam berlangsungnya proses belajar
mengajar. Ketiga, tidak memakai sistem klasikal. Pengetahuan seseorang diukur
dari sejumlah kitab-kitab yang telah pernah di pelajarinya dan kepada ulama
mana dia berguru. Keempat, tujuan pendidikan adalah untuk meninggikan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual, dan
kemanusiaan.
Kedua, Pesantren Pola II adalah merupakan pengembangan dari Pesantren
Pola I. Kalau Pola I inti pelajaran adalah pengkajian kitab-kitab klasik dengan
menggunakan metode sorogan, wetonan dan hafalan, sedangkan pada pesantren
Pola II ini lebih luas dari itu. Pada Pesantren Pola II inti pelajaran tetap
menggunakan kitab-kitab klasik yang diajarkan dalam bentuk klasikal dan
non klasikal. Di samping itu, diajarkan ekstrakulikuler seperti keterampilan dan
praktek keorganisasian. Pada bentuk sistem klasikal, tingkat pendidikan di bagi
kepada jenjang pendidikan dasar (ibtidaiyah) 6 tahun, jenjang pendidikan
menengah pertama (tsanawiyah), dan jenjang pendidikan atas (Aliyah) 3 tahun.
Di luar waktu pengajaran klasikal di Pesantren Pola II ini diprogramkan pola
sistem nonklasikal, yakni membaca kitab-kitab klasik dengan metode- metode
dan wetonan. Pimpinan pesantren telah mengatur jadwal pengkajian tersebut
lengkap dengan waktu, kitab yang akan dibaca dan ustadz yang akan
mengajarinya.
12. 22
Ketiga, Pesantren Pola III adalah pesantren yang di dalamnya program
keilmuan diupayakan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum.
Ditanamkan sifat positif terhadap kedua jenis ilmu itu kepada santri. Selain dari
itu dapat digolongkan kepada ciri pesantren Pola III ini adalah penampakkan
berbagai aspek pendidikan, seperti kemasyarakatn, ketrampilan, kesenian
kejasmanian, kepramukaan, dan sebagainya dari Pesantren Pola III telah
melaksanakan program pengembangan masyarakat. Struktur kurikulum yang
dipakai pada Pesantren Pola III ini ada yang mendasarkannya kepada struktur
madrasah negeri dengan memodifikasi mata pelajaran agama, dan ada pula yang
memakai kurikulum yang di buat oleh pondok sendiri. Pengajaran ilmu-ilmu
agama pada Pesantren Pola III ini tidak mesti bersumber dari kitab- kitab
klasik.
Keempat, Pesantren Pola IV, adalah Pesantren yang mengutamakan
mengajarkan ilmu-ilmu ketrampilan disamping ilmu- ilmu agama sebagai mata
pelajaran pokok. Pesantren ini mendidik para santrinya untuk memahami dan
dapat melaksanakan berbagai ketrampilan guna dijadikan bekal hidupnya.
Dengan demikian kegiatan pendidikannya meliputi kegiatan kelas, praktik di
laboratorium, bengkel, kebun/ lapangan.
Kelima, Pesantren Pola V adalah Pesantren yang mengasuh beraneka ragam
lembaga pendidikan yang tergolong formal dan non formal. Pesantren ini juga
dapat dikatakan sebagai pesantren yang lebih lengkap pesantren yang telah
disebutkan diatas. Kelengkapan itu ditinjau dari segi keanekaragaman bentuk
pendidikan yang dikelola. Di Pesantren ini di temukan pendidikan Madrasah,
sekolah, perguruan tinggi, pengkajian kitab-kitab klasik, majlis taklim, dan
pendidikan ketrampilam.pengajian kitab-kitab klasik di pesantren ini dijadikan
sebagai materi yang wajib diikuti oleh seluruh santri yang mengikuti pelajaran di
madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi. Sementara itu ada santri yang secara
khusus mengkuti pengajian kitab-kitab klasik sajad. Tujuan Pondok Pesantren
Mastuhu mendefinisikan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi
13. 23
masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan menjadi kawula atau abdi
masyarakat seperti Rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana
kepribadian Nabi Muhammad SAW, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh
dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan
kejayaan Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal muslimin), dan
mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya
pengembangan kepribadian muhsin, bukan sekedar muslim.
Pendapat lain dari Muhaimin mengungkapkan tujuan terbentuknya
pesantren adalah secara umum, membimbing anak didik untuk menjadi manusia
yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi
mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Secara
khusus, mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama
yangdiajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkan dalam
masyarakat.
Terakhir pendapat dari Zamakhsasyari Dhofier yang mengatakan bahwa
tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan,
uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar
adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Permasalahannya adalah para Kyai belum mentransfer rumusan tujuan
pesantren yang dipimpinnya secara tekstual yang baik dan mensosialisasikan
kepada seluruh elemen pondok pesantren. Walaupun sudah ada sebagian
pesantren yang merumuskan tujuan pesantrennya secara tekstual sehingga seluruh
elemen pesantren mengetahui tujuan dari pesantrennya, akan tetapi masih banyak
pesantren yang belum melakukannya sehingga tujuan dari pesantren hanya ada di
dalam benak pemimpin pesantren yakni kiai saja
2.1.2 Sertifikasi Dosen
2.1.2.1 Pengertian Sertifikasi Dosen
dosen sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan mempunyai peran
dan tanggung jawab yang berat untuk mensukseskan tujuan pendidikan nasional.
Dosen memegang peran yang utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya
14. 24
yang diselenggarakan secara formal dilingkungan sekolah, dosen juga sangat
menentukan keberhasilan peserta didik terutama dalam kaitannya dengan proses
belajar mengajar (Mulyasa, 2007:5). Selain itu dosen merupakan komponen yang
paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang
berkualitas. Oleh karena itu upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk
meningkatkan kualitas pedidikan tidak akan memberikan sumbangan yang
signifikan tanpa didukung oleh dosen yang profesional dan berkualitas serta
memiliki kinerja yang bagus. sehingga, peningkatan kualitas pendidikan harus
dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas dosen.
Dalam mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Sisdiknas maka
diperlukan dosen yang profesional. Supria di dalam Mulyasa (2007) menyebutkan
bahwa untuk menjadi profesional, seorang dosen dituntut untuk memiliki
minimal lima hal sebagai berikut:
a. Mempunyai komitmen pada peserta didik dan proses belajarnya.
b. Menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara
mengajarnya kepada peserta didik.
c. Bertanggung jawab memantau hasil belajar peserta didik melalui berbagai
cara evaluasi.
d. Mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya.
e. Seyogyanya merupakan sebagaian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesionalnya.
Pengertian sertifikasi dalam Undang-undang No. 14 tahun 2005 adalah
“proses pemberian sertifikat pendidik kepada dosen dan dosen”. Adapun
pendapat lain dari Jamal (2009 : 59) tentang pengertian sertifikasi jika dilihat
dari pelaksanaan sertifikasi tersebut adalah sebagai berikut :
15. 25
Sertifikasi adalah proses mendapatkan sertifikat profesional dengan cara
mengumpulkan portofolio yang jumlahnya ada 10 unsur. Kesepuluh unsur
tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya. Jika portofolio
tidak mampu memenuhi syarat, maka langkah selanjutnya adalah
mengikuti diklat (pendidikan dan pelatihan) secara intensif tentang tips
dan metodologi menjadi dosen profesional secara teori dan praktek.
Pengertian sertifikasi profesi dosen itu sendiri dikemukakan oleh
Kunandar (2008:79) adalah “proses pemberian sertifikat kepada dosen yang telah
memenuhi standar kualifikasi dan standar kinerja”.
Jadi, gabungan dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
sertifikasi dosen adalah suatu proses yang harus dilewati dosen untuk
mendapatkan sertifikat pendidik dengan cara memenuhi standar kualifikasi dan
standar kinerja sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang baik itu melalui
portofolio maupun pendidikan dan pelatihan dosen.
2.1.2.2 Dasar Pemikiran dan Landasan Pelaksanaan Kegiatan Sertifikasi
Dasar pemikiran dan landasan pelaksanaan kegiatan sertifikasi bagi dosen
ini telah diatur sesuai dengan undang-undang, peraturan dan keputusan-
keputusan yang berhubungan dengan sertifikasi. Undang-undang, peraturan dan
keputusan- keputusan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang dosen dan dosen.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan.
c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang
sertifikasi dosen dalam jabatan melalui jalur pendidikan.
d. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 056/0/2007 tentang
pembentukan konsorsium sertifikasi dosen.
e. KeputusanMenteriPendidikanNasionalNomor057/0/2007tentang penetapan
perdosenan tinggi penyelenggara sertifikasi dosen dalam jabatan.
16. 26
2.1.2.3. Tujuan Sertifikasi Dosen
Tujuan dari sertifikasi dosen ini dikemukakan oleh Jamal (2009 : 29)
adalah:
a. untuk meningkatkan mutu lulusan dan mutu pendidikan melalui peningkatan
kualitas dosen. Secara detail, sertifikasi dosen bertujuan sebagai berikut :
b. Menentukan kelayakan dosen dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran.
c. Meningkatkan profesionalisme dosen
d. Meningkatkan proses dan hasil pendidikan.
e. Mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sertifikasi dosen ini
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia baik dalam
prosesnya maupun hasil pendidikannya dengan cara meningkatkan kualitas dosen
melalui peningkatan profesionalisme dosen (dengan memberikan standar
kualifikasi dan standar kinerja dosen sebagai pendidik) sehingga mampu
melaksanakan tugasnya sebagai agen pembelajaran dan mampu mewujudkan
tujuan dari pendidikan nasional.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Jamal dapat disimpulkan
bahwa sertifikasi dosen dilaksanakan untuk meningkatkan kinerja dosen dan
meningkatkan kesejahteraan dosen (memberikan tunjangan profesi bagi dosen
yang lulus sertifikasi) dengan harapan dapat meningkatkan kinerja dan
profesionalitas dari dosen-dosen yang telah lulus sertifikasi.
Sertifikasi dosen ini merupakan cara untuk meningkatkan mutu dosen
dengan mengeluarkan lulusan yang memiliki kinerja sesuai dengan Undang-
undang(kinerjasebagaiagenpembelajaran)dan meningkatkan kesejahteraan dosen
dengan memberikan tunjangan bagi dosen yang lulus uji kinerja (sertifikasi).
2.1.2.4. Manfaat Sertifikasi Dosen
Manfaat dari sertifikasi ini menurut Jamal (2009 : 31) :
a. Melindungi profesi dosen dari praktek-praktek yang tidak kompeten dan
merusak citra profesi dosen.
17. 27
b. Melindungi masyarakat dari praktek-praktek pendidikan yang tidak berkualitas
dan tidak profesional.
c. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dari
keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan
yang berlaku.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa manfaat dari
sertifikasi dosen, profesi dosen diakui sebagai tenaga ahli khususnya dalam
bidang pendidikan sehingga dalam prakteknya dosen melaksanakan tugasnya
secara kompeten, profesional dan tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Selain itu sertifikasi juga bermanfaat untuk melindungi masyarakat dari praktek
pendidikan yang kurang baik (kurang berkualitas).
2.1.2.5. Institusi Penyelenggara Sertifikasi
Penyelenggaraan sertifikasi dosen melibatkan berbagai institusi dari
pemerintah. Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
056/0/2007 institusi yang dilibatkan sebagai konsorsium sertifikasi dosen
meliputi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu
Pendidikan (BPSDMP dan PMP), Ditjen Dikmen, Ditjen Diknas dan Ditjen
PAUDNI. Adapun institusi lainnya yang juga terlibat dalam penyelenggaraan
sertifikasi meliputi LPTK (Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
057/0/2007 tentang penetapan perdosenan tinggi penyelenggara sertifikasi dosen
dalam jabatan), LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan), Dinas Pendidikan
Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/kota.
2.1.2.6. Mekanisme Sertifikasi Dosen
Sertifikasi dosen sesuai Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 pasal 2
menjelaskan bahwa sertifikasi dosen dalam jabatan dilaksanakan melalui uji
kinerja. Uji kinerja yang dimaksud dalam Permendiknas tersebut adalah
dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio.
Penilaian portofolio ini merupakan pengakuan atas pengalaman profesional
18. 28
dosen dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang
mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman
mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, prestasi akademik, karya
pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman
organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan
dengan bidang pendidikan.
Dosen yang lulus penilaian portofolio atau memiliki skor portofolio ≥ batas
minimal lulus (skor 850) dapat memperoleh sertifikat pendidik. Sedangkan dosen
yang tidak lulus penilaian portofolio dapat memilih :
a. Melakukan kegiatan–kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio agar
mencapai nilai lulus. Dengan ujian mencakup Kinerja pedagogik,
kepribadian, profesional dan sosial. Jika lulus akan mendapat sertifikat
pendidik.
b. Mengikuti pendidikan dan latihan profesi dosen (PLPG) yang diakhiri
dengan ujian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perdosenan tinggi
penyelenggara sertifikasi. Jika lulus mendapat sertifikat pendidik, jika tidak
diberi kesempatan untuk mengulang ujian materi pendidikan dan pelatihan
yang belum lulus.
Namun biasanya dosen-dosen yang tidak lulus portofolio lebih memilih
untuk mengikuti diklat yaitu pendidikan dan latihan profesi dosen (PLPG).
Dalam pendidikan dan latihan profesi dosen (PLPG) ini, dosen diberikan
materi untuk memperdalam, meningkatkan metodologi mengajar dan
mengembangkan kemampuan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) dan mengajar dengan inspiratif, kreatif serta inovatif. Beberapa materi
yang diberikan dalam diklat ini dikemukakan oleh Jamal (2009 : 85) sebagai
berikut :
a. Pengembangan profesionalitas dosen
Dalam hal ini para dosen dimatangkan secara maksimal agar mampu
meningkatkan kinerjanya dan mengembangkan aspek profesionalitas. Dengan
demikian setelah keluar mengikuti diklat ini para dosen akan mampu
meningkatkan kualitasnya dan bersikap profesional.
19. 29
b. Model-model pembelajaran
Beragam model pembelajaran yang baik dan berkualitas akan disajikan.
Dengan harapan para dosen yang mengikuti diklat mampu menyerap secara
maksimal.
c. Pemanfaatan media pembelajaran
Dibahas berbagai pemanfaatan media pembelajaran. Dijelaskan juga secara
tuntas bagaimana memilih media pembelajaranyang ideal, prosedur pemilihan
media, serta mengenal prinsip-prinsip media pembelajaran. Ini dilakukan agar
dosen mampu memilih media yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai
dalam proses pembelajaran.
d. Teknik evaluasi pembelajaran
Materi evaluasi ini untuk pembelajaran secara keseluruhan baik evaluasi bagi
pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh dosen maupun evaluasi
bagi hasil pembelajaran.
e. Penelitian tindakan kelas dan karya ilmiah
Dalam materi ini para dosen yang mengikuti diklat dimatangkan tentang
bagaimana cara melakukan penelitian pengembangan pembelajaran terhadap
materi pelajaran yang diampunya di kelas. Terkait dengan penelitian tindakan
kelas dalam diklat ini juga dibahas diantaranya karakteristik penelitian
tindakan kelas serta model-model penelitian tindakan kelas. Dibahas juga
bagaimana pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang ideal mulai dari cara
mengidentifikasipermasalahanpenelitian,cara-caramenganalisis permasalahan
dan cara efektif untuk menyusun hipotesis. Selain itu para dosen juga akan
dididik agar mampu mengeluarkan karya ilmiah yang layak.
Sertifikasi dosen merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan,
yaitu untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang dosen, sehingga
ke depannya semua dosen diharapkan harus memiliki sertifikat sebagai lisensi
atau ijin mengajar. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Dosen dan Dosen, dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses
pemberian sertifikat pendidik untuk dosen dan dosen. Sedangkan yang dimaksud
dengan sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
20. 30
kepada dosen dan dosen sebagai tenaga profesional. Melalui sertifikasi ini
diharapkan dosen menjadi pendidik yang profesional, yaitu pendidikkan minimal
S-1(stratasatu)/D-4(diplomaempat)dan berkompetensi sebagaiagen pembelajaran
yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikasi pendidik setelah dinyatakan lulus
uji kompetensi. Peningkatan mutu dosen lewat program sertifikasi dosen ini
sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.
Rasionalnya adalah apabila kompetensi dosen bagus yang diikuti dengan
kesejahteraan yang bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus. Apabila kinerjanya
juga bagus maka KBM-nya juga bagus. KBM yang bagus diharapkan dapat
membuahkan pendidikan yang bermutu (Muslich, 2007: 8).
2.1.5 Kinerja
Kinerja merupakan tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu.
Kinerja pegawai adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan
tujuan pegawai. Manajemen kinerja secara sistematis dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja pegawai atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing
individu dan kelompok kerja. Kinerja individu, kinerja kelompok dan kinerja
pegawai dipengaruhi oleh banyak faktor baik intern dan ekstern organisasi. Dalam
organisasi, dimenasi sturktur organisasi berkenaan dengan siapa yang harus
mengimplentasikan atau mengerjakan apa yang telah diputuskan. Aspek pertama
yang harus di ataur adalah pembagian unit kerja termasuk tugas, fungsi dan
tanggung jawab dalam bekerja, baik secara vertikal maupun horisontal. Aspek
kedua adalah pihak yang mengerjakan pekerjaan tersebut mampu memiliki
kompetensi yang memadai dalam mengerjakan. Aspek ketiga adalah kesimbangan
antara otoritas dan kemampuan (Yeremias, 2008:125)
Menurut manajemen sumber daya manusia kinerja merupakan hasil yang
telah dicapai dari yang telah dilakukan, dikerjakan seseorang dalam melaksanakan
kerja atau tugas. Kinerja adalah hasil dari seseorang secara keseluruhan selama
periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target
atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2004: 14). Jadi kinerja pegawai merupakan
21. 31
hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan dan persepsi tugas. Usaha merupakan
hasil motivasi yang menunjukkan jumlah energi (fisik atau mental) yang
digunakan oleh individu dalam menjalankan suatu tugas.
Kemampuan merupakan karakteristik individu yang digunakan dalam
menjalankan suatu pekerjaan. Kemampuan biasanya tidak dapat dipengaruhi
secara langsung dalam jangka pendek. Persepsi tugas merupakan petunjuk dimana
individu percaya bahwa mereka dapat mewujudkan usaha-usaha mereka dalam
pekerjaan. Pendapat lain kinerja merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja
dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan,
(Robbins, 2001:32).
Agar kinerja berjalan secara optimal, seseorang harus mempunyai keinginan
yang tinggi untuk mengerjakan pekerjaannya serta mengetahui pekerjaannya.
Dengan demikian, kinerja pada dasarnya ditentukan oleh 3 (tiga) hal yaitu:
a. kemampuan,
b. keinginan,
c. lingkungan.
Kinerja seorang pegawai pada dasarnya adalah hasil kerja seorang pegawai
selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya
standar, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama (Soeprihanto, 2001:23).
Menurut Ivancevich (1994:32), hasil dari kinerja memiliki nilai bagi
organisasi dan individu, yaitu :
a. Hasil tujuan (kuantitas dan kualitas output, absensi, keterlambatan, dan
pergantian pegawai).
b. Hasil perilaku pribadi (hadir secara teratur atau absen, kesehatan, stress kerja,
kecelakaan).
c. Hasil instrinsik dan ekstrinsik.
d. Hasil etos kerja.
Gomez (2009:142) mengemukakan beberapa tipe kriteria performansi kerja
atau yang disebut kinerja pegawai, yaitu:
22. 32
a. Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode
waktu yang ditentukan.
b. Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat
kesesuaian dan kesepiannya.
c. Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
keterampilannya.
d. Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan
untuk mnyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.
e. Cooperative, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesama
anggota organisasi).
f. Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan
penyelesaian kerja.
g. Inisiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam
memperbesar tanggung jawabnya.
h. Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-
tamahan dan integrasi pribadi.
Martoyo (2000:92) menyatakan kinerja merupakan penampilan kerja
seseorang itu sendiri dan taraf potensi seseorang dalam upayanya
mengembangkan diri untuk kepentingan pegawai dan organisasi. Kinerja
organisasi merupakan cerminan dari kinerja sumber daya manusianya. Oleh
karena itu sumber daya manusia pada organisasi butuh perhatian khusus dari
pimpinan organisasi untuk menjaga kinerjanya agar tetap dalam performa yang
tinggi sehingga kinerja bisa lebih baik, agar kinerja pegawai dalam organisasi bisa
terpantau maka perlu dilakukan penilain kinerja.
Menurut Dongoran (2006:23), kinerja merupakan tindakan-tindakan atau
pelaksanaan-pelaksanaan tugas yang dapat diukur dengan alat yang dapat
dikembangkan dalam studi yang tergabung dalam ukuran kinerja secara umum,
meliputi jumlah kerja, mutu kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, pendapat atau
pernyataan yang disampaikan dan perencanaan kerja. Mathis (2005:24)
mengungkapkan bahwa komponen kinerja meliputi kemampuan individual,
perluasan usaha, dan dukungan organisasional. Kemampuan indivual mencakup
23. 33
bakat, minat, faktor kepribadian. Usaha meliputi motivasi, etika kerja, kehadiran,
dan rancangan tugas. Serta dukungan organisasional terdiri atas pelatihan dan
pengembangan, peralatan dan teknologi, standar kinerja, manajemen dan rekan
kerja.
Rivai and Basri (2004:16) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu pegawai sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian
tujuan pegawai secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan
dengan moral dan etika. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, menunjukkan
bahwa kinerja merupakan hasil yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Kinerja diukur dengan instrumen yang dikembangkan dalam studi yang
tergabung dalam ukuran kinerja secara umum. Menurut Purnomo dan Waridin
(2006:12), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut:
a. Faktor individual
Faktor individual ini terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang,
demografi dan motivasi kerja serta disiplin kerja.
b. Faktor psikologis
Faktor psikologis ini terdiri dari: Persepsi, attitude, personality, dan
pembelajaran.
c. Faktor organisasi
Faktor organisasi ini terdiri dari: sistem atau bentuk organisasi sumber daya,
kepemimpinan, lingkungan kerja, budaya kerja, budaya organisasi,
penghargaan, struktur, diklat dan job design.
Klasifikasi kinerja yang disampaikan di atas membawa suatu implikasi
bahwa konsep tentang kinerja seharusnya diartikan secara luas baik dalam tataran
organisasi, dalam proses dan dalam tingkatan individual, di mana semuanya sama-
sama penting. Ketiga tingkatan kinerja ini saling terkait dan sama-sama
menentukan pencapaian tujuan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan juga dan munkin
perlu dibudayakan atau bahkan diwajibkan penilaian kinerja dalam tataran
organisasi dan proses, dan tidak semata kinerja individu sebagaimana yang
dilakukan selama ini.
24. 34
Penilaian suatu kinerja selalu didasarkan pada kriteria atau indikator yang
diilhami oleh suatu paradigma yang dianut. Apabila paradigma yang dianut adalah
lebih didasarkan pada manajemen klasik, maka kriteria karakter pegawai, sikap
dan tingkah lakunya akan menjadi penting.Akan tetapi kalau paradigma yang
dianut lebih mengarah pada manajemen sumberdaya manusia, maka hasil dan
partisipasi, inisiatif dan perkembangan pegawai akan menjadi pusat perhatian.
Bila paradigma yang dianut adalah paradigma Good Governance maka kedua-
duanya akan menjadi sama pentingnya karena di samping harus bekerja
profesional dan harus akuntabel terhadap apa yang telah dijanjikan kepada publik,
aspek transparansi, responsivitas, dan sebagainya, juga harus diperhatikan.
Secara umum, parameter atau kriteria yang digunakan dalam menilai kinerja
meliputi (1) kualitas, (2) kuantitas, (3) ketepatan waktu, (4) penghematan biaya,
(5) kemandirian atau otonomi dalam bekerja (tanpa selalu disupervisi), (6)
kerjasama (Bemardin dan Russel, 1993). Parameter yang digunakan di sini
nampaknya sangat umum dan kurang mengakomodasi spesifikasi dari jenis
pekerjaan tertentu.
Menurut Schuler dan Dowling (Kramar, Mcgraw, dan Schuler, 1997: 371),
kinerja dapat diukur dari (1) kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) kerjasama, (4)
pengetahuan tentang kerja, (5) kemandirian kerja, (6) kehadiran dan ketepatan
waktu, (7) pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasi, (8) inisiatif dan
penyampaian ide-ide yang sehat, (9) kemampuan supervisi dan teknis. Parameter
yang digunakan di sini tergolong kriteria umum, artinya semua pegawai akan
diukur dengan kriteria yang sama, kecuali kemampuan melakukan supervisi.
Akan tetapi, perlu juga diperhatikan variasi dan tuntutan jenis pekerjaan
atau jabatan yang mungkin akan memiliki relevansi yang tinggi pada suatu kriteria
tetapi relevansi yang rendah pada kriteria yang lain. Karena itu, perlu dibedakan
atas kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria umum cenderung dialami oleh
semua pegawai atau pekerja sehingga relevan untuk diukur, sedangkan kriteria
khusus cenderung berlaku untuk pegawai atau pekerja tertentu saja yang
bervariasi menurutjenis pekerjaan masing-masing pekerja atau pegawai.
25. 35
Menurut Ivancevich (1994:47), evaluasi kinerja pegawai dalam dua
kategori: Pertama pada pegawai teknik, yang mencakup kompetensi teknis,
kesanggupan mencukupi kebutuhan sendiri, hubungan dengan orang lain,
kompetensi komunikasi, inisiatif, kompetensi administrasi, keseluruhan hasil
kinerja pegawai teknik. Kedua evaluasi terhadap manajerial, yang mencakup
kreatifitas, kontribusi yang diberikan, usaha kelompok kerja, keseluruhan hasil
kerja. Menurut Purnomo dan Waridin (2006:34), mengukur kinerja dengan
indikator seperti kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, kompensasi, kehadiran,
konservasi. Kinerja pegawai dapat memberikan informasi bagi pihak manajemen
untuk menentukan kebijakan sumberdaya manusia tentang apa yang terbaik untuk
diberikan kepada para pegawai dalam organisasi.
Penilaian kinerja untuk mengevaluasi seberapa baik pegawai melakukan
pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar dan kemudian
mengkomunikasikan informasi tersebut kepada pegawai. Penilaian terhadap
kinerja berkaitan dengan penghargaan. Pegawai yang kinerjanya baik hendaknya
diberikan penghargaan sehingga kinerjanya tersebut dapat dipertahankan di
kemudian hari.
Penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan pegawai dalam
mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang. Apabila hal itu dikerjakan dengan
benar, maka akan menguntungkan pegawai dengan jaminan bahwa upaya para
individu mampu mengkontribusi pada fokus strategik dari pegawai.
Menurut Mangkunegara (2006:10), penilaian kinerja adalah penilaian yang
dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan pegawai dan
organisasi. Kebutuhan pelatihan kerja ditentukan secara tepat dengan memberikan
tanggung jawab yang sesuai kepada pegawai sehingga dapat melaksanakan
pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan dalam promosi jabatan atau penentuan imbalan.
Tujuan dari penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari sumber daya
manusia organisasi.
26. 36
Secara spesifik, tujuan penilaian kinerja sebagaimana dikemukakan
Sunyoto dalam Mangkunegara (2006:10) adalah:
a. Meningkatkan saling pengertian antar pegawai tentang persyaratan kinerja
b. Mencatat dan mengakui hasil kinerja seseorang sehingga mereka terkepuasan
kerja untuk berbuat yag lebih baik.
c. Memberikan peluang pada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap
pekerjaan yang diembannya sekarang.
d. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga
pegawai terpuaskan kerja untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
e. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan, khusus rencana diktat, dan kemudian menyetujui jika
tidak ada hal-hal yang berubah.
Penilaian kinerja pegawai memiliki manfaat ditinjau dari beragam
prespektif pengembangan pegawai, khususnya manajemen sumber daya manusia,
yaitu sebagai berikut (Mangkuprawira, 2003:224):
a. Perbaikan kinerja
Umpan balik kinerja bermanfaat bagi pegawai, manajer, spesialis personal
dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki kinerja.
b. Penyesuaian kompensasi
Penilaian kinerja membantu pengambilan keputusan menentukan siapa yang
seharusnya menerima peningkatan pembayaran dalam bentuk upah dan bonus
didasarkan pada sistem merit.
c. Keputusan penempatan
Promosi, transfer dan penurunan jabatan biasanya didasarkan pada kinerja
masa lalu dan antisipatif misalnya dalam bentuk penghargaan.
d. Kebutuhan pelatihan dan pengembangan
Kinerja buruk mengindikasikan sebuah kebutuhan untuk melakukan pelatihan
kembali. Setiap pegawai hendaknya selalu mampu mengembangkan diri.
e. Perencanaan dan pengembangan karir
27. 37
Umpan balik kinerja membantu proses pengambilan keputusan tentang karir
spesifik karir pegawainya.
f. Defisiensi proses penempatan staf.
Baik buruknya kinerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan kelemahan dalam
prosedur penempatan staf di departemen sumber daya manusia.
g. Ketidakakuratan informasi
Kinerja buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi pekerjaan
rencana sumber daya manusia, atau hal lain dari sistem manajemen personal.
Hal demikian akan mengarah pada ketidaktepatan dalam pengambilan
keputusan menyewa pegawai, pelatihan dan keputusan konseling.
h. Kesalahan rancangan pekerjaan
Kinerja buruk mungkin sebagai sebuah gejala dari rancangan pekerjaan yang
keliru. Lewat penilaian dapat didiagnosis kesalahan-kesalahan tersebut.
i. Kesempatan kerja yang sama
Penilaian kerja yang akurat secara aktual menghitung kaitannya dengan
kinerja dapat menjamin bahwa keputusan penempatan internal bukanlah
sesuatu yang bersifat diskriminasi.
j. Tantangan-tantangan eksternal
Kadang-kadang kinerja dipengaruhi faktor-faktor lingkungan pekerjaan,
seperti keluarga, finansial, kesehatan atau masalah-masalah lainnya. Jika
masalah-masalah tidak diatasi melalui penilaian, departemen sumber daya
manusia mungkin mampu menyediakan bantuannya.
k. Umpan balik pada dumber daya manusia
Kinerja yang dan buruk diseluruh organisasi mengindikasikan bagaimana
baiknya fungsi sumber daya manusia diterapkan.
2.1.6 Kinerja Dosen
Menurut Prawirosentoso dalam Sinambela (2006:137), kinerja adalah hasil
kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu
organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam
28. 38
upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar
hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah tingkat
keberhasilan seseorang atau lembaga dalam melaksanakan pekerjaannya.
Berdasarkan definisi tersebut ada empat hal yang bisa dilihat, pertama, hasil kerja
secara individual atau secara institusi yang berarti kinerja tersebut adalah hasil
ahir yang diperoleh secara sendiri-sendiri atau berkelompok; kedua, dalam
melaksanakan tugas, orang atau lembaga diberikan wewenang dan tanggung
jawab. di sini orang atau lembaga diberikan hak atau kekuasaan untuk bertindak
sehingga pekerjaannya dapat dilakukan dengan baik, namun orang tersebut harus
tetap dalam kendali dimana orang atau lembaga tersebut harus memberikan
laporan pertanggung-jawabannya kepada yang memberikan hak dan wewenang
tersebut; ketiga, pekerjaan harus dilakukan dengan legal, artinya orang atau
lembaga dalam bekerja harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan; keempat,
pekerjaan tidak bertentangan dengan moral dan etika.
Faktor penentu kinerja dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Faktor internal yaitu faktor individu yang ada dalam organisasi meliputi
motivasi, keterampilan, dan kemauan, etos kerja dan gaya kepemimpinan.
b. Faktor ekternal yaitu faktor lingkungan kerja yang dipergunakan sebagai
sarana kerja organisasi, meliputi software yakni pelaksaaan manajemen
berupa peraturan-peraturan kerja dan hardware berupa fasilitas kerja.
Menurut Simamora (2001:624) menyatakan bahwa penilaian kinerja
(performance appraisal) adalah proses dengannya organisasi mengevaluasi
pelaksanaan kerja individu. Hadari (2002:52) menyatakan bahwa kinerja
(performance) adalah proses dengannya organisasi mengevaluasi pelaksanaan
kerja individu. Hadari (2002:52) menyatakan bahwa penilaian kinerja atau
prestasi kerja adalah hasil kerja atau hasil pelaksanaan perkerjaan yang dinilai
oleh manajernya tentang evaluasi antara tugas-tugas yang diberikan sesuai
deskripsi perkerjaan masing-masing dengan pelaksanaannya oleh para pegawai
tersebut. Weley dan Yukl (Sumartana, 1991 : 129 ) menyatakan bahwa kinerja
adalah cara segenap elemen disuatu intansi dalam pelaksanaan tugas dan
29. 39
fungsinya masing-masing sesuai dengan aturan yang ada. Kinerja merupakan
faktor mendasar yang dimiliki oleh seorang dosen agar dapat memiliki
keterampilan, kemampuan serta pengetahuan.
Kinerja merupakan perilaku sifat puas atau tidak puas. Buford dan Benedian
(Nurtjahyo, 2000:23) mengemukakan bahwa kepuasan kerja itu menyangkut sifat
orang tentang pekerjaannya, dan titik beratnya terletak pada sikap terhadap
pekerjaannya. Secara psikologis kinerja atau perfomansi merupakan perilaku kerja
seseorang sehingga menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari kerjanya.
Lebih lanjut dikatakan Buford dan Benedian yang dikutip oleh Nurtjahyo bahwa
“elastisitas kerja dapat dicapai jika : (a). Mampu mengerjakan tugasnya, (b). Ada
keinginan melaksanakan tugas, dan (c). Mengerti apa yang menjadi tugasnya.
Kinerja dosen merupakan aktifitas atau perilaku yang ditonjolkan oleh
dosen dalam melaksanakan tugasnya adalah ada beberapa tahapan yaitu :
a. Tahap persiapan : Kegiatan dosen dalam persiapan antara lain merumuskan
tujuan, merencanakan kegiatan program kegiatan belajar, melaksanakan
program.
b. Tahap penyajian adalah bagaimana membuka pelajaran, untuk menciptakan
suasana yang menarik dan menarik perhatian mahasiswa agar terpusat pada
bahan yang disiapkan, dan diharapkan penyajiannnya secara sistematis dan
lugas sehingga mudah dipahami.
c. Tahap penutup pelajaran : Dalam hal ini diisi dengan penilaian hasil untuk
pengatahuan kemajuan belajar mahasiswa.
Kinerja dosen adalah berada pada tingkat prestasi kerja yang berbeda-beda.
Tingkat intensitas kinerja dosen terhadap tugas baik sebagai tugas profesi maupun
tugas-tugas kemanusiaan ditunjukan dengan kepedulian terhadap mahasiswa
kecil, waktu dan energi yang disediakan sedikit, hanya peduli terhadap satu
macam pekerjaan, kepedulian terhadap mahasiswa dan dosen-dosen lain tinggi,
bersedia menyediakan waktu dan energi extra dan kepeduliannya terutama
diberikan kepada mahasiswa, juga dapat dilihat dari pesiapan awalnya, penyaji
materinya dan bagaimana memberi penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan
oleh peserta didik.
30. 40
Di Indonesia, parameter yang digunakan untuk menilai kinerja pegawai
negeri sipil adalah DP3 yang memuat 7 nilai umum dan 1 nilai khusus. Nilai-nilai
umum ini berlaku untuk semua pegawai yaitu kesetiaan, prestasi kerja, tanggung
jawab, ketaatan, kejujuran, dan kerjasama, sementara parameter khusus hanya ada
1 saja yaitu kepemimpinan, yang berlaku bagi para pemegang jabatan yang ada.
2.4 Kerangka Konseptual Penelitian
Kinerja dosen menyangkut kemampuan dosen dalam mengolah dan
mengelola baik kegiatan maupun materi pembelajaran menjadi suatu hal yang
dapat mengembangkan mahasiswa. Sedangkan dua kinerja lainnya menyangkut
kemampuan dosen dalam mengelola sikap atau perilaku dan berinteraksi secara
aktif dengan mahasiswa atau sesama pendidik atau tenaga kependidikan.
Upaya pemerintah untuk memotivasi dosen untuk meningkatkan kinerjanya
agar menjadi dosen yang profesional dengan mengeluarkan kebijakan sertifikasi
dosen. Kebijakan ini dikeluarkan sesuai dengan amanat dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2005 pasal 6 (2008 : 6) bahwa “dosen wajib memiliki
kualifikasi akademik, kinerja, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Dan
sesuai dengan ditetapkannya dosen sebagai profesi pada tanggal 2 Desember
2004 sehingga dosen merupakan tenaga ahli atau tenaga profesional dalam
bidang pendidikan dan di dalam melakukan profesinya dibutuhkan keahlian
khusus atau dibutuhkan kinerja-kinerja yang sesuai untuk menunjang tugas-
tugasnya.
Sertifikasiitusendirimerupakansuatuprosesuntukmemberikan penghargaan
kepada dosen dengan menyerahkan sertifikat sebagai bukti fisik dosen tersebut
memenuhi kinerja, sebagai tenaga ahli dan proses mensejahterakan dosen dengan
memberikan tunjangan profesi dengan tujuan dosen tersebut dapat profesional
dalam bidangnya. Sertifikasi dianggap pemerintah sebagai solusi perbaikan
kualitas dosen di Indonesia dengan memperbaiki kinerja dosen melalui kebijakan
tersebut. Dengan pertimbangan dampak setelah dosen memiliki sertifikat
tersebut.
31. 41
Dengan dosen memiliki sertifikat tersebut maka dimata masyarakat dosen
tersebut sudah dianggap ahli dan dapat dipercaya oleh teman sesama
pendidiknya atau tenaga kependidikan sebagai orang yang mampu mengemban
tanggung jawab yang besar dalam hal pendidikan sehingga memacu dosen
tersebut untuk terus memperbaiki kinerjanya dan bertindak sesuai dengan
kode etik yang ada sesuai dengan profesi dan sertifikat yang dimilikinya.
Sedangkan jika dilihat dari dampak tunjangan profesi yang dimilikinya
setelah memiliki sertifikat, dosen secara keuangan sudah mendapat kesejahteraan
yang sesuai dengan beban berat yang ditanggungnya dalam proses dan
pelaksanaan pendidikan. Dan dosen juga secara keuangan dapat terus
memperbarui pengetahuannya dengan penghasilan yang dimilikinya antara lain
dengan mengikuti seminar yang mungkin diadakan bukan dari program
pemerintah dengan menggunakan tunjangan yang dimilikinya. Oleh karena itu,
manfaat dari sertifikasi sangat baik dalam hal kemanusiaan dengan
memperhatikan kebutuhan yang diperlukan oleh dosen dan membangkitkan
keinginan bagi dosen-dosen untuk mendapat penghargaan yang sesuai dengan
memacu dosen untuk memperbaiki kinerjanya.