1. Pengertian Metodologi Studi Islam, Tujuan
Mempelajari Serta Manfaat
Pengertian metodologi studi Islam - Metodologi Studi Islam terdiri dari dua kata yaitu
metodologi dan Studi Islam. Dalam bahasa Arab Metodologi Studi Islam dipahami sebagai
Dirosah Islamiyah, dalam bahasa Inggris Islamic Studies, dalam istilah Jerman Islam
wissenschaft. (Wissenschaft memiliki makna ganda yang utuh, sebagai ilmu (science) maupun pengetahuan (knowledge), yang tidak dijumpai
padanannya dalam bahasa Inggris (Lihat R.Pumer, Religionswissenchaft or religiology, dalam numen, no. 19, 1972, 103)
Metodologi berasal dari bahasa latin methodologia, methodus + -logia –logy. Istilah ini
pertama kali digunakan pada tahun 1800. Metodologi dimaknai A system of broad principles or
rules from which specific methods or procedures may be derived to interpret or solve different
problems within the scope of a particular discipline. Unlike an algorithm, a methodology is not a
formula but a set of practices. (sebagai Sebuah sistem yang luas dari prinsip atau aturan dari
metode atau prosedur yang khusus diturunkan untuk menafsirkan atau memecahkan berbagai
masalah dalam lingkup tertentu dari sebuah disiplin ilmu. Tidak seperti algoritma , metodologi
bukanlah rumus tetapi satu set praktek. Sedangkan studi Islam dipahami sebagai kajian yang
bersifat ilmiah dan objektif dalam memahami tentang Islam.
(http://www.businessdictionary.com/definition/methodology.html#ixzz1o06JmZQw)
Studi Islam adalah sebuah upaya yang bersifat aspektual, polimetodis, pluralistik dan tanpa batas
yang tegas. Ia bersifat aspektual dalam arti bahwa Islam harus diperlakukan sebagai salah satu
aspek yang eksistensi. Sedangkan studi Islam bersifat polimetodis dalam arti bahwa berbagai
metode atau disiplin yang berbeda digunakan untuk memahami Islam, oleh karena itu, orang
perlu memahami Islam dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan
sebagainya. Ia pluralistik karena ada banyak agama-agama dan tradisi lain disamping Islam.
Studi Islam mulai dikembangkan oleh Mukti Ali pada akhir dekade tahun 70-an. Kajian masih
bersifat stadium awal, terfokus pada persoalan praktis menyangkut penataan, pembinaan dan
pengembangan hubungan antar pemeluk agama-agama di Indonesia. Memasuki dasawarsa tahun
80-an, studi agama memasuki fase baru yang segar dimana mulai muncul kajian-kajian yang
secara tematik lebih variatif dan secara kualitattif lebih intensif. Situasi ini disebabkan oleh
perkembangan dunia pendidikan, teknologi komunikasi dan transportasi, yang secara langsung
membantu perkembangan internal kajian agama. (Ahmad Norma Permata,( ed) Metodologi Studi Agama (yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), 27)
Tujuan mempelajari metodologi studi Islam.
Studi Islam (Islamic Studies) adalah salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan
ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh
para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk
dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah mendapat tempat
dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Islam sebagai agama ajaran-ajaran tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi
mencakup pula berbagai persoalan seperti ekonomi, social, budaya, dan dimensi-dimensi lain
dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa awal telah mengalami
perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis cultural. Perkembangan tersebut
2. dapat diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah
yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek social keagamaan, sehingga
benang merah yang memisahkan antara wilayah agama an sich, dan wilayah-wilayah social dan
budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri, menjadi tidak jelas.
Islam seperti agama-agama lainnya pada level historis empiris sarat dengan berbagai
kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.
Campur aduk dan berkait kelindannya “agama” dengan berbagai “kepentingan” social
kemasyarakatan menambah rumitnya mengatasi persoalan agama.
Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung mulai dari abad 7 H sampai dengan abad ke 15
H dewasa ini, menjadikan Islam sebagai agama yang merambah keberbagai wilayah didunia,
karena sesuai dengan misinya sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi
kekuatan dan bagian penting dalam sejarah peradaban dunia.
Salah satu persoalan mendesak untuk segera dipecahkan adalah masalah metodologi. Hal ini
disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam
secara komperehensif adalah tidak menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa
manakala umat Islam, khususnya di indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi
konsumen pemikiran. Jadi kelemahan umat islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan
materi namun lebih pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.
Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan ilmuwan telah merambah ke berbagai
wilayah. Misalnya, studi Islam sudah masuk kestudi kawasan, filologi, dialog, agama,
antropologi, arkeologi, dsbnya.
Disamping itu juga, perbedaan bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah
dengan yang lainnya membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal yang bersifat normatif
dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap persoalan hubungan antara
normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari
ajaran yang nota benenya sudah terlembagakan, apalagi dalam konteks saat ini.
Selain itu, untuk menghidari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat
menunjukkan secara distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila
pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang
distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif.
Manfaat mempelajari Metodologi Studi Islam.
Dengan mempelajari metodologi studi Islam akan memberikan ruang dalam pemikiran
yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa ajaran
Islam klasik dianggap sebagai taken for granted. Hal ini didasari atas adanya pujian
paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam
dewasa ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu.
Baik karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan
budaya masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, maka seakan tidak ada lagi ruang
bagi umat Islam dewasa ini untuk melakukan inovasi, yang ada adalah melakukan
3. konservasi, revitalisasi, dan kembali kepada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan
sebagai zaman keemasan. Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam
ideologi yang disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia
tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan
menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah dunia yang kita huni
hari ini.
Mengimbangi alur pemikiran keagamaan yang seringkali menonjolkan warna pemikiran
keagamaan yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial
keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan‟
umat. Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan. (Amin Abdullah, Studi
Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 13) Lebih lanjut Amin Abdullah
menjelaskan ada dua ciri menonjol corak pemikiran teologis. Pertama, pemikiran teologis
menekankan perlunya personal commintment terhadap ajaran agama yang dipeluknya.
Agama adalah persoalan hidup dan mati (ultimate concern). Pemeluk agama tertentu akan
akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela berkorban. Di
sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua, „bahasa” yang digunakan pemeluk
agama adalah bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau
peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama berimplikasi menyeluruh
terhadap kehidupannya (Ibid, 50)
Dapat mendialogkan ilmu humaniora klasik seperti Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur‟an
dengan ilmu-ilmu humaniora kotemporer sehingga Islam dapat dijadikan sebagai ajaran
yang mampu menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.
Objek Pembahasan Metodologi Studi Islam
Islam sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir
kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik
kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun sebaliknya inheren
di dalam diri mereka standar nilai dan moralitas.
Kemudian Dalam perjalanan panjang Islam, Islam mengalami asimilasi, perkembangan-
perkembangan akibat adanya berbagai macam pemahaman yang dikembangkan oleh para tokoh-
tokoh agama, ulama, pemikir-pemikir Islam. Dalam istilah Komarudin Hidayat Wahyu ketika
dilangit bersifat maskulin (tunggal), namun ketika membumi bersifat feminis. Hal ini berarti
bahwa penafsiran terhadap wahyu al-Qur‟an mengalami perkembangan tidak hanya tekstual
tetapi memahami wahyu al-Qur‟an secara kontekstual.
Oleh sebab itu, Obyek kajian dalam Islam tidak hanya membahas tentang persoalan trasedental
namun membahas hal lain yang menyangkut persoalan-persoalan ketika agama membumi.
Berikut obyek kajian dalam studi Islam :
Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, masjid, ummah)
yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beriman ke dalam suatu
konteks global.
4. Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek; penyembahan yang terus menerus,
sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen biasanya berkaitan dengan perjalanan
kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi (upacara tapabrata), perkawinan dan
kematian. Upacara-upacara sering merayakan tanggal kelahiran atau peristiwa-peristiwa
besar lainnya dari kehidupan tokoh-tokoh-tokoh besar seperti yesus, Musa, Muhammad,
Krishna dan Budha. Aktivitas penyembahan, sangat beragam dari segi frekuensi, watak,
dan signifikansinya namun seluruh agama memilikinya.
Etika; seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan membimbing
kearah kehidupan yang baik, dan semua menyepakati persoalan-persoalan dasar seperti
keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pembunuhan, membawa aib keluarga,
mengingkari cinta. Tradisi-traisi monoreistik menyerukan agar mencintai manusia dan
Tuhan, sedang tradisi-tradisi timur lebih cendrung menyerukan concernetis kepada alam.
Keterliban social dan politis; komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat
dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaftasi
dengannya kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam agama-
agama primal.
Kajian teks dan Kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci dalam kitab suci atau tradisi
oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengenyampingkan agama-agama
primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-
peraturan). (Di Jerman, hingga hari ini, kajian-kajian terhadap bahasa, budaya dan agama merupakan inti dari studi Islam yang
dipelajari, dan di universitas lebih dikenal sebagai Orientalische Seminar. Diantara pemula pakar bahasa Arab dari Jerman adalah Johan Jokab
Reiske (1716-1774). Kajian-kajian bahasa Arab berkembang secara luas di Eropa sejak permulaan abad ke-19. Salah satu dari ahli-ahli dalam
bidang ini adalah seorang sarjana Perancis A.I. Sylvestre de Sacy. Lihat Jacques Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji (ed),
Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2003), 3)
Konsep atau doktrin
Estetika; dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika merupakan hal yang
signifikan. Ikonografi di taj mahal dan parmadani di Persia
Spiritualitas yang menekankan sisi dalam (batin) dari agama. (Frank Whaling, Pendekatan Teologis,
dalam Peter Connoly (ed.) Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKIS, 1999), 321) Spritualitas Muslim dalam
makna luas dengan jelas mengekpresikan dirinya dalam berbagai cara dan bentuk yang
sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih tradisional kepada bentuk-bentuk pengalaman
mistik pribadi, dalam berbagai ekspresinya yang berbeda, dari pengalaman Hadis kepada
puisi yang mengisyaratkan pada yang absolut. Meskipun selalu ada banyak referensi bagi
„‟isyarat-isyarat” Tuhan, isyarat-isyarat tersebut memainkan peran yang sangat berbeda
dalam berbagai cara yang berbeda pula.
5. Pengertian metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang),
hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh
dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara
menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan,
dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading
mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik
riset.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi
tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang
sudah diterima(well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi
dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak
ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam
metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka
dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.[2]
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa
sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.[3]
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian
seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas
metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam
mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum
menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.
2. Ruang lingkup studi Islam:
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:
a. Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti
absolute, dan diterima apa adanya.
6. b. Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya
dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
c. Sebagai interaksi social, yaitu realitas umat Islam.
Bila islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi
tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka
hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.
B. Pendekatan-pendekatan dalam metodologi studi islam
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif diberbagai
masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya dijadikan sekadar menjadi
lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara
konsepsional menunujukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. .
Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), namun cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama
Diketahui bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari
dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan
hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi. Untuk
memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang
digali dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam Alqur‟an yang merupakan sumber ajaran Islam,
misalnya dijumpai ayat- ayat tentang proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi tubuh
manusia. Untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan dukungan ilmu anatomi tubuh
manusia. Selanjutnya untuk membahas ayat- ayat yang berkenaaan dengan masalah tanaman dan
tumbuh- tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian.
Berkenanaan dengan pemikiran diatas, maka kita perlu mengetahui dengan jelas
pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam memahamai agama. Hal ini perlu
dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fugsional dapat dirasakan
7. oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil
agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat
mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Untuk lebih
jelasnya pendekatan tersebut dapat kita pelajari sebagai berikut:
a. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yamng menguasai hidupnya. Sosiologi mencoba
mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara yang terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat
tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Harus ditegaskan disini bahwa orang yang pertama kali menggagas sekaligus
memperaktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang mandiri adalah ibn khaldun.
Namun, sebagian besar sosiolog memandang kontribusi ibn khaldun begitu kecil dalam
sosiologi. Mereka lebih mengakui karl max dan august comte sebagai seorang yang yang paling
berjasa bagi disiplin ilmu sosiologi.[4]
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama
serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong di tetapkannya serangkaian
kategori-kategori sosiologis, meliputi:
1. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas
2. Kategori bisosial, seperti seks, gender perkawinan, keluarga masa kanak-kanak dan usia
3. Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran dan
birokrasi.
4. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan
globalisasi.[5]
Dalam al-quran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan realitas tertinggi yang
menunjukan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima selainnya. Namun disisi lain (sosiologis),
ia juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum
waliyaddin).[6]
8. b. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan lain sebagainya.[7]
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu
sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social
kemasyarakatan. Dalam kontek ini Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam terhadap
agama yang dalam hal ini islam menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur‟an, ia
sampai pada kesimpulan bahwa dasarnya kandungan Al-qur‟an itu menjadi dua bagian. Bagian
pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat empirism dan mendunia. Dari kedaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan
atau keselarassan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada dalam empiris dan
historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena Agama
itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan.
c. Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahamai agama
dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui perndekatan ini agama tamapak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dalam berbagai penelitian antropologi. Agama dapat ditemukan adanya hubungan positif
antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik golongan masyarakat yang
kurang mampu pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang mesianis,
yang menjanjikan perubahan tatanan sosial masyarakat. Sedangkan golongan orang yang kaya
lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi
lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologi sosok agamayang berada pada daratan empiric akan
dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan
9. dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata
yang terjadi dimasyarakat.[8]
Dalam pendekatan ini kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja
dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah
pandangan dan sikap etos kerja seseorang maka dapat dilakukan dengan cara mengubah
pandangan keagamaan. Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat
agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi adalah modern adalah holisme,
yakni pandangan bahwa prakyik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial
dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti.
Para antropologis harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan politik,
magic dan pengobatan (secara bersama-sama maka agama tidak bisa dilihat sebagai system
otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.[9]
d. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak
lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama
sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya
suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan
agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama
ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Label “psikologi agama” seolah menunjukan bahwa bidang ini merupakan cabang
psikologi yang concern dengan subjek agama, sejajar dengan psikologi pendidkan, atau psikologi
olahraga, atau psikologi klinis. Akan tetapi kenyataanya, psikologi agama berada di bagian luar
mainstream psikolog
10. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN FUNGSI METODOLOGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Pendahuluan
Metodologi merupakan hal yang sangat penting dalam Pendidikan Agama Islam (PAI). Semakin
baik metode yang digunakan, maka akan semakin efektif dan efisien pula pencapaian tujuannya. Dalam
metode mangajar, faktor guru, siswa, bahan yang akan diajarkan, situasi, sarana, prasarana, serta
fasilitas-fasilitas lainnya sangat besar pengaruhnya. Dengan banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi di dalam penggunaan suatu metode, maka disini seorang guru dituntut untuk
menetapkan metode yang paling baik dan harus dipakai di dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam
agar pembelajaran tersebut berhasil.
B. Pengertian MPAI
Metodologi terdiri dari kata metodo dan logi. Metode berasal dari bahasa
greek ‘metha’ (melalui/melewati) dan ‘hodos’ (jalan/cara). Metode berarti jalan atau cara yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Logi berasal dari kata ‘logos’ yang artinya ilmu. Jadi, metodologi
berarti ilmu yang membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.
Metodologi pendidikan agama Islam berarti cara-cara yang tepat dipakai untuk membentuk
kepribadian agama Islam kepada peserta didik, melalui contoh teladan, pembiasaan, ganjaran ataupun
hukuman. Sedangkan metodologi pengajaran agama adalah cara-cara yang tepat dipakai untuk
mengajarkan agama kepada peserta didik, agar memiliki pengetahuan agama. Adapun metodologi
Pengajaran Agama adalah cara-cara yang tepat digunakan agar peserta didik belajar agama, dalam arti
berusaha melakukan perubahan perilaku dengan mengikuti tuntunan agama yang dipeluknya.
Sebagai ilmu, metodologi pengajaran merupakan salah satu cabang dari pedagogik yang
membahas tentang pengajaran, yang disebut didaktik , didaktik ini dibagi mnjadi dua, yaitu:
1. Didaktik umum, yang membahas prinsip-prinsip umum mengajar yang berlaku untuk semua mata
pelajaran.
2. Didaktik khusus, yang membahas pelaksanaan cara-cara mengajar yang disebut dengan metodik.
Metodik dalam pembahasan ini akan dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
1. Metodik umum, yang berlaku untuk semua mata pelajaran. Hal ini berarti tidak membedakan antara
pendidikan umum dan pendidikan Agama.
2. Metodik khusus, yang hanya berlaku untuk mata pelajaran tertentu, misalnya Metodik Khusus
Pendidikan Agama Islam (MKPAI), yang kini disebut dengan Metodologi Pendidikan Agama Islam
C. Ruang lingkup, ilmu-ilmu bantu,m dan manfaat MPAI
Dalam pembahasan ini, ruang lingkup MPAI ini meliputi:
1. Tujuan pendidikan dan pengajaran agama
2. Materi atau bahan pelajaran agama
3. Metode pengajaran agama
4. Alat/ media/ sumber pendidikan agama, dan.
11. 5. Evaluasi pendidikan agama
Sedangkan, Ilmu-ilmu bantu bagi MPAI adalah sebagai berikut:
1. Filsafat, memberikan sumbangannya dalam hal merumuskan tujuan, pendidikan/ pengajaran agama
2. Psikologi, memberikan penjelasan kondisi sikologis peserta didik
3. pedagogik dan didaktik, memberikan sumbangan dalam hal pemilihan dan penentuan metode
pembelajaran yang akan pakai
4. Sosiologi, memberikan sumbangan penjelasan terkait dengan lingkungan masyarakat sebagai sumber
belajar.
Manfaat mempelajari MPAI bagi guru agama islam dan peserta didik sebagai berikut:
1. Guru Agama Islam. MPAI dapat digunakan sebagai pedoman bagi guru dalam proses belajar mengajar.
Dalam hal pemilihan dan penentuan metode mengajar yang akan dipakai agar berhasil dengan baik.
2. Peserta didik. Hasil pembelajaran akan mudah dipahami, dimengerti, dan berarti bagi kehidupan peserta
didik. Dan dapat menggunakannya dalam berbagai situasi, dalam kehidupan sehari-hari.
D. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Menurut john sealy (Chabib Thaha, dkk, 1999), pendidikan agama, termasuk PAI dapat diarahkan
untuk mengemban salah satu atau gabungan dari beberapa fungsi, yaitu: konfensional, neo
konfensional, konfensional tersembunyi, implisit dan non konfensional. Untuk lebih jelasnya :
1. Konfensional, artinya pendidikan agama dimaksudkan untuk mningkatkan komitmen dan perilaku
keberagaman peserta didik.
2. Neo konfensional, yakni pendidikan agama dimaksudkan untuk meningkatkan keberagaman peserta
didik sesuai dengan keyakinannya.
3. Konfensinal tersembunyi, artinya pendidikan agama menawarkan sejumlah ajaran agama dengan
harapan peserta didik nantinya akan memilih salah satunya yang dianggap paling benar atau sesuai
dengan dirinya, tanpa ada arahan pada salah satu diantaranya.
4. Implisit, artinya pendidikan agama dimaksudkan untuk mengenalkan kepada peserta didik ajaran agama
secara terpadu dengan seluruh aspek kehidupan, melalui berbagai subyek pelajaran.
5. Non konfension, artinya pendidikan agama dimaksudkan sebahai alat untuk memahami keyakinan atau
pandangan hidup yang dianut orang lain.
Dari berbagai fungsi diatas, perlu dikonfirmasikan dengan undang-undang Republik Indonesia,
nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional penjelasan pasal 37 ayat 1 pendidikan agama
dimaksudkan untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Malik Fajar (1998), fungsi pendidikan agama di sekolah adalah memberikan landasan yang
mampu menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik melakukan perbuatan yang mendukung
pembentukan pribadi muslim yang kuat (Pemeluk agama yang taat), landasan itu meliputi:
1. Landasan motivasional, yaitu pemupukan sifat positif peserta didik untuk menerima ajaran agamanya
dan sekaligus bertanggung jawab terhadap pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Landasan etik, yaitu tertanamnya norma-norma keagamaan peserta didik sehingga perbuatannya selalu
diacu oleh isi, jiwa dan semangat akhlakul karimah.
3. Landasan moral, yaitu tersusunya tata nilai (value system) dalam diri peserta didik yang bersumber dari
ajaran agamanya sehingga memiliki daya tahan dalam menghadapi setiap tantangan dan perubahan.