SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  13
KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA
          DALAM UU NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA1

Permasalahan narkotika tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kesehatan
khususnya penanggulangan penyebaran HIV dan AIDS, melihat permasalahan
tersebut MPR RI pada sidang umum tahun 2002 melalui ketetapan MPR No.
VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR
RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA Pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun
2002 merekomendasikan kepada Presiden RI bersama DPR, untuk merevisi UU
No 22 Tahun 1997 dan UU No 5 Tahun 1997, namun dalam perubahannya
masih ada tarik menarik antara pendekatan kesehatan dengan pendekatakan
kriminal, sehingga menarik untuk melihat kedudukan hukum pengguna
narkotika dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika)
sebagai berikut :

I. PEMISAHAN ANTARA PENGGUNA, PECANDU, PENYALAHGUNA
   DAN KORBAN NARKOTIKA

   Pada UU Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud
   dengan “pengguna narkotika” sebagai subyek (orang), yang banyak
   ditemukan adalah penggunaan (kata kerja). Menurut kamus bahasa
   Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila
   dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1
   angka 1 UU Narkotika maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna Narkotika
   adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman,
   baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan
   atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
   menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
   dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU
   Narkotika. Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk
   memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika
   dan untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir dan
   pengedar narkotika2. Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir dan
   pengedar narkotika kadang juga menggunakan narkotika, namun dalam
   tulisan ini yang penulis maksud pengguna narkotika adalah orang yang
   menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen,
   penyalur, kurir dan pengedar narkotika.

   Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam
   UU Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain :


      1 Disampaikan oleh Totok Yuliyanto, S.H., Pengurus PBHI Nasional dalam dialog satu tahun
      pelaksanaan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU No 36 Tahun 2009 tentang
      Kesehatan dalam upaya pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
       2 Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988

         sebagaimana diratifikasi UU No 7 Tahun 1997 menggunakan istilah pemakaian untuk
         kepentingan sendiri
-   Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau
    menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
    narkotika3, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13 UU
    Narkotika);
-   Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak
    atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 UU Narkotika)
-   Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja
    menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,
    dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54
    UU Narkotika)
-   Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat
    menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan membawa
    narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan
    sediaan tertentu;
-   Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari
    ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis
    (Penejelasan Pasal 58 UU Narkotika)

Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut berpotensi
membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan baik dalam
merumuskan berbagai ketentuan didalam UU Narkotika maupun pada
pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah
keracuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf d UU Narkotika yang
menyatakan “UU Narkotika bertujuan : Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi
medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam Pasal
54 UU Narkotika menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna
Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial” dimana
berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi
menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalanya mendapatkan jaminan
rehabilitasi, pada Pasal 127 UU Narkotika penyalah guna narkotika
kemudiaan juga menjadi subyek yang dapat dipidana dan kehilangan hak
rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
narkotika.

Pembuktiaan penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika
sebagaimana diatur dalam UU narkotika, merupakan suatu hal yang sulit,
karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika
dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan narkotika ketika
menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,
dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya
Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran No 04 Tahun 2010
tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan

    3   Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
          Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek
          yang sama dan apabila penggunanya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba
          menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas (Pasal 1 angka 14 UU Narkotika)
Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial yang
  menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam
  memutus narkotika.

  Banyaknya istilah tersebut juga membingungkan aparat penegak hukum
  dan masyarakat, dilapangan aparat penegak hukum tidak memberikan hak
  orang yang positif menggunakan narkotika untuk melaksanakan
  rehabilitasi, walaupun dalam UU Narkotika adanya jaminan rehabilitasi
  bagi pecandu narkotika. Pengaturan wajib lapor bagi orang tua atau wali
  dari pecandu narkotika, juga berimplikasi membingungkan bagi orang tau
  atau wali, karena untuk menentukan apakah anaknya pecandu atau bukan
  pecandu haruslah ditentukan oleh ahli dan sangat sulit bila dilihat dari
  kacamata awam.

II. PENGGUNA NARKOTIKA KORBAN atau PELAKU ?

  Perdebatan yang sering muncul dalam membahas UU Narkotika adalah
  kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau sebagai
  korban, dan apa akibat hukumnya? Bila dilihat alasan yang mengemuka
  dilakukannya pergantiaan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narotika adalah
  untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
  narkotika4. Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit
  dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya
  penanggulangannya juga harus dibedakan. Hal tersebut selaras dengan
  amanat tujuan UU narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 UU Narkotika
  yang menyatakan “UU Narkotika bertujuan :
      a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
         dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi;
      b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
         penyalahgunaan narkotika;
      c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;
         dan
      d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
         penyalah guna dan pecandu narkotika

  Berdasarkan tujuan UU Narkotika tersebut dan melihat posisi pengguna
  narkotika dapat dilihat pemberantasan narkotika ditujukan bagi peredaran
  gelap narkotika. Sedangkan upaya pencegahan, perlindungan dan
  penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika, sehingga
  perlu adanya pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
  penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna narkotika).

  Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan korban atau pelaku
  sangat terasa dalam Pasal 127 UU Narkotika yang menyatakan :

      4   Paragraf 2 Penjelasan Umum UU Narkotika
(1) Setiap Penyalah Guna:
    a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
        paling lama 4 (empat) tahun;
    b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
        paling lama 2 (dua) tahun; dan
    c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
        paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
    memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan
    Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
    dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah
    Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi,
namun, dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia,
maka dalam pelaksanaanya pengguna narkotika harus menghadapi resiko
ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU Narkotika. Bila
pengguna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi
pertanyaan kemudiaan adalah siapa yang menjadi korban dari kejahatan
yang dilakukan oleh pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana
dikenal “tidak ada kejahatan tanpa korban”, menurut Ezzat Abdul Fateh
yang menjadi korban karena dirinya sendiri (false victims), dari persepektif
tanggung jawab korban, menurut Stephen Schafer “Self-victimizing victims
adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban.
Akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada
kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 hal, yaitu
penjahat dan korban. Sebagai contoh dari self-victimizing victims adalah:
pecandu obat bius , alkoholisme, homoseks, judi. Hal ini berarti
pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus
merupakan korban5.

Menjawab permasalahan pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana
dan sekaligus sebagai korban, dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU
Narkotika Mahkamah Agung RI mengeluarkan terobosan dengan
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun 2010 tentang
penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan Pecandu
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial,
dimana ditentukan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN
   dalam kondisi tertangkap tangan;


    5   J.E. Sahetapy, (ed). Bunga Rampai Viktimisasi, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, (selanjutnya
        disingkat J.E. Sahetapy I), h. 204 dikutip dari Zvonimir Paul Separovic. Victimology, Studies of
        Victims, Zagreb, 1985)
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang
     bukti pemakaiaan 1 (satu) hari
  c. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan
     permintaan penyidik
  d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang
     ditunjuk oleh hakim
  e. Tidak dapat terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
     narkotika

  Majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara pengguna narkotika
  harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat
  dalam amar putusannya, untuk menjatuhkan amar putusannya hakim
  harus sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi / taraf kecanduaan
  terdakwa.

  Sebagai konsekuesi pengguna narkotika adalah pelaku tindak pidana dan
  sekaligus sebagai korban maka masa menjalani pengobatan dan / atau
  perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana yang diputus oleh Majelis
  Hakim yang mengadili perkara, diperhitungkan sebagai masa menjalani
  hukuman, dimana penentuan untuk menjalani masa pengobatan dan
  perawatan ditentukan oleh ahli. Namun surat edaran Mahkamah Agung RI
  tersebut akan sulit diimplementasikan bila aparat penegak hukum lainya
  (penyidik dan penuntut) tidak memiliki pola pandang yang sama terhadap
  pengguna narkotika (permasalahan ini akan dibahas pada bagian
  permasalahan implementasi hukum pengguna narkotika).

III. HAK-HAK PENGGUNA NARKOTIKA dalam UU NARKOTIKA

  Pengguna Narkotika juga adalah warga negara dimana haknya dihormati,
  dilindungi dan dipenuhi oleh negara, baik ketika dalam proses hukum
  maupun dalam hal kesehatan dan sosial. Selain hak asasi manusia yang
  melekat pada diri setiap manusia, baik dalam tataran hak atas kesehatan
  maupun hak ketika berhadap dengan proses hukum, secara khusus UU
  Narkotika memberikan hak kepada pengguna sebagai berikut :

  a. Rehabilitasi bagi Pengguna Narkotika
     Sebagaimana disebutkan dalam Tujuan UU Narkotika diatas dimana,
     adanya jaminan pengaturan upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika,
     dimana hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 54 UU Narkotika
     yang menegaskan Pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan
     narkotika wajib6 menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
     Dimana menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
     pelayanan    kesehatan   dan/atau     untuk    pengembangan     ilmu


       Banyak perdebatan yang dimaksud dalam wajib disini, namun menuert hemat penulis hal ini
      juga memiliki implikasi kepada tanggung jawab negara
pengetahuaan dan teknologi7. Pengguna narkotika dapat memilih
        tempat rehabilitasi yang telah memenuhi kualifikasi dan apabila
        pengguna narkotika dalam pengawasan negara, Negara memberikan
        hak rehabilitasi secara Cuma-Cuma kepada pengguna narkotika8
        dimana pembiayaanya dapat diambil dari harta kekayaan dan asset
        yang disita oleh negara9

     b. Hak untuk tidak dituntut pidana
        UU Narkotika, memberikan diskresi kepada beberapa hal agar
        pengguna narkotika tidak dipidana, diskresi tersebut dapat dilihat
        dalam Pasal 128 UU Narkotika memberikan jaminan tidak dituntut
        pidana dengan criteria sebagai berikut :
        - Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan
           oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
           ayat (1)
        - Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud
           dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2
           (dua) kali masa perawatan dokter dirumah sakit dan/atau lembaga
           rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah

        Walaupun pengaturan ini telah diatur dalam UU Narkotika
        sebelumnya10 namun hal tersebut tidak efektif dalam pelaksanaanya
        karena tidak adanya peraturan pelaksana yang memadai untuk
        mengakomodir hak diskresi tersebut, dimana aparat penegak hukum
        masih tetap melakukan proses hukum bagi anak dan pengguna
        narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi. Permasalahan selanjutnya
        adalah mengenai rehabilitasi medis yang hanya diperbolehkan 2 (dua)
        kali masa perawatan dokter sebagaimana tertuang dalam Pasal 128 ayat
        (3) UU Narkotika, hal ini menjadi kendala tersendiri, karena menurut
        beberapa pihak menggap kecanduaan narkotika adalah penyakit,
        dimana ada kerusakan dalam otak sehingga sewaktu-waktu bisa
        kambuh11
A.      PERMASALAHAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA12

        a. Pelaksanaan UU Narkotika Tergantung Aturan Pelaksana
        Sebagai wujud UU Narkotika merupakan UU Administratif yang
        mengatur tentang narkotika, maka beberapa hal dalam UU Narkotika


        7 Pasal 9 ayat (1) UU Narkotika
        8 Penjelasan Pasal 103 ayat 1 huruf b
        9 Penjelasan Pasal 101 ayat (3) UU narkotika
        10 Pasal 46 UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah memberikan pengaturan tentang

              wajib lapor bagi orang tua / wali, pengguna narkotika yang telah cukup umur
          11 Keterangan HM Aminulah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan

              RI sebagaimana dikutip oleh hukumonline.com
            Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PBHI banyak ditemukan permasalahan hukum
             dalam UU Narkotika, namun yang disajikan dalam makalah ini hanya yang berkaitan
             langsung dengan Pengguna Narkotika
harus diatur kembali oleh berbagai aturan pelaksanaanya. PBHI
      mencatat terdapat 10 ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur
      dalam Peraturan Pemerintah, 2 Ketentuan UU Narkotika yang harus
      diatur dalam Peraturan Presiden, 17 Ketentuan dalam UU Narkotika
      yang harus diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, 1 Ketentuan
      dalam UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Menteri Sosial,
      2 Ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur oleh Kepala Badan
      Pengawasan Obat dan Makanan dan 2 ketentuan dalam UU Narkotika
      yang harus diatur oleh Kepala Badan Narkotika Nasional.

      Dari banyaknya aturan pelaksana yang disebutkan diatas beberapa
      ketentuan yang memiliki dampak langsung bagi pengguna narkotika
      adalah sebagai berikut :

No Ketentuan                      Ketentuan Pasal   Pengaturan pelaksana
1  Pelaksanaan Wajib Lapor        Pasal 52          Peraturan Pemerintah
2  Tata cara penggunaan aset      Pasal 101         Peraturan Pemerintah
   kekayaan yang dirampas
3  Rehabilitasi medis dan         Pasal 59          Peraturan     Menteri
   lemabaga        rehabilitasi                     Kesehatan
   medis
4  Rehabilitasi Sosial            Pasal 59          Peraturan     Menteri
                                                    Sosial
5   Wadah Kordinasi peran Pasal 108                 Peraturan Kepala BNN
    serta masyarakat

      UU Narkotika yang telah disahkan dan diundangkan pada 12 Oktober
      2009 dan dinyatakan mulai berlaku sejak diundangkan telah
      memberikan batas waktu paling lambat 1 (satu) tahun untuk
      menetapkan peraturan pelaksana, sebagaimana diatur dalam Pasal 154
      UU Narkotika. Walaupun Pasal 152 UU Narkotika menyatakan “Semua
      peraturan    perundang-undangan     yang    merupakan    peraturan
      pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
      Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67,
      Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat
      Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak
      bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru
      berdasarkan Undang-Undang ini”, namun yang harus diperhatikan UU
      Narkotika bukanlah aturan perubahan/revisi dari UU Sebelumnya,
      melainkan suatu aturan yang menggantikan pengaturan Narkotika
      sebelumnya, sehingga semangat dan pengaturan dalam UU Narkotika
      berbeda dengan UU sebelumnya. Sehingga menjadi penting bagi pihak-
      pihak pemangku kepentingan menyusun baru peraturan pelaksana atau
      setidak-tidaknya mengoreksi peraturan pelaksana sebelumnya apakah
      telah sesuai dengan Semangat dari UU Narkotika, sehingga dalam
      implementasi tidak menemukan kendala.
Belum terlihatnya upaya penyusunan peraturan pelaksana dari UU
   Narkotika khususnya untuk kepentingan bagi para pengguna
   menimbulkan berbagai permasalahan karena upaya pemberantasan
   berjalan lebih cepat dibandingkan upaya pencegahan dan pemulihan.

b. Tumpang Tindihnya Pasal Pemidanaan Bagi Pengguna Narkotika
   Pengguna Narkotika yang masih mendapatkan narkotika secara
   melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang dilakukan
   pengguna narkotika tersebut yakni membeli, menguasai, menyimpan,
   atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri.

   UU Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara
   delik pidana dalam Pasal 127 UU Narkotika dengan delik pidana lain
   yang terdapat dalam UU Narkotika, dimana pengguna narkotika yang
   mendapatkan narkotika secara melawan hukum pastilah memenuhi
   unsur “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli”
   narkotika dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana
   tersendiri dalam UU Narkotika.

   Dalam     prakteknya     aparat     penegak     hukum      mengaitkan
   (termasuk/include/juncto) antara delik pidana pengguna narkotika
   dengan delik pidana penguasaan, pemilikan, penyimpanan atau
   pembeliaan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana
   ancaman hukumanya menjadi lebih dari 5 tahun penjara dan dibeberapa
   kententuan melebihi 9 tahun penjara, sehingga berdasarkan Pasal 21 ayat
   (4) huruf a KUHAP Pengguna narkotika dapat ditahan, dan bila
   dikenakan ketentuan pidana yang ancamannya melebihi 9 (Sembilan)
   tahun maka berdasarkan Pasal 29 KUHAP masa tahanan dapat
   ditambahkan sampai 60 (enam puluh) hari.

   Selain terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU
   narkotika, pengguna narkotika juga dapat dikenakan berbagai ketentuan
   pemidanaan lain dalam UU narkotika selama terpenuhinya unsur
   “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” Narkotika
   secara tanpa hak dan melawan hukum dimana memiliki sanksi pidana
   yang lebih tinggi dan tidak ada pilihan bagi hakim untuk menjatuhkan
   putusan rehabilitasi tanpa adanya putusan penjara karena ada batas
   minimal pemidanaan dalam delik tersebut.

c. Tidak ada batas daluwarsa yang jelas bagi pengguna narkotika

   UU narkotika tidak memberikan batasan / daluwarsa yang jelas atas
   tindak pidana yang dapat dikenakan bagi pengguna narkotika. Bagi
   mantan pengguna narkotika yang kemudiaan menceritakan
pengalamannya menggunakan narkotika dihadapan orang banyak13 dan
   Pengguna narkotika yang sedang menjalani proses rehabilitasi atas
   kemauaan sendiri (bukan berdasarkan putusan hakim) bisa dikenakan
   pidana atas pebuatan yang telah lampau (membeli, menggunakan,
   menguasai atau menyimpan narkotika tanpa hak dan melawan hukum)
   berpeluang sewaktu-waktu dapat dikenakan hukuman. Permasalahan
   tersebut karena adanya ketentuan mengenai batas waktu dalam hukum
   pidana bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78
   ayat (1) KUHP yang menyebutkan :
    ”Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
   Ke-1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
   percetakan, sesudah satu tahun;
   Ke-2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau pidana
   penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
   Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga
   tahun, sesudah dua belas tahun;
   Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
   penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun;

   Tidak diaturnya pengecualiaan jangka waktu terhadap pengguna
   narkotika yang sedang atau sudah dalam tahap mantan pengguna
   narkotika mengakibatkan, aparat penegak hukum yang menentukan
   pengguna sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) akan melakukan
   pengawasan terhadap pengguna narkotika dimana tidak tertutup
   dilakukan ditempat-tempat rehabilitasi. Sehingga menjadi suatu hal
   yang sangat wajar bila banyak ditemukan tempat-tempat rehabilitasi
   banya ditemukan atau diawasi oleh aparat penegak hukum (penyidik)
   baik dengan menggunakan baju dinas maupun tidak menggunakan baju
   dinas.


d. Pengguna Narkotika rentan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau
   Penghukuman Kejam
   Walupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan
   perlakuaan kejam14, namun hukum acara pidana di Indonesia masih
   rentan terhadap praktek-praktek upaya penyiksaan dan perlakuaan
   kejam khususnya pengguna narkotika yang ditahan. Reporter Khusus
   untuk PBB Manfred Nowak untuk penyiksaan dan perlakuaan kejam
   sudah memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia untuk
   membatasi waktu penangkapan dan penahanan, namun UU Narkotika
   mengabaikan rekomendasi tersebut dengan memberikan kewenangan

     Banyak orang terkenal menceritakan pengalamannya menggunakan narkotika dibeberapa
      biografinya
     Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuaan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
      manusiawi dan merendahkan martabat manusia diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No
      5 Tahun 1998
kepada penyidik BNN untuk dapat menangkap pengguna narkotika
  selama 3 hari dan dapat diperpanjang 3 hari. UU narkotika juga tidak
  memberikan pengaturan mengenai jaminan rehabilitasi bagi pengguna
  narkotika selama menjalani proses hukum, rehabilitasi baru bisa
  didapatkan pengguna narkotika setelah mendapatkan putusan /
  penetapan majelis hakim yang memeriksa perkara. Lamanya jangka
  waktu penangkapan dan penahanan kemudiaan tanpa disertai dengan
  jaminan rehabilitasi mengakibatkan pengguna narkotika akan
  mengalami kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan pelaku
  tindak pidana lainya sehingga cenderung memiliki potensi bentuk
  perlakuaan dan penghukuman yang kejam.

  Penyiksaan juga sering dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai
  bentuk upaya-upaya untuk mendapatkan keterangan dari pengguna
  narkotika, alasan yang sering terkemuka adalah untuk mengembangkan
  penyidikan peredaran gelap narkotika, dimana keterangan pengguna
  narkotika kemudiaan dianggap menjadi salah satu sumber untuk
  membongkar peredaran gelap narkotika, namun upaya-upaya dalam
  melakukan penyidikan yang tidak mengedepankan perlindungan hak
  asasi manusia seringkali menimbulkan penyiksaan yang berakibat
  rekayasa kasus-kasus bagi pengguna narkotika15

  Sayangnya tidak mudah untuk membongkar praktek-praktek
  penyiksaan, hal ini dikarenakan banyak ketakutan oleh pengguna
  narkotika untuk mempermasalahkan ini, dan pola pandang pengguna
  narkotika yang menggap praktek-praktek penyiksaan dan perlakuaan
  yang kejam merupakan hal yang lumrah terjadi.

e. Sulitnya Implementasi SEMA No 04 Tahun 2010

  Walaupun Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran
  (SEMA) bagi para majelis hakim baik ditingkat pengadilan negeri
  mapun tingkat pengadilan tinggi, untuk memutuskan perkara pengguna
  narkotika namun SEMA tersebut tida dapat mengintervensi aparat
  penegak hukum lainya (penyidik dan penuntut umum). Pelaksanaan
  SEMA tersebut tidak akan mengkin bisa berjalan bila :
  - Penyidikan ditekankan pada keterlibatan tersangka dalam peredaran
     gelap narkotika dan tidak mementingkan apakah tersangka
     pengguna narkotika atau bukan.
  - Pihak penyidik tidak mau bekerjasama untuk meminta surat
     keterangan uji laboratorium untuk melihat apakah tersangka positif
     menggunakan narkotika.



     Kasus yang dihadapi oleh aan, dimana dia disiksa agar mengakui kepemilikan narkotika atau
       kasus Usep Cahyono yang dipaksa mengakui sebagai pengedar narkotika
-    Pihak penuntut umum mendakwa dengan dakwaan tunggal
                terhadap penguasaan narkotika walaupun terbukti terdakwa positif
                menggunakan narkotika, sehingga menggiring hakim untuk
                menjatuhkan vonis penguasaan narkotika bukan pengguna
                narkotika16
           -    Pihak penuntut umum tidak mau menerima ahli yang dimintakan
                oleh hakim untuk menilai tingkat kecanduaan pengguna narkotka,
                sehingga menghambat putusan rehabilitasi.
           -    Pengguna narkotika yang buta hukum, sehingga mengingkari
                narkotika yang memang digunakan untuk kepentingan sendiri,
                dimana akhirnya dihukum karena pengusaan, pemilikan,
                penyimpanan atau pembeliaan.

B.         SEKILAS tentang HARM REDUCTION dalam UU Narkotika

           Secara umum Harm Reduction diartikan sebagai pengurangan dampak
           buruk bagi pengguna narkotika dengan penerapan berbagai metode
           layanan alat suntik steril, layanan program terapi rumatan metadon dll.
           Prinsip yang mendasari pendekatan Harm Reduction sebagai cara yang
           efektif dalam mengurangi dampak buruk pemakaian narkotika terdapat
           dalam Declaration on The Guiding Principles of Drug Demand Reduction,
           yang diadopsi oleh UN General Assembly Special Session (UNGASS)
           melalui Resolusi S20/4, yang menyebutkan bahwa kebijakan narkotika
           baik pada tingkat nasional maupun internasional harus bertujuan tidak
           hanya mencegah pemakaian narkotika tetapi juga pengurangan dampak
           buruk dari pemakaian narkotika. Selanjutnya Decision 74/10, Flexibility
           of Treaty Provisions as Regards Human Reduction Approaches yang
           dikeluarkan oleh UN International Narcotics Control Board menegaskan
           bahwa pendekatan Harm Reduction adalah sejalan dengan konvensi-
           konvensi tentang narkotika17. Pemerintah Indonesia juga telah
           mengeluarkan aturan mengenai program harm reduction dan dalam
           pelaksanaanya telah dilaksanakan.

           Sayangnya UU Narkotika tidak tegas mengakomodir harm reduction
           dalam ketentuan didalamnya, salah satu ketentuan Harm Reduction
           terdapat dalam Penjelasan Pasal 56 UU Narkotika yang menyebutkan
           “Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu
           Narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk
           mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik
           dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan.

           Ketentuan tersebut menekankan adanya pengawasan ketat oleh
           Departemen Kesehatan dalam program harm reduction, dimana
           Departemen Kesehatan merupakan salah satu pemangku kebijakan yang
            16 Kasus yang dihadapi oleh Fira Fany, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat
17   Tinjauaan Konstitusi UU Narkotika yang dilakukan oleh PBHI
memeliki peran kunci melihat permasalahan pengguna narkotika dari
      sudut pandang kesehatan, namun dalam pelaksanannya masih sulit
      penggiat-penggiat harm reduction dalam melaksanankan tugas karena
      berbagai ketentuan dalam UU Narkotika antara lain :
      - Adanya ketentuan dalam UU Narkotika yang dapat mempidana
         setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak
         pidana, termasuk tindak pidana pengguna narkotika sebagaimana18
      - Penggiat harm reduction yang memberikan jarum suntik steril
         dianggap sebagai pihak yang terlibat dalam pemufakatan jahat
         dalam tindak pidana narkotika19
      - Penggiat harm reduction yang memberikan jarum suntik steril
         kepada pengguna narkotika dibawah umur juga dapat dianggap
         memberikan kemudahan dalam melakukan tindak pidana narkotika
      - Adanya potensial konflik horizontal antara penggiat harm reduction
         dengan kelompok masyarakat yang memandang sempit makna
         peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan
         peredaran gelap narkotika

      Walau program harm reduction telah memiliki dasar hukum dan
      dilaksanakan jauh sebelum UU Narkotika namun dalam pelaksanaanya
      masih dibayang-bayangi kekhawatiran bagi penggiat harm reduction
      dan pengguna narkotika yang mendapatkan layanan harm reduction,
      ada baiknya pelaksanaan program harm reduction tidak hanya
      dilaksanakan oleh Depertemen Kesehatan atau KPAN tapi juga
      melibatkan pemangku kepentingan UU Narkotika lainya (Kepolisian,
      BNN, DEPSOS, PEMDA dll)

VI.   REKOMENDASI dan PENUTUP

      Saat ini masyarakat dan beberapa pihak pemangku kepentingan yang
      berkaitan dengan pengguna narkotika sudah mulai memandang
      pengguna narkotika sebagai korban, dan apabila harus melalui proses
      hukum maka rehabilitasi adalah pilihan yang terbaik bagi pengguna
      narkotika, karena melihat maraknya peredaran gelap narkotika didalam
      penjara. Sehingga menjadi penting bagi pengguna narkotika sebagai
      obyek dalam perdagangan gelap narkotika harus mulai melakukan
      upaya-upaya untuk membuka pemahaman masyarakat secara lebih luas
      mengenai posisi pengguna narkotika dan melakukan pengawalan
      terhadap kebijakan narkotika di Indonesia. Pihak pemangku
      kepentingan dalam hal ini pemerintah sebagai pihak yang melaksanakan
      UU Narkotika baik dalam bidang penegakan, pencegahan,
      penanggulangan dan pengawasan haruslah memperhatikan hak-hak
      dasar pengguna narkotika secara umum dan hak pengguna narkotika
      secara khusus.
      18   Pasal 131 UU Narkotika
      19   Pasal 132 UU Narkotika
Kedudukan Hukum Pengguna Narkotika dalam UU RI No.35 Thn.2009

Contenu connexe

Tendances

legal memorandum
legal memorandum legal memorandum
legal memorandum
torozzz
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdata
sesukakita
 
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidanaPertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
yudikrismen1
 
Hierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undanganHierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undangan
Nailuredha Hermanto
 

Tendances (20)

legal memorandum
legal memorandum legal memorandum
legal memorandum
 
Sistem hukum
Sistem hukumSistem hukum
Sistem hukum
 
Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional.pptx
Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional.pptxAmandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional.pptx
Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional.pptx
 
Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdata
 
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
 
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
 
Ppt sekilas hukum kontrak
Ppt sekilas hukum kontrakPpt sekilas hukum kontrak
Ppt sekilas hukum kontrak
 
Deasy 2 (surat dakwaan)
Deasy 2 (surat dakwaan)Deasy 2 (surat dakwaan)
Deasy 2 (surat dakwaan)
 
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
 
Sejarah Hukum Kepailitan Di Indonesia
Sejarah Hukum Kepailitan Di IndonesiaSejarah Hukum Kepailitan Di Indonesia
Sejarah Hukum Kepailitan Di Indonesia
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
Hukum perdata
Hukum perdataHukum perdata
Hukum perdata
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
 
Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
 
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidanaPertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
 
Hierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undanganHierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undangan
 
Hukum pidana i
Hukum pidana iHukum pidana i
Hukum pidana i
 
Materi Ajar Perbandingan Hukum Pidana
Materi Ajar Perbandingan Hukum PidanaMateri Ajar Perbandingan Hukum Pidana
Materi Ajar Perbandingan Hukum Pidana
 

Similaire à Kedudukan Hukum Pengguna Narkotika dalam UU RI No.35 Thn.2009

PPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptx
PPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptxPPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptx
PPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptx
nennyyustika27
 
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang NarkotikaUU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
INDOGANJA
 
Undang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNA
Undang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNAUndang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNA
Undang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNA
Operator Warnet Vast Raha
 
1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
Ir. Zakaria, M.M
 
Uu 35 thn2009 narkotika
Uu 35 thn2009 narkotikaUu 35 thn2009 narkotika
Uu 35 thn2009 narkotika
Sei Enim
 

Similaire à Kedudukan Hukum Pengguna Narkotika dalam UU RI No.35 Thn.2009 (20)

Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Narkob hukum
Narkob hukumNarkob hukum
Narkob hukum
 
Mengurai Undang-Undang Narkotika
Mengurai Undang-Undang NarkotikaMengurai Undang-Undang Narkotika
Mengurai Undang-Undang Narkotika
 
PPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptx
PPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptxPPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptx
PPT KARYA TULIS ILMIAH SMA8 ABDYA.pptx
 
PP 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika
PP 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu NarkotikaPP 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika
PP 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika
 
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang NarkotikaUU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
 
Undang undang narkotika 2009
Undang undang narkotika 2009Undang undang narkotika 2009
Undang undang narkotika 2009
 
Undang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNA
Undang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNAUndang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNA
Undang undang narkotika 2009 AKPER PEMKAB MUNA
 
Undang undang narkotika 2009 AKPER MUNA
Undang undang narkotika 2009 AKPER MUNA Undang undang narkotika 2009 AKPER MUNA
Undang undang narkotika 2009 AKPER MUNA
 
Dekriminalisasi Pengguna Narkoba di Indonesia
Dekriminalisasi Pengguna Narkoba di IndonesiaDekriminalisasi Pengguna Narkoba di Indonesia
Dekriminalisasi Pengguna Narkoba di Indonesia
 
Geliska pjok
Geliska pjokGeliska pjok
Geliska pjok
 
Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...
Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...
Permenkes No.46 Thn.2012 ttg Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis b...
 
1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
1. uu nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
 
Uu 35 thn2009 narkotika
Uu 35 thn2009 narkotikaUu 35 thn2009 narkotika
Uu 35 thn2009 narkotika
 
UU nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika-ok
UU nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika-okUU nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika-ok
UU nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika-ok
 
Penyuluhan Narkoba.pptx
Penyuluhan Narkoba.pptxPenyuluhan Narkoba.pptx
Penyuluhan Narkoba.pptx
 
Perka BNN RI No.2 Thn.2011 ttg Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa P...
Perka BNN RI No.2 Thn.2011 ttg Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa P...Perka BNN RI No.2 Thn.2011 ttg Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa P...
Perka BNN RI No.2 Thn.2011 ttg Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa P...
 
Pengaruh narkoba terhadap remaja-egi praginanta
Pengaruh narkoba terhadap remaja-egi praginantaPengaruh narkoba terhadap remaja-egi praginanta
Pengaruh narkoba terhadap remaja-egi praginanta
 
Uu tahun 2009 no. 35 tentang narkotika
Uu tahun 2009 no. 35 tentang narkotikaUu tahun 2009 no. 35 tentang narkotika
Uu tahun 2009 no. 35 tentang narkotika
 
ebuku skrap skim lencana anti dadah
ebuku skrap skim lencana anti dadahebuku skrap skim lencana anti dadah
ebuku skrap skim lencana anti dadah
 

Plus de JARINGAN METHADONE INDONESIA-JIMI™ | Indonesia MMT Program Community Network®

Plus de JARINGAN METHADONE INDONESIA-JIMI™ | Indonesia MMT Program Community Network® (20)

Perpres ri no.76 thn.2012 ttg pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obat
Perpres ri no.76 thn.2012 ttg pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obatPerpres ri no.76 thn.2012 ttg pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obat
Perpres ri no.76 thn.2012 ttg pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obat
 
Permendagri no.21 thn.2013 ttg fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika
Permendagri no.21 thn.2013 ttg fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotikaPermendagri no.21 thn.2013 ttg fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika
Permendagri no.21 thn.2013 ttg fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika
 
Perka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Perka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak PidanaPerka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Perka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
 
Permensos no.26 thn.2012 ttg standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaa...
Permensos no.26 thn.2012 ttg standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaa...Permensos no.26 thn.2012 ttg standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaa...
Permensos no.26 thn.2012 ttg standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaa...
 
KMK No.2171 Thn.2011 ttg Tata Cara Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ...
KMK No.2171 Thn.2011 ttg Tata Cara Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ...KMK No.2171 Thn.2011 ttg Tata Cara Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ...
KMK No.2171 Thn.2011 ttg Tata Cara Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ...
 
Permenkes no.2415 thn.2011 ttg rehabilitasi medis pecandu, penyalahguna, dan ...
Permenkes no.2415 thn.2011 ttg rehabilitasi medis pecandu, penyalahguna, dan ...Permenkes no.2415 thn.2011 ttg rehabilitasi medis pecandu, penyalahguna, dan ...
Permenkes no.2415 thn.2011 ttg rehabilitasi medis pecandu, penyalahguna, dan ...
 
KMK No.1305 Thn.2011 ttg Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
KMK No.1305 Thn.2011 ttg Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)KMK No.1305 Thn.2011 ttg Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
KMK No.1305 Thn.2011 ttg Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
 
Perkembangan Implementasi PP Wajib Lapor Pecandu Narkotika
Perkembangan Implementasi PP Wajib Lapor Pecandu NarkotikaPerkembangan Implementasi PP Wajib Lapor Pecandu Narkotika
Perkembangan Implementasi PP Wajib Lapor Pecandu Narkotika
 
SOP PTRM Indonesia
SOP PTRM IndonesiaSOP PTRM Indonesia
SOP PTRM Indonesia
 
UU RI No.35 Thn.2009 tentang Narkotika
UU RI No.35 Thn.2009 tentang NarkotikaUU RI No.35 Thn.2009 tentang Narkotika
UU RI No.35 Thn.2009 tentang Narkotika
 
Permenkes No.2415 Thn.2011
Permenkes No.2415 Thn.2011Permenkes No.2415 Thn.2011
Permenkes No.2415 Thn.2011
 
Permensos No.56 Thn.2009 ttg Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyala...
Permensos No.56 Thn.2009 ttg Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyala...Permensos No.56 Thn.2009 ttg Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyala...
Permensos No.56 Thn.2009 ttg Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyala...
 
Peranan Kementerian Kesehatan RI dalam Kebijakan Nasional Rehabilitasi Penyal...
Peranan Kementerian Kesehatan RI dalam Kebijakan Nasional Rehabilitasi Penyal...Peranan Kementerian Kesehatan RI dalam Kebijakan Nasional Rehabilitasi Penyal...
Peranan Kementerian Kesehatan RI dalam Kebijakan Nasional Rehabilitasi Penyal...
 
Perda No.4 Thn.2009 ttg Sistem Kesehatan Daerah DKI Jakarta
Perda No.4 Thn.2009 ttg Sistem Kesehatan Daerah DKI JakartaPerda No.4 Thn.2009 ttg Sistem Kesehatan Daerah DKI Jakarta
Perda No.4 Thn.2009 ttg Sistem Kesehatan Daerah DKI Jakarta
 
UU RI No.11 Thn.2009 ttg Kesejahteraan Sosial
UU RI No.11 Thn.2009 ttg Kesejahteraan SosialUU RI No.11 Thn.2009 ttg Kesejahteraan Sosial
UU RI No.11 Thn.2009 ttg Kesejahteraan Sosial
 
Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014
Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014
Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014
 
Renstra Kementerian Kesehatan RI Thn 2010-2014
Renstra Kementerian Kesehatan RI Thn 2010-2014Renstra Kementerian Kesehatan RI Thn 2010-2014
Renstra Kementerian Kesehatan RI Thn 2010-2014
 
Profil Jaringan Metadon Indonesia (JIMI)
Profil Jaringan Metadon Indonesia (JIMI)Profil Jaringan Metadon Indonesia (JIMI)
Profil Jaringan Metadon Indonesia (JIMI)
 
Methadone Clinical Guidelines
Methadone Clinical GuidelinesMethadone Clinical Guidelines
Methadone Clinical Guidelines
 
Yang Perlu Anda Ketahui tentang PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon)
Yang Perlu Anda Ketahui tentang PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon)Yang Perlu Anda Ketahui tentang PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon)
Yang Perlu Anda Ketahui tentang PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon)
 

Dernier

Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
JarzaniIsmail
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
dpp11tya
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
ssuser35630b
 
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
pipinafindraputri1
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
AlfandoWibowo2
 

Dernier (20)

Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
 
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptxRegresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
 
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMAE-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
TEKNIK MENJAWAB RUMUSAN SPM 2022 - UNTUK MURID.pptx
TEKNIK MENJAWAB RUMUSAN SPM 2022 - UNTUK MURID.pptxTEKNIK MENJAWAB RUMUSAN SPM 2022 - UNTUK MURID.pptx
TEKNIK MENJAWAB RUMUSAN SPM 2022 - UNTUK MURID.pptx
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
 
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
 
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
 

Kedudukan Hukum Pengguna Narkotika dalam UU RI No.35 Thn.2009

  • 1. KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA DALAM UU NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA1 Permasalahan narkotika tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kesehatan khususnya penanggulangan penyebaran HIV dan AIDS, melihat permasalahan tersebut MPR RI pada sidang umum tahun 2002 melalui ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA Pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 merekomendasikan kepada Presiden RI bersama DPR, untuk merevisi UU No 22 Tahun 1997 dan UU No 5 Tahun 1997, namun dalam perubahannya masih ada tarik menarik antara pendekatan kesehatan dengan pendekatakan kriminal, sehingga menarik untuk melihat kedudukan hukum pengguna narkotika dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) sebagai berikut : I. PEMISAHAN ANTARA PENGGUNA, PECANDU, PENYALAHGUNA DAN KORBAN NARKOTIKA Pada UU Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud dengan “pengguna narkotika” sebagai subyek (orang), yang banyak ditemukan adalah penggunaan (kata kerja). Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Narkotika maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika. Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika2. Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga menggunakan narkotika, namun dalam tulisan ini yang penulis maksud pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam UU Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain : 1 Disampaikan oleh Totok Yuliyanto, S.H., Pengurus PBHI Nasional dalam dialog satu tahun pelaksanaan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam upaya pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2 Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 sebagaimana diratifikasi UU No 7 Tahun 1997 menggunakan istilah pemakaian untuk kepentingan sendiri
  • 2. - Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika3, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13 UU Narkotika); - Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 UU Narkotika) - Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika) - Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan membawa narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu; - Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis (Penejelasan Pasal 58 UU Narkotika) Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam UU Narkotika maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah keracuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf d UU Narkotika yang menyatakan “UU Narkotika bertujuan : Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam Pasal 54 UU Narkotika menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial” dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalanya mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 UU Narkotika penyalah guna narkotika kemudiaan juga menjadi subyek yang dapat dipidana dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika. Pembuktiaan penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur dalam UU narkotika, merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran No 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan 3 Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunanya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas (Pasal 1 angka 14 UU Narkotika)
  • 3. Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial yang menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam memutus narkotika. Banyaknya istilah tersebut juga membingungkan aparat penegak hukum dan masyarakat, dilapangan aparat penegak hukum tidak memberikan hak orang yang positif menggunakan narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi, walaupun dalam UU Narkotika adanya jaminan rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Pengaturan wajib lapor bagi orang tua atau wali dari pecandu narkotika, juga berimplikasi membingungkan bagi orang tau atau wali, karena untuk menentukan apakah anaknya pecandu atau bukan pecandu haruslah ditentukan oleh ahli dan sangat sulit bila dilihat dari kacamata awam. II. PENGGUNA NARKOTIKA KORBAN atau PELAKU ? Perdebatan yang sering muncul dalam membahas UU Narkotika adalah kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau sebagai korban, dan apa akibat hukumnya? Bila dilihat alasan yang mengemuka dilakukannya pergantiaan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narotika adalah untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika4. Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya penanggulangannya juga harus dibedakan. Hal tersebut selaras dengan amanat tujuan UU narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 UU Narkotika yang menyatakan “UU Narkotika bertujuan : a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika Berdasarkan tujuan UU Narkotika tersebut dan melihat posisi pengguna narkotika dapat dilihat pemberantasan narkotika ditujukan bagi peredaran gelap narkotika. Sedangkan upaya pencegahan, perlindungan dan penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika, sehingga perlu adanya pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna narkotika). Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan korban atau pelaku sangat terasa dalam Pasal 127 UU Narkotika yang menyatakan : 4 Paragraf 2 Penjelasan Umum UU Narkotika
  • 4. (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, namun, dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaanya pengguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudiaan adalah siapa yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal “tidak ada kejahatan tanpa korban”, menurut Ezzat Abdul Fateh yang menjadi korban karena dirinya sendiri (false victims), dari persepektif tanggung jawab korban, menurut Stephen Schafer “Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban. Akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 hal, yaitu penjahat dan korban. Sebagai contoh dari self-victimizing victims adalah: pecandu obat bius , alkoholisme, homoseks, judi. Hal ini berarti pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus merupakan korban5. Menjawab permasalahan pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban, dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU Narkotika Mahkamah Agung RI mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun 2010 tentang penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, dimana ditentukan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut : a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan; 5 J.E. Sahetapy, (ed). Bunga Rampai Viktimisasi, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, (selanjutnya disingkat J.E. Sahetapy I), h. 204 dikutip dari Zvonimir Paul Separovic. Victimology, Studies of Victims, Zagreb, 1985)
  • 5. b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaiaan 1 (satu) hari c. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim e. Tidak dapat terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika Majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara pengguna narkotika harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya, untuk menjatuhkan amar putusannya hakim harus sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi / taraf kecanduaan terdakwa. Sebagai konsekuesi pengguna narkotika adalah pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban maka masa menjalani pengobatan dan / atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana yang diputus oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman, dimana penentuan untuk menjalani masa pengobatan dan perawatan ditentukan oleh ahli. Namun surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut akan sulit diimplementasikan bila aparat penegak hukum lainya (penyidik dan penuntut) tidak memiliki pola pandang yang sama terhadap pengguna narkotika (permasalahan ini akan dibahas pada bagian permasalahan implementasi hukum pengguna narkotika). III. HAK-HAK PENGGUNA NARKOTIKA dalam UU NARKOTIKA Pengguna Narkotika juga adalah warga negara dimana haknya dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara, baik ketika dalam proses hukum maupun dalam hal kesehatan dan sosial. Selain hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap manusia, baik dalam tataran hak atas kesehatan maupun hak ketika berhadap dengan proses hukum, secara khusus UU Narkotika memberikan hak kepada pengguna sebagai berikut : a. Rehabilitasi bagi Pengguna Narkotika Sebagaimana disebutkan dalam Tujuan UU Narkotika diatas dimana, adanya jaminan pengaturan upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika, dimana hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 54 UU Narkotika yang menegaskan Pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan narkotika wajib6 menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dimana menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu Banyak perdebatan yang dimaksud dalam wajib disini, namun menuert hemat penulis hal ini juga memiliki implikasi kepada tanggung jawab negara
  • 6. pengetahuaan dan teknologi7. Pengguna narkotika dapat memilih tempat rehabilitasi yang telah memenuhi kualifikasi dan apabila pengguna narkotika dalam pengawasan negara, Negara memberikan hak rehabilitasi secara Cuma-Cuma kepada pengguna narkotika8 dimana pembiayaanya dapat diambil dari harta kekayaan dan asset yang disita oleh negara9 b. Hak untuk tidak dituntut pidana UU Narkotika, memberikan diskresi kepada beberapa hal agar pengguna narkotika tidak dipidana, diskresi tersebut dapat dilihat dalam Pasal 128 UU Narkotika memberikan jaminan tidak dituntut pidana dengan criteria sebagai berikut : - Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) - Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter dirumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah Walaupun pengaturan ini telah diatur dalam UU Narkotika sebelumnya10 namun hal tersebut tidak efektif dalam pelaksanaanya karena tidak adanya peraturan pelaksana yang memadai untuk mengakomodir hak diskresi tersebut, dimana aparat penegak hukum masih tetap melakukan proses hukum bagi anak dan pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi. Permasalahan selanjutnya adalah mengenai rehabilitasi medis yang hanya diperbolehkan 2 (dua) kali masa perawatan dokter sebagaimana tertuang dalam Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika, hal ini menjadi kendala tersendiri, karena menurut beberapa pihak menggap kecanduaan narkotika adalah penyakit, dimana ada kerusakan dalam otak sehingga sewaktu-waktu bisa kambuh11 A. PERMASALAHAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA12 a. Pelaksanaan UU Narkotika Tergantung Aturan Pelaksana Sebagai wujud UU Narkotika merupakan UU Administratif yang mengatur tentang narkotika, maka beberapa hal dalam UU Narkotika 7 Pasal 9 ayat (1) UU Narkotika 8 Penjelasan Pasal 103 ayat 1 huruf b 9 Penjelasan Pasal 101 ayat (3) UU narkotika 10 Pasal 46 UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah memberikan pengaturan tentang wajib lapor bagi orang tua / wali, pengguna narkotika yang telah cukup umur 11 Keterangan HM Aminulah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI sebagaimana dikutip oleh hukumonline.com Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PBHI banyak ditemukan permasalahan hukum dalam UU Narkotika, namun yang disajikan dalam makalah ini hanya yang berkaitan langsung dengan Pengguna Narkotika
  • 7. harus diatur kembali oleh berbagai aturan pelaksanaanya. PBHI mencatat terdapat 10 ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah, 2 Ketentuan UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Presiden, 17 Ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, 1 Ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Menteri Sosial, 2 Ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur oleh Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan 2 ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur oleh Kepala Badan Narkotika Nasional. Dari banyaknya aturan pelaksana yang disebutkan diatas beberapa ketentuan yang memiliki dampak langsung bagi pengguna narkotika adalah sebagai berikut : No Ketentuan Ketentuan Pasal Pengaturan pelaksana 1 Pelaksanaan Wajib Lapor Pasal 52 Peraturan Pemerintah 2 Tata cara penggunaan aset Pasal 101 Peraturan Pemerintah kekayaan yang dirampas 3 Rehabilitasi medis dan Pasal 59 Peraturan Menteri lemabaga rehabilitasi Kesehatan medis 4 Rehabilitasi Sosial Pasal 59 Peraturan Menteri Sosial 5 Wadah Kordinasi peran Pasal 108 Peraturan Kepala BNN serta masyarakat UU Narkotika yang telah disahkan dan diundangkan pada 12 Oktober 2009 dan dinyatakan mulai berlaku sejak diundangkan telah memberikan batas waktu paling lambat 1 (satu) tahun untuk menetapkan peraturan pelaksana, sebagaimana diatur dalam Pasal 154 UU Narkotika. Walaupun Pasal 152 UU Narkotika menyatakan “Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini”, namun yang harus diperhatikan UU Narkotika bukanlah aturan perubahan/revisi dari UU Sebelumnya, melainkan suatu aturan yang menggantikan pengaturan Narkotika sebelumnya, sehingga semangat dan pengaturan dalam UU Narkotika berbeda dengan UU sebelumnya. Sehingga menjadi penting bagi pihak- pihak pemangku kepentingan menyusun baru peraturan pelaksana atau setidak-tidaknya mengoreksi peraturan pelaksana sebelumnya apakah telah sesuai dengan Semangat dari UU Narkotika, sehingga dalam implementasi tidak menemukan kendala.
  • 8. Belum terlihatnya upaya penyusunan peraturan pelaksana dari UU Narkotika khususnya untuk kepentingan bagi para pengguna menimbulkan berbagai permasalahan karena upaya pemberantasan berjalan lebih cepat dibandingkan upaya pencegahan dan pemulihan. b. Tumpang Tindihnya Pasal Pemidanaan Bagi Pengguna Narkotika Pengguna Narkotika yang masih mendapatkan narkotika secara melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang dilakukan pengguna narkotika tersebut yakni membeli, menguasai, menyimpan, atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri. UU Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara delik pidana dalam Pasal 127 UU Narkotika dengan delik pidana lain yang terdapat dalam UU Narkotika, dimana pengguna narkotika yang mendapatkan narkotika secara melawan hukum pastilah memenuhi unsur “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” narkotika dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana tersendiri dalam UU Narkotika. Dalam prakteknya aparat penegak hukum mengaitkan (termasuk/include/juncto) antara delik pidana pengguna narkotika dengan delik pidana penguasaan, pemilikan, penyimpanan atau pembeliaan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana ancaman hukumanya menjadi lebih dari 5 tahun penjara dan dibeberapa kententuan melebihi 9 tahun penjara, sehingga berdasarkan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP Pengguna narkotika dapat ditahan, dan bila dikenakan ketentuan pidana yang ancamannya melebihi 9 (Sembilan) tahun maka berdasarkan Pasal 29 KUHAP masa tahanan dapat ditambahkan sampai 60 (enam puluh) hari. Selain terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU narkotika, pengguna narkotika juga dapat dikenakan berbagai ketentuan pemidanaan lain dalam UU narkotika selama terpenuhinya unsur “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” Narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana memiliki sanksi pidana yang lebih tinggi dan tidak ada pilihan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi tanpa adanya putusan penjara karena ada batas minimal pemidanaan dalam delik tersebut. c. Tidak ada batas daluwarsa yang jelas bagi pengguna narkotika UU narkotika tidak memberikan batasan / daluwarsa yang jelas atas tindak pidana yang dapat dikenakan bagi pengguna narkotika. Bagi mantan pengguna narkotika yang kemudiaan menceritakan
  • 9. pengalamannya menggunakan narkotika dihadapan orang banyak13 dan Pengguna narkotika yang sedang menjalani proses rehabilitasi atas kemauaan sendiri (bukan berdasarkan putusan hakim) bisa dikenakan pidana atas pebuatan yang telah lampau (membeli, menggunakan, menguasai atau menyimpan narkotika tanpa hak dan melawan hukum) berpeluang sewaktu-waktu dapat dikenakan hukuman. Permasalahan tersebut karena adanya ketentuan mengenai batas waktu dalam hukum pidana bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yang menyebutkan : ”Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: Ke-1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun; Ke-2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun; Tidak diaturnya pengecualiaan jangka waktu terhadap pengguna narkotika yang sedang atau sudah dalam tahap mantan pengguna narkotika mengakibatkan, aparat penegak hukum yang menentukan pengguna sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) akan melakukan pengawasan terhadap pengguna narkotika dimana tidak tertutup dilakukan ditempat-tempat rehabilitasi. Sehingga menjadi suatu hal yang sangat wajar bila banyak ditemukan tempat-tempat rehabilitasi banya ditemukan atau diawasi oleh aparat penegak hukum (penyidik) baik dengan menggunakan baju dinas maupun tidak menggunakan baju dinas. d. Pengguna Narkotika rentan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Kejam Walupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan perlakuaan kejam14, namun hukum acara pidana di Indonesia masih rentan terhadap praktek-praktek upaya penyiksaan dan perlakuaan kejam khususnya pengguna narkotika yang ditahan. Reporter Khusus untuk PBB Manfred Nowak untuk penyiksaan dan perlakuaan kejam sudah memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia untuk membatasi waktu penangkapan dan penahanan, namun UU Narkotika mengabaikan rekomendasi tersebut dengan memberikan kewenangan Banyak orang terkenal menceritakan pengalamannya menggunakan narkotika dibeberapa biografinya Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuaan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 5 Tahun 1998
  • 10. kepada penyidik BNN untuk dapat menangkap pengguna narkotika selama 3 hari dan dapat diperpanjang 3 hari. UU narkotika juga tidak memberikan pengaturan mengenai jaminan rehabilitasi bagi pengguna narkotika selama menjalani proses hukum, rehabilitasi baru bisa didapatkan pengguna narkotika setelah mendapatkan putusan / penetapan majelis hakim yang memeriksa perkara. Lamanya jangka waktu penangkapan dan penahanan kemudiaan tanpa disertai dengan jaminan rehabilitasi mengakibatkan pengguna narkotika akan mengalami kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan pelaku tindak pidana lainya sehingga cenderung memiliki potensi bentuk perlakuaan dan penghukuman yang kejam. Penyiksaan juga sering dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai bentuk upaya-upaya untuk mendapatkan keterangan dari pengguna narkotika, alasan yang sering terkemuka adalah untuk mengembangkan penyidikan peredaran gelap narkotika, dimana keterangan pengguna narkotika kemudiaan dianggap menjadi salah satu sumber untuk membongkar peredaran gelap narkotika, namun upaya-upaya dalam melakukan penyidikan yang tidak mengedepankan perlindungan hak asasi manusia seringkali menimbulkan penyiksaan yang berakibat rekayasa kasus-kasus bagi pengguna narkotika15 Sayangnya tidak mudah untuk membongkar praktek-praktek penyiksaan, hal ini dikarenakan banyak ketakutan oleh pengguna narkotika untuk mempermasalahkan ini, dan pola pandang pengguna narkotika yang menggap praktek-praktek penyiksaan dan perlakuaan yang kejam merupakan hal yang lumrah terjadi. e. Sulitnya Implementasi SEMA No 04 Tahun 2010 Walaupun Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) bagi para majelis hakim baik ditingkat pengadilan negeri mapun tingkat pengadilan tinggi, untuk memutuskan perkara pengguna narkotika namun SEMA tersebut tida dapat mengintervensi aparat penegak hukum lainya (penyidik dan penuntut umum). Pelaksanaan SEMA tersebut tidak akan mengkin bisa berjalan bila : - Penyidikan ditekankan pada keterlibatan tersangka dalam peredaran gelap narkotika dan tidak mementingkan apakah tersangka pengguna narkotika atau bukan. - Pihak penyidik tidak mau bekerjasama untuk meminta surat keterangan uji laboratorium untuk melihat apakah tersangka positif menggunakan narkotika. Kasus yang dihadapi oleh aan, dimana dia disiksa agar mengakui kepemilikan narkotika atau kasus Usep Cahyono yang dipaksa mengakui sebagai pengedar narkotika
  • 11. - Pihak penuntut umum mendakwa dengan dakwaan tunggal terhadap penguasaan narkotika walaupun terbukti terdakwa positif menggunakan narkotika, sehingga menggiring hakim untuk menjatuhkan vonis penguasaan narkotika bukan pengguna narkotika16 - Pihak penuntut umum tidak mau menerima ahli yang dimintakan oleh hakim untuk menilai tingkat kecanduaan pengguna narkotka, sehingga menghambat putusan rehabilitasi. - Pengguna narkotika yang buta hukum, sehingga mengingkari narkotika yang memang digunakan untuk kepentingan sendiri, dimana akhirnya dihukum karena pengusaan, pemilikan, penyimpanan atau pembeliaan. B. SEKILAS tentang HARM REDUCTION dalam UU Narkotika Secara umum Harm Reduction diartikan sebagai pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkotika dengan penerapan berbagai metode layanan alat suntik steril, layanan program terapi rumatan metadon dll. Prinsip yang mendasari pendekatan Harm Reduction sebagai cara yang efektif dalam mengurangi dampak buruk pemakaian narkotika terdapat dalam Declaration on The Guiding Principles of Drug Demand Reduction, yang diadopsi oleh UN General Assembly Special Session (UNGASS) melalui Resolusi S20/4, yang menyebutkan bahwa kebijakan narkotika baik pada tingkat nasional maupun internasional harus bertujuan tidak hanya mencegah pemakaian narkotika tetapi juga pengurangan dampak buruk dari pemakaian narkotika. Selanjutnya Decision 74/10, Flexibility of Treaty Provisions as Regards Human Reduction Approaches yang dikeluarkan oleh UN International Narcotics Control Board menegaskan bahwa pendekatan Harm Reduction adalah sejalan dengan konvensi- konvensi tentang narkotika17. Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan aturan mengenai program harm reduction dan dalam pelaksanaanya telah dilaksanakan. Sayangnya UU Narkotika tidak tegas mengakomodir harm reduction dalam ketentuan didalamnya, salah satu ketentuan Harm Reduction terdapat dalam Penjelasan Pasal 56 UU Narkotika yang menyebutkan “Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan. Ketentuan tersebut menekankan adanya pengawasan ketat oleh Departemen Kesehatan dalam program harm reduction, dimana Departemen Kesehatan merupakan salah satu pemangku kebijakan yang 16 Kasus yang dihadapi oleh Fira Fany, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat 17 Tinjauaan Konstitusi UU Narkotika yang dilakukan oleh PBHI
  • 12. memeliki peran kunci melihat permasalahan pengguna narkotika dari sudut pandang kesehatan, namun dalam pelaksanannya masih sulit penggiat-penggiat harm reduction dalam melaksanankan tugas karena berbagai ketentuan dalam UU Narkotika antara lain : - Adanya ketentuan dalam UU Narkotika yang dapat mempidana setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana, termasuk tindak pidana pengguna narkotika sebagaimana18 - Penggiat harm reduction yang memberikan jarum suntik steril dianggap sebagai pihak yang terlibat dalam pemufakatan jahat dalam tindak pidana narkotika19 - Penggiat harm reduction yang memberikan jarum suntik steril kepada pengguna narkotika dibawah umur juga dapat dianggap memberikan kemudahan dalam melakukan tindak pidana narkotika - Adanya potensial konflik horizontal antara penggiat harm reduction dengan kelompok masyarakat yang memandang sempit makna peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika Walau program harm reduction telah memiliki dasar hukum dan dilaksanakan jauh sebelum UU Narkotika namun dalam pelaksanaanya masih dibayang-bayangi kekhawatiran bagi penggiat harm reduction dan pengguna narkotika yang mendapatkan layanan harm reduction, ada baiknya pelaksanaan program harm reduction tidak hanya dilaksanakan oleh Depertemen Kesehatan atau KPAN tapi juga melibatkan pemangku kepentingan UU Narkotika lainya (Kepolisian, BNN, DEPSOS, PEMDA dll) VI. REKOMENDASI dan PENUTUP Saat ini masyarakat dan beberapa pihak pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pengguna narkotika sudah mulai memandang pengguna narkotika sebagai korban, dan apabila harus melalui proses hukum maka rehabilitasi adalah pilihan yang terbaik bagi pengguna narkotika, karena melihat maraknya peredaran gelap narkotika didalam penjara. Sehingga menjadi penting bagi pengguna narkotika sebagai obyek dalam perdagangan gelap narkotika harus mulai melakukan upaya-upaya untuk membuka pemahaman masyarakat secara lebih luas mengenai posisi pengguna narkotika dan melakukan pengawalan terhadap kebijakan narkotika di Indonesia. Pihak pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah sebagai pihak yang melaksanakan UU Narkotika baik dalam bidang penegakan, pencegahan, penanggulangan dan pengawasan haruslah memperhatikan hak-hak dasar pengguna narkotika secara umum dan hak pengguna narkotika secara khusus. 18 Pasal 131 UU Narkotika 19 Pasal 132 UU Narkotika