SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  32
Télécharger pour lire hors ligne
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2013
TENTANG
PEMBERDAYAAN PETERNAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 76 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pemberdayaan Peternak;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN
PETERNAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan
di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk
meningkatkan kemandirian, memberikan kemudahan
dan kemajuan usaha, serta meningkatkan daya saing
dan kesejahteraan Peternak.
2. Peternak . . .
- 2 -
2. Peternak adalah perorangan warga negara lndonesia atau
korporasi yang melakukan Usaha Peternakan.
3. Usaha Peternakan adalah kegiatan usaha budidaya
Ternak untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku
industri, dan kepentingan masyarakat lainnya di suatu
tempat tertentu secara terus menerus.
4. Perusahaan Peternakan adalah orang perorangan atau
korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun
yang bukan badan hukum, yang didirikan dan
berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia yang
mengelola Usaha Peternakan dengan kriteria dan skala
tertentu.
5. Kemitraan Usaha adalah kerjasama yang saling
menguntungkan dan saling memperkuat antara usaha
kecil dan usaha menengah/besar di bidang Peternakan
atau di bidang Kesehatan Hewan.
6. Ternak adalah Hewan peliharaan yang produknya
diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku
industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait
dengan pertanian.
7. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan
sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan,
alat dan mesin Peternakan, budidaya Ternak, panen,
pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan
pengusahaannya.
8. Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berkaitan
dengan perawatan Hewan, pengobatan Hewan, pelayanan
Kesehatan Hewan, pengendalian dan penanggulangan
penyakit Hewan, penolakan penyakit Hewan, medik
reproduksi, medik konservasi, obat Hewan dan peralatan
Kesehatan Hewan, serta keamanan pakan.
9. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air,
dan/atau udara baik yang dipelihara maupun yang di
habitatnya.
10. Produk . . .
- 3 -
10. Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari
Hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau
diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika,
pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan
kebutuhan dan kemaslahatan manusia.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
Pasal 2
(1) Peraturan Pemerintah ini mengatur pemberian
kemudahan dalam rangka Pemberdayaan Peternak untuk
Peternak yang jenis dan jumlah ternaknya di bawah
skala usaha tertentu yang tidak memerlukan izin.
(2) Pemberian kemudahan kepada Peternak yang jenis dan
jumlah ternaknya di atas skala usaha tertentu yang wajib
memiliki izin diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.
Pasal 3
Pemberian kemudahan kepada Peternak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:
a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta informasi;
b. pelayanan Peternakan, pelayanan Kesehatan Hewan, dan
bantuan teknik;
c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi;
d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi
antarpelaku usaha;
e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau me
peningkatan kewirausahaan;
f. pengutamaan pemanfaatan sumber daya Peternakan dan
Kesehatan Hewan dalam negeri;
g. pemfasilitasan terbentuknya kawasan pengembangan
Usaha Peternakan;
h. pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan pemasaran;
dan/atau
i. perlindungan harga dan Produk Hewan dari luar negeri.
BAB II . . .
- 4 -
BAB II
AKSES SUMBER PEMBIAYAAN, PERMODALAN,
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI, SERTA INFORMASI
Bagian Kesatu
Akses Sumber Pembiayaan dan Permodalan
Pasal 4
(1) Sumber pembiayaan dan permodalan untuk
Pemberdayaan Peternak dapat berasal dari Pemerintah
dan pemerintah daerah.
(2) Selain berasal dari Pemerintah dan pemerintah daerah,
sumber pembiayaan dan permodalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari masyarakat,
lembaga perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank,
serta badan usaha lainnya.
Pasal 5
(1) Pembiayaan dan permodalan dari Pemerintah dan
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dapat berupa bantuan pembiayaan atau
permodalan untuk pengembangan usaha.
(2) Bantuan pembiayaan atau permodalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Peternak
melalui kelompok Peternak atau gabungan kelompok
Peternak.
(3) Bantuan pembiayaan atau permodalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pemberian kemudahan pembiayaan atau permodalan
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua . . .
- 5 -
Bagian Kedua
Akses Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 6
(1) Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka
Pemberdayaan Peternak paling sedikit meliputi:
a. benih/bibit;
b. pakan;
c. alat dan mesin;
d. budidaya;
e. panen dan pascapanen;
f. pengolahan dan pemasaran hasil;
g. Kesehatan Hewan; dan/atau
h. kesehatan masyarakat veteriner.
(2) Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diutamakan yang berasal dari hasil
penelitian dan pengembangan dalam negeri.
(3) Hasil penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa invensi atau
inovasi.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya mendorong dan mendukung kegiatan
penelitian dan pengembangan bidang Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
Pasal 7
(1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya harus memberikan kemudahan akses
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui:
a. penyediaan teknologi tepat guna dalam berbagai
metode, media, dan saluran informasi;
b. pendampingan dalam proses alih teknologi;
c. penyuluhan; dan/atau
d. pendidikan dan pelatihan.
(2) Penyuluhan . . .
- 6 -
(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan oleh penyuluh sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang sistem
penyuluhan pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Pasal 8
Pemberian kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf
a dan huruf b berupa invensi atau inovasi yang dilindungi
dengan hak kekayaan intelektual harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Akses Informasi
Pasal 9
(1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya harus menyediakan informasi
pengembangan Usaha Peternakan dalam rangka
Pemberdayaan Peternak.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi:
a. harga komoditas hasil Peternakan;
b. prasarana dan sarana Peternakan;
c. data kebutuhan pangan nasional asal Hewan;
d. peluang dan tantangan pasar;
e. perkiraan populasi dan produksi;
f. penyediaan pembiayaan dan peluang investasi;
g. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan;
h. pemberian subsidi;
i. teknologi Peternakan;
j. peta penyebaran penyakit Hewan;
k. rencana tata ruang wilayah;
l. kelembagaan Peternak dan kelembagaan ekonomi
Peternak; dan
m. program pembangunan Peternakan.
(3) Informasi . . .
- 7 -
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan dalam bentuk media elektronik, media cetak,
dan media lain yang mudah dan cepat diakses oleh
Peternak.
BAB III
PELAYANAN PETERNAKAN, PELAYANAN KESEHATAN HEWAN,
DAN BANTUAN TEKNIK
Bagian Kesatu
Pelayanan Peternakan dan Pelayanan Kesehatan Hewan
Pasal 10
Pelayanan Peternakan terdiri atas:
a. penyediaan dan pengelolaan lahan penggembalaan umum;
b. penyediaan benih/bibit unggul;
c. penyelamatan Ternak ruminansia betina produktif; dan
d. penyediaan pos inseminasi buatan.
Pasal 11
Pelayanan Kesehatan Hewan terdiri atas:
a. pemeriksaan kebuntingan;
b. pengamatan dan pengidentifikasian penyakit;
c. pengamanan penyakit Hewan;
d. pengobatan Hewan sakit; dan
e. pemberantasan penyakit Hewan.
Pasal 12
Kemudahan pelayanan Peternakan dan pelayanan Kesehatan
Hewan diberikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
pelayanan Peternakan dan pelayanan Kesehatan Hewan
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua . . .
- 8 -
Bagian Kedua
Bantuan Teknik
Pasal 14
Dalam rangka bantuan teknik, Menteri, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan:
a. supervisi dan pendampingan dalam menggunakan alat
dan mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan;
b. supervisi dalam penerapan sistem budidaya yang lebih
efisien dan ramah lingkungan; dan
c. sarana produksi Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam
meningkatkan kemandirian dan daya saing usaha.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan
bantuan teknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PENGHINDARAN PENGENAAN EKONOMI BIAYA TINGGI
Pasal 16
Penghindaran pengenaan ekonomi biaya tinggi dilakukan
melalui efisiensi dalam kegiatan penyediaan sarana produksi,
budidaya, pascapanen, dan pemasaran atau distribusi Hewan
dan Produk Hewan.
Pasal 17
(1) Dalam melakukan penghindaran pengenaan ekonomi
biaya tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
Menteri, menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian terkait, gubernur, dan bupati/walikota
wajib memberikan kemudahan yang terkait dengan:
a. kebijakan;
b. perdagangan; dan
c. prasarana dan sarana.
(2) Dalam . . .
- 9 -
(2) Dalam memberikan kemudahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri, menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian terkait, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
menyediakan fasilitas untuk:
a. budidaya Ternak yang baik;
b. kegiatan panen dan pascapanen hasil Ternak melalui
penyediaan rumah potong Hewan, industri
pengolahan susu, daging, dan telur;
c. kegiatan distribusi dan pemasaran hasil Ternak
melalui penyediaan alat angkut, pasar Hewan, tempat
pengumpul Ternak, dan instalasi pendingin; dan
d. penyimpanan Produk Hewan dan pakan melalui
penyediaan gudang dan/atau gudang pendingin.
Pasal 18
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) yang berkaitan dengan budidaya dan
pascapanen Peternakan diatur dengan Peraturan
Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) selain yang berkaitan dengan budidaya dan
pascapanen Peternakan dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMBINAAN KEMITRAAN DALAM MENINGKATKAN SINERGI
ANTARPELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Untuk meningkatkan pendapatan Peternak, sinergi, dan
daya saing usaha, diperlukan Kemitraan Usaha yang
dapat dilakukan:
a. antarpeternak;
b. antara Peternak dengan Perusahaan Peternakan; dan
c. antara Peternak dengan perusahaan di bidang lain.
(2) Kemitraan . . .
- 10 -
(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan paling sedikit dalam bentuk:
a. bagi hasil;
b. sewa; atau
c. inti plasma.
Pasal 20
(1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus
dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. harga dasar sarana produksi dan/atau harga jual
Ternak serta Produk Hewan atau pembagian dalam
bentuk natura;
b. jaminan pemasaran;
c. pembagian keuntungan dan risiko usaha;
d. penetapan standar mutu sarana produksi, Ternak,
dan Produk Hewan; dan
e. mekanisme pembayaran.
(3) Mekanisme pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e dilakukan untuk memberikan jaminan
hak pembayaran.
Pasal 21
(1) Dalam melakukan kemitraan, Perusahaan Peternakan
harus melaksanakan:
a. pendidikan;
b. pelatihan;
c. penyuluhan; dan/atau
d. proses alih teknologi.
(2) Dalam melakukan kemitraan, Peternak harus mengikuti
pendidikan dan pelatihan, pemagangan, dan/atau
penyuluhan yang dilaksanakan oleh Perusahaan
Peternakan, serta menerapkan teknologi yang diberikan
Perusahaan Peternakan.
Pasal 22 . . .
- 11 -
Pasal 22
(1) Gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pembinaan dalam
pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENCIPTAAN IKLIM USAHA YANG KONDUSIF
DAN PENINGKATAN KEWIRAUSAHAAN
Bagian Kesatu
Penciptaan Iklim Usaha Yang Kondusif
Pasal 23
Iklim usaha yang kondusif bagi Peternak meliputi:
a. kepastian berusaha;
b. kemudahan dalam pelayanan pendaftaran Usaha
Peternakan;
c. tidak adanya praktik persaingan usaha yang tidak sehat;
dan
d. terpeliharanya status Kesehatan Hewan yang baik.
Pasal 24
Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23:
a. Menteri menetapkan tempat pemasukan sarana produksi,
Ternak, dan Produk Hewan dari luar negeri untuk
melindungi sumber daya dan budidaya Ternak dari
berbagai penyakit Hewan akibat lalu lintas Hewan dan
Produk Hewan sesuai dengan kemampuan tindakan
karantina, perlindungan sumber daya, dan budidaya; dan
b. Menteri . . .
- 12 -
b. Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan program Pemberdayaan
Peternak, kompensasi bagi Hewan sehat yang berdasarkan
pedoman pemberantasan wabah penyakit Hewan harus
didepopulasi untuk memutus rantai penyebaran penyakit
Hewan, dan memfasilitasi Peternak untuk melakukan
diversifikasi usaha.
Bagian Kedua
Peningkatan Kewirausahaan
Pasal 25
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya meningkatkan kewirausahaan Peternak
melalui:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. penyuluhan; dan
c. fasilitasi pengembangan kelembagaan Peternak.
Pasal 26
(1) Pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan kepada
Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a
dan huruf b dilakukan melalui:
a. pengembangan program pelatihan dan pemagangan;
dan
b. penetapan program, programa, dan rencana kerja
penyuluhan.
(2) Pengembangan program pelatihan dan pemagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
dilakukan melalui pelatihan kewirausahaan di bidang
agribisnis untuk Peternak dan calon Peternak.
Pasal 27
(1) Kelembagaan Peternak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 huruf c terdiri atas:
a. kelembagaan usaha; dan
b. kelembagaan nirlaba.
(2) Kelembagaan . . .
- 13 -
(2) Kelembagaan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. kelompok Peternak;
b. gabungan kelompok Peternak; dan
c. badan usaha milik Peternak.
(3) Kelembagaan nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri atas asosiasi.
Pasal 28
Fasilitasi pengembangan kelembagaan Peternak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf c dapat berbentuk bimbingan
penyusunan:
a. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok
Peternak, gabungan kelompok Peternak, dan badan usaha
milik Peternak; dan
b. rencana kegiatan atau rencana kegiatan kelompok.
Pasal 29
(1) Kelompok Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (2) huruf a dibentuk atas dasar jenis komoditas,
kesamaan kepentingan, dan kondisi lingkungan.
(2) Kelompok Peternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk oleh, dari, dan untuk Peternak.
Pasal 30
Kelompok Peternak menyelenggarakan fungsi:
a. peningkatan kemampuan anggota dalam mengembangkan
Usaha Peternakan yang mandiri dan berkelanjutan;
b. penampungan dan penyaluran aspirasi anggota; dan
c. penyelesaian permasalahan yang timbul di antara anggota.
Pasal 31
Gabungan kelompok Peternak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) huruf b merupakan gabungan dari dua atau
lebih kelompok Peternak dalam satu atau beberapa desa,
dalam satu atau beberapa kecamatan, atau dalam satu
kabupaten yang menjadi anggota gabungan kelompok
Peternak.
Pasal 32 . . .
- 14 -
Pasal 32
Gabungan kelompok Peternak melakukan:
a. kegiatan untuk kepentingan anggota dalam
mengembangkan Kemitraan Usaha;
b. penampungan dan penyaluran aspirasi anggota; dan
c. penyelesaian permasalahan yang timbul di antara anggota.
Pasal 33
(1) Badan usaha milik Peternak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c dibentuk oleh, dari, dan
untuk Peternak.
(2) Badan usaha milik Peternak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus melakukan:
a. penyusunan rencana usaha yang layak secara
ekonomi dan perbankan;
b. diversifikasi usaha; dan
c. Kemitraan Usaha.
Pasal 34
(1) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
dibentuk oleh, dari, dan untuk Peternak.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
untuk:
a. memperjuangkan kepentingan anggota;
b. memberikan masukan kepada Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan
pemberdayaan Usaha Peternakan;
c. mempromosikan usaha anggota; dan
d. mengadvokasi pelaksanaan kewirausahaan.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peningkatan
kewirausahaan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII . . .
- 15 -
BAB VII
PEMANFAATAN SUMBER DAYA DALAM NEGERI
Pasal 36
Sumber daya dalam Usaha Peternakan meliputi:
a. sumber daya alam; dan
b. sumber daya manusia.
Pasal 37
(1) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf a meliputi:
a. lahan;
b. sumber daya genetik Hewan;
c. benih dan bibit Ternak;
d. pakan hijauan; dan
e. sumber daya air.
(2) Dalam memanfaatkan benih, bibit, dan pakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d
diutamakan menggunakan benih, bibit, dan pakan yang
dihasilkan dari:
a. teknologi yang ditemukan oleh bangsa Indonesia; dan
b. usaha yang dilakukan dengan modal dalam negeri.
Pasal 38
Sumber daya manusia dalam bidang Peternakan diutamakan
bagi warga negara Indonesia yang memiliki kompetensi di
bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
BAB VIII
KAWASAN USAHA PETERNAKAN
Pasal 39
(1) Dalam Pemberdayaan Peternak diperlukan adanya
kawasan Usaha Peternakan untuk menjamin kepastian
usaha budidaya Ternak.
(2) Kawasan . . .
- 16 -
(2) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. bebas dari patogen yang berbahaya bagi Ternak dan
manusia yang mengkonsumsi Produk Hewan;
b. tersedia sumber daya air dan pakan yang memadai;
c. tersedia prasarana berupa jalan, jembatan, pasar
Hewan, dan/atau embung; dan
d. sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang tata ruang dan di bidang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan.
(3) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian dari kawasan agropolitan.
Pasal 40
Prasarana berupa jalan, jembatan, pasar Hewan, dan/atau
embung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf
c wajib disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 41
Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dapat
digunakan untuk:
a. lahan penggembalaan umum;
b. kegiatan usaha budidaya Ternak;
c. penghasil tumbuhan pakan;
d. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan
inseminasi buatan;
e. tempat pelayanan Kesehatan Hewan; dan/atau
f. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pasal 42
(1) Pemerintah kabupaten/kota menetapkan suatu lokasi
sebagai kawasan Usaha Peternakan.
(2) Dalam hal belum terdapat kawasan Usaha Peternakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
pengembangan usaha budidaya Ternak ruminansia skala
kecil, pemerintah kabupaten/kota wajib menetapkan
lahan penggembalaan umum.
(3) Pengelolaan . . .
- 17 -
(3) Pengelolaan lahan penggembalaan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB IX
PROMOSI DAN PEMASARAN
Pasal 43
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi promosi dan pemasaran Ternak
dan Produk Hewan melalui:
a. pembangunan dan pengelolaan pasar Hewan dan pasar
Produk Hewan yang memenuhi higiene dan sanitasi serta
ketertiban umum;
b. pengembangan pasar bagi badan usaha milik Peternak;
c. pengembangan sistem pemasaran dan promosi hasil
Peternakan;
d. penyediaan sistem informasi pasar hewan; dan
e. pemberian kewajiban kepada pasar modern untuk
mengutamakan penjualan Produk Hewan dalam negeri.
BAB X
PERLINDUNGAN HARGA TERNAK DAN PRODUK HEWAN
Bagian Kesatu
Perlindungan Harga Ternak
Pasal 44
(1) Perlindungan harga Ternak dilakukan melalui:
a. penetapan jumlah Ternak, jenis Ternak, dan
klasifikasi Ternak yang dapat dimasukkan dari luar
negeri;
b. pengklasifikasian Ternak bibit dan Ternak bukan
bibit;
c. penetapan harga dasar Ternak bibit dan harga dasar
Ternak bukan bibit; dan
d. pemberian kemudahan kepada Peternak untuk
menjual Ternak bibit ke seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
(2) Harga . . .
- 18 -
(2) Harga dasar Ternak bibit ditetapkan sesuai dengan nilai
mutu genetik dan harga dasar Ternak bukan bibit
ditetapkan berdasarkan berat badan Ternak.
(3) Perlindungan harga Ternak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Penetapan jumlah jenis dan klasifikasi Ternak yang dapat
dimasukkan dari luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Menteri melalui
koordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
(5) Pengklasifikasian Ternak bibit dan Ternak bukan bibit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
oleh Menteri.
(6) Pemberian kemudahan kepada Peternak untuk menjual
Ternak bibit ke seluruh wilayah negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilakukan oleh gubernur.
Bagian Kedua
Perlindungan Harga Produk Hewan
Pasal 45
(1) Perlindungan harga Produk Hewan dilakukan melalui:
a. penetapan jumlah dan jenis Produk Hewan yang
dapat dimasukkan dari luar negeri serta unit usaha di
negara asal;
b. pengaturan mengenai penyerapan Produk Hewan
dalam negeri bagi pemasok Produk Hewan dari luar
negeri; dan
c. pemberian jaminan halal bagi Produk Hewan yang
dipersyaratkan, aman, sehat, dan utuh.
(2) Penetapan jumlah dan jenis Produk Hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memperhatikan
ketersediaan Produk Hewan yang dihasilkan di dalam
negeri dan kebutuhan Produk Hewan dalam negeri.
(3) Penetapan . . .
- 19 -
(3) Penetapan jumlah dan jenis Produk Hewan dan
pengaturan mengenai penyerapan Produk Hewan di
dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dilakukan oleh Menteri melalui koordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perdagangan.
(4) Pengawasan pemberian jaminan halal bagi Produk Hewan
yang dipersyaratkan, aman, sehat, dan utuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan
oleh Menteri.
Pasal 46
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan perlindungan harga Produk
Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Usaha Peternakan yang tidak memerlukan izin
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang
Usaha Peternakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3102), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 48
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 6
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
Lydia Silvanna Djaman
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2013
TENTANG
PEMBERDAYAAN PETERNAK
I. UMUM
Kegiatan Usaha Peternakan, khususnya budidaya Ternak di Indonesia
sebagian besar dilakukan oleh peternak dengan skala usaha yang
terbatas. Peternak sebagai salah satu tulang punggung dalam mencukupi
kebutuhan pangan asal Hewan, bahan baku industri, dan jasa perlu
diberdayakan melalui pemberian kemudahan dalam menjalankan
usahanya agar mampu mandiri dan berkembang untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Usaha Peternakan meliputi sektor hulu, budidaya, dan hilir. Usaha
budidaya Ternak seringkali harus menanggung risiko usaha yang besar
dengan nilai keuntungan yang kecil, sedangkan kegiatan usaha di sektor
hulu, misalnya penyediaan sarana produksi, dan sektor hilir, misalnya
pengolahan dan pemasaran hasil yang dilakukan oleh usaha dengan skala
besar selalu menikmati keuntungan.
Peternak sebagai pelaku utama di bidang usaha budidaya Ternak perlu
didaftar dan diberdayakan. Pemberdayaan merupakan segala upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah serta seluruh
pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan
bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak
dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing yang
pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan bagi Peternak dan
keluarganya.
Pemberian kemudahan meliputi: akses sumber pembiayaan dan
permodalan; ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi;
pengembangan kawasan usaha; pelayanan Peternakan, pelayanan
Kesehatan Hewan, dan bantuan teknik; kemitraan dan sinergi antar
pelaku usaha; penghindaran pengenaan ekonomi biaya tinggi; penciptaan
iklim usaha yang kondusif dan peningkatan kewirausahaan; pemanfaatan
sumber daya dalam negeri; promosi dan pemasaran; serta perlindungan
harga Ternak dan Produk Hewan.
Berdasarkan . . .
- 2 -
Berdasarkan hal di atas, perlu pengaturan mengenai Pemberdayaan
Peternak dalam Peraturan Pemerintah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”skala usaha tertentu” yaitu skala usaha
berdasarkan jenis dan jumlah ternak yang diusahakan dan
ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembiayaan” adalah dana yang
dipergunakan untuk membiayai Pemberdayaan Peternak.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 4 . . .
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Bantuan pembiayaan atau permodalan diberikan kepada
Peternak yang melakukan Usaha Peternakan agar usahanya
lebih berkembang, bertambah maju, dan berdaya saing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bantuan pembiayaan atau permodalan dapat berupa dana
bergulir, kemudahan memperoleh kredit dengan memberikan
subsidi bunga kredit, dan bantuan sosial.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h . . .
- 4 -
Huruf h
Yang dimaksud dengan “kesehatan masyarakat veteriner”
adalah segala urusan yang berhubungan dengan Hewan
dan Produk Hewan yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
Ayat (2)
Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam negeri dapat berasal
dari:
a. lembaga penelitian dan pengembangan Pemerintah atau
pemerintah daerah;
b. lembaga pendidikan; dan/atau
c. perorangan maupun lembaga swadaya masyarakat tanpa
menutup kemungkinan menerima invensi dan inovasi dari
luar negeri yang tidak merugikan kepentingan nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendampingan” adalah kegiatan
yang dilakukan secara berkelanjutan oleh penyuluh,
akademisi, peneliti, dan/atau pihak lain yang mempunyai
kompetensi untuk membantu Peternak di dalam
mengimplementasikan atau mengadopsi teknologi inovatif
yang akan dikembangkan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyuluh” yaitu penyuluh pegawai
negeri sipil, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya.
Pasal 8 . . .
- 5 -
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pemberantasan penyakit Hewan yaitu diprioritaskan untuk
penyakit Hewan menular strategis misalnya penyakit zoonosis.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sistem budidaya yang lebih efisien dan ramah lingkungan dalam
ketentuan ini misalnya pengembangan Ternak pola integrasi
tanaman Ternak dengan pendekatan nirlimbah (zero waste).
Contoh yang telah dikembangkan integrasi Peternakan sapi di
perkebunan sawit.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 15 . . .
- 6 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Sarana produksi dalam ketentuan ini misalnya benih/bibit Ternak,
pakan, alat dan mesin, dan obat Hewan.
Yang dimaksud dengan “pascapanen” adalah usaha untuk
memperpanjang daya simpan Produk Hewan dengan maksud untuk
meningkatkan kualitas dan nilai produk.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “prasarana” antara lain jalan atau
jembatan yang menghubungkan antara lokasi Peternakan
dengan jalan umum, rumah potong Hewan, fasilitas
bongkar muat dan penampungan Ternak di pelabuhan,
dan instalasi karantina Hewan.
Yang dimaksud dengan “sarana” antara lain alat angkut
pakan, Ternak/Hewan, dan Produk Hewan, alat dan mesin
Peternakan dan Kesehatan Hewan, benih dan bibit Ternak,
serta pakan dan obat Hewan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fasilitas untuk budidaya” adalah
penyediaan fasilitas untuk perkembangbiakan,
pembesaran, penggemukan sesuai dengan tata cara
budidaya yang baik, sering disebut dengan istilah good
farming practices.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rumah potong Hewan” yaitu rumah
potong untuk unggas, ruminansia besar, ruminansia kecil,
babi, dan aneka Ternak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 7 -
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perusahaan di bidang lain” adalah
perusahaan yang bergerak di sektor hulu, misalnya usaha
pembibitan, atau di sektor hilir misalnya pengolahan hasil
Ternak seperti industri pengolahan susu.
Di samping itu kemitraan dapat juga dilakukan antara
Peternak dengan perusahaan di bidang Kesehatan Hewan,
perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bagi hasil” adalah pola kemitraan
dimana keuntungan yang diperoleh didasarkan pada
prosentase yang disepakati bersama, misalnya kontrak
farming, sumba kontrak, gaduhan, dan marobati.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sewa” adalah pola kemitraan
dimana salah satu pihak menyewakan lahan, kandang,
dan/atau ternak kepada pihak penyewa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “inti plasma” adalah pola kemitraan
dimana pihak inti menyediakan Ternak dan/atau sarana
produksi untuk pihak plasma dengan pembagian
keuntungan berdasarkan kesepakatan.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “natura” adalah Ternak atau
Produk Hewan.
Huruf b . . .
- 8 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lalu lintas Hewan dan Produk Hewan”
adalah pengangkutan Hewan dan Produk Hewan dalam
hubungan antarnegara (pemasukan dan pengeluaran).
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “programa penyuluhan” adalah
rencana tertulis yang disusun secara sistematis untuk
memberikan arah dan pedoman sebagai alat pengendali
pencapaian tujuan penyuluhan.
Ayat (2) . . .
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kelembagaan nirlaba” adalah
kelembagaan Peternak yang tidak semata-mata bertujuan
mencari laba (keuntungan finansial), misalnya asosiasi
Peternakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Kelompok Peternak berdasarkan jenis komoditas misalnya
kelompok Peternak unggas, kelompok Peternak sapi potong, dan
kelompok Peternak sapi perah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 . . .
- 10 -
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “teknologi yang ditemukan oleh
bangsa Indonesia” adalah teknologi tepat guna dengan
memperhatikan budaya lokal dan pengetahuan tradisional
dalam pengelolaan benih, bibit, dan pakan sesuai dengan
kondisi agroekosistem dan sosial budaya masyarakat
setempat.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jalan dan/atau jembatan” adalah
jalan dan/atau jembatan yang menghubungkan antara
lokasi kawasan dengan jalan umum.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40 . . .
- 11 -
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Ternak ruminansia” adalah Ternak
memamahbiak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pasar modern” adalah suatu tempat
bertemunya penjual dan pembeli dengan sistem modern.
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Jenis Ternak misalnya ayam, itik, puyuh, sapi, kerbau,
kambing, dan domba.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 12 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5391

Contenu connexe

Tendances

Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...
Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...
Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...Rendra GUnawan
 
Permenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifas
Permenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifasPermenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifas
Permenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifasUlfah Hanum
 
Pp no 48_th_2011 sdg hewan
Pp no 48_th_2011 sdg hewanPp no 48_th_2011 sdg hewan
Pp no 48_th_2011 sdg hewanGaluh Insani
 
Pp nomor 47_tahun_20
Pp nomor 47_tahun_20Pp nomor 47_tahun_20
Pp nomor 47_tahun_20naufaldi1
 
Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015
Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015
Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015Sainal Edi Kamal
 
permenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahim
permenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahimpermenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahim
permenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahimAchmad Wahid
 
Peraturan menkes tentang gizi rumah sakit
Peraturan menkes tentang gizi rumah sakitPeraturan menkes tentang gizi rumah sakit
Peraturan menkes tentang gizi rumah sakitNeneng Rukmawati
 
Permenkes nomor 66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...
Permenkes nomor  66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...Permenkes nomor  66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...
Permenkes nomor 66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...Ulfah Hanum
 
Pbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirt
Pbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirtPbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirt
Pbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirtGUNADARMA UNIVERSITY
 
Permenkes No 32 Tahun 2013 Ttg Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga Sanitarian
Permenkes  No 32  Tahun 2013 Ttg  Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga SanitarianPermenkes  No 32  Tahun 2013 Ttg  Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga Sanitarian
Permenkes No 32 Tahun 2013 Ttg Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga SanitarianAdelina Hutauruk
 
Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...
Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...
Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...Ulfah Hanum
 
Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6
Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6
Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6Ilham Mustafa
 
Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...
Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...
Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...infosanitasi
 
Pmk no. 2 ttg klb keracunan pangan
Pmk no. 2 ttg klb keracunan panganPmk no. 2 ttg klb keracunan pangan
Pmk no. 2 ttg klb keracunan panganppidkemenkes
 
Permenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi
Permenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri FarmasiPermenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi
Permenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri FarmasiSainal Edi Kamal
 
Pp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanaman
Pp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanamanPp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanaman
Pp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanamanGhina Shadrina
 
Permenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisional
Permenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisionalPermenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisional
Permenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisionalSainal Edi Kamal
 
Perm no. 34 ttg pedagang besar farmasi
Perm no. 34 ttg pedagang besar farmasiPerm no. 34 ttg pedagang besar farmasi
Perm no. 34 ttg pedagang besar farmasiUlfah Hanum
 

Tendances (20)

Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...
Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...
Pmk no _86_th_2019_ttg_juknis_penggunaan_dak_nonfisik_bidang_kesehatan_ta_202...
 
Permenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifas
Permenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifasPermenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifas
Permenkes 21 2015 kapsul vitamin a bayi, balita dan ibu nifas
 
Pp no 48_th_2011 sdg hewan
Pp no 48_th_2011 sdg hewanPp no 48_th_2011 sdg hewan
Pp no 48_th_2011 sdg hewan
 
Pp nomor 47_tahun_20
Pp nomor 47_tahun_20Pp nomor 47_tahun_20
Pp nomor 47_tahun_20
 
Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015
Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015
Permenkes No. 84 Tahun 2014 Tentang DAK 2015
 
permenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahim
permenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahimpermenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahim
permenkes no 34 th 2015 penanggulangan kanker payudara dan leher rahim
 
Peraturan menkes tentang gizi rumah sakit
Peraturan menkes tentang gizi rumah sakitPeraturan menkes tentang gizi rumah sakit
Peraturan menkes tentang gizi rumah sakit
 
Permenkes nomor 66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...
Permenkes nomor  66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...Permenkes nomor  66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...
Permenkes nomor 66 tahun 2017 tentang petunjuk operasional dana alokasi khus...
 
Pbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirt
Pbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirtPbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirt
Pbpom no-22-tahun-2018-pedoman-pemberian-setifikat-pirt
 
Permenkes No 32 Tahun 2013 Ttg Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga Sanitarian
Permenkes  No 32  Tahun 2013 Ttg  Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga SanitarianPermenkes  No 32  Tahun 2013 Ttg  Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga Sanitarian
Permenkes No 32 Tahun 2013 Ttg Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga Sanitarian
 
Kmk no. 715 ttg persyaratan hygiene sanitasi jasaboga
Kmk no. 715 ttg persyaratan hygiene sanitasi jasabogaKmk no. 715 ttg persyaratan hygiene sanitasi jasaboga
Kmk no. 715 ttg persyaratan hygiene sanitasi jasaboga
 
Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...
Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...
Pmk no _85_th_2019_ttg_petunjuk_operasional_penggunaan_dak_fisik_bidang_keseh...
 
Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6
Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6
Ketentuanketentuan pokok peternakan_kesehatan_hew_6
 
Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...
Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...
Kepmen Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sa...
 
Pmk no. 2 ttg klb keracunan pangan
Pmk no. 2 ttg klb keracunan panganPmk no. 2 ttg klb keracunan pangan
Pmk no. 2 ttg klb keracunan pangan
 
Permenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi
Permenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri FarmasiPermenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi
Permenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi
 
Pp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanaman
Pp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanamanPp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanaman
Pp no. 44 tahun 1995 ttg pembenihan tanaman
 
Permenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisional
Permenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisionalPermenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisional
Permenkes No. 006 ttg industri dan usaha obat tradisional
 
Perm no. 34 ttg pedagang besar farmasi
Perm no. 34 ttg pedagang besar farmasiPerm no. 34 ttg pedagang besar farmasi
Perm no. 34 ttg pedagang besar farmasi
 
Pmk no. 56 ttg klasifikasi dan perizinan rumah sakit
Pmk no. 56 ttg klasifikasi dan perizinan rumah sakitPmk no. 56 ttg klasifikasi dan perizinan rumah sakit
Pmk no. 56 ttg klasifikasi dan perizinan rumah sakit
 

En vedette

Bahan kuliah mpdt ugm
Bahan kuliah mpdt ugmBahan kuliah mpdt ugm
Bahan kuliah mpdt ugmGaluh Insani
 
Perpres no.48.2013 ttg budidaya hewan
Perpres no.48.2013 ttg budidaya hewanPerpres no.48.2013 ttg budidaya hewan
Perpres no.48.2013 ttg budidaya hewanGaluh Insani
 
Proses penyusunan perda uu 12 untk pak wali
Proses penyusunan perda uu 12 untk pak waliProses penyusunan perda uu 12 untk pak wali
Proses penyusunan perda uu 12 untk pak waliGaluh Insani
 

En vedette (6)

Bahan kuliah mpdt ugm
Bahan kuliah mpdt ugmBahan kuliah mpdt ugm
Bahan kuliah mpdt ugm
 
Pp alsin
Pp alsinPp alsin
Pp alsin
 
Perpres no.48.2013 ttg budidaya hewan
Perpres no.48.2013 ttg budidaya hewanPerpres no.48.2013 ttg budidaya hewan
Perpres no.48.2013 ttg budidaya hewan
 
Pp pemberdayaan
Pp pemberdayaanPp pemberdayaan
Pp pemberdayaan
 
Pp sdg 2
Pp sdg 2Pp sdg 2
Pp sdg 2
 
Proses penyusunan perda uu 12 untk pak wali
Proses penyusunan perda uu 12 untk pak waliProses penyusunan perda uu 12 untk pak wali
Proses penyusunan perda uu 12 untk pak wali
 

Similaire à Pp no 6 tahun 2013 pemberdayaan

SE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdf
SE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdf
SE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfCIkumparan
 
Pp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewan
Pp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewanPp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewan
Pp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewanWinarto Winartoap
 
Pp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetik
Pp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetikPp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetik
Pp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetikwalhiaceh
 
PP Nomor 95 Tahun 2012.pdf
PP Nomor 95 Tahun 2012.pdfPP Nomor 95 Tahun 2012.pdf
PP Nomor 95 Tahun 2012.pdfsusisusyanti
 
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan PetaniUU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan PetaniAji Sahdi Sutisna
 
Undang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan Peternakan
Undang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan PeternakanUndang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan Peternakan
Undang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan PeternakanNusdianto Triakoso
 
Sistem informasi kesehatan
Sistem informasi kesehatanSistem informasi kesehatan
Sistem informasi kesehatanhananazila
 
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatanPp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatanUlfah Hanum
 
Pp 46 th 2014 sistem informasi kesehatan
Pp 46 th 2014 sistem informasi kesehatanPp 46 th 2014 sistem informasi kesehatan
Pp 46 th 2014 sistem informasi kesehatanWinarto Winartoap
 
Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014
Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014
Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014Suprijanto Rijadi
 
KEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASAN
KEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASANKEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASAN
KEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASANheru dumadi
 
Sesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatan
Sesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatanSesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatan
Sesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatanMuklis Bat'Rock
 
312113076 jaknas-yankestrad
312113076 jaknas-yankestrad312113076 jaknas-yankestrad
312113076 jaknas-yankestradLiska Pratiwi
 
PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021
PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021
PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021Rayan Asa Luminaries
 

Similaire à Pp no 6 tahun 2013 pemberdayaan (20)

SE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdf
SE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdf
SE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdfSE_597_2024.pdf
 
17 Tahun 2020.pdf
17 Tahun 2020.pdf17 Tahun 2020.pdf
17 Tahun 2020.pdf
 
Pp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewan
Pp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewanPp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewan
Pp 47 th 2014 ttg pengendalian dan penaggulangan penyakit hewan
 
Pp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetik
Pp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetikPp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetik
Pp21 2005 ttg keamanan hayati produk rekayasa genetik
 
PP Nomor 95 Tahun 2012.pdf
PP Nomor 95 Tahun 2012.pdfPP Nomor 95 Tahun 2012.pdf
PP Nomor 95 Tahun 2012.pdf
 
Uu no.19 2013
Uu no.19 2013Uu no.19 2013
Uu no.19 2013
 
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan PetaniUU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
 
PER-UU-HSP - Copy.PPT
PER-UU-HSP - Copy.PPTPER-UU-HSP - Copy.PPT
PER-UU-HSP - Copy.PPT
 
Kementerian pertanian[1]
Kementerian pertanian[1]Kementerian pertanian[1]
Kementerian pertanian[1]
 
Undang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan Peternakan
Undang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan PeternakanUndang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan Peternakan
Undang-undang 18/2009 Kesehatan Hewan dan Peternakan
 
Sistem informasi kesehatan
Sistem informasi kesehatanSistem informasi kesehatan
Sistem informasi kesehatan
 
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatanPp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
 
Pp 46 th 2014 sistem informasi kesehatan
Pp 46 th 2014 sistem informasi kesehatanPp 46 th 2014 sistem informasi kesehatan
Pp 46 th 2014 sistem informasi kesehatan
 
Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014
Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014
Draft Final UU Tenaga Kesehatan Sept 2014
 
KEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASAN
KEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASANKEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASAN
KEBIJAKAN SEKTOR HILIR PERUNGGASAN
 
Sesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatan
Sesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatanSesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatan
Sesi 2 undang undang RI no.36 tahun 2009 tentang kesehatan
 
Persyaratan impor benih
Persyaratan impor benihPersyaratan impor benih
Persyaratan impor benih
 
312113076 jaknas-yankestrad
312113076 jaknas-yankestrad312113076 jaknas-yankestrad
312113076 jaknas-yankestrad
 
PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021
PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021
PEDOMAN BANTUAN PREMI ASURANSI USAHA TERNAK SAPI KERBAU INDONESIA 2021
 
cdakb terbaru.pdf
cdakb terbaru.pdfcdakb terbaru.pdf
cdakb terbaru.pdf
 

Plus de Galuh Insani

Lowongan PT. Super Unggas Jaya
Lowongan PT. Super Unggas JayaLowongan PT. Super Unggas Jaya
Lowongan PT. Super Unggas JayaGaluh Insani
 
Seminar crossbreeding 26 juni tety hartatik (final)
Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)
Seminar crossbreeding 26 juni tety hartatik (final)Galuh Insani
 
Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)
Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)
Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)Galuh Insani
 
Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014
Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014
Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014Galuh Insani
 
Pt new hope indonesia
Pt new hope indonesiaPt new hope indonesia
Pt new hope indonesiaGaluh Insani
 
Lowongan mitra tirta abadi
Lowongan mitra tirta abadiLowongan mitra tirta abadi
Lowongan mitra tirta abadiGaluh Insani
 
Daily conversation bahasa indonesia
Daily conversation bahasa indonesiaDaily conversation bahasa indonesia
Daily conversation bahasa indonesiaGaluh Insani
 
Charoen pokphand job fair polines_mar 2014
Charoen pokphand job fair polines_mar 2014Charoen pokphand job fair polines_mar 2014
Charoen pokphand job fair polines_mar 2014Galuh Insani
 
Hitachi campus talk ugm
Hitachi campus talk   ugmHitachi campus talk   ugm
Hitachi campus talk ugmGaluh Insani
 
Hitachi campus talk revisi
Hitachi campus talk revisiHitachi campus talk revisi
Hitachi campus talk revisiGaluh Insani
 
Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014
Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014
Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014Galuh Insani
 

Plus de Galuh Insani (20)

Lowongan PT. Super Unggas Jaya
Lowongan PT. Super Unggas JayaLowongan PT. Super Unggas Jaya
Lowongan PT. Super Unggas Jaya
 
Knu
KnuKnu
Knu
 
Seminar crossbreeding 26 juni tety hartatik (final)
Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)
Seminar crossbreeding 26 juni tety hartatik (final)
 
Belgia
BelgiaBelgia
Belgia
 
Wmp
WmpWmp
Wmp
 
Bet
BetBet
Bet
 
Bahan dir jogja
Bahan dir jogjaBahan dir jogja
Bahan dir jogja
 
SLP 2014
SLP 2014SLP 2014
SLP 2014
 
Lowongan
LowonganLowongan
Lowongan
 
Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)
Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)
Sprint 2014 (sinergi pangan pakan-energi terbarukan)
 
Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014
Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014
Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2014
 
Pt new hope indonesia
Pt new hope indonesiaPt new hope indonesia
Pt new hope indonesia
 
Lowongan mitra tirta abadi
Lowongan mitra tirta abadiLowongan mitra tirta abadi
Lowongan mitra tirta abadi
 
New hope liuhe
New hope liuheNew hope liuhe
New hope liuhe
 
Daily conversation bahasa indonesia
Daily conversation bahasa indonesiaDaily conversation bahasa indonesia
Daily conversation bahasa indonesia
 
Charoen pokphand job fair polines_mar 2014
Charoen pokphand job fair polines_mar 2014Charoen pokphand job fair polines_mar 2014
Charoen pokphand job fair polines_mar 2014
 
Hitachi campus talk ugm
Hitachi campus talk   ugmHitachi campus talk   ugm
Hitachi campus talk ugm
 
Hitachi campus talk revisi
Hitachi campus talk revisiHitachi campus talk revisi
Hitachi campus talk revisi
 
Peksi
PeksiPeksi
Peksi
 
Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014
Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014
Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014
 

Pp no 6 tahun 2013 pemberdayaan

  • 1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 76 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan Peternak; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk meningkatkan kemandirian, memberikan kemudahan dan kemajuan usaha, serta meningkatkan daya saing dan kesejahteraan Peternak. 2. Peternak . . .
  • 2. - 2 - 2. Peternak adalah perorangan warga negara lndonesia atau korporasi yang melakukan Usaha Peternakan. 3. Usaha Peternakan adalah kegiatan usaha budidaya Ternak untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, dan kepentingan masyarakat lainnya di suatu tempat tertentu secara terus menerus. 4. Perusahaan Peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia yang mengelola Usaha Peternakan dengan kriteria dan skala tertentu. 5. Kemitraan Usaha adalah kerjasama yang saling menguntungkan dan saling memperkuat antara usaha kecil dan usaha menengah/besar di bidang Peternakan atau di bidang Kesehatan Hewan. 6. Ternak adalah Hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. 7. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin Peternakan, budidaya Ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya. 8. Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan Hewan, pengobatan Hewan, pelayanan Kesehatan Hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan, penolakan penyakit Hewan, medik reproduksi, medik konservasi, obat Hewan dan peralatan Kesehatan Hewan, serta keamanan pakan. 9. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya. 10. Produk . . .
  • 3. - 3 - 10. Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari Hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. 11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah ini mengatur pemberian kemudahan dalam rangka Pemberdayaan Peternak untuk Peternak yang jenis dan jumlah ternaknya di bawah skala usaha tertentu yang tidak memerlukan izin. (2) Pemberian kemudahan kepada Peternak yang jenis dan jumlah ternaknya di atas skala usaha tertentu yang wajib memiliki izin diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 3 Pemberian kemudahan kepada Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi; b. pelayanan Peternakan, pelayanan Kesehatan Hewan, dan bantuan teknik; c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi; d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku usaha; e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau me peningkatan kewirausahaan; f. pengutamaan pemanfaatan sumber daya Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam negeri; g. pemfasilitasan terbentuknya kawasan pengembangan Usaha Peternakan; h. pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau i. perlindungan harga dan Produk Hewan dari luar negeri. BAB II . . .
  • 4. - 4 - BAB II AKSES SUMBER PEMBIAYAAN, PERMODALAN, ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI, SERTA INFORMASI Bagian Kesatu Akses Sumber Pembiayaan dan Permodalan Pasal 4 (1) Sumber pembiayaan dan permodalan untuk Pemberdayaan Peternak dapat berasal dari Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Selain berasal dari Pemerintah dan pemerintah daerah, sumber pembiayaan dan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari masyarakat, lembaga perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank, serta badan usaha lainnya. Pasal 5 (1) Pembiayaan dan permodalan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat berupa bantuan pembiayaan atau permodalan untuk pengembangan usaha. (2) Bantuan pembiayaan atau permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Peternak melalui kelompok Peternak atau gabungan kelompok Peternak. (3) Bantuan pembiayaan atau permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian kemudahan pembiayaan atau permodalan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua . . .
  • 5. - 5 - Bagian Kedua Akses Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pasal 6 (1) Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka Pemberdayaan Peternak paling sedikit meliputi: a. benih/bibit; b. pakan; c. alat dan mesin; d. budidaya; e. panen dan pascapanen; f. pengolahan dan pemasaran hasil; g. Kesehatan Hewan; dan/atau h. kesehatan masyarakat veteriner. (2) Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan yang berasal dari hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri. (3) Hasil penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa invensi atau inovasi. (4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mendorong dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pasal 7 (1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya harus memberikan kemudahan akses ilmu pengetahuan dan teknologi melalui: a. penyediaan teknologi tepat guna dalam berbagai metode, media, dan saluran informasi; b. pendampingan dalam proses alih teknologi; c. penyuluhan; dan/atau d. pendidikan dan pelatihan. (2) Penyuluhan . . .
  • 6. - 6 - (2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh penyuluh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang sistem penyuluhan pertanian, kehutanan, dan perikanan. Pasal 8 Pemberian kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b berupa invensi atau inovasi yang dilindungi dengan hak kekayaan intelektual harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Akses Informasi Pasal 9 (1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya harus menyediakan informasi pengembangan Usaha Peternakan dalam rangka Pemberdayaan Peternak. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. harga komoditas hasil Peternakan; b. prasarana dan sarana Peternakan; c. data kebutuhan pangan nasional asal Hewan; d. peluang dan tantangan pasar; e. perkiraan populasi dan produksi; f. penyediaan pembiayaan dan peluang investasi; g. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; h. pemberian subsidi; i. teknologi Peternakan; j. peta penyebaran penyakit Hewan; k. rencana tata ruang wilayah; l. kelembagaan Peternak dan kelembagaan ekonomi Peternak; dan m. program pembangunan Peternakan. (3) Informasi . . .
  • 7. - 7 - (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk media elektronik, media cetak, dan media lain yang mudah dan cepat diakses oleh Peternak. BAB III PELAYANAN PETERNAKAN, PELAYANAN KESEHATAN HEWAN, DAN BANTUAN TEKNIK Bagian Kesatu Pelayanan Peternakan dan Pelayanan Kesehatan Hewan Pasal 10 Pelayanan Peternakan terdiri atas: a. penyediaan dan pengelolaan lahan penggembalaan umum; b. penyediaan benih/bibit unggul; c. penyelamatan Ternak ruminansia betina produktif; dan d. penyediaan pos inseminasi buatan. Pasal 11 Pelayanan Kesehatan Hewan terdiri atas: a. pemeriksaan kebuntingan; b. pengamatan dan pengidentifikasian penyakit; c. pengamanan penyakit Hewan; d. pengobatan Hewan sakit; dan e. pemberantasan penyakit Hewan. Pasal 12 Kemudahan pelayanan Peternakan dan pelayanan Kesehatan Hewan diberikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pelayanan Peternakan dan pelayanan Kesehatan Hewan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua . . .
  • 8. - 8 - Bagian Kedua Bantuan Teknik Pasal 14 Dalam rangka bantuan teknik, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan: a. supervisi dan pendampingan dalam menggunakan alat dan mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan; b. supervisi dalam penerapan sistem budidaya yang lebih efisien dan ramah lingkungan; dan c. sarana produksi Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam meningkatkan kemandirian dan daya saing usaha. Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan bantuan teknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV PENGHINDARAN PENGENAAN EKONOMI BIAYA TINGGI Pasal 16 Penghindaran pengenaan ekonomi biaya tinggi dilakukan melalui efisiensi dalam kegiatan penyediaan sarana produksi, budidaya, pascapanen, dan pemasaran atau distribusi Hewan dan Produk Hewan. Pasal 17 (1) Dalam melakukan penghindaran pengenaan ekonomi biaya tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Menteri, menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, gubernur, dan bupati/walikota wajib memberikan kemudahan yang terkait dengan: a. kebijakan; b. perdagangan; dan c. prasarana dan sarana. (2) Dalam . . .
  • 9. - 9 - (2) Dalam memberikan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyediakan fasilitas untuk: a. budidaya Ternak yang baik; b. kegiatan panen dan pascapanen hasil Ternak melalui penyediaan rumah potong Hewan, industri pengolahan susu, daging, dan telur; c. kegiatan distribusi dan pemasaran hasil Ternak melalui penyediaan alat angkut, pasar Hewan, tempat pengumpul Ternak, dan instalasi pendingin; dan d. penyimpanan Produk Hewan dan pakan melalui penyediaan gudang dan/atau gudang pendingin. Pasal 18 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang berkaitan dengan budidaya dan pascapanen Peternakan diatur dengan Peraturan Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) selain yang berkaitan dengan budidaya dan pascapanen Peternakan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V PEMBINAAN KEMITRAAN DALAM MENINGKATKAN SINERGI ANTARPELAKU USAHA Pasal 19 (1) Untuk meningkatkan pendapatan Peternak, sinergi, dan daya saing usaha, diperlukan Kemitraan Usaha yang dapat dilakukan: a. antarpeternak; b. antara Peternak dengan Perusahaan Peternakan; dan c. antara Peternak dengan perusahaan di bidang lain. (2) Kemitraan . . .
  • 10. - 10 - (2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan paling sedikit dalam bentuk: a. bagi hasil; b. sewa; atau c. inti plasma. Pasal 20 (1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. harga dasar sarana produksi dan/atau harga jual Ternak serta Produk Hewan atau pembagian dalam bentuk natura; b. jaminan pemasaran; c. pembagian keuntungan dan risiko usaha; d. penetapan standar mutu sarana produksi, Ternak, dan Produk Hewan; dan e. mekanisme pembayaran. (3) Mekanisme pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan untuk memberikan jaminan hak pembayaran. Pasal 21 (1) Dalam melakukan kemitraan, Perusahaan Peternakan harus melaksanakan: a. pendidikan; b. pelatihan; c. penyuluhan; dan/atau d. proses alih teknologi. (2) Dalam melakukan kemitraan, Peternak harus mengikuti pendidikan dan pelatihan, pemagangan, dan/atau penyuluhan yang dilaksanakan oleh Perusahaan Peternakan, serta menerapkan teknologi yang diberikan Perusahaan Peternakan. Pasal 22 . . .
  • 11. - 11 - Pasal 22 (1) Gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dalam pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI PENCIPTAAN IKLIM USAHA YANG KONDUSIF DAN PENINGKATAN KEWIRAUSAHAAN Bagian Kesatu Penciptaan Iklim Usaha Yang Kondusif Pasal 23 Iklim usaha yang kondusif bagi Peternak meliputi: a. kepastian berusaha; b. kemudahan dalam pelayanan pendaftaran Usaha Peternakan; c. tidak adanya praktik persaingan usaha yang tidak sehat; dan d. terpeliharanya status Kesehatan Hewan yang baik. Pasal 24 Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23: a. Menteri menetapkan tempat pemasukan sarana produksi, Ternak, dan Produk Hewan dari luar negeri untuk melindungi sumber daya dan budidaya Ternak dari berbagai penyakit Hewan akibat lalu lintas Hewan dan Produk Hewan sesuai dengan kemampuan tindakan karantina, perlindungan sumber daya, dan budidaya; dan b. Menteri . . .
  • 12. - 12 - b. Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan program Pemberdayaan Peternak, kompensasi bagi Hewan sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit Hewan harus didepopulasi untuk memutus rantai penyebaran penyakit Hewan, dan memfasilitasi Peternak untuk melakukan diversifikasi usaha. Bagian Kedua Peningkatan Kewirausahaan Pasal 25 Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya meningkatkan kewirausahaan Peternak melalui: a. pendidikan dan pelatihan; b. penyuluhan; dan c. fasilitasi pengembangan kelembagaan Peternak. Pasal 26 (1) Pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan kepada Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a dan huruf b dilakukan melalui: a. pengembangan program pelatihan dan pemagangan; dan b. penetapan program, programa, dan rencana kerja penyuluhan. (2) Pengembangan program pelatihan dan pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui pelatihan kewirausahaan di bidang agribisnis untuk Peternak dan calon Peternak. Pasal 27 (1) Kelembagaan Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c terdiri atas: a. kelembagaan usaha; dan b. kelembagaan nirlaba. (2) Kelembagaan . . .
  • 13. - 13 - (2) Kelembagaan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. kelompok Peternak; b. gabungan kelompok Peternak; dan c. badan usaha milik Peternak. (3) Kelembagaan nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas asosiasi. Pasal 28 Fasilitasi pengembangan kelembagaan Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c dapat berbentuk bimbingan penyusunan: a. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok Peternak, gabungan kelompok Peternak, dan badan usaha milik Peternak; dan b. rencana kegiatan atau rencana kegiatan kelompok. Pasal 29 (1) Kelompok Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a dibentuk atas dasar jenis komoditas, kesamaan kepentingan, dan kondisi lingkungan. (2) Kelompok Peternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh, dari, dan untuk Peternak. Pasal 30 Kelompok Peternak menyelenggarakan fungsi: a. peningkatan kemampuan anggota dalam mengembangkan Usaha Peternakan yang mandiri dan berkelanjutan; b. penampungan dan penyaluran aspirasi anggota; dan c. penyelesaian permasalahan yang timbul di antara anggota. Pasal 31 Gabungan kelompok Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b merupakan gabungan dari dua atau lebih kelompok Peternak dalam satu atau beberapa desa, dalam satu atau beberapa kecamatan, atau dalam satu kabupaten yang menjadi anggota gabungan kelompok Peternak. Pasal 32 . . .
  • 14. - 14 - Pasal 32 Gabungan kelompok Peternak melakukan: a. kegiatan untuk kepentingan anggota dalam mengembangkan Kemitraan Usaha; b. penampungan dan penyaluran aspirasi anggota; dan c. penyelesaian permasalahan yang timbul di antara anggota. Pasal 33 (1) Badan usaha milik Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c dibentuk oleh, dari, dan untuk Peternak. (2) Badan usaha milik Peternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan: a. penyusunan rencana usaha yang layak secara ekonomi dan perbankan; b. diversifikasi usaha; dan c. Kemitraan Usaha. Pasal 34 (1) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dibentuk oleh, dari, dan untuk Peternak. (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk: a. memperjuangkan kepentingan anggota; b. memberikan masukan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pemberdayaan Usaha Peternakan; c. mempromosikan usaha anggota; dan d. mengadvokasi pelaksanaan kewirausahaan. Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peningkatan kewirausahaan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII . . .
  • 15. - 15 - BAB VII PEMANFAATAN SUMBER DAYA DALAM NEGERI Pasal 36 Sumber daya dalam Usaha Peternakan meliputi: a. sumber daya alam; dan b. sumber daya manusia. Pasal 37 (1) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a meliputi: a. lahan; b. sumber daya genetik Hewan; c. benih dan bibit Ternak; d. pakan hijauan; dan e. sumber daya air. (2) Dalam memanfaatkan benih, bibit, dan pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d diutamakan menggunakan benih, bibit, dan pakan yang dihasilkan dari: a. teknologi yang ditemukan oleh bangsa Indonesia; dan b. usaha yang dilakukan dengan modal dalam negeri. Pasal 38 Sumber daya manusia dalam bidang Peternakan diutamakan bagi warga negara Indonesia yang memiliki kompetensi di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan. BAB VIII KAWASAN USAHA PETERNAKAN Pasal 39 (1) Dalam Pemberdayaan Peternak diperlukan adanya kawasan Usaha Peternakan untuk menjamin kepastian usaha budidaya Ternak. (2) Kawasan . . .
  • 16. - 16 - (2) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. bebas dari patogen yang berbahaya bagi Ternak dan manusia yang mengkonsumsi Produk Hewan; b. tersedia sumber daya air dan pakan yang memadai; c. tersedia prasarana berupa jalan, jembatan, pasar Hewan, dan/atau embung; dan d. sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dan di bidang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. (3) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari kawasan agropolitan. Pasal 40 Prasarana berupa jalan, jembatan, pasar Hewan, dan/atau embung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c wajib disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pasal 41 Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dapat digunakan untuk: a. lahan penggembalaan umum; b. kegiatan usaha budidaya Ternak; c. penghasil tumbuhan pakan; d. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan; e. tempat pelayanan Kesehatan Hewan; dan/atau f. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pasal 42 (1) Pemerintah kabupaten/kota menetapkan suatu lokasi sebagai kawasan Usaha Peternakan. (2) Dalam hal belum terdapat kawasan Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pengembangan usaha budidaya Ternak ruminansia skala kecil, pemerintah kabupaten/kota wajib menetapkan lahan penggembalaan umum. (3) Pengelolaan . . .
  • 17. - 17 - (3) Pengelolaan lahan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. BAB IX PROMOSI DAN PEMASARAN Pasal 43 Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi promosi dan pemasaran Ternak dan Produk Hewan melalui: a. pembangunan dan pengelolaan pasar Hewan dan pasar Produk Hewan yang memenuhi higiene dan sanitasi serta ketertiban umum; b. pengembangan pasar bagi badan usaha milik Peternak; c. pengembangan sistem pemasaran dan promosi hasil Peternakan; d. penyediaan sistem informasi pasar hewan; dan e. pemberian kewajiban kepada pasar modern untuk mengutamakan penjualan Produk Hewan dalam negeri. BAB X PERLINDUNGAN HARGA TERNAK DAN PRODUK HEWAN Bagian Kesatu Perlindungan Harga Ternak Pasal 44 (1) Perlindungan harga Ternak dilakukan melalui: a. penetapan jumlah Ternak, jenis Ternak, dan klasifikasi Ternak yang dapat dimasukkan dari luar negeri; b. pengklasifikasian Ternak bibit dan Ternak bukan bibit; c. penetapan harga dasar Ternak bibit dan harga dasar Ternak bukan bibit; dan d. pemberian kemudahan kepada Peternak untuk menjual Ternak bibit ke seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Harga . . .
  • 18. - 18 - (2) Harga dasar Ternak bibit ditetapkan sesuai dengan nilai mutu genetik dan harga dasar Ternak bukan bibit ditetapkan berdasarkan berat badan Ternak. (3) Perlindungan harga Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Penetapan jumlah jenis dan klasifikasi Ternak yang dapat dimasukkan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Menteri melalui koordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. (5) Pengklasifikasian Ternak bibit dan Ternak bukan bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Menteri. (6) Pemberian kemudahan kepada Peternak untuk menjual Ternak bibit ke seluruh wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh gubernur. Bagian Kedua Perlindungan Harga Produk Hewan Pasal 45 (1) Perlindungan harga Produk Hewan dilakukan melalui: a. penetapan jumlah dan jenis Produk Hewan yang dapat dimasukkan dari luar negeri serta unit usaha di negara asal; b. pengaturan mengenai penyerapan Produk Hewan dalam negeri bagi pemasok Produk Hewan dari luar negeri; dan c. pemberian jaminan halal bagi Produk Hewan yang dipersyaratkan, aman, sehat, dan utuh. (2) Penetapan jumlah dan jenis Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memperhatikan ketersediaan Produk Hewan yang dihasilkan di dalam negeri dan kebutuhan Produk Hewan dalam negeri. (3) Penetapan . . .
  • 19. - 19 - (3) Penetapan jumlah dan jenis Produk Hewan dan pengaturan mengenai penyerapan Produk Hewan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Menteri melalui koordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. (4) Pengawasan pemberian jaminan halal bagi Produk Hewan yang dipersyaratkan, aman, sehat, dan utuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh Menteri. Pasal 46 Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan perlindungan harga Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 47 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Usaha Peternakan yang tidak memerlukan izin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3102), dinyatakan tidak berlaku. Pasal 48 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . .
  • 20. - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2013 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 6 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, Lydia Silvanna Djaman
  • 21. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK I. UMUM Kegiatan Usaha Peternakan, khususnya budidaya Ternak di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh peternak dengan skala usaha yang terbatas. Peternak sebagai salah satu tulang punggung dalam mencukupi kebutuhan pangan asal Hewan, bahan baku industri, dan jasa perlu diberdayakan melalui pemberian kemudahan dalam menjalankan usahanya agar mampu mandiri dan berkembang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Usaha Peternakan meliputi sektor hulu, budidaya, dan hilir. Usaha budidaya Ternak seringkali harus menanggung risiko usaha yang besar dengan nilai keuntungan yang kecil, sedangkan kegiatan usaha di sektor hulu, misalnya penyediaan sarana produksi, dan sektor hilir, misalnya pengolahan dan pemasaran hasil yang dilakukan oleh usaha dengan skala besar selalu menikmati keuntungan. Peternak sebagai pelaku utama di bidang usaha budidaya Ternak perlu didaftar dan diberdayakan. Pemberdayaan merupakan segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah serta seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan bagi Peternak dan keluarganya. Pemberian kemudahan meliputi: akses sumber pembiayaan dan permodalan; ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi; pengembangan kawasan usaha; pelayanan Peternakan, pelayanan Kesehatan Hewan, dan bantuan teknik; kemitraan dan sinergi antar pelaku usaha; penghindaran pengenaan ekonomi biaya tinggi; penciptaan iklim usaha yang kondusif dan peningkatan kewirausahaan; pemanfaatan sumber daya dalam negeri; promosi dan pemasaran; serta perlindungan harga Ternak dan Produk Hewan. Berdasarkan . . .
  • 22. - 2 - Berdasarkan hal di atas, perlu pengaturan mengenai Pemberdayaan Peternak dalam Peraturan Pemerintah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”skala usaha tertentu” yaitu skala usaha berdasarkan jenis dan jumlah ternak yang diusahakan dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan “pembiayaan” adalah dana yang dipergunakan untuk membiayai Pemberdayaan Peternak. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 4 . . .
  • 23. - 3 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Bantuan pembiayaan atau permodalan diberikan kepada Peternak yang melakukan Usaha Peternakan agar usahanya lebih berkembang, bertambah maju, dan berdaya saing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bantuan pembiayaan atau permodalan dapat berupa dana bergulir, kemudahan memperoleh kredit dengan memberikan subsidi bunga kredit, dan bantuan sosial. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h . . .
  • 24. - 4 - Huruf h Yang dimaksud dengan “kesehatan masyarakat veteriner” adalah segala urusan yang berhubungan dengan Hewan dan Produk Hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Ayat (2) Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam negeri dapat berasal dari: a. lembaga penelitian dan pengembangan Pemerintah atau pemerintah daerah; b. lembaga pendidikan; dan/atau c. perorangan maupun lembaga swadaya masyarakat tanpa menutup kemungkinan menerima invensi dan inovasi dari luar negeri yang tidak merugikan kepentingan nasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pendampingan” adalah kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan oleh penyuluh, akademisi, peneliti, dan/atau pihak lain yang mempunyai kompetensi untuk membantu Peternak di dalam mengimplementasikan atau mengadopsi teknologi inovatif yang akan dikembangkan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyuluh” yaitu penyuluh pegawai negeri sipil, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya. Pasal 8 . . .
  • 25. - 5 - Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pemberantasan penyakit Hewan yaitu diprioritaskan untuk penyakit Hewan menular strategis misalnya penyakit zoonosis. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Sistem budidaya yang lebih efisien dan ramah lingkungan dalam ketentuan ini misalnya pengembangan Ternak pola integrasi tanaman Ternak dengan pendekatan nirlimbah (zero waste). Contoh yang telah dikembangkan integrasi Peternakan sapi di perkebunan sawit. Huruf c Cukup jelas. Pasal 15 . . .
  • 26. - 6 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Sarana produksi dalam ketentuan ini misalnya benih/bibit Ternak, pakan, alat dan mesin, dan obat Hewan. Yang dimaksud dengan “pascapanen” adalah usaha untuk memperpanjang daya simpan Produk Hewan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas dan nilai produk. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “prasarana” antara lain jalan atau jembatan yang menghubungkan antara lokasi Peternakan dengan jalan umum, rumah potong Hewan, fasilitas bongkar muat dan penampungan Ternak di pelabuhan, dan instalasi karantina Hewan. Yang dimaksud dengan “sarana” antara lain alat angkut pakan, Ternak/Hewan, dan Produk Hewan, alat dan mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan, benih dan bibit Ternak, serta pakan dan obat Hewan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “fasilitas untuk budidaya” adalah penyediaan fasilitas untuk perkembangbiakan, pembesaran, penggemukan sesuai dengan tata cara budidaya yang baik, sering disebut dengan istilah good farming practices. Huruf b Yang dimaksud dengan “rumah potong Hewan” yaitu rumah potong untuk unggas, ruminansia besar, ruminansia kecil, babi, dan aneka Ternak. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 18 . . .
  • 27. - 7 - Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “perusahaan di bidang lain” adalah perusahaan yang bergerak di sektor hulu, misalnya usaha pembibitan, atau di sektor hilir misalnya pengolahan hasil Ternak seperti industri pengolahan susu. Di samping itu kemitraan dapat juga dilakukan antara Peternak dengan perusahaan di bidang Kesehatan Hewan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “bagi hasil” adalah pola kemitraan dimana keuntungan yang diperoleh didasarkan pada prosentase yang disepakati bersama, misalnya kontrak farming, sumba kontrak, gaduhan, dan marobati. Huruf b Yang dimaksud dengan “sewa” adalah pola kemitraan dimana salah satu pihak menyewakan lahan, kandang, dan/atau ternak kepada pihak penyewa. Huruf c Yang dimaksud dengan “inti plasma” adalah pola kemitraan dimana pihak inti menyediakan Ternak dan/atau sarana produksi untuk pihak plasma dengan pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “natura” adalah Ternak atau Produk Hewan. Huruf b . . .
  • 28. - 8 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Yang dimaksud dengan “lalu lintas Hewan dan Produk Hewan” adalah pengangkutan Hewan dan Produk Hewan dalam hubungan antarnegara (pemasukan dan pengeluaran). Huruf b Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “programa penyuluhan” adalah rencana tertulis yang disusun secara sistematis untuk memberikan arah dan pedoman sebagai alat pengendali pencapaian tujuan penyuluhan. Ayat (2) . . .
  • 29. - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kelembagaan nirlaba” adalah kelembagaan Peternak yang tidak semata-mata bertujuan mencari laba (keuntungan finansial), misalnya asosiasi Peternakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Kelompok Peternak berdasarkan jenis komoditas misalnya kelompok Peternak unggas, kelompok Peternak sapi potong, dan kelompok Peternak sapi perah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 . . .
  • 30. - 10 - Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “teknologi yang ditemukan oleh bangsa Indonesia” adalah teknologi tepat guna dengan memperhatikan budaya lokal dan pengetahuan tradisional dalam pengelolaan benih, bibit, dan pakan sesuai dengan kondisi agroekosistem dan sosial budaya masyarakat setempat. Huruf b Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “jalan dan/atau jembatan” adalah jalan dan/atau jembatan yang menghubungkan antara lokasi kawasan dengan jalan umum. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 . . .
  • 31. - 11 - Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Ternak ruminansia” adalah Ternak memamahbiak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “pasar modern” adalah suatu tempat bertemunya penjual dan pembeli dengan sistem modern. Pasal 44 Ayat (1) Huruf a Jenis Ternak misalnya ayam, itik, puyuh, sapi, kerbau, kambing, dan domba. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . .
  • 32. - 12 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5391