SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  61
10/31/12 02:59 AM
DAFTAR ISI

BAB 1   PENDAHULUAN
        1.1.   LATAR BELAKANG
        1.2.   POKOK PERMASALAHAN
        1.3.   TUJUAN PENELITIAN
        1.4.   DEFINISI OPERASIONAL
               1.4.1.Negara
               1.4.2.Demokrasi
               1.4.3.Partai Politik
               1.4.4.Konstitusi
               1.4.5.Teori Kedaulatan Rakyat
        1.5.   METODOLOGI PENELITIAN
        1.6.   KEGUNAAN TEORITIS PRAKTIS
        1.7.   SISTEMATIKA PENULISAN
DAFTAR ISI

BAB 2   TEORI DAN AZAS-AZAS
        2.1.   TEORI PENAFSIRAN
        2.2.   MATERI MUATAN KONSTITUSI
        2.3.   ASAS KEDAULATAN RAKYAT
        2.4.   TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
BAB 3   PENERAPAN ASAS KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGISIAN
        KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
        NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
        3.1.   KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945
        3.2.   HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU
        3.3.   HUBUNGAN PARTAI POLITIK DENGAN PEMILU
        3.4.   PENERAPAN ASAS KEDAULATAN RAKYAT DALAM
               PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR
DAFTAR ISI

BAB 4   MAKNA PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 MENJADI
        UU NO. 10 TAHUN 2008 BERKENAAN DENGAN PENGISIAN
        KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
        4.1.   SEJARAH SINGKAT PEMILU DAN HASIL PEMILU
               SEBELUM PEMILU TAHUN2004
        4.2.   FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN
               PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 MENJADI
               UU NO. 10 TAHUN 2008
        4.3.   TINJAUAN TERHADAP UU NO. 10 TAHUN 2008
               BERKENAAN PENGISIAN KEANGGOTAAN
               DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
               MENJAWAB FAKTOR-FAKTOR PENDORONG
               PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003
BAB 5   PENUTUP
LATAR BELAKANG

   Reformasi Tahun 1998 telah mendorong perubahan di Indonesia.
   Tidak luput juga telah terjadi perubahan sistem ketatanegaraan sebagai akibat telah
    dilakukannya 4 (empat) kali Amandemen UUD RI 1945.
   Salah satu poin terpenting adalah perubahan struktur kelembagaan Lembaga-Lembaga
    Negara maupun mekanisme pengisian Jabatan Lembaga-Lembaga Negara tersebut. Dalam
    hal ini, juga terjadi perubahan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
   Pasca 1998 telah diselenggarakan Pemilihan Umum sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun
    1999 dan 2004.
   Pasca tahun 1998, penyelenggaraan Pemilu -pun mempunyai dasar hukum yang berbeda-
    beda. Bahkan menjelang Pemilihan Umum Tahun 2009 juga telah terjadi penggantian dasar
    hukum penyelenggaraan Pemilu, dimana pada Pemilu Tahun 2004 adalah Undang-
    Undang No. 12 Tahun 2003, pada Pemlihan Umum Tahun 2009 ini adalah Undang-
    Undang No. 10 Tahun 2008.
POKOK PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah penerapan azas kedaulatan rakyat dalam
  pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat?
2. Apa sajakah faktor-faktor menyebabkan adanya penggantian
  Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang
  No. 10 Tahun 2008 dalam pengisian keanggotaan Dewan
  Perwakilan Rakyat?
3. Apakah makna penggantian Undang-Undang No. 12 Tahun
  2003 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 berkenaan
  dengan pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat?
10/31/12 02:59 AM
2.1. TEORI PENAFSIRAN

•Metode Penafsiran Gramatikal
Metode penafsiran gamatikal menekankan pada makna teks yang di
dalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian
bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna
teknis yuridis yang sudah dilazimkan. Metode penafsiran ini merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untu megetahui makna
ketentuan perundang-undangan dengan menguraikannya menurut bahasa,
susun kata atau bunyinya.
•Metode Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran menurut sistem yang ada dalam
rumusan hukum itu sendiri (systematische interpretatie). Penafsiran ini
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam naskah
hukum yang bersangkutan. Penafsiran sistematis juga dapat terjadi jika
naskah hukum yang satu dan naskah hukum yang lain, dimana keduanya
mengatur hal yang sama, dihubungkan dan diandingkan satu sama lain. Bila
yang ditafsirkan itu adalah pasal dari sesuatu undang-undang, maka
ketentuan-ketentuan yang sama, apalagi satu asas dalam peraturan lainnya
harus dijadikan acuan
2.1. TEORI PENAFSIRAN


•Metode Penafsiran Historis
Penafsiran historis mencakup dua pengertian: (i) penafsiran sejarah
perumusan undang-undang; dan (ii) penafsiran sejarah hukum.
Penafsiran yang pertama memfokuskan diri pada latar belakang sejarah
perumusan naskah, berbicara tentang bagaimana perdebatan yang terjadi
dan pendapat yang ada ketika perumusan naskah oleh karena itu yang
dibutuhkan adalah kajain mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan-
catatan pribadi peseta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik
dalam bentuk tulisan ilmiah maupun komentar tertulis yang pernah dibuat,
otobiografi yang bersangkutan, hasil wawancara yang dibuat oleh wartawan
dengan yang bersangkutan atau wawancara khusus yang sengaja dilakukan
untuk keperluan menelaah peristiwa yang bersangkuan. Penafsiran kedua,
mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa
lampau. Dalam pencarian makna tersebut juga kita merujuk pendapat-
pendapat pakar dari masa lampau, termasuk pula merujuk kepada norma-
norma hukum masa lalu yang masih relevan.
2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI

F. Lassalle memberikan dua pengertian konstitusi dalam bukunya Uber
Verfassungswesen sebagai berikut:
“Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip).
Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele
machtfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan
antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.
Kekuasaan tersebut diantaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups,
partai politik, dan lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi. Adapun
pengertian yuridis (yuridische begrip) dari konstitusi adalah suatu naskah
yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.”

Kamus Oxford Dictionary of Law, perkataan konstistusi diartikan sebagai
berikut:
“The rules and practices that determine the composititon and functions of the
organs of the central and local government in a state and regulate the
relationship between individual and the state.”
2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI



Pendapat Padmo Wahyono sebagaimana dalam bukunya
Negara Republik Indonesia menyatakan konstitusi adalah

“Tidak lain daripada seperangkat ketentuan mengenai tata
cara bernegara suatu bangsa.”

Materi muatan dari konstitusi selain yang fundamental bagi
struktur organisai negara, juga mengenai segala aspek
kehidupan bernegara rakyatnya (hukum, politik, ekonomi,
sosial-budaya, pertahanan, hubungan luar negeri dan lain-lain)
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

           Masa Yunani Kuno dan Romawi Kuno
 Abad IV Sebelum Masehi, Yunani; Polis State;
 demos : rakyat; cratein; pemerintahan rakyat
 Rakyat memilih sendiri siapa yang jadi pemimpinnya
 Dilakukan seperti demikian karena jumlah penduduk sedikit

 Romawi Kuno, pemerintahan berawal dengan bentuk kerajaan dengan didampingi
  badan perwakilan yang anggotanya kaum ningrat (patricia)
 Sisitem demokrasi mulai diterapkan ketika raja diusir dari tahtanya akibat
  pertentangan antara kaum Patricia dengan rakyat jelata (Plebeia)
 Terselesaikan dengan perundingan 12 meja,
 Pemerintahan dipegang oleh dua orang konsul bersama-sama dengan dewan
  pemerintahan---menjalankan undang-undang
 Pemerintahan diselenggarakan demokrasi, namun dalam keadaan darurat, kekuasaan
  dipusatkan pada satu tangan yang punya kekuasaan yang besar dan mutlak----
  diktator
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

   Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)
 Demokrasi lenyap tergantikan pandangan kedaulatan Tuhan
 Mula-mula dikatakan yang mewakili Tuhan di dunia ini (dan dalam negara) adalah
  Paus, ini adalah pendapat dari Agustinus (354 M – 430 M).
 Thomas Aquinas (1224 M – 1274 M) menyatakan bahwa kekuasaan Raja dan
  Paus adalah sama, Raja dalam lapangan keduniawian dan Paus dalam
  lapangan keagamaan
 Marsilius (1270 M – 1340 M) menitikberatkan kekuasaan itu ada pada negara atau
  Raja. Menurut Marsilius, Raja adalah wakil dari Tuhan untuk melaksanakan
  kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia
 Ajaran Marsilius inilah yang menimbulkan kekuasaan raja-raja yang bersifat
  absolut. Dan dengan diperkuat oleh ajaran Nicolo Machiavelli (1469 M – 1527 M)
  dengan bukunya yang terkenal Il Principe dengan ajaran Staats-raisonnya,
  menyatakan bahwa seorang raja haruslah seperti kancil dan singa sekaligus dan
  dapat tidak menepati janji jika negara hendak dirugikan Dengan pernyataan tentang
  kekuasaan raja, bahwa seorang raja harus menjadi seekor kancil dan singa sekaligus,
  seekor kancil agar dia tidak terjerat dalam jaring-jaring orang lain, dan singa agar
  dia tidak gentar mendengar raungan serigala, barulah dia dapat melakukan tugasnya
  dengan baik. Jikalau negara hendak dirugikan, raja tidak perlu menepati janjinya.
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

   Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)
 Jean Bodin (1530 M – 1596 M) dengan ajaran Staats Souvereinitet dalam bukunya yang
  berjudul Lex Six Livres de la Republique, yang diterbitkan tahun 1576. Pada awalnya, ajaran
  Jean Bodin ini hanya memberikan dasar-dasar yuridis terhadap kekuasaan absolut di bawah
  pemerintahan Raja Henry IV pada tahun 1589 M sampai 1610 M di Perancis. Jean Bodin
  menyatakan bahwa tujuan negara adalah kekuasaan, yang berarti bahwa negara merupakan
  perwujudan dari kekuasaan. Dan untuk memperkuat pendapatnya, ia lalu merumuskan
  tentang kedaulatan, yaitu kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan
  rakyatnya, tanpa adanya pembatasan apapun dari undang-undang. Dan dalam hal ini,
  raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi/kedaulatan menetapkan undang-undang, dan yang
  dimaksud dengan undang-undang adalah hukum positif, jadi bukan hukum Tuhan atau hukum
  alam. Jean Bodin tidak mempunyai kekuasaan di samping raja. Ia hanya dapat menerima bila
  badan perwakilan itu terdiri dari suatu kelas atau kasta dan yang hanya mempunyai kekuasaan
  untuk memberi nasihat kepada raja.
 Berakhir ketika munculnya Reformasi Gereja yang dipelopori oleh Luther, Melanchton,
  Zwingli dan Calvin.
 Calvin berpendapat bahwa Tuhan adalah yang berdaulat, yang mempunyai kekuasaan
  tertinggi. Raja memerintah atas kehendak Tuhan, dan sebagai wakil dari Tuhan. Jika raja
  dalam memerintah tidak mengindahkan perintah-perintah Tuhan, maka ia menjadi seorang
  tiran atau raja yang lalim. Ajaran Calvin ini pada hakekatnya menundukkan raja atau negara
  kepada kehandak Tuhan, atau menjadikan negara sebagai alat pelaksana kedaulatan Tuhan.
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

   Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)
 Golongan monarkomaken, dengan tokohnya antara lainL Hotman, Brutus,
  Buchanan, Johannes Althusius, Mariana, Bellarmin, Suarez, dan Milton. Johannes
  Althusius (1548 M – 1638 M) pelopor dari golongan monarkomaken, dengan
  ajarannya yang tidak lagi mendasarkan kekuasaan raja pada kehendak
  Tuhan, tetapi atas kehendak masyarakat/rakyat. Masyarakat terbentuk dari
  individu-individu. Kemudian masyarakat ini dengan jalan atau melalui
  perjanjian memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk memerintah dalam
  negara itu, orang inilah disebut dengan raja. Althusius berpendapat tentang
  kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan segala
  sesuatu yang menuju kepada kepentingan jasmani dan rohani dari anggota-
  anggota negara, kekuasaan itu ada pada rakyat sebagai kesatuan. Dan
  perwujudan dari kedaulatan adalah undang-undang, yang harus dijalankan oleh raja.
  Raja terikat atau terbatas kekuasaannya oleh undang-undang, kalau raja melanggar
  undang-undang, rakyat dapat menghentikannya atau membunuhnya.
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

                   Abad Ke-XVII dan Abad Ke-XVIII
 Kemudian pada abad ke-XVII dan ke-XVIII, dengan munculnya kembali teori tentang hukum alam
  yang menggali kembali ajaran Yunani Kuno dan Romawi Kuno
 Frederik Yang Agung (1712 – 1786) yang menentang ajaran Niccolo Machiavelli
 John Locke (1632 – 1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government, yang
  menyatakan tentang adanya hak-hak alamiah manusia (yaitu hak atas hidup, hak merdeka, dan hak
  atas milik) dan membatasi setiap kekuasaan apapun terhadap manusia harus dibatasi oleh hak-hak
  alamiah ini. Untuk menjamin terlindunginya hak-hak alamiah ini, lalu manusia mengadakan
  perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat dan selanjutnya negara. Dalam perjanjian
  masyarakat ini, individu menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi tidak
  semuanya. Masyarakat kemudian menunjuk seorang penguasa yang kemudian diberikan wewenang
  untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak alamiah tersebut. Dan dalam menjalankan
  kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh hak-hak alamiah tersebut.
 Thomas Hobbes (1588 – 1679) yang menyatakan kekuasaan penguasa itu bersifat mutlak. Pendapat
  tersebut dituangkan dalam dua buah bukunya yang berjudul De Cive dan Leviathan. Menurut
  Thomas Hobbes perjanjian masyarakat sifatnya langsung, artinya orang-orang uang
  menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan haknya atau
  kemerdekaannya kepada raja, jadi tidak melalui masyarakat, raja berada di luar perjanjian dan
  bukan merupakan pihak dalam perjanjian itu, dengan dmeikian raja tidak terikat oleh perjanjian,
  dan mempunyai kekuasaan yang absolut. Perjanjian itu sendiri terjadi karena adanya rada takut
  yang ada pada tiap-tiap manusia.
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

                   Abad Ke-XVII dan Abad Ke-XVIII
 Tokoh kedaulatan rakyat yang muncul dan berpengaruh pada abad XVII dan XVIII adalah Jean
  Jacquest Rousseau (1712 – 1778). Ajaran Rousseau ini menentang teori kedaulatan raja, pada saat
  itu keadaan di Perancis dikuasai oleh raja yang absolut. Teori Rousseau ini ingin mengubah sistem
  pemerintahan yang absolut itu, seperti itu halnya dengan teori Montesquieu (1688 – 1755) tentang
  Trias Politica. Menurut pandangan Rousseau tentang kedaulatan rakyat adalah bahwa raja berkuasa
  hanya sebagai wakil dari rakyat, dan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat. Setiap waktu
  raja dapat digeser kekuasaannya apabila tidak melaksanakan kemauan rakyat atau kemauan umum
  (volonte generale). Menurut Rousseau pula negara didirikan untuk menjamin kebebasan
  individu yang satu agar tidak melangar individu yang lain. Dalam keadaan alamiahnya
  (status naturalis), orang/individu memiliki kebebasan penuhnya dan menyerahkan
  kebebasan penuhnya kepada rakyat secara keseluruhan (terjadi kontrak sosial), setelah
  kontrak sosial rakyat menerima hak-hak sipilnya (civil right).
 Immanuel Kant (1724 – 1804) menyatakan bahwa perjanjian masyarakat itu tidak pernah
  terjadi dan tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa sejarah. Perjanjian masyarakat
  itu tidak pernah terjadi dan tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa sejarah. Perjanjian
  masyarakat sesungguhnya adalah konstruksi yuridis yang dapat mempermudah orang dalam
  menerangkan bagaimana negara itu terjadi, bagaimana negara itu ada, bagaimana kekuasaan dalam
  negara, dan ada pada siapa kekuasaan itu, serta bagaimana sifatnya negara adalah suatu keharusan
  adanya, karena negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum.
  Negara harus menjamin setiap warga negara bebas dalam lingkungan hukum. Segala perbuatan
  meskipun bebas harus sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang, harus menurut
  kemauan rakyat, karena undang-undang merupakan penjelmaan daripada kemauan umum.
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

                   Abad Ke-XIX Sampai Saat Ini

 Pada abad ke-XIX ini telah mulai terbentuk partai-partai politik dan dianggap perlu
  untuk dapat bekerjanya badan-badan perwakilan yang mencerminkan kemauan
  rakyat yang sesungguhnya, atau representatif dari rakyat. Dan dengan keadaan
  tersebut berkembanglah demokrasi modern, hingga saat ini
 Asas kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan pemerintah bersumber pada
  kehendak rakyat. Prinsip dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip
  demokrasi. Arti harafiah dari demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, adalah
  mungkin juga suatu yang paling dasar dan paling luas didefinisikan. Perubahan yang
  utama bahwa penting ketika kita berbicara tentang demokrasi pada lebel nasional
  dalam negara-nation berskala besar modern adalah bahwa tindakan-tindakan
  pemerintah biasanya tidak diselenggarakan secara langsung oleh warga negara tetapi
  secara tidak langsung melalui perwakilan yang mereka pilih secara bebas dan
  berdasarkan kesamaan.
 Abraham Lincoln, adalah pemerintah untuk rakyat – bahwa demokrasi
  sesuai dengan pilihan rakyat
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT

                   Abad Ke-XIX Sampai Saat Ini


Robert Dahl menunjukkan, demokrasi responsif yang layak dapat terjadi ada hanya
jika paling sedikitnya terdapat jaminan terhadap delapan institusi:
1.Kebebasan untuk membuat dan bergabung dalam organisasi;
2.Kebebasan untuk berekspresi;
3.Hak untuk memilih;
4.Sifat memenuhi syarat untuk jawabat pemerintahann;
5.Hak terhadap pemimpin-pemimpin politik untuk bersaing untuk pendukung dan
suara;
6.Sumber-sumber alternatif terhadap informasi;
7.Pemilihan umum yang bebas dan jujur;
8.Institusi-institusi untuk pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tergantung
pada suara pemilih dan pernyataan-pernyataan pilihan yang lain
2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA

Penjelasan Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum,
yang masih terus berlaku sampai Pemilu 1997, disebutkan bahwa tujuan
pemilihan umum adalah:
“Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita
Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana
tersebut dalam Pancasila/Undang-Undang Dasar 1945, maka penyusunan tata
kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan Pemilihan Umum. Dengan demikian,
diadakan pemilihan umum tidak sekadar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam
lembaga permusyawaratan/perwakilan, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk
menyusun negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang
membawa isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan, mempertahankan, dan
mengembangkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada
Proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengembang Amanat Penderitaan
Rakyat. Pemilihan umum adalah suatu alat yang penggunaannya tidak boleh
mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan menimbulkan hal-hal yang
menderitakan rakyat, tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu
tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankan Undang-Undang Dasar 1945.”
2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA

Asas Pemilihan Umum di Indonesia seperti yang tercantum dalam Penjelasan UU No.
15 Tahun 1969, dirumuskan sebagai berikut:
1. Umum
Ialah bahwa pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan dalam usia, yaitu telah berusia
17 tahun atau telah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilihan, dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih.
Jadi pemilihan bersifat umum berarti pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap/semua warga negara;
menurut persyaratan asasi (basic) tertentu, seperti tersebut di atas. Persyaratan lain-lain, yang teknis atau
politis, tidaklah dihubungkan dengan adanya pemilihan, tetapi semata-mata dihubungkan dengan praktik
pelaksanaannya dan tujuan pemilihan serta fungsi badan/lembaga yang disusun.
2. Langsung
Ialah rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya
tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
4. Bebas
Ialah bahwa tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya
untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaru, tekanan atau paksaan dari
siapapun/dengan apapun.
5. Rahasia
Ialah bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan
apapun siapa yang dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui
orang lain kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).”
2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA



Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1999, disebutkan:

1)Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
2)Pemilihan Umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil
dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas,
dan rahasia.
3)Pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari
yang diliburkan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4)Pemilihan umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional
berdasarkan stelsel daftar.
2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Asas Pemilihan Umum 1999 sangat berbeda, penjelasan UU No. 3 Tahun 1999 disebutkan
bahwa pengertian Asas Pemilihan Umum yaitu:
1. Jujur
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, Penyelenggaraan Pelaksana, Pemerintah dan Partai Politik Peserta Pemilihan
Umum, Pengawas dan Pemantau Pemilihan Umum, termasuk Pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung,
harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
2. Adil
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum setiap pemilihan dan partai politik peserta Pemilihan Umum mendapat perlakuan
yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
4. Langsung
Rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
5. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyarata minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
telah pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun berhak
dipilih. Jadi jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa
diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.
6. Bebas
Setiap warga negara berhak memilih, bebas menentukan pemilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam
melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan
kepentingannya.
7. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suara diberikan. Asas
Rahasia ini tidak berlaku bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan
pilihan kepada pihak manapun.
2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Pemilihan Umum secara eksplisit diatur di dalam Bab VII B Pasal 22E
UUD 1945 Perubahan ke-III, yaitu sebagai berikut:

1)Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
2)Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
3)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rkayat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik.
4)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
5)Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6)Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.
2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA




Tujuan Pemilihan Umum dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD adalah:

Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil
rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan
yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10/31/12 02:59 AM
3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945
•Bagian Pembukaan
Bagian pembukaan UUD RI 1945 merupakan bagian yang berisi latar belakang
terbentuknya UUD RI 1945 yang disusun secara komprehensif dan
menyeluruh. Muatan yang terkandung dalam bagian tersebut mencakup aspek
historis, sosiologis, filsofis dan juga yuridis. Dengan muatan tersebut di atas
maka dapat ditemukan pula bentuk kedaulatan yang dikehendaki oleh UUD RI
1945. Adapun dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD RI 1945 yang berbunyi
sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratn/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945
•Bagian Batang Tubuh
Berdasarkan Pembukaan UUD RI 1945 di atas bentuk kedaulatan yang
dipilih oleh Indonesia adalah kedaulatan rakyat, demikian pula
dipertegas pada bagian Batang Tubuh UUD RI 1945. Adapun pasal 1
ayat (2) UUD RI 1945, yang mempertegas bahwa Indonesia menganut
kedaulatan rakyat, berbunyi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
Konstruksi pemikiran dari pasal tersebut di atas ialah walaupun
kedaulatan/ kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, namun
pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini
bukan berarti pemegang kedaulatan adalah Undang-Undang Dasar,
melainkan Undang-Undang Dasar ini yang menjadi satu-satunya
sumber acuan formil dan materil penyelenggaraan negara dalam hal
ini perwujudan dan/ atau penerapan kedaulatan rakyat di Indonesia
demi sebuah kepastian hukum.
3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU

• Kedaulatan rakyat Indonesia dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
  Dasar, yang kemudian kedaulatan tersebut diselenggarakan oleh lembaga-
  lembaga atau organ-organ negara, berdasarkan perannya masing-masing,
  melalui perwakilan-perwakilannya. Penempatan wakil-wakil rakyat tersebut
  dilakukan melalui sebuah mekanisme pengisian jabatan lembaga-lembaga
  negara, dimana pengisian jabatan tesebut tidak dilakuakan secara carut marut
  melainkan dengan sebuah sistem yang teratur.
• Cara pengisian jabatan publik ini tidak dapat lepas dari sistem demokrasi
  yang dianut dalam sebuah negara. Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
  mengemukakan dalam kedaulatan rakyat, bahwa rakyatlah yang dianggap
  sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
• Mekanisme atau cara rakyat menentukan dan/ atau memilih para wakil
  rakyatnya itu dikenal dengan sebutan pemilihan umum (general election).
  Dengan demikian, pemilihan umum tidak lain adalah cara yang
  diselenggarakan untuk memilih para wakil rakyatnya secara demokratis.
  Pemilihan umum itu harus menjamin kebebasan rakyat dalam menyatakan
  pilihan sesuai dengan kesadaran hati nuraninya.
3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU




• Dengan demikian dapat dipahami hubungan antara
  kedaulatan rakyat dengan pemilihan umum adalah
  bahwa pemilihan umum merupakan cara untuk
  penyelenggaraan atau bagaimana kedaulatan rakyat
  itu dijalankan, pemilihan umum ini dimaksudkan dan
  tidak lain untuk memilih dan pengisian jabatan para
  wakil rakyat yang dapat merepresentasikan aspirasi
  rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat
3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU

• Duverger mendefinisikan sebagai grup terorganisir yang mencari
  kekuasaan politik, baik lewat pemilihan umum yang demokratis maupun
  lewat revolusi.
• .Sven Quenter mendefinisikan partai adalah organisasi yang menurunkan
  kandidatnya untuk merebut kursi parlemen nasional satu negara lewat
  pemilu.
• Alan Ware mendefinisikan partai sebagai satu institusi yang mencari
  pengaruh dalam satu negara, kerap dengan usaha merebut posisi dalam
  pemerintahan
• Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seazas, sehaluan, dan
  setujuan (terutama di bidang politik)
• Partai politik tidak hanya sekedar asal kumpul, namun lebih dari itu, partai
  adalah perkumpulan orang-orang yang seazas, sepaham dalam pandangan
  politik, yang dalam kehidupan politik berikhtiar unutk menghembuskan
  dan memenangkan pandangannya, serta menelurkan pandangan ini ke
  dalam program. Partai bertujuan pula untuk mengambil alih tanggung
  jawab kekuasaan.
3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU
•Schimitter (1999) menyebut partai politik berfungsi sebagai
      Electoral structurization (menstrukturisasi pemilihan umum)
      Symbolic integration (integrasi simbolis)
      Governing function (fungsi memerintah)
      Aggregative function (fungsi penggabung)
•Morlino (1995) menyebutkan fungsi-fungsi partai politik yaitu
Menarik dukungan massa pada pemilihan umum
Rekruitmen untuk menduduki pos-pos jabatan penting di pemerintahan nasional parlemen dan pemerintahan
lokal
Formulasi pilihan politik alternatif bagi publik
Dalam tingkatan elit sebagai penghubung dengan birokrasi, militer dan yudikatif
Sabuk pengaman transmisi bagi tuntutan-tuntutan sosial
Delegasi atau wakil dari masyarakat sipil atau civil society atau kerap disebut dengan masyarakat madani
•Abdul Bari Azed dan Makmur Amir dalam bukunya Pemilu dan Partai Politik di
Indonesia memberikan fungsi partai politik sebagai berikut:
    Sosialisasi politik
    Partisipasi politik
    Rekruitmen politik
    Komunikasi politik
    Artikulasi kepentingan
    Agregasi kepentingan
    Pembuat kebijaksanaan
3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU

•Dengan melihat definisi dan fungsi dari partai politik, maka
jelaslah bahwa partai politik dan pemilihan umum memiliki
hubungan yang hampir tidak dapat terpisahkan. Secara
historispun partai politik merupakan perkembangan dari
demokrasi langsung menjadi demokrasi perwakilan dimana
partai merupakan tempat ata sarana penampung dan alat
perjangan keterwakilan aspirasi politik. Dalam hal ini partai
politik merupakan peserta dalam pemilihan umum, sebagai
alat dan/ atau kendaraan yang berperan menampung
aspirasi politik dan kepentingannya yang kemudian
memperjuangkannya dalam pemilihan umum demi
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh partai
politik tersebut
3.4. PENERAPAN DALAM PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR

• Republik Indonesia dalam UUD RI 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan diri bahwa
  keukasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat (menganut kedaulatan rakyat
  dimana dalam penyelenggaraan kedaulatan rajyat ini dilakukan sepenuhnya berdasarkan
  berdasarkan UUD RI 1945. Berdasarkan UUD RI, dalam penyelenggaraan kekuasaan negara
  dilakukanlah separation of power, sehingga terdapat beberapa lembaga negara dengan tugas
  dan wewenangnya masing-masing. Salah satu lembaga negara penyelenggara kedaulatan
  rakyat menurut UUD RI 1945 adalah Dewan Perwakilan Rakyat.
• Prinsip dari kedaulatan rakyat yang mengkehendaki pemerintahan dari, oleh dan untuk
  rakyat, hal ini berakibat pada pengisian pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat-
  pun harus mencerminkan suatu keadaan (civil supremacy) rakyat yang berdaulat. Maka,
  dalam hal ini pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat haruslah dapat
  mempresentasikan kehendak rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut di atas, diperlukanlah
  dan/atau disusunlah sebuah mekanisme mengenai pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan
  Rakyat. UUD RI 1945 menjawab mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan
  Rakyat melalui sebuah mekanisme yang disebut pemilihan umum. Dimana peserta dalam
  pemilihan umum ini adalah partai politik, sebagimana dimaksud dalam UUD RI 1945.
  Sebagaimana diketahui pada subbab di atas, mengenai fungsi partai politik, parati politik
  berperan besar dalam menampung aspirasi politik rakyat dan memperjuangkannya guna
  mewujudkan kedaulatan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat dimana partai politik
  tersebut harus melalui mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat,
  pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat
10/31/12 02:59 AM
• Pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana
  dimaksud dalam UUD RI 1945 Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi:
“Anggota Dewan Perwakian Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.”
• Kemudian pada Pasal 22 E ayat (2) UUD RI 1945 kembali dituliskan
  tujuan dari pemilu yaitu:
“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
  Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
  Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
• Adapun peserta dalam pemilhan umum untuk memilih anggota
  Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Pasal 22 E ayat (3) UUD RI
  1945 yaitu:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
  Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
4.2. FAKTOR-FAKTOR…


• Sistem Pemilu
     Sistem Pemilu 2004 hampir sama dengan sistem Pemilu 1999. Sistem kepartaian masih sama, yaitu
      sistem banyak partai, tetapi dibatasi dengan apa yang disebut electoral threshold. Hanya partai yang
      berhasil memperoleh persentase hasil pemilu tertentu yang dapat ikut di parlemen. Sistem pemilu
      yang dipakai pada Pemilu 2004 adalah sistem proporsional, tetapi dengan sistem daftar terbuka, di
      mana rakyat diberikan keleluasaan untuk mencoblos partai sekaligus calon-calonnya, dengan daftar
      nama yang disertakan dalam surat suara.
     Pasal 107 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2003, penetapan calon yang tidak mencukup bilangan pembagi
      pemilihan (BPP) akan dilakukan sesuai “urut kacang” oleh partai politik yang bersangkutan,
      pengaturan ini sedikit banyak mengurangi makna dari sistem proporsional dengan daftar terbuka.
      Partai politik masih sangat dominan dalam proses penentuan calon terpilih
• Penerapan sistem pemilihan umum tersebut, dianggap kurang mencerminkan
  dan/atau melaksanakan kedaulatan rakyat. Salah satunya adalah peran partai politik
  yang masih terlalu besar dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak menjadi
  anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pada perkembangannya, pasca pemilihan
  umum tahun 2004, wacana mengenai mekanisme penghitungan suara untuk
  menetapkan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dengan mekanisme suara
  terbanyak (majoritarian vote) sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran mengenai
  sistem pemilihan umum tahun 2009 yang mendorong harus dibentuknya undang-
  undang tentang pemilihan umum yang baru.
4.2. FAKTOR-FAKTOR…

• Kegagalan dalam Pemenuhan Ketentuan Mengenai Keterwakilan
  Perempuan Minimal 30% (tiga puluh perseratus)
   Pasal 65 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 yang berbunyi:
   “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
     DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, untuk setiap daerah pemilihan
     dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
   apabila pasal ini ditafsirkan lebih lanjut, kata “dapat” dalam pasal ini masih
     mengandung multi tafsir, dalam hal ini keterwakilan perempuan bukan
     imperatif, melainkan fakultatif, sehingga perumusan ini tidak diberi sanksi
     terhadap partai politik yang tidak memenuhi kuota tersebut. Bahkan berkaitan
     dengan urutan nama calon dalam daftar calon anggota DPR pun tidak diatur
     lebih lanjut mengenai kuota keterwakilan perempuan. Menurut beberapa
     pengamat politik, bukan tidak mungkin pengurutan caleg perempuan akan
     disimpan pada urutan di bawah, sehingga caleg pria lebih diutamakan oleh
     partai tersebut
   Pemilu 2004, dari 24 partai politik peserta Pemilu 2004 tidak melaksanakan
     affirmative action sebagai mana amanat UU No. 12 Tahun 2003.
4.2. FAKTOR-FAKTOR…

• Kegagalan dalam Pemenuhan Ketentuan Mengenai Keterwakilan
  Perempuan Minimal 30% (tiga puluh perseratus)

   8 partai politik yang tidak memenuhi kuota perempuan. Ironisnya, partai
    politik tersebut didominasi oleh partai politik pendulang suara terbesar
    Pemilu 1999. Di antaranya adalah Partai Golkar sebanyak 28,3%, Partai
    Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 28,3%, Partai Persatuan
    Pembangunan sebanyak 22,3%, serta Partai Bulan Bintang sebanyak
    23,8%. Dari ke-24 partai politik tersebut hanya Partai Keadian Sejahtera
    yang terbanyak melakukan penyebaran kuota perempuan 30%, yaitu di
    65 dari 69 daerah pemilihan. Sedangkan Partai Golkar justru merupakan
    partai yang paling kecil melakukan penyebaran kuota perempuan 30%,
    yaitu 24 dari 69 daerah pemilihan.
   Dengan demikian, pasal ini, walaupun berangkat dari niat politik yang
    memperjuangkan perempuan dengan affirmative action, tetapi tidak
    tegas terhadap pemecahan permasalahan kuota perempuan 30% pada
    praktiknya
4.2. FAKTOR-FAKTOR…

• Kegagalan Transparansi Mengenai Pendanaan dan
  Laporan Penggunaan Dana Kampanye
                                       Pasal 79
1) Seluruh laporan dana kampanye peserta Pemilu, baik penerimaan maupun
   pengeluaran, wajib diserahkan kepada akuntan publik terdaftar selambat-lambatnya
   60 (enam puluh) hari sesudah hari pemungutan suara.
2) Akuntan publik terdaftar wajib menyelesaikan audit selambat-lambatnya 30 (tiga
   puluh) hari sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada KPU dan
   peserta Pemilu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah selesainya audit.

Pada prinsipnya, pengaturan mengenai adanya pendanaan kampanye bertujuan agar
  terjadinya transparansi mengenai sumber pendanaan kampanye dan laporan
  penggunaan dana kampanye. Namun sangat disayangkan pengatran ini menjadi
  sekedar sebuah himbauan bagi peserta pemilu, karena sifatnya yang tidak imperatif
  dan tidak disertai sanksi apabila tidak dipenuhi oleh peserta pemilu
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…


• Keterwakilan Perempuan
Pasal 53 UU No.10 Tahun 2008
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 memuat
  paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”
Pasal 55 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang berbunyi:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
  setiap 3(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu)
  orang perempuan bakal calon.
Pasal 57 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2008 sebagai berikut:
“KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
  dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan
  verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30%
  (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…


• Keterwakilan Perempuan
Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang berbunyi:
1) “Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon
   sebagaimana diatur dalam pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU Provinsi, dan KPU
   kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon
   anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada partai politik
   peserta pemilu.
2) Dalam hal daftar calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
   perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
   memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal
   calon tersebut.”
Dengan demikian, adanya pengaturan kuota keterwakilan perempuan minimal 30%
   yang bersifat imperatif dan merupakan affirmative action tersebut dalam syarat
   verifikasi, apabila partai politik yang tidak memenuhi aturan akan tidak dapat
   menjadi peserta dalam pemilihan umum anggota DPR karena akan dieliminasi oleh
   KPU. Dalam hal ini muculah sebuah harapan yang besar bahwa kaum perempuan
   akan lebih terwakili aspirasinya dalam DPR.
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…

• Pendanaan Kampanye
Pasal 129 ayat (6) dan (7) yang berbunyi:
(6).      Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam
   pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari
   pembukuan keuangan partai politik.
(7).      Pembukuan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3
   (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup satu minggu
   sebe;um penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor
   akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Pasal 134 Ayat (1) dan Pasal 135 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 yang berbunyi:
Pasal 134
(1).      Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan laporan awal
   dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi,
   dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal
   pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.
Pasal 135
(1).      Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan dan
   pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama
   15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…


• Pendanaan Kampanye
Diperkuat sanksi menurut dalam pasal 138 Ayat (1) dan (3) yang berbunyi
   demikian:
(1).     Dalam hal pengurus partai poitik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat
   provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal
   dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
   sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 ayat (1),
   partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai
   Peserta Pemilu pada wilayah yang besangkutan.
(3).     Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat
   provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan
   penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik
   yang ditunjuk KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal
   135 ayat (1), partai politik yang bersankutan dikenai sanksi berupa tidak
   ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
   kabupaten/kota menjadi calon terpilih.
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…


•Sistem Pemilu dan Penetapan Perolehan
 Kursi DPR
Sistem pemilihan umum menurut UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1) adalah:
(1).      Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
 dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka
Pada UU No. 10 Tahun 2008 ini mepergunakan sebuah sistem penentuan perolehan kursi yang
 lain dengan UU No. 12 Tahun 2003. Hal itu ditunjukkan dengan sebuah terobosan baru dengan
 penentuan parliementary threshold sebesar 2,5% (dua koma lima perseratus), sebagaimana
 dimaksud dalam Pasal 202 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008:
(1).      Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-
 kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk
 diikutkan dalam penentuan kursi DPR.
Partai politik yang tidak dapat memenuhi ketentuan di atas maka tidak akan diikutsertakan
 dalam pada perhitungan perolehan kursi DPR di wilayah daerah pemilihannya, sebagaimana
 dimaksud Pasal 203 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 yang bunyinya:
(1).      Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan
 perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…

•Sistem Pemilu dan Penetapan Perolehan Kursi DPR
(perdebatan mengenai parliamentary threshold)
Fraksi Partai Amanat Nasional bernama Andi Yuliani Paris:
“Pembahasan atas berbagai materi krusial Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu)
  masih terus berlanjut. Salah satu masalah krusial yang hingga kini masih diperdebatkan, yakni
  ‘parliamentary threshold’ (PT). Sebab, kendati 10 fraksi di DPR RI sepakat adanya PT, namun masih ada
  banyak hal yang perlu dibahas”
 Pro terhadap adanya parliamentary threshold adalah Eko Prasojo, dengan menyatakan harapannya sebagai
  berikut:
“ia mengharapkan adanya pembatasan parpol melalui parliamentary threshold sebesar 3 persen bukan
  electoral threshold. Karena dengan parliamentary threshold bisa mengurangi jumlah parpol di parlemen
  yang bisa menciptakan kestabilan dalam bidang politik.”
 Makmur Amir, pengajar di Universitas Indonesia mengungkapkan:
“parliamentary threshold ini lebih ditujukan agar terwujudnya kestabilan politik. Secara prinsipil suara yang
  hilang karena tidak lolos parliamentary threshold, bukan berarti memasung hak berdemokrasi, tetapi suara
  itu tidak hilang karena kursi yang ada tetap dibagikan pada partai politik yang lolos parliamentary
  threshold dengan demikian demokrasipun tetap terlaksana.”
Sedangkan di satu sisi ada pihak yang bertentangan terhadap adanya parliamentary threshold, seperti
  dinyatakan Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta sebagai berikut:
"Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold/ batas minimum perolehan suara) menggambarkan
  ketidakadilan sistem politik, Parliamentary threshold adalah mekanisme untuk memasung hak
  berdemokrasi sehingga dikhawatirkan rakyat akan marah jika suaranya dihilangkan.
4.3.4. PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR…
Simulasi Penghitungan Parliamentary
                                             No   Nama Parpol       Perolehan Suara             2,5%(YA/TIDAK)

                                             1    Partai Golkar           24.480.757 (21.57%)
                                                                                                     YA
Threshold   dengan     Data   Hasil          2    PDI-P                   21.026.629 (18.53%)
                                                                                                     YA

Perolehan Suara Pemilu 2004                  3    PKB                     11.989.564 (10,57%)
                                                                                                     YA
                                             4    PPP                       9.248.764 (9,15%)
                                                                                                     YA
                                             5    Partai Demokrat           8.455.255 (7,45%)
Bila parliamentary threshold ini dilakukan                                                           YA

simulasi pada hasil perolehan suara          6    PKS                       8.325.020 (7,34%)
                                                                                                     YA

dalam pemilu tahun 2004, maka hanya          7    PAN                       7.303.324 (6.44%)
                                                                                                     YA


ada 8 (delapan) partai politik yang lolos    8    PBB                       2.970.487 (2,62%)
                                                                                                     YA
                                             9    PBR                       2.764.998 (2,44%)
dari parliamentry threshold,
                                                                                                    TIDAK
                                             10   PDS                       2.414.254 (2,13%)
                                                                                                    TIDAK
                                             11   PKPB                      2.399.290 (2,11%)
                                                                                                    TIDAK
                                             12   PKPI                      1.424.240 (1,26%)
                                                                                                    TIDAK
                                             13   PPDK                      1.313.654 (1,16%)
                                                                                                    TIDAK
                                             14   PNBK                      1.230.450 (1,08%)
                                                                                                    TIDAK
                                             15   Partai PP                 1.073.139 (0,95%)
                                                                                                    TIDAK
                                             16   PNI Marhaenis               929.159 (0,81%)
                                                                                                    TIDAK
                                             17   PPNUI                       895.610 (0,79%)
                                                                                                    TIDAK
                                             18   Partai Pelopor              878.932 (0,77%)
                                                                                                    TIDAK
                                             19   Partai PDI                  855.811 (0,75%)
                                                                                                    TIDAK
                                             20   Partai Merdeka              842.541 (0,74%)
                                                                                                    TIDAK

                                             21   PSI                         679.296 (0,60%)
                                                                                                    TIDAK
                                             22   Partai PIB                  672.957 (0,59%)
                                                                                                    TIDAK
                                             23   PPD                         657.916 (0,58%)
                                                                                                    TIDAK
                                             24   PBSD                        636.397 (0,56%)
                                                                                                    TIDAK
                                                         Total            113.462.414 (100%)                550 (100%)
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…


Selanjutnya memasuki tahapan penghitungan Bilangan Pembagi
Pemilihan (BPP) dimana aturan penghitungannya menurut Pasal 203
ayat (2) dan (3) UU 10 Tahun 2008 yang berbunyi demikian:
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah
pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu
dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 ayat (1).
(3)Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah
pemilihan, ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah
suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…


Pasal 203 ayat (2) dan (3) UU 10 Tahun 2008 yang berbunyi demikian:
(2)     Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah
pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu
dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 ayat (1).
(3)     Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah
pemilihan, ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah
suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…

Apabila aturan di atas disimulasikan dengan sebuah contoh (i),
penghitungannya sebagai berikut: ada 12 (dua belas) kursi yang
diperebutkan pada daerah pemilihan B. Adapun partai politik yang lolos
ambang batas perolehan suara adalah partai Q,W,E,R,T dan Y
sedangkan partai U dan I tidak lolos. Perolehan suara partai Q sebesar
38.098 suara, partai W sebesar 10.243 suara, partai E 98.790 sebesar
suara, partai R sebesar 75.469 suara, partai T sebesar 12.341 suara,
partai Y sebesar 52.349 suara, partai U sebesar 67.890 suara dan I
sebesar 1.213 suara. Walaupun partai U pada daerah pemilihan B ini
memiliki suara yang besar, namun secara nasional tidak mencapai
parliamentary threshlod maka tidak akan diperhitungakan dalam
perhitungan BPP, demikian pula dengan partai I. adapun perhitungan
matematisnya:
                BPP = 12 : ((Q+W+E+R+T+Y+U+I)-(U+I))
                            BPP = 12 : 287.290
                             BPP = 1 : 23.940
Pengertian dari BPP ini adalah dalam daerah pemilihan B, satu kursi
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Pada Pasal 204 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan bahwa perolehan kursi partai politik untuk
anggota DPR ditetapkan oleh KPU. Penentuan tersebut dilakukan dengan aturan yang telah termuat dalam
Pasal 205, 206, 207, 208, 209, 210, 213 ayat (1), dan 214 UU No. 10 Tahun 2008, yang selengkapnya
sebagai berikut ini:
Pasal 205
1)Penentuan perolehan jumlah kursianggota DPR partai politik peserta pemilu didasarkan atas hasil pnghitungan
seluruh suara sah dari setiap partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan pasal 202 di daerah pemilihan
yang bersangkutan.
2)Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR.
3)Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakauakn penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagai
jumlah suara sah yang diperoleh suatu partai politik peserta pemilu disuatu daerah pemilihana dengan BPP DPR.
4)Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara
membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.
5)Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan
perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di propvinsi
untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
6)BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan
membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi
7)Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan
cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…

                                   Pasal 206
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang
  baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan kursi partai politik
peserta pemilu dilakuakan dengan cara membagikan sisa kursi ada partai politik
peserta pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi
                habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.
                                   Pasal 207
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimanan dimaksud
 dalam pasal 206 dan sisa suara partai politik peserta pemilu sudah terkonversi
    menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki
   akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang
                                 bersangkutan.
                                   Pasal 208
 Penetapan perolehan kursi partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 205 ayat (7) dan pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang
                           masih memiliki sisa kursi.
                                   Pasal 209
   Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara
                 dilakukan habis di daerah pemilihan tersebut.
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…

             Pasal 214
             Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi
             dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta
             pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik
             peserta pemilu disuatu daerah pemilihan, dengan
             ketentuan:
             a.calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
             Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang
             memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga
             puluh perseratus) dari BPP;
             b.dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a
             jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang
             diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi
             diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut
             lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan
             sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari
             BPP;
             c.dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang
             memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara
             yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan
             kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di
             antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…

Namun ada beberapa bagian dari cara penghitungan tersebut yang sudah tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai dampak dari putusan
Mahkamah Konstitusi yaitu PUTUSAN NOMOR 22-24/PUU-VI/2008. Adapun
amar putusan tersebut yaitu:
•Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
•Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
Walaupun terdapat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi
menyatakan tidak adnya kekosongan hukum dikarenakan di satu sisi dalam
pertemuan dengan pihak yang merupakan penyelenggara pemilu, KPU,
menyatakan kesiapan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…


Secara umum memang Keptutusan Mahkamah Konstitusi ini tidak akan
mempengaruhi secara besar penyelanggaraan pemilihan umum. Namun
ternyata hadir permasalahan hukum krusial yang harus dapat kembali
dijawab yaitu mengenai kuota minimal 30% sebagai kebijakan politik
affirmative action yang telah diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal
ini disebabkan, dengan penentuan suara terbanyak, maka posisi
pengurutan nomor urut calon anggota perempuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang diharapkan
adanya dampak positif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan
menjadi tidak berarti. Kondisi tersebut senada dengan pendapat Masruach,
Sekeretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia yang mengatakan:
“sistem BPP 30 persen sejatinya telah menunjukkan adanya sistem
proporsional terbuka terbatas. Ditambah dengan sistem zipper yang
mewajibkan nama perempuan setidaknya dalam tiga daftar nama caleg,
kesempatan bagi perempuan relatif lebih terbuka dibandingkan saat Pemilu
2004
10/31/12 02:59 AM
Simpulan

          Penerapan asas kedaultan rakyat dalam pengisian keanggotaan Dewan
Perwakilan Rakyat yaitu Republik Indonesia dalam UUD RI 1945 dalam Pasal 1 ayat (2)
menyatakan diri bahwa keukasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat (menganut
kedaulatan rakyat dimana dalam penyelenggaraan kedaulatan rajyat ini dilakukan sepenuhnya
berdasarkan berdasarkan UUD RI 1945. Berdasarkan UUD RI, dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara dilakukanlah separation of power, sehingga terdapat beberapa lembaga negara
dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Salah satu lembaga negara penyelenggara
kedaulatan rakyat menurut UUD RI 1945 adalah Dewan Perwakilan Rakyat.
          Prinsip dari kedaulatan rakyat yang mengkehendaki pemerintahan dari, oleh dan untuk
rakyat, hal ini berakibat pada pengisian pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat-pun
harus mencerminkan suatu keadaan (civil supremacy) rakyat yang berdaulat. Maka, dalam hal
ini pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat haruslah dapat mempresentasikan
kehendak rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut di atas, diperlukanlah dan/atau disusunlah
sebuah mekanisme mengenai pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat. UUD RI 1945
menjawab mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat melalui sebuah
mekanisme yang disebut pemilihan umum. Dimana peserta dalam pemilihan umum ini adalah
partai politik, sebagimana dimaksud dalam UUD RI 1945. Sebagaimana diketahui pada subbab
di atas, mengenai fungsi partai politik, parati politik berperan besar dalam menampung aspirasi
politik rakyat dan memperjuangkannya guna mewujudkan kedaulatan rakyat melalui Dewan
Perwakilan Rakyat dimana partai politik tersebut harus melalui mekanisme pengisian
keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Simpulan

         Faktor-faktor yang menyebabkan penggantian Undang-Undang No. 12
Tahun 2003 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 adalah gagalnya
affirmative action bagi kaum perempuan dalam pemenuhan keterwakilan kuota
minimal 30% (tiga puluh perseratus), ketentuan mengenai pendanaan dan pelaporan
dana kampenye yangdiamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2003 tidak berjalan dengan
baik dalam pemilu 2004 karena sifat dari keteantuan tersebut tidak imperatif (tidak
memuat sanksi apabila ketentuan tidak dijalankan oleh peserta pemilu) dan sistem
pemilu yang dirasakan oleh para elite politik maupun kalangan masyarakat pada
umumnya, kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia.
         Adapun makna dari penggantian Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 berkenaan dengan
pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk melakukan
pengawalan dan pengaturan terhadap pemenuhan keterwakilan perempuan sebesar
30% (tiga puluh perseratus) dalam calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
terwujudnya transparansi pendanaan kampanye dan terwujudnya keadaan politik
kenegaraan yang relatif stabil pasca pemilian umum tahun 2009 dengan perbaikan
sistem pemilihan umum dimana terdapat aturan partai politik peserta pemilihan umum
yang mendapat bagian dalam penetapan perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat adalah yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional
paling sedikit 2,5% (dua koma lima perseratus).
Saran


       Dengan demikian, setelah melihat secara keseluruhan
bab 2, 3 dan 4, maka penulis menyarankan secepatnya harus
dilakukannya perubahan dan penyempurnaan kembali
terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 berkenaan
dengan adanya PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 secara menyeluruh agar tidak
terjadi kembali permasalahan serupa seperti yang telah terjadi
dalam pemilu tahun 2004 lalu. Saya juga menyarankan
kiranya penyempurnaan Undang-Undang paket politik ini
dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, sehingga diharapkan
mendekati kesempurnaan, baik secara filosofis, yuridis dan
sosiologis.
10/31/12 02:59 AM

Contenu connexe

Tendances

hukum tata ruang
hukum tata ruanghukum tata ruang
hukum tata ruanggege52
 
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIATugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIAmeikaa
 
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
P. 2 sejarah viktimologi..
P. 2 sejarah viktimologi..P. 2 sejarah viktimologi..
P. 2 sejarah viktimologi..yudikrismen1
 
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Ica Diennissa
 
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaSumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaRoy Pangkey
 
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/Fair Nurfachrizi
 
Politik identitas dan Nasionalisme
Politik identitas dan NasionalismePolitik identitas dan Nasionalisme
Politik identitas dan NasionalismeLestari Moerdijat
 
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
4. perkembangan ham di indonesia`
4. perkembangan ham di indonesia`4. perkembangan ham di indonesia`
4. perkembangan ham di indonesia`HIMA KS FISIP UNPAD
 
ppt rule of law
ppt rule of lawppt rule of law
ppt rule of lawAmyarimbi
 
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...Idik Saeful Bahri
 
Analisa kasus kriminologi
Analisa kasus kriminologiAnalisa kasus kriminologi
Analisa kasus kriminologihudaaja
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANADian Oktavia
 

Tendances (20)

hukum tata ruang
hukum tata ruanghukum tata ruang
hukum tata ruang
 
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIATugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
 
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
 
Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
Contoh Surat Tuntutan
Contoh Surat TuntutanContoh Surat Tuntutan
Contoh Surat Tuntutan
 
Hukum acara pidana
Hukum acara pidanaHukum acara pidana
Hukum acara pidana
 
P. 2 sejarah viktimologi..
P. 2 sejarah viktimologi..P. 2 sejarah viktimologi..
P. 2 sejarah viktimologi..
 
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
 
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaSumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
 
Pengertian Kriminologi
Pengertian KriminologiPengertian Kriminologi
Pengertian Kriminologi
 
Hukum Konstitusi
Hukum KonstitusiHukum Konstitusi
Hukum Konstitusi
 
Teori biologi kriminal
Teori biologi kriminalTeori biologi kriminal
Teori biologi kriminal
 
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
 
Politik identitas dan Nasionalisme
Politik identitas dan NasionalismePolitik identitas dan Nasionalisme
Politik identitas dan Nasionalisme
 
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia (Idik Saeful Bahri)
 
4. perkembangan ham di indonesia`
4. perkembangan ham di indonesia`4. perkembangan ham di indonesia`
4. perkembangan ham di indonesia`
 
ppt rule of law
ppt rule of lawppt rule of law
ppt rule of law
 
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
 
Analisa kasus kriminologi
Analisa kasus kriminologiAnalisa kasus kriminologi
Analisa kasus kriminologi
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
 

En vedette

Profesi-Profesi di Bidang Hukum
Profesi-Profesi di Bidang HukumProfesi-Profesi di Bidang Hukum
Profesi-Profesi di Bidang HukumAdi Sudradjat
 
Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan RakyatKedaulatan Rakyat
Kedaulatan Rakyatomcivics
 
Asas-asas kewarganegaraan PKN
Asas-asas kewarganegaraan PKNAsas-asas kewarganegaraan PKN
Asas-asas kewarganegaraan PKNwindasasq
 
Perserikatan Bangsa Bangsa
Perserikatan Bangsa BangsaPerserikatan Bangsa Bangsa
Perserikatan Bangsa BangsaAulia Nurnovika
 
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)Suprijanto Rijadi
 
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}IIN Maulida
 
Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)
Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)
Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)Wildatussyaadah Sya
 
Tugas pkn hub. internasional
Tugas pkn hub. internasional Tugas pkn hub. internasional
Tugas pkn hub. internasional Yuuto Backboners
 

En vedette (10)

Cara memilih anggota
Cara memilih anggotaCara memilih anggota
Cara memilih anggota
 
Profesi-Profesi di Bidang Hukum
Profesi-Profesi di Bidang HukumProfesi-Profesi di Bidang Hukum
Profesi-Profesi di Bidang Hukum
 
Tugas makalah
Tugas makalahTugas makalah
Tugas makalah
 
Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan RakyatKedaulatan Rakyat
Kedaulatan Rakyat
 
Asas-asas kewarganegaraan PKN
Asas-asas kewarganegaraan PKNAsas-asas kewarganegaraan PKN
Asas-asas kewarganegaraan PKN
 
Perserikatan Bangsa Bangsa
Perserikatan Bangsa BangsaPerserikatan Bangsa Bangsa
Perserikatan Bangsa Bangsa
 
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
 
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) {mulai dari sejarah hinggan peran}
 
Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)
Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)
Pbb (Perserikatan Bangsa Bangsa)
 
Tugas pkn hub. internasional
Tugas pkn hub. internasional Tugas pkn hub. internasional
Tugas pkn hub. internasional
 

Similaire à Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat

Tantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaTantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaAhsanul Minan
 
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...Ir. Soekarno
 
Hub dasar negara dan konstitusi
Hub dasar negara dan konstitusiHub dasar negara dan konstitusi
Hub dasar negara dan konstitusihayui
 
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganPengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganImbang Jaya Trenggana
 
ppt kewarganegaraan bab 4.pptx
ppt kewarganegaraan bab 4.pptxppt kewarganegaraan bab 4.pptx
ppt kewarganegaraan bab 4.pptxKhoirulIrham1
 
Negara & konstitusi
Negara & konstitusiNegara & konstitusi
Negara & konstitusiEko Budi
 
PPKN (Negara & konstitusi)
PPKN (Negara & konstitusi)PPKN (Negara & konstitusi)
PPKN (Negara & konstitusi)Eko Budi
 
kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)
kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)
kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)Rozmee Pratiwi
 
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945Rido Frans
 
versi panjang.pptx
versi panjang.pptxversi panjang.pptx
versi panjang.pptxMardhyana
 

Similaire à Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (20)

Tantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaTantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
 
Makalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negaraMakalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negara
 
Makalah negara dan konstitusii
Makalah negara dan konstitusiiMakalah negara dan konstitusii
Makalah negara dan konstitusii
 
Makalah negara dan konstitusii
Makalah negara dan konstitusiiMakalah negara dan konstitusii
Makalah negara dan konstitusii
 
Htn
HtnHtn
Htn
 
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
 
Makalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negaraMakalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negara
 
Makalah hukum tata negara (2)
Makalah hukum tata negara (2)Makalah hukum tata negara (2)
Makalah hukum tata negara (2)
 
Makalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negaraMakalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negara
 
Rule of Law
Rule of LawRule of Law
Rule of Law
 
Negara dan konstitusi
Negara dan konstitusiNegara dan konstitusi
Negara dan konstitusi
 
Hub dasar negara dan konstitusi
Hub dasar negara dan konstitusiHub dasar negara dan konstitusi
Hub dasar negara dan konstitusi
 
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganPengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
 
ppt kewarganegaraan bab 4.pptx
ppt kewarganegaraan bab 4.pptxppt kewarganegaraan bab 4.pptx
ppt kewarganegaraan bab 4.pptx
 
Negara & konstitusi
Negara & konstitusiNegara & konstitusi
Negara & konstitusi
 
PPKN (Negara & konstitusi)
PPKN (Negara & konstitusi)PPKN (Negara & konstitusi)
PPKN (Negara & konstitusi)
 
kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)
kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)
kebangsaan dan nkri (materi prajabatan 2013)
 
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
 
Htn
HtnHtn
Htn
 
versi panjang.pptx
versi panjang.pptxversi panjang.pptx
versi panjang.pptx
 

Plus de Adi Sudradjat

Tokyo Programme For Young Lawyer
Tokyo Programme For Young LawyerTokyo Programme For Young Lawyer
Tokyo Programme For Young LawyerAdi Sudradjat
 
Pengantar Praktek Corporate Lawyer
Pengantar Praktek Corporate LawyerPengantar Praktek Corporate Lawyer
Pengantar Praktek Corporate LawyerAdi Sudradjat
 
Perencanaan Karier di Bidang Hukum
Perencanaan Karier di Bidang HukumPerencanaan Karier di Bidang Hukum
Perencanaan Karier di Bidang HukumAdi Sudradjat
 
Organisasi Perusahaan
Organisasi PerusahaanOrganisasi Perusahaan
Organisasi PerusahaanAdi Sudradjat
 
Hukum Perikatan utk PPA USAKTI
Hukum Perikatan utk PPA USAKTIHukum Perikatan utk PPA USAKTI
Hukum Perikatan utk PPA USAKTIAdi Sudradjat
 
Organisasi Perusahaan: Merger & Akuisisi
Organisasi Perusahaan: Merger & AkuisisiOrganisasi Perusahaan: Merger & Akuisisi
Organisasi Perusahaan: Merger & AkuisisiAdi Sudradjat
 

Plus de Adi Sudradjat (6)

Tokyo Programme For Young Lawyer
Tokyo Programme For Young LawyerTokyo Programme For Young Lawyer
Tokyo Programme For Young Lawyer
 
Pengantar Praktek Corporate Lawyer
Pengantar Praktek Corporate LawyerPengantar Praktek Corporate Lawyer
Pengantar Praktek Corporate Lawyer
 
Perencanaan Karier di Bidang Hukum
Perencanaan Karier di Bidang HukumPerencanaan Karier di Bidang Hukum
Perencanaan Karier di Bidang Hukum
 
Organisasi Perusahaan
Organisasi PerusahaanOrganisasi Perusahaan
Organisasi Perusahaan
 
Hukum Perikatan utk PPA USAKTI
Hukum Perikatan utk PPA USAKTIHukum Perikatan utk PPA USAKTI
Hukum Perikatan utk PPA USAKTI
 
Organisasi Perusahaan: Merger & Akuisisi
Organisasi Perusahaan: Merger & AkuisisiOrganisasi Perusahaan: Merger & Akuisisi
Organisasi Perusahaan: Merger & Akuisisi
 

Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat

  • 2.
  • 3. DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.2. POKOK PERMASALAHAN 1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.4. DEFINISI OPERASIONAL 1.4.1.Negara 1.4.2.Demokrasi 1.4.3.Partai Politik 1.4.4.Konstitusi 1.4.5.Teori Kedaulatan Rakyat 1.5. METODOLOGI PENELITIAN 1.6. KEGUNAAN TEORITIS PRAKTIS 1.7. SISTEMATIKA PENULISAN
  • 4. DAFTAR ISI BAB 2 TEORI DAN AZAS-AZAS 2.1. TEORI PENAFSIRAN 2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA BAB 3 PENERAPAN ASAS KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGISIAN KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA 3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945 3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU 3.3. HUBUNGAN PARTAI POLITIK DENGAN PEMILU 3.4. PENERAPAN ASAS KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR
  • 5. DAFTAR ISI BAB 4 MAKNA PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 MENJADI UU NO. 10 TAHUN 2008 BERKENAAN DENGAN PENGISIAN KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 4.1. SEJARAH SINGKAT PEMILU DAN HASIL PEMILU SEBELUM PEMILU TAHUN2004 4.2. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 MENJADI UU NO. 10 TAHUN 2008 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU NO. 10 TAHUN 2008 BERKENAAN PENGISIAN KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJAWAB FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 BAB 5 PENUTUP
  • 6. LATAR BELAKANG  Reformasi Tahun 1998 telah mendorong perubahan di Indonesia.  Tidak luput juga telah terjadi perubahan sistem ketatanegaraan sebagai akibat telah dilakukannya 4 (empat) kali Amandemen UUD RI 1945.  Salah satu poin terpenting adalah perubahan struktur kelembagaan Lembaga-Lembaga Negara maupun mekanisme pengisian Jabatan Lembaga-Lembaga Negara tersebut. Dalam hal ini, juga terjadi perubahan pada Dewan Perwakilan Rakyat.  Pasca 1998 telah diselenggarakan Pemilihan Umum sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun 1999 dan 2004.  Pasca tahun 1998, penyelenggaraan Pemilu -pun mempunyai dasar hukum yang berbeda- beda. Bahkan menjelang Pemilihan Umum Tahun 2009 juga telah terjadi penggantian dasar hukum penyelenggaraan Pemilu, dimana pada Pemilu Tahun 2004 adalah Undang- Undang No. 12 Tahun 2003, pada Pemlihan Umum Tahun 2009 ini adalah Undang- Undang No. 10 Tahun 2008.
  • 7. POKOK PERMASALAHAN 1. Bagaimanakah penerapan azas kedaulatan rakyat dalam pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat? 2. Apa sajakah faktor-faktor menyebabkan adanya penggantian Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 dalam pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat? 3. Apakah makna penggantian Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 berkenaan dengan pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat?
  • 9. 2.1. TEORI PENAFSIRAN •Metode Penafsiran Gramatikal Metode penafsiran gamatikal menekankan pada makna teks yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis yuridis yang sudah dilazimkan. Metode penafsiran ini merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untu megetahui makna ketentuan perundang-undangan dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. •Metode Penafsiran Sistematis Penafsiran sistematis merupakan penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri (systematische interpretatie). Penafsiran ini dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam naskah hukum yang bersangkutan. Penafsiran sistematis juga dapat terjadi jika naskah hukum yang satu dan naskah hukum yang lain, dimana keduanya mengatur hal yang sama, dihubungkan dan diandingkan satu sama lain. Bila yang ditafsirkan itu adalah pasal dari sesuatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang sama, apalagi satu asas dalam peraturan lainnya harus dijadikan acuan
  • 10. 2.1. TEORI PENAFSIRAN •Metode Penafsiran Historis Penafsiran historis mencakup dua pengertian: (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang; dan (ii) penafsiran sejarah hukum. Penafsiran yang pertama memfokuskan diri pada latar belakang sejarah perumusan naskah, berbicara tentang bagaimana perdebatan yang terjadi dan pendapat yang ada ketika perumusan naskah oleh karena itu yang dibutuhkan adalah kajain mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan- catatan pribadi peseta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam bentuk tulisan ilmiah maupun komentar tertulis yang pernah dibuat, otobiografi yang bersangkutan, hasil wawancara yang dibuat oleh wartawan dengan yang bersangkutan atau wawancara khusus yang sengaja dilakukan untuk keperluan menelaah peristiwa yang bersangkuan. Penafsiran kedua, mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. Dalam pencarian makna tersebut juga kita merujuk pendapat- pendapat pakar dari masa lampau, termasuk pula merujuk kepada norma- norma hukum masa lalu yang masih relevan.
  • 11. 2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI F. Lassalle memberikan dua pengertian konstitusi dalam bukunya Uber Verfassungswesen sebagai berikut: “Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut diantaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi. Adapun pengertian yuridis (yuridische begrip) dari konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.” Kamus Oxford Dictionary of Law, perkataan konstistusi diartikan sebagai berikut: “The rules and practices that determine the composititon and functions of the organs of the central and local government in a state and regulate the relationship between individual and the state.”
  • 12. 2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI Pendapat Padmo Wahyono sebagaimana dalam bukunya Negara Republik Indonesia menyatakan konstitusi adalah “Tidak lain daripada seperangkat ketentuan mengenai tata cara bernegara suatu bangsa.” Materi muatan dari konstitusi selain yang fundamental bagi struktur organisai negara, juga mengenai segala aspek kehidupan bernegara rakyatnya (hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, hubungan luar negeri dan lain-lain)
  • 13. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Masa Yunani Kuno dan Romawi Kuno  Abad IV Sebelum Masehi, Yunani; Polis State;  demos : rakyat; cratein; pemerintahan rakyat  Rakyat memilih sendiri siapa yang jadi pemimpinnya  Dilakukan seperti demikian karena jumlah penduduk sedikit  Romawi Kuno, pemerintahan berawal dengan bentuk kerajaan dengan didampingi badan perwakilan yang anggotanya kaum ningrat (patricia)  Sisitem demokrasi mulai diterapkan ketika raja diusir dari tahtanya akibat pertentangan antara kaum Patricia dengan rakyat jelata (Plebeia)  Terselesaikan dengan perundingan 12 meja,  Pemerintahan dipegang oleh dua orang konsul bersama-sama dengan dewan pemerintahan---menjalankan undang-undang  Pemerintahan diselenggarakan demokrasi, namun dalam keadaan darurat, kekuasaan dipusatkan pada satu tangan yang punya kekuasaan yang besar dan mutlak---- diktator
  • 14. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)  Demokrasi lenyap tergantikan pandangan kedaulatan Tuhan  Mula-mula dikatakan yang mewakili Tuhan di dunia ini (dan dalam negara) adalah Paus, ini adalah pendapat dari Agustinus (354 M – 430 M).  Thomas Aquinas (1224 M – 1274 M) menyatakan bahwa kekuasaan Raja dan Paus adalah sama, Raja dalam lapangan keduniawian dan Paus dalam lapangan keagamaan  Marsilius (1270 M – 1340 M) menitikberatkan kekuasaan itu ada pada negara atau Raja. Menurut Marsilius, Raja adalah wakil dari Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia  Ajaran Marsilius inilah yang menimbulkan kekuasaan raja-raja yang bersifat absolut. Dan dengan diperkuat oleh ajaran Nicolo Machiavelli (1469 M – 1527 M) dengan bukunya yang terkenal Il Principe dengan ajaran Staats-raisonnya, menyatakan bahwa seorang raja haruslah seperti kancil dan singa sekaligus dan dapat tidak menepati janji jika negara hendak dirugikan Dengan pernyataan tentang kekuasaan raja, bahwa seorang raja harus menjadi seekor kancil dan singa sekaligus, seekor kancil agar dia tidak terjerat dalam jaring-jaring orang lain, dan singa agar dia tidak gentar mendengar raungan serigala, barulah dia dapat melakukan tugasnya dengan baik. Jikalau negara hendak dirugikan, raja tidak perlu menepati janjinya.
  • 15. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)  Jean Bodin (1530 M – 1596 M) dengan ajaran Staats Souvereinitet dalam bukunya yang berjudul Lex Six Livres de la Republique, yang diterbitkan tahun 1576. Pada awalnya, ajaran Jean Bodin ini hanya memberikan dasar-dasar yuridis terhadap kekuasaan absolut di bawah pemerintahan Raja Henry IV pada tahun 1589 M sampai 1610 M di Perancis. Jean Bodin menyatakan bahwa tujuan negara adalah kekuasaan, yang berarti bahwa negara merupakan perwujudan dari kekuasaan. Dan untuk memperkuat pendapatnya, ia lalu merumuskan tentang kedaulatan, yaitu kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyatnya, tanpa adanya pembatasan apapun dari undang-undang. Dan dalam hal ini, raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi/kedaulatan menetapkan undang-undang, dan yang dimaksud dengan undang-undang adalah hukum positif, jadi bukan hukum Tuhan atau hukum alam. Jean Bodin tidak mempunyai kekuasaan di samping raja. Ia hanya dapat menerima bila badan perwakilan itu terdiri dari suatu kelas atau kasta dan yang hanya mempunyai kekuasaan untuk memberi nasihat kepada raja.  Berakhir ketika munculnya Reformasi Gereja yang dipelopori oleh Luther, Melanchton, Zwingli dan Calvin.  Calvin berpendapat bahwa Tuhan adalah yang berdaulat, yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Raja memerintah atas kehendak Tuhan, dan sebagai wakil dari Tuhan. Jika raja dalam memerintah tidak mengindahkan perintah-perintah Tuhan, maka ia menjadi seorang tiran atau raja yang lalim. Ajaran Calvin ini pada hakekatnya menundukkan raja atau negara kepada kehandak Tuhan, atau menjadikan negara sebagai alat pelaksana kedaulatan Tuhan.
  • 16. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)  Golongan monarkomaken, dengan tokohnya antara lainL Hotman, Brutus, Buchanan, Johannes Althusius, Mariana, Bellarmin, Suarez, dan Milton. Johannes Althusius (1548 M – 1638 M) pelopor dari golongan monarkomaken, dengan ajarannya yang tidak lagi mendasarkan kekuasaan raja pada kehendak Tuhan, tetapi atas kehendak masyarakat/rakyat. Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Kemudian masyarakat ini dengan jalan atau melalui perjanjian memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk memerintah dalam negara itu, orang inilah disebut dengan raja. Althusius berpendapat tentang kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan segala sesuatu yang menuju kepada kepentingan jasmani dan rohani dari anggota- anggota negara, kekuasaan itu ada pada rakyat sebagai kesatuan. Dan perwujudan dari kedaulatan adalah undang-undang, yang harus dijalankan oleh raja. Raja terikat atau terbatas kekuasaannya oleh undang-undang, kalau raja melanggar undang-undang, rakyat dapat menghentikannya atau membunuhnya.
  • 17. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Abad Ke-XVII dan Abad Ke-XVIII  Kemudian pada abad ke-XVII dan ke-XVIII, dengan munculnya kembali teori tentang hukum alam yang menggali kembali ajaran Yunani Kuno dan Romawi Kuno  Frederik Yang Agung (1712 – 1786) yang menentang ajaran Niccolo Machiavelli  John Locke (1632 – 1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government, yang menyatakan tentang adanya hak-hak alamiah manusia (yaitu hak atas hidup, hak merdeka, dan hak atas milik) dan membatasi setiap kekuasaan apapun terhadap manusia harus dibatasi oleh hak-hak alamiah ini. Untuk menjamin terlindunginya hak-hak alamiah ini, lalu manusia mengadakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat dan selanjutnya negara. Dalam perjanjian masyarakat ini, individu menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi tidak semuanya. Masyarakat kemudian menunjuk seorang penguasa yang kemudian diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak alamiah tersebut. Dan dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh hak-hak alamiah tersebut.  Thomas Hobbes (1588 – 1679) yang menyatakan kekuasaan penguasa itu bersifat mutlak. Pendapat tersebut dituangkan dalam dua buah bukunya yang berjudul De Cive dan Leviathan. Menurut Thomas Hobbes perjanjian masyarakat sifatnya langsung, artinya orang-orang uang menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan haknya atau kemerdekaannya kepada raja, jadi tidak melalui masyarakat, raja berada di luar perjanjian dan bukan merupakan pihak dalam perjanjian itu, dengan dmeikian raja tidak terikat oleh perjanjian, dan mempunyai kekuasaan yang absolut. Perjanjian itu sendiri terjadi karena adanya rada takut yang ada pada tiap-tiap manusia.
  • 18. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Abad Ke-XVII dan Abad Ke-XVIII  Tokoh kedaulatan rakyat yang muncul dan berpengaruh pada abad XVII dan XVIII adalah Jean Jacquest Rousseau (1712 – 1778). Ajaran Rousseau ini menentang teori kedaulatan raja, pada saat itu keadaan di Perancis dikuasai oleh raja yang absolut. Teori Rousseau ini ingin mengubah sistem pemerintahan yang absolut itu, seperti itu halnya dengan teori Montesquieu (1688 – 1755) tentang Trias Politica. Menurut pandangan Rousseau tentang kedaulatan rakyat adalah bahwa raja berkuasa hanya sebagai wakil dari rakyat, dan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat. Setiap waktu raja dapat digeser kekuasaannya apabila tidak melaksanakan kemauan rakyat atau kemauan umum (volonte generale). Menurut Rousseau pula negara didirikan untuk menjamin kebebasan individu yang satu agar tidak melangar individu yang lain. Dalam keadaan alamiahnya (status naturalis), orang/individu memiliki kebebasan penuhnya dan menyerahkan kebebasan penuhnya kepada rakyat secara keseluruhan (terjadi kontrak sosial), setelah kontrak sosial rakyat menerima hak-hak sipilnya (civil right).  Immanuel Kant (1724 – 1804) menyatakan bahwa perjanjian masyarakat itu tidak pernah terjadi dan tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa sejarah. Perjanjian masyarakat itu tidak pernah terjadi dan tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa sejarah. Perjanjian masyarakat sesungguhnya adalah konstruksi yuridis yang dapat mempermudah orang dalam menerangkan bagaimana negara itu terjadi, bagaimana negara itu ada, bagaimana kekuasaan dalam negara, dan ada pada siapa kekuasaan itu, serta bagaimana sifatnya negara adalah suatu keharusan adanya, karena negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum. Negara harus menjamin setiap warga negara bebas dalam lingkungan hukum. Segala perbuatan meskipun bebas harus sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang, harus menurut kemauan rakyat, karena undang-undang merupakan penjelmaan daripada kemauan umum.
  • 19. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Abad Ke-XIX Sampai Saat Ini  Pada abad ke-XIX ini telah mulai terbentuk partai-partai politik dan dianggap perlu untuk dapat bekerjanya badan-badan perwakilan yang mencerminkan kemauan rakyat yang sesungguhnya, atau representatif dari rakyat. Dan dengan keadaan tersebut berkembanglah demokrasi modern, hingga saat ini  Asas kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan pemerintah bersumber pada kehendak rakyat. Prinsip dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip demokrasi. Arti harafiah dari demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, adalah mungkin juga suatu yang paling dasar dan paling luas didefinisikan. Perubahan yang utama bahwa penting ketika kita berbicara tentang demokrasi pada lebel nasional dalam negara-nation berskala besar modern adalah bahwa tindakan-tindakan pemerintah biasanya tidak diselenggarakan secara langsung oleh warga negara tetapi secara tidak langsung melalui perwakilan yang mereka pilih secara bebas dan berdasarkan kesamaan.  Abraham Lincoln, adalah pemerintah untuk rakyat – bahwa demokrasi sesuai dengan pilihan rakyat
  • 20. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT Abad Ke-XIX Sampai Saat Ini Robert Dahl menunjukkan, demokrasi responsif yang layak dapat terjadi ada hanya jika paling sedikitnya terdapat jaminan terhadap delapan institusi: 1.Kebebasan untuk membuat dan bergabung dalam organisasi; 2.Kebebasan untuk berekspresi; 3.Hak untuk memilih; 4.Sifat memenuhi syarat untuk jawabat pemerintahann; 5.Hak terhadap pemimpin-pemimpin politik untuk bersaing untuk pendukung dan suara; 6.Sumber-sumber alternatif terhadap informasi; 7.Pemilihan umum yang bebas dan jujur; 8.Institusi-institusi untuk pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tergantung pada suara pemilih dan pernyataan-pernyataan pilihan yang lain
  • 21. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA Penjelasan Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum, yang masih terus berlaku sampai Pemilu 1997, disebutkan bahwa tujuan pemilihan umum adalah: “Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam Pancasila/Undang-Undang Dasar 1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan Pemilihan Umum. Dengan demikian, diadakan pemilihan umum tidak sekadar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk menyusun negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawa isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan, mempertahankan, dan mengembangkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengembang Amanat Penderitaan Rakyat. Pemilihan umum adalah suatu alat yang penggunaannya tidak boleh mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan menimbulkan hal-hal yang menderitakan rakyat, tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankan Undang-Undang Dasar 1945.”
  • 22. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA Asas Pemilihan Umum di Indonesia seperti yang tercantum dalam Penjelasan UU No. 15 Tahun 1969, dirumuskan sebagai berikut: 1. Umum Ialah bahwa pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan dalam usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilihan, dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan bersifat umum berarti pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap/semua warga negara; menurut persyaratan asasi (basic) tertentu, seperti tersebut di atas. Persyaratan lain-lain, yang teknis atau politis, tidaklah dihubungkan dengan adanya pemilihan, tetapi semata-mata dihubungkan dengan praktik pelaksanaannya dan tujuan pemilihan serta fungsi badan/lembaga yang disusun. 2. Langsung Ialah rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan. 4. Bebas Ialah bahwa tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaru, tekanan atau paksaan dari siapapun/dengan apapun. 5. Rahasia Ialah bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui orang lain kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).”
  • 23. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1999, disebutkan: 1)Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2)Pemilihan Umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. 3)Pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4)Pemilihan umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar.
  • 24. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA Asas Pemilihan Umum 1999 sangat berbeda, penjelasan UU No. 3 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengertian Asas Pemilihan Umum yaitu: 1. Jujur Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, Penyelenggaraan Pelaksana, Pemerintah dan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum, Pengawas dan Pemantau Pemilihan Umum, termasuk Pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 2. Adil Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum setiap pemilihan dan partai politik peserta Pemilihan Umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. 4. Langsung Rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 5. Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyarata minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial. 6. Bebas Setiap warga negara berhak memilih, bebas menentukan pemilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. 7. Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suara diberikan. Asas Rahasia ini tidak berlaku bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihan kepada pihak manapun.
  • 25. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA Pemilihan Umum secara eksplisit diatur di dalam Bab VII B Pasal 22E UUD 1945 Perubahan ke-III, yaitu sebagai berikut: 1)Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. 2)Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 3)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rkayat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik. 4)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. 5)Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. 6)Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang- undang.
  • 26. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA Tujuan Pemilihan Umum dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah: Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • 28. 3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945 •Bagian Pembukaan Bagian pembukaan UUD RI 1945 merupakan bagian yang berisi latar belakang terbentuknya UUD RI 1945 yang disusun secara komprehensif dan menyeluruh. Muatan yang terkandung dalam bagian tersebut mencakup aspek historis, sosiologis, filsofis dan juga yuridis. Dengan muatan tersebut di atas maka dapat ditemukan pula bentuk kedaulatan yang dikehendaki oleh UUD RI 1945. Adapun dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD RI 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratn/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
  • 29. 3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945 •Bagian Batang Tubuh Berdasarkan Pembukaan UUD RI 1945 di atas bentuk kedaulatan yang dipilih oleh Indonesia adalah kedaulatan rakyat, demikian pula dipertegas pada bagian Batang Tubuh UUD RI 1945. Adapun pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945, yang mempertegas bahwa Indonesia menganut kedaulatan rakyat, berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar.” Konstruksi pemikiran dari pasal tersebut di atas ialah walaupun kedaulatan/ kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, namun pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini bukan berarti pemegang kedaulatan adalah Undang-Undang Dasar, melainkan Undang-Undang Dasar ini yang menjadi satu-satunya sumber acuan formil dan materil penyelenggaraan negara dalam hal ini perwujudan dan/ atau penerapan kedaulatan rakyat di Indonesia demi sebuah kepastian hukum.
  • 30. 3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU • Kedaulatan rakyat Indonesia dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar, yang kemudian kedaulatan tersebut diselenggarakan oleh lembaga- lembaga atau organ-organ negara, berdasarkan perannya masing-masing, melalui perwakilan-perwakilannya. Penempatan wakil-wakil rakyat tersebut dilakukan melalui sebuah mekanisme pengisian jabatan lembaga-lembaga negara, dimana pengisian jabatan tesebut tidak dilakuakan secara carut marut melainkan dengan sebuah sistem yang teratur. • Cara pengisian jabatan publik ini tidak dapat lepas dari sistem demokrasi yang dianut dalam sebuah negara. Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan dalam kedaulatan rakyat, bahwa rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. • Mekanisme atau cara rakyat menentukan dan/ atau memilih para wakil rakyatnya itu dikenal dengan sebutan pemilihan umum (general election). Dengan demikian, pemilihan umum tidak lain adalah cara yang diselenggarakan untuk memilih para wakil rakyatnya secara demokratis. Pemilihan umum itu harus menjamin kebebasan rakyat dalam menyatakan pilihan sesuai dengan kesadaran hati nuraninya.
  • 31. 3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU • Dengan demikian dapat dipahami hubungan antara kedaulatan rakyat dengan pemilihan umum adalah bahwa pemilihan umum merupakan cara untuk penyelenggaraan atau bagaimana kedaulatan rakyat itu dijalankan, pemilihan umum ini dimaksudkan dan tidak lain untuk memilih dan pengisian jabatan para wakil rakyat yang dapat merepresentasikan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat
  • 32. 3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU • Duverger mendefinisikan sebagai grup terorganisir yang mencari kekuasaan politik, baik lewat pemilihan umum yang demokratis maupun lewat revolusi. • .Sven Quenter mendefinisikan partai adalah organisasi yang menurunkan kandidatnya untuk merebut kursi parlemen nasional satu negara lewat pemilu. • Alan Ware mendefinisikan partai sebagai satu institusi yang mencari pengaruh dalam satu negara, kerap dengan usaha merebut posisi dalam pemerintahan • Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seazas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang politik) • Partai politik tidak hanya sekedar asal kumpul, namun lebih dari itu, partai adalah perkumpulan orang-orang yang seazas, sepaham dalam pandangan politik, yang dalam kehidupan politik berikhtiar unutk menghembuskan dan memenangkan pandangannya, serta menelurkan pandangan ini ke dalam program. Partai bertujuan pula untuk mengambil alih tanggung jawab kekuasaan.
  • 33. 3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU •Schimitter (1999) menyebut partai politik berfungsi sebagai Electoral structurization (menstrukturisasi pemilihan umum) Symbolic integration (integrasi simbolis) Governing function (fungsi memerintah) Aggregative function (fungsi penggabung) •Morlino (1995) menyebutkan fungsi-fungsi partai politik yaitu Menarik dukungan massa pada pemilihan umum Rekruitmen untuk menduduki pos-pos jabatan penting di pemerintahan nasional parlemen dan pemerintahan lokal Formulasi pilihan politik alternatif bagi publik Dalam tingkatan elit sebagai penghubung dengan birokrasi, militer dan yudikatif Sabuk pengaman transmisi bagi tuntutan-tuntutan sosial Delegasi atau wakil dari masyarakat sipil atau civil society atau kerap disebut dengan masyarakat madani •Abdul Bari Azed dan Makmur Amir dalam bukunya Pemilu dan Partai Politik di Indonesia memberikan fungsi partai politik sebagai berikut: Sosialisasi politik Partisipasi politik Rekruitmen politik Komunikasi politik Artikulasi kepentingan Agregasi kepentingan Pembuat kebijaksanaan
  • 34. 3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU •Dengan melihat definisi dan fungsi dari partai politik, maka jelaslah bahwa partai politik dan pemilihan umum memiliki hubungan yang hampir tidak dapat terpisahkan. Secara historispun partai politik merupakan perkembangan dari demokrasi langsung menjadi demokrasi perwakilan dimana partai merupakan tempat ata sarana penampung dan alat perjangan keterwakilan aspirasi politik. Dalam hal ini partai politik merupakan peserta dalam pemilihan umum, sebagai alat dan/ atau kendaraan yang berperan menampung aspirasi politik dan kepentingannya yang kemudian memperjuangkannya dalam pemilihan umum demi mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh partai politik tersebut
  • 35. 3.4. PENERAPAN DALAM PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR • Republik Indonesia dalam UUD RI 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan diri bahwa keukasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat (menganut kedaulatan rakyat dimana dalam penyelenggaraan kedaulatan rajyat ini dilakukan sepenuhnya berdasarkan berdasarkan UUD RI 1945. Berdasarkan UUD RI, dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukanlah separation of power, sehingga terdapat beberapa lembaga negara dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Salah satu lembaga negara penyelenggara kedaulatan rakyat menurut UUD RI 1945 adalah Dewan Perwakilan Rakyat. • Prinsip dari kedaulatan rakyat yang mengkehendaki pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, hal ini berakibat pada pengisian pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat- pun harus mencerminkan suatu keadaan (civil supremacy) rakyat yang berdaulat. Maka, dalam hal ini pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat haruslah dapat mempresentasikan kehendak rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut di atas, diperlukanlah dan/atau disusunlah sebuah mekanisme mengenai pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat. UUD RI 1945 menjawab mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat melalui sebuah mekanisme yang disebut pemilihan umum. Dimana peserta dalam pemilihan umum ini adalah partai politik, sebagimana dimaksud dalam UUD RI 1945. Sebagaimana diketahui pada subbab di atas, mengenai fungsi partai politik, parati politik berperan besar dalam menampung aspirasi politik rakyat dan memperjuangkannya guna mewujudkan kedaulatan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat dimana partai politik tersebut harus melalui mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat
  • 37. • Pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana dimaksud dalam UUD RI 1945 Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakian Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” • Kemudian pada Pasal 22 E ayat (2) UUD RI 1945 kembali dituliskan tujuan dari pemilu yaitu: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” • Adapun peserta dalam pemilhan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Pasal 22 E ayat (3) UUD RI 1945 yaitu: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
  • 38. 4.2. FAKTOR-FAKTOR… • Sistem Pemilu  Sistem Pemilu 2004 hampir sama dengan sistem Pemilu 1999. Sistem kepartaian masih sama, yaitu sistem banyak partai, tetapi dibatasi dengan apa yang disebut electoral threshold. Hanya partai yang berhasil memperoleh persentase hasil pemilu tertentu yang dapat ikut di parlemen. Sistem pemilu yang dipakai pada Pemilu 2004 adalah sistem proporsional, tetapi dengan sistem daftar terbuka, di mana rakyat diberikan keleluasaan untuk mencoblos partai sekaligus calon-calonnya, dengan daftar nama yang disertakan dalam surat suara.  Pasal 107 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2003, penetapan calon yang tidak mencukup bilangan pembagi pemilihan (BPP) akan dilakukan sesuai “urut kacang” oleh partai politik yang bersangkutan, pengaturan ini sedikit banyak mengurangi makna dari sistem proporsional dengan daftar terbuka. Partai politik masih sangat dominan dalam proses penentuan calon terpilih • Penerapan sistem pemilihan umum tersebut, dianggap kurang mencerminkan dan/atau melaksanakan kedaulatan rakyat. Salah satunya adalah peran partai politik yang masih terlalu besar dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pada perkembangannya, pasca pemilihan umum tahun 2004, wacana mengenai mekanisme penghitungan suara untuk menetapkan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dengan mekanisme suara terbanyak (majoritarian vote) sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran mengenai sistem pemilihan umum tahun 2009 yang mendorong harus dibentuknya undang- undang tentang pemilihan umum yang baru.
  • 39. 4.2. FAKTOR-FAKTOR… • Kegagalan dalam Pemenuhan Ketentuan Mengenai Keterwakilan Perempuan Minimal 30% (tiga puluh perseratus) Pasal 65 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 yang berbunyi: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” apabila pasal ini ditafsirkan lebih lanjut, kata “dapat” dalam pasal ini masih mengandung multi tafsir, dalam hal ini keterwakilan perempuan bukan imperatif, melainkan fakultatif, sehingga perumusan ini tidak diberi sanksi terhadap partai politik yang tidak memenuhi kuota tersebut. Bahkan berkaitan dengan urutan nama calon dalam daftar calon anggota DPR pun tidak diatur lebih lanjut mengenai kuota keterwakilan perempuan. Menurut beberapa pengamat politik, bukan tidak mungkin pengurutan caleg perempuan akan disimpan pada urutan di bawah, sehingga caleg pria lebih diutamakan oleh partai tersebut Pemilu 2004, dari 24 partai politik peserta Pemilu 2004 tidak melaksanakan affirmative action sebagai mana amanat UU No. 12 Tahun 2003.
  • 40. 4.2. FAKTOR-FAKTOR… • Kegagalan dalam Pemenuhan Ketentuan Mengenai Keterwakilan Perempuan Minimal 30% (tiga puluh perseratus) 8 partai politik yang tidak memenuhi kuota perempuan. Ironisnya, partai politik tersebut didominasi oleh partai politik pendulang suara terbesar Pemilu 1999. Di antaranya adalah Partai Golkar sebanyak 28,3%, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 28,3%, Partai Persatuan Pembangunan sebanyak 22,3%, serta Partai Bulan Bintang sebanyak 23,8%. Dari ke-24 partai politik tersebut hanya Partai Keadian Sejahtera yang terbanyak melakukan penyebaran kuota perempuan 30%, yaitu di 65 dari 69 daerah pemilihan. Sedangkan Partai Golkar justru merupakan partai yang paling kecil melakukan penyebaran kuota perempuan 30%, yaitu 24 dari 69 daerah pemilihan. Dengan demikian, pasal ini, walaupun berangkat dari niat politik yang memperjuangkan perempuan dengan affirmative action, tetapi tidak tegas terhadap pemecahan permasalahan kuota perempuan 30% pada praktiknya
  • 41. 4.2. FAKTOR-FAKTOR… • Kegagalan Transparansi Mengenai Pendanaan dan Laporan Penggunaan Dana Kampanye Pasal 79 1) Seluruh laporan dana kampanye peserta Pemilu, baik penerimaan maupun pengeluaran, wajib diserahkan kepada akuntan publik terdaftar selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sesudah hari pemungutan suara. 2) Akuntan publik terdaftar wajib menyelesaikan audit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada KPU dan peserta Pemilu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah selesainya audit. Pada prinsipnya, pengaturan mengenai adanya pendanaan kampanye bertujuan agar terjadinya transparansi mengenai sumber pendanaan kampanye dan laporan penggunaan dana kampanye. Namun sangat disayangkan pengatran ini menjadi sekedar sebuah himbauan bagi peserta pemilu, karena sifatnya yang tidak imperatif dan tidak disertai sanksi apabila tidak dipenuhi oleh peserta pemilu
  • 42. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… • Keterwakilan Perempuan Pasal 53 UU No.10 Tahun 2008 “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.” Pasal 55 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang berbunyi: “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Pasal 57 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2008 sebagai berikut: “KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”
  • 43. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… • Keterwakilan Perempuan Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang berbunyi: 1) “Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon sebagaimana diatur dalam pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada partai politik peserta pemilu. 2) Dalam hal daftar calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.” Dengan demikian, adanya pengaturan kuota keterwakilan perempuan minimal 30% yang bersifat imperatif dan merupakan affirmative action tersebut dalam syarat verifikasi, apabila partai politik yang tidak memenuhi aturan akan tidak dapat menjadi peserta dalam pemilihan umum anggota DPR karena akan dieliminasi oleh KPU. Dalam hal ini muculah sebuah harapan yang besar bahwa kaum perempuan akan lebih terwakili aspirasinya dalam DPR.
  • 44. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… • Pendanaan Kampanye Pasal 129 ayat (6) dan (7) yang berbunyi: (6). Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik. (7). Pembukuan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup satu minggu sebe;um penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Pasal 134 Ayat (1) dan Pasal 135 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 yang berbunyi: Pasal 134 (1). Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum. Pasal 135 (1). Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara
  • 45. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… • Pendanaan Kampanye Diperkuat sanksi menurut dalam pasal 138 Ayat (1) dan (3) yang berbunyi demikian: (1). Dalam hal pengurus partai poitik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu pada wilayah yang besangkutan. (3). Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 ayat (1), partai politik yang bersankutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menjadi calon terpilih.
  • 46. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… •Sistem Pemilu dan Penetapan Perolehan Kursi DPR Sistem pemilihan umum menurut UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1) adalah: (1). Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka Pada UU No. 10 Tahun 2008 ini mepergunakan sebuah sistem penentuan perolehan kursi yang lain dengan UU No. 12 Tahun 2003. Hal itu ditunjukkan dengan sebuah terobosan baru dengan penentuan parliementary threshold sebesar 2,5% (dua koma lima perseratus), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008: (1). Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang- kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan kursi DPR. Partai politik yang tidak dapat memenuhi ketentuan di atas maka tidak akan diikutsertakan dalam pada perhitungan perolehan kursi DPR di wilayah daerah pemilihannya, sebagaimana dimaksud Pasal 203 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 yang bunyinya: (1). Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan
  • 47. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… •Sistem Pemilu dan Penetapan Perolehan Kursi DPR (perdebatan mengenai parliamentary threshold) Fraksi Partai Amanat Nasional bernama Andi Yuliani Paris: “Pembahasan atas berbagai materi krusial Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) masih terus berlanjut. Salah satu masalah krusial yang hingga kini masih diperdebatkan, yakni ‘parliamentary threshold’ (PT). Sebab, kendati 10 fraksi di DPR RI sepakat adanya PT, namun masih ada banyak hal yang perlu dibahas” Pro terhadap adanya parliamentary threshold adalah Eko Prasojo, dengan menyatakan harapannya sebagai berikut: “ia mengharapkan adanya pembatasan parpol melalui parliamentary threshold sebesar 3 persen bukan electoral threshold. Karena dengan parliamentary threshold bisa mengurangi jumlah parpol di parlemen yang bisa menciptakan kestabilan dalam bidang politik.” Makmur Amir, pengajar di Universitas Indonesia mengungkapkan: “parliamentary threshold ini lebih ditujukan agar terwujudnya kestabilan politik. Secara prinsipil suara yang hilang karena tidak lolos parliamentary threshold, bukan berarti memasung hak berdemokrasi, tetapi suara itu tidak hilang karena kursi yang ada tetap dibagikan pada partai politik yang lolos parliamentary threshold dengan demikian demokrasipun tetap terlaksana.” Sedangkan di satu sisi ada pihak yang bertentangan terhadap adanya parliamentary threshold, seperti dinyatakan Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta sebagai berikut: "Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold/ batas minimum perolehan suara) menggambarkan ketidakadilan sistem politik, Parliamentary threshold adalah mekanisme untuk memasung hak berdemokrasi sehingga dikhawatirkan rakyat akan marah jika suaranya dihilangkan.
  • 48. 4.3.4. PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR… Simulasi Penghitungan Parliamentary No Nama Parpol Perolehan Suara 2,5%(YA/TIDAK) 1 Partai Golkar 24.480.757 (21.57%) YA Threshold dengan Data Hasil 2 PDI-P 21.026.629 (18.53%) YA Perolehan Suara Pemilu 2004 3 PKB 11.989.564 (10,57%) YA 4 PPP 9.248.764 (9,15%) YA 5 Partai Demokrat 8.455.255 (7,45%) Bila parliamentary threshold ini dilakukan YA simulasi pada hasil perolehan suara 6 PKS 8.325.020 (7,34%) YA dalam pemilu tahun 2004, maka hanya 7 PAN 7.303.324 (6.44%) YA ada 8 (delapan) partai politik yang lolos 8 PBB 2.970.487 (2,62%) YA 9 PBR 2.764.998 (2,44%) dari parliamentry threshold, TIDAK 10 PDS 2.414.254 (2,13%) TIDAK 11 PKPB 2.399.290 (2,11%) TIDAK 12 PKPI 1.424.240 (1,26%) TIDAK 13 PPDK 1.313.654 (1,16%) TIDAK 14 PNBK 1.230.450 (1,08%) TIDAK 15 Partai PP 1.073.139 (0,95%) TIDAK 16 PNI Marhaenis 929.159 (0,81%) TIDAK 17 PPNUI 895.610 (0,79%) TIDAK 18 Partai Pelopor 878.932 (0,77%) TIDAK 19 Partai PDI 855.811 (0,75%) TIDAK 20 Partai Merdeka 842.541 (0,74%) TIDAK 21 PSI 679.296 (0,60%) TIDAK 22 Partai PIB 672.957 (0,59%) TIDAK 23 PPD 657.916 (0,58%) TIDAK 24 PBSD 636.397 (0,56%) TIDAK Total 113.462.414 (100%) 550 (100%)
  • 49. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Selanjutnya memasuki tahapan penghitungan Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) dimana aturan penghitungannya menurut Pasal 203 ayat (2) dan (3) UU 10 Tahun 2008 yang berbunyi demikian: (2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1). (3)Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan, ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
  • 50. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Pasal 203 ayat (2) dan (3) UU 10 Tahun 2008 yang berbunyi demikian: (2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1). (3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan, ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
  • 51. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Apabila aturan di atas disimulasikan dengan sebuah contoh (i), penghitungannya sebagai berikut: ada 12 (dua belas) kursi yang diperebutkan pada daerah pemilihan B. Adapun partai politik yang lolos ambang batas perolehan suara adalah partai Q,W,E,R,T dan Y sedangkan partai U dan I tidak lolos. Perolehan suara partai Q sebesar 38.098 suara, partai W sebesar 10.243 suara, partai E 98.790 sebesar suara, partai R sebesar 75.469 suara, partai T sebesar 12.341 suara, partai Y sebesar 52.349 suara, partai U sebesar 67.890 suara dan I sebesar 1.213 suara. Walaupun partai U pada daerah pemilihan B ini memiliki suara yang besar, namun secara nasional tidak mencapai parliamentary threshlod maka tidak akan diperhitungakan dalam perhitungan BPP, demikian pula dengan partai I. adapun perhitungan matematisnya: BPP = 12 : ((Q+W+E+R+T+Y+U+I)-(U+I)) BPP = 12 : 287.290 BPP = 1 : 23.940 Pengertian dari BPP ini adalah dalam daerah pemilihan B, satu kursi
  • 52. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Pada Pasal 204 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan bahwa perolehan kursi partai politik untuk anggota DPR ditetapkan oleh KPU. Penentuan tersebut dilakukan dengan aturan yang telah termuat dalam Pasal 205, 206, 207, 208, 209, 210, 213 ayat (1), dan 214 UU No. 10 Tahun 2008, yang selengkapnya sebagai berikut ini: Pasal 205 1)Penentuan perolehan jumlah kursianggota DPR partai politik peserta pemilu didasarkan atas hasil pnghitungan seluruh suara sah dari setiap partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan pasal 202 di daerah pemilihan yang bersangkutan. 2)Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR. 3)Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakauakn penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagai jumlah suara sah yang diperoleh suatu partai politik peserta pemilu disuatu daerah pemilihana dengan BPP DPR. 4)Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR. 5)Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di propvinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan. 6)BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi 7)Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan
  • 53. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Pasal 206 Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan kursi partai politik peserta pemilu dilakuakan dengan cara membagikan sisa kursi ada partai politik peserta pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak. Pasal 207 Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimanan dimaksud dalam pasal 206 dan sisa suara partai politik peserta pemilu sudah terkonversi menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan. Pasal 208 Penetapan perolehan kursi partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 205 ayat (7) dan pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi. Pasal 209 Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara dilakukan habis di daerah pemilihan tersebut.
  • 54. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Pasal 214 Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu disuatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a.calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b.dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c.dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-
  • 55. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Namun ada beberapa bagian dari cara penghitungan tersebut yang sudah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu PUTUSAN NOMOR 22-24/PUU-VI/2008. Adapun amar putusan tersebut yaitu: •Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; •Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Walaupun terdapat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak adnya kekosongan hukum dikarenakan di satu sisi dalam pertemuan dengan pihak yang merupakan penyelenggara pemilu, KPU, menyatakan kesiapan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
  • 56. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008… Secara umum memang Keptutusan Mahkamah Konstitusi ini tidak akan mempengaruhi secara besar penyelanggaraan pemilihan umum. Namun ternyata hadir permasalahan hukum krusial yang harus dapat kembali dijawab yaitu mengenai kuota minimal 30% sebagai kebijakan politik affirmative action yang telah diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini disebabkan, dengan penentuan suara terbanyak, maka posisi pengurutan nomor urut calon anggota perempuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang diharapkan adanya dampak positif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan menjadi tidak berarti. Kondisi tersebut senada dengan pendapat Masruach, Sekeretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia yang mengatakan: “sistem BPP 30 persen sejatinya telah menunjukkan adanya sistem proporsional terbuka terbatas. Ditambah dengan sistem zipper yang mewajibkan nama perempuan setidaknya dalam tiga daftar nama caleg, kesempatan bagi perempuan relatif lebih terbuka dibandingkan saat Pemilu 2004
  • 58. Simpulan Penerapan asas kedaultan rakyat dalam pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu Republik Indonesia dalam UUD RI 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan diri bahwa keukasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat (menganut kedaulatan rakyat dimana dalam penyelenggaraan kedaulatan rajyat ini dilakukan sepenuhnya berdasarkan berdasarkan UUD RI 1945. Berdasarkan UUD RI, dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukanlah separation of power, sehingga terdapat beberapa lembaga negara dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Salah satu lembaga negara penyelenggara kedaulatan rakyat menurut UUD RI 1945 adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Prinsip dari kedaulatan rakyat yang mengkehendaki pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, hal ini berakibat pada pengisian pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat-pun harus mencerminkan suatu keadaan (civil supremacy) rakyat yang berdaulat. Maka, dalam hal ini pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat haruslah dapat mempresentasikan kehendak rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut di atas, diperlukanlah dan/atau disusunlah sebuah mekanisme mengenai pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat. UUD RI 1945 menjawab mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat melalui sebuah mekanisme yang disebut pemilihan umum. Dimana peserta dalam pemilihan umum ini adalah partai politik, sebagimana dimaksud dalam UUD RI 1945. Sebagaimana diketahui pada subbab di atas, mengenai fungsi partai politik, parati politik berperan besar dalam menampung aspirasi politik rakyat dan memperjuangkannya guna mewujudkan kedaulatan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat dimana partai politik tersebut harus melalui mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  • 59. Simpulan Faktor-faktor yang menyebabkan penggantian Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 adalah gagalnya affirmative action bagi kaum perempuan dalam pemenuhan keterwakilan kuota minimal 30% (tiga puluh perseratus), ketentuan mengenai pendanaan dan pelaporan dana kampenye yangdiamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2003 tidak berjalan dengan baik dalam pemilu 2004 karena sifat dari keteantuan tersebut tidak imperatif (tidak memuat sanksi apabila ketentuan tidak dijalankan oleh peserta pemilu) dan sistem pemilu yang dirasakan oleh para elite politik maupun kalangan masyarakat pada umumnya, kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Adapun makna dari penggantian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 berkenaan dengan pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk melakukan pengawalan dan pengaturan terhadap pemenuhan keterwakilan perempuan sebesar 30% (tiga puluh perseratus) dalam calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, terwujudnya transparansi pendanaan kampanye dan terwujudnya keadaan politik kenegaraan yang relatif stabil pasca pemilian umum tahun 2009 dengan perbaikan sistem pemilihan umum dimana terdapat aturan partai politik peserta pemilihan umum yang mendapat bagian dalam penetapan perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional paling sedikit 2,5% (dua koma lima perseratus).
  • 60. Saran Dengan demikian, setelah melihat secara keseluruhan bab 2, 3 dan 4, maka penulis menyarankan secepatnya harus dilakukannya perubahan dan penyempurnaan kembali terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 berkenaan dengan adanya PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 secara menyeluruh agar tidak terjadi kembali permasalahan serupa seperti yang telah terjadi dalam pemilu tahun 2004 lalu. Saya juga menyarankan kiranya penyempurnaan Undang-Undang paket politik ini dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, sehingga diharapkan mendekati kesempurnaan, baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis.