3. DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. POKOK PERMASALAHAN
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1.4. DEFINISI OPERASIONAL
1.4.1.Negara
1.4.2.Demokrasi
1.4.3.Partai Politik
1.4.4.Konstitusi
1.4.5.Teori Kedaulatan Rakyat
1.5. METODOLOGI PENELITIAN
1.6. KEGUNAAN TEORITIS PRAKTIS
1.7. SISTEMATIKA PENULISAN
4. DAFTAR ISI
BAB 2 TEORI DAN AZAS-AZAS
2.1. TEORI PENAFSIRAN
2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI
2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
BAB 3 PENERAPAN ASAS KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGISIAN
KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945
3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU
3.3. HUBUNGAN PARTAI POLITIK DENGAN PEMILU
3.4. PENERAPAN ASAS KEDAULATAN RAKYAT DALAM
PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR
5. DAFTAR ISI
BAB 4 MAKNA PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 MENJADI
UU NO. 10 TAHUN 2008 BERKENAAN DENGAN PENGISIAN
KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
4.1. SEJARAH SINGKAT PEMILU DAN HASIL PEMILU
SEBELUM PEMILU TAHUN2004
4.2. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN
PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 MENJADI
UU NO. 10 TAHUN 2008
4.3. TINJAUAN TERHADAP UU NO. 10 TAHUN 2008
BERKENAAN PENGISIAN KEANGGOTAAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
MENJAWAB FAKTOR-FAKTOR PENDORONG
PENGGANTIAN UU NO. 12 TAHUN 2003
BAB 5 PENUTUP
6. LATAR BELAKANG
Reformasi Tahun 1998 telah mendorong perubahan di Indonesia.
Tidak luput juga telah terjadi perubahan sistem ketatanegaraan sebagai akibat telah
dilakukannya 4 (empat) kali Amandemen UUD RI 1945.
Salah satu poin terpenting adalah perubahan struktur kelembagaan Lembaga-Lembaga
Negara maupun mekanisme pengisian Jabatan Lembaga-Lembaga Negara tersebut. Dalam
hal ini, juga terjadi perubahan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasca 1998 telah diselenggarakan Pemilihan Umum sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun
1999 dan 2004.
Pasca tahun 1998, penyelenggaraan Pemilu -pun mempunyai dasar hukum yang berbeda-
beda. Bahkan menjelang Pemilihan Umum Tahun 2009 juga telah terjadi penggantian dasar
hukum penyelenggaraan Pemilu, dimana pada Pemilu Tahun 2004 adalah Undang-
Undang No. 12 Tahun 2003, pada Pemlihan Umum Tahun 2009 ini adalah Undang-
Undang No. 10 Tahun 2008.
7. POKOK PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah penerapan azas kedaulatan rakyat dalam
pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat?
2. Apa sajakah faktor-faktor menyebabkan adanya penggantian
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang
No. 10 Tahun 2008 dalam pengisian keanggotaan Dewan
Perwakilan Rakyat?
3. Apakah makna penggantian Undang-Undang No. 12 Tahun
2003 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 berkenaan
dengan pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat?
9. 2.1. TEORI PENAFSIRAN
•Metode Penafsiran Gramatikal
Metode penafsiran gamatikal menekankan pada makna teks yang di
dalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian
bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna
teknis yuridis yang sudah dilazimkan. Metode penafsiran ini merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untu megetahui makna
ketentuan perundang-undangan dengan menguraikannya menurut bahasa,
susun kata atau bunyinya.
•Metode Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran menurut sistem yang ada dalam
rumusan hukum itu sendiri (systematische interpretatie). Penafsiran ini
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam naskah
hukum yang bersangkutan. Penafsiran sistematis juga dapat terjadi jika
naskah hukum yang satu dan naskah hukum yang lain, dimana keduanya
mengatur hal yang sama, dihubungkan dan diandingkan satu sama lain. Bila
yang ditafsirkan itu adalah pasal dari sesuatu undang-undang, maka
ketentuan-ketentuan yang sama, apalagi satu asas dalam peraturan lainnya
harus dijadikan acuan
10. 2.1. TEORI PENAFSIRAN
•Metode Penafsiran Historis
Penafsiran historis mencakup dua pengertian: (i) penafsiran sejarah
perumusan undang-undang; dan (ii) penafsiran sejarah hukum.
Penafsiran yang pertama memfokuskan diri pada latar belakang sejarah
perumusan naskah, berbicara tentang bagaimana perdebatan yang terjadi
dan pendapat yang ada ketika perumusan naskah oleh karena itu yang
dibutuhkan adalah kajain mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan-
catatan pribadi peseta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik
dalam bentuk tulisan ilmiah maupun komentar tertulis yang pernah dibuat,
otobiografi yang bersangkutan, hasil wawancara yang dibuat oleh wartawan
dengan yang bersangkutan atau wawancara khusus yang sengaja dilakukan
untuk keperluan menelaah peristiwa yang bersangkuan. Penafsiran kedua,
mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa
lampau. Dalam pencarian makna tersebut juga kita merujuk pendapat-
pendapat pakar dari masa lampau, termasuk pula merujuk kepada norma-
norma hukum masa lalu yang masih relevan.
11. 2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI
F. Lassalle memberikan dua pengertian konstitusi dalam bukunya Uber
Verfassungswesen sebagai berikut:
“Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip).
Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele
machtfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan
antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.
Kekuasaan tersebut diantaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups,
partai politik, dan lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi. Adapun
pengertian yuridis (yuridische begrip) dari konstitusi adalah suatu naskah
yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.”
Kamus Oxford Dictionary of Law, perkataan konstistusi diartikan sebagai
berikut:
“The rules and practices that determine the composititon and functions of the
organs of the central and local government in a state and regulate the
relationship between individual and the state.”
12. 2.2. MATERI MUATAN KONSTITUSI
Pendapat Padmo Wahyono sebagaimana dalam bukunya
Negara Republik Indonesia menyatakan konstitusi adalah
“Tidak lain daripada seperangkat ketentuan mengenai tata
cara bernegara suatu bangsa.”
Materi muatan dari konstitusi selain yang fundamental bagi
struktur organisai negara, juga mengenai segala aspek
kehidupan bernegara rakyatnya (hukum, politik, ekonomi,
sosial-budaya, pertahanan, hubungan luar negeri dan lain-lain)
13. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Masa Yunani Kuno dan Romawi Kuno
Abad IV Sebelum Masehi, Yunani; Polis State;
demos : rakyat; cratein; pemerintahan rakyat
Rakyat memilih sendiri siapa yang jadi pemimpinnya
Dilakukan seperti demikian karena jumlah penduduk sedikit
Romawi Kuno, pemerintahan berawal dengan bentuk kerajaan dengan didampingi
badan perwakilan yang anggotanya kaum ningrat (patricia)
Sisitem demokrasi mulai diterapkan ketika raja diusir dari tahtanya akibat
pertentangan antara kaum Patricia dengan rakyat jelata (Plebeia)
Terselesaikan dengan perundingan 12 meja,
Pemerintahan dipegang oleh dua orang konsul bersama-sama dengan dewan
pemerintahan---menjalankan undang-undang
Pemerintahan diselenggarakan demokrasi, namun dalam keadaan darurat, kekuasaan
dipusatkan pada satu tangan yang punya kekuasaan yang besar dan mutlak----
diktator
14. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)
Demokrasi lenyap tergantikan pandangan kedaulatan Tuhan
Mula-mula dikatakan yang mewakili Tuhan di dunia ini (dan dalam negara) adalah
Paus, ini adalah pendapat dari Agustinus (354 M – 430 M).
Thomas Aquinas (1224 M – 1274 M) menyatakan bahwa kekuasaan Raja dan
Paus adalah sama, Raja dalam lapangan keduniawian dan Paus dalam
lapangan keagamaan
Marsilius (1270 M – 1340 M) menitikberatkan kekuasaan itu ada pada negara atau
Raja. Menurut Marsilius, Raja adalah wakil dari Tuhan untuk melaksanakan
kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia
Ajaran Marsilius inilah yang menimbulkan kekuasaan raja-raja yang bersifat
absolut. Dan dengan diperkuat oleh ajaran Nicolo Machiavelli (1469 M – 1527 M)
dengan bukunya yang terkenal Il Principe dengan ajaran Staats-raisonnya,
menyatakan bahwa seorang raja haruslah seperti kancil dan singa sekaligus dan
dapat tidak menepati janji jika negara hendak dirugikan Dengan pernyataan tentang
kekuasaan raja, bahwa seorang raja harus menjadi seekor kancil dan singa sekaligus,
seekor kancil agar dia tidak terjerat dalam jaring-jaring orang lain, dan singa agar
dia tidak gentar mendengar raungan serigala, barulah dia dapat melakukan tugasnya
dengan baik. Jikalau negara hendak dirugikan, raja tidak perlu menepati janjinya.
15. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)
Jean Bodin (1530 M – 1596 M) dengan ajaran Staats Souvereinitet dalam bukunya yang
berjudul Lex Six Livres de la Republique, yang diterbitkan tahun 1576. Pada awalnya, ajaran
Jean Bodin ini hanya memberikan dasar-dasar yuridis terhadap kekuasaan absolut di bawah
pemerintahan Raja Henry IV pada tahun 1589 M sampai 1610 M di Perancis. Jean Bodin
menyatakan bahwa tujuan negara adalah kekuasaan, yang berarti bahwa negara merupakan
perwujudan dari kekuasaan. Dan untuk memperkuat pendapatnya, ia lalu merumuskan
tentang kedaulatan, yaitu kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan
rakyatnya, tanpa adanya pembatasan apapun dari undang-undang. Dan dalam hal ini,
raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi/kedaulatan menetapkan undang-undang, dan yang
dimaksud dengan undang-undang adalah hukum positif, jadi bukan hukum Tuhan atau hukum
alam. Jean Bodin tidak mempunyai kekuasaan di samping raja. Ia hanya dapat menerima bila
badan perwakilan itu terdiri dari suatu kelas atau kasta dan yang hanya mempunyai kekuasaan
untuk memberi nasihat kepada raja.
Berakhir ketika munculnya Reformasi Gereja yang dipelopori oleh Luther, Melanchton,
Zwingli dan Calvin.
Calvin berpendapat bahwa Tuhan adalah yang berdaulat, yang mempunyai kekuasaan
tertinggi. Raja memerintah atas kehendak Tuhan, dan sebagai wakil dari Tuhan. Jika raja
dalam memerintah tidak mengindahkan perintah-perintah Tuhan, maka ia menjadi seorang
tiran atau raja yang lalim. Ajaran Calvin ini pada hakekatnya menundukkan raja atau negara
kepada kehandak Tuhan, atau menjadikan negara sebagai alat pelaksana kedaulatan Tuhan.
16. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Abad Ke-V Sampai Abad Ke-XV(Abad Pertengahan)
Golongan monarkomaken, dengan tokohnya antara lainL Hotman, Brutus,
Buchanan, Johannes Althusius, Mariana, Bellarmin, Suarez, dan Milton. Johannes
Althusius (1548 M – 1638 M) pelopor dari golongan monarkomaken, dengan
ajarannya yang tidak lagi mendasarkan kekuasaan raja pada kehendak
Tuhan, tetapi atas kehendak masyarakat/rakyat. Masyarakat terbentuk dari
individu-individu. Kemudian masyarakat ini dengan jalan atau melalui
perjanjian memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk memerintah dalam
negara itu, orang inilah disebut dengan raja. Althusius berpendapat tentang
kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan segala
sesuatu yang menuju kepada kepentingan jasmani dan rohani dari anggota-
anggota negara, kekuasaan itu ada pada rakyat sebagai kesatuan. Dan
perwujudan dari kedaulatan adalah undang-undang, yang harus dijalankan oleh raja.
Raja terikat atau terbatas kekuasaannya oleh undang-undang, kalau raja melanggar
undang-undang, rakyat dapat menghentikannya atau membunuhnya.
17. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Abad Ke-XVII dan Abad Ke-XVIII
Kemudian pada abad ke-XVII dan ke-XVIII, dengan munculnya kembali teori tentang hukum alam
yang menggali kembali ajaran Yunani Kuno dan Romawi Kuno
Frederik Yang Agung (1712 – 1786) yang menentang ajaran Niccolo Machiavelli
John Locke (1632 – 1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government, yang
menyatakan tentang adanya hak-hak alamiah manusia (yaitu hak atas hidup, hak merdeka, dan hak
atas milik) dan membatasi setiap kekuasaan apapun terhadap manusia harus dibatasi oleh hak-hak
alamiah ini. Untuk menjamin terlindunginya hak-hak alamiah ini, lalu manusia mengadakan
perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat dan selanjutnya negara. Dalam perjanjian
masyarakat ini, individu menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi tidak
semuanya. Masyarakat kemudian menunjuk seorang penguasa yang kemudian diberikan wewenang
untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak alamiah tersebut. Dan dalam menjalankan
kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh hak-hak alamiah tersebut.
Thomas Hobbes (1588 – 1679) yang menyatakan kekuasaan penguasa itu bersifat mutlak. Pendapat
tersebut dituangkan dalam dua buah bukunya yang berjudul De Cive dan Leviathan. Menurut
Thomas Hobbes perjanjian masyarakat sifatnya langsung, artinya orang-orang uang
menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan haknya atau
kemerdekaannya kepada raja, jadi tidak melalui masyarakat, raja berada di luar perjanjian dan
bukan merupakan pihak dalam perjanjian itu, dengan dmeikian raja tidak terikat oleh perjanjian,
dan mempunyai kekuasaan yang absolut. Perjanjian itu sendiri terjadi karena adanya rada takut
yang ada pada tiap-tiap manusia.
18. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Abad Ke-XVII dan Abad Ke-XVIII
Tokoh kedaulatan rakyat yang muncul dan berpengaruh pada abad XVII dan XVIII adalah Jean
Jacquest Rousseau (1712 – 1778). Ajaran Rousseau ini menentang teori kedaulatan raja, pada saat
itu keadaan di Perancis dikuasai oleh raja yang absolut. Teori Rousseau ini ingin mengubah sistem
pemerintahan yang absolut itu, seperti itu halnya dengan teori Montesquieu (1688 – 1755) tentang
Trias Politica. Menurut pandangan Rousseau tentang kedaulatan rakyat adalah bahwa raja berkuasa
hanya sebagai wakil dari rakyat, dan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat. Setiap waktu
raja dapat digeser kekuasaannya apabila tidak melaksanakan kemauan rakyat atau kemauan umum
(volonte generale). Menurut Rousseau pula negara didirikan untuk menjamin kebebasan
individu yang satu agar tidak melangar individu yang lain. Dalam keadaan alamiahnya
(status naturalis), orang/individu memiliki kebebasan penuhnya dan menyerahkan
kebebasan penuhnya kepada rakyat secara keseluruhan (terjadi kontrak sosial), setelah
kontrak sosial rakyat menerima hak-hak sipilnya (civil right).
Immanuel Kant (1724 – 1804) menyatakan bahwa perjanjian masyarakat itu tidak pernah
terjadi dan tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa sejarah. Perjanjian masyarakat
itu tidak pernah terjadi dan tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa sejarah. Perjanjian
masyarakat sesungguhnya adalah konstruksi yuridis yang dapat mempermudah orang dalam
menerangkan bagaimana negara itu terjadi, bagaimana negara itu ada, bagaimana kekuasaan dalam
negara, dan ada pada siapa kekuasaan itu, serta bagaimana sifatnya negara adalah suatu keharusan
adanya, karena negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum.
Negara harus menjamin setiap warga negara bebas dalam lingkungan hukum. Segala perbuatan
meskipun bebas harus sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang, harus menurut
kemauan rakyat, karena undang-undang merupakan penjelmaan daripada kemauan umum.
19. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Abad Ke-XIX Sampai Saat Ini
Pada abad ke-XIX ini telah mulai terbentuk partai-partai politik dan dianggap perlu
untuk dapat bekerjanya badan-badan perwakilan yang mencerminkan kemauan
rakyat yang sesungguhnya, atau representatif dari rakyat. Dan dengan keadaan
tersebut berkembanglah demokrasi modern, hingga saat ini
Asas kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan pemerintah bersumber pada
kehendak rakyat. Prinsip dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip
demokrasi. Arti harafiah dari demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, adalah
mungkin juga suatu yang paling dasar dan paling luas didefinisikan. Perubahan yang
utama bahwa penting ketika kita berbicara tentang demokrasi pada lebel nasional
dalam negara-nation berskala besar modern adalah bahwa tindakan-tindakan
pemerintah biasanya tidak diselenggarakan secara langsung oleh warga negara tetapi
secara tidak langsung melalui perwakilan yang mereka pilih secara bebas dan
berdasarkan kesamaan.
Abraham Lincoln, adalah pemerintah untuk rakyat – bahwa demokrasi
sesuai dengan pilihan rakyat
20. 2.3. ASAS KEDAULATAN RAKYAT
Abad Ke-XIX Sampai Saat Ini
Robert Dahl menunjukkan, demokrasi responsif yang layak dapat terjadi ada hanya
jika paling sedikitnya terdapat jaminan terhadap delapan institusi:
1.Kebebasan untuk membuat dan bergabung dalam organisasi;
2.Kebebasan untuk berekspresi;
3.Hak untuk memilih;
4.Sifat memenuhi syarat untuk jawabat pemerintahann;
5.Hak terhadap pemimpin-pemimpin politik untuk bersaing untuk pendukung dan
suara;
6.Sumber-sumber alternatif terhadap informasi;
7.Pemilihan umum yang bebas dan jujur;
8.Institusi-institusi untuk pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tergantung
pada suara pemilih dan pernyataan-pernyataan pilihan yang lain
21. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Penjelasan Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum,
yang masih terus berlaku sampai Pemilu 1997, disebutkan bahwa tujuan
pemilihan umum adalah:
“Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita
Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana
tersebut dalam Pancasila/Undang-Undang Dasar 1945, maka penyusunan tata
kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan Pemilihan Umum. Dengan demikian,
diadakan pemilihan umum tidak sekadar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam
lembaga permusyawaratan/perwakilan, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk
menyusun negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang
membawa isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan, mempertahankan, dan
mengembangkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada
Proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengembang Amanat Penderitaan
Rakyat. Pemilihan umum adalah suatu alat yang penggunaannya tidak boleh
mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan menimbulkan hal-hal yang
menderitakan rakyat, tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu
tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankan Undang-Undang Dasar 1945.”
22. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Asas Pemilihan Umum di Indonesia seperti yang tercantum dalam Penjelasan UU No.
15 Tahun 1969, dirumuskan sebagai berikut:
1. Umum
Ialah bahwa pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan dalam usia, yaitu telah berusia
17 tahun atau telah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilihan, dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih.
Jadi pemilihan bersifat umum berarti pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap/semua warga negara;
menurut persyaratan asasi (basic) tertentu, seperti tersebut di atas. Persyaratan lain-lain, yang teknis atau
politis, tidaklah dihubungkan dengan adanya pemilihan, tetapi semata-mata dihubungkan dengan praktik
pelaksanaannya dan tujuan pemilihan serta fungsi badan/lembaga yang disusun.
2. Langsung
Ialah rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya
tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
4. Bebas
Ialah bahwa tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya
untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaru, tekanan atau paksaan dari
siapapun/dengan apapun.
5. Rahasia
Ialah bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan
apapun siapa yang dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui
orang lain kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).”
23. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1999, disebutkan:
1)Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
2)Pemilihan Umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil
dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas,
dan rahasia.
3)Pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari
yang diliburkan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4)Pemilihan umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional
berdasarkan stelsel daftar.
24. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Asas Pemilihan Umum 1999 sangat berbeda, penjelasan UU No. 3 Tahun 1999 disebutkan
bahwa pengertian Asas Pemilihan Umum yaitu:
1. Jujur
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, Penyelenggaraan Pelaksana, Pemerintah dan Partai Politik Peserta Pemilihan
Umum, Pengawas dan Pemantau Pemilihan Umum, termasuk Pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung,
harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
2. Adil
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum setiap pemilihan dan partai politik peserta Pemilihan Umum mendapat perlakuan
yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
4. Langsung
Rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
5. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyarata minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
telah pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun berhak
dipilih. Jadi jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa
diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.
6. Bebas
Setiap warga negara berhak memilih, bebas menentukan pemilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam
melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan
kepentingannya.
7. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suara diberikan. Asas
Rahasia ini tidak berlaku bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan
pilihan kepada pihak manapun.
25. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Pemilihan Umum secara eksplisit diatur di dalam Bab VII B Pasal 22E
UUD 1945 Perubahan ke-III, yaitu sebagai berikut:
1)Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
2)Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
3)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rkayat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik.
4)Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
5)Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6)Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.
26. 2.4. TUJUAN DAN ASAS PEMILU DI INDONESIA
Tujuan Pemilihan Umum dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD adalah:
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil
rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan
yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
28. 3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945
•Bagian Pembukaan
Bagian pembukaan UUD RI 1945 merupakan bagian yang berisi latar belakang
terbentuknya UUD RI 1945 yang disusun secara komprehensif dan
menyeluruh. Muatan yang terkandung dalam bagian tersebut mencakup aspek
historis, sosiologis, filsofis dan juga yuridis. Dengan muatan tersebut di atas
maka dapat ditemukan pula bentuk kedaulatan yang dikehendaki oleh UUD RI
1945. Adapun dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD RI 1945 yang berbunyi
sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratn/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
29. 3.1. KEDAULATAN RAKYAT PADA UUD RI 1945
•Bagian Batang Tubuh
Berdasarkan Pembukaan UUD RI 1945 di atas bentuk kedaulatan yang
dipilih oleh Indonesia adalah kedaulatan rakyat, demikian pula
dipertegas pada bagian Batang Tubuh UUD RI 1945. Adapun pasal 1
ayat (2) UUD RI 1945, yang mempertegas bahwa Indonesia menganut
kedaulatan rakyat, berbunyi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
Konstruksi pemikiran dari pasal tersebut di atas ialah walaupun
kedaulatan/ kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, namun
pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini
bukan berarti pemegang kedaulatan adalah Undang-Undang Dasar,
melainkan Undang-Undang Dasar ini yang menjadi satu-satunya
sumber acuan formil dan materil penyelenggaraan negara dalam hal
ini perwujudan dan/ atau penerapan kedaulatan rakyat di Indonesia
demi sebuah kepastian hukum.
30. 3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU
• Kedaulatan rakyat Indonesia dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
Dasar, yang kemudian kedaulatan tersebut diselenggarakan oleh lembaga-
lembaga atau organ-organ negara, berdasarkan perannya masing-masing,
melalui perwakilan-perwakilannya. Penempatan wakil-wakil rakyat tersebut
dilakukan melalui sebuah mekanisme pengisian jabatan lembaga-lembaga
negara, dimana pengisian jabatan tesebut tidak dilakuakan secara carut marut
melainkan dengan sebuah sistem yang teratur.
• Cara pengisian jabatan publik ini tidak dapat lepas dari sistem demokrasi
yang dianut dalam sebuah negara. Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
mengemukakan dalam kedaulatan rakyat, bahwa rakyatlah yang dianggap
sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
• Mekanisme atau cara rakyat menentukan dan/ atau memilih para wakil
rakyatnya itu dikenal dengan sebutan pemilihan umum (general election).
Dengan demikian, pemilihan umum tidak lain adalah cara yang
diselenggarakan untuk memilih para wakil rakyatnya secara demokratis.
Pemilihan umum itu harus menjamin kebebasan rakyat dalam menyatakan
pilihan sesuai dengan kesadaran hati nuraninya.
31. 3.2. HUBUNGAN KEDAULATAN RAKYAT DENGAN PEMILU
• Dengan demikian dapat dipahami hubungan antara
kedaulatan rakyat dengan pemilihan umum adalah
bahwa pemilihan umum merupakan cara untuk
penyelenggaraan atau bagaimana kedaulatan rakyat
itu dijalankan, pemilihan umum ini dimaksudkan dan
tidak lain untuk memilih dan pengisian jabatan para
wakil rakyat yang dapat merepresentasikan aspirasi
rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat
32. 3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU
• Duverger mendefinisikan sebagai grup terorganisir yang mencari
kekuasaan politik, baik lewat pemilihan umum yang demokratis maupun
lewat revolusi.
• .Sven Quenter mendefinisikan partai adalah organisasi yang menurunkan
kandidatnya untuk merebut kursi parlemen nasional satu negara lewat
pemilu.
• Alan Ware mendefinisikan partai sebagai satu institusi yang mencari
pengaruh dalam satu negara, kerap dengan usaha merebut posisi dalam
pemerintahan
• Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seazas, sehaluan, dan
setujuan (terutama di bidang politik)
• Partai politik tidak hanya sekedar asal kumpul, namun lebih dari itu, partai
adalah perkumpulan orang-orang yang seazas, sepaham dalam pandangan
politik, yang dalam kehidupan politik berikhtiar unutk menghembuskan
dan memenangkan pandangannya, serta menelurkan pandangan ini ke
dalam program. Partai bertujuan pula untuk mengambil alih tanggung
jawab kekuasaan.
33. 3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU
•Schimitter (1999) menyebut partai politik berfungsi sebagai
Electoral structurization (menstrukturisasi pemilihan umum)
Symbolic integration (integrasi simbolis)
Governing function (fungsi memerintah)
Aggregative function (fungsi penggabung)
•Morlino (1995) menyebutkan fungsi-fungsi partai politik yaitu
Menarik dukungan massa pada pemilihan umum
Rekruitmen untuk menduduki pos-pos jabatan penting di pemerintahan nasional parlemen dan pemerintahan
lokal
Formulasi pilihan politik alternatif bagi publik
Dalam tingkatan elit sebagai penghubung dengan birokrasi, militer dan yudikatif
Sabuk pengaman transmisi bagi tuntutan-tuntutan sosial
Delegasi atau wakil dari masyarakat sipil atau civil society atau kerap disebut dengan masyarakat madani
•Abdul Bari Azed dan Makmur Amir dalam bukunya Pemilu dan Partai Politik di
Indonesia memberikan fungsi partai politik sebagai berikut:
Sosialisasi politik
Partisipasi politik
Rekruitmen politik
Komunikasi politik
Artikulasi kepentingan
Agregasi kepentingan
Pembuat kebijaksanaan
34. 3.3. HUBUNGAN PARPOL DENGAN PEMILU
•Dengan melihat definisi dan fungsi dari partai politik, maka
jelaslah bahwa partai politik dan pemilihan umum memiliki
hubungan yang hampir tidak dapat terpisahkan. Secara
historispun partai politik merupakan perkembangan dari
demokrasi langsung menjadi demokrasi perwakilan dimana
partai merupakan tempat ata sarana penampung dan alat
perjangan keterwakilan aspirasi politik. Dalam hal ini partai
politik merupakan peserta dalam pemilihan umum, sebagai
alat dan/ atau kendaraan yang berperan menampung
aspirasi politik dan kepentingannya yang kemudian
memperjuangkannya dalam pemilihan umum demi
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh partai
politik tersebut
35. 3.4. PENERAPAN DALAM PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR
• Republik Indonesia dalam UUD RI 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan diri bahwa
keukasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat (menganut kedaulatan rakyat
dimana dalam penyelenggaraan kedaulatan rajyat ini dilakukan sepenuhnya berdasarkan
berdasarkan UUD RI 1945. Berdasarkan UUD RI, dalam penyelenggaraan kekuasaan negara
dilakukanlah separation of power, sehingga terdapat beberapa lembaga negara dengan tugas
dan wewenangnya masing-masing. Salah satu lembaga negara penyelenggara kedaulatan
rakyat menurut UUD RI 1945 adalah Dewan Perwakilan Rakyat.
• Prinsip dari kedaulatan rakyat yang mengkehendaki pemerintahan dari, oleh dan untuk
rakyat, hal ini berakibat pada pengisian pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat-
pun harus mencerminkan suatu keadaan (civil supremacy) rakyat yang berdaulat. Maka,
dalam hal ini pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat haruslah dapat
mempresentasikan kehendak rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut di atas, diperlukanlah
dan/atau disusunlah sebuah mekanisme mengenai pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat. UUD RI 1945 menjawab mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat melalui sebuah mekanisme yang disebut pemilihan umum. Dimana peserta dalam
pemilihan umum ini adalah partai politik, sebagimana dimaksud dalam UUD RI 1945.
Sebagaimana diketahui pada subbab di atas, mengenai fungsi partai politik, parati politik
berperan besar dalam menampung aspirasi politik rakyat dan memperjuangkannya guna
mewujudkan kedaulatan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat dimana partai politik
tersebut harus melalui mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat,
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat
37. • Pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana
dimaksud dalam UUD RI 1945 Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi:
“Anggota Dewan Perwakian Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.”
• Kemudian pada Pasal 22 E ayat (2) UUD RI 1945 kembali dituliskan
tujuan dari pemilu yaitu:
“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
• Adapun peserta dalam pemilhan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Pasal 22 E ayat (3) UUD RI
1945 yaitu:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
38. 4.2. FAKTOR-FAKTOR…
• Sistem Pemilu
Sistem Pemilu 2004 hampir sama dengan sistem Pemilu 1999. Sistem kepartaian masih sama, yaitu
sistem banyak partai, tetapi dibatasi dengan apa yang disebut electoral threshold. Hanya partai yang
berhasil memperoleh persentase hasil pemilu tertentu yang dapat ikut di parlemen. Sistem pemilu
yang dipakai pada Pemilu 2004 adalah sistem proporsional, tetapi dengan sistem daftar terbuka, di
mana rakyat diberikan keleluasaan untuk mencoblos partai sekaligus calon-calonnya, dengan daftar
nama yang disertakan dalam surat suara.
Pasal 107 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2003, penetapan calon yang tidak mencukup bilangan pembagi
pemilihan (BPP) akan dilakukan sesuai “urut kacang” oleh partai politik yang bersangkutan,
pengaturan ini sedikit banyak mengurangi makna dari sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Partai politik masih sangat dominan dalam proses penentuan calon terpilih
• Penerapan sistem pemilihan umum tersebut, dianggap kurang mencerminkan
dan/atau melaksanakan kedaulatan rakyat. Salah satunya adalah peran partai politik
yang masih terlalu besar dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pada perkembangannya, pasca pemilihan
umum tahun 2004, wacana mengenai mekanisme penghitungan suara untuk
menetapkan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dengan mekanisme suara
terbanyak (majoritarian vote) sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran mengenai
sistem pemilihan umum tahun 2009 yang mendorong harus dibentuknya undang-
undang tentang pemilihan umum yang baru.
39. 4.2. FAKTOR-FAKTOR…
• Kegagalan dalam Pemenuhan Ketentuan Mengenai Keterwakilan
Perempuan Minimal 30% (tiga puluh perseratus)
Pasal 65 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 yang berbunyi:
“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, untuk setiap daerah pemilihan
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
apabila pasal ini ditafsirkan lebih lanjut, kata “dapat” dalam pasal ini masih
mengandung multi tafsir, dalam hal ini keterwakilan perempuan bukan
imperatif, melainkan fakultatif, sehingga perumusan ini tidak diberi sanksi
terhadap partai politik yang tidak memenuhi kuota tersebut. Bahkan berkaitan
dengan urutan nama calon dalam daftar calon anggota DPR pun tidak diatur
lebih lanjut mengenai kuota keterwakilan perempuan. Menurut beberapa
pengamat politik, bukan tidak mungkin pengurutan caleg perempuan akan
disimpan pada urutan di bawah, sehingga caleg pria lebih diutamakan oleh
partai tersebut
Pemilu 2004, dari 24 partai politik peserta Pemilu 2004 tidak melaksanakan
affirmative action sebagai mana amanat UU No. 12 Tahun 2003.
40. 4.2. FAKTOR-FAKTOR…
• Kegagalan dalam Pemenuhan Ketentuan Mengenai Keterwakilan
Perempuan Minimal 30% (tiga puluh perseratus)
8 partai politik yang tidak memenuhi kuota perempuan. Ironisnya, partai
politik tersebut didominasi oleh partai politik pendulang suara terbesar
Pemilu 1999. Di antaranya adalah Partai Golkar sebanyak 28,3%, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 28,3%, Partai Persatuan
Pembangunan sebanyak 22,3%, serta Partai Bulan Bintang sebanyak
23,8%. Dari ke-24 partai politik tersebut hanya Partai Keadian Sejahtera
yang terbanyak melakukan penyebaran kuota perempuan 30%, yaitu di
65 dari 69 daerah pemilihan. Sedangkan Partai Golkar justru merupakan
partai yang paling kecil melakukan penyebaran kuota perempuan 30%,
yaitu 24 dari 69 daerah pemilihan.
Dengan demikian, pasal ini, walaupun berangkat dari niat politik yang
memperjuangkan perempuan dengan affirmative action, tetapi tidak
tegas terhadap pemecahan permasalahan kuota perempuan 30% pada
praktiknya
41. 4.2. FAKTOR-FAKTOR…
• Kegagalan Transparansi Mengenai Pendanaan dan
Laporan Penggunaan Dana Kampanye
Pasal 79
1) Seluruh laporan dana kampanye peserta Pemilu, baik penerimaan maupun
pengeluaran, wajib diserahkan kepada akuntan publik terdaftar selambat-lambatnya
60 (enam puluh) hari sesudah hari pemungutan suara.
2) Akuntan publik terdaftar wajib menyelesaikan audit selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada KPU dan
peserta Pemilu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah selesainya audit.
Pada prinsipnya, pengaturan mengenai adanya pendanaan kampanye bertujuan agar
terjadinya transparansi mengenai sumber pendanaan kampanye dan laporan
penggunaan dana kampanye. Namun sangat disayangkan pengatran ini menjadi
sekedar sebuah himbauan bagi peserta pemilu, karena sifatnya yang tidak imperatif
dan tidak disertai sanksi apabila tidak dipenuhi oleh peserta pemilu
42. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
• Keterwakilan Perempuan
Pasal 53 UU No.10 Tahun 2008
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 memuat
paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”
Pasal 55 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang berbunyi:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap 3(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang perempuan bakal calon.
Pasal 57 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2008 sebagai berikut:
“KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan
verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”
43. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
• Keterwakilan Perempuan
Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang berbunyi:
1) “Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon
sebagaimana diatur dalam pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU Provinsi, dan KPU
kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada partai politik
peserta pemilu.
2) Dalam hal daftar calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal
calon tersebut.”
Dengan demikian, adanya pengaturan kuota keterwakilan perempuan minimal 30%
yang bersifat imperatif dan merupakan affirmative action tersebut dalam syarat
verifikasi, apabila partai politik yang tidak memenuhi aturan akan tidak dapat
menjadi peserta dalam pemilihan umum anggota DPR karena akan dieliminasi oleh
KPU. Dalam hal ini muculah sebuah harapan yang besar bahwa kaum perempuan
akan lebih terwakili aspirasinya dalam DPR.
44. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
• Pendanaan Kampanye
Pasal 129 ayat (6) dan (7) yang berbunyi:
(6). Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam
pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari
pembukuan keuangan partai politik.
(7). Pembukuan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3
(tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup satu minggu
sebe;um penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor
akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Pasal 134 Ayat (1) dan Pasal 135 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 yang berbunyi:
Pasal 134
(1). Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan laporan awal
dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal
pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.
Pasal 135
(1). Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan dan
pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama
15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara
45. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
• Pendanaan Kampanye
Diperkuat sanksi menurut dalam pasal 138 Ayat (1) dan (3) yang berbunyi
demikian:
(1). Dalam hal pengurus partai poitik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat
provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal
dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 ayat (1),
partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai
Peserta Pemilu pada wilayah yang besangkutan.
(3). Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat
provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik
yang ditunjuk KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal
135 ayat (1), partai politik yang bersankutan dikenai sanksi berupa tidak
ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota menjadi calon terpilih.
46. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
•Sistem Pemilu dan Penetapan Perolehan
Kursi DPR
Sistem pemilihan umum menurut UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1) adalah:
(1). Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka
Pada UU No. 10 Tahun 2008 ini mepergunakan sebuah sistem penentuan perolehan kursi yang
lain dengan UU No. 12 Tahun 2003. Hal itu ditunjukkan dengan sebuah terobosan baru dengan
penentuan parliementary threshold sebesar 2,5% (dua koma lima perseratus), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 202 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008:
(1). Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-
kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk
diikutkan dalam penentuan kursi DPR.
Partai politik yang tidak dapat memenuhi ketentuan di atas maka tidak akan diikutsertakan
dalam pada perhitungan perolehan kursi DPR di wilayah daerah pemilihannya, sebagaimana
dimaksud Pasal 203 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 yang bunyinya:
(1). Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan
perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan
47. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
•Sistem Pemilu dan Penetapan Perolehan Kursi DPR
(perdebatan mengenai parliamentary threshold)
Fraksi Partai Amanat Nasional bernama Andi Yuliani Paris:
“Pembahasan atas berbagai materi krusial Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu)
masih terus berlanjut. Salah satu masalah krusial yang hingga kini masih diperdebatkan, yakni
‘parliamentary threshold’ (PT). Sebab, kendati 10 fraksi di DPR RI sepakat adanya PT, namun masih ada
banyak hal yang perlu dibahas”
Pro terhadap adanya parliamentary threshold adalah Eko Prasojo, dengan menyatakan harapannya sebagai
berikut:
“ia mengharapkan adanya pembatasan parpol melalui parliamentary threshold sebesar 3 persen bukan
electoral threshold. Karena dengan parliamentary threshold bisa mengurangi jumlah parpol di parlemen
yang bisa menciptakan kestabilan dalam bidang politik.”
Makmur Amir, pengajar di Universitas Indonesia mengungkapkan:
“parliamentary threshold ini lebih ditujukan agar terwujudnya kestabilan politik. Secara prinsipil suara yang
hilang karena tidak lolos parliamentary threshold, bukan berarti memasung hak berdemokrasi, tetapi suara
itu tidak hilang karena kursi yang ada tetap dibagikan pada partai politik yang lolos parliamentary
threshold dengan demikian demokrasipun tetap terlaksana.”
Sedangkan di satu sisi ada pihak yang bertentangan terhadap adanya parliamentary threshold, seperti
dinyatakan Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta sebagai berikut:
"Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold/ batas minimum perolehan suara) menggambarkan
ketidakadilan sistem politik, Parliamentary threshold adalah mekanisme untuk memasung hak
berdemokrasi sehingga dikhawatirkan rakyat akan marah jika suaranya dihilangkan.
48. 4.3.4. PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR…
Simulasi Penghitungan Parliamentary
No Nama Parpol Perolehan Suara 2,5%(YA/TIDAK)
1 Partai Golkar 24.480.757 (21.57%)
YA
Threshold dengan Data Hasil 2 PDI-P 21.026.629 (18.53%)
YA
Perolehan Suara Pemilu 2004 3 PKB 11.989.564 (10,57%)
YA
4 PPP 9.248.764 (9,15%)
YA
5 Partai Demokrat 8.455.255 (7,45%)
Bila parliamentary threshold ini dilakukan YA
simulasi pada hasil perolehan suara 6 PKS 8.325.020 (7,34%)
YA
dalam pemilu tahun 2004, maka hanya 7 PAN 7.303.324 (6.44%)
YA
ada 8 (delapan) partai politik yang lolos 8 PBB 2.970.487 (2,62%)
YA
9 PBR 2.764.998 (2,44%)
dari parliamentry threshold,
TIDAK
10 PDS 2.414.254 (2,13%)
TIDAK
11 PKPB 2.399.290 (2,11%)
TIDAK
12 PKPI 1.424.240 (1,26%)
TIDAK
13 PPDK 1.313.654 (1,16%)
TIDAK
14 PNBK 1.230.450 (1,08%)
TIDAK
15 Partai PP 1.073.139 (0,95%)
TIDAK
16 PNI Marhaenis 929.159 (0,81%)
TIDAK
17 PPNUI 895.610 (0,79%)
TIDAK
18 Partai Pelopor 878.932 (0,77%)
TIDAK
19 Partai PDI 855.811 (0,75%)
TIDAK
20 Partai Merdeka 842.541 (0,74%)
TIDAK
21 PSI 679.296 (0,60%)
TIDAK
22 Partai PIB 672.957 (0,59%)
TIDAK
23 PPD 657.916 (0,58%)
TIDAK
24 PBSD 636.397 (0,56%)
TIDAK
Total 113.462.414 (100%) 550 (100%)
49. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Selanjutnya memasuki tahapan penghitungan Bilangan Pembagi
Pemilihan (BPP) dimana aturan penghitungannya menurut Pasal 203
ayat (2) dan (3) UU 10 Tahun 2008 yang berbunyi demikian:
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah
pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu
dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 ayat (1).
(3)Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah
pemilihan, ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah
suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
50. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Pasal 203 ayat (2) dan (3) UU 10 Tahun 2008 yang berbunyi demikian:
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah
pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu
dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 ayat (1).
(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah
pemilihan, ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah
suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
51. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Apabila aturan di atas disimulasikan dengan sebuah contoh (i),
penghitungannya sebagai berikut: ada 12 (dua belas) kursi yang
diperebutkan pada daerah pemilihan B. Adapun partai politik yang lolos
ambang batas perolehan suara adalah partai Q,W,E,R,T dan Y
sedangkan partai U dan I tidak lolos. Perolehan suara partai Q sebesar
38.098 suara, partai W sebesar 10.243 suara, partai E 98.790 sebesar
suara, partai R sebesar 75.469 suara, partai T sebesar 12.341 suara,
partai Y sebesar 52.349 suara, partai U sebesar 67.890 suara dan I
sebesar 1.213 suara. Walaupun partai U pada daerah pemilihan B ini
memiliki suara yang besar, namun secara nasional tidak mencapai
parliamentary threshlod maka tidak akan diperhitungakan dalam
perhitungan BPP, demikian pula dengan partai I. adapun perhitungan
matematisnya:
BPP = 12 : ((Q+W+E+R+T+Y+U+I)-(U+I))
BPP = 12 : 287.290
BPP = 1 : 23.940
Pengertian dari BPP ini adalah dalam daerah pemilihan B, satu kursi
52. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Pada Pasal 204 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan bahwa perolehan kursi partai politik untuk
anggota DPR ditetapkan oleh KPU. Penentuan tersebut dilakukan dengan aturan yang telah termuat dalam
Pasal 205, 206, 207, 208, 209, 210, 213 ayat (1), dan 214 UU No. 10 Tahun 2008, yang selengkapnya
sebagai berikut ini:
Pasal 205
1)Penentuan perolehan jumlah kursianggota DPR partai politik peserta pemilu didasarkan atas hasil pnghitungan
seluruh suara sah dari setiap partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan pasal 202 di daerah pemilihan
yang bersangkutan.
2)Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR.
3)Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakauakn penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagai
jumlah suara sah yang diperoleh suatu partai politik peserta pemilu disuatu daerah pemilihana dengan BPP DPR.
4)Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara
membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.
5)Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan
perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di propvinsi
untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
6)BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan
membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi
7)Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan
cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan
53. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Pasal 206
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang
baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan kursi partai politik
peserta pemilu dilakuakan dengan cara membagikan sisa kursi ada partai politik
peserta pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi
habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.
Pasal 207
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimanan dimaksud
dalam pasal 206 dan sisa suara partai politik peserta pemilu sudah terkonversi
menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki
akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 208
Penetapan perolehan kursi partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 205 ayat (7) dan pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang
masih memiliki sisa kursi.
Pasal 209
Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara
dilakukan habis di daerah pemilihan tersebut.
54. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Pasal 214
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta
pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik
peserta pemilu disuatu daerah pemilihan, dengan
ketentuan:
a.calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang
memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh perseratus) dari BPP;
b.dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a
jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang
diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut
lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari
BPP;
c.dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang
memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara
yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan
kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di
antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-
55. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Namun ada beberapa bagian dari cara penghitungan tersebut yang sudah tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai dampak dari putusan
Mahkamah Konstitusi yaitu PUTUSAN NOMOR 22-24/PUU-VI/2008. Adapun
amar putusan tersebut yaitu:
•Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
•Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
Walaupun terdapat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi
menyatakan tidak adnya kekosongan hukum dikarenakan di satu sisi dalam
pertemuan dengan pihak yang merupakan penyelenggara pemilu, KPU,
menyatakan kesiapan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
56. 4.3. TINJAUAN TERHADAP UU 10/2008…
Secara umum memang Keptutusan Mahkamah Konstitusi ini tidak akan
mempengaruhi secara besar penyelanggaraan pemilihan umum. Namun
ternyata hadir permasalahan hukum krusial yang harus dapat kembali
dijawab yaitu mengenai kuota minimal 30% sebagai kebijakan politik
affirmative action yang telah diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal
ini disebabkan, dengan penentuan suara terbanyak, maka posisi
pengurutan nomor urut calon anggota perempuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2008 yang diharapkan
adanya dampak positif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan
menjadi tidak berarti. Kondisi tersebut senada dengan pendapat Masruach,
Sekeretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia yang mengatakan:
“sistem BPP 30 persen sejatinya telah menunjukkan adanya sistem
proporsional terbuka terbatas. Ditambah dengan sistem zipper yang
mewajibkan nama perempuan setidaknya dalam tiga daftar nama caleg,
kesempatan bagi perempuan relatif lebih terbuka dibandingkan saat Pemilu
2004
58. Simpulan
Penerapan asas kedaultan rakyat dalam pengisian keanggotaan Dewan
Perwakilan Rakyat yaitu Republik Indonesia dalam UUD RI 1945 dalam Pasal 1 ayat (2)
menyatakan diri bahwa keukasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat (menganut
kedaulatan rakyat dimana dalam penyelenggaraan kedaulatan rajyat ini dilakukan sepenuhnya
berdasarkan berdasarkan UUD RI 1945. Berdasarkan UUD RI, dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara dilakukanlah separation of power, sehingga terdapat beberapa lembaga negara
dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Salah satu lembaga negara penyelenggara
kedaulatan rakyat menurut UUD RI 1945 adalah Dewan Perwakilan Rakyat.
Prinsip dari kedaulatan rakyat yang mengkehendaki pemerintahan dari, oleh dan untuk
rakyat, hal ini berakibat pada pengisian pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat-pun
harus mencerminkan suatu keadaan (civil supremacy) rakyat yang berdaulat. Maka, dalam hal
ini pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat haruslah dapat mempresentasikan
kehendak rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut di atas, diperlukanlah dan/atau disusunlah
sebuah mekanisme mengenai pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat. UUD RI 1945
menjawab mekanisme pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat melalui sebuah
mekanisme yang disebut pemilihan umum. Dimana peserta dalam pemilihan umum ini adalah
partai politik, sebagimana dimaksud dalam UUD RI 1945. Sebagaimana diketahui pada subbab
di atas, mengenai fungsi partai politik, parati politik berperan besar dalam menampung aspirasi
politik rakyat dan memperjuangkannya guna mewujudkan kedaulatan rakyat melalui Dewan
Perwakilan Rakyat dimana partai politik tersebut harus melalui mekanisme pengisian
keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
59. Simpulan
Faktor-faktor yang menyebabkan penggantian Undang-Undang No. 12
Tahun 2003 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 adalah gagalnya
affirmative action bagi kaum perempuan dalam pemenuhan keterwakilan kuota
minimal 30% (tiga puluh perseratus), ketentuan mengenai pendanaan dan pelaporan
dana kampenye yangdiamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2003 tidak berjalan dengan
baik dalam pemilu 2004 karena sifat dari keteantuan tersebut tidak imperatif (tidak
memuat sanksi apabila ketentuan tidak dijalankan oleh peserta pemilu) dan sistem
pemilu yang dirasakan oleh para elite politik maupun kalangan masyarakat pada
umumnya, kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Adapun makna dari penggantian Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 berkenaan dengan
pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk melakukan
pengawalan dan pengaturan terhadap pemenuhan keterwakilan perempuan sebesar
30% (tiga puluh perseratus) dalam calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
terwujudnya transparansi pendanaan kampanye dan terwujudnya keadaan politik
kenegaraan yang relatif stabil pasca pemilian umum tahun 2009 dengan perbaikan
sistem pemilihan umum dimana terdapat aturan partai politik peserta pemilihan umum
yang mendapat bagian dalam penetapan perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat adalah yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional
paling sedikit 2,5% (dua koma lima perseratus).
60. Saran
Dengan demikian, setelah melihat secara keseluruhan
bab 2, 3 dan 4, maka penulis menyarankan secepatnya harus
dilakukannya perubahan dan penyempurnaan kembali
terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 berkenaan
dengan adanya PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 secara menyeluruh agar tidak
terjadi kembali permasalahan serupa seperti yang telah terjadi
dalam pemilu tahun 2004 lalu. Saya juga menyarankan
kiranya penyempurnaan Undang-Undang paket politik ini
dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, sehingga diharapkan
mendekati kesempurnaan, baik secara filosofis, yuridis dan
sosiologis.