2.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air
dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”.
Anaknya menjawab“Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu,
Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”.
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa,
Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan-
nya Amirul Mukminin tahu”.
Kisah Gadis Penjual Susu
3.
"Semoga lahir dari keturunan gadis
ini bakal pemimpin Islam yang
hebat kelak yang akan memimpin
orang-orang Arab dan Ajam”
(umar Ibn Khattab)
4.
Silsilah Keluarga
Umar Ibn Khattab
Ashim bin Umar (menikahi
Gadis Penjual Susu)
Laila (Ummu ashim) menikah
dengan Abdul Aziz bin Marwan
Umar bin Abdul Aziz
5.
Lahir pada tahun 60 Hijriah (682 M)
bertepatan dengan tahun mangkatnya Amirul
Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Sebagian menulis dilahirkan di Mesir dan Sebagian
di Madinah
Kelahiran
6. Ayahnya (Abdul Aziz) memilih Shalih bin Kaisan sebagai pendidik anaknya.
Gurunya yang lain adalah Sa’id bin Al-Musayyib, ia dijuluki sebagai bintangnya
para tabi’in.
Di antara guru-guru yang berpengaruh bagi dirinya adalah Ubaidullah bin
Abdullah bin Utbah bin Mas’ud.
Umar bin Abdul Aziz terdidik dan belajar di tangan para ulama
dan fuqaha’ dalam jumlah besar, jumlah gurunya mencapai tiga puluh tiga
orang; delapan dari mereka adalah sahabat dan dua puluh lima lainnya adalah
tabi’in.
Ia pernah shalat mengimami sahabat yang mulia Anas bin Malik, beliau pun
memuji Umar dengan mengatakan, “Aku tidak melihat anak muda yang paling
mirip shalatnya dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam daripada anak
muda ini.”
Masa ABG
7.
Umar bin Abdul Aziz berkulit cokelat, berwajah lembut dan
tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi, bermata
cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat
sepakan kaki kuda (karenanya ia disebut Asyaj Bani
Umayyah, artinya orang dari Bani Umayyah yang terluka
kepalanya).
Ciri-Ciri Fisik
Sumber: Perjalanan Khalifah Yang Agung Umar bin Abdul Aziz, DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi
8.
Menjadi Gubernur Hijaz
Khalifah Al Walid Mengangkat Umar bin Abdul Aziz menjadi
Gubernur Hijaz (Makkah dan Madinah).
Umar membentuk sebuah dewan penasehat yang terdiri dari
Ulama, Pegawai, dan Masyarayat yang kemudian bersama-
sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi.
keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat
diselesaikan di Madinah.
Merenovasi Masjid Nabawi dengan sebelumnya berkonsultasi
dengan para Ulama
9.
Ditunjuk oleh Khalifah Sulaiman
Menjelang wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin
Haiwah menasihati, “Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang
menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di
akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil,
maka siapakah pilihanmu?“. Jawab Khalifah Sulaiman, “Aku melihat Umar Ibn Abdul
Aziz“.
Umar bin Abdul Aziz bukan Putra Mahkota
Mengucapkan Inna lillahi wa inna Ilayhi Roji’un
Menjadi Khalifah
10.
Hari kedua dilantik menjadi khalifah, ia menyampaikan
khutbah umum. Diujung khutbahnya, ia berkata “Wahai
manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab
selepas Al Qur’an, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana
hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang
mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan
kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat
tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini
sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di
sisi Allah” Ia kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya
ujian Allah kepadaku" sambung Umar Ibn Abdul Aziz.
Menjadi Khalifah
11.
Umar melakukan perbaikan dimulai dari diri dan
Keluarga.
Tidak memanfaatkan fasilitas sebagai Khalifah.
Menjalani kehidupan sebagai Khalifah dengan
Zuhud.
Mengangkat Pejabat berdasarkan Keshalihan dan
Kecakapan.
Menjadi Khalifah
12.
memberikan jaminan keamanan bagi rakyat. Dengan
mewujudkan ketenangan dan keamanan, ia meninggalkan
kebijakan-kebijakan para pendahulunya yang berfokus pada
perluasan wilayah dan penguasaan negara.
Demi mewujudkan keamanan dan ketertiban, baik pribadi
maupun pemerintah sama-sama bersikap adil baik untuk bangsa
Arab maupun Non Arab (mementingkan kesamaan Aqidah)
Memantapkan Sumber Pendapatan Negara.
Menjadi Khalifah
13.
Memperhatikan bidang pertanian dan Perhubungan.
Menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif.
Banyak digali sumber-sumber air baru (sumur air).
Membangung jalan-jalan yang menghubungkan antar kota
Distribusi kekayaan negara secara adil.
menghemat belanja negara.
mensosialisasikan semangat bisnis dan kewirausahaan.
Memaksimalkan distribusi zakat bagi asnafus tsamaniyah.
Menjadi Khalifah
14.
Tidak lagi ditemukan para Mustahiq.
Yahya Ibn Sa’id membawakan suatu riwayat: Katanya Umar Ibn Abdul ’Aziz telah mengutus
aku ke Afrika Utara untuk membagi-bagikan zakat penduduk di sana. Maka aku laksanakan
perintah itu, lalu aku cari orang-orang fakir miskin untuk kuberikan zakat pada mereka. Tetapi
aku tidak mendapatkan seorangpun juga dan kami tak menemukan orang yang mau
menerimanya.
Kas Negara Suplus.
Negara membiayai seluruh biaya pernikahan, terutama yang
menikah di usia muda.
Memberikan kesejahteraan bagi para penghafal hadist.
Menjadi Khalifah
15.
“Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”. (AL A’RAAF 96)
Kunci Itu
16.
Al-Hamed, Zaid Husen, Kehidupan Para Kholifah Teladan, Jakarta: Pustaka
Amani, 1995
Al-Madudi, Abdul A’la, Sejarah Pembaharuan Dan Pembangunan Kembali
Alam Pikiran Islam, 1985
Al-Hamid, Zaid Husain, Khulafa’ur Rasul Khalid Muhammad Khalid, Jakarta:
Pustaka Amani, 1995
Fa’al, Fahsin M. Sejarah Kekuasaan islam, (Jakarta Barat: CV. Artha Rivera),
2008
Abdurrahman, Dudung, Sejarah Peradaban Islam: Dari masa klasik sampai
modern,Yogyakarta: LESFI, 2004
Supriadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Firdaus, Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz,Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 2003
Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta: Al-Huzna Zikra,
1997
Affandi, Adang, Study Sejarah Islam, Bandung: Putra A Bardim, 1999
Maroji’